Tampilkan postingan dengan label Ilmu Hadits. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ilmu Hadits. Tampilkan semua postingan

Perawi yang Melakukan Penyeleksian Riwayat

1 komentar

Para perawi hadits banyak keadaannya. Ada tipikal perawi yang meriwayatkan hadits (mayoritasnya) dari kalangan dlu’afaa’ (para perawi lemah). Ada yang meriwayatkan baik dari dlu’afaa’ maupun tsiqaat. Ada pula yang melakukan penyeleksian dengan meriwayatkan hanya dari para perawi tsiqaat atau mayoritasnya dari para perawi tsiqaat atau ma'ruuf (bukan majhuul). Pada kesempatan kali ini akan coba dibahas tentang penyebutan untuk perawi jenis yang ketiga. Artikel ini masih ada kaitannya dengan artikel sebelumnya yang membahas tentang Perawi Majhuul.
Siapakah mereka ?. Berikut diantaranya:

Makna ‘Haddatsanaa, Akhbaranaa, dan Anba-anaa’

0 komentar

Tanya : Apa makna perkataan ‘haddatsanaa, akhbaranaa, dan anba-anaa’ dalam sebuah sanad hadits?
Jawab : Tiga kata yang saudara tanyakan termasuk diantara lafadh-lafadh penyampaian riwayat seorang perawi. Jawaban dari pertanyaan Saudara, akan saya ambilkan dari penjelasan Ibnu Naashiruddin rahimahullah dalam kitab ‘Uquudud-Durar fii ‘Uluumil-Atsar hal. 58-59 (Daar Ibni Hazm, Cet. 1/1426 H) berikut:

Keshahihan Sanad Riwayat ‘Amru bin Syu’aib dari Ayahnya dari Kakeknya

0 komentar

Para ulama berselisih pendapat tentang keshahihan rantai sanad ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya (عَنْ  عَمْرِو  بْنِ  شُعَيْبٍ ، عَنْ  أَبِيهِ ، عَنْ  جَدِّهِ). Yang raajih, jalur riwayat ini shahih (atau minimal hasan) dan sanadnya bersambung. Inilah madzhab jumhur ulama.
At-Tirmidziy rahimahullah berkata:
وَعَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ هُوَ: ابْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيل: رَأَيْتُ أَحْمَدَ، وَإِسْحَاق، وَذَكَرَ غَيْرَهُمَا يَحْتَجُّونَ بِحَدِيثِ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، قَالَ مُحَمَّدٌ: وَقَدْ سَمِعَ شُعَيْبُ بْنُ مُحَمَّدٍ مِنْ جَدِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍوَ، قَالَ أَبُو عِيسَى: وَمَنْ تَكَلَّمَ فِي حَدِيثِ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ إِنَّمَا ضَعَّفَهُ، لِأَنَّهُ يُحَدِّثُ عَنْ صَحِيفَةِ جَدِّهِ كَأَنَّهُمْ رَأَوْا أَنَّهُ لَمْ يَسْمَعْ هَذِهِ الْأَحَادِيثَ مِنْ جَدِّهِ، قَالَ عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ: وَذُكِرَ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّهُ قَالَ: حَدِيثُ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عِنْدَنَا وَاهٍ

Shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang Paling Akhir Meninggal Dunia

1 komentar

As-Suyuuthiy rahimahullah berkata:
[وآخرهم] أي الصَّحابة [موتًا] مُطلقا [أبو الطُّفيل] عامر بن واثلة الليثي [مات سَنَة مئة] من الهجرة. قاله مسلم في «صحيحه» ورواه الحاكم في «المستدرك» عن خليفة بن خيَّاط.
وقال خليفة في غير رواية الحاكم: إنَّه تأخَّر بعد المئة.
وقيلَ: مات سَنَة اثنتين ومئة. قاله مُصعب بن عبد الله الزُّبيري.
وجزم ابن حبَّان, وابن قانع, وأبو زكريا بن منده: أنَّه مات سَنَة سبع ومئة.
وقال وهب بن جرير بن حازم, عن أبيه: كنتُ بمكَّة سَنَة عشر ومئة, فرأيتُ جنازة, فسألتُ عنها, فقالوا: هذا أبو الطُّفيل.
وصحَّح الذَّهَبي أنَّه سَنَة عشر.
وأمَّا كونه آخر الصَّحابة موتًا مُطْلقًا, فجزم به مسلم, ومصعب الزُّبيري, وابن منده, والمِزِّي في آخرين.
وفي «صحيح» مُسلم عن أبي الطُّفيل: رأيت رَسُول الله - صلى الله عليه وسلم - وما على وجه الأرض رجُل رآهُ غيري.

Perawi yang Paling Shahih Riwayatnya dalam Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu

0 komentar

Sebagaimana telah kita ketahui bersama, Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu adalah salah satu shahabat yang paling banyak haditsnya. Oleh karena itu, ia mempunyai banyak murid dari kalangan taabi’iin yang mengambil ilmu darinya. Di antara banyak muridnya tersebut, ada beberapa orang yang masuk jajaran terdepan dalam pengambilan riwayat darinya sehingga para ulama mengedepankannya dari yang lain.[1]  Namun demikian, para ulama berbeda pendapat dalam hal tersebut berikut urutannya.

Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh wat-Ta’diil Menurut Ibnu Abi Haatim

0 komentar

Al-Mundziriy rahimahullah berkata :
أخبرنا الحافظ أبو محمد القاسم بن الحافظ أبي القاسم علي بن الحسن الدمشقي في كتابه إلي منها قال أخبرنا الحافظ أبو طاهر أحمد بن محمد بن أحمد في كتابه إلى من ثغر الأسكندرية قال أخبرنا أبو مكتوم عيسى بن الحافظ أبي ذر عبد بن أحمد الهروي إذنا قال أنبأنا أبي قال أنبأنا أبو علي حمد بن عبدالله الأصبهاني قال أنبأنا الإمام أبو محمد عبدالرحمن بن أبي حاتم محمد بن إدريس الحنظلي قال : وجدت الألفاظ في الجرح والتعديل على مراتب شتى
Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Haafidh Abu Muhammmad Al-Qaasim bin Al-Haafidh Abil-Qaasim ‘Aliy bin Al-Hasan Ad-Dimasyqiy dalam kitabnya yang ditulisnya kepadaku, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Haafidh Abu Thaahir Ahmad bin Muhammad bin Ahmad dalam kitabnya yang ditulisnya kepadaku dari pesisir negeri Iskandariyyah, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-Maktuum ‘Iisaa bin Al-Haafidh Abi Dzarr ‘Abd bin Ahmad Al-Harawiy dengan izinnya, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami ayahku, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami Abu ‘Aliy Hamd bin ‘Abdillah Al-Ashbahaaniy, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami Al-Imaam Abu Muhammad ‘Abdurrahmaan bin Abi Haatim Muhammad bin Idriis Al-handhaliy, ia berkata : “Aku dapati lafadh-lafadh al-jarh wat-ta’diil itu bermacam-macam tingkatan”.

Beberapa Perawi yang Meriwayatkan dari Ibnu Lahii’ah Sebelum Masa Ikhtilaathnya

1 komentar

Ia adalah : ‘Abdullah bin Lahii’ah bin ‘Uqbah Al-Hadlramiy, Abu ‘Abdirrahmaan/Nadlr Al-Mishriy (عبد الله بن لهيعة بن عقبة الحضرمي الأعدولي ، و يقال الغافقي ، أبو عبد الرحمن ، و يقال أبو النضر ، المصري الفقيه القاضي); seorang yang shaduuq, namun bercampur hapalannya setelah kitabnya terbakar. Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 174 H. Dipakai oleh Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan Ibnu Maajah. Begitulah yang dikatakan Ibnu Hajar dalam Taqriibut-Tahdziib, hal. 538 no. 3587.
Semula ia seorang yang shaduuq atau bahkan tsiqah. Namun saat rumahnya terbakar tahun 170 H, kitab-kitabnya ikut terbakar, sehingga hapalannya menjadi kacau[1]. Oleh karena itu, sebagaimana kaedah yang ditetapkan oleh ahli hadits, hadits yang diriwayatkan darinya sebelum kitabnya terbakar adalah shahih, sedangkan yang setelah kitabnya terbakar adalah dla’iif.

Mutaqaddimiin vs Muta’akhkhiriin

5 komentar



Pertanyaan dari Amerika, si Penanya berkata :
إذا كان الحديث قد ضعفه أهل العلم المتقدمين، وصححه بعض أهل العلم المتأخرين، فأي القول يؤخذ؟
“Apabila satu hadits telah didla’ifkan ulama mutaqaddimiin namun dishahihkan ulama muta’akhkhiriin, penilaian mana yang mesti diambil ?”.
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdillah Al-Imaam hafidhahullah menjawab :
إن كان الذي صححه من المتأخرين سائرًا على قواعد وضوابط المتقدمين؛ فلا مانع أن يؤخذ بتصحيح المتأخرين. وإن كان هذا المتأخر ليس على طريقة المتقدمين؛ فيبقى الحكم على الحديث على ما حكم به المتقدمون، والله المستعان

Penyimakan Hadits Asy-Sya’biy dari ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu

8 komentar


Telah berlalu dalam beberapa artikel di blog ini[1] adanya pernyataan bahwa hadits Asy-Sya’biy[2] rahimahullah dari ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu dihukumi terputus (munqathi’). Inilah madzhab yang dipegang oleh beberapa ulama ahli hadits dulu dan sekarang.
Para ulama sebenarnya berselisih pendapat dalam permasalahan ini. Berikut akan dijelaskan secara ringkas bagaimana uraian pendapat mereka sekaligus tarjih-nya :

Perawi Majhuul

19 komentar

Definisi perawi majhuul adalah :
هو من لم تُعْرَف عَيْنُهُ أو صفته
ومعني ذلك أي هو الراوي الذي لم تعرف ذاته أو شخصيته أو عرفت شخصيته ولكن لم يعرف عن صفته أي عدالته وضبطه شيء
“Orang yang tidak diketahui identitasnya (‘ainuhu) atau sifatnya. Maknanya, ia adalah perawi yang tidak diketahui dzatnya atau kepribadiannya; atau diketahui kepribadiannya akan tetapi tidak diketahui sifatnya sedikitpun dalam ‘adalah (keadilan)-nya dan kedlabithannya” [Taisiru Mushthalahil-Hadiits oleh Mahmuud Ath-Thahhaan, hal. 92].

Mursal Khafiy dan Muta’akhkhkriin

0 komentar


Sebagian kalangan ada yang menganggap istilah mursal khafiy dalam ilmu hadits hanyalah dimunculkan oleh kaum muta’akhkhiriin, khususnya Ibnu Hajar rahimahullah. Mereka menganggap kaum mutaqaddimiin mengistilahkan mursal khafiy tersebut dengan mudallas. Mursal khafiy adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari seorang syaikh yang semasa dengannya atau pernah bertemu dengannya, tetapi ia tidak pernah menerima satupun hadits darinya, dan ia meriwayatkan dengan lafadh yang menunjukkan kemungkinan ia mendengar dari syaikh itu [Taisiru Mushthalahil-Hadiits, hal. 66]. Memang benar bahwa sebagian ulama mutaqaddimiin mengistilahkan riwayat orang yang tidak pernah mendengar periwayatan dari syaikhnya (irsaal) dengan tadliis.[1] Akan tetapi menganggap ulama muta’khkhiriin yang membuat-buat istilah mursal terhadap riwayat perawi dari perawi lainnya yang semasa dengannya namun ia tidak pernah menerima riwayat darinya; tidak bisa dibenarkan, karena hal itu  telah ada semenjak era mutaqaddimiin.

Menolak Pengamalan Hadits Dla’iif adalah Bid’ah yang Diada-Adakan Al-Albaaniy ?

51 komentar

Asy-Syaikh Dr. ‘Aliy Jumu’ah[1] – semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita dan beliau – pernah mengatakan bahwa penolakan secara mutlak hadits dla’iif merupakan bid’ah yang diada-adakan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah, yang tidak pernah dilakukan oleh seorang imam dari kalangan imam kaum muslimin[2]. Tidak diragukan bahwa perkataan beliau ini mengandung kekeliruan yang amat fatal. Seandainya beliau mengatakan bahwa jumhur ulama menerima dan mengamalkan hadits dla’iif (dalam masalah fadlaailul-a’maal serta targhiib dan tarhiib) – tanpa mengisyaratkan adanya ijmaa’ - , tentu lebih selamat. Berikut akan dibawakan beberapa bukti ketidakvalidan tuduhan Asy-Syaikh ‘Aliy Jumu’ah tersebut.

Sifat Tadlis Al-Waliid bin Muslim

3 komentar

Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitab Taqriibut-Tahdziib (hal. 1041 no. 7506, tahqiq : Abu Asybaal Al-Baakistaaniy; Daarul-‘Aashimah) berkata :
الوليد بن مسلم القرشي مولاهم، أبو العبّاس الدمشقي، ثقة لكنه كثير التدليس والتسوية، من الثامنة، مات آخر سنة أربع [أو أول] سنة خمس وتسعين
“Al-Waliid bin Muslim Al-Qurasyiy maula mereka, Abul-‘Abbaas Ad-Dimasyqiy. Seorang yang tsiqah, akan tetapi banyak melakukan tadlis taswiyyah. Termasuk thabaqah ke-8, wafat pada akhir tahun 194 H atau awal tahun 195 H [selesai].

Perkataan Ibnu Ma’iin : Laisa bi-Syai’ (ليس بشيء)

4 komentar

Bagi yang sering mbuka buku tentang perawi, tentu akrab dengan jenis perkataan Ibnu Ma’iin rahimahullah : laisa bi-syai’ (tidak ada apa-apanya). Apa maknanya ?. Beberapa ulama telah menjelaskan bahwa perkataan Ibnu Ma’iin rahimahullah tersebut dapat mengkonsekuensikan salah satu di antara dua makna, yaitu : jarh dan bukan jarh.
1.     Jarh.
Makna inilah yang terbanyak. Dan kebanyakan, maknanya adalah jarh yang keras (syadiid). Di antara ulama mutaqaddimiin yang menafsirkan perkataan laisa bi-syai’ dari Ibnu Ma’iin sebagai jarh yang keras adalah Abu Haatim Ar-Raaziy rahimahullah. Yaitu, ketika ia membawakan perkataan Ibnu Ma’iin saat mengomentari Khaalid bin Ayyuub Al-Bashriy : laa syai’; maka Abu Haatim berkata : “Yaitu (maknanya), tidak tsiqah” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 3/321 no. 1429]. Ibnu Ma’iin dalam banyak riwayat justru sering menjelaskan apa yang ia maksud dengan perkataannya itu. Contoh :

Mengenal Sebagian Nama Kitab-Kitab Hadits

18 komentar


‘Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy, Muslim, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy’. Saya yakin banyak di antara rekan-rekan pernah membaca tulisan seperti ini. Apa artinya ?. Artinya adalah, hadits yang dimaksudkan telah diriwayatkan dan dibawakan oleh imam-imam tersebut dalam kitabnya, yaitu Shahih Al-Bukhaariy, Shahiih Muslim, Sunan At-Tirmidziy, dan Sunan An-Nasaa’iy. Sebenarnya, nama kitab-kitab tersebut tidak ‘betul-betul amat’ seperti itu, walau kalau ditulis demikian, juga bukan merupakan kekeliruan. Berikut keterangan singkat yang memberikan informasi tentang nama sebagian kitab hadits.

Mengenal Musnad Al-Imaam Ahmad

3 komentar


Saya yakin sebagian besar Pembaca pernah mendengar ‘Musnad Ahmad bin Hanbal’. Minimal, pernah membaca di beberapa artikel kalimat : ‘diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya...’. Melalui artikel ini saya mencoba membantu para Pembaca sekalian untuk mengenal lebih lanjut tentang kitab Al-Musnad ini. Dalam sajian ringkas tentu saja.
Nama Pengarang/Penulis
Ia adalah Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilaal bin Asad bin Idriis bin ‘Abdillah bin Hayyaan Adz-Dzuhliy Asy-Syaibaaniy Al-Marwaziy tsumma Al-Baghdaadiy; salah seorang imam yang disepakati keimamannya, syaikhul-Islaam, tsiqah, faqiih, haafidh, lagi hujjah.
Hajjaaj bin Asy-Syaa’ir berkata : “Kedua mataku tidak pernah melihat ruh yang ada pada di satu jasad yang lebih utama (afdlal) daripada Ahmad bin Hanbal”. Abu Bakr bin Abi Daawud berkata : “Tidak ada di jaman Ahmad bin Hanbal orang yang semisalnya”. Abu Zur’ah berkata : “Ahmad bin Hanbal hapal sejuta hadits”. Ibnu Maakuulaa berkata : “Ia adalah orang yang paling ‘aalim terhadap madzhab shahabat dan taabi’iin”.

KLASIFIKASI HADITS DALAM ILMU MUSTHALAH HADITS - RINGKASAN

2 komentar

Pentingnya Sanad dalam Riwayat

6 komentar

Telah berkata Al-Haafidh Al-‘Alaaiy rahimahullah dalam Jaami’ut-Tahshiil (hal. 58), dan dalam Shahih Muslim, dari Ibnu Siiriin, ia berkata :
لم يكونوا يسألون عن الإسناد فلما وقعت الفتنة قالوا سموا لنا رجالكم فينظر إلى أهل السنة فيؤخذ حديثهم وينظر إلى أهل البدع فلا يؤخذ حديثهم
“Dulu mereka (para ulama) tidak pernah bertanya tentang sanad. Namun ketika terjadi fitnah, mereka pun berkata : ‘Sebutkan pada kami rijaal kalian’. Apabila ia melihat rijaal tersebut dari kalangan Ahlus-Sunnah, maka diterima haditsnya, dan jika dari kalangan ahli-bid’ah, maka tidak diterima”.

Kaidah-Kaidah Emas dalam Mengetahui Riwayat Hadits Shahih dan Dla'if

3 komentar

Kaidah di dalam Menghukumi Suatu Hadits

الحمد لله رب العالمين ، والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين ، أما بعد:
Segala puji hanyalah milik Alloh Pemelihara Alam Semesta, Sholawat dan Salam semoga senantiasa terlimpahkan atas Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau. Adapun setelah itu :
Berikut ini merupakan kaidah-kaidah yang mesti dilalui oleh seorang peneliti hadits atau pengkritik (nuqad) ketika menghukumi suatu hadits akan keshahihan atau kedha’ifannya.
Ketahuilah –semoga Alloh merohmatiku dan anda- bahwa menghukumi suatu hadits, baik itu keshahihan atau kedha’ifannya, melalui dua cara :
Cara Pertama : menghukumi sanad zhahirnya saja tanpa menilai matannya.
Cara kedua : menghukumi sanadnya secara bathin[1], dimana di sini matannya juga dihukumi (atau dengan kata lain, menghukumi hadits secara keseluruhan).

Apa perbedaan antara istilah hadits shahih, hadits shahihul-isnad, dan hadits rijaaluhu tsiqaat ?

2 komentar

Hadits shahih adalah hadits yang memenuhi semua persyaratan shahih, yaitu : bersambung sanad (jalur transmisi)-nya melalui periwayatan seorang periwayat yang 'adil, dlaabith, dari periwayat semisalnya hingga ke akhirnya (akhir jalur transmisi); tanpa adanya syudzuudz (kejanggalan) dan juga tanpa 'illat (penyakit). Ini adalah istilah paling tinggi dalam pernyataan validitas hadits.
Hadits shahihul-isnad adalah hadits yang memenuhi semua persyaratan dari sisi jalur sanadnya, namun belum ada penelitian lebih lanjut dari segi ketiadaan syudzuudz dan ‘illat. Bisa jadi ia merupakan hadits shahih jika selamat dari syudzuudz dan 'illat, namun bisa jadi pula sebaliknya (jika tidak selamat). Misalnya saja hadits tentang shalat sunnah rawatib dua raka’at sebelum shalat ‘Asar (yaitu hadits ‘Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu).