Al-Haafidh Ibnul-Qayyim rahimahullah
berkata:
الثامن قوله تعالى أفتهلكنا بما فعل
المبطلون أي لو عذبهم بجحودهم وشركهملقالوا ذلك وهو سبحانه إنما يهلكهم لمخالفة
رسله وتكذيبهم فلو أهلكهم بتقليد آبائهم في شركهم من غير إقامة الحجة عليهم بالرسل
لأهلكهم بما فعل المبطلون أو أهلكهم مع غفلتهم عن معرفة بطلان ما كانوا عليه وقد
أخبر سبحانه أنه لم يكن ليهلك القرى بظلم وأهلها غافلون وإنما يهلكهم بعد الأعذار
والإنذار
“Kedelapan, firman-Nya ta’ala: ‘Maka apakah Engkau akan membinasakan
kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?’ (QS. Al-A’raaf :173).
; yaitu : Seandainya Allah mengadzab mereka karena keingkaran dan kesyirikan
mereka, niscaya mereka akan mengatakan hal tersebut. Dan Allah subhaanahu wa
ta’ala hanyalah membinasakan mereka karena penyelisihan dan pendustaan
mereka terhadap Rasul-Nya. Seandainya Allah ta’ala membinasakan mereka
karena ketaqlidan mereka terhadap nenek-moyang mereka dalam perbuatan syirik
yang mereka lakukan tanpa adanya iqaamatul-hujjah dengan diutusnya para
Rasul, niscaya Allah akan membinasakan mereka dengan perbuatan yang dilakukan
orang-orang yang sesat dahulu, atau membinasakan mereka dengan sebab kelalaian
mereka untuk mengetahui kebatilan perbuatan syirik mereka. Namun Allah subhaanahu
wa ta’ala mengkhabarkan bahwa Ia tidak akan membinasakan suatu negeri dan
penduduknya yang lalai secara dhalim. Allah hanya akan membinasakan mereka
setelah memberikan ‘udzur dan peringatan” [Ar-Ruuh, hal. 168].
فإن قيل فهل لهذا عذر
في ضلالة إذا كان يحسب انه على هدى كما قال تعالى وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ
مُهْتَدُونَ
قيل لا عذر لهذا
وامثاله من الضلال الذين منشأ ضلالهم الاعراض عن الوحي الذي جاء به الرسول صلى الله عليه و سلم ولو ظن انه مهتد فإنه مفرط باعراضه عن اتباع داعي
الهدى فإذا ضل فإنما اتى من تفريطه واعراضه
وهذا بخلاف من كان
ضلاله لعدم بلوغ الرسالة وعجزه عن الوصول اليها فذاك له حكم آخر والوعيد في القرآن
إنما يتناول الاول واما الثاني فإن الله لا يعذب احدا إلا بعد إقامة الحجة عليه
كما قال تعالى وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا وقال تعالى رُسُلًا
مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ
بَعْدَ الرُّسُلِ وقال تعالى في اهل النار وَمَا ظَلَمْنَاهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا
أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
“Jika
dikatakan : ‘Apakah kesesatan seseorang yang menganggap dirinya berada di atas
petunjuk merupakan ‘udzur (dari siksaan) sebagaimana firman Allah ta’ala :
‘Mereka mengira bahwa mereka itu orang yang mendapat petunjuk’ (QS.
Al-A’raaf : 30,37).
Dikatakan
: ‘Tidak ada ‘udzur untuk ini dan yang semisalnya terhadap kesesatan mereka yang
bersumber dari keberpalingannya mengikuti wahyu yang dibawa Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Seandainya ia menyangka dirinya seorang yang mendapatkan
petunjuk, maka pada kenyataannya ia seorang yang berlebihan dengan berpaling mengikuti
penyeru (da’i) yang menyeru kepada petunjuk. Dan apabila ia sesat, maka itu karena sikap
peremehannya dan keberpalingannya.
Dan ini berbeda halnya dengan
orang yang kesesatannya disebabkan karena ketiadaan sampainya risalah dan
ketidakmampuannya untuk menerima (hujjah) risalah tersebut. Maka hal tersebut
mempunyai hukum yang lain. Adapun ancaman yang terdapat dalam Al-Qur'an
hanyalah untuk golongan yang pertama. Sedangkan, bagi golongan yang kedua ini,
sesungguhnya Allah ta’ala tidak akan mengadzab seseorang kecuali setelah
tegakknya hujjah kepadanya, sebagaimana dalam firman-Nya ta’ala : ‘Dan
Kami tidak akan menurunkan adzab sebelum mengutus seorang rasul’ (QS.
Al-Israa’ : 15). ‘(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita
gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia
membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu’ (QS. An-Nisaa’ : 165). Dan
Allah ta’ala berfirman tentang penghuni neraka : ‘Dan Kami tidak mendhalimi
mereka, tetapi mereka itulah orang-orang yang dhalim’ (QS. Az-Zukhruf : 76)”
[Miftaah Daaris-Sa’aadah, 1/208].
الفاسق
باعتقاده إذا كان متحفظا في دينه فإن شهادته مقبولة وإن حكمنا بفسقه كأهل البدع
والأهواء الذين لا نكفرهم كالرافضة والخوارج والمعتزلة ونحوهم
“Orang fasiq dengan keyakinan (i’tiqaad)-nya apabila ia
seorang yang berhati-hati dalam melaksanakan agamanya, maka persaksiannya
diterima meskipun kami menghukuminya dengan kefasikan, seperti ahlul-bid’ah dan
pengikut hawa nafsu yang kami tidak mengkafirkan mereka, misalnya Raafidlah,
Khawaarij, Mu’tazilah, dan yang lainnya[1]”
[Thuruqul-Hukmiyyah,
hal. 253].
فأما
أهل البدع الموافقون لأهل الإسلام ، ولكنهم مخالفون في بعض الأصول ـ كالرافضة والقدرية
والجهمية وغلاة المرجئة ونحوهم ـ فهؤلاء أقسام:
أحدها
: الجاهل المقلد الذي لا بصيرة له ، فهذا لا يكفر ولا يفسق ،ولا ترد شهادته ؛ إذا لم
يكن قادرا على تعلم الهدى ، وحكمه حكم المستضعفين من الرجال والنساء والولدان الذين
لا يستطيعون حيلة ولا يهتدون سبيلا ، فأولئك عسى الله أن يعفوا عنهم وكان الله عفوا
غفورا.
القسم
الثاني : المتمكن من السؤال وطلب الهداية ومعرفة الحق ، ولكن يترك ذلك اشتغالا بدنياه
ورياسته ولذته ومعاشه وغير ذلك ؛ فهذا مستحق للوعيد آثم بترك ما وجب عليه من تقوى الله
بحسب استطاعته ؛ فهذا حكمه حكم أمثاله من تاركي بعض الواجبات ، فإن غلب ما فيه من البدعة
والهوى على ما فيه من السنة والهدى : ردت شهادته ، وإن غلب ما فيه من السنة والهدى
: قبلت شهادته.
القسم
الثالث : أن يسأل ويطلب ويتبين له الهدى ، ويتركه تقليدا وتعصبا ، أو بغضا أو معاداة
لأصحابه ، فهذا أقل درجاته : أن يكون فاسقا ، وتكفيره محل اجتهاد وتفصيل، فإن كان معلنا
داعية : ردت شهادته وفتاويه وأحكامه مع القدرة على ذلك ، ولم تقبل له شهادة ، ولا فتوى
ولا حكم إلا عند الضرورة ، كحال غلبة هؤلاء واستيلائهم ، وكون القضاة والمفتين والشهود
منهم ،ففي رد شهادتهم وأحكامهم إذ ذاك فساد كثير ولا يمكن ذلك ، فتقبل للضرورة.
“Adapun ahlul-bid’ah yang
berkesesuaian dengan orang Islam, akan tetapi mereka menyelisihi dalam sebagian
ushul (pokok
agama) seperti Raafidlah, Qadariyyah, Jahmiyyah, Murji’ah ekstrim, dan yang
lainnya – maka mereka itu bermacam-macam:
Pertama : Orang jahil yang taqlid lagi tidak
memiliki bashirah,
maka orang ini tidak dikafirkan, tidak difasikkan fasiq, dan tidak ditolak
kesaksiannya, apabila ia tidak mampu mempelajari petunjuk. Hukum yang
diberlakukan untuknya adalah hukum orang-orang yang tertindas (mustadl’afiin) dari kalangan laki-laki,
wanita, dan anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan
(untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah
Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
Kedua: Orang yang memiliki kesempatan untuk
bertanya, mencari hidayah, dan mengetahui kebenaran, namun ia meninggalkannya
karena sibuk dengan dunia, kedudukan, kenikmatan, kehidupannya, dan hal lainnya;
maka orang ini berhak mendapatkan ancaman lagi berdosa dengan sebab
meninggalkan hal yang diwajibkan atasnya, yaitu untuk bertaqwa kepada Allah
sesuai kemampuannya. Hukum yang diberlakukan untuknya adalah hukum orang-orang
yang seperti dia dari kalangan yang meninggalkan sebagian kewajiban. Apabila bid’ah
dan hawa nafsu yang ada padanya lebih mendominasi daripada sunnah dan petunjuk,
maka kesaksiannya ditolak. Namun apabila sunnah dan petunjuk yang ada padanya
lebih mendominasi, maka kesaksiannya diterima.
Ketiga: Orang yang bertanya, mencari kebenaran, dan
kemudian jelas baginya petunjuk (karena usahanya itu); namun ia malah
meninggalkannya karena taqlid dan fanatik (ta’ashub)
atau karena benci dan memusuhi orang-orangnya, maka minimal statusnya adalah
fasiq, dan pengkafirannya adalah tempat ijtihad dan perincian. Apabila ia terang-terangan
lagi mendakwahkannya; maka kesaksiannya, fatwa-fatwanya, dan putusan-putusannya
ditolak saat mampu atas hal itu. Begitu kesaksiannya, fatwa-fatwanya, dan
putusan-putusannya tidak diterima kecuali saat darurat, seperti pada keadaan
pendudukan dan penguasaan mereka, serta keberadaan para hakim, mufti, dan saksi
dari kalangan mereka; karena dalam sikap menolak kesaksian dan putusan-putusan
mereka saat itu adalah kerusakan yang besar dan tidak mungkin itu, sehingga
diterimalah dengan alasan darurat” [idem,
hal. 254-255].
إنّ
العذاب يستحق بشيئين:
أحدهما:
الإعراض عن الحجّة وعدمُ إرادة العلم بها وبموجبها. الثّاني: العناد لها بعد قيامها
وترك إرادة موجبها.
فالأوّل:
كفر إعراض. والثّاني: كفر عناد.
وأما
كفر الجهل مع عدم قيام الحجّة، وعدم التمكن من معرفتها، فهذا الذي نفى الله التّعذيب
عليه، حتى تقوم حجة الرّسل.
“Sesungguhnya ‘adzab layak diterima berdasarkan dua sebab:
Pertama: Berpaling dari
hujjah
dan ketiadaan keinginan
untuk mengetahuinya dan mengakui/menerima kewajibannya.
Kedua:
penentangan terhadapnya setelah tegak hujjah
padanya dan meninggalkan keinginan
mengamalkan kewajibannya. Yang pertama pertama dinamakan kufur i’raadl, dan yang kedua dinamakan kufur inaad.
Adapun kufur jahl (yang disebabkan karena
kejahilan) dengan ketiadaan penegakan hujjah dan ketiadaan kemampuan untuk mengetahuinya,
maka Allah ta’ala menafikkan adanya adzab darinya hingga ditegakkan hujjah Rasul kepadanya” [Thariiqul-Hijratain, hal. 901-902].
وكفر الجحود نوعان :
كفر مطلق عام وكفر مقيد خاص فالمطلق : أن يجحد جملة ما أنزله الله وإرساله الرسول
والخاص المقيد : أن يجحد فرضا من فروض الإسلام أو تحريم محرم من محرماته أو صفة
وصف الله بها نفسه أو خبرا أخبر الله به عمدا أو تقديما لقول من خالفه عليه لغرض من
الأغراض
وأما جحد ذلك جهلا أو تأويلا يعذر فيه
صاحبه : فلا يكفر صاحبه به كحديث الذي جحد قدرة الله عليه وأمر أهله أن يحرقوه
ويذروه في الريح ومع هذا فقد غفر الله له ورحمه لجهله إذ كان ذلك الذي فعله مبلغ
علمه ولم يجحد قدرة الله على إعادته عنادا أو تكذيبا
“Kufur juhuud ada dua macam : kufur
mutlak lagi umum, dan kufur muqayyad lagi khusus. Kufur mutlak adalah menolak semua yang
diturunkan Allah dan diutusnya Rasul. Kufur khusus lagi muqayyad : menolak kewajiban
dari kewajiban-kewajiban dalam syari’at Islam atau (menolak) keharaman dari keharaman-keharaman
dalam syari’at Islam, atau (menolak) sifat yang telah Allah sifatkan dengannya
untuk diri-Nya, atau (menolak) khabar yang telah Allah khabarkan dengannya
secara sengaja atau mendahulukan perkataan orang yang menyelisihinya untuk satu
tujuan tertentu.
Adapun
orang yang mengingkarinya karena ketidaktahuannya atau karena ta’wiil, maka
pelakunya diberikan ‘udzur, sehingga ia tidak dikafirkan dengannya. Hal itu
sebagaimana hadits orang yang mengingkari kekuasaan Allah padanya, dimana
ketika itu (sebelum meninggal) ia memerintahkan keluarganya agar membakar
jasadnya dan menaburkan abunya di udara. Bersamaan dengan ini, Allah mengampuni
dan merahmatinya karena kejahilannya. Perbuatan orang tersebut dilakukan sesuai
batas pengetahuannya, tanpa adanya pengingkaran terhadap kekuasaan Allah untuk
mengembalikan dirinya dengan penentangan atau pendustaan” [Madaarijus-Saalikiin, 1/338-339].
Asy-Syaikh Haafidh bin Ahmad Al-Hakamiy rahimahullah berkata:
ضابط البدعة المكفرة : من أنكر أمرا مجمعا
عليه متواترا من الشرع معلوما من الدين بالضرورة من جحود مفروض ، أو فرض ما لم يفرض
، أو إحلال محرم ، أو تحريم حلال ، أو اعتقاد ما ينزه الله ورسوله وكتابه عنه من نفي
أو إثبات ; لأن ذلك تكذيب بالكتاب ، وبما أرسل الله به رسله صلى الله عليهم وسلم كبدعة
الجهمية في إنكار صفات الله والقول بخلق القرآن ، أو خلق أي صفة من صفات الله ، وإنكار
أن يكون الله تعالى اتخذإبراهيم خليلا ، وكلم موسى تكليما وغير ذلك ، وكبدعة القدرية
في إنكار علم الله عز وجل وأفعاله ، وقضائه وقدره ، وكبدعة المجسمة الذين يشبهون الله
تعالى بخلقه ، وغير ذلك من الأهواء.
ولكن هؤلاء منهم من علم أن عين قصده هدم قواعد
الدين ، وتشكيك أهله فيه ، فهذا مقطوع بكفره ، بل هو أجنبي عن الدين من أعدى عدو له
، وآخرون مغرورون ملبس عليهم ، فهؤلاء إنما يحكم بكفرهم بعد إقامة الحجة عليهم وإلزامهم
بها.
“Kaidah bid’ah mukaffirah
: barangsiapa yang mengingkari perkara yang telah disepakati, mutawaatir
dalam syari’at, dan termasuk perkara agama yang diketahui secara pasti (al-ma’luum
mind-diin bidl-dlaruurah), yaitu mengingkari kewajiban, mewajibkan apa yang
tidak diwajibkan, menghalalkan yang diharamkan, mengharamkan yang dihalalkan, serta
meyakini sesuatu yang Allah, Rasul-Nya, dam Kitab-Nya telah membersihkannya, berupa
penafikan atau penetapan karena hal itu merupakan pendustaan terhadap Al-Kitaab
dan risalah yang dibawa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Seperti bid’ah Jahmiyyah yang mengingkari sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla,
perkataan tentang Khalqul-Qur’an atau kemakhlukan sifat-sifat Allah,
mengingkari Allah ta’ala telah menjadikan Ibraahiim sebagai kekasih dan
bericara kepada Muusaa secara langsung, dan yang lainnya. Juga seperti bid’ah
Qadariyyah yang mengingkari ilmu Allah ‘azza wa jalla, perbuatan-Nya, qadlaa’
dan qadar-Nya. Seperti bid’ah Mujassimah yang menyerupakan Allah ta’ala
dengan makhluk-Nya. Dan bid’ah-bid’ah lainnya yang dilakukan oleh para pengikut
hawa nafsu.
Akan tetapi orang-orang dari mereka yang diketahui mempunyai tujuan
merobohkan kaedah-kaedah (pokok-pokok) agama dan menimbulkan keraguan bagi
pemeluknya, maka yang seperti ini sudah pasti kekafirannya. Bahkan ia adalah
orang yang jauh dari agama dan merupakan musuh terbesar bagi-Nya. Adapun
sebagian orang yang lain adalah orang yang tertipu dan tersamar, maka mereka
hanyalah dihukumi kafir setelah ditegakkannya hujjah kepada mereka dan ketetapan mereka terhadap kekafiran (setelah ditegakkannya
hujjah)” [Ma’aarijul-Qabuul, 3/1228-1229].
Asy-Syaikh Rabii’ bin Haadiy Al-Madkhaliy hafidhahullah berkata:
هذه المسألة؛ مسألة العذر بالجهل أو عدم العذر،
يركض من ورائها أناس أهل فتنة، ويريدون تفريق السلفيين، وضرب بعضهم ببعض. وأنا كنتُ
في المدينة اتصل بي رياض السعيد وهو معروف وموجود في الرياض الآن قال لي: إنَّ هنا
في الطائف خمسين شاباً كلهم يكفِّرون الألباني!!!. لماذا؟!ز لأنه لا يكفِّر القبوريين
ويعذرهم بالجهل!!!.
طيب؛ هؤلاء يكفرون ابن تيمية وابن القيم وكثير
من السلف، لأنهم يعذرون بالجهل وعندهم أدلة منها: " وَمَا كُنَّا
مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا " الإسراء/15، ونصوص أخرى فيها الدلالة
الواضحة، ومنه: "وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ
الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا" النساء/115، "وَمَا كَانَ
اللَّهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّى يُبَيِّنَ لَهُمْ مَا
يَتَّقُونَ " التوبة/115، ونصوص أخرى تدل على أنَّ المسلم لا يكفر بشيء من الكفر
وقع فيه، نقول: وقع في الكفر؛ هذا كفر وقع فيه عن جهل مثلاً، فلا نكفره حتى نبين له
الحجة ونقيم عليه الحجة، فإذا عاند كفرناه.
وهذا القول عليه عدد من أئمة العلماء في نجد،
وبعضهم قد يختلف كلامه، مرة يشترط قيام الحجة، ومرة يقول: لا يعذر بالجهل!!؛ فيتعلَّق
أناس بأقوال مَنْ لا يعذر بالجهل، ويهمل النصوص الواضحة في اشتراط قيام الحجة، وأنه
لا يكفر المسلم الذي وقع في مكفّر حتى تقام عليه الحجة؛ ومنه ما ذكرته لكم عن الإمام
الشافعي رحمه الله، والنصوص التي ذكرتها لكم.
كنتُ أعرف شيخاً فاضلاً لا يعذر بالجهل، ونحن
في سامطة وزارنا هذا الشيخ، ويحمل هذه الفكرة!، لكنه ما كان يثير الفتن ولا يناقش ولا
يجادل ولا يضلل مَنْ يعذر بالجهل، وعشنا نحن وإياه أصدقاء قرابة أربعين سنة، وقد مات
من عهد قريب رحمه الله.
وجلستُ مرة في إحدى المجالس وواحد يقرر عدم
العذر بالجهل، فذكرتُ له هذه الأدلة وذكرتُ له أنَّ علماء نجد يعرف بعضهم بعضاً؛ بعضهم
يعذر بالجهل وبعضهم لا يعذر، وهم متآخون، ليس هناك خلافات، ولا خصومات، ولا إشاعات،
ولا، ولا..، فسكت ولم يجادل لأنه لا يريد الفتن.
فنحن نعرف أنَّ الخلاف واقع في نجد بين بعض
المشايخ وغيرهم، لكن لا خصومة ولا تضليل ولا فتن؛ وإنما هذه طريقة الحدادية؛ يا إخوان،
الفتنة الحدادية الماكرة الضالة أنشأت لإثارة الفتن بين أهل السنة وضرب بعضهم ببعض،
وهم تكفيريون مستترون، وعندهم بلايا أخرى، يمكن غير التكفير، ويستخدمون أخبث أنواع
التقية ستراً على منهجهم الخبيث وأغراضهم الفاسدة.
وأنا رأيتُ شاباً تأثر بهذا المنهج وكان يحمل
كتاباً فيه أقوال منتقاة في عدم العذر بالجهل، وينتقل ما بين الرياض والطائف ومكة والمدينة
وإلى آخره، كان عندنا، ويدرس عندنا، ثم ما شعرنا إلا وهو يحمل هذا الفكر بهذه الطريقة.
فناقشته مراراً وبينتُ له منهج شيخ الإسلام
بن تيمية ومنهج السلف والأدلة وهو يجادل قلتُ له: مَنْ إمامك؟
قال: فلان وفلان.
فبحثتُ فوجدتُ عندهم أقوال متضاربة، مرة يعذر
بالجهل!، ومرة لا يعذر بالجهل!. قال لي معي فلان.
قلت له: فلان هذا كلامه - قد أعددت له - هذا
فلان هنا يعذر بالجهل ويشترط إقامة الحجة!!.
قال: أنا مع ابن القيم. قلت له: ابن القيم
من زمان رفضته أنت، ابن القيم يشترط إقامة الحجة، لكنه مُصِر على ضلاله، فعاند وطرد
من هذه البلاد، ثم رجع.
وفي مناقشاتي له قلتُ له: قوم كفار في جزيرة
من الجزر في إحدى جزر بريطانيا أو جزر المحيط الهادي أو غيرها ما أتاهم أحد من السلفيين
وجاءهم جماعة التبليغ وعلموهم، وقالوا: هذا الإسلام فيه خرفات فيه بدع فيه شركيات وفيه
وفيه ..... قالوا لهم: هذا الإسلام فقبلوه وتقربوا إلى الله ويعبدون الله على هذا الدين
الذي يسمى الإسلام. تكفرهم أنت أم تبين لهم وتقيم عليهم الحجة؟ قال: هم كفَّار!، ولا
يشترط إقامة الحجة. قلت: اذهب إلى الجزائر فأنت أشد من هؤلاء الثوار الآن، أنت أشد
تكفيراً منهم، ليس لك مجال في هذه البلاد.
مذهب شيخ الإسلام ابن تيمية وابن القيم في
هذا قائم على الحجج والبراهين وهو مذهب السلف إنْ شاء الله. ومَنْ تبنى واقتنع بغير
هذا وسكت ما لنا شغل فيه، لكن يذهب يثير الفتن ويضلِّل ويكفِّر فلا؛ لا والله لا يسكت
عنه. وأنصح الشباب أن يتركوا هذه القضية لأنها وسيلة من وسائل أهل الشر والفتن يبثونها
بين المسلمين.
طيب؛ مرَّ عليكم دهور من عهد الإمام محمد
بن عبد الوهاب إلى وقتنا هذا ليس هناك صراعات بينهم في القضية هذه أبداً، الذي اجتهد
ورأى هذا المذهب سكت ومشى، قرره في كتابه ونشره فقط ومشى، والذي يخالفه مشى، كلهم إخوة
ليس بينهم خلافات، ولا خصومات، ولا أحد يضلل أحداً، ولا يكفره.
أما هؤلاء يكفرون، انظروا توصلوا به إلى تكفير
أئمة الإسلام، مما يدلك على خبث طواياهم وسوء مقاصدهم. فأنا أنصح الشباب السلفي أن
لا يخوضوا في هذا الأمر.
والمذهب الراجح: اشتراط إقامة الحجة، وإذا
ما ترجَّح له فعليه أن يسكت ويحترم إخوانه الآخرين، فلا يضللهم لأنهم عندهم حق، وعندهم
كتاب الله، وعندهم سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم، وعندهم منهج السلف.
والذي يريد أن يكفِّر يكفِّر السلف، يكفِّر
ابن تيمية وابن عبد الوهاب أيضاً، الإمام محمد بن عبد الوهاب قال: نحن لا نكفر الذين
يطوفون حول القبور ويعبدونها حتى نقيم عليهم الحجة لأنهم لم يجدوا مَنْ يبين لهم
"Masalah ini, yaitu masalah
(memberikan) 'udzur kejahilan atau tidak memberikan 'udzur, maka banyak ahlul-fitnah
yang berlari-lari di sekitarnya yang menginginkan adanya perpecahan di kalangan
salafiyyiin, serta menyebabkan mereka
bertikai satu dengan yang lainnya. Dulu saat aku masih di Madiinah, Riyaadl As-Sa’iid
pernah menghubungiku – dan ia seorang yang ma’ruuf dan ada di Riyaadl
sekarang - . Ia berkata kepadaku : “Sesungguhnya di sini, di Thaaif, ada lima
puluh orang pemuda yang semuanya mengkafirkan Al-Albaaniy!!. Mengapa?. Karena ia
tidak mengkafirkan quburiyyuun dan memberikan ‘udzur kejahilan kepada
mereka!!!.
Thayyib. (Itu artinya) mereka juga harus mengkafirkan Ibnu Taimiyyah, Ibnul-Qayyim,
dan banyak kalangan dari salaf, karena mereka memberikan ‘udzur kejahilan dan
mereka mempunyai dalil-dalil, diantaranya : ‘Dan Kami tidak akan menurunkan adzab sebelum mengutus
seorang rasul’ (QS.
Al-Israa’ : 15). ‘Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami
biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali’
(QS. An-Nisaa’: 115). ‘Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu
kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada
mereka apa yang harus mereka jauhi’ (QS. At-Taubah : 115). Dan nash-nash
lain yang menunjukkan bahwa seorang muslim tidak (langsung) dikafirkan (secara mu’ayyan)
akibat kekufuran yang ia terjatuh di dalamnya. Kami berkata : jatuh dalam
kekufuran, kekufuran yang ia jatuh padanya karena kejahilan misalnya. Maka kami
tidak mengkafirkannya hingga kami jelaskan kepadanya hujjah dan kami
tegakkan padanya hujjah. Apabila ia menentang, baru kami
mengkafirkannya.
Dan pendapat
ini dipegang sejumlah ulama Najd; dan sebagian mereka perkataannya berlainan.
Kadang mensyaratkan penegakan hujjah (qiyaamul-hujjah), dan kadang
mengatakan : ‘tidak memberikan ‘udzur kejahilan!!’. Lalu orang-orang berpegang
pada perkataan yang tidak memberikan ‘udzur kejahilan; dan mengabaikan
nash-nash yang jelas yang mensyaratkan adanya penegakan hujjah, dimana seorang
muslim yang terjatuh dalam kekufuran tidaklah dikafirkan hingga ditegakkan
padanya hujjah. Diantaranya adalah apa yang aku sebutkan kepada kalian dari (perkataan)
Al-Imaan Asy-Syaafi’iy rahimahullahu dan nash-nash yang aku sebutkan
kepada kalian.
Aku mengenal
seorang syaikh faadlil yang tidak memberikan ‘udzur kejahilan. Dan ketika
(dulu) kami tinggal di Saamithah, syaikh tersebut mengunjungi kami dan membawa
pemikiran ini. Namun demikian, beliau tidak menyalakan api fitnah, tidak
membantah/mendebat, dan tidak pula menyesatkan orang yang memberikan ‘udzur
kejahilan. Kami dan beliau hidup bersahabat dekat selama empatpuluh tahun, dan
beliau telah meninggal dunia belum lama ini – semoga Allah merahmati beliau - .
Dan aku pernah
bermajelis dalam salah satu pertemuan dimana salah satu pesertanya menyatakan
pendapat tidak adanya ‘udzur kejahilan. Lalu aku sebutkan kepadanya dalil-dalil
tersebut (yang menetapkan adanya ‘udzur) dan aku sebutkan pula kepadanya bahwa
para ulama Najd mengenal satu dengan yang lainnya dimana sebagian di antara
mereka memberikan ‘udzur kejahilan dan sebagian lainnya tidak memberikan
‘udzur, sedangkan mereka dalam keadaan bersaudara, tidak ada perselisihan,
permusuhan, tuduhan, dan yang lainnya….. Ia diam dan tidak mendebat karena
tidak ingin terjadi fitnah.
Kami
mengetahui adanya perbedaan pendapat yang terjadi di Najd pada sebagian masyaayikh
dan yang lainnya, akan tetapi tidak ada pertengkaran, penyesatan, dan fitnah;
karena hal-hal semacam itu (yaitu pertengkaran, penyesatan, dan fitnah dalam
masalah ‘udzur kejahilan) hanyalah jalan yang ditempuh kelompok Haddaadiyyah,
ya ikhwan. Fitnah Haddaadiyyah pembuat makar dan kesesatan yang menimbulkan
fitnah di antara Ahlus-Sunnah sehingga mereka bertikai satu dengan yang
lainnya. Mereka adalah takfiriyyuun yang tidak terlihat, yang membawa
bencana lain selain pengkafiran. Mereka menggunakan cara taqiyyah yang
paling busuk sebagai tabir (untuk menutupi) manhaj mereka yang busuk dan
tujuan-tujuan mereka yang rusak.
Aku
menyaksikan seorang pemuda yang terjangkiti manhaj ini (Haddaadiyyah). Ia
membawa kitab yang di dalamnya berisi pendapat-pendapat pilihan yang meniadakan
‘udzur kejahilan. Ia melakukan perjalanan antara Riyaadl, Thaaif, Makkah, Madiinah, dan
tempat-tempat lainnya. Ia hadir di sisi kami, belajar bersama kami, kemudian
kami merasakan ia membawa pemikiran dari kelompok ini. Lalu aku mendebatnya
beberapa kali dan aku jelaskan kepadanya tentang manhaj Syaikhul-Islaam Ibnu
Taimiyyah dan manhaj salaf beserta dalil-dalilnya. Ia pun membantahnya. Aku
katakan kepadanya : “Siapakah imammu (dalam permasalahan ini)?”. Ia menjawab :
“Fulaan dan Fulaan”.
Lalu aku
membahasnya dan aku dapati padanya perkataan-perkataan yang kontradiktif. Satu
waktu memberikan ‘udzur kejahilan, dan di lain waktu tidak memberikan ‘udzur
kejahilan. Ia berkata : “Bersamaku (dalam permasalahan ini) adalah Fulaan”. Aku
katakan kepadanya : “Fulaan, maka ini perkataannya - lalu menyebutkannya
kepadanya - . Fulaan di sini memberikan ‘udzur kejahilan dan mensyaratkan
penegakan hujjah (iqaamatul-hujjah)!!”.
Ia berkata :
“Aku bersama Ibnul-Qayyim”. Aku katakan kepadanya : “Akan tetapi Ibnul-Qayyim membantahmu,
karena ia mensyaratkan penegakan hujjah”. Akan tetapi ia terus berpegang dengan
kesesatannya, menentangnya, lalu kebetulan ia diusir dari negeri ini yang
kemudian setelah itu ia kembali.
Dalam diskusi/perdebatanku
dengannya, aku katakan kepadanya : “Orang-orang kafir yang tinggal di suatu
tempat di semenanjung Inggris atau Samudera Pasifik atau yang lainnya. Tidak
ada seseorang pun dari kalangan salafiyyin yang mendatangi mereka (untuk
berdakwah). Lalu datang kepada mereka Jama’ah Tabligh dan kemudian mengajarinya
seraya mengatakan : “Inilah Islam”, sedangkan pada mereka ada khurafaat,
bid’ah, kesyirikan, dan yang lainnya….. Mereka berkata : “Inilah Islam”. Lalu
orang-orang kafir itu menerimanya, bertaqarrub dan beribadah kepada Allah
dengan agama yang mereka namakan sebagai ajaran Islam. (Aku katakan) : “Apakah
engkau akan langsung mengkafirkan mereka ataukah engkau akan menjelaskan kepada
mereka dan menegakkan hujjah kepada mereka (sebelum mengkafirkannya)?”. Ia
berkata : “Mereka kafir, tidak dipersyaratkan penegakan hujjah”. Aku katakan :
“Pergilah ke Aljazaair, engkau lebih parah daripada kelompok revolusioner yang
ada sekarang. Engkau lebih parah dalam pengkafiran daripada mereka. Engkau
tidak punya tempat di negeri ini”.
Madzhab
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul-Qayyim dalam permasalahan ini berdiri
di atas hujjah dan bukti-bukti yang jelas, karena ia adalah madzhab salaf, insya
Allah. Barangsiapa berpegang (dengan pendapatnya) dan merasa puas selain
dari ini, kemudian ia diam; maka kami tidak akan menyibukkan diri dengannya.
Akan tetapi jika ia pergi dengan meninggalkan fitnah, menyesatkan, dan
mengkafirkan (orang yang tidak sepaham dengannya), maka kami tidak akan diam.
Tidak demi Allah. Tidak boleh diam darinya. Aku nasihatkan kepada para pemuda
untuk meninggalkan permasalahan ini, karena ia merupakan salh satu perantara
orang-orang yang menghendaki kejelekan dan fitnah (untuk menyebarkan
pemikirannya) di antara kaum muslimin.
Thayyib, masa telah melewati kalian semenjak jaman Al-Imaam
Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab hingga hari ini. Tidak ada kejadian apapun di
diantara mereka dalam permasalahan ini sama sekali. Orang yang berijtihad terhadap
madzhab ini diam dan berlalu. Mereka menyatakannya dalam kitabnya,
menyebarkannya, dan berlalu. Begitu juga dengan orang yang menyelisihinya dalam
pendapat tersebut, mereka pun berlalu. Mereka semua bersaudara, tidak ada
perselisihan dan pertengakaran di antara mereka, tidak saling menyesatkan satu
dengan yang lainnya, dan tidak pula mengkafirkannya.
Adapun mereka
mengkafirkan (orang yang yang menyelisihi dalam permasalahan ini). Lihat,
mereka telah sampai tahapan mengkafirkan para imam kaum muslimin, dan hal itu termasuk
yang menunjukkan busuknya orientasi mereka dan jeleknya tujuan mereka. Maka,
aku nasihatkan kepada para pemuda salafiy agar tidak tenggelam dalam perkara
ini.
Dan madzhab
yang rajih adalah dipersyaratkan adanya penegakan hujjah (sebelum pengkafiran
secara mu’ayyan). Apabila tidak nampak pendapat yang raajih baginya,
maka wajib baginya diam dan menghormati saudaranya yang lain tanpa
menyesatkannya karena di sisi mereka terdapat kebenaran, Kitabullah, sunnah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan manhaj salaf.
Barangsiapa
yang ingin mengkafirkan, silakan ia mengkafirkan salaf, mengkafirkan Ibnu
Taimiyyah, dan juga mengkafirkan Ibnu ‘Abdil-Wahhaab. Al-Imaam Muhammad bin
‘Abdil-Wahhaab berkata : ‘Kami tidak mengkafirkan orang yang thawaf di sekitar
kubur dan menyembahnya hingga kami tegakkan hujjah kepada mereka karena mereka
tidak mendapatkan orang yang menjelaskan (permasalahan tersebut) kepada mereka”
[Al-Fataawaa, 1/309-312].
[selesai –
abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 11022015 – 21:31]
Baca juga
artikel lain yang berkaitan:
[1] Sebagaimana
telah ma’ruuf, sebagian kelompok sesat ini (terutama Raafidlah)
melakukan beberapa perkara kekufuran dan kesyirikan seperti peribadahan di
kuburan dan berlebih-lebihan terhadapnya.
Comments
Posting Komentar