Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (3) - Bid'ah


٣ - وَتَرْكُ الْبِدَعِ
٤ - وَكُلُّ بِدْعَةٍ فَهِيَ ضَلَالَةٌ
3.     Dan meninggalkan bid’ah-bid’ah.
4.     Setiap bid’ah adalah kesesatan.
Penjelasan:
a.     Definisi Bid’ah
Bid’ah secara bahasa, kata Ath-Thurthuusyiy rahimahullah dalam Al-Hawaadits wal-Bida’ (hal. 40) – berasal dari kata al-ikhtiraa’ (الاخْتِرَاع), yaitu sesuatu yang diada-adakan tanpa ada contoh sebelumnya.
Hal itu sebagaimana firman Allah ta’ala:
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ
Allah Pencipta langit dan bumi” [QS. Al-Baqarah : 117].
Artinya : Allah ta’ala adalah Pencipta langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya.
Ibnul-Mandhuur rahimahullah berkata : “(بدع الشيء يبدعه بدعاً وابتدعه), artinya : memulainya dan menciptakannya. Di dalam Al-Qur’an disebutkan:
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعاً مِنَ الرُّسُلِ
“Katakanlah: "Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul” [QS. Al-Ahqaaf : 9].
Maksudnya : Aku bukanlah orang yang pertama kali diutus. Sungguh telah banyak Rasul yang diutus sebelumku.
Jika dikatakan Fulaan bada’a fii hadzal-amr, maksudnya : Fulaan adalah orang yang pertama melakukannya tanpa ada pendahulunya seorangpun [selengkapnya : Lisaanul-‘Arab, 8/6-8].
Adapun secara istilah, para ulama berbeda pendapat.
Pendapat Pertama
Bid’ah adalah segala sesuatu yang diada-adakan setelah jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, baik yang terpuji (mahmuud) maupun yang tercela (madzmuum). Pendapat ini dipegang oleh Asy-Syaafi’iy, Al-‘Izz bin ‘Abdis-Salaam, Al-Qarraafiy, Al-Ghazzaaliy, Ibnul-Atsiir, An-Nawawiy, dan yang lainnya.
Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
الْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُودَةٌ، وَبِدْعَةٌ مَذْمُومَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُودٌ، وَمَا خَالَفَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَذْمُومٌ
“Bid’ah ada dua macam : bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah, maka itu yang terpuji; sedangkan bid’ah yang menyelisihi sunnah, maka itu yang tercela” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’, 9/113].
Pendapat Kedua
Bid’ah tidaklah dimutlakkan kecuali jika menyelisihi sunnah dan bermakna tercela. Abu Syammaah Al-Maqdisiy rahimahullah menjelaskan:
وقد غَلَبَ لفظ (البِدعةِ) على الحَدَثِ المكروهِ في الدِّينِ مهما أُطْلِقَ هذا اللفظُ، ومثلُه لفظُ (المُبْتَدِع) لا يكادُ يُستَعْمَلُ إِلاَّ فِي الذَّمِّ
“Pada umumnya, lafadh al-bid’ah dimaksudkan pada perkara baru yang dibenci dalam agama, seperti halnya lafadh al-mubtadi’ hampir tidak digunakan kecuali dalam konteks celaan” [Al-Baa’its ‘alaa Inkaaril-Bida’ wal-Hawaadiits, hal. 20].
Oleh karena itu, menurut pendapat ini, bid’ah secara istilah hanya satu makna, yaitu tercela. Pendapat ini dipegang oleh Asy-Syaathibiy, Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy, Ibnu Hajar Al-Haitamiy, Ibnu Rajab Al-Hanbaliy, Ibnu Taimiyyah, Az-Zarkasyiy, dan yang lainnya.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وقد قررنا في قاعدة السنة والبدعة أن البدعة في الدين هي ما لم يشرعه الله ورسوله وهو ما لم يأمر به أمر إيجاب ولا استحباب فأما ما أمر به أمر إيجاب أو استحباب وعلم الأمر به بالأدلة الشرعية فهو من الدين الذي شرعه الله وإن تنازع أولو الأمر في بعض ذلك وسواء كان هذا مفعولا على عهد النبي أو لم يكن فما فعل بعده بأمره من قتال المرتدين والخوارج المارقين وفارس وفارس والروم والترك وإخراج اليهود والنصارى من جزيرة العرب وغير ذلك هو من سنته
“Telah kami tetapkan tentang kaedah sunnah dan bid’ah, bahwasannya bid’ah dalam agama adalah segala sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yaitu perkara yang tidak diwajibkan atau disunnahkan untuk mengerjakannya. Adapun perkara yang diperintahkan untuk mengerjakannya, baik yang diwajibkan atau yang disunnahkan, berdasarkan dalil-dalil syar’iy, maka hal tersebut termasuk agama yang disyari’atkan Allah – meskipun dalam sebagiannya diperselisihkan para ulama - , baik yang telah dilakukan di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam maupun yang belum dilakukan. Maka, segala hal yang dilakukan sepeninggal beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam seperti memerangi orang-orang murtad, orang Kahwaarij, orang Persi, orang Romawi, orang Turki, serta mengeluarkan orang-orang Yahudi dan Nashrani dari jazirah ‘Arab, dan yang lainnya; maka itu termasuk sunnahnya shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 4/107-108].
Asy-Syathibiy rahimahullah berkata:
الْبِدْعَةُ: طَرِيقَةٌ فِي الدِّينِ مُخْتَرَعَةٌ، تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ، يُقْصَدُ بِالسُّلُوكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُّدِ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ
“Bid’ah adalah jalan dalam agama yang diada-adakan, yang menyerupai syari’at, yang bertujuan dengan jalan tersebut untuk berlebih-lebihan dalam perubadahan kepada Allah subhaanah”.
Ini adalah pendapat kelompok yang adat tidak masuk dalam makna bid’ah, karena bid’ah hanya dikhususkan dalam permasalahan ibadah. Pendapat kelompok yang memasukkan adat dalam makna bid’ah, maka definisinya:
الْبِدْعَةُ: طَرِيقَةٌ فِي الدِّينِ مُخْتَرَعَةٌ، تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ، يُقْصَدُ بِالسُّلُوكِ عَلَيْهَا مَا يُقْصَدُ بِالطَّرِيقَةِ الشَّرْعِيَّةِ
“Bid’ah adalah jalan dalam agama yang diada-adakan, yang menyerupai syari’at, yang bertujuan dengan jalan tersebut sama seperti tujuan menjalankan syari’at” [Al-I’tishaam, 1/37].
Definisi yang dibawakan Asy-Syaathibi rahimahullah di atas adalah definisi yang lebih komprehensif.
Mana yang raajih antara Pendapat Pertama dan Pendapat Kedua ?
Jawab : Pendapat Kedua, dengan dalil:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ، حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ، يَقُولُ: " صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ "، وَيَقُولُ: " بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةَ كَهَاتَيْنِ، وَيَقْرُنُ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى "، وَيَقُولُ: " أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila sedang berkhutbah, mata beliau memerah, suaranya keras dan kemarahan beliau memuncak, seakan-akan beliau sedang memperingatkan pasukan (dari musuh). Beliau bersabda : "Hendaklah kalian selalu waspada di waktu pagi dan petang. Aku diutus, sementara antara aku dan hari kiamat adalah seperti dua jari ini (yakni jari telunjuk dan jari tengah)". Kemudian beliau melanjutkan: "Amma ba'du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan, dan setiap bid'ah adalah kesesatan" [Diriwayatkan oleh Muslim no. 867].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِنَّمَا هُمَا اثْنَتَانِ: الْكَلَامُ، وَالْهَدْيُ، فَأَحْسَنُ الْكَلَامِ كَلَامُ اللَّهِ، وَأَحْسَنُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ، أَلَا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدِثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ شَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Dari ‘Abdullah bin Mas’uud : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya hanya ada dua hal : perkataan dan petunjuk. Maka sebaik-baik perkataan (kalaam) adalah Kalaamullah (Al-Qur’an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ketahuilah, waspadalah kalian terhadap perkara-perkara baru. Sesungguhnya seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru (yang diada-adakan), setiap hal baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah kesesatan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 46; shahih].
عَنِ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ "
Dari ‘Irbaadl bin Saariyyah : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Aku nasihatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun (yang memerintah kalian) seorang budak Habsyiy. Siapa saja yang hidup di antara kalian sepeninggalku nanti, akan menjumpai banyak perselisihan. Wajib atas kalian untuk berpegang pada sunnahku dan sunnah dan sunnah para khalifah yang mendapatkan hidayah dan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia erat-erat dengan gigi geraham. Waspadailah kalian terhadap hal-hal yang baru, karena setiap hal-hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4607; shahih].
Nash-nash di atas secara tegas dan jelas memutlakkan semua kebid’ahan sebagai kesesatan.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: " مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ عَامٌ إِلا أَحْدَثُوا فِيهِ بِدْعَةً، وَأَمَاتُوا فِيهِ سُنَّةً، حَتَّى تَحْيَى الْبِدَعُ، وَتَمُوتَ السُّنَنُ "
Dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Tidaklah datang kepada manusia suatu tahun kecuali mereka membuat-buat kebid’ahan padanya dan mematikan sunnah, hingga hiduplah bid’ah dan matilah sunnah” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir, 10/319 no. 10610].
عَنْ عَبْد اللَّهِ قَالَ: " إِيَّاكُمْ وَالتَّبَدُّعَ وَالتَّنَطُّعَ وَالتَّعَمُّقَ، وَعَلَيْكُمْ بِالْعَتِيقِ "
Dari ‘Abdullah bin Mas’uud, ia berkata : “Berhati-hatilah kalian dari berbuat bid’ah dan memaksakan diri dalam berbicara. Wajib bagi kalian berpegang pada ajaran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy 1/54 dan Ibnu Baththah dengan sanad shahih].
‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz rahimahullah pernah berwasiat kepada sebagian pegawainya:
أوصيك بتقوى الله، والاقتصاد في أمره، واتباع سنة رسوله صلى الله عليه وسلم وترك ما أحدث المحدثون بعده فيما جرت به سنته، وكُفوا مؤنته، واعلم أنه لم يبتدع إنسانٌ بدعة إلا قدّم له قبلها ما هو دليل عليها، وعبرة فيها. فعليك بلزوم السنة فإنه لك بإذن الله عصمة، واعلم أن من سن السنن قد علم ما في خلافها من الخطأ والزلل والتعمق والحمق، فإن السابقين عن علم وقفوا وببصر نافذ كَفُّوا، وكانوا هم أقوى على البحث ولم يبحثوا
“Aku nasihatkan kepadamu agar bertaqwa kepada Allah, bersikap sederhana dalam perkara-Nya, mengikuti sunnah Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan meninggalkan segala hal yang diada-adakan oleh pembuat bid’ah sepeninggal beliau terhadap apa-apa yang telah berlaku sunnahnya, dan dicukupkan bagi mereka bebannya. Ketahuilah, bahwa tidaklah manusia membuat-buat bid’ah kecuali telah ada dalil yang menjelaskan atas hal tersebut atau pelajaran yang ada di dalamnya (tentang hal itu). Maka wajib bagimu untuk berpegang pada sunnah, karena ia penjaga bagimu dengan izin Allah. Dan ketahuilah, bahwa barangsiapa yang menjalankan sunnah-sunnah, ia akan mengetahui segala sesuatu yang menyelesihinya (sunnah) termasuk kekeliruan, kekurangan, berlebih-lebihan, dan kedunguan. Sesungguhnya orang-orang terdahulu dalam hal ilmu (yaitu as-salafush-shaalih) telah berhenti dan menahan diri berdasarkan ilmu mereka yang tajam, padahal mereka adalah orang yang paling kuat dalam membahas namun ternyata mereka tidak membahasnya…” [Shahiih Sunan Abi Daawud no. 4612. Lihat : Takhriij Asy-Syarii’ah, atsar no. 292].
Tiga atsar di atas menunjukkan bahwa sunnah dan bid’ah adalah sesuatu yang berlawanan, sehingga sesuatu yang terpuji dan harus dipegang teguh disebut sunnah serta yang tercela dan harus diwaspadai disebut bid’ah.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: " كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً "
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : “Setiap bid’ah adalah kesesatan meskipun orang-orang memandangnya baik” [Diriwayatkan oleh Al-Marwaziy dalam As-Sunnah no. 83, Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 191, dan Al-Laalikaa’iy dalam Syarh ushuulil-I’tiqaad no. 126].
Perkataan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa ini memutlakkan bid’ah sebagai kesesatan dan sekaligus menafikkan kemungkinan makna bid’ah secara istilah sebagai sesuatu yang baik.
b.     Mengapa Kita Mesti Meninggalkan Bid’ah ?
Karena agama Islam telah sempurna
Allah ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu” [QS. Al-Maaidah : 3].
Mengomentari ayat di atas, Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:
هذه أكبر نعم الله ، عز وجل، على هذه الأمة حيث أكمل تعالى لهم دينهم ، فلا يحتاجون إلى دين غيره، ولا إلى نبي غير نبيهم، صلوات الله وسلامه عليه؛ ولهذا جعله الله خاتم الأنبياء، وبعثه إلى الإنس والجن، فلا حلال إلا ما أحله، ولا حرام إلا ما حرمه، ولا دين إلا ما شرعه
“Ini adalah nikmat Allah ‘azza wa jalla yang paling besar terhadap umat ini ketika Allah ta’ala menyempurnakan bagi mereka agama mereka. Maka, mereka tidak lagi butuh kepada agama selain Islam, tidak butuh nabi selain nabi mereka (yaitu Muhammad shalawaatullahu wa salaamuhu ‘alaih). Oleh karena itu, Allah menjadikan beliau sebagai penutup para nabi serta mengutus beliau kepada manusia dan jin, sehingga tidak ada kehalalan kecuali apa yang dihalalkannya, tidak ada keharaman kecuali yang diharamkannya, dan tidak ada agama kecuali apa yang disyari’atkan olehnya” [Tafsiir Ibni Katsiir, 3/26].
عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ، قَالَ: قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْيَهُودِ لِعُمَرَ: " يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، لَوْ أَنَّ عَلَيْنَا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلامَ دِينًا لَاتَّخَذْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ عِيدًا، فَقَالَ عُمَرُ: إِنِّي لَأَعْلَمُ أَيَّ يَوْمٍ نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ نَزَلَتْ يَوْمَ عَرَفَةَ فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ "
Dari Thaariq bin Syihaab, ia berkata : Ada seorang laki-laki Yahudi berkata kepada ‘Umar : “Wahai Amiirul-Mukminiin, seandainya ayat : ‘Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu’ (QS. Al-Maaidah : 3) turun kepada kami, niscaya akan kami jadikan hari (turunnya ayat) sebagai hari raya”. ‘Umar berkata: “Sesungguhnya aku mengetahui hari apa ayat ini turun. Ia turun pada hari ‘Arafah di hari Jum’at” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7268].
Kesempurnaan Islam ini adalah kesempurnaan dalam syari’atnya tanpa terkecuali, yang halal, haram sunnah, dan makruh; dari perkara ‘aqidah, ibadah, muamalah, hingga akhlaq.
عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: تَرَكْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي الْهَوَاءِ، إِلا وَهُوَ يُذَكِّرُنَا مِنْهُ عِلْمًا، قَالَ: فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ، إِلا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ "
Dari Abu Dzarr, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan kami dalam keadaan tudak ada burung yang mengepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau telah menyebutkan kepada kami ilmu tentangnya. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Tidak tersisa sesuatupun yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah dijelaskan kepada kalian” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 2/155-156 no. 1647; sanadnya shahih].
Maalik bin Anas rahimahumallah berkata:
من أحدث في هذه الأمة شيئاً لم يكن عليه سلفها فقد زعم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم خان الرسالة، لأن الله تعالى يقول : الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا. فما لم يكن يومئذ ديناً فلا يكون اليوم ديناً، ولا يصلح آخر هذه الأمة إلا ما صلح به أولها
“Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu pada umat ini yang tidak ada pendahulunya, sungguh ia telah menyangka bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengkhianati risalah, karena Allah ta’ala berfirman : ‘Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al-Maaidah : 3). Apa saja yang bukan merupakan perkara agama pada waktu itu (yaitu jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat), maka itu juga bukan perkara agama pada hari ini. Dan tidak akan menjadi baik akhir umat ini kecuali dengan apa yang menjadikan baik generasi awalnya”.
Al-Barbahaariy rahimahullah berkata:
واعلم رحمك الله أنه لا يتم إسلام عبد حتى يكون متبعا مصدقا مسلما فمن زعم أنه قد بقي شيء من أمر الإسلام لم يكفوناه أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم فقد كذبهم وكفى بهذا فرقة وطعنا عليهم فهو مبتدع ضال مضل محدث في الإسلام ما ليس منه .
“Dan ketahuilah, semoga Allah memberikan rahmat kepadamu, sesungguhnya tidak sempurna Islam seorang hamba hingga ia mengikuti, membenarkan, dan tunduk/berserah diri (kepada syari’at Islam). Barangsiapa yang menyangka bahwa masih ada sesuatu dari ajaran Islam yang belum disampaikan para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada kita, sungguh ia telah mendustakan mereka. Dan cukuplah dengan hal ini sebagai satu perpecahan dan celaan terhadap mereka (para shahabat). Maka, ia seorang mubtadi’ yang sesat lagi menyesatkan, yang telah mengada-adakan sesuatu dalam Islam yang tidak berasal darinya” [Syarhus-Sunnah, hal. 70].
Karena Allah ta’ala memerintahkan hanya untuk mengikuti syari’at-Nya, dan melarang selainnya
Allah ta’ala berfirman:
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya”[QS. Al-A’raaf : 3].
Sesuatu yang diwajibkan untuk diikuti adalah syari’at Allah yang Ia turunkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yaitu sunnah-sunnah beliau; sedangkan sesuatu yang kita dilarang untuk mengikutinya adalah berbagai macam kemaksiatan dan kebid’ahan.
Allah ta’ala juga berfirman:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya” [QS. Al-An’aam : 153].
Berkaitan dengan ayat di atas, maka ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu menceritakan:
خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا خَطًّا، ثُمَّ قَالَ: " هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ "، ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ، وَعَنْ شِمَالِهِ، ثُمَّ قَالَ: " هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ، ثُمَّ تَلَا: وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ"
“Pada suatu hari, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menggambar garis, lalu bersabda : ‘Ini adalah jalan Allah’. Kemudian beliau menggambar beberapa garis di sebelah kanan dan kirinya, lalu bersabda : “Ini adalah jalan-jalan, yang pada setiap jalannya terdapat setan yang menyeru kepadanya”. Kemudian beliau membaca (ayat) : “Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya” (QS. Al-An’aam : 153)” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 202].
Mujaahid rahimahullah berkata tentang makna ‘jalan-jalan (as-subul)”, yaitu : “bid’ah-bid’ah dan syubhat-syubhaat” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy, Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal, dan yang lainnya].
Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menjauhi bid’ah karena bid’ah itu kesesatan
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " ..... أَلَا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدِثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ شَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Dari ‘Abdullah bin Mas’uud : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “……Ketahuilah, waspadalah kalian terhadap perkara-perkara baru. Sesungguhnya seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru (yang diada-adakan), setiap hal baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah kesesatan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 46; shahih].
Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengatakan setiap amalan bid’ah tidak diterima di sisi Allah ta'ala
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ "
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang mengada-adakan dalam perkara agama kami yang tidak ada di dalamnya, maka tertolak” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2697 dan Muslim no. 1718].
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ "
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang beramal dengan satu amalan yang tidak ada keterangannya dari kami, maka tertolak” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1718].
Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah berkata tentang hadits ini:
وهذا الحديث قاعدة عظيمة من قواعد الإسلام وهو من جوامع كلمه ( صلى الله عليه وسلم ) فإنه صريح في رد وإبطال كل البدع والمحدثات
“Hadits ini merupakan kaedah yang sangat agung dari kaedah-kaedah Islam, dan merupakan jawaami’ul-kalim beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena hadits tersebut sangat jelas dalam membantah dan membatalkan semua bid’ah dan perkara baru yang diada-adakan (dalam agama)” [Irwaaul-Ghaliil, no. 88].
Jawaami’ul-kalim adalah perkataan yang singkat namun kaya makna.
Ibnu Hajar Al-‘Asqaalaniy rahimahullah berkata:
وَهَذَا الْحَدِيث مَعْدُود مِنْ أُصُول الْإِسْلَام وَقَاعِدَة مِنْ قَوَاعِده ، فَإِنَّ مَعْنَاهُ : مَنْ اِخْتَرَعَ فِي الدِّين مَا لَا يَشْهَد لَهُ أَصْل مِنْ أُصُوله فَلَا يُلْتَفَت إِلَيْهِ
“Hadits ini merupakan pokok agama Islam dan kaedah diantara kaedah-kaedahnya (Islam). Maknanya : Barangsiapa yang membuat-buat perkara baru dalam agama yang tidak ada dasarnya, maka tidak boleh untuk diperhatikan” [Fathul-Baariy, 5/302].
Senada dengan perkataan di atas, Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahumallah menjelaskan:
أصولُ الإسلام على ثلاثة أحاديث : حديث عمرَ : ((الأعمالُ بالنيات )) ، وحديثُ عائشة : (( مَنْ أحدثَ في أمرِنا هذا ما ليس منهُ ، فهو ردٌّ ))، وحديثُ النُّعمانِ بنِ بشيرٍ : (( الحلالُ بيِّنٌ ، والحَرامُ بَيِّنٌ)).
“Pokok-pokok Islam ada pada tiga hadits : (1) Hadits Umar radliyallaahu ‘anhu : ‘Sesungguhnya seluruh amal perbuataan itu dengan niat’; (2) Hadits ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa : ‘Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru dalam urusan agama kami yang bukan merupakan bagian darinya, maka tertolak’; dan (3) Hadits An-Nu’maan bin Basyiir : ‘Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas’” [Tharhut-Tatsriib 2/5 dan Al-Fath 1/15].
Ishaaq bin Rahawaih rahimahullah berkata :
أربعةُ أحاديث هي مِنْ أُصولِ الدِّين : حديث عُمَر : (( إنّما الأعمالُ بالنِّيَّات )) ، وحديث : (( الحلالُ بيِّنٌ والحرامُ بَيِّنٌ )) ، وحديث (( إنَّ خَلْقَ أَحدِكُم يُجْمَعُ في بطنِ أمّه )) ، وحديث : (( مَنْ صَنَعَ في أمرِنا شيئاً ليس منه ، فهو ردٌّ)).
“Empat hadits yang merupakan pokok-pokok dalam agama : (1) Hadits Umar radliyallaahu ‘anhu : ‘Sesungguhnya seluruh amal perbuataan hanyalah dengan niat’, (2) Hadits : ‘Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas’, dan (3) Hadits : ‘Sesungguhnya penciptaan salah seorang dari kalian dikumpulkan di perut ibunya’, dan (4) Hadits : ‘Barangsiapa yang membuat-buat sesuatu dalam urusan agama kami yang bukan merupakan bagian darinya, maka tertolak’”.
Itulah perkataan sebagian ulama tentang hadits ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa.
Amalan bid’ah apapun yang menyelisihi sunnah, tidak diterima dan bahkan pelakunya berhak mendapatkan ancaman.
Allah ta’ala berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” [QS. An-Nuur : 63].
عَنْ عُثْمَان بْن عُمَرَ، جَاءَ رَجُلٌ إِلَى مَالِكٍ فَسَأَلَهُ عَنْ مَسْأَلَةٍ، فَقَالَ لَهُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَذَا وَكَذَا، فَقَالَ الرَّجُلُ: أَرَأَيْتَ؟ فَقَالَ مَالِكٌ: فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Dari ‘Utsmaan bin ‘Umar : Datang seorang laki-laki kepada Maalik (bin Anas) untuk bertanya kepadanya satu permasalahan. Lalu Maalik berkata kepadanya : “Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam begini dan begitu”. Laki-laki itu berkata : “Bagaimana pendapatmu ?”. Maka Maalik menjawab : “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” (QS. An-Nuur : 63)” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal, no. 236].
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، أَنَّهُ رَأَى رَجُلا يُصَلِّي بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ أَكْثَرَ مِنْ رَكْعَتَيْنِ يُكْثِرُ فِيهَا الرُّكُوعَ، وَالسُّجُودَ فَنَهَاهُ، فَقَالَ: يَا أَبَا مُحَمَّدٍ يُعَذِّبُنِي اللَّهُ عَلَى الصَّلاةِ؟ قَالَ: " لا وَلَكِنْ يُعَذِّبُكَ عَلَى خِلافِ السُّنَّةِ "
Dari Sa’iid bin Al-Musayyib, bahwasannya ia pernah melihat seorang laki-laki yang melakukan shalat setelah terbit fajar, lebih dari dua raka’at dengan memperbanyak rukuk dan sujud; namun kemudian ia melarangnya. Orang tersebut berkata : “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan mengadzabku karena shalat?”. Ia menjawab : “Tidak. Akan tetapi Allahmengadzabmu karena menyelisihi sunnah” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 4755, Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 4755; sanadnya shahih].
Wallaahu a’lam.
Bersambung, insya Allah
[Perum Ciomas Indah Bukit Asri, Sabtu, 21-03-2015 – Abul-Jauzaa’ - Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad, syarh dan tahqiiq Al-Waliid bin Muhammad Nabiih, hal. 28-30, Maktabah Ibni Taimiyyah, Cet. 1/1416, Kairo, dengan beberapa referensi lain sebagai penjelasan].

Silakan baca pembahasan sebelumnya :
Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (2) - Berpegang pada Manhaj Shahabat

Comments