Salah
satu syarah ulama yang paling baik terhadap kitab Kaysfusy-Syubuhaat karangan
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab adalah syarah yang diberikan oleh
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahumallah. Meskipun
ringkas[1],
di dalamnya terkandung banyak faedah, kaedah-kaedah ilmiah, dan jawaban-jawaban
yang kuat terhadap syubhat atau permasalahan yang berkaitan dengan ketauhidan
dan kesyirikan. Melalui tulisan ini, saya akan coba terjemahkan satu bagian
dari kitab tersebut yang membahas pandangan Asy-Syaikh Ibnul-‘Utsaimiin
terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab dalam permasalahan ‘udzur kejahilan.
Bagi yang pernah membaca atau membahasnya, maka ini sebagai pengingat dan
penegasan kembali.
Setelah
menyebutkan realitas kebodohan manusia terhadap ketauhidan dan kesyirikan, Asy-Syaikh
Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah menyebutkan dua faedah,
diantaranya:
وأفادك
أيضاً الخوفَ العظيمَ.
فَإِنَّكَ
إِذاَ عَرَفْتَ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَكْفُرُ بِكَلِمَة يخرجهَا مِنْ لِسَانِهِ
وَقَدْ يَقُولُهَا وَهُوَ جَاهِلٌ فَلَا يُعْذَرُ بِالْجَهْل.....
“Dan juga memberikan kepadamu
faedah adanya rasa takut yang besar.
Hal itu dikarenakan apabila
engkau mengetahui bahwa manusia menjadi kafir akibat satu kalimat yang ia
ucapkan dari lisannya dalam keadaan ia jahil (tidak mengetahui), maka ia tidak
diberikan ‘udzur atas kejahilannya tersebut…..” [selesai].
Setelah
itu Asy-Syaikh Muhammad bin
Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah memberikan penjelasan sebagai
berikut:
“Komentar kami terhadap
perkataan Penulis rahimahullah ini:
Pertama, kami
tidak memandang bahwa Asy-Syaikh rahimahullah berpendapat meniadakan
‘udzur kejahilan. Allahumma, kecuali jika orang tersebut meremehkannya
dengan meninggalkan belajar,
seperti misal ia mendengar kebenaran namun tidak berpaling kepadanya dan tidak
pula mau belajar. Maka yang seperti ini tidak diberikan ‘udzur kejahilan. Saya
mengatakan demikian karena Asy-Syaikh memiliki perkataan lain yang menunjukkan
adanya pemberian ‘udzur kejahilan. Beliau rahimahullahu ta’ala pernah
ditanya sesuatu yang menyebabkan seseorang diperangi dan dikafirkan.
Beliau rahimahullah menjawab:
”Rukun Islam yang lima, yang
pertama adalah mengucapkan dua kalimat syahadat, kemudian rukun Islam yang
empat lainnya. Rukun Islam yang empat tersebut, apabila ia menetapkannya namun
meninggalkannya (tidak melakukannya) karena meremehkannya, maka kami
memeranginya tanpa mengkafirkannya dengan sebab ia meninggalkan empat rukun
Islam tersebut. Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang meninggalkannya
karena malas tanpa adanya pengingkaran (terhadap kewajibannya). Kami tidak
mengkafirkan kecuali apa yang telah disepakati seluruh ulama, yaitu
(meninggalkan) dua kalimat syahadat.
Selain itu, kami mengkafirkan
seseorang setelah adanya pengetahuan (yaitu) apabila ia telah mengetahuinya dan
(kemudian) mengingkarinya. Kami katakan : Musuh-musuh kami itu bermacam-macam,
yaitu:
1.
Orang yang mengetahui tauhid merupakan agama Allah dan
Rasul-Nya dimana tauhid ini adalah yang kami dakwahkan kepada manusia; dan orang itu juga mengakui bahwa keyakinan-keyakinan terhadap batu, pohon, dan manusia yang dianut
banyak manusia merupakan kesyirikan terhadap Allah dimana Allah dan Rasul-Nya telah
melarangnya, dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerangi
pelakunya agar agama seluruhnya hanya untuk Allah; namun orang tersebut tidak
memperhatikan tauhid, tidak mempelajarinya, tidak memeluknya, dan juga tidak
meninggalkan kesyirikan; maka ia kafir. Kami memeranginya dengan sebab
kekufurannya. Hal itu dikarenakan ia mengetahui agama Rasul namun tidak
mengikutinya, mengetahui kesyirikan namun tidak meninggalkannya – meskipun ia
tidak membenci agama Rasul dan orang-orang yang memeluknya, serta tidak pula
memuji kesyirikan dan tidak menghiasinya kepada manusia.
2.
Orang yang mengetahui
hal tersebut di atas, akan tetapi ia terbukti mencaci/menghina agama Rasul
meskipun ia mengaku mengamalkannya; terbukti memuji orang yang menyembah Yuusuf
dan Al-Asyqar, serta orang yang menyembah Abu ‘Aliy dan Al-Khidlr dari kalangan
penduduk Kuwait; mengutamakan mereka daripada orang yang mentauhidkan Allah dan
meninggalkan kesyirikan; maka orang ini lebih besar (kekafirannya) dibandingkan
jenis orang yang pertama. Dalam hal ini Allah ta’ala berfirman:
فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا
عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ
“Maka
setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar
kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang kafir itu” [QS.
Al-Baqarah : 89].
Orang
tersebut termasuk yang difirmankan Allah ta’ala:
وَإِنْ نَكَثُوا
أَيْمَانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِي دِينِكُمْ فَقَاتِلُوا
أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لا أَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ
“Jika
mereka merusak sumpah (janji) nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca
agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena
sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya,
agar supaya mereka berhenti” [QS. At-Taubah : 12].
3.
Orang yang
mengetahui tauhid, mencintainya, dan mengikutinya, serta mengetahui kesyirikan
dan meninggalkannya; akan tetapi ia membenci orang yang memeluk tauhid dan
mencintai orang-orang yang melakukan kesyirikan; maka orang ini juga berstatus
kafir. Dalam hal ini Allah ta’ala berfirman:
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا
مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ
“Yang
demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan
Allah (Al-Qur'an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka”
[QS. Muhammad : 9].
4.
Orang yang selamat
dari hal-hal tersebut di atas, akan tetapi penduduk negerinya secara jelas
menampakkan permusuhan kepada ahlut-tauhid dan mengikuti pelaku
kesyirikan, serta berusaha keras memerangi mereka (ahlut-tauhid); namun
ia berdalih bahwa meninggalkan negerinya akan memberatkannya sehingga ia malah
ikut memerangi ahlut-tauhid bersama penduduk negerinya dengan harta dan
jiwanya; maka orang ini juga berstatus kafir. Hal ini dikarenakan seandainya orang-orang
itu diperintahkan (penduduk negerinya) untuk meninggalkan puasa Ramadlaan dan
menikahi istri ayahnya, niscaya ia melakukannya juga. Turut-sertanya mereka
dalam peperangan yang dikobarkan penduduk negerinya (terhadap ahlut-tauhid)
dengan jiwa dan hartanya, padahal penduduk negerinya bermaksud untuk memutuskan
agama Allah dan Rasul-Nya; maka perkaranya jauh lebih besar dari itu (perbuatan
penduduk negerinya), sehingga orang tersebut pun kafir. Ia termasuk golongan
yang ada dalam firman Allah ta’ala:
سَتَجِدُونَ آخَرِينَ
يُرِيدُونَ أَنْ يَأْمَنُوكُمْ وَيَأْمَنُوا قَوْمَهُمْ كُلَّمَا رُدُّوا إِلَى
الْفِتْنَةِ أُرْكِسُوا فِيهَا فَإِنْ لَمْ يَعْتَزِلُوكُمْ وَيُلْقُوا إِلَيْكُمُ
السَّلَمَ وَيَكُفُّوا أَيْدِيَهُمْ فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ
ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأُولَئِكُمْ جَعَلْنَا لَكُمْ عَلَيْهِمْ سُلْطَانًا مُبِينًا
“Kelak
kamu akan dapati (golongan-golongan) yang lain, yang bermaksud supaya mereka
aman daripada kamu dan aman (pula) dari kaumnya. Setiap mereka diajak kembali
kepada fitnah (syirik), mereka pun terjun ke dalamnya. Karena itu jika mereka
tidak membiarkan kamu dan (tidak) mau mengemukakan perdamaian kepadamu, serta
(tidak) menahan tangan mereka (dari memerangimu), maka tawanlah mereka dan
bunuhlah mereka di mana saja kamu menemui mereka, dan merekalah orang-orang
yang Kami berikan kepadamu alasan yang nyata (untuk menawan dan membunuh)
mereka” [QS. An-Nisaa’ : 91].
Inilah
yang kami katakan.
Adapun kedustaan dan kebohongan seperti
perkataan mereka : Sesungguhnya kami mengkafirkan masyarakat umum, kami
mewajibkan hijrah kepada kami terhadap orang yang mampu menampakkan agamanya,
kami mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan dan tidak mau berperang
(bersama kami), dan yang semisal ini banyak sekali; maka ini termasuk kedustaan
dan kebohongan yang bertujuan untuk mencegah manusia dari agama Allah dan
Rasul-Nya.
Dan
apabila kami tidak mengkafirkan orang yang beribadah kepada berhala yang berada
di kubur ‘Abdul-Qaadir, berhala yang berada di atas kubur Ahmad Al-Badawiy, dan
yang semisalnya dikarenakan kejahilan mereka dan ketiadaan orang yang
memperingatkan mereka (dari kesyirikan tersebut), lantas bagaimana bisa kami
mengkafirkan orang yang tidak berbuat kesyirikan kepada Allah apabila ia tidak
berhijrah kepada kami, atau tidak ikut mengkafirkan, atau tidak ikut berperang
(bersama kami) ?.
سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ
عَظِيمٌ
“Maha
Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar" [QS. An-Nuur
: 19].
Akan
tetapi yang kami kafirkan adalah empat golongan di atas karena penyimpangan
mereka dari jalan Allah dan Rasul-Nya. Semoga Allah merahmati seseorang yang melihat dirinya dan mengetahui
bahwa ia membutuhkan Allah yang memiliki surga dan neraka. Shalawat dan salam
semoga Allah limpahkan kepada Muhammad, keluarganya, dan para shahabatnya”. ( -
selesai perkataan Ibnu ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah - )[2].
Keterangan tambahan:
Perbedaan pendapat dalam
permasalahan ‘udzur kejahilan seperti halnya perbedaan-perbedaan pendapat
fiqhiyyah ijtihadiyyah lainnya[3]. Kadangkala perbedaan
pendapat itu hanyalah perbedaan secara lafadh dikarenakan perbedaan penerapan
hukum terhadap orang tertentu pada waktu yang berbeda-beda. Maksudnya, semua
bersepakat bahwa satu perkataan, perbuatan, atau meninggalkan sesuatu dihukumi
kufur; akan tetapi apakah hukum tersebut dapat ditetapkan terhadap orang
tertentu karena keberadaan syarat pengkafiran dan ketiadaan penghalangnya,
ataukah tidak dapat ditetapkan karena hilangnya sebagian syarat atau keberadaan
sebagian penghalangnya ?.
Kejahilan terhadap perkara
kekufuran ada dua jenis:
1.
Kejahilan yang ada pada diri seseorang yang beragama
selain agama Islam atau tidak beragama sama sekali, dimana tidak terlintas
dalam benaknya bahwa ada agama yang menyelisihi apa yang ia anut. Dalam hal
ini, diberlakukan padanya hukum-hukum yang nampak di dunia (yaitu kafir).
Adapun di akhirat, perkaranya terserah kepada Allah ta’ala. Pendapat
yang raajih, kelak ia akan diuji di akhirat sesuai dengan kehendak Allah
‘azza wa jalla. Dan Allah lebih mengetahui tentang perbuatan yang mereka
lakukan. Kita hanya mengetahui bahwa ia tidak akan masuk neraka kecuali dengan
sebab dosa yang ia lakukan, berdasarkan firman-Nya ta’ala:
وَلا يَظْلِمُ رَبُّكَ
أَحَدًا
“Dan Tuhanmu tidak akan berbuat dhalim kepada
seorang pun juga’ [QS. Al-Kahfi : 49].
Kita hanya mengatakan bahwa yang diberlakukan padanya adalah
hukum-hukum yang nampak di dunia, yaitu hukum-hukum kekufuran, karena ia tidak
beragama Islam sehingga kita tidak mungkin memberikan hukum kepadanya sebagai
muslim. Dan kita hanya mengatakan bahwa yang raajih bahwasannya kelak ia
akan diuji di akhirat berdasarkan banyak atsar sebagaimana disebutkan
oleh Ibnul-Qayyim rahimahullahu ta’ala dalam kitabnya yang berjudul Thariiqul-Hijratain
saat beliau menjelaskan madzhab kedelapan tentang anak-anak orang musyrik dalam
bahasan kelompok orang dalam thabaqah keempatbelas[4].
2.
Kejahilan yang ada pada diri seseorang yang memeluk
agama Islam, akan tetapi ia hidup dalam kekafiran dan tidak terlintas dalam
benaknya bahwa hal tersebut menyelisihi agama Islam, tanpa ada seorangpun yang
memberikan peringatan kepadanya; maka diberlakukan padanya hukum-hukum Islam
secara dhaahir. Adapun di akhirat, perkaranya terserah kepada Allah ‘azza
wa jalla. Hal ini berdasarkan pada Al-Qur’an, As-Sunnah, dan perkataan para
ulama.
Dalil-dalil dari Al-Qur’an antara lain firman-Nya ta’ala:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ
حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا
“Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami
mengutus seorang Rasul” [QS. Al-Israa’ : 15].
وَمَا كَانَ رَبُّكَ
مُهْلِكَ الْقُرَى حَتَّى يَبْعَثَ فِي أُمِّهَا رَسُولا يَتْلُو عَلَيْهِمْ
آيَاتِنَا وَمَا كُنَّا مُهْلِكِي الْقُرَى إِلا وَأَهْلُهَا ظَالِمُونَ
“Dan
tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota
itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak
pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan
melakukan kedhaliman” [QS. Al-Qashshash
: 59].
رُسُلا مُبَشِّرِينَ
وَمُنْذِرِينَ لِئَلا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ
“(Mereka
kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan
agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul
itu” [QS. An-Nisaa’ :
165].
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ
رَسُولٍ إِلا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ
يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Kami tidak mengutus seorang rasul pun,
melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan
terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan
memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki” [QS. Ibraahiim : 4].
وَمَا كَانَ اللَّهُ
لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّى يُبَيِّنَ لَهُمْ مَا يَتَّقُونَ
“Dan
Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi
petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus
mereka jauhi” [QS. At-Taubah
: 115].
وَهَذَا كِتَابٌ
أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ * أَنْ
تَقُولُوا إِنَّمَا أُنْزِلَ الْكِتَابُ عَلَى طَائِفَتَيْنِ مِنْ قَبْلِنَا
وَإِنْ كُنَّا عَنْ دِرَاسَتِهِمْ لَغَافِلِينَ * أَوْ تَقُولُوا لَوْ أَنَّا
أُنْزِلَ عَلَيْنَا الْكِتَابُ لَكُنَّا أَهْدَى مِنْهُمْ فَقَدْ جَاءَكُمْ
بَيِّنَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ
“Dan
Al Qur'an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia
dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat, (Kami turunkan Al Qur'an itu) agar
kamu (tidak) mengatakan: Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan
saja sebelum kami, dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka
baca." Atau agar kamu (tidak) mengatakan: "Sesungguhnya jika kitab
itu diturunkan kepada kami, tentulah kami lebih mendapat petunjuk dari
mereka." Sesungguhnya telah datang kepada kamu keterangan yang nyata dari
Tuhanmu, petunjuk dan rahmat” [QS. Al-An’aam : 155-157].
Dan
ayat-ayat yang lainnya yang menunjukkan bahwa hujjah tidak (dikatakan) tegak
kecuali setelah adanya ilmu dan penjelasan.
Dalil
dari As-Sunnah adalah hadits yang terdapat dalam Shahiih Muslim 1/134
dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ
بِيَدِهِ، لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ - يعني أمة الدعوة -
يَهُودِيٌّ، وَلَا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي
أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi
Allah yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidak seorang pun dari kalangan
umatku – yaitu umat dakwah – baik ia orang Yahudi maupun Nashrani yang
mendengar tentang dakwahku, kemudian ia mati dalam keadaan tidak beriman kepada
agama yang aku diutus dengannya, kecuali ia pasti termasuk penduduk neraka”.
Adapun perkataan
ulama, penulis kitab Al-Mughniy 8/131 berkata : “Namun apabila ia
termasuk orang yang tidak mengetahui kewajibannya seperti orang yang baru masuk
Islam dan tidak hidup di negeri Islam (Daarul-Islaam), atau hidup di daerah terpencil
dan jauh dari ulama, maka ia tidak dikafirkan”.
Ibnu Taimiyyah
dalam Al-Fataawaa 3/229 berkata: “Aku senantiasa - dan orang-orang yang
bermajelis denganku mengetahui hal tersebut - termasuk orang yang paling keras
melarang menisbatkan individu tertentu kepada kekufuran, kefasiqan dan maksiat,
kecuali apabila telah diketahui bahwa telah ditegakkan hujjah risaaliyyah kepadanya,
di mana orang yang menyelisihi hal itu terkadang menjadi kafir, atau terkadang
menjadi fasiq, atau terkadang menjadi pelaku maksiat. Dan aku tegaskan bahwa
Allah telah mengampuni kekeliruan umat ini, di mana hal ini mencakup kekeliruan
dalam masalah khabariyyah qauliyyah (keyakinan/’aqidah) maupun masalah ‘amaliyyah.
Dan kaum salaf senantiasa saling
berbeda pendapat dalam banyak permasalahan tersebut, namun tidak seorang pun
dari mereka yang bersaksi atas yang lain dengan kekufuran, kefasiqan dan
kemaksiatan”.
………………
“Dan aku telah menjelaskan bahwa apa yang ternukil
dari salaf dan para imam dalam memutlakkan perkataan dengan kekafiran terhadap
orang yang mengatakan demikian dan demikian, maka ini juga benar. Akan tetapi
wajib untuk membedakan antara pemutlakan dan ta’yiin (memvonis individu).
………………
“Dan pengkafiran itu termasuk ancaman (wa’iid).
Meskipun satu perkataan merupakan pendustaan terhadap sabda Rasul shallallaahu
‘alaihi wa sallam, akan tetapi boleh jadi orang yang mengucapkannya baru
masuk Islam atau hidup di daerah terpencil; maka yang seperti ini tidaklah
dikafirkan dengan sebab pengingkaran terhadap apa yang diingkarinya hingga
ditegakkan padanya hujjah. Dan kadang pula orang tersebut belum mendengar
nash-nash tersebut, atau telah mendengarnya namun tidak shahih menurutnya, atau
dihadapkan kepadanya hal-hal yang bertentangan yang mewajibkan dirinya untuk
menakwilkannya meskipun ternyata ia keliru” – selesai perkataan Ibnu Taimiyyah
- .
Syaikhul-Islaam Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab berkata
dalam Ad-Durarus-Saniyyah 1/56 : “Tentang pengkafiran, maka
aku mengkafirkan orang yang mengetahui agama Rasul, kemudian setelah mengetahuinya
ia mencelanya dan memusuhi orang yang menjalankannya. Orang yang seperti
inilah yang aku kafirkan”.
Pada halaman 66
beliau berkata: “Adapun kedustaan dan kebohongan seperti perkataan mereka :
Sesungguhnya kami mengkafirkan masyarakat umum dan kami mewajibkan hijrah
kepada kami terhadap orang yang mampu menampakkan agamanya, maka semua ini
termasuk kedustaan dan kebohongan yang bertujuan untuk mencegah manusia dari
agama Allah dan Rasul-Nya.
Dan apabila kami
tidak mengkafirkan orang yang beribadah kepada berhala yang berada di kubur
‘Abdul-Qaadir, berhala yang berada di atas kubur Ahmad Al-Badawiy, dan yang
semisalnya dikarenakan kejahilan mereka dan ketiadaan orang yang memperingatkan
mereka (dari kesyirikan tersebut), lantas bagaimana bisa kami mengkafirkan
orang yang tidak berbuat syirik kepada Allah apabila ia tidak berhijrah kepada
kami, atau tidak ikut mengkafirkan, atau tidak ikut berperang ?” – selesai
perkataan Ibnu ‘Abdil-Wahhaab - .
Maka,
nash-nash Al-Qur’an, As-Sunnah, dan perkataan para ulama ini sesuai dengan hikmah
Allah ta’ala, kelembutan-Nya, kemurahan-Nya dimana Allah tidak akan
mengadzab seseorang hingga ia diberikan peringatan. Dan akal tidak mampu mendapatkan
pengetahuan tentang hak-hak
Allah yang diwajibkan kepadanya (tanpa adanya penjelasan/peringatan). Dan
seandainya akal mampu mendapatkannya, maka hujjah pengutusan para Rasul
tidaklah berhenti dengannya.
Asal dari orang yang
menisbatkan diri pada Islam adalah tetap keislamannya hingga dipastikan ada
sesuatu yang menghilangkannya berdasarkan dalil syar’iy. Tidak boleh
bermudah-mudahan dalam pengkafirannya, karena dalam hal tersebut terdapat dua bahaya
yang sangat besar, yaitu (1) kedustaan atas Allah ta’ala dalam hukum dan
(2) kedustaan atas orang yang dihukumi dalam menyifatan yang ia dicela
dengannya.
Tentang perkara pertama, maka
hal itu jelas ketika ia menghukumi kekufuran terhadap orang yang tidak
dikafirkan Allah ta’ala, maka yang demikian sama seperti orang yang
mengharamkan apa yang dihalalkan Allah; karena penghukuman kafir tidaknya
seseorang kembali pada Allah semata seperti hukum haram atau tidak haramnya
sesuatu.
Adapun perkara kedua, maka
penyifatan seorang muslim dengan sifat kebalikan yang ada pada dirinya, lalu
mengatakan : ‘Sesungguhnya ia kafir’ – padahal ia berlepas diri dari kekafiran
tersebut, maka penyifatan kekafiran itu berakibat kembali kepada dirinya. Hal
ini berdasarkan hadits yang terdapat dalam Shahiih Muslim dari ‘Abdullah
bin ‘Umar radliyallaahu : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ
أَخَاهُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
“Apabila seseorang
mengkafirkan saudaranya, maka kekafiran itu akan kembali pada salah seorang
diantara keduanya”.[5]
Dalam riwayat lain:
إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ،
وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ
“Apabila orang yang dituduh
memang seperti yang ia katakan (yaitu kafir). Jika tidak, maka kekafiran itu
akan kembali pada dirinya”.[6]
Dari hadits Abu Dzarr radliyallaahu
‘anhu : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَمَنْ دَعَا رَجُلًا
بِالْكُفْرِ، أَوَ قَالَ: عَدُوَّ اللَّهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ، إِلَّا حَارَ
عَلَيْهِ
“Dan
barangsiapa yang memanggil seseorang dengan kekafiran, atau ia berkata : ‘Musuh
Allah’, padahal kenyataannya tidak seperti itu, niscaya panggilan tersebut
kembali pada dirinya”.[7]
Dan sabda beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu ‘Umar:
إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ
“Apabila orang yang dituduh
memang seperti yang ia katakan”
maksudnya : kafir menurut hukum
Allah ta’ala.
Begitu juga dengan sabda beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Dzarr:
وَلَيْسَ كَذَلِكَ
“Padahal
kenyataannya tidak seperti itu”
maksudnya : tidak kafir menurut
hukum Allah ta’ala.
Inilah bahaya yang kedua, yaitu
kembalinya sifat kekafiran kepada pengucapnya apabila saudaranya berlepas diri
dari tuduhan tersebut. Dan ini merupakan bahaya yang sangat besar yang hampir
saja seseorang terjatuh padanya. Hal itu dikarenakan umumnya orang yang
terburu-buru menyifati seorang muslim dengan kekafiran itu ‘ujub
terhadap ilmu yang dimilikinya dan memandang rendah orang lain, sehingga
tergabunglah sifat ‘ujub yang mengakibatkan sia-sia amalannya dan
kesombongan yang mengakibatkan ‘adzab Allah ta’ala di neraka kelak,
sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daawud dari Abu
Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda :
قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ :
الْكِبْرِيَاءُ رِدَائِي، وَالْعَظَمَةُ إِزَارِي، فَمَنْ نَازَعَنِي وَاحِدًا
مِنْهُمَا قَذَفْتُهُ فِي النَّارِ
“Allah ‘azza wa jalla
iberfirman : ‘Kesombongan adalah selendang-Ku dan keagungan adalah sarung-Ku.
Barangsiapa yang berani yang melepaskannya dariku salah satu diantara keduanya,
niscaya akan Aku lemparkan ia ke dalam neraka”.[8]
Maka wajib sebelum menghukumi
kekafiran untuk memperhatikan dua hal berikut:
a.
Petunjuk dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang hal yang
mengkafirkan seseorang, agar kita tidak mengada-adakan kedustaan terhadap
Allah.
b.
Penerapan hukum terhadap individu tertentu ketika
telah terpenuhi syarat-syarat pengkafiran padanya dan tidak adanya
penghalang-penghalang.
Termasuk syarat terpenting bahwa
ia mesti mengetahui tentang perkara penyelisihannya/penyimpangannya yang
mengkonsekuensikan kekufuran dirinya, berdasarkan firman Allah ta’ala:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ
مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ
الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa
yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang
bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang
telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu
seburuk-buruk tempat kembali” [QS. An-Nisaa’ : 115].
Hukuman adzab
neraka dipersyaratkan adanya penentangan kepada rasul setelah jelas baginya
petunjuk/kebenaran.
Akan tetapi,
apakah dipersyaratkan juga untuk mengetahui akibat dari penyimpangannya berupa
kekafiran atau yang lainnya, ataukah cukup bagi dirinya untuk sekedar mengetahui
penyimpangannya meskipun ia tidak mengetahui akibatnya ?
Jawabannya
adalah yang kedua, yaitu sekedar pengetahuannya akan penyimpangan dirinya (dalam kekafiran) cukup untuk menentukan
konsekuensi hukumnya, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tetap
mewajibkan kaffaarah terhadap orang yang berjima’ pada waktu siang hari bulan
Ramadlaan dalam keadaan ia mengetahui penyimpangannya meskipun tidak tahu
(jahil) atas hukum kaffaarat-nya. Orang yang berzina dan telah menikah
yang mengetahui haramnya zina tetap dirajam meskipun ia tidak tahu (jahil)
terhadap akibat dari perbuatan zina yang dilakukannya. Dan boleh jadi sendainya
ia hanya
sekedar mengetahui apa itu
zina (namun ia melakukan zina, maka ia tetap dirajam).
Termasuk diantara penghalang dalam
pengkafiran adalah dipaksa melakukan kekafiran, berdasarkan firman-Nya ta’ala:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ
بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ وَلَكِنْ
مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ
عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah
sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa
kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan
tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah
menimpanya dan baginya azab yang besar” [QS. An-Nahl : 106].
Penghalang dalam pengkafiran yang lain
adalah tertutupnya pikiran dan maksudnya sehingga ia tidak mengetahui apa yang
ia katakan karena terlalu gembira, sedih, marah, takut, dan yang semisalnya;
berdasarkan firman Allah ta’ala:
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ
فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ
غَفُورًا رَحِيمًا
“Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa
yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
[QS. Al-Ahzaab : 5].
Dan hadits yang terdapat dalam Shahiih
Muslim no. 2104 dari Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu :
Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا
بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى
رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلَاةٍ فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ
وَشَرَابُهُ، فَأَيِسَ مِنْهَا، فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا قَدْ
أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ، إِذَا هُوَ بِهَا قَائِمَةً
عِنْدَهُ فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا، ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ اللَّهُمَّ
أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ
“Allah lebih gembira dengan taubat
hamba-Nya ketika ia bertaubat kepada-Nya dibandingkan seseorang di antara
kalian yang ada di atas hewan kendaraannya dalam satu perjalanan di bumi yang
tandus, lalu hewannya tersebut lepas/hilang bersama bekal makanan dan minuman
yang dibawanya, sehingga ia merasa putus asa. Lalu ia mendatangi sebuah pohon,
lalu bersandar untuk berteduh di bawahnya karena sudah putus asa mencari hewan
kendaraannya tersebut. Ketika ia dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba hewannya
tersebut berdiri di sisinya lalu ia memegang
tali kekangnya seraya berkata karena terlalu gembiranya : ‘Ya Allah, Engkau
hambaku dan aku adalah Rabbmu’. Ia keliru (dalam berkata) karena terlalu
gembira”.
Termasuk penghalang kekafiran lainnya adalah
adanya syubhat ta’wil dalam kekufuran sehingga ia menyangkanya sebagai sebuah
kebenaran (bukan kekufuran). Hal itu dikarenakan orang tersebut tidak meyakini
adanya dosa dan penyelisihan (terhadap kebenaran) sehingga ia masuk dalam
firman Allah ta’ala:
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ
فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ
غَفُورًا رَحِيمًا
“Dan
tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada
dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang” [QS. Al-Ahzaab : 5].
Dalam kitab Al-Mughniy 8/131
disebutkan: “Dan sesungguhnya menghalalkan pembunuhan orang yang dilindungi
darahnya dan mengambil hartanya tanpa adanya syubhat dan ta’wil, maka
orang tersebut dihukumi kafir. Namun apabila ia melakukannya karena ta’wil
seperti kelompok Khawaarij, maka kami telah menyebutkannya bahwa kebanyakan fuqahaa’
tidak menghukumi kekafiran mereka meskipun mereka menghalalkan darah dan harta
kaum muslimin. Mereka melakukannya untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala.......
Dan telah diketahui dari madzhab Khawaarij adanya pengkafiran terhadap banyak
shahabat dan orang-orang setelahnya dengan menghalalkan darah dan harta mereka.
Mereka meyakini bahwa pembunuhan yang mereka lakukan merupakan sarana untuk
mendekatkan diri kepada Rabb mereka. Meskipun demikian, para fuqahaa’ tidak
menghukumi mereka kafir dengan sebab ta’wil yang mereka lakukan. Begitu
juga untuk setiap keharaman yang mereka halalkan karena adanya ta’wil juga
dihukumi yang semisal”.
Dalam Fataawaa Syaikhul-Islaam Ibnu
Taimiyyah 13/30 yang dikumpulkan oleh Ibnu Qaasim disebutkan : “Dan bid’ah
Khawaarij hanyalah disebabkan jeleknya pemahaman mereka terhadap Al-Qur’an. Mereka
tidak bermaksud untuk menentangnya, akan tetapi mereka memahaminya tidak sesuai
dengan yang seharusnya, lalu mereka menyangka wajib untuk mengkafirkan para
pelaku dosa besar”.
Beliau (Ibnu Taimiyyah) rahimahullah berkata
pada (juz 30) halaman 210 : “Sesungguhnya Khawaarij menyelisihi sunnah yang
Al-Qur’an perintahkan untuk mengikutinya, dan mereka juga mengkafirkan kaum
mukminiin yang Al-Qur’an perintahkan untuk berloyalitas kepadanya...... Lalu
mereka mengikuti ayat-ayat Al-Qur’an yang mutasyaabih kemudian
mena’wilkannya dengan ta’wil yang tidak benar, sedangkan mereka sendiri
tidak mengerti maknanya. Mereka tidak mendalam keilmuannya, tidak mengikuti
sunnah, dan tidak mengembalikannya kepada jama’ah kaum muslimin yang memahami
Al-Qur’an”.
Beliau rahimahullah juga berkata
dalam Al-Majmuu’ juz 28 halaman 518 : “Para imam sepakat untuk mencela
Khawaarij dan menyesatkan mereka. Mereka hanyalah berselisih dalam
pengkafirannya yang terbagi dalam dua pendapat yang masyhur”. Akan tetapi
beliau rahimahullah menyebutkan dalam juz 28 halaman 518 : “Tidak ada di
kalangan para shahabat orang yang mengkafirkan mereka (Khawaarij), baik ‘Aliy
bin Abi Thaalib ataupun selain dirinya. Akan tetapi para shahabat menghukumi
mereka dengan hukum kaum muslimin yang berlaku dhalim lagi melakukan
pelanggaran sebagaimana yang telah aku sebutkan atsar-atsar tentang mereka
berkaitan tentang hal ini di tempat lain”. Pada juz 28 halaman 518, beliau rahimahullah
berkata : “Bahwasannya hal ini ternukil dari perkataan para imam seperti
Ahmad dan yang lainnya”.
Pada juz 3 halaman 282, beliau rahimahullah
berkata : “Dan Khawaarij yang keluar dari ketaatan dimana Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam perintahkan untuk memeranginya; telah diperangi oleh
‘Aliy bin Abi Thaalib, salah seorang diantara Al-Khulafaaur-Raasyiduun.
Para ulama dari kalangan shahabat, taabi’iin, dan orang-orang setelahnya juga
bersepakat untuk memerangi mereka. Namun demikian, ‘Aliy bin Abi Thaalib, Sa’d
bin Abi Waqqaash, dan yang lainnya dari kalangan shahabat tidak mengkafirkan
mereka. Bahkan mereka tetap menganggapnya sebagai muslimiin meskipun mereka
memeranginya. ‘Aliy tidaklah memerangi mereka hingga mereka menumpahkan darah
yang diharamkan (untuk ditumpahkan) dan merampok harta kaum muslimin, sehingga
ia (‘Aliy) memeranginya untuk menolak kedhaliman dan kedurhakaan mereka, bukan
karena mereka kafir. Oleh karena itu, istri-istri mereka tidak ditahan dan
harta-harta mereka tidak pula dijadikan ghanimah. Apabila mereka yang
kesesatannya ditetapkan oleh nash dan ijmaa’ tidak dikafirkan meskipun Allah
dan Rasul-Nya memerintahkan untuk memerangi mereka, lantas bagaimana halnya
dengan beberapa kelompok yang menyimpang dikarenakan adanya kesamaran (syubhat)
terhadap kebenaran atas mereka dalam permasalahan yang juga menimpa orang yang
lebih ‘alim dari mereka?. Maka tidak halal bagi seorang pun dari kelompok ini
untuk dikafirkan . Tidak pula halal darah dan harta mereka, meskipun padanya
terdapat kebid’ahan yang nyata. Lalu bagaimana halnya jika orang yang
mengkafirkannya juga berstatus mubtadi’ yang kadang bid’ah yang mereka
lakukan malah lebih parah. Dan yang umum, mereka semuanya adalah orang-orang
jahil (bodoh) terhadap hakekat-hakekat permasalahan yang mereka perselisihkan
padanya.......”.
Sampai beliau rahimahullah berkata :
“Apabila seorang muslim yang berperang atau melakukan pengkafiran karena ta’wil,
maka ia tidak dikafirkan dengan sebab itu”. Kemudian beliau rahimahullah berkata
pada halaman 288 : “Para ulama berselisih pendapat dalam hal khithaab Allah
dan Rasul-Nya, apakah tetap hukumnya pada diri seorang hamba sebelum sampai
kepadanya hujjah. Dalam hal ini ada tiga pendapat dalam madzhab Ahmad dan yang
lainnya..... Dan yang benar adalah (pendapat) yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an
melalui firman-Nya ta’ala :
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ
حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا
“Dan Kami tidak akan mengadzab
sebelum Kami mengutus seorang Rasul” [QS. Al-Israa’ : 15].
رُسُلا مُبَشِّرِينَ
وَمُنْذِرِينَ لِئَلا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ
“(Mereka
kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan
agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul
itu” [QS. An-Nisaa’ :
165].
Dan juga yang ditunjukkan oleh hadits yang
terdapat dalam Shahiihain dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
مَا أَحَد أَحَبُّ إِلَيْهِ
الْعُذْرُ مِنَ اللَّهِ مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ الرُّسُلَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ
“Tidak ada yang lebih suka menerima ‘udzur daripada
Allah. Oleh karena itu, Ia mengutus para rasul untuk member kabar gembira dan
peringatan (kepada manusia)”[9] – selesai perkataan Ibnu
Taimiyyah - .
Kesimpulannya : Orang yang jahil diberikan ‘udzur terhadap perkataan
atau perbuatannya yang mengandung kekufuran sebagaimana ia juga diberikan
‘udzur terhadap perkataan atau perbuatannya yang mengandung kefasikan. Hal itu
berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, pertimbangan,
dan perkataan para ulama”.
[selesai perkataan Asy-Syaikh
Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin dalam Syarh Kasyfisy-Syubuhaat, hal.
46-62].
[Abul-Jauzaa’ – perumahan ciomas permai, 18012015 – 15:07].
[1] Matan kitab yang saya pegang adalah
cetakan Daaruts-Tsurayaa.
[2] Lihat : Fataawaa wa Rasaail, juz 4,
hal. 9-12, tahqiq : Shaalih bin ‘Abdirrahmaan Al-Athram & Muhammad bin
‘Abdirrazzaaq Ad-Duwaisy; Univ. Muhammad bin Su’uud – Abul-Jauzaa’.
[3] Sekaligus ini sanggahan kecil terhadap
pandangan orang-orang belakangan yang menyangka adanya ijmaa’ (?!) peniadaan
‘udzur kejahilan dalam masalah ‘aqidah atau syirik akbar – Abul-Jauzaa’.
[4] Lihat selengkapnya : Thariiqul-Hijratain,
hal. 864-877, tahqiq : Muhammad Ajmal Al-Idllaahiy, takhrij : Zaaid bin Ahmad
An-Nusyairiy, Isyraf : Bakr Abu Zaid; Daaru ‘Aalamil-Fawaaid, Cet. 1/1429 –
Abul-Jauzaa’.
[5] Diriwayatkan oleh Muslim/Kitaabul-Iimaan/Baab
: Bayaan Haal Man Qaala l-Akhiihi Yaa Kaafir.
[6] Idem.
[7] Diriwayatkan oleh Muslim/Kitaabul-Iimaan/Baab
Bayaan Haal Iimaan Man Raghiba ‘an Abiihi Wahuwa Ya’lam.
[8] Diriwayatkan oleh Ahmad 2/376, Abu Daawud/Kitaabul-Libaas/Baab
Maa Jaa-a fil-Kibr, dan Ibnu Maajah/Kitaabuz-Zuhd/Baab Al-Baraa-atu minal-Kibr.
[9] Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy/Kitaabut-Tauhiid/Baab
Qaulun-Nabiy shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Laa Syakhsha Aghyaru minallah
dan Muslim/Kitaabul-La’aan.
Comments
Posting Komentar