٧ - والسنة عندنا آثار
رسول الله صلى الله عليه وسلم
٨ - والسنة تفسر القرآن وهي دلائل القرآن
٨ - والسنة تفسر القرآن وهي دلائل القرآن
7.
Dan As-Sunnah
menurut kami adalah atsar-atsar Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam.
8.
As-Sunnah
menafsirkan Al-Qur’an, dan ia adalah petunjuk-petunjuk
Al-Qur’an.
Penjelasan:
Jika
dikatakan : ‘Apa itu As-Sunnah ?’, maka jawabannya adalah atsar-atsar
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berupa
perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan, dan taqriir-taqriir belaiu shallallaahu
‘alaihi wa sallam; yang kesemuanya ini diwajibkan Allah bagi kita untuk
mengikuti dan berpegang teguh kepadanya.
a.
Contoh dari perkataan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam.
Yaitu nukilan para shahabat terhadap perkataan beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam yang didengarnya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ
الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Termasuk diantara (tanda) kebaikan
Islam seseorang adalah meninggalkan apa saja yang tidak bermanfaat baginya”
[Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2317, Ibnu Maajah no. 3976, Ibnu Hibbaan
no. 229, dan yang lainnya].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الْمِرَاءُ فِي الْقُرْآنِ
كُفْرٌ
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam, beliau bersabda : “Perdebatan dalam Al-Qur’an adalah
kekufuran” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4603].
عَنْ عُمَر بْن الْخَطَّابِ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ: إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا
نَوَى
Dari ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu,
ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: “Sesungguhnya amal-amal itu hanyalah berdasarkan niat, dan setiap orang
hanyalah akan dibalas sesuai apa yang diniatkannya” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 1].
b.
Contoh dari perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam.
Yaitu nukilan para shahabat terhadap
perbuatan-perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang dilihatnya.
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ،
أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُخَلِّلُ لِحْيَتَهُ
Dan ‘Utsmaan bin ‘Affaan : Bahwasannya Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam biasa menyela-nyela jenggotnya (ketika berwudlu)
[Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 31, dan ia berkata : ‘Ini adalah hadits
hasan shahih’].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
بُسْرٍ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا
أَتَى بَابَ قَوْمٍ لَمْ يَسْتَقْبِلِ الْبَابَ مِنْ تِلْقَاءِ وَجْهِهِ، وَلَكِنْ
مِنْ رُكْنِهِ الْأَيْمَنِ أَوِ الْأَيْسَرِ وَيَقُولُ: السَّلَامُ عَلَيْكُمُ
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ
Dari ‘Abdullah bin Busr, ia berkata : “Dulu Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila mendatangi pintu rumah suatu kaum,
maka beliau berdiri tidak menghadap di depan
pintunya, akan tetapi beliau berdiri di samping kanan atau samping kiri seraya
berkata : ‘Assalaamu’alaikum, assalaamu’alaikum” [Diriwayatkan oleh Abu
Daawud no. 5186].
Faedah :
Ini adalah diantara adab yang banyak
ditinggalkan kaum muslimin di masa sekarang. Tujuan tidak berdiri langsung di
depan pintu adalah untuk menghindari terlihatnya aurat atau hal-hal yang tidak
seharusnya dilihat oleh yang bertamu dari penghuni rumah. Dan diantara adab
yang lainnya, kita dianjurkan untuk mengetuk dengan ketukan pelan dan tidak
mengganggu penghuni rumah.
عَنْ أَنَسِ بْنِ
مَالِكٍ، إِنَّ أَبْوَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ
تُقْرَعُ بِالأَظَافِيرِ
Dari Anas bin Maalik : “Sesungguhnya
pintu-pintu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam diketuk dengan kuku-kuku”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 1080;
shahih].
عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: مَا كَانَ
شَخْصٌ أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَكَانُوا إِذَا رَأَوْهُ لَمْ يَقُومُوا، لِمَا يَعْلَمُوا مِنْ كَرَاهِيَتِهِ
لِذَلِكَ
Dari Anas, ia berkata : “Tidak ada seorang pun yang
lebih mereka (para shahabat) cintai daripada Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Namun jika melihat beliau, mereka tidak pernah berdiri
karena mereka mengetahui kebencian beliau atas hal itu” [Diriwayatkan oleh
Ahmad 3/132 & 134 & 151 & 250, Al-Bukhariy dalam Al-Adabul-Mufrad
no. 946, dan yang lainnya; shahih].
c.
Contoh taqriir Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Yaitu persetujuan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam terhadap perkataan atau perbuatan sebagian shahabat yang beliau
ketahui tanpa adanya pengingkaran. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak
mungkin berdiam diri terhadap kemunkaran yang terjadi di hadapan beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Dalam kaedah ushul disebutkan:
تأخير البيان عن وقت الجاحة لا يجوز
“Mengakhirkan (menunda) penjelasan dari waktu yang
dibutuhkan tidak diperbolehkan”.
Maksudnya, jika yang dilakukan atau dikatakan para
shahabat di hadapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam merupakan
kemunkaran, tidak mungkin beliau tidak menegurnya atau menunda penjelasannya.
Jika itu terjadi (dan itu tidak mungkin), maka kemungkaran tersebut akan
dianggap bukan sebagai kemunkaran karena beliu shallallaahu ‘alaihi wa
sallam mendiamkannya.
Contoh:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال لِبِلَالٍ
عِنْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ: يَا بِلَالُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ
فِي الْإِسْلَامِ، فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي
الْجَنَّةِ، قَالَ: مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِي أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ
طَهُورًا فِي سَاعَةِ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ
مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّيَ
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia
berkata kepada Bilaal ketika selesai shalat Shubuh : “Wahai Bilal,
ceritakanlah kepadaku sebaik-baik amalan yang paling memberikan harapan yang
engkau lakukan di dalam Islam, karena aku mendengar suara sandalmu di hadapanku
di dalam surga". Bilaal menjawab : "Tak ada suatu amal yang
banyak memberikan harapan di sisiku selain dari amalan bahwa tidaklah aku
berwudlu dengan sesuatu wudlu, baik di waktu malam maupun siang, melainkan aku
mengerjakan shalat dengan wudlu tersebut sesuai yang ditetapkan kepadaku (yaitu
dua raka'at sunnah wudlu)" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1149].
Yaitu taqriir Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam untuk shalat sunnah wudlu yang dilakukan Bilaal.
Faedah :
Sebagian penggemar bid’ah berdalil
dengan hadits ini tentang bolehnya mengada-adakan amalan tanpa contoh sebelumnya,
karena shahabat sendiri berbuat bid’ah dan disetujui oleh Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam.
Ini jelas keliru. Tidak setiap amal yang
disangka sebagian shahabat sebagai suatu kebaikan merupakan bagian dari
sunnah/syari’at.
عَنْ أَبِي
الْعَبَّاسِ، قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا، قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَلَمْ
أُخْبَرْ أَنَّكَ تَقُومُ اللَّيْلَ وَتَصُومُ النَّهَارَ، قُلْتُ: إِنِّي
أَفْعَلُ ذَلِكَ، قَالَ: فَإِنَّكَ إِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ هَجَمَتْ عَيْنُكَ
وَنَفِهَتْ نَفْسُكَ، وَإِنَّ لِنَفْسِكَ حَقٌّ وَلِأَهْلِكَ حَقٌّ، فَصُمْ
وَأَفْطِرْ وَقُمْ وَنَمْ
Dari Abul-‘Abbaas, ia berkata : Aku
mendengar ‘Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu ‘anhumaa berkata : Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah berkata kepadaku : “Benarkah apa yang aku
dengar bahwa engkau shalat semalam suntuk dan berpuasa di siang harinya
(terus-menerus) ?”. Aku berkata : “Sesungguhnya aku memang melakukannya”.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya
apabila engkau melakukannya (terus-menerus), matamu akan cekung dan badanmu
akan letih. Sesungguhnya badanmu memiliki hak dan keluargamu pun memiliki hak.
Berpuasalah, dan juga berbukalah. Shalatlah, dan juga tidurlah” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 1153].
عَنْ أَنَس بْن
مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ
أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ
تَقَالُّوهَا، فَقَالُوا: وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ؟ قَالَ أَحَدُهُمْ:
أَمَّا أَنَا، فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا، وَقَالَ آخَرُ: أَنَا أَصُومُ
الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ، وَقَالَ آخَرُ: أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا
أَتَزَوَّجُ أَبَدًا، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِلَيْهِمْ، فَقَالَ: " أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا
وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ
وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ
سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي "
Dari Anas bin Maalik radliyallaahu
‘anhu, ia berkata : Ada tiga orang laki-laki datang ke rumah isteri Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam dan mereka menanyakan tentang ibadah Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Setelah mereka dikhabarkan tentangnya, mereka merasa seakan-akan
ibadahnya sedikit (dibandingkan beliau). Kemudian mereka berkata : “Di manakah
posisi kita dibanding Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedangkan
beliau telah diampuni segala dosanya, baik yang telah lalu maupun yang akan
datang?”. Salah seorang di antara mereka berkata : “Aku akan shalat malam
selamanya”. Seorang lagi berkata : “Aku akan berpuasa sepanjang tahun tanpa
berbuka”. Yang lain berkata : “Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah
selamanya”. Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan
bersabda : “Kaliankah yang telah berkata begini dan begitu? Demi Allah,
sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan bertakwa kepada Allah
daripada kalian, tetapi aku berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur serta
menikahi wanita. Barangsiapa membenci sunnahku, maka ia tidak termasuk
golonganku” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5063].
Dapat kita perhatikan dalam
hadits-hadits tersebut di atas. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyetujui
apa yang dilakukan Bilaal, namun sebaliknya, beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam mengingkari apa yang dilakukan ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Aash dan
tiga shahabat. Semuanya menyangka apa yang mereka lakukan adalah kebaikan, tapi
tidak semua kebaikan yang mereka sangka mendapatkan penetapan dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam.
Ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam hidup, beliau lah yang menjadi hakim tentang apa yang diamalkan oleh
para shahabat. Apa yang beliau tetapkan menjadi bagian dari sunnah, dan apa
yang beliau nafikkan/ingkari bukan menjadi bagian dari sunnah. Ketika beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam telah meninggal dunia, tidak ada lagi yang menjadi hakim kecuali
Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’. Perkataan ustadz, kiyai, atau ulama
selamanya tidak dapat diqiyaskan kepada diri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam dalam penetapan syari’at Islam.
Contoh lain dari taqriir:
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ
الْحَكَمِ السُّلَمِيِّ، قَالَ: ......وَكَانَتْ لِي جَارِيَةٌ، تَرْعَى غَنَمًا
لِي قِبَلَ أُحُدٍ وَالْجَوَّانِيَّةِ، فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ، فَإِذَا
الذِّيبُ قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا، وَأَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِي آدَمَ،
آسَفُ كَمَا يَأْسَفُونَ، لَكِنِّي صَكَكْتُهَا صَكَّةً، فَأَتَيْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ، قُلْتُ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، أَفَلَا أُعْتِقُهَا؟ قَالَ: ائْتِنِي بِهَا، فَأَتَيْتُهُ بِهَا،
فَقَالَ لَهَا: أَيْنَ اللَّهُ؟ قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ، قَالَ: مَنْ أَنَا؟
قَالَتْ: أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ، قَالَ: أَعْتِقْهَا، فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
Dari Mu’aawiyyah bin Al-Hakam As-Sulamiy, ia berkata :
“……Aku mempunyai seorang budak wanita yang menggembalakan kambingku ke arah
gunung Uhud dan Jawwaaniyyah. Pada suatu hari aku memantaunya, tiba-tiba ada
seekor serigala yang membawa lari seekor kambing yang digembalakan budakku itu.
Aku sebagaimana manusia biasa pun marah sebagaimana orang lain lain marah
(melihat itu). Namun aku telah menamparnya, lalu aku mendatangi Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun menganggap besar apa yang telah aku
lakukan. Aku berkata : ‘Wahai Rasulullah, apakah aku harus memerdekakannya ?’.
Beliau menjawab : ‘Bawalah budak wanita itu kepadaku’. Aku pun
membawanya kepada beliau. Lalu beliau bertanya kepada budak wanita itu : ‘Dimanakah
Allah ?’. Ia menjawab : ‘Di langit’. Beliau bertanya lagi : ‘Siapakah
aku ?’. Ia menjawab : ‘Engkau adalah utusan Allah (Rasulullah)’. Beliau pun
bersabda : ‘Bebaskanlah, sesungguhnya ia seorang wanita beriman” [Diriwayatkan
oleh Muslim no. 537].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam men-taqriir
jawaban budak wanita atas pertanyaan beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam : ‘Dimanakah Allah ?’.
“As-Sunnah menafsirkan Al-Qur’an, dan
ia adalah petunjuk-petunjuk Al-Qur’an”.
Oleh karena itu, As-Sunnah
merupakan penjelas dari Al-Qur’an. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ
الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ
“Dan Kami turunkan kepadamu
Al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka” [QS. An-Nahl : 44].
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bertugas untuk menerangkan/menjelaskan kepada manusia tentang Al-Qur’an,
yaitu melalui sunnah-sunnah beliau.
Allah ta’ala juga berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي
شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
“Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian”
[QS. An-Nisaa’ : 59].
Maksud
mengembalikan kepada Allah
adalah mengembalikan kepada Kitaabullah (Al-Qur’an). Adapun maksud
mengembalikan kepada Rasul adalah mengembalikan kepada diri beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam ketika beliau masih hidup, dan ini hanya dapat dilakukan
oleh para shahabat; atau mengembalikan kepada As-Sunnah ketika beliau telah
wafat, dan inilah yang dilakukan oleh kaum muslimin sepanjang masa.
Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah
dua tempat kembali dan rujukan kaum muslimin yang memiliki kedudukan sama,
karena As-Sunnah juga merupakan wahyu dari Allah ta’ala. Allah ta’ala
berfirman:
وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ
الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ
“Dan
(juga karena) Allah telah menurunkan Al-Kitab dan Al-Hikmah kepadamu, dan telah
mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui” [QS. An-Nisaa’ : 113].
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي
الأمِّيِّينَ رَسُولا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ
وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي
ضَلالٍ مُبِينٍ
“Dia-lah
yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan
kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya
benar-benar dalam kesesatan yang nyata” [QS. Al-Jum’ah : 2].
حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ
مُعَاذٍ، قَالَ: ثَنَا يَزِيدُ، قَالَ: ثَنَا سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ، "
وَالْحِكْمَةَ، أَيِ: السُّنَّةَ ".
Telah
menceritakan kepada kami Bisyr bin Mu’aadz, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Yaziid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid, dari
Qataadah : ‘dan Al-Hikmah’, ia berkata : “Maksudnya As-Sunnah”
[Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 3/87; sanadnya
hasan].
Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
فَذَكَرَ اللَّهُ الْكِتَابَ
وَهُوَ الْقُرْآنُ وَذَكَرَ الْحِكْمَةَ فَسَمِعْتُ مَنْ أَرْضَى مِنْ أَهْلِ
الْعِلْمِ بِالْقُرْآنِ يَقُولُ: الْحِكْمَةُ سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Allah menyebutkan Al-Kitaab, maksudnya
Al-Qur’an; dan Allah juga menyebutkan Al-Hikmah. Aku mendengar ulama yang
diridlai lagi ahli dalam Al-Qur’an mengatakan : ‘Al-Hikmah adalah sunnah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh
Al-Baihaqiy dalam Al-Ma’rifah, no. 3; sanadnya shahih].
Ahmad bin Hanbal
rahimahumallah berkata:
قَالَتْ هَذِهِ الطَّائِفَةُ
بَيَّنَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَّهُ أَمَرَ نَبِيَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنْ يُعَلِّمَ النَّاسَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ، فَالْحِكْمَةُ
غَيْرُ الْكِتَابِ، وَهِيَ مَا سَنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مِمَّا لَمْ يُذْكَرْ فِي الْكِتَابِ، وَكُلٌّ فَرْضٌ لا افْتِرَاقَ بَيْنَهُمَا ؛
لأَنَّ مَجِيئَهُمَا وَاحِدٌ
“Kelompok
ini mengatakan : Allah tabaaraka wa ta’ala telah menjelaskan bahwasannya
Ia memerintahkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan
Al-Kitaab dan Al-Hikmah kepada manusia. Al-Hikmah bukanlah Al-Kitab. Ia adalah segala sesuatu
yang telah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sunnahkan yang
tidak disebutkan dalam Al-Kitaab. Semuanya wajib (diikuti), tidak ada perbedaan
antara keduanya, karena tempat kembalinya adalah satu” [Diriwayatkan oleh Al-Marwaziy
dalam As-Sunnah hal. 209-210].
Oleh karena itu, As-Sunnah (yang
shahih) pasti benar dan ma’shuum, terjaga dari kesalahan.
Allah ta’ala berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ
الْهَوَى * إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى
“Dan
tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” [QS. An-Najm : 3-4].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عَمْرٍو، قَالَ: كُنْتُ أَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ أَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرِيدُ حِفْظَهُ، فَنَهَتْنِي قُرَيْشٌ، وَقَالُوا:
أَتَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ تَسْمَعُهُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بَشَرٌ يَتَكَلَّمُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا ؟، فَأَمْسَكْتُ عَنِ الْكِتَابِ،
فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَوْمَأَ
بِأُصْبُعِهِ إِلَى فِيهِ، فَقَالَ: اكْتُبْ، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، مَا
يَخْرُجُ مِنْهُ إِلَّا حَقٌّ
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin
Al-‘Aash, ia berkata : Dahulu aku menulis semua yang aku dengar dari Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Aku hendak menghapalkannya namun
orang-orang Quraisy melarangku. Mereka berkata: “Apakah engkau menulis semua
yang engkau dengar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan
beliau hanyalah manusia yang berbicara pada saat sedang marah dan senang?”. Kemudian
aku berhenti dari menulis. Lalu aku ceritakan hal itu kepada Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam, maka beliau mengisyaratkan dengan jarinya ke mulutnya
seraya bersabda : “Tulislah, Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya.
Tidaklah keluar darinya kecuali kebenaran” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud
no. 3646; shahih].
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا
الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang
menurunkan Adz-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” [QS.
Al-Hijri : 9].
Adz-Dzikr dalam ayat tersebut
menurut Ibnu Hazm[1]
rahimahullah mencakup Al-Qur’an dan As-Sunnah.
‘As-Sunnah
adalah petunjuk-petunjuk Al-Qur’an; yaitu menguatkannya, menjelaskan
yang masih samar/belum jelas, merinci yang masih mujmal, men-taqyid
yang mutlak, mengkhususkan yang umum, atau bahkan memberikan tambahan hukum dari
selain yang terdapat dalam Al-Qur’an.
a.
As-Sunnah mengulangi dan menguatkan hukum yang ada di
dalam Al-Qur’an.
Oleh karena itu, hukum tersebut mempunyai dua sumber,
yaitu dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Misalnya, dalam Al-Qur’an terdapat nash
yang mewajibkan shalat, maka dalam As-Sunnah pun juga terdapat nash yang
mewajibkan shalat. Begitu juga dengan zakat, puasa, haji, rukun iman, dan yang
lainnya dari syari’at Islam yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b.
As-Sunnah menjelaskan makna nash-nash Al-Qur’an yang
masih belum jelas/samar.
Contohnya adalah firman Allah ta’ala :
حَتَّى
يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ
“Hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam” [QS. Al-Baqarah : 187].
Ketika ada shahabat yang salah paham akan ayat tersebut,
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan maksudnya:
إِنَّمَا ذَلِكَ
سَوَادُ اللَّيْلِ وَبَيَاضُ النَّهَارِ
“Yang dimaksud dengan (benang) hitam adalah malam,
dan (benang) putih adalah siang” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1916].
Contoh lain, firman Allah ta’ala:
يَا أُخْتَ
هَارُونَ مَا كَانَ أَبُوكِ امْرَأَ سَوْءٍ وَمَا كَانَتْ أُمُّكِ بَغِيًّا
“Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali
bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina"
[QS. Maryam : 28].
Perhatikan riwayat berikut:
عَنْ
الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ، قال: لَمَّا قَدِمْتُ نَجْرَانَ سَأَلُونِي،
فَقَالُوا: إِنَّكُمْ تَقْرَءُونَ يَا أُخْتَ هَارُونَ وَمُوسَى قَبْلَ عِيسَى
بِكَذَا وَكَذَا، فَلَمَّا قَدِمْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
سَأَلْتُهُ، عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: " إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَمُّونَ
بِأَنْبِيَائِهِمْ وَالصَّالِحِينَ قَبْلَهُمْ "
Dari Mughirah bin Syu’bah ia berkata : Ketika aku tiba
di Najraan, orang-orang bertanya kepadaku : ”Apakah engkau memahami ayat ‘Hai
Saudara perempuan Harun’ (QS. Maryam : 28) sedangkan Muusaa itu hidup jauh
sebelum jaman ’Iisaa. Apakah maksudnya begini dan begini ?”. Setelah aku
bertemu dengan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam dan menanyakan
tentang hal tersebut, maka beliau menjawab : “Kebiasaan mereka pada waktu
itu menyebut nama seseorang dengan menisbatkan kepada para nabi atau
orang-orang shalih sebelum mereka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2135].
Juga firman Allah ta’ala:
الَّذِينَ
آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ
مُهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur
adukkan iman mereka dengan kedhaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat
keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk” [QS.
Al-An’aam : 82].
Sebagian shahabat dulu ada yang salah paham terhadap ‘kedhaliman’
yang ada dalam ayat tersebut dan kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam menjelaskan makna yang benar darinya sebagaimana riwayat:
عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ
يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّنَا لَا
يَظْلِمُ نَفْسَهُ، قَالَ: لَيْسَ كَمَا تَقُولُونَ وَلَمْ يَلْبِسُوا
إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ بِشِرْكٍ أَوَ لَمْ تَسْمَعُوا إِلَى قَوْلِ لُقْمَانَ
لِابْنِهِ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Dari ‘Abdullah (bin Mas’uud) radliyalaahu ‘anhu,
ia berkata : Ketika turun ayat : ‘Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampur adukkan iman mereka dengan kedhaliman’ (QS. Al-An’aam : 82), kami
berkata : “Wahai Rasulullah, siapakah diantara kami yang tidak berbuat dhalim
terhadap dirinya?". Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
"Bukan seperti yang kalian katakan. Maksud dari ayat ‘dan tidak
mencampur adukkan iman mereka dengan kedhaliman’ adalah kesyirikan. Tidakkah
kalian mendengar ucapan Luqmaan kepada anaknya : ‘Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kelaliman yang besar’ (QS. Luqmaan : 13)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy
no. 3360].
c.
As-Sunnah merinci nash-nash Al-Qur’an yang mujmal.
Contohnya adalah firman Allah ta’ala:
وَأَقِيمُوا
الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”
[QS. Al-Baqarah : 43].
Rincian penjelasan tentang bagaimana tata cara shalat
dan zakat, dijelaskan dalam As-Sunnah.
d.
As-Sunnah men-taqyiid (membatasi) nash-nash
Al-Qur’an yang mutlak.
Contohnya adalah firman Allah ta’ala:
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya” [QS. Al-Maaidah : 38].
As-Sunnah mentaqyid ayat tersebut bahwa potong tangan
hanya dilakukan jika barang yang dicuri nilainya mencapai ¼ dinar atau lebih.
عَنْ عَائِشَةَ،
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تُقْطَعُ الْيَدُ فِي رُبُعِ
دِينَارٍ، فَصَاعِدًا
Dari ‘Aaisyah : Telah bersabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam : “Dipotong tangan (seorang pencuri) karena (mencuri)
seperempat dinar atau lebih” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6789].
Contoh lain adalah firman Allah ta’ala:
مِنْ بَعْدِ
وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ
“(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya” [QS.
An-Nisaa’ : 11].
Lafadh wasiat dalam ayat ini mutlak, namun As-Sunnah
mentaqyidnya bahwa kadar wasiat tersebut maksimal 1/3 (sepertiga) dari harta.
عَنْ سَعْدِ
بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: جَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُنِي وَأَنَا بِمَكَّةَ، وَهُوَ يَكْرَهُ أَنْ يَمُوتَ
بِالْأَرْضِ الَّتِي هَاجَرَ مِنْهَا، قَالَ: يَرْحَمُ اللَّهُ ابْنَ عَفْرَاءَ،
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أُوصِي بِمَالِي كُلِّهِ، قَالَ: لَا، قُلْتُ:
فَالشَّطْرُ، قَالَ: لَا، قُلْتُ: الثُّلُثُ، قَالَ: فَالثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ
كَثِيرٌ، إِنَّكَ أَنْ تَدَعَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَدَعَهُمْ
عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ فِي أَيْدِيهِمْ،
Dari Sa’d bin Abi Waqqaash radliyallaahu ‘anhu,
ia berkata : “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam datang menjengukku
(saat aku sakit) ketika aku berada di Makkah”. Dia tidak suka bila meninggal
dunia di negeri dimana dia sudah berhijrah darinya. Beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : "Semoga Allah merahmati Ibnu 'Afraa'".
Aku katakan: "Wahai Rasulullah, aku mau berwasiat untuk menyerahkan
seluruh hartaku". Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
"Jangan". Aku katakan: "Setengahnya". Beliau
bersabda : "Jangan". Aku katakan lagi :
"Sepertiganya". Beliau bersabda: "Ya, sepertiganya dan
sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya jika engkau meninggalkan ahli warismu
dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam
keadaan miskin lalu meminta-minta kepada manusia dengan menengadahkan tangan
mereka” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2742].
Contoh lain adalah firman Allah ta’ala:
فَمَنْ كَانَ
مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ
صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ
“Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan
di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu:
berpuasa atau bersedekah atau berkurban” [QS. Al-Baqarah : 196].
As-Sunnah datang dengan mentaqyid ayat tersebut
sebagai berikut:
عَنْ كَعْبِ
بْنِ عُجْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: لَعَلَّكَ آذَاكَ هَوَامُّكَ؟ قَالَ: نَعَمْ يَا رَسُولَ
اللَّهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: احْلِقْ
رَأْسَكَ، وَصُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، أَوْ أَطْعِمْ سِتَّةَ مَسَاكِينَ، أَوِ
انْسُكْ بِشَاةٍ
Dari Ka’b bin ‘Ujrah radliyallaahu ‘anhu, dari
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Barangkali
engkau terkena kutu di kepalamu?". Ia (Ka’b) menjawab: "Benar,
wahai Rasulullah". Maka Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam
bersabda: "Cukurlah rambutmu, lalu berpuasalah tiga hari atau berilah
makan enam orang miskin atau berqurbanlah dengan seekor kambing” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 1814 dan Muslim no. 1201].
Puasa dalam ayat tersebut di-taqyid dengan tiga
hari, bershadaqah dengan enam orang miskin, dan berkurban dengan seekor
kambing.
e.
As-Sunnah mengkhususkan nash-nash Al-Qur’an yang umum.
Contohnya adalah firman Allah ta’ala:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ
فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian
watis untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian
dua orang anak perempuan” [QS. An-Nisaa’ : 11].
Ayat ini memberikan pengertian bahwa seseorang
berharta yang mempunyai anak jika ia meninggal maka hartanya tersebut akan
terwariskan kepada anaknya. Ayat ini sifatnya umum. As-Sunnah datang
dengan memberikan pengkhususan (takhshish) terhadap beberapa golongan
manusia yang tidak berhak menerima warisan. Misalnya, para nabi tidak
mewariskan apa-apa untuk anak-anaknya dan apa yang mereka tinggalkan adalah
shadaqah sebagaimana terdapat dalam hadits :
لاَ نُورَثُ مَا
تَرَكْنَاهُ صَدَقَةٌ
“Kami (para Nabi) tidak mewariskan. Apa yang kami
tinggalkan menjadi shadaqah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1757].
Orang muslim dan kafir juga tidak saling mewarisi, berdasarkan hadits :
لَا يَرِثُ
الْمُؤْمِنُ الْكَافِرَ، وَلَا يَرِثُ الْكَافِرُ الْمُؤْمِنَ
“Orang kafir tidak berhak menerima waris dari seorang
muslim, juga (sebaliknya) seorang muslim tidak (berhak menerima warisan) dari
orang kafir” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 4283 dan Muslim no. 1614].
Orang yang membunuh dengan sengaja karena menginginkan harta warisan juga tidak
mendapatkan warisan berdasarkan hadits :
القاتل لا يرث
“Seorang pembunuh tidaklah mewarisi” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2109, dan ia
berkata : “Ini adalah hadits shahih”].
Contoh lain adalah firman Allah ta’ala:
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya” [QS. Al-Maaidah : 38].
As-Sunnah diantara mengkhususkan tidak ada hukuman
potong tangan terhadap kasus pencurian buah-buahan yang masih tergantung di
pohonnya tanpa dipagari.
عَنْ رَافِعِ
بْنِ خَدِيجٍ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ: " لَا قَطْعَ فِي ثَمَرٍ وَلَا كَثَرٍ "
Dari Raafi’ bin Khadiij, ia berkata : Aku mendengar
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidak ada
hukuman potong tangan pada kasus pencurian tsamar (=kurma yang masih tergantung
di pohonnya sebelum dipetik) dan tidak pula tandan kurma” [Diriwayatkan
oleh At-Tirmidziy no. 1449, Abu Daawud no. 4388, An-Nasaa’iy no. 4960, dan yang
lainnya; shahih].
Contoh lain adalah ketika Allah ta’ala menyebutkan
wanita-wanita yang tidak boleh dinikahi, yang kemudian berfirman:
وَأُحِلَّ
لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ
“Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian”
[QS. An-Nuur : 24].
As-Sunnah mengkhususkan keumuman ayat tersebut bahwa
seseorang tidak boleh mengumpulkan seorang wanita dengan bibinya:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
" لَا تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا، وَلَا عَلَى خَالَتِهَا "
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Seorang wanita tidak
boleh dinikahi (digabung) dengan bibi dari ayah dan tidak pula bibi dari ibunya”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5109 & 5111 dan Muslim no. 1408].
f.
As-Sunnah memberikan tambahan hukum baru yang tidak
terdapat dalam Al-Qur’an.
Contohnya adalah diharamkannya makan binatang buas
yang bertaring dan emas bagi laki-laki.
عَنْ أَبِي
ثَعْلَبَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ
Dari Abu Tsa’labah radliyallaahu ‘anhu :
Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan
binatang buas yang memiliki taring [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5530 dan
Muslim no. 1932].
Faedah:
Larangan memakan hewan buas ini
dikecualikan lagi untuk hyena yang statusnya halal (meskipun memiliki taring).
Dalilnya adalah:
عَنْ ابْنِ أَبِي عَمَّارٍ قَالَ: قُلْتُ
لِجَابِرٍ: " الضَّبُعُ صَيْدٌ هِيَ "، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ، قُلْتُ:
آكُلُهَا، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: قُلْتُ لَهُ: أَقَالَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: نَعَمْ،
Dari Abu ‘Ammaar ia berkata : Aku
bertanya kepada Jaabir : “Apakah hyena (adl-dlabu’) termasuk hewan
buruan ?”. Ia menjawab : “Ya”. Aku bertanya : “Bolehkah untuk memakannya ?”. Ia
menjawab : “Ya”. Aku kembali bertanya kepadanya : “Apakah (pembolehan) itu
dikatakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Ia menjawab
: “Ya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1791, dan ia berkata : “Ini adalah
hadits hasan shahih”].
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّهُ نَهَى عَنْ خَاتَمِ الذَّهَبِ
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Bahwasannya beliau melarang cincin
emas (bagi laki-laki)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5864 dan Muslim no. 2089].
عَنْ أَبِي
مُوسَى، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "
أُحِلَّ الذَّهَبُ وَالْحَرِيرُ لِإِنَاثِ أُمَّتِي، وَحُرِّمَ عَلَى ذُكُورِهَا
"
Dari Abu Muusaa : Bahwasannya Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Emas dan sutera dihalalkan untuk
kaum wanita dari umatku dan diharamkan untuk laki-lakinya” [Diriwayatkan
oleh At-Tirmidziy no. 1720, An-Nasaa’iy no. 5148, dan yang lainnya; shahih].
Faedah:
Sebagian ulama ada yang berpendapat
haramnya cincin besi murni bagi laki-laki berdasarkan hadits:
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ
أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى
عَلَى بَعْضِ أَصْحَابِهِ خَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ، فَأَعْرَضَ عَنْهُ فَأَلْقَاهُ،
وَاتَّخَذَ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ، قَالَ: فَقَالَ: " هَذَا أَشَرُّ هَذَا
حِلْيَةُ أَهْلِ النَّارِ "، فَأَلْقَاهُ، وَاتَّخَذَ خَاتَمًا مِنْ وَرِقٍ،
فَسَكَتَ عَنْهُ
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari
kakeknya : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melihat salah
seorang shahabatnya memakai cincin dari emas. Maka beliau berpaling darinya.
(Melihat hal itu), maka shahabat tersebut membuangnya dan menggantinya dengan
cincin dari besi. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ini
lebih jelek (dari cincin emas). Ini merupakan perhiasan penduduk neraka”.
Shahabat tadi kembali membuang cincinnya dan menggantinya dengan cincin dari
perak, sementara itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak
berkomentar tentangnya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/163 & 2/179, Al-Bukhari
dalam Al-Adabul-Mufrad no. 1021, dan Ath-Thahawiy dalam Syarh
Ma’aanil-Aatsaar 4/261. Dishahihkan oleh Al-Albaniy dalam Aadaabuz-Zifaaf
hal. 217 dan Al-Arna’uth dalam Takhrij ‘alal-Musnad 11/69].
Allah ta’ala berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ
الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul
kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”
[QS. Al-Hasyr : 7].
Wallaahu a’lam.
Bersambung, insya Allah……
[Perum Ciomas Indah Bukit Asri,
Sabtu, 09-05-2015 – Abul-Jauzaa’ - Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad, syarh
dan tahqiiq Al-Waliid bin Muhammad Nabiih, hal. 39-40, Maktabah Ibni
Taimiyyah, Cet. 1/1416, Kairo, dengan beberapa referensi lain sebagai tambahan
penjelasan].
Silakan baca pembahasan
sebelumnya:
Ushuulus-Sunnah
lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (8) – Meninggalkan Perdebatan dalam Masalah Agama
(Lanjutan)
قال تعالى (
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ ) الحجر/9
وقال تعالى : ( قُلْ إِنَّمَا أُنذِرُكُم بِالْوَحْيِ وَلَا يَسْمَعُ الصُّمُّ الدُّعَاء إِذَا مَا يُنذَرُونَ ) الأنبياء/45
فأخبر تعالى أن كلام نبيه صلى الله عليه وسلم كله وحي ، والوحي بلا خلاف ذِكْرٌ ، والذكر محفوظ بنصِّ القرآن ، فصح بذلك أن كلامه صلى الله عليه وسلم كله محفوظ بحفظ الله عز وجل
وقال تعالى : ( قُلْ إِنَّمَا أُنذِرُكُم بِالْوَحْيِ وَلَا يَسْمَعُ الصُّمُّ الدُّعَاء إِذَا مَا يُنذَرُونَ ) الأنبياء/45
فأخبر تعالى أن كلام نبيه صلى الله عليه وسلم كله وحي ، والوحي بلا خلاف ذِكْرٌ ، والذكر محفوظ بنصِّ القرآن ، فصح بذلك أن كلامه صلى الله عليه وسلم كله محفوظ بحفظ الله عز وجل
“Allah ta’ala berfirman : ‘Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya” (QS. Al-Hijri : 9). Allah ta’ala juga berfirman : “Katakanlah
(hai Muhammad): "Sesungguhnya aku hanya memberi peringatan kepada kamu
sekalian dengan wahyu dan tiadalah orang-orang yang tuli mendengar seruan,
apabila mereka diberi peringatan" (QS. Al-Anbiyaa’ : 45). Allah ta’ala
telah mengkhabarkan bahwasannya semua perkataan Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi
wa sallam adalah wahyu, dan wahyu tanpa ada perselisihan, adalah Dzikr. Dan
Adz-Dzikr terjaga berdasarkan nash Al-Qur’an. Maka benarlah berdasarkan
hal itu bahwa semua perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam terjaga
dengan penjagaan Allah ‘azza wa jalla” [Al-Ihkaam, 1/95].
Diantara dalil penguatnya:
عَنِ الْمِقْدَامِ
بْنِ مَعْدِي كَرِبَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ
قَالَ: أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ
مَعَهُ
Dari Al-Miqdaam bin Ma’dikarib, dari Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam, bahwasannya beliau bersabda : “Ketahuilah, sesungguhnya
aku telah diberikan Al-Kitaab dan yang semisal dengannya (As-Sunnah) bersamanya….”
[Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4604; shahih].
Ketika Allah ta’ala berfirman dalam QS.
Al-Hijri ayat 9 bahwa Ia akan menjaga Al-Qur’an, maka Allah pun akan menjaga
As-Sunnah karena ia semisal dengan Al-Qur’an. Keduanya adalah Adz-Dzikr.
Comments
Posting Komentar