٩ - ليس في السنة قِيَاسٌ
9.
Tidak
ada qiyaas dalam As-Sunnah.
Penjelasan:
Para
ulama berbeda perkataan dalam menjelaskan maksud ucapan Al-Imaam Ahmad bin
Hanbal rahimahumallah di sini.
1.
Dikatakan maksudnya
adalah tidak boleh menyertakan sesuatu terhadap sunnah yang bukan termasuk
darinya yang kemudian menjadikannya sebagai sunnah dan kita katakan sesuatu
tersebut dinashkan dalam sunnah.
2.
Dikatakan juga,
maksud qiyas di sini adalah qiyaas faasid (qiyas yang rusak),
yaitu qiyas yang bertentangan dengan nash dan ijmaa’. Ini adalah qiyas
yang terlarang. Apabila didapatkan satu nash dalam satu permasalahan, maka
tidak boleh menentangnya dengan qiyas, karena pertentangan nash dengan qiyas
menyebabkan qiyas tersebut rusak.
Misalnya
qiyas riba yang dilakukan oleh orang-orang musyrik terhadap jual-beli. Allah ta’ala berfirman:
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا
إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبَا
“Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba” [QS. Al-Baqarah : 275].
Ini
adalah qiyas yang rusak karena dilakukan untuk menentang firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ
مُؤْمِنِينَ
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman” [QS. Al-Baqarah :
278].
Contoh
lain adalah qiyas yang dilakukan Ibliis ketika ia mengatakan:
أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ
خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ
“Aku
lebih baik daripadanya, Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan
dari tanah” [QS. Al-A’raaf : 12].
Ini
adalah qiyas yang rusak karena dilakukan untuk menentang firman Allah ta’ala:
اسْجُدُوا لآدَمَ
“Sujudlah
kalian kepada Adam” [QS. Al-Baqarah : 34].
Contoh
lain adalah seseorang meninggalkan shalat ketika safar karena mengqiyaskan
kebolehan tidak berpuasa (berbuka) bagi seorang musafir.
Apabila
telah ada nash, maka tidak boleh menentangnya/membantahnya dengan qiyas, tidak dengan akal,
tidak dengan pendapat, dan tidak dengan apapun. Kewajiban kita hanyalah tasliim
(menerima). Allah ta’ala berfirman:
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ
حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ
حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya” [QS. An-Nisaa’ : 65].
3.
Dikatakan juga
maksudnya tidak ada qiyas dalam perkara ‘aqidah dan ibadah mahdlah (murni),
karena keduanya bersifat tauqifiyyah, (ditetapkan berdasarkan nash).
‘Aqidah
dan ibadah mahdlah ditetapkan tidak berdasarkan ‘illat, karena
Allah ta’ala berfirman:
لا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ
وَهُمْ يُسْأَلُونَ
“Dia
(Allah) tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, namun merekalah yang (kelak)
akan ditanyai” [QS. Al-Anbiyaa’ : 23].
Padahal
qiyas sendiri ditetapkan berdasarkan ‘illat, dan ‘illat tersebut
termasuk diantara rukun-rukunnya. Adapun qiyas antara perkara cabang dengan
perkara pokok dalam suatu hukum karena ada kesamaan ‘illat – sebagaimana
masyhur dalam bahasan fiqh/ushul fiqh - , maka ini diperbolehkan.
Syaikhul-Islaam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
كان أحمد و غيره من فقهاء
أهل الحديث يقولون إن الأصل فى العبادات التوقيف فلا يشرع منها إلا ما شرعه الله
تعالى و إلا دخلنا في معنى قوله أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ
مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Ahmad
dan yang lainnya dari kalangan fuqahaa’ ahli hadits berkata :
Sesungguhnya pokok dalam ibadah-ibadah adalah tauqiif, sehingga tidak
disyari’atkan darinya kecuali apa-apa yang disyari’atkan oleh Allah ta’ala.
Jika tidak demikian, kita akan masuk dalam makna firman-Nya ta’ala : ‘Apakah
mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka
agama yang tidak diizinkan Allah?’ (QS. Asy-Syuuraa : 21)” [Majmuu’
Al-Fataawaa, 29/17].
Contoh
qiyas yang diperbolehkan adalah qiyas antara haramnya narkoba dengan
(haramnya) khamr karena mempunyai ‘illat yang sama, yaitu memabukkan. Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ،
وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“Setiap
yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr hukumnya haram”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 2003].
Yang
menjadi cabang dalam hal ini adalah narkoba, sedangkan yang pokok adalah khamr.
Contoh
qiyas yang tidak dipebolehkan adalah qiyas antara batalnya wudlu karena makan
daging burung onta (an-na’aamah) dengan batalnya wudlu karena makan
daging onta. Hukum pada perkara pokoknya (yaitu batalnya wudlu karena makan
daging onta) tidak memiliki ‘illat yang diketahui, akan tetapi ini
adalah perkara murni ta’abbduiy (ibadah mahdlah) berdasarkan
pendapat yang masyhur.
Begitu
juga dalam perkara ‘aqidah, maka tidak ada qiyas, yaitu qiyas syumul dan
qiyas tamtsil. Adapun aulawiyyah, maka diperbolehkan.
a.
Qiyas asy-syumuul :
mengqiyaskan satu bagian kepada sesuatu yang umum yang mencakup seluruh
bagian-bagiannya, sehingga setiap bagian tersebut masuk dalam yang umum baik
lafadh maupun maknanya.
Qiyas
ini seperti silogisme berikut:
PMy : Semua
mamalia berkaki empat.
PMn : Sapi
adalah mamalia.
K : Sapi
berkaki empat.
Qiyas
ini boleh dan benar.
PMy : Semua
yang memiliki tangan adalah makhluk.
PMn : Allah
memiliki tangan.
K : Allah
adalah makhluk.
Qiyas
ini tidak boleh dan tidak benar. Akibat penggunakan logika qiyas ini, ahlul-bida’
telah terjerumus dalam kesesatan dalam menolak nash dan kemudian mentahrifnya
(menyelewengkannya) kepada makna-makna yang menyimpang. Mereka katakan bahwa
dikarenakan semua yang memiliki tangan adalah makhluk, maka setiap orang yang
mengatakan Allah memiliki tangan mengkonsekuensikan anggapan bahwa Allah adalah
makhluk. Ini tidak benar, kata mereka. Oleh karena itu, ‘tangan’ di situ mesti
ditakwilkan kepada makna lain seperti kekuasaan, kehendak, dan yang lainnya
untuk menghindari penyerupaan terhadap makhluk-Nya. Akibat dari logika qiyas
ini, mereka menuduh Ahlus-Sunnah yang menetapkan sifat tangan bagi Allah ta’ala
sebagaimana dhahirnya sebagai musyabbihah dan mujassimah.
Logika
qiyas yang mereka lakukan untuk menolak nash itu tidak benar karena Allah ta’ala
telah menetapkan bagi diri-Nya mempunyai tangan, namun tangan-Nya berbeda
dengan tangan makhluk-Nya; sebagaimana Allah ta’ala menetapkan bagi
diri-Nya sifat mendengar dan melihat, namun kedua sifat ini berbeda dengan
sifat makhluk-Nya. Allah ta’ala berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak
ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Melihat” [QS. Asy-Syuuraa : 11].
b.
Qiyaas at-tamtsiil :
menyamakan sesuatu dengan yang semisalnya, dengan menjadikan apa yang tetap
bagi Allah seperti apa yang tetap bagi makhluk-Nya.
Allah
mempunyai tangan, makhluk juga mempunyai tangan. Jadi, tangan Allah sama
seperti tangan makhluk. Qiyas ini jelas tidak benar dengan dalil QS.
Asy-Syuuraa ayat 11 di atas.
c.
Qiyas al-aulawiyyah :
qiyas dimana perkara cabangnya lebih kuat dan lebih berhak terhadap hukumnya
daripada pokoknya. Qiyas seperti ini diperbolehkan untuk Allah ta’ala.
Allah ta’ala berfirman:
وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الأعْلَى
“Dan
Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi” [QS. An-Nahl : 60].
Maknanya,
semua sifat sempurna (dari makhluk-Nya – jika ada), maka Allah ta’ala memiliki
sifat-sfat tersebut yang paling tinggi dan paling sempurna [Syarh
Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah oleh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin,
1/130].
Contoh
umumnya adalah mengqiyaskan larangan memukul dengan larangan perkataan ‘ah’
dan bentakan terhadap orang tua dalam firman Allah ta’ala:
فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا
كَرِيمًا
“Maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah"
dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia” [QS. Al-Israa’ : 23].
Maksudnya,
jika perkataan ‘ah’ dan hardikan saja dilarang (ini perkara pokoknya), maka
memukul (perkara cabang) tentu lebih kuat larangan dan pengharamannya.
Adapun
contoh penggunaan qiyas ini untuk hak Allah adalah sabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam:
لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ
مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلَاةٍ
“Allah
jauh lebih gembira dengan taubat hamba-Nya ketika ia bertaubat kepada-Nya,
daripada salah seorang di antara kalian yang berada di atas hewan tunggangannya
di tanah yang tandus....” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2747].
Hadits
ini menetapkan sifat gembira.
Juga
sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
أَتُرَوْنَ هَذِهِ طَارِحَةً وَلَدَهَا فِي النَّارِ قُلْنَا: لَا،
وَهِيَ تَقْدِرُ عَلَى أَنْ لَا تَطْرَحَهُ فَقَالَ: لَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ
مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا
“Apakah
menurut kalian ibu ini tega melemparkan anaknya ke dalam api ?”. Kami (para
shahabat) menjawab : “Tidak. Ia tidak akan tega melemparkannya”. Maka beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Allah lebih sayang terhadap hamba-Nya
daripada (kasih sayang) ibu ini terhadap anaknya” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 5999].
Hadits
ini menetapkan sifat rahiim (penyayang).
Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
berkata:
١٠ - وَلَا تُضْرَبُ لَهَا الْأَمْثَالُ، وَلَا
تُدْرَكُ بِالْعُقُولِ وَلَا الْأَهْوَاءِ، وَإِنَّمَا هُوَ الْاتِّبَاعُ وَتَرْكُ
الْهَوَى
10.
As-Sunnah
tidak boleh dibuat permisalan-permisalan dan tidak boleh dipahami dengan akal
semata dan hawa nafsu. Kewajiban yang ada hanyalah ittibaa’ dan
meninggalkan hawa nafsu.
Penjelasan:
As-Sunnah tidak boleh dibuat permisalan-permisalan,
sehingga dikatakan ini seperti ini sehingga hukumnya demikian dan demikian. Ini
dilakukan dalam rangka membantah As-Sunnah.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " تَوَضَّئُوا مِمَّا
غَيَّرَتِ النَّارُ "، فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ أَتَوَضَّأُ مِنَ الْحَمِيمِ؟
فَقَالَ لَهُ: يَا ابْنَ أَخِي إِذَا سَمِعْتَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ حَدِيثًا فَلَا تَضْرِبْ لَهُ الْأَمْثَالَ
Dari
Abu Hurairah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernha
bersabda : “Berwudlulah karena makan sesuatu yang dimasak oleh api”.
Ibnu ‘Abbaas berkata : “Apakah mesti juga berwudlu karena minum air panas ?”.
Maka Abu Hurairah berkata : “Wahai anak saudaraku, apabila engkau mendengar
hadits dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka jangan
engkau buat permisalan-permisalan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 485;
hasan].
Ibnu
Maajah membawakan riwayat di atas secara lebih singkat dalam Bab : ‘Pengagungan
terhadap Hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Teguran terhadap
Orang yang Menentangnya’ :
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، أَنَّ
أَبَا هُرَيْرَةَ، قَالَ لِرَجُلٍ: " يَا ابْنَ أَخِي، إِذَا حَدَّثْتُكَ
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدِيثًا، فَلَا تَضْرِبْ
لَهُ الْأَمْثَالَ "
Dari
Abu Salamah : Bahwasannya Abu Hurairah pernah berkata pada seseorang (yaitu
Ibnu ‘Abbaas) : “Wahai anak saudaraku, apabila aku menceritakan hadits kepadamu
dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, jangan engkau buat
untuknya permisal-permisalan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 22; hasan].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ،
قَالَ: " اقْتَتَلَتِ امْرَأَتَانِ مِنْ هُذَيْلٍ فَرَمَتْ إِحْدَاهُمَا
الْأُخْرَى بِحَجَرٍ، فَقَتَلَتْهَا وَمَا فِي بَطْنِهَا، فَاخْتَصَمُوا إِلَى
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَّ دِيَةَ جَنِينِهَا غُرَّةٌ عَبْدٌ أَوْ وَلِيدَةٌ،
وَقَضَى بِدِيَةِ الْمَرْأَةِ عَلَى عَاقِلَتِهَا وَوَرَّثَهَا وَلَدَهَا وَمَنْ
مَعَهُمْ، فَقَالَ حَمَلُ بْنُ النَّابِغَةِ الْهُذَلِيُّ: يَا رَسُولَ اللَّهِ
كَيْفَ أَغْرَمُ مَنْ لَا شَرِبَ وَلَا أَكَلَ وَلَا نَطَقَ وَلَا اسْتَهَلَّ
فَمِثْلُ ذَلِكَ يُطَلُّ؟، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
إِنَّمَا هَذَا مِنْ إِخْوَانِ الْكُهَّانِ مِنْ أَجْلِ سَجْعِهِ الَّذِي سَجَعَ
Dari
Abu Hurairah, ia berkata : Ada dua orang wanita yang saling bunuh dari suku
Hudzail. Salah seorang diantara keduanya melempari batu kepada yang lain
sehingga membunuhnya dan janin yang ada di perutnya. Maka mereka
memperkarakannya ke hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memutuskan diyat bagi
janinnya denda berupa budak laki-laki atau budak perempuan. Dan beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam pun memutuskan diyat yang wanita terbunuh itu dibebankan
kepada keluarga wanita pembunuh dan mewariskannya kepada anaknya dan keluarga
yang bersama mereka. Hamal bin An-Naabighah Al-Hudzaliy berkata : “Wahai
Rasulullah, bagaimana bisa aku menanggung denda orang yang tidak bisa minum,
tidak bisa makan, tidak bisa berbicara, dan tidak bisa menangis ?. Maka yang
semisal itu dibatalkan saja”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “Orang ini hanyalah saudaranya para dukun” – dengan sebab
sajaknya yang ia katakan [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6910 dan Muslim
no. 1681].
Banyak
sekali contoh yang lain dari salaf yang mereka membenci dan bersikap keras terhadap orang-orang yang
menolak/meremehkan As-Sunnah.
عَنْ عِمْرَان بْن حُصَيْنٍ،
قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " الْحَيَاءُ لَا
يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ " فَقَالَ بُشَيْرُ بْنُ كَعْبٍ: مَكْتُوبٌ فِي
الْحِكْمَةِ إِنَّ مِنَ الْحَيَاءِ وَقَارًا وَإِنَّ مِنَ الْحَيَاءِ سَكِينَةً،
فَقَالَ لَهُ عِمْرَانُ: أُحَدِّثُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَتُحَدِّثُنِي عَنْ صَحِيفَتِكَ
Dari
‘Imraan bin Hushain, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam : “Malu tidak datang kecuali dengan kebaikan”. Maka
Busyair bin Ka’b berkata : “Terulis di dalam buku hikmah bahwa mau itu ada yang
merupakan kelemahan, atau pula merupakan ketenangan”. ‘Imraan berkata kepadanya
: “Aku menceritakan kepadamu hadits dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam dan engkau menceritakan kepadamu dari lembaran-lembaranmu ?” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 6117 dan Muslim no. 37].
Ibnu
Hajar menukil pendapat ulama bahwa kemarahan ‘Imraan bin Hushain karena
perkataan Busyair diucapkan untuk menentang/menyelisihi perkataan Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam [lihat : Fathul-Baariy, 10/552].
عَنْ أَبِي الْمُخَارِقِ،
قَالَ: ذَكَرَ عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " نَهَى عَنْ دِرْهَمَيْنِ بِدِرْهَمٍ "،
فَقَالَ فُلَانٌ: مَا أَرَى بِهَذَا بَأْسًا، يَدًا بِيَدٍ، فَقَالَ عُبَادَةُ:
أَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُ: لَا أَرَى
بِهِ بَأْسًا، وَاللَّهِ لَا يُظِلُّنِي وَإِيَّاكَ سَقْفٌ أَبَدًا
Dari
Abul-Mukhaariq, ia berkata : ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit radliyallaahu ‘anhu
pernah menyebutkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang dua
dirham ditukar dengan satu dirham”. Lalu Fulaan berkata : “Aku berpendapat itu
tidak mengapa, asalkan cash tangan dengan tangan”. Maka ‘Ubaadah berkata
: “Aku berkata ‘telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam’ dan
engkau malah berkata : ‘aku berpandapat itu tidak mengapa’. Demi Allah,
aku dan engkau tidak akan pernah berada satu atap selama-lamanya (karenanya)”
[Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 443; shahih].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
مُغَفَّلٍ أَنَّهُ رَأَى رَجُلًا يَخْذِفُ، فَقَالَ لَهُ: لَا تَخْذِفْ فَإِنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْخَذْفِ، أَوْ
كَانَ يَكْرَهُ الْخَذْفَ، وَقَالَ: إِنَّهُ لَا يُصَادُ بِهِ صَيْدٌ، وَلَا
يُنْكَى بِهِ عَدُوٌّ، وَلَكِنَّهَا قَدْ تَكْسِرُ السِّنَّ وَتَفْقَأُ الْعَيْنَن
"، ثُمَّ رَآهُ بَعْدَ ذَلِكَ يَخْذِفُ، فَقَالَ لَهُ: أُحَدِّثُكَ عَنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنِ الْخَذْفِ أَوْ
كَرِهَ الْخَذْفَ، وَأَنْتَ تَخْذِفُ، لَا أُكَلِّمُكَ كَذَا وَكَذَا
Dari
‘Abdullah bin Mughaffal, bahwasannya ia pernah melihat seseorang yang bermain melempar-lempar
kerikil (khadzaf). Ia berkata : “Janganlah melempar-lempar kerikil.
Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang melempar-lempar
kerikil – atau beliau membenci melempar-lempar kerikil. Beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Sesungguhnya melempar kerikil itu tidak
dapat membunuh binatang buruan dan tidak dapat melumpuhkan musuh. Akan tetapi
hanya mematahkan tulang dan menciderai mata’. Kemudian setelah itu, ia (Abdullah
bin Mughaffal) kembali melihat orang itu bermain melempar-lempar kerikil. Lalu
ia berkata kepadanya : “Bukankah aku telah menyampaikan kepadamu hadits
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melarang melempar-lempar
kerikil – atau beliau membenci melempar-lempar kerikil, sedangkan engkau masih
melakukannya? Sungguh aku tidak akan mengajakmu bicara demikian dan demikian” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 5479 dan Muslim no. 1954].
عَنْ قَتَادَةَ، قَالَ:
حَدَّثَ ابْنُ سِيرِينَ رَجُلًا بِحَدِيثٍ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ رَجُلٌ: قَالَ فُلَانٌ: كَذَا وَكَذَا، فَقَالَ ابْنُ سِيرِينَ:
" أُحَدِّثُكَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُ:
قَالَ فُلَانٌ وَفُلَانٌ: كَذَا وَكذَا، لَا أُكَلِّمُكَ أَبَدًا "
Dari
Qataadah, ia berkata : Ibnu Siiriin pernah menceritakan kepada seseorang satu
hadits dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Orang tersebut berkata
: “Telah berkata Fulaan begini dan begitu”. Maka Ibnu Siiriin berkata : “Aku
menceritakan kepadamu satu hadits dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
dan engkau berkata : ‘telah berkata Fulaan begini dan begitu’ ?.
Aku tidak akan berbicara kepadamu selamanya” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no.
443; shahih].
أخبرنا أبو بكر محمد بن عبد
الله بن محمد بن زكريا الشيباني، أخبرنا أبو العباس محمد بن عبد الرحمن الدغولي،
سمعت محمد بن حاتم المظفري يقول: كان أبو معاوية الضرير يحدث هارون الرشيد فحدثه
بحديث أبي هريرة "احتج آدم وموسى"، فقال عيسى بن جعفر: كيف هذا وبين آدم
وموسى ما بينهما؟ قال فوثب به هارون وقال: يحدثك عن الرسول صلى الله عليه وسلم
وتعارضه بكيف؟ قال: فما زال يقول حتى سكت عنه
Telah
mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr Muhammad bin ‘Abdillah bin Muhammad bin Zakariyyaa Asy-Syaibaaniy : Telah
mengkhabarkan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin ‘Abdirrahmaan Ad-Daghuuliy
: Aku mendengar Muhammad bin Haatim Al-Mudhaffariy berkata : “Dulu Abu
Mu’aawiyyah Adl-Dlariir pernah menceritakan kepada Haaruun Ar-Rasyiid. Maka ia
menceritakan hadits Abu Hurairah : ‘Aadam berdebat dengan Muusaa’. Lalu
‘Iisaa bin Ja’far berkata : “Bagaimana itu terjadi sedangkan antara Aadam dan
Muusaa terpaut masa yang cukup jauh”. Mendengar itu, Haarun meloncat berdiri
seraya berkata : “Diceritakan kepadamu hadits dari Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam dan engkau membantahkan dengan perkataan ‘bagaimana’ ?”.
Perawi berkata : “Haaruun senantiasa mengulangnya gingga ia terdiam darinya”
[Diriwayatkan oleh ‘Ash-Shaabuhiy dalam ‘Aqiidatus-Salaf wa
Ashhaabil-Hadiits, hal. 126-127 no. 184; shahih].
Setelah
menyebutkan kisah Haaruun Ar-Rasyiid di atas Abu ‘Utsmaan Ash-Shaabuniy rahimahullah
berkata:
هكذا ينبغي للمرء أن يعظم
أخبار رسول الله صلى الله عليه وسلم، ويقابلها بالقبول والتسليم والتصديق. وينكر
أشد الإنكار على من يسلك فيها غير هذا الطريق الذي سلكه هارون الرشيد رحمه الله مع
من اعترض على الخبر الصحيح، الذي سمعه بكيف؟ على طريق الإنكار له، والابتعاد عنه،
ولم يتلقه بالقبول كما يجب أن يتلقى جميع ما يرد من الرسول صلى الله عليه وسلم.
“Begitulah
yang seharusnya dilakukan oleh seseorang untuk mengagungkan hadits-hadits
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, menerimanya dengan penuh
penerimaan, kepasrahan, dan pembenaran. Dan hendaknya ia mengingkari dengan
sebesar-besar pengingkaran terhadap orang yang tidak menempuh jalan ini yang
ditempuh oleh Haaruun Ar-Rasyiid rahimahullah terhadap orang yang
menentang hadits shahih yang ia dengar dengan perkataan ‘bagaimana (kaifa) ?’
dalam rangka pengingkaran dan menjauhkan diri darinya; bukan menerimanya
sebagaimana keharusan bagi dirinya untuk menerima semua yang dikhabarkan dari
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [idem, hal. 127].
As-Sunnah tidak boleh dipahami dengan akal semata dan hawa
nafsu.
‘Aliy
bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu berkata:
لَوْ كَانَ الدِّينُ
بِالرَّأْيِ، لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ،
وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى
ظَاهِرِ خُفَّيْهِ "
“Seandainya
agama ini diukur dengan akal pikiran semata, niscaya bagian bawa khuff
(sepatu) lebih berhak untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun aku telah
melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas
kedua khuff-nya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 162; shahih].
Bagian
bawah khuff yang menginjak tanah pada umumnya lebih kotor daripada
bagian atasnya, sehingga secara akal yang perlu dibersihkan adalah bagian
bawahnya. Namun ketika ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu melihat
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khuff ketika
bersuci, maka ia buang jauh-jauh logika akal tersebut dan hanya mengikuti apa
yang ia lihat dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Lebih
jelas lagi adalah riwayat ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu berikut:
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّهُ جَاءَ إِلَى الْحَجَرِ الْأَسْوَدِ فَقَبَّلَهُ فَقَالَ إِنِّي أَعْلَمُ
أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْ لَا أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ
Dari
‘Umar radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya ia pernah mendatangi hajar aswad
lalu menciumnya dan berkata : “Sesungguhnya aku tahu bahwasannya engkau
hanyalah sebuah batu yang tidak memberikan kemudlaratan dan tidak pula manfaat.
Seandainya aku tidak melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menciummu, aku
tidak sudi menciummu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1597].
Akal
sebenarnya mengatakan bahwa batu yang notabene tidak dapat memberikan manfaat
maupun mudlarat tidak layak untuk dicium atau diusap-usap. Akan tetapi
dikarenakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan dalam
rangkaian ibadah manasik haji (thawaf) untuk mencium hajar aswad, maka
‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu pun menciumnya semata-mata
karena ber-ittibaa’ kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
عَنْ سَهْل بْن حُنَيْفٍ، قَالَ:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، اتَّهِمُوا رَأْيَكُمْ عَلَى دِينِكُمْ لَقَدْ رَأَيْتُنِي
يَوْمَ أَبِي جَنْدَلٍ وَلَوْ أَسْتَطِيعُ أَنْ أَرُدَّ أَمْرَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ لَرَدَدْتُهُ
Dari
Sahl bin Hunaif, ia berkata : “Wahai sekalian manusia, curigailah pendapat
kalian terhadap agama kalian. Sungguh aku telah menyaksikan diriku pada
peristiwa Abu Jandal, seandainya aku sanggup untuk menolak perintah Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam, niscaya aku akan menolaknya....” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 3181 & 7308].
Maksud
perkataan ‘curigailah pendapat kalian terhadap agama kalian’ adalah :
Janganlah kalian beramal dalam perkara agama berdasarkan akal pikiran saja
tanpa bersandar pada pokok dari agama [Fathul-Baariy, 13/288-289].
Oleh
karena itu, orang rasionalis yang menyandarkan agamanya dengan akal pikirannya
semata, tidak akan pernah bersatu dengan Ahlus-Sunnah. Bahkan mereka adalah
musuh yang keras terhadap sunnah dan orang-orang yang berpegang kepadanya.
‘Umar
bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu berkata:
أَصْبَحَ أَهْلُ الرَّأْيِ
أَعْدَاءَ السُّنَنِ، أَعْيَتْهُمُ الأَحَادِيثُ أَنْ يَعُوهَا، وَتَفَلَّتَتْ
مِنْهُمْ أَنْ يَرْوُوهَا فَاسْتَبَقُوهَا بِالرَّأْيِ
“Ahlur-ra’yi
(= orang-orang yang mengedepankan akal/rasionalis) telah menjadi
musuh-musuh sunnah. Hadits-hadits telah menyebabkan mereka tidak mampu untuk
menghapalkannya/memahaminya, sehingga mereka pun tidak dapat meriwayatkannya.
Lalu mereka bergegas untuk mengambil pendapat dengan akal pikiran mereka”
[Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dalam Al-Jaami’ no. 2001 & 2003
& 2004, Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 213, Al-Laalikaa’iy dalam Syarh
Ushuulil-I’tiqaad no. 201, dan yang lainnya; shahih].
Seperti
yang terjadi di negeri kita ini dimana orang-orang Rasionalis sering mengejek
orang-orang yang berpegang terhadap sunnah sebagai orang yang beragama dengan
agamanya orang Arab.
Tidak
boleh menentang sunnah dengan akal, karena sunnah adalah wahyu yang terjaga
dari kekeliruan, sedangkan akal diciptakan dengan penuh keterbatasan. Bukankah
manusia ketika dilahirkan memiliki kadar akal minimal, kemudian akalnya berkembang
dan mencapai batas maksimal ketika dewasa, dan kemudian akhirnya melemah hingga
dapat kembali pada keadaan awal seperti ketika ia lahir dari perut ibunya?. Akal
pun berbeda-beda kadarnya antara satu orang dengan orang yang lain. Apa yang
ditetapkan sunnah sebagai kebenaran dan kebaikan, maka ia pasti benar dan baik.
Berbeda halnya dengan akal. Permasalahan keterbatasan akal di sini lebih mudah
digambarkan pada 5 orang buta yang disuruh mendeskripsikan seekor gajah yang ada
di hadapan mereka. Tentu masing-masing akan berbeda-beda dalam
pendeskripsiannya, karena masing-masing mendeskripsikan sebatas bagian tubuh
gajah yang dapat dipegang dan kemampuan otaknya untuk membayangkan apa
sebenarnya yang mereka pegang. Seperti itulah gambaran akal manusia yang seringkali
tidak berhasil dalam melihat hakekat sesuatu secara keseluruhan. Hanya Allah ta’ala
yang Maha Mengetahui hakekat apa yang Ia ciptakan secara keseluruhan, mana
yang benar mana yang salah, mana yang bermanfaat dan mana yang tidak
bermanfaat, dan seterusnya.
Berbicara
masalah agama yang hanya mengandalkan akal semata, dapat menyebabkan seseorang
berbicara tentang Allah ta’ala tanpa ilmu sehingga ia terjatuh dalam
dosa besar yang paling besar. Allah ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ
رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ
بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ
سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
“Katakanlah:
"Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun
yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang
benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak
menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa
yang tidak kamu ketahui" [QS. Al-A’raaf : 33].
Ibnul-Qayyim
rahimahullah berkata:
فرتب المحرمات أربع مراتب
وبدأ بأسهلها وهو الفواحش ثم ثنى بما هو أشد تحريما منه وهو الإثم والظلم ثم ثلث
بما هو أعظم تحريما منهما وهو الشرك به سبحانه ثم ربع بما هو أشد تحريما من ذلك
كله وهو القول عليه بلا علم
“Allah
ta’ala telah mengklasifikasikan perkara-perkara haram menjadi empat
tingkatan. Allah memulainya dengan yang paling ringan, yaitu
perbuatan-perbuatan keji (fawaahisy), kemudian Allah ta’ala menyebutkan
yang lebih berat darinya, yaitu perbuatan dosa dan aniaya (kedhaliman).
Kemudian Allah ta’ala menyebutkan yang ketiga yang lebih haram darinya,
yaitu berbuat syirik kepada Allah subhaanahu wa ta’ala. Kemudian
menyebutkan yang keempat yang lebih haram dari semuanya, yaitu berkata-kata
tentang Allah tanpa ilmu” [I’laamul-Muwaqqi’iin, 1/38].
Contoh
kongkritnya adalah atheis. Keyakinan atheis (peniadaan tuhan) lebih berat
daripada kesyirikan, karena atheis ini adalah peniadaan secara total sedangkan
kesyirikan adalah peniadaan sebagian (peniadaan pengesaan Allah dalam ‘ubuudiyyah).
Dan tidaklah paham atheis ini muncul kecuali karena adanya pengagungan terhadap
akal. Mereka hanya percaya pada sesuatu yang dapat diindera. Dikarenakan Allah ta’ala
tidak dapat diindera, maka mereka menyimpulkan Allah itu tidak ada. Subhaanallaah.
لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ
وَمَا فِي الأرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ الثَّرَى
“Kepunyaan-Nya-lah
semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan
semua yang di bawah tanah” [QS. Thaha : 6].
إِنَّ فِي خَلْقِ
السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأولِي
الألْبَابِ * الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى
جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ رَبَّنَا مَا
خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha
Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”
[QS. Aali ‘Imraan : 190-191].
Kewajiban yang ada hanyalah ittibaa’.
Allah
ta’ala berfirman:
اتَّبِعْ مَا أُوحِيَ
إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ لا إِلَهَ إِلا هُوَ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ
“Ikutilah
apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu; tidak ada Tuhan selain Dia;
dan berpalinglah dari orang-orang musyrik” [QS. Al-An’aam : 106].
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي
مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ
سَبِيلِهِ
“Dan
bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah
dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan
itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya” [QS. Al-An’aam : 153].
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ
تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ
ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah:
"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang” [QS. Aali ‘Imraan : 31].
Dan meninggalkan hawa nafsu.
Allah
ta’ala berfirman:
وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ
أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ
وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ
“Dan
sesungguhnya jika kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah pengetahuan datang
kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu” [QS.
Al-Baqarah : 120].
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ
أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ
“Andai
kata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi
ini, dan semua yang ada di dalamnya” [QS. Al-Mukminuun : 71].
Syaikhul-Islaam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah ketika mengomentari perkataan Al-Imaam Ahmad
‘tidak ada qiyaas dalam sunnah, tidak boleh dibuat permisal-permisalan, dan
tidak boleh dipahami dengan akal semata’ berkata:
هذا قوله وقول سائر أئمة
المسلمين فإنهم متفقون على أن ما جاء به الرسول صلى الله عليه و سلم لا تدركه كل
الناس بعقولهم ولو أدركوه بعقولهم لاستغنوا عن الرسول
“Ini
adalam perkataan beliau dan juga perkataan seluruh imam kaum muslimin, karena
mereka bersepakat bahwa segala sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam tidak boleh dipahami oleh seluruh manusia dengan akal
mereka semata. Seandainya mereka dapat memahami dengan akal-akal mereka,
niscaya mereka tidak butuh kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam...”
[Dar’ut-Ta’aarudl Al-‘Aql wan-Naql, 5/297].
Wallaahu
a’lam.
Bersambung,
insya Allah……
[Perum
Ciomas Indah Bukit Asri, Sabtu, 23-05-2015 – Abul-Jauzaa’ - Ushuulus-Sunnah
lil-Imaam Ahmad, syarh dan tahqiiq oleh Al-Waliid bin
Muhammad Nabiih, hal. 40-42; syarh oleh Rabii’ Al-Madkhaliy, hal. 10-12;
syarh oleh Zainul-‘Aabidiin bin Al-Husain, hal. 35-40; syarh oleh
Ahmad bin Yahyaa An-Najmiy, hal. 54-56; syarh oleh ‘Abdul-‘Aziiz bin
‘Abdillah Ar-Raajihiy, hal. 26-27; syarh oleh Khaalid bin Mahmuud Al-Juhaniy hal. 34-36; dan syarh oleh Ibnul-Jibriin, hal.
46-52; dan yang lainnya].
Silakan baca pembahasan
sebelumnya:
Ushuulus-Sunnah
lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (10) – Para Pengingkar As-Sunnah
Comments
Ustaz Abul Jauzaa, daftar artikel blog anda sepertinya tidak di-update. Artikel-artikel yang baru tidak terpapar.
Posting Komentar