Atau,
dibangun atas asumsi bahwa semua orang pasti memahami (ayat-ayat) Al-Qur’an
yang ia baca siang dan malam dalam shalat, doa, dan tilawah mereka. Tidak ada
alasan lagi bagi mereka tidak tahu atau tidak paham terhadap (hukum) kekafiran
dan kesyirikan yang ada dalam ayat yang mereka baca.
Pendalilan
ini keliru dilihat dari
beberapa sisi:
1.
Sampainya Al-Qur’an
dan kemudian dibaca di lisan-lisan kaum muslimin tidak selalu mengkonsekuensikan adanya pemahaman (yang benar) terhadapnya.
Hal
ini sudah menjadi pengetahuan yang jamak di kalangan penuntut ilmu sehingga
para ulama seringkali berselisih pendapat dalam memahami makna satu nash meski
mereka bersepakat atas lafadhnya.
Contoh
yang masyhur dalam hal ini adalah seperti yang pernah terjadi di jaman
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ketika beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam baru selesai perang Ahzab pada tahun kelima Hijriyah dan
meletakkan peralatan perang. Pada saat itu, datanglah malaikat Jibril ‘alaihis-salaam
dan berkata : “Berangkatlah menuju perkampungan Bani Quraidhah”. Maka saat itu
juga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada para
sahabat agar segera berangkat menuju perkampungan mereka dan bersabda:
لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ إِلاَّ فِى بَنِي
قُرَيْظَةَ
"Janganlah
seseorang shalat Ashar kecuali di (perkampungan) Bani Quraidhah" [Muttafaqun-'alaih][1].
Para
sahabat berbeda pendapat dalam memahami nash hadits ini. Sebagian mereka
memahami bahwa yang dimaksud Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah
agar mereka segera berangkat, sehingga sampai di perkampungan Bani Quraidhah
sebelum shalat 'Ashar. Karena itulah, ketika tiba waktu shalat 'Ashar,
sedangkan mereka masih berada di tengah perjalanan, mereka tetap melaksanakan
shalat 'ashar dan tidak menta'khirkannya hingga sampai di perkampungan Bani
Quraidhah. Sedangkan yang lain memahami bahwa yang dimaksud Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam adalah agar mereka jangan melaksanakan shalat 'Ashar
kecuali di perkampungan Bani Quraidhah. Sehingga ketika tiba waktu shalat
'Ashar, sedangkan mereka masih berada di tengah perjalanan, mereka tidak
langsung melaksanakan shalat 'ashar dan menundanya hingga sampai di
perkampungan Bani Quraidhah. Ketika hal itu disampaikan kepada Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam, beliau tidak memberikan komentar apa-apa, dan tidak
mencela kelompok yang manapun. Tidak diragukan lagi, bahwa yang benar adalah
yang melakukan shalat dalam waktunya dan tidak menundanya hingga keluar dari
waktunya, karena kewajiban melaksanakan shalat dalam waktunya adalah dengan
dalil yang jelas, sedangkan dalil (hadits) ini masih mengandung beberapa
penafsiran[2].
Contoh
lain adalah perbedaan pemahaman di kalangan shahabat terhadap ayat:
وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى
“Dan
sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada waktu yang lain” [QS. An-Najm :
13].
Sebagian
shahabat ada yang berpendapat bahwa yang dilihat oleh beliau shallallaahu ‘alaihi
wa sallam adalah Allah ta’ala, sedangkan yang lain berpendapat
Jibriil dalam bentuk aslinya[3].
Meski
ayat ini sering dibaca dalam shalat-shalat mereka, namun ternyata pemahaman masing-masing
pembacanya berlainan[4].
Yang
lebih jelas lagi untuk menggambarkan point ini adalah hadits yang menceritakan peristiwa setelah Rasululah shallallaahu
‘alaihi wa sallam meninggal:
عَنْ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَاتَ وَأَبُو بَكْرٍ
بِالسُّنْحِ، قَالَ إِسْمَاعِيلُ: يَعْنِي بِالْعَالِيَةِ، فَقَامَ عُمَرُ،
يَقُولُ: وَاللَّهِ مَا مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَتْ: وَقَالَ عُمَرُ: وَاللَّهِ مَا كَانَ يَقَعُ فِي نَفْسِي إِلَّا ذَاكَ
وَلَيَبْعَثَنَّهُ اللَّهُ فَلَيَقْطَعَنَّ أَيْدِيَ رِجَالٍ وَأَرْجُلَهُمْ
فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ فَكَشَفَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَبَّلَهُ، قَالَ: بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي طِبْتَ حَيًّا وَمَيِّتًا،
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُذِيقُكَ اللَّهُ الْمَوْتَتَيْنِ أَبَدًا ثُمَّ
خَرَجَ، فَقَالَ: " أَيُّهَا الْحَالِفُ عَلَى رِسْلِكَ "، فَلَمَّا
تَكَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ جَلَسَ عُمَرُ فَحَمِدَ اللَّهَ أَبُو بَكْرٍ وَأَثْنَى
عَلَيْهِ، وَقَالَ: " أَلَا مَنْ كَانَ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا
صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ، وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ
فَإِنَّ اللَّهَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ "، وَقَالَ: إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ
مَيِّتُونَ، وَقَالَ: وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ
الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ
يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ
الشَّاكِرِينَ، قَالَ: فَنَشَجَ النَّاسُ يَبْكُونَ
Dari
‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam : Bahwasannya ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
Abu Bakr sedang berada di Sunh. –
Ismaa’iil (perawi) berkata : berada di sebuah perbukitan - . ‘Umar berdiri dan
berkata : “Demi Allah, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak
meninggal”. Ia melanjutkan : “Demi
Allah, tidak ada yang terlintas di hatiku kecuali itu. Dan Allah pasti akan
menghidupkan beliau kembali, lalu pasti akan memotong tangan dan kaki
orang-orang (yang mengatakan beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam telah meninggal)”. Kemudian Abu Bakr datang, lalu membuka (kain yang menutupi wajah) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam dan menciumnya
sambil berkata : “Ayah dan ibuku sebagai tebusannya, engkau harum baik ketika masih
hidup ataupun setelah
mati. Demi Dzat
yang diriku di tangan-Nya, Allah
tidak akan menimpakan kepadamu dua kali kematian selamanya”. Kemudian Abu Bakr keluar dan berkata (kepada ‘Umar), “Wahai orang
yang bersumpah, janganlah tergesa-gesa!”. Setelah Abu Bakr berbicara, maka
‘Umar duduk. Abu Bakr lalu berkhuthbah dengan memuji Allah dan menyanjung-Nya, dan kemudian
berkata :
“Ketahuilah, barangsiapa
menyembah Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya
Muhammad telah meninggal. Dan barangsiapa menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah
Maha hidup, tidak akan mati. Ia ta’ala berfirman : ‘Sesungguhnya engkau
akan mati, dan sesungguhnya mereka akan mati (pula)’ (QS. Az-Zumar : 30).
Dan Ia ta’ala juga berfirman : ‘Muhammad itu tidak lain hanyalah
seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah
jika dia meninggal atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad) ?
Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan
madlarat kepada Allah sedikitpun. Dan Allah akan memberi balasan kepada
orang-orang yang bersyukur’ (QS. Ali ‘Imran : 144)”. Perawi berkata : “Lalu
orang-orang menangis tersedu-sedu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3670].
Dalam sebagai riwayat disebutkan perkataan ‘Umar
setelah mendengar ayat yang dibacakan Abu Bakr radliyallaahu ‘anhumaa:
قَالَ عُمَرُ:
فَلَكَأَنِّي لَمْ أَقْرَأْهَا إِلَّا يَوْمَئِذٍ
“’Umar berkata : ‘Sungguh seakan-akan aku belum pernah
membaca ayat tersebut kecuali hari ini” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no.
1616].
Dalam riwayat Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa disebutkan:
وَاللَّهِ لَكَأَنَّ
النَّاسَ لَمْ يَكُونُوا يَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الآيَةَ حَتَّى
تَلَاهَا أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَتَلَقَّاهَا مِنْهُ النَّاسُ،
فَمَا يُسْمَعُ بَشَرٌ إِلَّا يَتْلُوهَا
“Demi Allah, seakan-akan orang-orang belum pernah
mengetahui bahwa Allah sudah menurunkan ayat tersebut hingga Abu Bakr radliyallaahu
‘anhu membacakannya. Akhirnya orang-orang memahaminya dan tidak ada seorang
pun yang mendengar meninggalnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
kecuali pasti membacakannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1242].
Ayat yang dibacakan Abu Bakr di atas adalah ayat yang
biasa dibaca ‘Umar (dan para shahabat lainnya) siang dan malam. Akan tetapi ia tidak
tahu (jahil) dan kemudian menta’wilkan maknanya secara keliru - padahal ‘Umar adalah
orang yang dikaruniai kelebihan ilmu dibandingkan para shahabat lain[5].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah menjelaskan kekeliruan pemahaman nash yang sering dialami oleh ulama – apalagi
orang awamnya – dan mereka tidak dikafirkan karenannya, dengan berhujjah kisah ‘Umar radliyallaahu ‘anhu di atas:
وَكَذَلِكَ اعْتِقَادُ مَنْ اعْتَقَدَ
مِنْهُمْ أَنَّهُ جَاءَ بَعْدَ الرَّفْعِ وَكَلَّمَهُمْ هُوَ مِثْلُ اعْتِقَادِ
كَثِيرٍ مِنْ مَشَايِخِ الْمُسْلِمِينَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ جَاءَهُمْ فِي الْيَقَظَةِ فَإِنَّهُمْ لَا يَكْفُرُونَ بِذَلِكَ؛ بَلْ
هَذَا كَانَ يَعْتَقِدُهُ مَنْ هُوَ مِنْ أَكْثَرِ النَّاسِ اتِّبَاعًا
لِلسُّنَّةِ وَاتِّبَاعًا لَهُ وَكَانَ فِي الزُّهْدِ وَالْعِبَادَةِ أَعْظَمَ
مِنْ غَيْرِهِ وَكَانَ يَأْتِيهِ مَنْ يَظُنُّ أَنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ فَهَذَا
غَلَطٌ مِنْهُ لَا يُوجِبُ كُفْرَهُ .......وَعُمَرُ لَمَّا كَانَ يَعْتَقِدُ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَمُتْ وَلَكِنْ ذَهَبَ
إلَى رَبِّهِ كَمَا ذَهَبَ مُوسَى وَأَنَّهُ لَا يَمُوتُ حَتَّى يَمُوتَ
أَصْحَابُهُ لَمْ يَكُنْ هَذَا قَادِحًا فِي إيمَانِهِ وَإِنَّمَا كَانَ غَلَطًا
وَرَجَعَ عَنْهُ
“Dan
begitu juga keyakinan orang yang mempunyai keyakinan dari kalangan mereka
bahwasannya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang setelah wafatnya
dan berbicara kepada mereka; adalah seperti keyakinan banyak masyayikh dari kaum
muslimin bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendatangi
mereka dalam keadaan terjaga/tidak tidur. Maka mereka tidak kafir dengan sebab
itu. Bahkan hal ini diyakini oleh orang yang termasuk paling bersemangat mengikuti
sunnah dan mengikuti beliau, dan dalam kezuhudan dan ibadah mereka itu lebih
besar daripadanya selainnya; dimana datang kepada mereka yang mereka sangka orang tersebut adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ini
adalah kekeliruan yang tidak mengkonsekuensikan kekufuran atas mereka……. Dan
‘Umar ketika ia meyakini bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa salam tidak
meninggal, namun beliau hanyalah pergi menuju Rabbnya sebagaimana perginya Muusaa,
dan beliau tidak meninggal hingga para shahabatnya meninggal. Maka ini tidak merusak
keimanannya, karena ia keliru (dalam ta’wil) dan kemudian rujuk darinya
(setelah mengetahui kebenaran)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 13/109].
Point
pokok di sini adalah : kejahilan atau kekeliruan terhadap makna nash[6] tidak
selalu mengkonsekuensikan kekafiran meski nash tersebut biasa mereka baca dalam
shalat ataupun di luar waktu shalat.
2.
Jika setiap kejahilan
dan kekeliruan dalam memahami nash yang sering dibaca tidak diberikan ‘udzur,
maka hal ini mengkonsekuensikan peniadaan ‘udzur dalam semua perkara agama,
baik yang dhaahir (jelas) maupun khaafiy (tersembunyi/samar/tidak
jelas).
Ini
jelas menyelisihi manhaj Ahlus-Sunnah dalam pengkafiran.
Di
sisi lain, ada paradoks/kontradiksi yang nyata saat ‘mereka’ menyatakan untuk
perkara yang khaafiy diberikan ‘udzur kejahilan. Padahal, perkara-perkara yang mereka anggap khaafiy ini, nash-nashnya sering dibaca oleh kaum muslimin
siang dan malam seperti misal masalah al-asmaa’ wash-shifaat.
Kenyataan, banyak di antara kaum muslimin
yang melakukan sebagian perkara kesyirikan dalam istighatsah, bertabarruk, dan
bertawassul dengan orang yang meninggal karena ketiadaan pemahaman makna yang
benar terhadap nash-nash. Mereka menyangka itu bukan termasuk kesyirikan dan
pelanggaran terhadap agama, bahkan merupakan amal ketaatan untuk mendekatkan
diri kepada Allah ta’ala.
Jika para ulama memberi ‘udzur kepada orang
semisal As-Subkiy[7],
As-Suyuuthiy, dan yang lainnya yang terjatuh dalam kekeliruan perkara ini,
bagaimana bisa kita tidak memberi ‘udzur orang yang tidak memahami nash lantas taqlid
terhadap ijtihaad mereka ?.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وإنّما المقصود هنا : أنّ ما ثبت قبحه من البدع وغير البدع من المنهي عنه في
الكتاب والسّنة أو المخالف للكتاب والسّنة إذا صدر عن شخص من الأشخاص فقد يكون على
وجه يعذر فيه؛ إمّا لاجتهاد أو تقليد يعذر فيه، وإما لعدم قدرته
“Dan yang
dimaksudkan di sini adalah bahwa segala hal yang telah tetap kejelekannya dari
amalan bid’ah atau selain bid’ah yang terlarang dalam Al-Kitab dan As-Sunnah
atau yang menyelisihi Al-Kitaab dan As-Sunnah apabila dilakukan seseorang,
kadang dapat diberikan ‘udzur padanya, baik karena faktor ijtihad, taqlid yang
diberikan ‘udzur padanya, ataupun ketiadaan kemampuannya” [Majmuu’
Al-Fataawaa, 10/371-372].[8]
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ –
perumahan ciomas permai – 11012014 – 22:15].
[1] Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 946 dan
Muslim no. 1770.
[2] Selengkapnya silakan baca artikel : Sebab-Sebab
Perselisihan Para Ulama dan Sikap Kita Terhadapnya.
[3] Selengkapnya silakan baca artikel : Perbedaan
Pendapat di Kalangan Salaf : Apakah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
Melihat Allah Ketika Mi’raj (1).
[4] Meski syari’at memberikan ruang toleransi adanya
ruang perbedaan pendapat, bukan berarti kita mengesahkan setiap perbedaan
pendapat tersebut. Silakan baca penjelasannya dalam artikel: Perselisihan
Pendapat.
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُفَيْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي
اللَّيْث، قَالَ: حَدَّثَنِي عُقَيْلٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ حَمْزَةَ بْنِ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ، أُتِيتُ بِقَدَحِ
لَبَنٍ فَشَرِبْتُ حَتَّى إِنِّي لَأَرَى الرِّيَّ يَخْرُجُ فِي أَظْفَارِي، ثُمَّ
أَعْطَيْتُ فَضْلِي عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، قَالُوا: فَمَا أَوَّلْتَهُ يَا
رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: الْعِلْمَ
Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin ‘Ufair, ia
berkata : Telah menceritakan kepadaku Al-Laits, ia berkata : Telah menceritakan
kepadaku ‘Uqail, dari Ibnu Syihaab, dari Hamzah bin ‘Abdillah bin ‘Umar :
Bahwasannya Ibnu ‘Umar berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Ketika aku tidur, aku bermimpi diberi
segelas susu lalu aku meminumnya hingga aku melihat sesuatu yang indah keluar
dari kuku-kukuku, kemudian aku berikan sisanya kepada shahabatku yang mulia,
‘Umar bin Al-Khaththaab”. Para shahabat bertanya : “Apa ta’wil mimpi
tersebut wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Ilmu” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 82].
[6] Ini
sekaligus menunjukkan bahwa pemahaman nash (yang benar) merupakan
kemestian dalam penegakan hujjah.
[7] Al-Imaam Taqiyyuddin As-Subkiy rahimahullah
dalam kitab Syifaaus-Saqaam fii Ziyaarati Khairil-Anaam (hal. 357 –
Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Cet. 1/tahun 2008 M) berkata:
“Ketahuilah
bahwasannya diperbolehkan, bahkan dianggap baik, melakukan tawassul, istighaatsah,
dan meminta syafa’at dengan perantaraan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
kepada Rabbnya. Beliau juga berkata
bahwa tawasul kepada Nabi Saw. adalah boleh secara mutlak, sebelum Nabi Saw.
diciptakan maupun setelah diciptakan, ketika masih hidup maupun setelah
wafatnya. Kebolehan dan baiknya hal tersebut merupakan permasalahan yang telah
diketahui oleh setiap orang yang beragama (Islam), dikenal sebagai perbuatan
yang dilakukan oleh para nabi, rasul, as-salafush-shaalih, ulama, dan orang
awam dari kalangan kaum muslimin. Tidak ada seorangpun kaum muslimin yang
mengingkarinya, bahkan tidak pernah didengar adanya pengingkaran tersebut sejak
jaman dahulu, hingga datang Ibnu Taimiyyah.......”.
Kemudian
beliau rahimahullah membawakan dalil-dalil dalam kitabnya tersebut yang
kesemuanya lemah dan/atau tidak tepat dalam sisi pengambilan hukumnya. Diantaranya
silakan baca kitab Ash-Shaarimul-Munkiy fir-Radd ‘alas-Subkiy karya
Al-Haafidh Ibnu ‘Abdil-Haadiy rahimahullah.
[8] Yang menakjubkannya, Asy-Syaikh Shaalih
Al-Fauzaan haidhahullah pernah ditanya:
“Orang yang
melakukan kesyirikan, seperti berdoa kepada selain Allah misalnya, untuk
memberikan kesembuhan terhadap penyakit; apakah kita mengatakan : ‘Ia
musyrik’, ataukah kita mengatakan ; ‘Perbuatannya syirik’ – dalam
keadaan kita mengetahui ia mengucapkan Laa ilaha illallaah, mengerjakan
puasa dan berhaji ?”.
Beliau menjawab:
“Apabila ia tidak memiliki ‘udzur dalam
perbuatan syiriknya, maka ia seorang musyrik. Namun apabila ia jahil/bodoh,
seorang muqallid, atau ia mempunyai ta’wiil yang ia anggap
benar, maka perlu dijelaskan kepadanya. Apabila ia menolaknya, maka penghukuman
kesyirikan ada padanya karena kejahilannya telah hilang” [Sumber audio : http://www.manhaj.com/manhaj/assets/audio/fawzan-excuse-ignorance.mp3].
Pertanyaan:
أحسن
الله إليكم صاحب الفضيلة : من كَفَّرَ الصحابة هل هو كافر؟
“Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan
ya syaikh. Apakah orang yang
mengkafirkan shahabat itu kafir?”.
Jawaban:
من
كَفَّرَ الصحابة عن علم، وهو يعرف أن الله جل وعلا عدلهم وزكاهم، والرسول حكم بإيمانهم،
يعرف كل هذا ويكفر الصحابة فهو كافر. أما إن كان مقلدا سمع من يقول بهذا وقلده فهذا
ضلال
“Barangsiapa
yang mengkafirkan shahabat dari ilmu, sedangkan ia mengetahui bahwa Allah jalla
wa ‘alaa telah menetapkan keadilan bagi mereka dan memuji mereka, serta
Rasul telah menetapkan keimanan mereka. Ia dalam keadaan mengetahui semuanya ini dan kemudian
mengkafirkan shahabat, maka ia kafir. Namun apabila ia seorang muqallid
yang mendengar orang mengatakan perkataan tersebut dan kemudian ia bertaqlid
kepadanya, maka ia sesat” [Ta’liiq Al-Mukhtashaar ‘alal-Qashiidah
An-Nuuniyyah, 3/1333].
Comments
Posting Komentar