Kekeliruan Pendalilan Peniadaan ‘Udzur Kejahilan : Memutlakkan Perkara Al-Ma’luum minad-Diin bidl-Dlaruurah



Sebelumnya, telah lewat bahasan ringkas tentang al-ma’luum mind-diin bidl-dlaruurah di Blog ini. Al-ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah adalah perkara agama yang jelas lagi mutawatir, diketahui oleh semua orang, dan disepakati para ulama secara pasti seperti rukun Islam yang lima, pengharaman perkara-perkara yang keharamannya jelas lagi mutawatir seperti zina, riba, dan yang lainnya [Manhaj Al-Imaam Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab, hal. 199].

Kejahilan dalam perkara ini tidak dapat ditoleransi (diberikan ‘udzur) berdasarkan ijmaa’.

Ibnul-Waziir rahimahullah berkata:

لا خلاف في كفر من جحد ذلك المعلوم بالضرورة للجميع، وتستر باسم التأويل فيما لا يمكن تأويله، كالملاحدة في تأويل جميع الأسماء الحسنى، بل جميع القرآن والشرائع والمعاد الأخروي من البعث والقيامة والجنة والنار

“Tidak ada perbedaan pendapat atas kekufuran orang yang mengingkari perkara-perkara yang telah diketahui secara pasti oleh semua orang, dan menutupinya dengan nama ta’wil pada hal yang tidak diperbolehkan untuk dita’wilkan, seperti orang-orang mulhid yang mena’wilkan seluruh al-asmaa’ul-husnaa. Bahkan mena’wilkan seluruh Al-Qur’an, syari’at Islam, dan sesuatu yang berhubungan dengan akhirat seperti kebangkitan, kiamat, surga, dan neraka” [Iitsaarul-Haqq ‘alal-Khalq, 2/268].

Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:

العلم عِلْمان:

(1) علمُ عامَّةٍ، لا يَسَعُ بالِغاً غيرَ مغلوب على عقْلِه جَهْلُهُ...... مثلُ الصَّلَوَاتِ الخمس، وأن لله على الناس صومَ شهْر رمضانَ، وحجَّ البيت إذا استطاعوه، وزكاةً في أموالهم، وأنه حرَّمَ عليهم الزِّنا والقتْل والسَّرِقة والخمْر، وما كان في معنى هذا، مِمَّا كُلِّفَ العِبادُ أنْ يَعْقِلوه ويعْملوه ويُعْطُوه مِن أنفسهم وأموالهم، وأن يَكُفُّوا عنه ما حرَّمَ عليهم منه.

وهذا الصِّنْف كلُّه مِن العلم موجود نَصًّا في كتاب الله، وموْجوداً عامًّا عنْد أهلِ الإسلام، ينقله عَوَامُّهم عن مَن مضى من عوامِّهم، يَحْكونه عن رسول الله، ولا يتنازعون في حكايته ولا وجوبه عليهم.

وهذا العلم العام الذي لا يمكن فيه الغلط مِن الخبر، ولا التأويلُ، ولا يجوز فيه التنازعُ.

“Ilmu ada dua:

Pertama, ilmu umum, yaitu ilmu pasti yang tidak ada kelonggaran bagi orang baaligh yang tidak kehilangan akalnya untuk tidak mengetahuinya (jahil)….. Seperti kewajiban shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadlaan, haji ke Baitullah apabila mereka mampu, menunaikan zakat harta mereka, serta haramnya zina, pembunuhan, mencuri, minum khamr, dan perkara lainnya yang termasuk dalam makna ini yang telah dibebankan kepada hamba-hamba-Nya agar mereka mengetahuinya, mengamalkannya, mentaatinya dengan jiwa dan harta mereka, serta mencegah hal-hal yang telah diharamkan kepada mereka.

Semua jenis pengetahuan ini termasuk pengetahuan yang terdapat dalam Kitabullah, diketahui secara umum di kalangan kaum muslimin, orang-orang awam sekarang mengetahuinya dari orang-orang awam terdahulu, mereka menceritakannya dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka tidak berselisih dalam cerita mereka tersebut dan tidak pula dalam hal kewajiban yang dituntut kepada mereka untuk mematuhinya.

Ilmu umum ini tidak mungkin keliru dalam pengkhabarannya dan pena’wilannya, serta tidak boleh ada perselisihan di dalamnya….” [Ar-Risaalah, hal. 357-359].

Ibnu Rajab rahimahullah berkata :

وفي الجملة فما ترك الله ورسوله حلالا إلا مبيناً، ولا حراماً إلا مبيّناً، لكن بعضه كان أظهر بياناً من بعض، فما ظهر بيانه واشتهر وعلم من الدين بالضرورة من ذلك، لم يبق فيه شكّ، ولا يعذر أحد يجهله في بلد يظهر فيه الإسلام

“Dan secara umum, tidaklah Allah dan Rasul-Nya meninggalkan sesuatu yang halal kecuali menjelaskannya, dan tidak pula meninggalkan sesuatu yang haram kecuali menjelaskannya pula. Akan tetapi sebagiannya lebih jelas dibandingkan sebagian yang lain. Maka apa saja yang penjelasannya jelas, tersebar, diketahui termasuk bagian dari perkara agama yang pasti dan tidak ada keraguan padanya; maka tidak ada ‘udzur  kejahilan bagi seorang pun yang tinggal di negeri Islam” [Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam, hal. 67].

Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata:

وَأَمَّا إذَا كَانَ الْجَاحِدُ لَهَا نَاشِئًا فِي الْأَمْصَارِ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ ، فَإِنَّهُ يُكَفَّرُ بِمُجَرَّدِ جَحْدِهَا ، وَكَذَلِكَ الْحُكْمُ فِي مَبَانِي الْإِسْلَامِ كُلِّهَا ، وَهِيَ الزَّكَاةُ وَالصِّيَامُ وَالْحَجُّ ؛ لِأَنَّهَا مَبَانِي الْإِسْلَامِ ، وَأَدِلَّةُ وُجُوبِهَا لَا تَكَادُ تَخْفَى ، إذْ كَانَ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ مَشْحُونَيْنِ بِأَدِلَّتِهَا ، وَالْإِجْمَاعُ مُنْعَقِدٌ عَلَيْهَا ، فَلَا يَجْحَدُهَا إلَّا مُعَانِدٌ لِلْإِسْلَامِ ، يَمْتَنِعُ مِنْ الْتِزَامِ الْأَحْكَامِ ، غَيْرُ قَابِلٍ لِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى وَلَا سُنَّةِ رَسُولِهِ وَلَا إجْمَاعِ أُمَّتِهِ

“Adapun orang yang mengingkarinya jika ia tinggal di negeri yang berada di antara para ulama, maka ia dikafirkan dengan sebab pengingkarannya tersebut. Begitu juga hukum terkait rukun-rukun Islam yaitu zakat, puasa, dan haji; karena ia termasuk pondasi dasar yang menopang tegaknya Islam dan dalil-dalil kewajibannya bukanlah sesuatu yang samar, sebab Al-Qur’an dan As-Sunnah banyak memuat dalil-dalilnya. Begitu juga dengan ijmaa’ yang memperkuatnya. Maka, tidak ada orang yang mengingkarinya kecuali orang yang menentang Islam, enggan berkomitmen terhadap hukum-hukumnya, lagi tidak menerima Kitabullah ta’ala, sunnah Rasul-nya, dan ijmaa’ umat” [Al-Mughniy, 10/82].

Masih banyak perkataan semisal dari ulama.

Orang yang tidak memberikan ‘udzur kejahilan dalam perkara ‘aqidah dan syirik akbar mengambil perkataan di atas dan kemudian mereka terapkan secara mutlak. Dikarenakan kesyirikan dengan semua cabang dan tingkatannya mereka anggap sebagai al-ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah secara mutlak, maka ‘tidak ada ampun lagi’ bagi para pelakunya selain dihukumi musyrik lagi kafir.

Cara pendalilan seperti ini sangat inkonstitusional, karena perkara al-ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah itu merupakan perkara yang relatif (nisbi) tergantung pada jaman dan tempat. Mungkin satu perkara termasuk al-ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah di suatu tempat, namun tidak di tempat yang lain; atau masuk di suatu jaman tertentu, namun tidak di jaman yang lain. Contoh:

Hingga era taabi’iin, pengetahuan Al-Qur’an adalah Kalaamullah, bukan makhluk merupakan perkara dhaahir (jelas) yang diketahui oleh semua orang.

أبو عبد الله الحافظ قال : سمعتُ أبا زكريا يحيى بن محمد العنبري يقول : سمعت عمران بن موسى الجرجاني بنيسابور يقول : سمعت سويد بن سعيد يقول : سمعت مالك بن أنس وحماد بن زيد وسفيان بن عيينة والفضل بن عياض وشريك بن عبد الله ويحيى بن سليم ومسلم بن خالد وهشام بن سليمان المخزومي وجرير بن عبد الله الحميد وعلي بن مسهر وعبدة وعبد الله بن إدريس وحفص بن غياث ووكيع ومحمد بن فضيل وعبد الرحيم بن سليمان وعبد العزيز بن أبي حازم والدراوردي وإسماعيل بن جعفر وحاتم بن إسماعيل وعبد الله بن يزيد المقري وجميع من حملت عنهم العلم يقولون : الإيمان قول وعمل، ويزيد وينقص، والقرآن كلام الله تعالى، وصفة ذاته غير مخلوق، من قال : إنه مخلوق، فهو كافر بالله العظيم، وأفضل أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم أبو بكر وعمر وعثمان وعلي رضي الله عنهم. قال عمران : وبذلك أقول وبه أدين الله عز وجل، وما رأيت محمديا قط إلا وهو يقوله

Telah mengkhabarkan Abu ’Abdillah Al-Haafidh, ia berkata : Aku mendengar Abu Zakariyyaa Yahyaa bin Muhammad Al-’Anbariy berkata : Aku mendengar ’Imraan bin Muusaa Al-Jurjaaniy di Naisaabuur, ia berkata : Aku mendengar Suwaid bin Sa’iid berkata : Aku mendengar Maalik bin Anas, Hammaad bin Zaid, Sufyaan bin ’Uyainah, Al-Fadhl bin ’Iyaadl, Syariik bin ’Abdillah, Yahyaa bin Sulaim, Muslim bin Khaalid, Hisyaam bin Sulaimaan Al-Makhzumiy, Jariir bin ’Abdillah Al-Humaid, ’Aliy bin Mus-hir, ’Abdah, ’Abdullah bin Idriis, Hafsh bin Ghiyaats, Wakii’, Muhammad bin Fudlail, ’Abdurrahiim bin Sulaimaan, ’Abdul-’Aziiz bin Abi Haazim, Ad-Daraawardiy, Ismaa’iil bin Ja’far, Haatim bin Ismaa’iil, ’Abdullah bin Yaziid Al-Muqriy, dan seluruh ulama yang dikaruniai ilmu, mereka berkata : ”Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang. Al-Qur’an adalah Kalaamullah ta’ala, dan sifat Dzaat-Nya itu bukan termasuk makhluk. Barangsiapa yang mengatakan makhluk, maka ia kafir terhadap Allah Yang Maha Agung. Seutama-utama shahabat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam adalah Abu Bakr, ’Umar, ’Utsmaan, dan ’Aliy radliyallaahu ’anhum”. ’Imraan berkata : ”Dan dengan hal itu aku berkata dan aku beragama dengan agama Allah ’azza wa jalla. Dan tidaklah aku melihat satupun kaum muslimin yang mengikuti ajaran Muhammad kecuali ia juga mengatakannya” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat, 1/605-606 no. 542; shahih].

Namun setelah fitnah Mu’tazillah dan Jahmiyyah muncul dan membesar, perkara ini kemudian menjadi samar bagi banyak orang sehingga para ulama memberi ‘udzur bagi orang-orang jahil yang jatuh dalam kekeliruan ini.  Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah saat ditimpa mihnah (ujian/cobaan) dari para Khaliffah ‘Abbaasiyyah yang mendakwahkan ‘aqidah kufur Khalqul-Qur’aan, beliau berkata :

كل من ذكرني ففي حل إلا مبتدعا، وقد جعلت أبا إسحاق - يعني: المعتصم - في حل، ورأيت الله يقول: (وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ) (النور: 22) وأمر النبي، صلى الله عليه وسلم، أبا بكر بالعفو في قصة مسطح.

قال أبو عبد الله: وما ينفعك أن يعذب الله أخاك المسلم في سببك ؟

“Setiap orang yang menyebut (kejelekan) tentang diriku, maka telah aku halalkan (maafkan) kecuali mubtadi’. Dan aku telah memafkan pula Abu Ishaaq – yaitu Al-Mu’tashim. Aku membaca firman Allah (dalam Al-Qur’an) : ‘dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?’ (QS. An-Nuur : 22). Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr telah memerintahkan untuk memafkan dalam kisah misthah. Apa manfaatnya bagimu ketika Allah menyiksa saudaramu yang muslim dengan sebab dirimu ?” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 11/261].

Di sini, Al-Imaam Ahmad tidak mengkafirkan Al-Mu’tashim rahimahumallah yang terpengaruh ‘aqiidah Khalqul-Qur’aan dengan sebab kebodohannya dan pengaruh orang-orang yang ada di sekitarnya.

Al-Khaththaabiy rahimahullah menceritakan fenomena sebaliknya:

وَهَلْ إِذَا أَنْكَرَت طَائِفَة مِنْ الْمُسْلِمِينَ فِي زَمَاننَا فَرْض الزَّكَاة وَامْتَنَعُوا مِنْ أَدَائِهَا يَكُون حُكْمهمْ حُكْم أَهْل الْبَغْي ؟ قُلْنَا : لَا فَإِنَّ مَنْ أَنْكَرَ فَرْضَ الزَّكَاة فِي هَذِهِ الْأَزْمَان كَانَ كَافِرًا بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ . وَالْفَرْق بَيْن هَؤُلَاءِ وَأُولَئِكَ أَنَّهُمْ إِنَّمَا عُذِرُوا لِأَسْبَابٍ وَأُمُور لَا يَحْدُث مِثْلهَا فِي هَذَا الزَّمَان ، مِنْهَا قُرْبُ الْعَهْد بِزَمَانِ الشَّرِيعَة الَّذِي كَانَ يَقَع فِيهِ تَبْدِيل الْأَحْكَام بِالنَّسْخِ ، وَمِنْهَا أَنَّ الْقَوْم كَانُوا جُهَّالًا بِأُمُورِ الدِّين وَكَانَ عَهْدهمْ بِالْإِسْلَامِ قَرِيبًا فَدَخَلَتْهُمْ الشُّبْهَة فَعُذِرُوا . فَأَمَّا الْيَوْم وَقَدْ شَاعَ دِينُ الْإِسْلَام وَاسْتَفَاضَ فِي الْمُسْلِمِينَ عِلْمُ وُجُوب الزَّكَاة حَتَّى عَرَفَهَا الْخَاصّ وَالْعَامّ ، وَاشْتَرَكَ فِيهِ الْعَالِم وَالْجَاهِل ، فَلَا يُعْذَر أَحَد بِتَأْوِيلِ يَتَأَوَّلهُ فِي إِنْكَارهَا . وَكَذَلِكَ الْأَمْر فِي كُلّ مَنْ أَنْكَرَ شَيْئًا مِمَّا أَجْمَعَتْ الْأُمَّة عَلَيْهِ مِنْ أُمُور الدِّين إِذَا كَانَ عِلْمه مُنْتَشِرًا كَالصَّلَوَاتِ الْخَمْس وَصَوْم شَهْر رَمَضَان وَالِاغْتِسَال مِنْ الْجَنَابَة وَتَحْرِيم الزِّنَا وَالْخَمْر وَنِكَاح ذَوَات الْمَحَارِم وَنَحْوهَا مِنْ الْأَحْكَام إِلَّا أَنْ يَكُون رَجُلًا حَدِيث عَهْدٍ بِالْإِسْلَامِ وَلَا يَعْرِف حُدُوده فَإِنَّهُ إِذَا أَنْكَرَ شَيْئًا مِنْهَا جَهْلًا بِهِ لَمْ يَكْفُر ، وَكَانَ سَبِيله سَبِيل أُولَئِكَ الْقَوْم فِي بَقَاء اِسْم الدِّين عَلَيْهِ .

“Dan apakah jika ada sekelompok orang dari kaum muslimin di jaman kita kewajiban zakat dan enggan untuk menunaikannya dihukumi dengan hukum orang yang membangkang (ahlul-baghiy) ?. Kami berkata : Tidak, karena orang yang mengingkari kewajiban zakat di jaman sekarang adalah kafir berdasarkan ijmaa’ kaum muslimin. Perbedaan antara orang-orang dahulu dan orang-orang di jaman sekarang, karena mereka (orang-orang terdahulu) diberikan ‘udzur karena beberapa sebab, dan perkara tersebut tidak lagi terjadi di jaman sekarang. Di antara perkara yang menyebabkan diberikannya ‘udzur karena masa itu adalah masa awal diberlakukannya syari’at dimana terkadang terjadi perubahan hukum dengan adanya penghapusan. Diantara juga adalah mereka masih jahil tentang perkara-perkara agama karena mereka baru masuk Islam sehingga mereka dihinggapi syubhat dan diberikan ‘udzur.

Adapun di jaman sekarang, agama Islam telah tersebar dan ilmu tentang wajibnya zakat telah tersiar secara luas pada kaum muslimin hingga diketahui oleh baik orang umum maupun orang khusus, atau ulama  maupun orang awamnya yang jahil. Tidak diberikan ‘udzur kepada seorang pun karena alasan ta’wil dalam pengingkarannya. Begitu juga semua orang yang mengingkari perkara yang telah disepakati oleh umat yang ia termasuk diantara perkara-perkara agama yang ilmunya telah tersebar (di kalangan kaum muslimin secara luas) seperti shalat lima waktu, puasa Ramadlaan, mandi dari janabah, serta haramnya zina, khamr, menikahi mahram dan yang lainnya; tidak diberikan ‘udzur, kecuali bagi orang yang baru masuk Islam yang tidak mengetahui ketentuan-ketentuannya, apabila ia mengingkari hal-hal tersebut karena jahil maka tidak dikafirkan. Ia masih dianggap sebagai orang Islam seperti orang-orang Islam lainnya” [Syarh Shahiih Muslim lin-Nawawiy, 1/205].

Meskipun sebelumnya disebutkan perkataan Ibnu Qudaamah tentang pengkafiran orang yang mengingkari perkara-perkara yang dhaahir, namun ia memberikan penjelasan:

وَلَا خِلَافَ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي كُفْرِ مَنْ تَرَكَهَا جَاحِدًا لِوُجُوبِهَا ، إذَا كَانَ مِمَّنْ لَا يَجْهَلُ مِثْلُهُ ذَلِكَ ، فَإِنْ كَانَ مِمَّنْ لَا يَعْرِفُ الْوُجُوبَ ، كَحَدِيثِ الْإِسْلَامِ ، وَالنَّاشِئِ بِغَيْرِ دَارِ الْإِسْلَامِ أَوْ بَادِيَةٍ بَعِيدَةٍ عَنْ الْأَمْصَارِ وَأَهْلِ الْعِلْمِ ، لَمْ يُحْكَمْ بِكُفْرِهِ ، وَعُرِّفَ ذَلِكَ ، وَتُثْبَتُ لَهُ أَدِلَّةُ وُجُوبِهَا ، فَإِنْ جَحَدَهَا بَعْدَ ذَلِكَ كَفَرَ .

“Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kekufuran orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya, apabila ia bukan termasuk orang yang jahil tentang kewajibannya. Namun apabila ia termasuk orang yang tidak mengetahui kewajibannya seperti orang yang baru masuk Islam dan tidak hidup di negeri Islam (Daarul-Islaam), atau hidup di daerah terpencil dan jauh dari ulama, maka ia tidak dikafirkan. Ia wajib diberi tahu dan dijelaskan dalil-dalil kewaibannya. Apabila ia mengingkarinya setelah itu, maka ia kafir” [Al-Mughniy, 10/82].

Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah berkata:

فمن كان من المسلمين يعيش في جو إسلامي علمي مصفى، وجهل من الأحكام ما كان منها معلوماً من الدين بالضرورة- كما يقول الفقهاء- فهذا لا يكون معذوراً؛ لأنه بلغته الدعوة وأقيمت الحجة. وأما من كان في مجتمع كافر لم تبلغه الدعوة، أو بلغته وأسلم؛ ولكن خفي عليه بعض تلك الأحكام لحداثة عهده بالإسلام، أو لعدم وجود من يبلغه ذلك من أهل العلم بالكتاب والسنة؛ فمثل هذا يكون معذوراً. ومثله- عندي- أولئك الذين يعيشون في بعض البلاد الإسلامية التي انتشر فيها الشرك والبدعة والخرافة، وغلب عليها الجهل، ولم يوجد فيهم عالم يبين لهم ما هم فيه من الضلال، أو وجد ولكن بعضهم لم يسمع بدعوته وإنذاره؛ فهؤلاء أيضاً معذورون بجامع اشتراكهم مع الأولين في عدم بلوغ دعوة الحق إليهم؛ لقوله تعالى: (لأنذركم به ومن بلغ) وقوله: (وما كنا معذبين حتى نبعث رسولاً) ، ونحو ذلك من الأدلة ......

“Maka barangsiapa dari kalangan kaum muslimin yang hidup di lingkungan Islami yang diliputi oleh ilmu yang bersih (dari syirik dan bid’ah), lalu ia jahil terhadap hukum-hukum yang termasuk ma’luumaat minad-diin bidl-dlaruurah – sebagaimana dikatakan para fuqahaa’ - , maka tidak diberikan ‘udzur. Hal itu dikarenakan telah sampai kepadanya dakwah dan tegak padanya hujjah. Adapun orang yang tinggal di masyarakat kafir yang tidak sampai dakwah kepadanya, atau telah sampai kepadanya lalu ia masuk Islam namun tersembunyi baginya sebagian hukum-hukum tersebut dikarenakan baru masuk Islam, atau karena ketiadaan orang yang menyampaikannya dari kalangan ‘aalim terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah; maka orang seperti ini diberikan ‘udzur. Dan orang yang semisalnya – menurutku – adalah mereka yang hidup di negeri Islam yang tersebar padanya kesyirikan, bid’ah, dan khurafaat, serta dominannya kejahilan; tidak ada pada mereka seorang ulama yang menjelaskan kesesatan yang ada pada mereka, atau ada ulama namun sebagian mereka tidak mendengar dakwah dan peringatannya; maka mereka semua juga diberikan ‘udzur seperti golongan orang-orang sebelumnya dalam hal ketiadaan penyampaian dakwah yang hak kepada mereka. Dasarnya adalah firman Allah ta’ala : ‘supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al Qur'an (kepadanya)’ (QS. Al-An’aam : 19). ‘dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul’ (QS. Al-Israa’ : 15) ……” [Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah, 7/113].

Apa yang dijelaskan Asy-Syaikh Al-Albaaniy sama seperti yang dijelaskan oleh Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahumallah:

وكثير من الناس قد ينشأ في الأمكنة والأزمنة الذي يندرس فيها كثير من علوم النبوات، حتى لا يبقى من يبلغ ما بعث الله به رسوله من الكتاب والحكمة، فلا يعلم كثيرًا مما يبعث الله به رسوله ولا يكون هناك من يبلغه ذلك، ومثل هذا لا يكفر، ولهذا اتفق الأئمة على أن من نشأ ببادية بعيدة عن أهل العلم والإيمان، وكان حديث العهد بالإسلام، فأنكر شيئًا من هذه الأحكام الظاهرة المتواترة فإنه لا يحكم بكفره حتى يعرف ما جاء به الرسول،

“Banyak diantara manusia yang hidup di tempat dan jaman yang telah banyak terhapusnya ilmu-ilmu kenabian, hingga tidak tersisa lagi orang yang menyampaikan apa-apa yang oleh karenanya Allah mengutus Rasul-Nya berupa Al-Qur’an dan Al-Hikmah (As-Sunnah). Sehingga banyak yang tidak mengetahui apa-apa yang menyebabkan Allah mengutus Rasul-Nya (berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan tidak ada yang menyampaikan hal tersebut. Hal yang seperti ini tidak menjadikan dia kafir. Oleh karena itu para imam telah sepakat bahwa barangsiapa yang hidup di tempat terpencil yang jauh dari ulama dan iman, atau dia baru masuk Islam, kemudian ia mengingkari sesuatu dari hukum-hukum yang telah jelas mutawatir; maka ia tidak dihukumi kafir sampai ia mengetahui (dan memahami) apa-apa yang dibawa oleh Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam (berupa ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 11/407].

مثل من يعتقد أن شيخه يرزقه، أو ينصره أو يهديه، أو يغيثه، أو يعينه، أو كان يعبد شيخه أو يدعوه ويسجد له، أو كان يفضله على النبي صلى الله عليه وسلم تفضيلا مطلقا، أو مقيدا في شيء من الفضل الذي يقرب إلى اللّه تعالى، أو كان يرى أنه هو أو شيخه مستغن عن متابعة الرسول صلى الله عليه وسلم، فكل هؤلاء كفار إن أظهروا ذلك، ومنافقون إن لم يظهروه‏.‏

وهؤلاء الأجناس، وإن كانوا قد كثروا في هذا الزمان، فلقلة دعاة العلم والإيمان، وفتور آثار الرسالة في أكثر البلدان، وأكثر هؤلاء ليس عندهم من آثار الرسالة وميراث النبوة ما يعرفون به الهدى، وكثير منهم لم يبلغهم ذلك‏.‏ وفي أوقات الفترات، وأمكنة الفترات‏:‏ يثاب الرجل على ما معه من الإيمان القليل، ويغفر اللّه فيه لمن لم تقم الحجة عليه ما لا يغفر به لمن قامت الحجة عليه، كما في الحديث المعروف‏:‏ ‏(‏ يأتي على الناس زمان لا يعرفون فيه صلاة، ولا صيامًا، ولا حجًا، ولا عمرة، إلا الشيخ الكبير، والعجوز الكبيرة‏.‏ ويقولون‏:‏ أدركنا آباءنا وهم يقولون‏:‏ لا إله إلا الله فقيل لحذيفة بن اليمان‏:‏ ما تغني عنهم لا إله إلا اللّه‏؟‏ فقال‏:‏ تنجيهم من النار‏)‏ ‏.‏

وأصل ذلك‏:‏ أن المقالة التي هي كفر بالكتاب والسنة والإجماع يقال هي كفر قولا يطلق، كما دل على ذلك الدلائل الشرعية؛ فإن ‏[‏الإيمان‏]‏ من الأحكام المتلقاة عن اللّه ورسوله، ليس ذلك مما يحكم فيه الناس بظنونهم وأهوائهم‏.‏ ولا يجب أن يحكم في كل شخص قال ذلك بأنه كافر حتى يثبت في حقه شروط التكفير، وتنتفى موانعه،

“Semisal orang yang berkeyakinan syaikhnya yang memberikan rizki kepadanya, menolongnya, memberikan hidayah kepadanya, membantunya atau menolongnya; atau orang yang menyembah kepada syaikhnya, berdoa kepadanya, atau sujud kepadanya; atau orang yang lebih mengutamakannya daripada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara mutlak atau muqayyad (terbatas) pada suatu keutamaan yang dapat mendekatkan kepada Allah ta’ala; atau orang yang berpandangan bahwa ia atau syaikhnya adalah orang yang tidak lagi dibebani kewajiban untuk mengikuti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; maka mereka semua adalah kafir jika menampakkannya, dan munafik jika tidak menampakkannya.

Semua jenis orang tersebut ada banyak di jaman ini, yang disebabkan oleh sedikitnya pendakwah yang menyerukan ilmu dan keimanan dan kelemahan ilmu agama/risaalah di kebanyakan negeri. Dan kebanyakan diantara mereka tidak mempunyai ilmu agama/risalah dan warisan kenabian sehingga dapat mengetahui petunjuk. Dan bahkan banyak di antara mereka yang tidak sampai (kepada mereka) ilmu agama/risalah dimaksud. Pada waktu dan tempat fatrah (kekosongan penyampaian risalah), seseorang diberikan pahala atas sedikitnya iman yang ia miliki. Dan Allah mengampuni orang yang belum tegak padanya hujjah, sebagaimana Ia tidak mengampuni orang yang telah tegak padanya hujjah. Terdapat dalam hadits yang ma’ruuf : ‘Akan tiba satu jaman yang tidak diketahui padanya shalat, puasa, haji, dan ‘umar, kecuali ada seorang laki-laki tua dan wanita lemah yang mengatakan : ‘Kami dapati ayah-ayah kami mengatakan : ‘Laa ilaha illallaah’. Dikatakan kepada Hudzaifah  bin Al-Yamaan : ‘Apakah kalimat Laa ilaha illallaah mencukupi bagi mereka ?’. Ia menjawab : ‘Kalimat itu dapat menyelamatkan mereka dari neraka’.

Pokok pembicaraan hal itu adalah : Bahwasannya perkataan yang mengkonsekuensikan kekufuran berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’; maka dikatakan bahwa perkataan itu kufur secara mutlak, sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’iyyah. Sesungguhnya iman merupakan hukum-hukum yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bukan berdasarkan hukum yang berasal dari prasangka dan hawa nafsu manusia. Tidaklah mengkonsekuensikan kekafiran bagi setiap orang yang mengatakan perkataan kekafiran, hingga terpenuhi baginya syarat-syarat pengkafiran dan tidak adanya faktor penghalangnya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 35/164-165].

فإنا بعد معرفة ما جاء به الرسول نعلم بالضرورة انه لم يشرع لأمته أن تدعو أحدا من الأموات لا الأنبياء ولا الصالحين ولا غيرهم لا بلفظ الاستغاثة ولا يغيرها ولا بلفظ الاستعاذة ولا يغيرها كما أنه لم يشرع لأمته السجود لميت ولا لغير ميت ونحو ذلك بل نعلم أنه نهى عن كل هذه الأمور وأن ذلك من الشرك الذي حرمه الله تعالى ورسوله لكن لغلبة الجهل وقلة العلم بآثار الرسالة في كثير من المتأخرين لم يكن تكفيرهم بذلك حتى يتبين لهم ما جاء به الرسول صلى الله عليه و سلم مما يخالفه

“Maka setelah kita mengetahui risalah yang dibawa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kita mengetahui dengan pasti ( = ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah) bahwa tidaklah disyari’atkan bagi umatnya untuk berdoa kepada orang mati, baik para Nabi, orang shaalih, dan yang lainnya; tidak dengan lafadh istighatsah, isti’adzah, atau yang lainnya. Sebagaimana juga tidak disyari’atkan bagi umatnya untuk sujud kepada mayit atau selain mayit, dan yang lainnya. Bahkan kita mengetahui beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang semua perkara itu, karena termasuk kesyirikan yang diharamkan Allah ta’ala dan Rasul-Nya. Akan tetapi karena meratanya kebodohan dan sedikitnya ilmu tentang atsar-atsar risalah pada kebanyakan orang-orang yang hidup di masa belakangan (muta’akhkhiriin), maka kita tidak langsung mengkafirkan mereka karena perkara tersebut, hingga jelas bagi mereka syari’at yang dibawa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang menyelisihi perbuatan mereka tersebut” [Ar-Radd 'alal-Bakriy, 2/731].

Ma’luumaat minad-diin bidl-dlaruurah yang berlaku di satu tempat dan jaman yang tidak diberikan ruang udzur bagi orang yang jahil terhadapnya, ternyata menjadi perkara yang samar (khafiy) di tempat dan jaman berbeda saat kesyirikan, bid’ah, dan kebodohan mendominasi.

Maka, nampaklah kekeliruan fundamental ‘mereka’ dalam menerapkan pengkafiran orang yang jahil dalam al-ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah tanpa memberikan perinciannya.

Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.

[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 25122014 – 02:40].

Comments