c.
Macam-Macam Bid’ah
Bid’ah bermacam-macam ditinjau dari beberapa sisi.
Bid’ah ditinjau dari tempat terjadinya terdiri dari:
1.
Bid’ah keyakinan (i’tiqadiyyah).
Yaitu bid’ah yang terjadi pada keyakinan
seseorang. Maksudnya, jika orang tersebut meyakini sesuatu yang menyelisihi
ajaran yang dibawa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, seperti
bid’ahnya Khawaarij dalam keyakinan mereka yang mengkafirkan para pelaku dosa
besar dari kaum muslimin, bid’ahnya Murji’ah dalam keyakinan mereka yang
menyamakan kualitas keimanan antara pelaku maksiat dengan orang yang shalih
bahkan dengan para nabi dan malaikat, bid’ahnya sebagian orang Shufi ekstrim
dalam keyakinan mereka bahwa kedudukan wali lebih tinggi dari para Nabi,
dan yang lainnya.
2.
Bid’ah perkataan (qauliyyah).
Yaitu bid’ah yang terjadi pada perkataan
seseorang, seperti bid’ahnya orang awam dalam membiasakan shalawat Naariyyah
atau bid’ahnya orang Mu’tazilah Jahmiyyah yang mengatakan Al-Qur’an adalah
makhluk. Mari kita perhatikan dialog antara Al-Imaam Ahmad bin Hanbal dengan
Ibnu Abi Du’ad berikut:
قال له: كلمه، فقال: يا شيخ، ما تقول في القرآن ؟
قال: لم ينصفني، ولي السؤال.
قال: سل، قال: ما تقول في القرآن ؟ قال: مخلوق.
قال الشيخ: هذا شئ علمه النبي، صلى الله عليه وسلم، وأبو بكر، وعمر، والخلفاء الراشدون، أم شئ لم يعلموه ؟ قال: شئ لم يعلموه.
فقال: سبحان الله ! شئ لم يعلمه النبي، صلى الله عليه وسلم، علمته أنت ؟ فخجل.
فقال: أقلني، قال: المسألة بحالها.
قال: نعم علموه، فقال: علموه، ولم يدعوا الناس إليه، قال: نعم.
قال: أفلا وسعك ما وسعهم ؟
قال: سل، قال: ما تقول في القرآن ؟ قال: مخلوق.
قال الشيخ: هذا شئ علمه النبي، صلى الله عليه وسلم، وأبو بكر، وعمر، والخلفاء الراشدون، أم شئ لم يعلموه ؟ قال: شئ لم يعلموه.
فقال: سبحان الله ! شئ لم يعلمه النبي، صلى الله عليه وسلم، علمته أنت ؟ فخجل.
فقال: أقلني، قال: المسألة بحالها.
قال: نعم علموه، فقال: علموه، ولم يدعوا الناس إليه، قال: نعم.
قال: أفلا وسعك ما وسعهم ؟
Al-Waatsiq berkata kepada Ibnu Abi Du’ad :
“Berbicaralah dengannya”. Maka Ibnu Abi Du’ad berkata : “Wahai syaikh, apa komentarmu
tentang Al-Qur’an ?”. Ahmad berkata : “Ia tidak adil kepadaku. Aku mempunyai
pertanyaan”. Al-Waatsiq berkata : “Bertanyalah!”. Ahmad berkata : “Apa yang
komentarmu tentang Al-Qur’an ?”. Ibnu Abi Du’ad menjawab : “Makhluk”. Ahmad
berkata : “Ini sesuatu yang diketahui Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
Abu Bakr, ‘Umar, dan Al-Khulafaaur-Raasyidiin ataukah sesuatu yang tidak
diketahui oleh mereka ?”. Ibnu Abi Du’ad berkata : “Sesuatu yang tidak
diketahui oleh mereka”. Ahmad berkata : “Subhaanallah, sesuatu yang
tidak diketahui Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, namun justru engkau
yang mengetahuinya ?”. Lalu muka Ibnu Abi Du’ad memerah karena malu, lalu
berkata : “Batalkanlah (jawabanku yang tadi)”. Ahmad berkata :
“Permasalahan/pertanyaannya masih sama”. Ibnu Abi Du’ad berkata : : “Ya, mereka
mengetahuinya”. Ahmad berkata : “Mereka mengetahuinya, namun tidak mengajak
manusia terhadapnya?”. Ibnu Abi Du’ad berkata : “Ya, benar”. Ahmad berkata :
“Tidakkah mencukupimu apa yang telah mencukupi mereka ?....”. [Siyaru
A’laamin-Nubalaa’, 11/313].
Perkataan Al-Qur’an adalah makhluk tidak pernah
diucapkan bahkan tidak pernah diketahui di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam.
3.
Bid’ah perbuatan (‘amaliyyah).
Yaitu bid’ah yang terjadi pada amal perbuatan
anggota badan seseorang, seperti bid’ah perayaan Israa’ Mi’raaj dan Maulid
Nabiy shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Bid’ah ditinjau dari jenisnya, terdiri dari:
1.
Bid’ah haqiiqiyyah.
Yaitu bid’ah yang tidak ada dalilnya sama sekali
dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’; benar-benar baru yang tidak ada
asalnya dari Islam. Seperti misal mengkebiri diri dalam rangka ketaatan kepada
Allah sebagaimana riwayat:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ،
قَالَ: " كُنَّا نَغْزُو مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَلَيْسَ مَعَنَا نِسَاءٌ، فَقُلْنَا: أَلَا نَخْتَصِي، فَنَهَانَا عَنْ ذَلِكَ،
فَرَخَّصَ لَنَا بَعْدَ ذَلِكَ أَنْ نَتَزَوَّجَ الْمَرْأَةَ بِالثَّوْبِ، ثُمَّ
قَرَأَ يَأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ
اللَّهُ لَكُمْ "
Dari ‘Abdullah (bin Mas’uud) radliyallaahu
‘anhu, ia berkata : “Kami pernah berperang bersama Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam tanpa disertai wanita (istri). Lalu kami katakan :
“Tidakkah kita dikebiri saja ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang
kami hal tersebut, dan setelah itu memberikan keringanan bagi kami untuk
menikahi wanita (untuk waktu tertentu) dengan mahar pakaian. Kemudian beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam membaca ayat : “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu”
(QS. Al-Maaidah : 87) [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4615].
Juga mogok bicara sebagaimana riwayat:
عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ، قَالَ: دَخَلَ
أَبُو بَكْرٍ عَلَى امْرَأَةٍ مِنْ أَحْمَسَ، يُقَالُ لَهَا زَيْنَبُ فَرَآهَا لَا
تَكَلَّمُ، فَقَالَ: مَا لَهَا لَا تَكَلَّمُ، قَالُوا: حَجَّتْ مُصْمِتَةً، قَالَ
لَهَا تَكَلَّمِي فَإِنَّ هَذَا لَا يَحِلُّ، هَذَا مِنْ عَمَلِ الْجَاهِلِيَّةِ،
فَتَكَلَّمَتْ فَقَالَتْ: مَنْ أَنْتَ؟ قَالَ: امْرُؤٌ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ
Dari Qais bin Abi Haazim, ia berkata : Abu Bakr
pernah masuk menemui seorang wanita dari Ahmas yang bernama Zainab. Ia (Abu
Bakr) melihat wanita itu tidak berbicara, lalu berkata : “Kenapa ia tidak
berbicara ?”. Orang-orang berkata : “Wanita itu sedang berhajat untuk
diam/mogok bicara”. Abu Bakr berkata kepadanya : “Berbicaralah, perbuatan ini
tidak dihalalkan. Ini termasuk perbuatan Jaahiliyyah”. Lalu wanita itu
berbicara dan berkata : “Siapakah engkau?”. Abu Bakr menjawab : “Seorang dari
kalangan Muhaajiriin” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3834].
Juga bid’ahnya orang Shuufiy ekstrim yang
mengatakan diangkatnya kewajiban menjalankan syari’at apabila telah mencapai
tingkatan tertentu. Ini sangat jelas kebatilannya, karena Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
قَدْ عَلِمْتُمْ أَنِّي أَتْقَاكُمْ لِلَّهِ،
وَأَصْدَقُكُمْ وَأَبَرُّكُمْ، وَلَوْلَا هَدْيِي لَحَلَلْتُ كَمَا تَحِلُّونَ،
فَحِلُّوا، فَلَوِ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ مَا أَهْدَيْتُ،
فَحَلَلْنَا وَسَمِعْنَا وَأَطَعْنَا "
“Sungguh kalian telah mengetahui bahwasanya aku
adalah orang yang paling takwa kepada Allah di antara kamu, paling jujur dan
paling berbakti. Seandainya bukan karena binatang hadyu, niscaya aku akan
bertahallul sebagaimana kalian bertahallul. Maka bertahallul-lah kalian. Seandainya
dahulu aku mengetahui (berupa kesulitan) dalam urusan ini apa-apa yang
kuketahui sekarang ini, niscaya aku tidak akan membawa binatang hadyu”. (Jaabir
bin ‘Abdillah berkata : ) Maka kami pun
bertahallul, mendengar, dan mentaati (apa yang beliau perintahkan)”
[Diriwayatkan Al-Bukhaariy no. 7367 dan Muslim no. 1216].
Maksudnya, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai
manusia yang paling bertaqwa, paling jujur, dan paling baik/berbakti tetap
melakukan kewajiban (yaitu haji) dan memerintahkan para shahabat – sebagai
bagian umat terbaik dalam Islam – untuk melakukannya juga, dan kemudian mereka
mematuhinya. Jika demikian, tidak ada ruang bagi orang-orang yang kedudukannya
lebih rendah dari mereka untuk beralasan tidak melakukan apa yang diperintahkan
dan meninggalkan apa yang dilarang syari’at.
Dan contoh yang lainnya.
2.
Bid’ah idlaafiyyah.
Yaitu bid’ah yang di sisi sisi disyari’atkan
karena ada dalilnya, namun di sisi lain tidak disyari’atkan karena tidak ada
dalilnya. Contohnya adalah bersin dengan mengucapkan shalawat sebagaimana ada
dalam riwayat berikut:
عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ رَجُلًا عَطَسَ إِلَى جَنْبِ
ابْنِ عُمَرَ، فَقَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ،
قَالَ ابْنُ عُمَرَ: وَأَنَا أَقُولُ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالسَّلَامُ عَلَى
رَسُولِ اللَّهِ، وَلَيْسَ هَكَذَا عَلَّمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَنَا، أَنْ نَقُولَ: " الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى
كُلِّ حَالٍ"
Dari Naafi’ : Bahwasannya ada seseorang bersin di
samping Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, lalu dia berkata : “Alhamdulillah
was-salaamu ‘alaa Rasulihi (segala puji bagi Allah dan kesejahteraan bagi
Rasul-Nya)”. Maka Ibnu ‘Umar berkata : “Dan saya mengatakan, alhamdulillah
was-salaamu ‘alaa Rasuulillah. Akan tetapi tidak demikian Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami. Akan tetapi beliau mengajari
kami untuk mengatakan : “Alhamdulillah ‘alaa kulli haal” [Diriwayatkan
oleh At-Tirmidzi no. 2738; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan
At-Tirmidziy 3/93-94].
Di satu sisi bacaan shalawat adalah disyari’atkan,
namun di sisi lain ketika bacaan tersebut diucapkan ketika bersin, maka itu
adalah bid’ah yang dilarang karena tidak ada dalilnya.
Riwayat di atas juga menjadi (salah satu) dalil
bid’ahnya bacaan-bacaan shalawat yang dilakukan oleh sebagian masyarakat yang
dilakukan tidak sesuai dengan tata cara yang diajarkan oleh Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, seperti shalawatan secara berjama’ah pada hari-hari atau
malam-malam tertentu.
Dan yang lainnya.
Bid’ah ditinjau dari
konsekuensi kekafiran pelakunya terdiri dari:
1.
Bid’ah mukaffirah
(yang menyebabkan kekafiran pelakunya).
2.
Bid’ah ghairi
mukaffirah (yang tidak menyebabkan kekafiran pelakunya).
Asy-Syaikh Haafidh
Al-Hakamiy rahimahullah menjelaskan tentang kedua bid’ah ini:
ثم البدع بحسب إخلالها
بالدين قسمان:
1 - مكفرة لمنتحلها
2 - وغير مكفرة
فضابط البدعة المكفرة :
من أنكر أمرا مجمعا عليه ، متواترا من الشرع ، معلوما من الدين بالضرورة ، من جحود
مفروض ، أو فرض مالم بفرض ، أو إحلال محرم ، أو تحريم حلال ،أو اعتقاد ماينزه الله
ورسوله وكاتبه عنه.....
والبدعة غير المكفرة: هي مالم يلزم منه تكذيب بالكتاب ، ولابشىء مما أرسل
به، ثم مثل لذلك فقال: مثل بدع المروانية، أي – بدع حكام الدولة من بني مروان التي
أنكرها عليهم فضلاء الصحابة ، ولم يقروهم عليها- ومع ذلك لم يكفروهم بشىء منها،
ولم ينزعوا يدا من بيعتهم لأجلها، كتأخير بعض الصوات عن وقتها ، وتقديمهم الخطبة
قبل صلاة العيد.....
“Kemudian bid’ah sesuai dengan pengrusakannya terhadap
agama dibagi menjadi dua :
1.
Mengkafirkan pelakunya.
2.
Tidak mengkafirkan
pelakunya.
Batasan bid’ah yang
mengkafirkan pelakunya adalah bila seseorang mengingkari perkara-perkara yang
telah disepakati, mutawatir dalam syari’at, diketahui secara pasti termasuk
bagian dari agama, mengingkari kewajiban atau mewajibabkan perkara yang tidak
wajib, menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal, atau meyakini
sesuatu yang telah dibersihkan oleh Allah dan Rasul-Nya serta kitab-Nya.
Sedangkan bid’ah yang
tidak mengkafirkan pelakunya adalah bid’ah yang tidak menjadikan seseorang
mendustakan Kitab atau sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Seperti bid’ah Marwaniyyah, yaitu bid’ah-bid’ah yang
diada-adakan oleh pemerintah Bani Marwan yang diingkari oleh tokoh-tokoh shahabat.
Meskipun demikian, para shahabat tidak mengkafirkan mereka dengan sebab bid’ah
tersebut, dan juga tidak mencabut bai’at dari mereka akibat bid’ah tadi.
Misalnya : bid’ah mengakhirkan waktu shalat dan mendahulukan khutbah sebelum
shalat ‘Ied” [Ma’aarijul-Qabuul,
2/503-504 melalui perantaraan Al-Bid’ah oleh ‘Aliy bin Naashir
Al-Faqiihiy hal. 25].
d.
Syarat Mutaaba’ah.
Ibadah seseorang dikatagorikan sebagai amal
shaalih yang diterima apabila memenuhi syarat ikhlash dan mutaba’ah
(mengikuti sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam).
Allah ta’ala berfirman:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ
وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia
menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” [QS. Al-Mulk :
2].
Al-Fudlail bin ‘Iyaadl rahimahullah menjelaskan maksud ahsanu 'amalan dalam ayat di atas:
أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ، فَإِنَّهُ
إِذَا كَانَ خَالِصًا ولَمْ يَكُنْ صَوَابًا لَمْ يُقْبَلْ، وَإِذَا كَانَ
صَوَابًا وَلَمْ يَكُنْ خَالِصًا لَمْ يُقْبَلْ حَتَّى يَكُونَ خَالِصًا،
وَالْخَالِصُ إِذَا كَانَ لِلَّهِ، وَالصَّوَابُ إِذَا كَانَ عَلَى السُّنَّةِ
"(Yaitu) yang paling ikhlash dan
paling benar. Apabila ia ikhlash namun tidak benar, amalannya tidak diterima.
Apabila ia benar namun tidak ikhlash, amalannya pun tidak diterima hingga ia
ikhlash. Orang yang ikhlash apabila amalannya tersebut semata-mata hanya untuk
Allah, dan benar apabila ia dilakukan sesuai sunnah” [Diriwayatkan oleh Abu
Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’, 8/95].
Suatu amalan apabila dilakukan tidak sesuai dengan
sunnah, maka dapat masuk dalam katagori bid’ah. Oleh karena itu, mutaba’ah tidak
akan tercapai kecuali jika sesuai dengan syari’at dalam enam perkara:
1.
Sebab.
Apabila seseorang beribadah kepada Allah dengan
sebab yang tidak sesuai dengan syari’at, maka statusnya bid’ah dan tertolak.
Contohnya seseorang yang menghidupkan malam keduapuluh tujuh bulan Rajab dengan
shalat tahajjud dengan alasan bahwa malam tersebut adalah malam dimi’rajkannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Shalat tahajjud adalah
ibadah, namun mengkaitkanya dengan sebab tersebut menjadikannya amalan bid’ah.
Hal itu dikarenakan ibadah tersebut dilakukan dengan sebab yang tidak
ditetapkan oleh syari’at. Begitu juga dengan seseorang yang berpuasa (sunnah)
karena anaknya mau ujian. Puasanya sendiri adalah ibadah yang diajurkan, namun
sebab yang mendorong dilakukannya ibadah tersebut tidak dibenarkan syari’at.
Dan contoh yang lainnya.
2.
Jenis.
Ibadah harus dilakukan sesuai dengan syari’at
dalam perkara jenisnya (apabila ibadah tersebut telah menetapkan jenis
tertentu). Seandainya seseorang beribadah kepada Allah dengan suatu ibadah yang
tidak disyari’atkan dalam perkara jenisnya, maka tidak diterima dan jadilah ia
amalan bid’ah. Contohnya, seseorang berkurban dengan seekor kuda. Kurbannya
tersebut tidak sah, karena ia bukan termasuk bahiimatul-an’aam (binatang
ternak), meskipun barangkali harga kuda lebih mahal. Allah ta’ala berfirman:
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ
اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat
bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah
ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang
ternak (bahiimatul-an’aam). Maka makanlah sebahagian daripadanya dan
(sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir”
[QS. Al-Hajj : 28].
Jenis hewan ternak yang sah dipergunakan untuk
kurban adalah onta, sapi, dan kambing. Begitu juga diperbolehkan berkurban
kerbau karena ia diqiyaskan dengan sapi.
3.
Kadar.
Seandainya seseorang hendak menambahkan shalat fardlu
harian selain dari shalat yang lima, maka kita katakan : ‘Amalan ini bid’ah
yang tidak diterima, karena menyelisihi syari’at dalam hal kadarnya'. Begitu
juga jika seseorang yang ingin menambah atau mengurangi jumlah raka’at shalat dari
yang telah ditentukan oleh syari’at, maka inipun bid’ah.
4.
Kaifiyyah (cara).
Seandainya seseorang melakukan ibadah dengan kaifiyyah
yang tidak ditetapkan oleh syari’at atau menyelisihi syari’at, maka amalan
tersebut bid’ah lagi tertolak. Misalnya seseorang melakukan dzikir berjama’ah
dengan dikomandoi satu suara. Amalan ini bid’ah karena berdzikirnya Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya tidak pernah dilakukan dengan kaifiyyah
tersebut. Hal ini telah diingkari oleh ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu
saat ia dilapori dan melihat aktivitas dzikir berjama’ah model seperti ini,
dengan perkataannya:
فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ، فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لَا
يَضِيْعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَيْءٌ وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ، مَا أَسْرَعَ
هَلَكَتكُمْ ! هَؤُلَاءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَافِرُوْنَ،
وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ، وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ،
إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلَالَةٍ. قَالُوا : وَاللهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ،
مَا أَرَدْنَا إِلَّا الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ تُصِيْبَهُ،
إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا أَنَّ قَوْمًا يَقْرَؤُونَ
الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ، وَايْمُ اللهِ مَا أَدْرِيْ لَعَلَّ أَكْتَرَهُمْ
مِنْكُمْ، ثُمَّ تَوَلَّى عَنْهُمْ. فَقَالَ عَمْرُو بْنُ سَلَمَةَ : رَأَيْنَا عَامَّةَ
أُولَئِكَ الْحِلَقِ يُطَاعِنُونَا يَوْمَ النَّهْرَوَانِ مَعَ الْخَوَارِجِ.
“Hitunglah kesalahan-kesalahan kalian, aku jamin
kebaikan-kebaikan kalian tidak akan disia-siakan sedikitpun. Celaka kalian
wahai umat Muhammad ! Betapa cepat kebinasaan/penyimpangan yang kalian lakukan.
Para shahabat Nabi kalian masih banyak yang hidup. Sementara baju beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga belum lagi usang, bejana beliau
belum juga retak. Demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya ! Apakah kalian
merasa berada di atas agama yang lebih benar daripada agama Muhammad shallallaahu
‘alaihi wa sallam, ataukah kalian akan menjadi pembuka pintu kesesatan ?”.
Mereka (pelaku dzikir berjama’ah) menjawab : “Wahai Abu ‘Abdirrahman, kami
tidaklah menghendaki kecuali kebaikan”. Ibnu Mas’ud menjawab : “Betapa banyak
orang yang menghendaki kebaikan namun ia tidak mendapatkannya. Sesungguhnya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada kami : ‘Akan
ada segolongan orang yang membaca Al-Qur’an, namun apa yang dibacanya itu tidak
melewati kerongkongannya’. Demi Allah, aku tidak tahu, boleh jadi
kebanyakan dari mereka adalah sebagian di antara kalian”. ‘Amr bin Salamah
berkata : “Kami melihat mayoritas diantara orang-orang yang ikut dalam halaqah
itu adalah orang yang menyerang kami dalam Perang Nahrawaan yang bergabung
bersama orang-orang Khawarij” [HR. Ad-Daarimi no. 210 dengan sanad jayyid; akan
tetapi menjadi shahih dengan keseluruhan jalannya].
Dan contoh yang lainnya.
5.
Waktu.
Seandainya seseorang melakukan ibadah pada
waktu yang tidak didasarkan pada ketentuan syari’at, maka amalannya termasuk
bid’ah dan tertolak. Contohnya,
seseorang menyembelih binatang kurban pada awal bulan Dzulhijjah, membayar
zakat fithri setelah shalat ‘Ied, membaca Yaasiin berjama’ah pada hari ketujuh
atau empat puluh setelah kematian seseorang, dan yang lainnya.
6.
Tempat.
Seandainya seseorang
melakukan ibadah di tempat yang menyelisihi syari’at seperti beri’tikaf selain
di masjid, maka ibadahnya tersebut tidak sah dan tertolak.
Contoh lain adalah memulai
ihram selain dari tempat miiqaat yang telah ditentukan syari’at,
sebagaimana tergambar dalam riwayat Al-Imaam
Maalik bin Anas rahimahumallah:
وحكى ابن العربي عن الزبير بن بكار ، قال : "
سمعت مالك بن أنس ، وأتاه رجل ، فقال : يا أبا عبد الله ! من أين أحرم ؟ قال : من ذي
الحليفة ، من حيث أحرم رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فقال : إني أريد أن أحرم من
المسجد . فقال : لا تفعل ، قال : فإني أريد أن أحرم من المسجد من عند القبر ، قال
: لا تفعل; فإني أخشى عليك الفتنة ، فقال : وأي فتنة هذه ؟ ! إنما هي أميال أزيدها
، قال : وأي فتنة أعظم من أن ترى أنك سبقت إلى فضيلة قصر عنها رسول الله صلى الله عليه
وسلم ؟ ! إني سمعت الله يقول : (فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ
أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ).
Dihikayatkan oleh Ibnul-‘Arabiy dari Az-Zubair bin
Bakkaar, ia berkata : Aku mendengar Maalik bin Anas yang ketika itu ada seorang
laki-laki mendatangnya seraya berkata : “Wahai Abu ‘Abdillah, dari mana seharusnya aku
memulai ihram ?”. Maalik menjawab : “Dari Dzul-Hulaifah, yaitu tempat Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam memulai ihram”. Ia berkata : “Sesungguhnya
aku ingin berihram dari Masjid (Nabawiy)”. Maalik berkata : “Jangan engkau
lakukan”. Ia berkata : “Sesungguhnya aku ingin berihram dari masjid di samping
kubur”. Maalik berkata : “Jangan engkau lakukan, karena aku khawatir engkau
akan tertimpa fitnah”. Ia berkata : “Fitnah apa dalam masalah ini ? Aku hanya hanyalah
menambah beberapa mil saja (dari miiqaat Nabi)”. Maalik berkata : “Fitnah
manakah yang lebih besar daripada engkau memandang dirimu telah mendahului
dalam hal keutamaan yang tidak dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam ?. Sesungguhnya aku mendengar Allah berfirman : ‘Maka hendaklah
orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau
ditimpa azab yang pedih’ (QS. An-Nuur : 63)” [Dibawakan oleh Asy-Syaathibiy
dalam Al-I’tishaam].
Dan yang lainnya.
Wallaahu a’lam.
Bersambung, insya Allah…
[Perum Ciomas Indah Bukit Asri, Sabtu,
28-03-2015 – Abul-Jauzaa’ - Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad, syarh dan
tahqiiq Al-Waliid bin Muhammad Nabiih, hal. 28-30, Maktabah Ibni Taimiyyah,
Cet. 1/1416, Kairo, dengan tambahan beberapa referensi lain sebagai penjelasan
diantaranya Al-Ibdaa’ fii Bayaani Kamaalisy-Syar’i wa Khatharil-Ibtidaa’ oleh
Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin Cet. Thn. 1410 dan Al-Bid’ah,
Dlawaabithuhaa wa Atsaruhaa As-Sayyi-u fil-Ummah oleh ‘Aliy bin Naashir
Al-Faqiihiy, Daarul-Minhaaj, Cet. 1/1423].
Silakan
baca pembahasan sebelumnya :
Ushuulus-Sunnah lil-Imaam
Ahmad bin Hanbal (3) - Bid'ah
Comments
Ust, kalau boleh ditampilkan matan ushulus sunnahnya, kemudian syarah dibagian bawahnya.
Soalnya ana agak kebingungan mana bagian yang merupakan "perkataan imam ahmad" dalam ushulus sunnah, dan bagian mana yang merupakan "syarah" dari perkataan beliau tersebut.
Jazakallahu khairan
Matannya yang berwarna merah. Bahasan ini masih bersambung dari materi sebelumnya : Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (3) - Bid'ah. Silakan baca pada halaman tersebut (bagian paling atas point 3 dan 4).
Posting Komentar