Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (6) – Tanda-Tanda Ahlul-Bid’ah


Terdapat beberapa tanda para ahlul-bid’ah dan pengekor hawa nafsu, diantaranya adalah :
a.    Mencela Ahlul-Atsar.
Telah berkata Abu Haatim Ar-Raaziy rahimahullah :
علامات أهل البدع الوقيعة في أهل الأثر
“Tanda-tanda ahlul-bid’ah adalah mencela Ahlul-Atsar” [‘Aqiidah Abi Haatim Ar-Raaziy, hal. 69].
b.    Sangat Besar Permusuhannya dengan Ahli Hadits Namun Diam terhadap Para Penyeru Kesesatan dan Kebathilan.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menyifati mereka dengan sabdanya :
يَقْتُلُونَ أَهْلَ الْإِسْلَامِ وَيَدْعُونَ أَهْلَ الْأَوْثَانِ.
“Membunuh kaum muslimin, namun membiarkan para penyembah berhala” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari 13/416 – Al-Fath – dan Muslim no. 1064].
Telah berkata Abu ‘Utsman Ash-Shabuniy (w. 449 H) :
وعلامات البدع على أهلها بادية ظاهرة، وأظهر آياتهم وعلاماتهم شدة معاداتهم لحملة أخبار الني صلى الله عليه وسلم، واحتقارهم لهم وتسميتهم إياهم حشوية وجهلة وظاهرية ومشبهة، اعتقادا منهم في أخبار الرسول صلى الله عليه وسلم أنها بمعزل عن العلم، وأن العلم ما يلقيه الشيطان إليهم من نتائج عقولهم الفاسدة، ووساوس صدورهم المظلمة، وهواجس قلوبهم الخالية من الخير، وحججهم العاطلة. أولئك الذين لعنهم الله
“Tanda-tanda bid’ah yang ada pada ahlul-bid’ah adalah sangat jelas. Dan tanda-tanda yang paling jelas adalah permusuhan mereka terhadap pembawa khabar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (yaitu para ahlul-hadits), memandang rendah mereka, serta menamai mereka sebagai hasyawiyyah, orang-orang bodoh, dhahiriyyah, dan musyabbihah. Mereka meyakini bahwa hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengandung ilmu. Dan bahwasannya ilmu itu adalah apa-apa yang dibawa setan kepada mereka dalam bentuk hasil pemikiran aka-akal rusak mereka, was-was yang terbisikkan dalam hati-hati mereka yang penuh kegelapan, dan hal-hal yang terlintas dalam hati mereka nan kosong dari kebaikan dan hujjah. Mereka adalah kaum yang dilaknat oleh Allah” [‘Aqiidatu Ashhaabil-Hadiits, hal. 102].
Diriwayatkan oleh Al-Haakim dengan sanad shahih dari Ahmad bin Sinaan Al-Qaththaan, ia berkata :
ليس في الدنيا مبتدع، إلا وهو يبغض أهل الحديث، فإذا ابتدع الرجل نزعت حلاوة الحديث من قلبه
“Tidaklah ada seorang mubtadi’-pun di dunia ini kecuali ia membenci Ahlul-Hadits. Apabila seseorang berbuat bid’ah, maka dicabut kenikmatan hadits dari dadanya” [idem, hal. 103].
Abu Nashr Al-Faqiih berkata :
ليس شيء أثقل على أهل الإلحاد ولا أبغض إليهم من سماع الحديث، وروايته بإسناده
“Tidak ada sesuatupun yang lebih berat dan dibenci bagi seorang atheis (ahlul-ilhaad) daripada mendengarkan hadits dibandingkan mendengarkan hadits dan meriwayatkan sanadnya”[idem, hal 104].
Abu ‘Utsman Ash-Shabuniy juga berkata :
أنا: رأيت أهل البدع في هذه الأسماء التي لقبوا بها أهل السنة سلكوا فيها مسلك المشركين مع رسول الله صلى الله عليه وسلم، فإنهم اقتسموا القول فيه، فسماه بعضهم ساحرا وبعضهم كاهنا، وبعضهم شاعرا، وبعضهم مجنونا، وبعضهم مفتونا، وبعضهم مفتريا مختلفا كذابا، وكان الني صلى الله عليه وسلم من تلك المعائب بعيدا بريئا، ولم يكن إلا رسولا مصطفى نبيا، قال الله عز وجل: (أنظر كيف ضربوا لك الأمثال فضلوا فلا يستطيعون سبيلا). كذلك المبتدعة خذلهم الله اقتسموا القول في حملة أخباره، ونقلة آثاره ورواة أحاديثه المقتدين به المهتدين بسنته، فسماهم بعضها حشوية، وبعضهم مشبهة،..... وأصحاب الحديث عصابة من هذه المعايب بريئة زكية نقية، وليسوا إلا أهل السنة المضية والسيرة المرضية والسبل السوية والحجج البالغة القوية، قد وفقهم الله جل جلاله لا تباع كتابه ووحيه وخطابه، والاقتداء برسوله صلى الله عليه وسلم في أخباره وأعانهم على التمسك بسيرته والاهتداء بملازمة سنته، وشرح صدورهم لمحبته، ومحبة أئمة شريعته، وعلماء أمته، ومن أحب قوما فهو معهم يوم القيامة
“Aku melihat ahlul-bid’ah dalam nama-nama yang mereka sematkan kepada Ahlus-Sunnah adalah mengikuti jejak kaum musyrikin dalam bersikap kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Mereka terbagi-bagi dalam menamai beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian mereka menamai beliau sebagai penyihir, dukun, penyair, orang gila, orang yang terfitnah, ataupun pendusta. Allah ‘azza wa jalla telah berfirman :
انْظُرْ كَيْفَ ضَرَبُوا لَكَ الأمْثَالَ فَضَلُّوا فَلا يَسْتَطِيعُونَ سَبِيلا
 “Lihatlah bagaimana mereka membuat perumpamaan-perumpamaan terhadapmu; karena itu mereka menjadi sesat dan tidak dapat lagi menemukan jalan (yang benar)” (QS. Al-Israa’ : 48).
Demikian pula para mubtadi’ – semoga Allah menghinakan mereka – yang terbagi-bagi dalam menamai para pembawa khabar dan atsar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam serta para perawi hadits Nabi yang senantiasa mengikuti dan berpetunjuk dengan sunnahnya. Di antara mereka ada yang menamainya hasyawiyyah, musyabbihah,…… Dan Ashhaabul-Hadiits senantiasa terjaga, berlepas diri, dan suci dari ‘aib-aib yang mereka sematkan itu. Mereka tidak lain adalah Ahlus-Sunnah yang terang-benderang, orang-orang yang riwayat hidupnya diridlai, jalannya lurus, serta hujjah-hujjahnya kuat. Allah ‘azza wa jalla telah memberikan taufiq-Nya kepada mereka untuk senantiasa mengikuti Kitab-Nya, wahyu-wahyu-Nya, dan perintah-perintah-Nya. Serta agar ber-qudwah kepada Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits-haditsnya. Dan Allah ‘azza wa jalla juga telah menolong mereka dalam berpegang tegus dengan sirah Nabi-Nya, dan berkomitmen dengan sunnahnya. Dia telah melapangkan dada-dada mereka untuk mencintai para imam syari’atnya dan para ulama umatnya. Barangsiapa yang mencintai suatu kaum, maka ia (dibangkitkan) bersama mereka pada hari kiamat….” [selesai dengan peringkasan – ‘Aqiidatu Ashhaabil-Hadiits, hal. 105].
c.    Berlindung dan Meminta Tolong kepada Penguasa untuk Memusuhi/Memerangi Ahlus-Sunnah
Dikarenakan lemahnya hujjah dan kekuatan Ahlul-Bid’ah serta sedikitnya tipu daya, maka mereka pun meminta bantuan kepada penguasa untuk menolong dakwah mereka; yang dengan hal itu terdapat satu pemaksaan dan ancaman karena rasa takut kepada penguasa akibat hukuman yang mungkin diberikan berupa pemenjaraan, pukulan, ataupun pembunuhan. Hal itu sebagaimana telah dilakukan oleh Bisyr Al-Marisiy pada masa berkuasanya Khalifah Al-Makmun dan Ahmad bin Abi Duad pada masa Khalifah Al-Waatsiq. Mereka membuat madzhab-madzhab yang tidak dikenal dalam syari’at bagi manusia. Manusia dipaksa mengikuti mereka baik dalam keadaan tunduk ataupun terpaksa, hingga kebid’ahan mereka menyebar rata dan kokoh dalam jangka waktu yang lama pada umat. Mubtadi’, jika dakwah mereka tidak diterima, maka mereka merapat kepada penguasa agar lebih memungkinkan diterima oleh umat. Oleh sebab itu, kebanyakan orang yang bergabung dengan mereka karena keadaan jiwa mereka yang lemah [silakan merujuk pada Al-I’tishaam oleh Asy-Syaathibi 1/220].
Tidaklah asing bagi kita berbagai cobaan yang telah menimpa para Imam Ahlus-Sunnah : Ahmad bin Hanbal, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab, serta seluruh pembela kebenaran di setiap waktu dan tempat.
Telah berkata Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullaahu ta’ala :
ألا ترى أحوال المبتدعة في زمان التابعين، وفيما بعد ذلك ؟، تلبسوا بالسلاطين، ولاذوا بأهل الدنيا، ومن لم يقدر على ذلك استخفى ببدعته، وهرب بها عن مخالطة الجمهور، وعمل بأعمالها على التقية.
“Tidakkah engkau lihat keadaan para ahli bid’ah pada jaman tabi’in dan setelahnya ? Mereka bercampur dengan penguasa dan berlindung kepada orang-orang yang berharta (ahlud-dun-yaa). Siapa saja dari kalangan mereka yang tidak mampu melakukan itu, maka mereka bersembunyi dengan bid’ah mereka dan menjauhi interaksi dengan manusia di sekelilingnya. Mereka beramal dengan amal bid’ah mereka itu melalui senjata taqiyyah (agar selamat dari cercaan dan serangan manusia) [selesai dengan peringkasan – Al-I’tishaam 1/167].
d.    Bersungguh-Sungguh dan Berlebih-Lebihan dalam Beribadah
Para ahlul-bid’ah menambah kesungguhan mereka dalam beribadah untuk mendapatkan ta’dhiim (pengagungan) di dunia, baik berupa kedudukan, harta, atau yang lainnya dari macam-macam syahwat keduniaan. Tidakkah kalian lihat para pendeta terputus dari segala macam kenikmatan, tenggelam dalam peribadahan, serta menahan diri dari segala macam bentuk syahwat; namun bersamaan dengan itu mereka telah di-nash-kan berada kekal di kerak neraka Jahannam ?
Allah ta’ala telah berfirman :
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ * عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ * تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً
 “Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka)” [QS. Al-Ghaasyiyah : 2-4].
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأخْسَرِينَ أَعْمَالا * الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya” [QS. Al-Kahfi : 103-104].
Hal itu tidak lain disebabkan oleh perasaan ringan yang mereka dapatkan ketika ber-iltizam untuk ibadah; dan rasa giat yang masuk dalam diri mereka. Mereka menganggap mudah hal yang susah dengan sebab apa hawa nafsu yang telah masuk dalam jiwa mereka. Apabila nampak oleh seorang mubtadi’ suatu kewajiban, ia pun memandangnya dengan penuh rasa cinta. Maka, apa yang kemudian menjadi penghalang baginya untuk berpegang teguh dengannya dan menambah semangat untuk menjalankannya ? Ia melihat bahwa apa yang dilakukannya itu lebih utama dibandingkan amal-amal selainnya, serta keyakinannya yang lebih kuat dan lebih tinggi.
كَذَلِكَ يُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya” (QS. Al-Mudatstsir : 31) [selesai dengan peringkasan – Al-I’tishaam 1/165].
Tanbih/Peringatan : Telah terfitnah sebagian orang oleh ahlul-bid’ah karena mereka melihat apa yang ada pada ahlul-bid’ah tersebut sikap zuhud, khusyu’, mudah menangis, atau yang lainnya dari banyaknya ibadah yang mereka lakukan. Namun hal tersebut bukanlah satu ukuran yang benar untuk mengetahui al-haq (kebenaran). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada para shahabatnya ketika mensifati ahlul-bid’ah :
يُحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلَاتَهُ فِي صَلَاتِهِ وَصَيَامَهُ فِي صَيَامِهِ...
“Salah seorang diantara kamu akan menganggap remeh ibadahnya dibanding ibadah mereka (ahlul-bid’ah) dan puasanya dibanding puasa mereka…” [telah lewat takhrij-nya].
Diriwayatkan dari Al-Auza’iy bahwasannya ia berkata :
بلغني أن من ابتدع بدعة ضلالة آلفه الشيطان العبادة، أو ألقى عليه الخشوع والبكاء، كي يصطاد به
“Telah sampai kepadaku bahwa barangsiapa mengada-adakan satu bid’ah yang sesat, maka setan akan membuatnya cinta untuk beribadah atau meletakkan rasa khusyu’ dan mudah untuk menangis agar ia dpat memburunya”.
Adapun tanda-tanda Ahlus-Sunnah yang paling jelas adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Abu ‘Utsmaan Ash-Shaabuuniy rahimahullah:
إحدي علامات أهل السنة حبهن لأئمة السنة وعلمائها وأنصارها وأوليائها، وبغضهم لأئمة البدع الذين يدعون إلى النار، ويدلون أصحابهم على دار البوار، وقد زين الله سبحانه قلوب أهل السنة ونورها بحب علماء السنة فضلاً منه جل جلاله
“Salah satu tanda Ahlus-Sunnah adalah kecintaan mereka kepada para imam Ahlus-Sunnah, ulama-ulamanya, penolong-penolongnya, dan wali-walinya; serta kebencian mereka terhadap para imam Ahlul-Bida’ yang mengajak kepada neraka dan menjerumuskan teman-temannya ke dalam Jahannam. Allah subhaanahu wa ta’ala telah menghiasi hati-hati Ahlus-Sunnah dan meneranginya dengan kecintaan terhadap ulama Ahlus-Sunnah sebagai karunia dari-Nya jalla jalaaluh”.
Pernah dikatakan kepada Abu Bakr bin ‘Ayyaasy rahimahumallah : “Siapakah sunniy itu ?”. Ia menjawab :
الذي إذا ذُكِرَت الأهواء لم يغضب لشيء منها
 “Orang yang apabila disebutkan hawa nafsu, ia tidak marah karena sesuatu pun darinya”.
******
Perlu disampaikan pula satu pembahasan yang masih ada kaitannya dengan masalah larangan bermajelis dengan pengikut hawa nafsu, yaitu hajr (pemboikotan).
Ada tiga macam jenis hajr yang dijelaskan ulama, yaitu :
1.     Hajr (dalam pandangan agama) untuk menegakkan hak-hak Allah. Hajr jenis ini mencakup hajr terhadap perbuatan jelek dan hajr terhadap pelakunya baik ia seorang ahli bid’ah atau ahli maksiat.
Hajr ini ada dua bagian, yaitu :
a)     Hajr dengan cara menjauhinya atau meninggalkannya; dalam arti : meninggalkan perbuatan-perbuatan jelek dan menjauhi kawan-kawan pergaulan yang buruk lagi memudlaratkan, kecuali jika terdapat manfaat dan maslahat yang lebih besar (jika bergaul dengannya).
Allah ta’ala berfirman :
وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ
"Dan perbuatan dosa tinggalkanlah"  [QS. Al-Mudatstsir : 5].
وَاهْجُرْهُمْ هَجْرًا جَمِيلا
”Dan jauhilah mereka dengan cara yang baik”  [QS. Al-Muzammil : 10].
وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
”Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang lalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).”  [QS. Al-An’am : 68].
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا
”Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahanam”  [QS. An-Nisaa’ : 140].
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam bersabda :
وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
”Dan orang yang berhijrah itu (al-muhaajir) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang Allah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 10 & 6484].
b)     Hajr dengan pemberian sanksi hukuman. Perkara ini termasuk salah satu bentuk sanksi hukum syar’i yang dilakukan oleh seorang muslim terhadap ahli maksiat seperti ahlul-bida’, dengan maksud pembinaan yang sesuai dengan kriteria-kriteria syar’i untuk melakukan hajr sehingga ia bertaubat dan kembali ke jalan yang benar.
Bagian inilah yang mendapat porsi besar dalam pembahasan ulama. Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah mempunyai bahasan yang menarik terkait dengan hajr terhadap orang kafir, ahlul-bida’, dan orang fasiq. Beliau berkata :
(قال الطبري: قصة كعب بن مالك أصل في هجران أهل المعاصي، وقد استشكل كون هجران الفاسق أو المبتدع مشروعًا ولا يشرع هجران الكافر، وهو أشد جرمًا منهما لكونهم من أهل التوحيد في الجملة. وأجاب ابن بطال: بأن لله أحكامًا فيها مصالح للعباد وهو أعلم بشأنها وعليهم التسليم لأمره فيها، فجنح إلى أنه تعبد لا يعقل معناه. وأجاب غيره: بأن الهجران على مرتبتين: الهجران بالقلب، والهجران باللسان، فهجران الكافر بالقلب وبترك التودد والتعاون والتناصر لاسيما إذا كان حربيًا، وإنما لم يشرع هجرانه بالكلام لعدم ارتداعه بذلك عن كفره، بخلاف العاصي المسلم فإنه ينزجر بذلك غالبًا، ويشترك كل من الكافر والعاصي في مشروعية مكالمته بالدعاء إلى الطاعة والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر، وإنما المشروع ترك المكالمة بالموادة ونحوها)
”Telah berkata Ath-Thabariy : ’Kisah Ka’ab bin Malik radliyallaahu ’anhu merupakan acuan utama di dalam hajr (pengucilan) pelaku maksiat. Ada sedikit permasalahan yang menyangkut hajr syar’iy terhadap orang fasiq dan mubtadi’/pelaku bid’ah. Hal itu disebabkan karena hajr tidaklah diterapkan pada orang kafir, padahal ia lebih rusak daripada keduanya (orang fasiq dan mubtadi’) yang mana keduanya masih dalam katagori ahli tauhid secara umum’.
Maka hal itu dijawab oleh Ibnu Baththal : ’Sesungguhnya Allah memiliki hukum-hukum yang mengandung beberapa maslahat bagi hamba-hamba-Nya dan Dia Maha Mengetahui tentang hukum-hukum-Nya. Oleh karena itu, wajib atas hamba-hamba-Nya untuk tunduk di hadapan perintah-Nya, sehingga Dia banyak mensyari’atkan banyak ibadah yang tidak dapat dipahami oleh akal (maksud Ibnu Baththal adalah kita wajib taslim tentang pensyariatan hajr terhadap orang fasiq dan mubtadi’ tanpa termasuk orang kafir, karena segala hikmah pensyariatan hanya Allah lah yang tahu. Allah tidak mungkin dhalim terhadap hamba-Nya – Abul-Jauzaa’) ’.
Ulama lain menjawab : ’Bahwa hajr itu sendiri mempunyai dua derajat : Hajr dengan hati dan Hajr dengan lisan. Hajr terhadap orang kafir adalah dengan hati dengan cara tidak berkasih sayang kepada mereka, tidak saling tolong-menolong dan bekerja sama dengan mereka. Terlebih lagi bila orang-orang kafir tersebut adalah kafir harbi. Tidak disyariatkan meng-hajr mereka dengan perkataan lantaran hal itu tidak bisa melepaskannya dari kekafirannya. Berbeda halnya dengan ahli maksiat muslim yang tidak disyari’atkan berbicara kepadanya (ketika meng-hajr-nya), kecuali dengan cara mendoakannya supaya kembali kepada ketaatan, menyuruhnya berbuat ma’ruf dan melarangnya berbuat munkar. Dan disyari’atkan untuk tidak berbicara kepadanya dengan rasa kasih sayang dan yang sejenisnya” [selesai perkataan Ibnu Hajar – lihat Fathul-Bari  10/497].
2.     Hajr untuk memperbaiki perkara duniawi, yaitu hajr yang berkaitan hak seseorang. Di sinilah hajr tidak boleh dilakukan melebihi tiga hari sebagaimana terdapat dalam hadits yang dibawakan oleh Anas bin Malik radliyallaahu ’anhu secara marfuu’:
لَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا، وَلَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
”Janganlah kalian saling membenci, jangan saling hasad, dan jangan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Dan tidaklah halal bagi seorang muslim untuk menjauhi saudaranya lebih dari tiga hari” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6065 & 6076 dan Muslim no. 2558].
Larangan meng-hajr seseorang lebih dari tiga hari yang disebabkan karena sikap peremehan hak-hak pergaulan dan pershahabatan. Bukan dalam urusan agama, karena meng-hajr para pengikut hawa nafsu dan ahlul-bida’ berlangsung terus-menerus hingga ia bertaubat atau ada kemaslahatan lain yang lebih besar.
Di sini kemudian timbul cabang pembahasan hajr suami kepada istrinya. Hajr dalam pengertian ini secara isthilahy adalah : Seorang suami tidak menggauli istrinya, tidak mengajaknya berbicara, tidak mengadakan hubungan atau kerjasama apapun dengannya [lihat Al-Ifshah li Ibni Hubairah  2/143]. Allah berfirman :
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
”Dan pisahkan mereka di tempat tidur”  [QS. An-Nisaa’ : 34].
Bentuk-bentuk hajr terkait hubungan suami istri :
a)     Hajr dengan ucapan.
Hajr jenis ini adalah bahwa suami tidak memperdulikan segala bentuk ucapan istri kepadanya. Para ulama sepakat bahwa hajr diperbolehkan selama kurang dari 3 hari. Namun mereka berbeda pendapat waktu hajr jika melebihi 3 hari. Akan diberikan keterangannya di bawah.
b)     Hajr dengan perbuatan.
Hajr dengan perbuatan adalah dengan tidak tidak menggaulinya, tidak tidur dengannya, dan seterusnya.
Masa hajr terkait hubungan suami istri :
a)     Hajr dengan ucapan
Hajr dengan ucapan tidak boleh dilakukan lebih dari tiga hari menurut jumhur ulama berdasarkan hadits yang telah disebutkan. Sebagian ulama Syafi’iyyah mengatakan bahwa boleh hajr lebih dari tiga hari selama tujuannya adalah memberi hukuman dan sang istri tetap bertahan dengan nusyuz-nya. Mereka berdalil dengan tindakan Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam yang mendiamkan tiga orang shahabat yang tidak mengikuti perang Tabuk lebih dari 3 hari.
b)     Hajr dengan perbuatan
Hajr dengan memisahkan tempat tidur, baik dengan menahannya (menjauhinya) atau menolaknya baik siang ataupun malam adalah tidak ditentukan masanya. Maksudnya, seorang suami boleh menghukum istri dengan cara meng-hajr selama waktu yang diinginkan sampai istrinya sadar. Ini merupakan pendapat jumhur ulama termasuk madzhab Hanafiyyah, Syafi’yyah, dan Hanabilah. Mereka berdalil bahwa ayat yang menyebutkan masalah hajr adalah bersifat mutlak dan tidak terbatas dengan waktu. Pada dasarnya, sesuatu yang mutlak tetap bersifat mutlak hingga ada dalil lain yang membatasinya.
Sebagian ulama lain membatasi masa hajr maksimal selama empat bulan dengan mengqiyaskan pada masalah Ila’. Akan tetapi qiyas ini tidak diterima karena hajr yang diterapkan karena nusyuz ini adalah karena pembangkangan istri kepada suami, sedangkan Ila’  bisa terjadi bukan karena pembangkangan istri. Buktinya, Ila’ hanya dibenarkan tidak lebih dari empat bulan, karena selebihnya merupakan kedhaliman terhadap istri. Selain itu, Ila’ berlaku karena adanya sumpah, sedangkan hajr tidaklah seperti itu.
[bisa melihat referensi pembahasan ini dalam Fiqhus-Sunnah lin-Nisaa’  oleh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Jami’ li-Ahkaamin-Nisaa’  oleh Musthafa Al-’Adawy, dan An-Nusyuz  oleh Shalih bin Ghanim As-Sadlan].
3.    Hajr dalam pandangan hukum ta’zir bagi para pelanggar hukum syar’i. Dalam pembahasan fuqahaa, maka ia dibahas dalam Bab : At-Ta’ziir – sebagaimana banyak terdapat dalam buku-buku fiqh.
Bersambung, insya Allah.
[Perum Ciomas Indah Bukit Asri, Sabtu, 11-04-2015 – Abul-Jauzaa’ - Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad, syarh dan tahqiiq Al-Waliid bin Muhammad Nabiih, hal. 33-37, Maktabah Ibni Taimiyyah, Cet. 1/1416, Kairo, dengan beberapa referensi lain sebagai tambahan penjelasan].

Silakan baca pembahasan sebelumnya :
Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (5) – Larangan Bermajelis dengan Ahlul-Ahwaa’

Comments