Tanya : Saya sering membaca
beberapa tulisan berikut perkataan beberapa orang yang mengatakan Wahabi itu
adalah golongan musyabihah dan mujasimah. Sesat. Itu dikarenakan mereka
menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Sebagai orang Wahabi, menurut Anda apakah
semua hal itu benar?
Jawab : Perkataan-perkataan
semacam itu memang banyak dituliskan dan diucapkan oleh orang yang anti
terhadap dakwah tauhid yang dibawa oleh Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahumallah
sehingga mereka menyebutnya ‘Wahabi’. Bahkan era sebelum itu, yaitu untuk Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul-Qayyim rahimahumallah, mereka juga dituduh
sebagai Wahabi. Ini kan namanya tuduhan yang membabi buta.
‘Aqidah
Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dalam sifat-sifat Allah ta’ala adalah beriman kepada sifat-sifat-Nya sebagaimana yang
terdapat dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam
tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tasybih/tamtsil, serta mengimani bahwa
Allah itu tidak serupa dengan sesuatu apapun.
Tanpa tahriif artinya tanpa
menyelewengkannya dari makna yang benar. Tanpa ta'thiil artinya tanpa meniadakan/mengingkarinya (sifat-sifat
Allah), baik sebagian atau seluruhnya. Tanpa takyiif artinya tanpa menanyakan bagaimana hakekat sebenarnya dari sifat
Allah. Tanpa tamtsiil/tasybiih
artinya tanpa menyamakan sifat-sifat Allah ta'ala
dengan sifat-sifat makhluk-Nya.
Asy-Syaikh Muhammad bin 'Abdil-Wahhaab rahimahumallah berkata:
الذي نعتقد
وندين الله به، هو مذهب سلف الأمة وأئمتها من الصحابة والتابعين،والتابعين لهم
بإحسان من الأئمة الأربعة وأصحابهم رضي الله عنهم.
وهو الإيمان بآيات الصفات وأحاديثها، والإقرار بها وإمرارها كما جاءت من غير تشبيه ولا تمثيل، ولا تعطيل، قال تعالى (وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءتْ مَصِيرًا) (النساء: 115).
وهو الإيمان بآيات الصفات وأحاديثها، والإقرار بها وإمرارها كما جاءت من غير تشبيه ولا تمثيل، ولا تعطيل، قال تعالى (وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءتْ مَصِيرًا) (النساء: 115).
"Sesuatu yang kami yakini dan kami beragama
kepada Allah dengannya adalah madzhab salaful-ummah
dan para imamnya dari kalangan shahabat, taabi'iin, dan yang mengikuti mereka dengan baik dari imam yang
empat dan para pengikutinya radliyallaahu
'anhum.
Yaitu, beriman kepada ayat-ayat dan hadits-hadits sifat,
mengakuinya, membiarkannya sebagaimana datangnya, tanpa tasybiih, tamtsiil, dan ta'thiil. Allah ta'ala berfirman : 'Dan
barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali' (QS. An-Nisaa' :
115)" [Asy-Syaikh Muhammad bin
'Abdil-Wahhaabm 'Aqiidatuhu As-Salafiyyah wa Da'watuhu Al-Ishlaahiyyah oleh
Ahmad bin Hajar Aalu Buuthaamiy, hal. 51].
Inilah 'aqidah yang Anda sebut 'aqiidah 'Wahabi'. Lantas,
dimanakah gambaran tasybiih dari beliau
rahimahullah ". Bagaimana bisa
dikatakan musaybbih sedangkan beliau
sendiri mengingkari tasybiih ?. Seandainya
ada orang yang menuduh beliau rahimahullah
penganut paham musyabbihah (menyerupakan
Allah dengan makhluk-Nya) hanya dikarenakan menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana
yang ada dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagaimana dhahirnya, maka Allah ta'ala berfirman:
لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
"Tidak ada
sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat" [QS. Asy-Syuuraa : 11].
Dalam ayat di atas Allah ta'ala telah menetapkan bagi diri-Nya sifat mendengar dan melihat,
namun Allah pun berfirman bahwa Ia berbeda dengan makhluk-Nya. Artinya, Allah ta'ala mempunyai sifat mendengar dan
melihat, namun kedua sifat tersebut berbeda dengan makhluk-Nya; karena sifat-sifat
Allah mengandung kesempurnaan tanpa ada aib, cacat, atau kekurangan. Begitu
juga dengan sifat-sifat Allah ta'ala yang lain seperti pengasih, penyayang,
mencintai, marah, gembira, mempunyai tangan, mempunyai mata, dan yang lainnya
yang disebutkan dalam nash-nash.
Allah ta’ala berfirman:
قَالَ يَا
إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ
أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ
"Allah berfirman: "Hai iblis,
apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua
tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk
orang-orang yang (lebih) tinggi?" [QS.
Shaad : 75].
Ayat tersebut sebagai dalil bahwa Allah ta'ala mempunyai tangan dalam makna yang
sebenarnya, sedangkan tangan-Nya berbeda dengan tangan makhluk. Tangan dalam
ayat tersebut bukan diartikan dengan kekuasaan atau kekuatan. Hal ini
sebagaimana yang dipahami kaum salaf, diantaranya 'Abdullah bin 'Umar radliyallaahu 'anhumaa:
خَلَقَ اللَّهُ
أَرْبَعَةَ أَشْيَاءَ بِيَدِهِ: الْعَرْشُ، وَالْقَلَمُ، وَعَدْنٌ، وَآدَمُ، ثُمَّ
قَالَ لِسَائِرِ الْخَلْقِ: كُنْ فَكَانَ
“Allah
menciptakan empat hal dengan tangan-Nya : Al-‘Arsy, Al-Qalam (pena),
(surga) Al-‘Adn, dan Aadam. Kemudian Allah berfirman kepada seluruh
makhluk : ‘Jadilah’, maka jadilah ia” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy dalam Naqdud-Daarimiy
‘alaa Bisyr Al-Maarisiy no. 44 & 112, Al-Haakim 2/319, Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’
wash-Shifaat 2/126 no. 693, Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah 2/130
no. 801, Abusy-Syaikh dalam Al-‘Adhamah 2/578-579 no. 213 & 5/1555-1556 no. 1018, dan l-Laalikaa’iy dalam Syarh
Ushuulil-I’tiqaad no. 729];
shahih.
Hanya saja mungkin sebagian orang salah paham bahwa
dengan adanya penetapan sifat-sifat seperti itu dianggap sebagai tasybiih dan orangnya dicap musyabbihah. Jelas, ini kekeliruan fatal
dan menunjukkan kebodohan mereka akan makna tasybiih
tersebut.
Hanbal bin Ishaaq rahimahumallah
berkata:
قُلْتُ لأَبِي
عَبْدِ اللَّهِ: وَالْمُشَبِّهَةُ مَا يَقُولُونَ؟ قَالَ: بَصَرٌ كَبَصَرِي،
وَيَدٌ كَيَدِي، وَقَدَمٌ كَقَدَمِي، فَقَدْ شَبَّهَ اللَّهَ بِخَلْقِهِ وَهَذَا
كَلامُ سُوءٍ، وَالْكَلامُ فِي هَذَا لا أُحِبُّهُ، وَأَسْمَاؤُهُ وَصِفَاتُهُ
غَيْرُ مَخْلُوقَةٍ، نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الزَّلَلِ، وَالارْتِيَابِ،
وَالشَّكِّ، إِنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Aku bertanya kepada Abu ‘Abdillah : “Tentang Musyabbihah, apa yang sebenarnya
mereka katakan ?”. Ia menjawab : “Penglihatan (Allah) seperti penglihatanku,
tangan (Allah) seperti tanganku, telapak kaki seperti telapak kakiku. Mereka
telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Perkataan ini adalah perkataan
yang jelek, dan pembicaraan tentang hal ini tidak aku sukai. Nama-nama dan
sifat-sifat-Nya bukanlah makhluk. Kami berlindung kepada Allah dari
ketergelinciran dan keraguan.
Sesunggahnya Allah Maha berkuasa atas segala sesuatu (QS. Al-Fushshilat
: 39)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah
dalam Al-Ibaanatul-Kubraa, 3/327].
Ibnul-Jauziy rahimahullah berkata:
والمشبهة
يقولون: لله بصر كبصري ويد كيدي،
“Dan orang Musyabbihah berkata : Allah memiliki
penglihatan seperti penglihatanku dan (memilik) tangan seperti tanganku…” [Talbiis Ibliis, hal. 31].
Nu’aim
bin Hammad Al-Khuzaa’iy rahimahullah
:
مَنْ شَبَّهَ اللَّهَ بِشَيْءٍ مِنْ خَلْقِهِ فَقَدْ
كَفَرَ، وَمَنْ أَنْكَرَ مَا وَصَفَ اللَّهُ بِهِ نَفْسَهُ فَقَدْ كَفَرَ،
فَلَيْسَ مَا وَصَفَ اللَّهُ بِهِ نَفْسَهُ وَرَسُولُهُ تَشْبِيهٌ
”Barangsiapa
yang menyerupakan Allah dengan sesuatu dari makhluk-Nya,
maka ia telah kafir. Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang disifatkan Allah
bagi diri-Nya, maka ia telah kafir. Dan tidaklah apa yang disifatkan Allah bagi
diri-Nya dan (yang disifatkan) Rasul-Nya itu sebagai satu penyerupaan (tasybiih)”
[Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 936.
Lihat Mukhtashar
Al-’Uluuw, hal. 184 no. 216].
Ishaaq bin Rahawaih rahimahumallah berkata:
إِنَّمَا
يَكُونُ التَّشْبِيهُ إِذَا قَالَ: يَدٌ كَيَدٍ أَوْ مِثْلُ يَدٍ أَوْ سَمْعٌ
كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ، فَإِذَا قَالَ: سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ
فَهَذَا التَّشْبِيهُ، وَأَمَّا إِذَا قَالَ: كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى:
" يَدٌ وَسَمْعٌ وَبَصَرٌ " وَلَا يَقُولُ كَيْفَ، وَلَا يَقُولُ مِثْلُ
سَمْعٍ وَلَا كَسَمْعٍ، فَهَذَا لَا يَكُونُ تَشْبِيهًا، وَهُوَ كَمَا قَالَ
اللَّهُ تَعَالَى فِي كِتَابهِ: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ
الْبَصِيرُ
“Tasybih itu
hanya terjadi ketika seseorang itu mengatakan : ‘Tangan (Allah) seperti tangan
(makhluk), pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk)”. Jika ia berkata
: ‘Pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk)’, maka inilah yang
dinamakan tasybih (penyerupaan).
Adapun jika seseorang mengatakan seperti firman Allah : ’Tangan, pendengaran,
penglihatan’ , kemudian ia tidak mengatakan : ’bagaimana’ dan tidak pula
mengatakan ’seperti’ pendengaran makhluk; maka itu tidak termasuk tasybih. Dan
itu sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘Tidak
ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi
Maha Melihat (QS. Asy-Syuuraa : 11)” [Sunan
At-Tirmidziy, 2/43].
Ibnu
‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :
ومُحالٌ أن يكون
مَن قال عن اللهِ ما هو في كتابه منصوصٌ مُشبهًا إذا لم يُكيّف شيئا، وأقرّ أنه
ليس كمثله شيء
"Dan
tidaklah mungkin terjadi pada orang yang berbicara tentang Allah sesuatu yang
ternashkan dalam kitab-Nya disebut sebagai musyabbih,
ketika ia tidak men-takyif-nya sedikitpun dan mengatakan tidak ada sesuatupun
yang serupa dengan-Nya” [Al-Istidzkaar, 8/150].
Adz-Dzahabiy
rahimahullah berkata :
ليس يلزم من
إثبات صفاته شيء من إثبات التشبيه والتجسيم، فإن التشبيه إنما يقال: يدٌ كيدنا ...
وأما إذا قيل: يد لا تشبه الأيدي، كما أنّ ذاته لا تشبه الذوات، وسمعه لا يشبه
الأسماع، وبصره لا يشبه الأبصار ولا فرق بين الجمع، فإن ذلك تنزيه
"Tidaklah penetapan
sifat-sifat-Nya mengkonsekuensikan adanya penetapan tasybiih dan tajsiim,
karena tasybiih itu hanyalah jika
dikatakan : ‘tangan seperti tanganku’...... Adapun jika dikatakan : ‘tangan
namun tidak menyerupai tanganku’, sebagaimana Dzaat-Nya tidak menyerupai
dzat-dzat makhluk, pendengaran-Nya tidak menyerupai pendengaran-pendengaran
makhluk, dan penglihatan tidak menyerupai penglihatan-penglihatan makhluk, maka
itulah yang disebut tanziih” [Al-Arba’iin
min Shifaati Rabbil-‘Aalamiin, hal. 104].
Apa yang dapat kita simpulkan dari perkataan para imam
di atas ?. Tasybiih itu hanya terjadi
bagi orang yang berstatement bahwa sifat Allah sama seperti sifat makhluk.
Tuduhan-tuduhan yang diarahkan kepada Ahlus-Sunnah
yang menetapkan sifat Allah ta'ala sebagaimana
yang disebutkan dalam dhahir nash sebagai musyabbihah
atau mujassimah sudah ada
semenjak dahulu. Semua itu dilontarkan oleh orang-orang Jahmiyyah dan ahlul-bida'
yang sudah dikenal sesatnya.
Ishaaq bin Rahawaih rahimahumallah berkata:
عَلامَةُ جَهْمٍ
وَأَصْحَابِهِ دَعْوَاهُمْ عَلَى أَهْلِ الْجَمَاعَةِ، وَمَا أُولِعُوا بِهِ مِنَ
الْكَذِبِ، إِنَّهُمْ مُشَبِّهَةٌ، بَلْ هُمُ الْمُعَطِّلَةُ
“Tanda-tanda Jahm
dan pengikut-pengikutnya (orang-orang Jahmiyyah) adalah tuduhan mereka
terhadap Ahlul-Jamaa’ah, dan betapa senang mereka untuk
berdusta, bahwa mereka (Ahlus-Sunnah)
adalah Musyabbihah, namun
mereka (Jahmiyyah)-lah yang justru Mu’aththilah
(orang-orang yang meniadakan sifat-sifat Allah)….” [Diriwayatkan
oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 937].
Abul-Qaasim Al-Ashbahaaniy rahimahullah berkata:
فصل فِي الرد
عَلَى الجهمية الَّذِي أنكروا صفات اللَّه عَزَّ وَجَلَّ وسموا أهل السنة مشبهة
“Pasal tentang Bantahan terhadap Jahmiyyah yang mengingkari sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla dan
menamai Ahlus-Sunnah sebagai Musyabbihah”
[Al-Hujjah fii Bayaanil-Mahajjah].
وإذا رأيت الرجل
يسمي أهل الحديث حشوية، أو مشبهة، أو ناصبة فأعلم أنه مبتدع
“Apabila engkau melihat seseorang yang menamakan
Ahlul-Hadiits sebagai Hasyawiyyah, Musyabbihah,
atau Naashibab, maka ketahuilah ia seorang mubtadi’” [idem].
فهؤلاء أهل
السنة والمتمسكون بالصواب والحق وليس هم بالمشبهة من شبهوا هؤلاء إِنما آمنوا بما
جاء به الحديث، هؤلاء مؤمنون مصدقون بما جاء به النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
والكتاب والسنة .
“Mereka, yaitu Ahlus-Sunnah yang berpegang teguh
kepada kebenaran dan al-haq, bukanlah Musyabbihah yang melakukan tasybiih. Mereka
hanyalah beriman kepada kandungan hadits. Mereka beriman dan membenarkan apa
yang dibawa oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Al-Kitaab, dan
As-Sunnah” [idem].
Qutaibah bin Sa’iid rahimahullah berkata:
إِذَا قَالَ
الرَّجُلُ: الْمشبهة فَاحْذَرُوهُ، فَإِنَّهُ يَرَى رَأْيَ جَهْمٍ
“Apabila seseorang berkata (kepada Ahlus-Sunnah) : ‘Musyabbihah', maka waspadalah,
karena ia menganut pendapat Jahm
(Jahmiyyah)” [Diriwayatkan oleh Abu Ahmad Al-Haakim dalam Syi’aar
Ashhaabil-Hadiits no. 12 dan Ibnu ‘Asaakir dalam Jam’ul-Juyuusy no.
85].
Abu
Haatim Ar-Raaziy rahimahullah berkata:
وَعَلامَةُ
أَهْلِ الْبِدَعِ الْوَقِيعَةُ فِي أَهْلِ الأَثَرِ، وَعَلامَةُ الزَّنَادِقَةِ
تَسْمِيَتُهُمْ أَهْلَ السُّنَّةِ حَشْوِيَّةً يُرِيدُونَ إِبْطَالَ الآثَارِ.
وَعَلامَةُ الْجَهْمِيَّةِ تَسْمِيَتُهُمْ أَهْلَ السُّنَّةِ مُشَبِّهَةً......
“Tanda
Ahlul-Bida’ adalah mencela
Ahlul-Atsar. Tanda orang-orang Zanaadiqah adalah penamaan mereka terhadap
Ahlus-Sunnah sebagai Hasyawiyyah karena mereka ingin membatalkan atsar-atsar.
Tanda orang-orang Jahmiyyah adalah penamaan mereka terhadap Ahlus-Sunnah dengan
Musyabbihah.....”
[Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no.
321].
Abu
‘Utsmaan Ash-Shaabuuniy rahimahullah berkata:
وعلامات البدع على أهلها
بادية ظاهرة، وأظهر آياتهم وعلاماتهم شدة معاداتهم لحملة أخبار الني صلى الله عليه
وسلم، واحتقارهم لهم وتسميتهم إياهم حشوية وجهلة وظاهرية ومشبهة.....
“Tanda-tanda
bid’ah yang ada pada ahlul-bid’ah
adalah sangat jelas. Dan tanda-tanda yang paling jelas adalah permusuhan mereka
terhadap pembawa khabar Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam (yaitu para ahlul-hadits), memandang rendah mereka, serta
menamai mereka sebagai hasyawiyyah,
orang-orang bodoh, dhahiriyyah, dan musyabbihah.....”
[‘Aqiidatu Ashhaabil-Hadiits, hal.
102].
Sudah menjadi ketentuan kauniy dari Allah ta'ala bahwa para penganut pemikiran Jahmiyyah ini masih ada dan
banyak hingga sekarang, yang menghalangi dakwah sunnah dan ketauhidan. Siapakah mereka ? Bukan terlalu sulit bagi Anda untuk
menjawabnya.
Wallaahul-musta'aan.
[abul-jauzaa' – senayan, Jakarta – 27052015 – 13:18].
Comments
Intinya:
Aqidah Salafusshalih adalah meyakini bahwa Allah istiwa' diatas Arsy, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-A’raaf: 54.
Tapi apakah istiwa' Allah itu sama sebagaimana orang duduk di kursi/singgasana?
Tidak.
Karena Allah berfirman dalam Surat Asy-Syuuraa: 11 bahwa Allah berbeda dengan makhluk-Nya.
Mengimani istiwa' Allah diatas Arsy itu WAJIB, sebagaimana yang Allah firmankan didalam Kitab-Nya.
Namun menyamakan sifat istiwa' Allah dengan sifat orang duduk di kursi/singgasana itu HARAM, karena Allah tak sama dengan makhluk-Nya.
Syukron atas ilmunya ustas !!
Syukron
Posting Komentar