Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan sebelumnya
yang berjudul Faedah
Hadits Abu Waaqid Al-Laitsiy :
'Udzur karena Baru Masuk Islam, yang masih membahas tentang ashhaabu
dzaati Anwaath. Penjelasan diambil dari dars
Al-‘Allamah Al-Faqiih Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih
Al-‘Utsaimiin ketika membahas kitab Kasyfusy-Syubuhaat karya Muhammad
bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahumallah.
Saat
menyebutkan orang-orang yang dikafirkan karena kesyirikan mereka meskipun telah
mengucapkan kalimat Laa ilaha illallaah beserta syubhat-syubhatnya, Asy-Syaikh
Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah berkata:
فتأمل هذه الشبهة وهي قولهم: تكفرون من
المسلمين أناسا يشهدون أن ( لا إله إلا الله)، ويصلون ويصومون ; ثم تأمل جوابها فإنه
من أنفع ما في هذه الأوراق.
ومن الدليل على ذلك أيضا: ما حكى الله عن بني إسرائيل مع إسلامهم وعلمهم وصلاحهم; أنهم قالوا لموسى: {اجْعَلْ لَنَا إِلَهاً كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ}.
وقول أناس من الصحابة: "اجعل لنا ذات أنواط فحلف النبي صلى الله عليه وسلم أن هذا نظير قول بني إسرائيل: اجعل لنا إلها" .
ولكن للمشركين شبهة يدلون بها عند هذه القصة:
وهي أنهم يقولون: إن بني إسرائيل لم يكفروا بذلك.
وكذلك الذين قالوا للنبي صلى الله عليه وسلم اجعل لنا ذات أنواط لم يكفروا.
ومن الدليل على ذلك أيضا: ما حكى الله عن بني إسرائيل مع إسلامهم وعلمهم وصلاحهم; أنهم قالوا لموسى: {اجْعَلْ لَنَا إِلَهاً كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ}.
وقول أناس من الصحابة: "اجعل لنا ذات أنواط فحلف النبي صلى الله عليه وسلم أن هذا نظير قول بني إسرائيل: اجعل لنا إلها" .
ولكن للمشركين شبهة يدلون بها عند هذه القصة:
وهي أنهم يقولون: إن بني إسرائيل لم يكفروا بذلك.
وكذلك الذين قالوا للنبي صلى الله عليه وسلم اجعل لنا ذات أنواط لم يكفروا.
فالجواب أن نقول: إن بني إسرائيل لم يفعلوا ذلك،
وكذلك الذين سألوا النبي صلى الله عليه وسلم لم يفعلوا ذلك. ولا خلاف أن بني
إسرائيل لو فعلوا ذلك لكفروا.
وكذلك لا خلاف في أن الذين نهاهم النبي صلى الله عليه وسلم لو لم يطيعوه واتخذوا ذات أنواط بعد نهيه لكفروا، وهذا هو المطلوب،
وكذلك لا خلاف في أن الذين نهاهم النبي صلى الله عليه وسلم لو لم يطيعوه واتخذوا ذات أنواط بعد نهيه لكفروا، وهذا هو المطلوب،
“Maka
perhatikanlah syubhat ini, yaitu perkataan mereka : ‘Apakah kalian mengkafirkan
orang-orang dari kaum muslimin yang mengucapkan kalimat syahadat Laa ilaha
illallaah (tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah kecuali Allah),
mengerjakan shalat dan puasa ?’. Kemudian perhatikanlah jawabannya, karena itu
termasuk hal yang paling bermanfaat dalam pembahasan di buku ini.
Termasuk
dalil yang menunjukkan hal itu[1] adalah
apa yang difirmankan Allah ta’ala tentang Banii Israaiil - dengan
keislaman, ilmu, dan kebaikan yang ada pada diri mereka – yang berkata kepada
Muusaa : ‘buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka
mempunyai beberapa tuhan (berhala)’ (QS. Al-A’raaf : 138).
Dan
juga ucapan sebagian shahabat : ‘Buatkanlah untuk kami Dzaatu Anwaath’.
Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersumpah bahwa ucapan tersebut
seperti ucapan Bani Israaiil kepada Muusaa : ‘Buatkanlah untuk kami tuhan’.
Akan tetapi, orang-orang musyrik masih saja mempunyai syubhat berdalil dengan
kisah ini. Syubhat itu adalah perkataan mereka : ‘Sesungguhnya Bani Israaiil
tidak dikafirkan dengan perbuatannya tersebut. Begitu pula dengan para shahabat
yang berkata kepada Nabi shallallaahu ‘alaiahi wa sallam : ‘Buatkanlah
untuk kami Dzaatu Anwaath’; tidak dikafirkan”.
Jawabnya, kita katakan : Sesungguhnya Bani Israaiil
tidak melakukan apa yang diminta. Begitu juga dengan para shahabat yang meminta
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (hal yang semisal) tidak
melakukannya juga. Tidak ada khilaaf (perbedaan
pendapat), seandainya Bani Israaiil
melakukan apa yang mereka minta, akan menjadi kafir. Begitu juga tidak ada khilaaf
pada orang-orang yang telah Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam larang, seandainya mereka tidak mentaati beliau dan malah
menjadikan Dzaatu Anwaath (sebagai tuhan) setelah adanya larangan beliau
tersebut, akan menjadi kafir. Inilah yang dituntut.
[selesai perkataan Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab].
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah memberikan penjelasan:
[1] Perkataan
beliau ‘termasuk dalil yang menunjukkan hal itu......dst.’ ; yaitu manusia
kadang-kadang mengucapkan atau melakukan perbuatan kekufuran tanpa disadari.
Perkataan Bani Israaiil – dengan keislaman, ilmu, dan kebaikan yang ada pada
diri mereka –kepada Muusaa : ‘buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala)
sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)’ (QS. Al-A’raaf :
138) dan perkataan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Buatkanlah
untuk kami Dzaatu Anwaath sebagaimana mereka mempunyai Dzaatu Anwaath’
dimana ketika mendengarnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: ‘Allaahu akbar, demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, sesungguhnya apa
yang kalian katakan seperti yang dikatakan Bani Israaiil kepada Muusaa : ‘Buatlah
untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan
(berhala)". Musa menjawab: "Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang
tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan)’ (Al-A’raaf : 138). Sungguh kalian
benar-benar mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian”.[1] Ini
menunjukkan bahwa Muusaa dan Muhammad ‘alaihish-shalaatu was-salaam sangat
mengingkarinya, dan inilah
yang dituntut. Dua orang Nabi yang mulia ini tidak menyetujui permintaan
kaumnya, bahkan malah mengingkarinya.
Sebagian
orang-orang musyrik membuat syubhat dalam dalil ini dengan perkataan mereka : ‘Sesungguhnya
shahabat dan Bani Israaiil tidak dikafirkan dengan sebab perbuatannya’.
Dan
jawaban terhadap syubhat ini : Shahabat dan Bani Israaiil tidak melakukannya
(apa yang diminta) ketika telah mendapatkan peringatan dari dua orang Rasul
yang mulia.
[selesai perkataan Ibnul-‘Utsaimiin].
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah
berkata:
ولكن هذه القصة تفيد أن المسلم بل العالم
قد يقع في أنواع من الشرك لا يدري عنها، فتفيد التعلم والتحرز، ومعرفة أن قول
الجاهل (التوحيد فهمناه) أن هذا من أكبر الجهل ومكائد الشيطان.
وتفيد أيضا أن المسلم المجتهد إذا تكلم بكلام كفر وهو لا يدري. فنبه على ذلك فتاب من ساعته، أنه لا يكفر كما فعل بنو إسرائيل والذين سألوا النبي صلى الله عليه وسلم.
وتفيد أيضا أنه لو لم يكفر فإنه يغلظ عليه الكلام تغليظا شديدا، كما فعل رسول الله صلى الله عليه وسلم.
وتفيد أيضا أن المسلم المجتهد إذا تكلم بكلام كفر وهو لا يدري. فنبه على ذلك فتاب من ساعته، أنه لا يكفر كما فعل بنو إسرائيل والذين سألوا النبي صلى الله عليه وسلم.
وتفيد أيضا أنه لو لم يكفر فإنه يغلظ عليه الكلام تغليظا شديدا، كما فعل رسول الله صلى الله عليه وسلم.
“Akan
tetapi kisah ini mengandung faedah, bahwasannya seorang muslim – bahkan seorang
‘alim sekalipun – kadangkala terjatuh dalam kesyirikan tanpa
disadari/diketahuinya, sehingga sangatlah penting untuk belajar dan membebaskan
diri dari kebodohan. Oleh karena itu, kisah ini memberikan faedah pelajaran,
penjagaan diri, dan pengetahuan bahwa perkataan seorang yang jaahil (bodoh)
: ‘Kami telah memahami tauhid’; merupakan kejahilan yang paling besar
dan tipu daya setan [2].
Kisah
ini juga memberikan faedah bahwasannya seorang muslim mujtahid[3] apabila berkata-kata dengan perkataan yang
mengandung kekufuran tanpa ia sadari/ketahui, lalu ia diperingatkan darinya
sehingga ia bertaubat pada waktu itu juga; maka tidak dikafirkan, sebagaimana
hal itu pernah dilakukan oleh Bani Israaiil dan orang-orang yang meminta kepada
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (agar dibuatkan Dzaatu Anwaath).
Juga memberikan faedah : meskipun tidak dikafirkan[4], ia mesti
diperingatkan dengan sangat keras sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam.
[selesai perkataan Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab].
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah memberikan penjelasan:
[2] Penjelasan
kisah Dzaatu Anwaath dan Bani Israaiil ini terkandung beberapa faedah, yaitu:
Faedah Pertama, manusia – meskipun ia seorang yang ‘alim – kadang
tersembunyi/samar olehnya sebagian perkara kesyirikan. Hal ini mewajibkan bagi
manusia untuk belajar dan berusaha mengetahui sehingga tidak terjatuh dalam
kesyirikan tanpa disadari. Apabila ia mengatakan : ‘aku mengetahui
kesyirikan’, padahal kenyataannya ia tidak mengetahuinya, maka itu merupakan
perkara paling berbahaya yang menimpa seorang hamba, karena termasuk jahil murakkab.
Jahil murakkab lebih jelek daripada jahil basiith (pertengahan),
karena seorang yang tertimpa jahil basith akan belajar dan mengambil
manfaat dari ilmunya. Adapun orang yang tertimpa jahil murakkab, ia
menyangka dirinya tahu – padahal sebenarnya jahil – sehingga ia terus melakukan
perbuatan yang menyelisihi syari’at.
[3] Perkataan beliau : ‘Kisah
ini juga memberikan faedah bahwasannya seorang muslim mujtahid….’; maka ini
adalah Faedah Kedua, yaitu : seorang muslim apabila mengatakan
perkataan yang mengkonsekuensikan kekufuran karena jahil tentangnya, lalu ia
diperingatkan dan kemudian ia bertaubat pada saat itu, maka itu tidak
memudlaratkannya karena ia diberikan ‘udzur atas kejahilannya. Dan ‘Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya’ (QS. Al-Baqarah : 286). Adapun jika ia tetap
melakukannya padahal ia mengetahui perkataan/perbuatan itu adalah kekufuran,
maka ia dihukumi sesuai dengan keadaannya (yaitu kafir).
[4] Perkataan beliau : ‘juga memberikan faedah :
meskipun tidak dikafirkan ….’; maka ini adalah Faedah Ketiga,
yaitu : bahwa ketika seseorang menuntut sesuatu yang mengandung kekufuran tanpa
ia ketahui, maka ia perlu diperingatkan dengan sangat keras, karena Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda kepada para shahabatnya : ‘Allaahu
akbar, sesungguhnya ia adalah
perbuatan orang terdahulu. Sungguh kalian benar-benar
mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal’.
Ini adalah pengingkaran yang sangat nyata/jelas”
[selesai perkataan Ibnul-‘Utsaimiin].
Diterjemahkan dari buku Syarh Kasyfisy-Syubuhaat oleh
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah, halaman
115-119.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 31012015 –
22:10].
[1]
Diriwayatkan oleh Al-Imaam Ahmad
(5/218) dan At-Tirmidziy (no. 1771) dan ia berkata : “Hadits hasan shahih”.
Comments
Posting Komentar