Kata jahl (جهل) dalam bahasa ‘Arab merupakan asal dari dua hal, yaitu :
1. Kosongnya jiwa dari ilmu. Dikatakan Fulaan jaahil, yaitu tidak ada ada ilmu pada dirinya.
2. Al-Khiffah (الخِفة), yang merupakan lawan kata dari ath-thuma’niinah (الطمأنينة) (ketenangan). Dan dari kata tersebut adalah perkataan orang-orang tentang sepotong kayu yang digerak-gerakkan oleh bara api dengan sebutan mijhal (مِجْهَل). Dan dikatakan istajhalatir-riihu al-ghushn : hembusan angin menggoyangkan dahan pohon.[1]
Ar-Raghiib Al-Ashbahaaniy rahimahullah berkata :
الجَهْلُ علَى ثلاثَةِ أَضْرُبٍ : الأول : هو خُلُوُّ النَّفْسِ مِن العِلْم وهذا هو الأصلُ وقد جَعل ذلك بعضُ المُتكلِّمين معنًى مُقتضِياً للأفعال الخارِجةِ عن النِّظام كما جَعَل العِلْمَ معنًى مقتضياً للأفعال الجارِية علَى النِّظام . والثاني : اعتقادُ الشيء بخِلافِ ما هو عليه . والثالث : فِعْلُ الشيء بخلاف ما حَقه أن يُفْعَلَ سواءٌ اعتُقِد فيه اعتِقاداً صحيحاً أم فاسِداً كتارِكِ الصَّلاةِ عَمداً . وعلى ذلك قولُه تعالى : " أَتتخِذُنَا هُزُواً قَالَ أَعُوذُ بِاللهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ " فجَعل فِعلَ الهُزُؤِ جَهلاً . وقولُه تعالى : " فَتَبيّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوماً بِجَهَالَةٍ " . والجاهِلُ يُذْكَر تارَةً على سَبيلِ الذّمِّ وهو الأكثَرُ وتارَةً لا علَى سَبيلِه نحو : " يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ " أي مَن لا يَعرِفُ حالَهم
“Kebodohan itu ada tiga macam :
Pertama, kosongnya jiwa dari ilmu. Ini adalah pengertian asal. Sebagian ahli ilmu kalam menjadikan pengertian itu untuk perbuatan-perbuatan yang keluar dari aturan, sebagaimana menjadikan kata al-‘ilm sebagai makna untuk perbuatan-perbuatan yang berkesesuaian dengan aturan.
Kedua, keyakinan terhadap sesuatu yang bertentangan dengan hal yang sebenarnya.
Ketiga, melakukan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang seharusnya dilakukan, sama saja apakah hal itu didasarkan oleh keyakinan benar ataupun salah, seperti perbuatan meninggalkan shalat secara sengaja. Allah ta’ala telah berfirman : ‘Mereka berkata : ‘Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil" (QS. Al-Baqarah : 67). Musa menjadikan perbuatan yang dilakukan untuk buah ejekan sebagai satu kebodohan/kejahilan. Juga firman-Nya ta’ala : ‘Maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya’ (QS. Al-Hujuraat : 6). Dan al-jaahil kadang-kadang disebutkan untuk suatu celaan, dan mayoritasnya seperti itu. Namun kadang-kadang juga disebutkan bukan dipergunakan untuk satu celaan seperti firman Allah ta’ala : ‘orang yang tidak tahu (jaahil) menyangka mereka orang kaya’ (QS. Al-Baqarah : 273). Makna jaahil di sini adalah orang yang tidak mengerti keadaan mereka (dan ini tidak mengandung celaan - Abul-Jauzaa’)”.[2]
Abul-Baqaa’ rahimahullah berkata :
الجهل : يقال للبسيط، وهو عدم العلم عما من شأنه أن يكون عالما، ويقال أيضا للمركب، وهو عبارة عن اعتقاد جازم غير مطابق، سمي به، لأنه يعتقد الشيء على خلاف ما هو عليه
“Al-Jahl : dikatakan untuk jahl basiith, yaitu tidak mempunyai ilmu tentang sesuatu yang seharusnya ia ketahui. Dan dikatakan juga untuk jahl murakkab, yaitu ungkapan dari keyakinan pasti seseorang yang tidak sesuai dengan kebenaran. Dinamakan dengannya karena ia meyakini sesuatu yang bertentangan dengan yang seharusnya”.[3]
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :
(الجهل) نوعان: عدم العلم بالحق النافع وعدم العمل بموجبه ومقتضاه فكلاهما جهل لغة وعرفا وشرعا وحقيقة قال موسى: {أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ} لما قال له قومه: {أَتَتَّخِذُنَا هُزُواً} أى من المستهزئين وقال يوسف الصديق: {وَإِلاَّ تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ} أي من مرتكبي ما حرمت عليهم وقال تعالى: {إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ} قال قتادة: "أجمع أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم أن كل ما عصى الله به فهو جهالة" وقال غيره: "أجمع الصحابة رضي الله عنه أن كل من عصى الله فهو جاهل. وسمى عدم مراعاة العلم جهلا إما لأنه لم ينتفع به فنزل منزلة الجاهل وإما لجهله بسوء ما تجني عواقب فعله.
فالفرار المذكور: هو الفرار من الجهلين: من الجهل بالعلم إلى تحصيله اعتقادا ومعرفة وبصيرة ومن جهل العمل إلى السعي النافع والعمل الصالح قصدا وسعيا.
فالفرار المذكور: هو الفرار من الجهلين: من الجهل بالعلم إلى تحصيله اعتقادا ومعرفة وبصيرة ومن جهل العمل إلى السعي النافع والعمل الصالح قصدا وسعيا.
“Al-Jahl ada dua macam : ketiadaan ilmu akan kebenaran yang bermanfaat, dan ketiadaan amalan yang seharusnya dilakukannya. Keduanya adalah pengertian jahl secara bahasa, ‘urf (kebiasaan), syari’at, dan hakikat. Muusaa berkata sebagaimana dalam firman Allah ta’ala (QS. Al-Baqarah : 67): ‘Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil’. Yaitu ketika kaumnya berkata kepadanya : ‘Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?’ ; (yaitu) dari kalangan orang-orang yang mengejek/mengolok-olok. Dan berkata Yuunus Ash-Shiddiiq sebagaimana firman Allah ta’ala (QS. Yuusuf : 33) : ‘Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh’. Yaitu dari orang-orang yang melakukan sesuatu yang telah diharamkan kepada mereka. Allah ta’ala juga berfirman : ‘Sesungguhnya tobat di sisi Allah hanyalah tobat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan’ (QS. An-Nisaa’ : 17). Qataadah berkata : ‘Para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersepakat bahwa setiap perbuatan yang mendurhakai Allah termasuk perbuatan bodoh (jahaalah)’. Yang lain berkata : ‘Para shahabat radliyallaahu ‘anhum telah bersepakat bahwa setiap orang yang mendurhakai Allah termasuk orang bodoh (jaahil)’. Ketiadaan penjagaan terhadap ilmu dinamakan kebodohan (jahl), baik karena ia tidak memanfaatkan ilmunya sehingga kedudukannya turun menjadi orang yang bodoh (jaahil), atau karena kebodohannya akan kejelekan yang diakibatkan oleh perbuatannya.
Adapun tentang orang yang lari, ia adalah orang yang lari dari dua macam kebodohan : (1) lari dari kebodohan untuk mendapatkan ilmu berdasarkan keyakinan, pengetahuan, maupun pengamatan; (2) lari dari kebodohan ilmu untuk usaha yang bermanfaat dan amal yang shalih”.[4]
As-Suyuuthiy rahimahullah menjelaskan makna jaahiliyyah (الجاهلية) sebagai berikut :
الجاهلية الحال التي كانت عليها العرب قبل الإسلام، من الجهل بالله ورسوله، وشرائع الدين، والمفاخرة بالأنساب، والكبر، والتجبر، وغير ذلك
“Jaahiliyyah adalah keadaan dimana orang-orang ‘Arab berada dalam kondisi itu sebelum Islam (datang). Yaitu bodoh terhadap Allah, Rasul-Nya, dan syari’at-syari’at agama. Berbangga karena nasab, sombong, takabur, dan yang lainnya”.[5]
Lafadh al-jaahiliyyah kadang dimutlakkan untuk ism haal, inilah yang umum terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana perkataan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu :
يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ......
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku pernah bernadzar di masa Jaahiliyyah untuk beri’tikaf malam hari di Masjid Haraam…”.[6]
Juga dalam hadits Hudzaifah radliyallaahu ‘anhu, yang padanya terdapat perkataan :
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ......
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu dalam keadaan jaahiliyyah dan kejelekan….”.[7]
Yang dimaksudkan di sini adalah dalam keadaan jaahiliyyah atau keadaan kejahiliyyahan.
Lafadh jaahiliyyah kadang juga dimutlakkan isim li-dzii haal, seperti perkataan orang-orang : thaaifah jaahiliyyah (طائفة جاهلية), syaa’ir jaahiliy (شاعر جاهلي)……[8]
Adapun jaahiliyyah ditinjau dari kebanyakannya dan penyebarannya, maka ada dua macam :
1. Jahiliyyah mutlak;
Jahiliyyah ini ada sebelum masa diutusnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bertentangan dengan semua agama yang ada, dan berakhir dengan diutusnya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Karena, akan selalu ada segolongan dari umatnya yang tegak di atas kebenaran hingga hari kiamat sebagaimana sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي يُقَاتِلُونَ عَلَى الْحَقِّ، ظَاهِرِينَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang berperang di atas kebenaran dan selalu jaya/menang hingga hari kiamat”.[9]
2. Jahiliyyah muqayyadah (terbatas).
Jahiliyyah ini banyak terdapat pada kaum muslimin di segala penjuru dunia Islam. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ، لَا يَتْرُكُونَهُنَّ.....
“Ada empat hal pada umatku yang termasuk perkara Jahiliyyah yang mereka belum meninggalkannya….”.[10]
Juga sebagaimana sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu :
إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ......
“Sesungguhnya engkau adalah seorang yang terdapat sifat jaahiliyyah”.[11]
Maka di sini nampak kekeliruan sebagian orang yang mempunyai semangat keislaman tinggi yang memutlakkan jaman sekarang ini sebagai jaman Jaahiliyyah.
Ada satu persoalan yang menarik diangkat di sini, yaitu hadits :
وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang mati dan di lehernya tidak terdapat baiat, maka matinya seperti mati Jaahiliyyah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1851].
Hadits ini menjadi senjata ampuh bagi jama’ah pemburu bai’at seperti LDII, NII, dan sejenisnya untuk mengkafirkan kaum muslimin karena tidak berbaiat kepada amir mereka. Mereka katakan, kaum muslimin di luar jama’ah mereka matinya seperti mati jahiliyyah; dan mati jahiliyyah = mati kafir.
Saya tidak akan membahas tentang kedudukan ‘amir dudul’ mereka yang tidak mempunyai legalitas dalam syari’at. Namun di sini saya hanya akan menyinggung salah paham mereka akan hadits sesuai dengan tema artikel ini. Telah disebutkan sebelumnya bahwa jaahiliyyah itu tidaklah selalu identik dengan kekafiran. Apa yang telah dituliskan di atas sebenarnya telah dapat memberikan sedikit keterangan kekeliruan pemahaman mereka ini. Akan tetapi, sebagai tambahan, perhatikan hadits berikut :
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ، عَنِ الْجَعْدِ، عَنْ أَبِي رَجَاءٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً "
Telah menceritakan kepada kami Musaddad : telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Waarits, dari Ja’d, dari Abu Rajaa’, dari Ibnu ‘Abbaas, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang membenci sesuatu dari amir (pemimpin)-nya (yang sah), hendaknya ia bersabar. Karena barangsiapa yang keluar ketaatan dari sulthan meskipun hanya sejengkal, kemudian mati, maka matinya itu seperti mati dalam keadaan jahiliyyah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7053].
Ingatkah kita tentang perselisihan antara Mu’aawiyyah dan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhumaa ? Pihak Mu’aawiyyah disebut sebagai kelompok yang keluar dari ketaatan pemimpin yang sah dan tidak berbaiat (yaitu ‘Aliy), dimana beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebut perihal ‘Ammaar bin Yasiir radliyallaahu ‘anhu :
وَيْحَ عَمَّارٍ تَقْتُلُهُ الْفِئَةُ الْبَاغِيَةُ، يَدْعُوهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ وَيَدْعُونَهُ إِلَى النَّارِ
“Kasihan ‘Ammaar, ia dibunuh oleh kelompok pembangkang/durhaka/aniaya. Ia mengajak mereka menuju surga, namun mereka mengajaknya menuju neraka”.[12]
Dalam hadits di atas beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menggunakan kata : al-fi’ah al-baaghiyah.
Lantas apa makna al-baaghiyah itu ? Dalam literatur kamus bahasa ‘Arab ataupun syarh hadits dijelaskan bahwa kata baaghiyah adalah bentuk muannats dari kata baaghiy yang artinya : orang yang melakukan kedhaliman dengan keluar (ketaatan) dari pemerintahan yang sah. Allah ta’ala berfirman telah berfirman mengenai golongan ini :
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya (baghat) terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu (tabghii) sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” [Al-Hujuraat : 10].
Allah ta’ala menyebut orang yang melakukan bughat dalam ayat di atas masih masuk dalam lingkaran Islam dan iman. Hanya saja, Allah ta’ala memerintahkan untuk memerangi mereka hingga kembali kepada jalan yang benar.
Juga di kesempatan lain Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ
“Sesungguhnya cucuku ini adalah sayyid, dan semoga dengan perantaraan dirinya Allah akan mendamaikan dua kelompok dari kaum muslimin”.[13] [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3746].
Dua kelompok kaum muslimin yang didamaikan Al-Hasan bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhumaa salah satunya adalah kelompok Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan radliyallaahu ‘anhumaa yang keluar dari ketaatan.
Dan sebagai bukti kongkrit lagi, ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu tidak mengkafirkan orang-orang yang mati dari pihak Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan radliyallaahu ‘anhumaa saat perang Shiffiin usai :
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ أَيُّوبَ الْمَوْصِلِيُّ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ بُرْقَانَ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ الْأَصَمِّ، قَالَ: سُئِلَ عَلِيٌّ عَنْ قَتْلَى يَوْمِ صِفِّينَ، فَقَالَ: " قَتْلَانَا وَقَتَلَاهُمْ فِي الْجَنَّةِ، وَيَصِيرُ الْأَمْرُ إِلَيَّ وَإِلَى مُعَاوِيَةَ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Ayyuub Al-Maushiliy, dari Ja’far bin Burqaan, dari Yaziid bin Al-Asham, ia berkata : ‘Aliy pernah ditanya tentang orang-orang yang terbunuh di perang Shiffiin, maka ia berkata : “Orang yang terbunuh dari kami dan dari mereka ada di surga".[14] Dan perkara tersebut akan ada antara aku dan Mu’aawiyyah [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 15/302; shahih].
Kembali pada hadits ‘barangsiapa yang mati dan di lehernya tidak terdapat baiat, maka matinya seperti mati Jaahiliyyah’; telah clear berdasarkan riwayat shahih bahwa ia tidaklah bermakna kafir.
Ibnu Hajar rahimahullah menutup perbincangan ini dengan penjelasannya :
وَالْمُرَاد بِالْمِيتَةِ الْجَاهِلِيَّة وَهِيَ بِكَسْرِ الْمِيم حَالَة الْمَوْت كَمَوْتِ أَهْل الْجَاهِلِيَّة عَلَى ضَلَال وَلَيْسَ لَهُ إِمَام مُطَاع ، لِأَنَّهُمْ كَانُوا لَا يَعْرِفُونَ ذَلِكَ ، وَلَيْسَ الْمُرَاد أَنَّهُ يَمُوت كَافِرًا بَلْ يَمُوت عَاصِيًا ، وَيَحْتَمِل أَنْ يَكُون التَّشْبِيه عَلَى ظَاهِره وَمَعْنَاهُ أَنَّهُ يَمُوت مِثْل مَوْت الْجَاهِلِيّ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ هُوَ جَاهِلِيًّا
“Yang dimaksud dengan mati dalam keadaan jahiliyyah adalah keadaan mati seperti matinya orang-orang Jaahiliyyah di atas kesesatan dan tidak mempunyai imam yang ditaati. Karena mereka tidak mengetahui hal itu. Bukanlah yang dimaksudkan dalam hadits itu bahwasannya ia mati dalam keadaan kafir, akan tetapi mati dalam keadaan bermaksiat/durhaka……”.[15]
Itu saja yang dapat saya tuliskan. Lebih dan kurangnya mohon dimaafkan dan dikoreksi seperlunya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – sardonoharjo, ngaglik, sleman, yogyakarta – 1432. Dalam artikel ini saya mengambil faedah dari buku At-Tasyabbuh Al-Manhiy ‘anhu fil-Fiqhil-Islaamiy oleh Jamiil bin Habiib Al-Luwaihiq, hal. 37-39; thesis magister Universitas Ummul-Qurra’ – dengan beberapa tambahan].
[1] Lihat : Mu’jamu Maqaayisil-Lughah oleh Ibnu Faaris, dengan sedikit perubahan, 1/489.
[2] Mufradaat Alfaadhil-Qur’aan melalui kitab Taajul-‘Aruus – Al-Maktabah Asy-Syaamilah.
[3] Al-Kuliyyaat (Mu’jamu fil-Mushthalahaat wal-Furuuq Al-Lughawiyyah), hal. 350. Lihat : At-Ta’riifaat oleh Al-Jurjaaniy, hal. 93.
[4] Madaarijus-Saalikiin, 1/469.
[5] Husnut-Tanabbuh lima warada fit-Tasyabbuh, 6/3A.
[6] Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2032 & 2042 & 2043 & 6697, Muslim no. 1656, Ahmad 1/37 & 2/20, Ibnu Abi Syaibah 14/167, Abu ‘Awaanah no. 5870-5882, ‘Abdullah bin Al-Mubaarak dalam Al-Musnad no. 177, ‘Abd bin Humaid no. 40, Abu Daawud no. 2474 & 3325, Ibnu Maajah no. 1772 & 2129, At-Tirmidziy no. 1539, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 4743-4745, Ad-Daarimiy no. 2336, Ibnul-Jaarud no. 941, Ibnul-‘Arabiy dalam Al-Mu’jam no. 1893, Muhammad bin Ayyuub Ar-Raaziy dalam Ats-Tsaalits no. 54, Ibnul-Mundzir dalam Al-Iqnaa’ no. 203, Al-Bazzaar no. 140 & 141 & 143 dan dalam Al-Bahruz-Zakhaar no. 5791 & 5828-5829, Abu Ya’laa no. 254, Al-Firyaabiy dalam Al-Qawaaid no. 8, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 3/133 dan dalam Syarh Musykilil-Aatsaar no. 4149-4157 & 4511, Ibnu Khuzaimah no. 2239, Ad-Daaruquthniy dalam As-Sunan 2/199 dan dalam Al-‘Ilal no. 93, Abul-Fadhl Az-Zuhriy dalam Hadiits-nya no. 717, Al-Baghawiy no. 1839, Ibnu Hibbaan no. 4379-4381, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath no. 6545, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 4/314 & 6/336 & 10/75 dan dalam Ash-Shaghiir no. 1481 dan dalam Dalaailun-Nubuwwah 5/197, Abu Ya’laa Al-Khaliiliy dalam Al-Irsyaad 1/55, dan Ibnul-Jauziy dalam At-Tahqiiq no. 1369.
[7] Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3606 & 7084, Muslim no. 1847, Al-Haakim 1/113, Abu ‘Awaanah no. 7166, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 8/155 & 8/188, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no. 2962, Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin no. 583, Al-Bakhtariy dalam At-Taasi’ minal-Fawaaid no. 141, Al-Mahaamiliy dalam Al-Amaaliy no. 326, Ad-Daaniy dalam As-Sunanul-Waaridah fil-Fitan no. 202, Al-Baghawiy no. 4222, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah no. 937, Al-Baihaqiy dalam Ad-Dalaail 6/490, dan Nu’aim bin Hammaad dalam Al-Fitan no. 31.
[8] Lihat : Iqtidlaa’ Ash-Shiraathil-Mustaqiim, 1/224.
[9] Hadits mutawatir.
[10] Diriwayatkan oleh Muslim no. 934, Al-Bukhaariy dalam Adabul-Mufrad no. 395 dan dalam Al-Kaabir 2/232-233, Ahmad 2/262 & 291 & 377 & 414 & 441 & 455 & 456 & 496 & 526 & 531 & 5/342-344, At-Tirmidziy no. 1001, Ibnu Maajah no. 1581, Ibnu Abi Syaibah 3/390, ‘Abdurrazzaaq no. 6686, Ibnul-Jaarud no. 515, Ath-Thabariy dalam Tahdziibul-Aatsaar no. 16, Abu Ya’laa no. 1577, Al-Bazzaar no. 797, Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah no. 1534 dan dalam Ma’aalimut-Tanziil no. 1242, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar no. 4684, Ibnu Hibbaan no. 3141-3143, Al-Haakim 1/383, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 4/63 dan dalam Ash-Shaghiir no. 1164, Ibnu Hazm dalam Al-Muhallaa 3/373, Abu Nu’aim dalam Al-Musnad Al-Mustakhraj no. 2085, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir no. 2178 & 3425-3426, Ibnu Baabawaih dalam Al-Arba’uun no. 25, dan yang lainnya.
[11] Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 30, Muslim no. 1661, Abu Daawud no. 5157, Abu ‘Awaanah no. 6070-6072, ‘Abdurrazzaaq no. 17965, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no. 3992 & 3996, Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah no. 2402 dan dalam Ma’aalimut-Tanziil no. 362, Al-Baihaqiy 8/6, dan yang lainnya.
[12] Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 447 & 2812, Ahmad 3/22 & 28, Ibnu sa’d 3/252, Ibnu Hibbaan no. 7236, Al-Haakim 2/149, Al-Baihaqiy dalam Ad-Dalaail 2/546-547, Al-Khathiib dalam At-Taariikh 13/375, dan yang lainnya.
[13] Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2704 & 3629 & 3746 & 7109, Al-Humaidiy no. 793, Ahmad 5/37 & 44 & 47 & 49 & 51 & 5/49, Abu Daawud no. 4662, At-Tirmidziy no. 3773 & 4107, An-Nasaa’iy dalam As-Sunan 3/107 dan dalam ‘Amalaul-Yaum wal-Lailah no. 251-252 dan dalam Al-Fadlaail no. 63, Ath-Thayaalisiy no. 874, Al-Bazzaar no. 2639, Ibnu Hibbaan no. 6964, Al-Baihaqiy 6/165 & 7/173 dan dalam Ad-Dalaail 6/442-443Ath-Thabaraaniy no. 2590 & 2591 & 2594 & 2952 & 2953, dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 2/35.
[14] Dikarenakan kedua belah pihak berperang atas dasar ijtihad yang masing-masing menganggap dirinya benar. Mu’aawiyyah berperang karena menuntut darah agar ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhumaa mengqishash orang-orang yang telah membunuh ‘Utsmaan yang dianggap Mu’aawiyyah ada di sekitar (berlindung pada) ‘Aliy.
Namun tidak diragukan lagi, bahwa dalam hal ini ‘Aliy lah yang berada pada pihak yang benar, Mu’aawiyyah telah keliru dalam ijtihadnya. Radliyallaahu ‘anhum ajma’iin.
Sudah sepantasnya kita, Ahlus-Sunnah, menahan lisan-lisan kita untuk tidak membicarakan perselisihan yang terjadi di kalangan para shahabat dan tidaklah menyebut mereka kecuali dengan kebaikan.
[15] Fathul-Baariy, 20/58 – versi Al-Maktabah Asy-Syaamilah.
Comments
Ustadz, pada catatan kaki [14] sepertinya ada kesalahan pengetikan.
... mengqishash orang-orang yang telah membunuh ‘Aliy ...
Seharusnya Utsman
O iya, terima kasih atas masukannya. Benar salah ketik. Segera saya perbaiki. Jazaakallaahu khairan.
Inti bantahan yang antum kembangkan adalah pada point ini
"Bukanlah yang dimaksudkan dalam hadits itu bahwasannya ia mati dalam keadaan kafir, akan tetapi mati dalam keadaan bermaksiat/durhaka……”
Perkataan Ibnu hajjar mengomentari hadits Muslim no. 1851. Bantahan bagi sebagian orang menyelewengkan maknanya. Tapi memang tipe gaya tulisan antum agak berputar-putar.
Sebenarnya inti tulisan di atas bukan membahas hadits mati jahiliyyah. Kalaupun membahas mati jahiliyyah, itu merupakan cabang bahasan di sini.
Membahas pemahaman suatu hadits bukanlah sekedar 'bagaimana pendapat ulama' saja. Akan tetapi, bagaimana pendapat ulama itu terbentuk dari kajian dalil-dalil.
Posting Komentar