Sebagian ulama Najd dan yang mengikuti mereka
ketika menghukumi sebagian kaum muslimin yang melakukan tindakan kekafiran
namun belum sampai kepadanya hujjah mengatakan : ‘Seandainya kami
tidak mengkafirkannya karena belum sampainya hujjah kepadanya, bukan berarti kami
menghukuminya sebagai muslim, dan ia terhitung seperti ahlul-fatrah’.
Perkataan ini keliru karena bertentangan dengan
kaedah-kaedah yang ada. Bagaimana seorang muslim menjadi tidak berstatus karena
amalan yang ia lakukan dan kemudian dimasukkan dalam golongan ahlul-fatrah ?.
Dua
hal yang mesti dipahami dalam perkara ini adalah:
1.
Seorang muslim tetap dalam keislamannya selama tidak ada hal-hal yang
membatalkan keislamannya.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وليس لأحد ان يكفر
أحدا من المسلمون وان أخطأ وغلط حتى تقام عليه الحجة وتبين له المحجة ومن ثبت
إسلامه بيقين لم يزل ذلك عنه بالشك بل لا يزول الا بعد إقامة الحجة وازالة الشبهة
“Dan tidak boleh bagi seorangpun untuk
mengkafirkan orang lain dari kaum muslimin – walau ia bersalah dan keliru –
sampai ditegakkan padanya hujjah dan dijelaskan kepadanya bukti dan alasan. Barangsiapa yang telah
tetap keislamannya dengan yakin, maka tidaklah hilang darinya hanya karena
sebuah keraguan. Bahkan tidak hilang kecuali setelah ditegakkan kepadanya
hujjah dan dihilangkan darinya syubhat” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 12/466].
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahumallah
berkata:
أن كلَّ مَن ثبت
له عقدُ الإسلام في وقتٍ بإجماعٍ من المسلمين ، ثم أذنبَ ذنباً أو تأوَّل تأويلاً
، فاختلفوا بعدُ في خروجه من الإسلام ؛ لم يكُن لاختِلافهم بعد إجماعهم معنىً
يوجبُ حُجَّةً ، ولا يخرجُ من الإسلام المتفقِ عليه إلا باتفاقٍ آخر ، أو سنةٍ
ثابتةٍ لا مُعارِضَ لها
“Siapa saja dari kalangan
muslimin yang telah tetap keislamannya dalam satu waktu berdasarkan
ijma’/kesepakatan, kemudian ia berbuat satu dosa atau menta’wilkan satu ta’wil
(yang diharamkan), lalu orang-orang berselisih tentang murtad tidaknya orang
itu (akibat perbuatan dosa yang ia lakukan); maka perselisihan mereka setelah
kesepakatannya itu tidak ada artinya sebagai hujjah (akan kekafirannya).
Tidaklah seseorang dikeluarkan dari wilayah Islam yang keislamannya itu telah
disepakati, kecuali dengan kesepakatan yang lain, atau sunnah yang shahih yang tidak bertentangan baginya” [At-Tamhiid, 16/315].
Ibnu ‘Aabidiin rahimahullah menukil:
وَفِي الْفَتَاوَى الصُّغْرَى : الْكُفْرُ شَيْءٌ عَظِيمٌ
فَلَا أَجْعَلُ الْمُؤْمِنَ كَافِرًا مَتَى وَجَدْت رِوَايَةً أَنَّهُ لَا يَكْفُرُ
ا هـ وَفِي الْخُلَاصَةِ وَغَيْرِهَا : إذَا كَانَ فِي الْمَسْأَلَةِ وُجُوهٌ تُوجِبُ
التَّكْفِيرَ وَوَجْهٌ وَاحِدٌ يَمْنَعُهُ فَعَلَى الْمُفْتِي أَنْ يَمِيلَ إلَى الْوَجْهِ
الَّذِي يَمْنَعُ التَّكْفِيرَ تَحْسِينًا لِلظَّنِّ بِالْمُسْلِمِ
“Dalam Al-Fataawaa Ash-Shughraa disebutkan
: ‘Kekufuran merupakan suatu perkara yang sangat besar. Maka
aku tidak akan menjadikan seorang mukmin berstatus kafir ketika aku dapatkan
satu riwayat bahwasannya ia tidak kafir’. Dalam kitab Al-Khulaashah
dan yang lainnya disebutkan : ‘Apabila dalam satu permasalahan terdapat
beberapa sisi yang mengkonsekuensikan pengkafiran, namun ada satu sisi yang
mencegah adanya pengkafiran tersebut, maka wajib bagi seorang mufti untuk
membawanya pada sisi yang mencegah pengkafirkan sebagai bentuk persangkaan baik
kepada seorang muslim” [Raddul-Mukhtaar, 16/256].
Keislaman seseorang
diketahui melalui pengucapan dua kalimat syahadat atau dilahirkan dari orang
tua muslim. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ
يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak dilahirkan
dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi,
atau Nashrani, atau Majusi” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1385].
Oleh karena itu, tidak ada
status ‘abstain’ bagi seorang yang sudah tetap keislamannya. Jika seorang
muslim tidak melakukan kekafiran atau melakukan kekafiran namun tidak terpenuhi
syarat-syarat pengkafiran dan ada faktor penghalangnya; maka statusnya tetap
muslim. Namun jika sebaliknya, statusnya berubah dari muslim menjadi kafir. So,
simple…..
Tidak ada status manzilah
baina manzilatain dalam perkara ini sebagaimana diikrarkan kalangan Mu’tazillah;
tidak beriman, tidak pula kafir.
2.
Era ahlul-fatrah
berakhir dengan diutusnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Ada beberapa definisi secara istilah yang
dikemukakan para ulama, akan tetapi kesemuanya mengkerucut pada orang-orang
yang hidup pada masa kevakuman risalah kenabian[1]. Setelah
diutusnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam maka putuslah era fatrah,
karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا يَسْمَعُ
بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِيٌّ، وَلَا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ
يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di Tangan-Nya.
Tidaklah ada seorang pun dari umat ini yang mendengar tentangku, baik Yahudi
maupun Nashrani, kemudian ia meninggal dalam keadaan tidak beriman kepada apa
yang aku diutus dengannya, kecuali ia termasuk penduduk neraka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 153].
Lantas, bagaimana bisa dikatakan seorang muslim
tiba-tiba berstatus hukum menjadi ahlul-fatrah hanya karena tidak
mengetahui sebagian perkara ushuuluddiin sehingga ia melakukan beberapa
perkara kekufuran dan kesyirikan tanpa ia sadari ?. Ini jelas keluar dari
definisi yang disepakati oleh ulama.
Jika mereka mengatakan tidak
mengkafirkan muslim yang melakukan sebagian perkara kekufuran atau kesyirikan
karena belum sampai padanya hujjah, namun kemudian menyamakannya dengan ahlul-fatrah;
itu sama saja menghukumi kekafirannya. Hal
ini dikarenakan hukum dunia bagi ahlul-fatrah adalah kafir berdasarkan ijmaa’.
Asy-Syaikh Ishaaq bin ‘Abdirrahmaan
bin Hasan rahimahumullah berkata:
بل أهل الفترة الذين لم تبلغهم الرسالة والقرآن وماتوا
على الجاهلية لا يسمون مسلمين بالإجماع ولا يستغفر لهم وإنما اختلف أهل العلم في تعذيبهم
“Bahkan ahlul-fatrah yang belum sampai kepada
mereka risalah dan Al-Qur’an, yang meninggal di atas kejahiliyyahan, tidak
dinamakan sebagai orang-orang muslim berdasarkan ijmaa’. Mereka tidak boleh
dimintakan ampunan. Para ulama hanya berbeda
pendapat tentang adzab mereka kelak di akhirat” [‘Aqiidatul-Muwahhidiin,
hal. 151].
Orang yang tidak boleh
dimintakan ampun adalah orang yang di dunia dihukumi kafir, berdasarkan firman
Allah ta’ala:
مَا كَانَ لِلنّبِيّ وَالّذِينَ آمَنُوَاْ أَن يَسْتَغْفِرُواْ
لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوَاْ أُوْلِي قُرْبَىَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيّنَ لَهُمْ
أَنّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang
yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun
orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka,
bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam” [QS.
At-Taubah : 113].
Sababun-Nuzul (sebab turunnya) ayat ini adalah berkaitan dengan permohonan Nabi shallallaahu
’alaihi wa sallam kepada Allah ta’ala untuk memintakan ampun ibunya
(namun kemudian Allah tidak mengijinkannya).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى
الله عليه وسلم اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لِأُمِّي فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي
وَاسْتَأْذَنْتُهُ أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي
Dari Abi Hurairah radliyallaahu ’anhu, ia
berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam : ”Sesungguhnya
aku telah memohon ijin Rabb-ku untuk memintakan ampun ibuku, dan Ia tidak
mengijinkanku. Namun Ia mengijinkan aku untuk menziarahi kuburnya” [Diriwayatkan oleh
Muslim no. 976, Abu Dawud no. 3234, An-Nasa’i dalam Ash-Shughraa no.
2034, Ibnu Majah no. 1572, dan yang lainnya].
Dengan demikian, Anda
dapat melihat adanya paradoks yang nyata.[2]
Status
tidak kafir namun tidak muslim ini memang membingungkan. Bahkan, Asy-Syaikh
Shaalih Aalusy-Syaikh hafidhahullah mengkritik pendapat ini dengan
argumentasi yang senada dengan di atas[3].
Meskipun kita mencintai dan menghormati para ulama kita, namun kebenaran
lebih kita cintai daripada mereka.
Wallaahu
a’lam.
[abul-jauzaa’
– wonogiri – 28122014 – 22:00].
[1] Pembahasan
beberapa istilah ini dapat dibaca dalam buku Al-Aaayaat wal-Ahaadiits
wal-Aatsaar Al-Waaridah fii Ahlil-Fatrah (tesis Univ. Ummul-Quraa) oleh Marwaan
Al-Hamdaan hal. 5-7.
[2] Paradoksnya
lagi, sebagian ‘mereka’ membawa teks-teks para ulama yang menegaskan tidak
mengkafirkan seseorang hingga tegak padanya hujjah, kepada ijtihad sebagian
ulama Najd ini. Sehingga, ketika Ibnu Taimiyyah rahimahullah – misalnya –
mengatakan tidak mengkafirkan sebagian kaum muslimin yang jatuh dalam perkara syirik
akbar peribadahan kepada orang-orang yang telah meninggalkan dari kalangan Nabi
dan orang-orang shaalih; juga dianggap tidak mengatakannya sebagai muslim.
Pendapat beliau rahimahullah ini dipaksa agar sesuai dengan pendapat
sebagian ulama Najd rahimahumullah. Ini adalah kekeliruan yang nyata
lagi tidak mengindahkan koridor-koridor ilmiah.
Comments
Ustadz abul jauza kurang memahami pembahasan asma wa ahkam dalam masalah takfir, sehingga beliau bingung, padahal tdk ada yg salah dalam ucapan sebagian ulama nejd.
Posting Komentar