٦ - تَرْكُ الْمِرَاءِ وَالْجِدَالِ وَالْخُصُومَاتِ فِي الدِيْنِ
6.
Meninggalkan perdebatan, berbantah-bantahan,
dan pertengkaran dalam (masalah) agama.
Penjelasan:
Ketiga
istilah ini (al-miraa’, al-jidaal, dan al-khushuumaat) mempunyai makna satu atau berdekatan, yaitu perdebatan. Perdebatan dalam agama
ada 2 (dua) macam, yaitu : perdebatan yang disyari’atkan/diperintahkan dan
perdebatan yang tidak disyari’atkan/dilarang.
Perdebatan yang Disyari’atkan.
a.
Firman Allah ta’ala:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ
الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik” [QS. An-Nahl : 125].
Melalui ayat ini
Allah ta’ala memerintahkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk
mendebat lawannya dengan baik, yaitu menjelaskan kebenaran dengan lemah lembut.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
وقوله: { وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ } أي: من احتاج منهم
إلى مناظرة وجدال، فليكن بالوجه الحسن برفق ولين وحسن خطاب
“Dan firman-Nya : ‘dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik’, maksudnya : barangsiapa yang membutuhkan
dialog dan bantahan, hendaklah ia lakukan dengan cara yang baik, lemah-lembut,
dan tutur kata yang baik” [Tafsiir Ibni Katsiir, 4/613].
b.
Firman Allah ta’ala:
وَلا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
إِلا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ
“Dan janganlah
kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik,
kecuali dengan orang-orang dhalim di antara mereka” [QS. Al-Ankabuut : 46].
Sama seperti sebelumnya.
Adapun maksud ‘kecuali dengan orang-orang dhalim di antara mereka’
adalah orang-orang yang memerangi kaum muslimin (kafir harbiy) yang
tidak mempunyai perjanjian dengan kaum muslimin. Ulama lain berpendapat, mereka
adalah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dan membutakan diri dari
bukti-bukti yang jelas, menentang, lagi sombong. Golongan yang seperti ini
mesti diperangi dengan pedang sehingga mereka beriman atau membayar jizyah
dengan tangan mereka dalam keadaan terhina.
Berlaku baik dan
‘adil dalam muamalah tetap diperintahkan untuk dilakukan kepada orang kafir
yang tidak berbuat dhalim kepada kaum muslimin. Allah ta’ala berfirman:
لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي
الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا
إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tiada
melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” [QS. Al-Mumtahanah
: 8].
Karena berlaku adil
merupakan kewajiban yang harus ditegakkan seorang muslim terhadap siapapun.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ
شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا
اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi
orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada taqwa” [QS. Al-Maaidah : 8].
Peringatan : Ayat
ini (QS. Al-Maaidah : 8) sering digunakan sebagian orang untuk mempromosikan partai politik
tertentu. Yang seperti ini tidak dapat dibenarkan, karena ayat Allah ta’ala diturunkan
bukan untuk tujuan melariskan barang dagangan, akan tetapi sebagai petunjuk
bagi manusia yang menuntun mereka kepada jalan yang lurus.
c.
Firman Allah ta’ala:
وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ
نَصَارَى تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
صَادِقِينَ
“Dan mereka
(Yahudi dan Nasrani) berkata: "Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali
orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani". Demikian itu (hanya)
angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: "Tunjukkanlah bukti
kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar" [QS. Al-Baqarah : 111].
Melalui ayat ini
Allah ta’ala memerintahkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk
membantah kebathilan perkataan orang-orang Yahudi dan Nashrani, dan menantang
mereka untuk menunjukkan bukti atas perkataan mereka, karena Allah ta’ala
berfirman:
لِيَهْلِكَ مَنْ هَلَكَ عَنْ بَيِّنَةٍ وَيَحْيَا مَنْ حَيَّ عَنْ
بَيِّنَةٍ
“Agar orang yang
binasa itu binasanya dengan bayyinah/keterangan yang nyata dan agar orang yang
hidup itu hidupnya dengan bayyinah/keterangan yang nyata (pula)” [QS. Al-Anfaal
: 42].
Allah tidaklah
menyesatkan, mengadzab, atau membinasakan suatu kaum tanpa didahului dengan
adanya peringatan dan penjelasan terlebih dahulu, karena Dia tidak akan pernah
berlaku dhalim terhadap hamba-Nya sedikitpun. Allah ta’ala berfirman:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا
“Dan Kami tidak
akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul” [QS. Al-Israa’ : 15].
Yaitu, Rasul yang
memberikan penjelasan.
وَمَا كَانَ رَبُّكَ مُهْلِكَ الْقُرَى حَتَّى يَبْعَثَ فِي أُمِّهَا
رَسُولا يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِنَا وَمَا كُنَّا مُهْلِكِي الْقُرَى إِلا
وَأَهْلُهَا ظَالِمُونَ
“Dan tidak
adalah Rabbmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu
seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah
(pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan
kedhaliman” [QS. Al-Qashshash : 59].
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّى
يُبَيِّنَ لَهُمْ مَا يَتَّقُونَ
“Dan Allah
sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk
kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi”
[QS. At-Taubah : 115].
d.
Firman Allah ta’ala
tentang dialog/debat/bantahan Ibraahiim terhadap kaumnya:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لأبِيهِ آزَرَ أَتَتَّخِذُ أَصْنَامًا
آلِهَةً إِنِّي أَرَاكَ وَقَوْمَكَ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ * وَكَذَلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيمَ
مَلَكُوتَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ * فَلَمَّا
جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ
قَالَ لا أُحِبُّ الآفِلِينَ * فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا
رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لأكُونَنَّ مِنَ
الْقَوْمِ الضَّالِّينَ * فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي
هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا
تُشْرِكُونَ * إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ
حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ * وَحَاجَّهُ قَوْمُهُ قَالَ
أَتُحَاجُّونِّي فِي اللَّهِ وَقَدْ هَدَانِي وَلا أَخَافُ مَا تُشْرِكُونَ بِهِ
إِلا أَنْ يَشَاءَ رَبِّي شَيْئًا وَسِعَ رَبِّي كُلَّ شَيْءٍ عِلْمًا أَفَلا تَتَذَكَّرُونَ
* وَكَيْفَ أَخَافُ مَا أَشْرَكْتُمْ وَلا تَخَافُونَ أَنَّكُمْ أَشْرَكْتُمْ
بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا فَأَيُّ الْفَرِيقَيْنِ
أَحَقُّ بِالأمْنِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ * الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ
يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
“Dan (ingatlah)
di waktu Ibraahiim berkata kepada bapaknya Aazar: "Pantaskah kamu
menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu
dan kaummu dalam kesesatan yang nyata". Dan demikianlah Kami perlihatkan
kepada Ibraahiim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi,
dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibraahiim itu termasuk orang-orang yang
yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia
berkata: "Inilah Tuhanku" Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia
berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam". Kemudian tatkala
dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi
setelah bulan itu terbenam dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak
memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat".
Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah
Tuhanku, ini yang lebih besar", maka tatkala matahari itu telah terbenam,
dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang
kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang
menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku
bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. Dan dia dibantah oleh
kaumnya. Dia berkata: "Apakah kamu hendak membantahku tentang Allah,
padahal sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk kepadaku. Dan aku tidak takut
kepada (malapetaka dari) sembahan-sembahan yang kamu persekutukan dengan Allah,
kecuali di kala Tuhanku menghendaki sesuatu (dari malapetaka) itu. Pengetahuan
Tuhanku meliputi segala sesuatu. Maka apakah kamu tidak dapat mengambil
pelajaran (daripadanya)?. Bagaimana aku takut kepada sembahan-sembahan yang
kamu persekutukan (dengan Allah), padahal kamu tidak takut mempersekutukan
Allah dengan sembahan-sembahan yang Allah sendiri tidak menurunkan hujah
kepadamu untuk mempersekutukan-Nya. Maka manakah di antara dua golongan itu
yang lebih berhak mendapat keamanan (dari malapetaka), jika kamu
mengetahui?". Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman
mereka dengan kelaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat
keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk” [QS. Al-An’aam ayat 74-82].
Rangkaian ayat-ayat
dalam QS. Al-An’aam ini menceritakan perdebatan yang dilakukan Ibraahiim dengan
kaumnya tentang ketauhidan. Ketika
Ibraahiim mengatakan terhadap bintang, bulan, dan matahari : ‘Inilah Tuhanku’,
bukan berarti ia meyakini 3 hal tersebut sebagai tuhannya. Akan tetapi untuk membantah
kaumnya dan mengajak mereka berpikir bahwa jika bintang, bulan, dan matahari
itu adalah tuhan, tentu tidak akan lenyap dan sirna tergantikan oleh yang lain.
Ini sekaligus menunjukkan kecerdasan dan kefasihan Ibraahiim dalam berbicara
dan berdebat sehingga kaumnya tidak dapat membantahnya. Sama seperti ketika ia menghancurkan
berhala-berhala kaumnya dan menyisakan satu berhala yang paling besar sebagaimana
diceritakan dalam QS. Al-Anbiyaa’ mulai ayat 52, dan kemudian Allah ta’ala berfirman
tentangnya:
قَالَ بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا فَاسْأَلُوهُمْ إِنْ كَانُوا
يَنْطِقُونَ * فَرَجَعُوا إِلَى أَنْفُسِهِمْ فَقَالُوا إِنَّكُمْ أَنْتُمُ
الظَّالِمُونَ * ثُمَّ نُكِسُوا عَلَى رُءُوسِهِمْ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا هَؤُلاءِ يَنْطِقُونَ
* قَالَ أَفَتَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَنْفَعُكُمْ شَيْئًا وَلا
يَضُرُّكُمْ * أُفٍّ لَكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَفَلا
تَعْقِلُونَ
“Ibraahiim
menjawab: "Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah
kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara". Maka mereka telah
kembali kepada kesadaran mereka dan lalu berkata: "Sesungguhnya kamu
sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri sendiri)", kemudian
kepala mereka jadi tertunduk (lalu berkata): "Sesungguhnya kamu (hai
Ibraahiim) telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat
berbicara". Ibraahiim
berkata: "Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak
dapat memberi manfaat sedikit pun dan tidak (pula) memberi mudlarat kepada
kamu?". Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka
apakah kamu tidak memahami?”
[QS. Al-Anbiyaa : 63-67].
Ketika Ibraahiim mengatakan : ‘Sebenarnya
patung yang besar itulah yang melakukannya’ – bukan berarti ia meyakini patung yang besar itulah
pelaku
sebenarnya. Ia mengatakan itu untuk mendebat kaumnya sehingga kelanjutan
perkataannya adalah : ‘maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika
mereka dapat berbicara’
– dan kenyataannya patung yang besar itu tidak dapat berbicara. Mereka menyadari
itu sehingga terdiam. Mereka juga sadar, patung yang besar tadi tidak dapat
memberikan mudlarat kepada berhala-berhala yang lain dengan menghancurkannya.
Jika demikian, mengapa mereka menyembah sesuatu yang tidak dapat memberikan
manfaat dan mudlarat kepada mereka ?.
Ilmu dan pemahaman saja tidak cukup sebagai modal
dalam perdebatan, tapi mesti disertai dengan kemampuan berbicara, pemilihan
kata/kalimat, daya nalar, dan pengambilan permisalan-permisalan sehingga dapat
dipahami oleh lawan debatnya. Ibraahiim ‘alaihis-salaam memiliki hal
tersebut, sehingga dialog Ibraahiim dengan kaumnya dalam QS. Al-An’aam di atas
ditutup dengan firman Allah:
وَتِلْكَ حُجَّتُنَا آتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيمَ عَلَى قَوْمِهِ
نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَنْ نَشَاءُ
“Dan itulah hujah Kami yang Kami berikan kepada
Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki
beberapa derajat” [QS. Al-An’aam : 83].
Seorang yang berilmu
namun tidak memiliki kemampuan dalam berbicara dan berdebat, dapat menimbulkan
fitnah bagi orang-orang yang menyaksikan/mendengarnya, terutama orang awam yang
masih lemah dalam iman dan ilmunya. Orang awam akan menyangka pihak yang
memenangkan perdebatan berada di atas kebenaran, padahal kenyataannya tidaklah
seperti itu. Boleh jadi orang yang salah dan tidak berilmu menang dalam
perdebatan hanya karena kepandaiannya dalam berbicara.
وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ
اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم : إِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ, وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ
أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ, فَأَقْضِيَ لَهُ عَلَى نَحْوٍ مِمَّا
أَسْمَعُ, مِنْهُ فَمَنْ قَطَعْتُ لَهُ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا, فَإِنَّمَا أَقْطَعُ
لَهُ قِطْعَةً مِنَ اَلنَّارِ
Dari Ummu Salamah radliyallaahu
'anhaa, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam : "Sesungguhnya kalian senantiasa mengadukan
persengketaan kepadaku. Bisa jadi sebagian darimu lebih pandai mengemukakan
alasan daripada yang lainnya, lalu aku memutuskan untuknya seperti yang aku
dengar darinya. Maka barangsiapa yang aku berikan kepadanya sesuatu yang
menjadi hak saudaranya, sebenarnya aku telah mengambilkan sepotong api neraka
untuknya" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7169 dan Muslim no.
1713].
e.
Dan dalil-dalil yang lain.
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah
berkata:
هَذَا عُمَرُ بْنُ عَبْدِ
الْعَزِيزِ رَحِمَهُ اللَّهُ، وَهُوَ مِمَّنْ جَاءَ عَنْهُ التَّغْلِيظُ فِي
النَّهْيِ عَنِ الْجِدَالِ فِي الدِّينِ وَهُوَ الْقَائِلُ: مَنْ جَعَلَ دِينَهُ
غَرَضًا لِلْخُصُومَاتِ أَكْثَرَ التَّنَقُّلَ، وَلَمَّا اضْطُرَّ وَعَرَفَ
الْفَلَحَ فِي قَوْلِهِ وَرَجَا أَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِهِ لَزِمَهُ الْبَيَانُ فَبَيَّنَ
وَجَادَلَ، وَكَانَ أَحَدَ الرَّاسِخِينَ فِي الْعِلْمِ رَحِمَهُ اللَّهُ
“Inilah ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz
rahimahullah. Ia termasuk orang yang sangat keras dalam melarang
perdebatan dalam masalah agama. Ia adalah orang yang mengatakan : ‘Barangsiapa
yang menjadikan agamanya sebagai sarana untuk berdebat, maka ia akan lebih
banyak berpindah-pindah pemahaman agamanya’. Namun ketika ia dalam keadaan
terpaksa dan mengetahui ia akan berhasil dalam membela perkataannya, serta
berharap Allah memberikan petunjuk dengannya; maka ia mewajibkan dirinya untuk
memberikan penjelasan dan mendebatnya. Ia adalah salah seorang yang sangat
dalam ilmunya, rahimahullah” [Jaami’ Bayaanil-‘Ilmi wa Fadhlih,
hal. 967 no. 1838].
Ibnu ‘Abdil-Barr menukil
perkataan Al-Muzanniy rahimahumallah:
وَحَقُّ الْمُنَاظَرَةِ أَنْ
يُرَادَ بِهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَأَنْ يُقْبَلَ مِنْهَا مَا يَتَبَيَّنُ
“Hak perdebatan yang mesti dilakukan adalah
agar perdebatan itu hanyalah diniatkan dengannya keridlaan Allah ‘azza wa
jalla saja dan harus diterima darinya apa yang nampak jelas (kebenarannya)”
[idem, hal. 972
no. 1851].
Ibnu
‘Abdil-Barr rahimahullah melanjutkan:
وَقَالُوا: لا تَصِحُّ
الْمُنَاظَرَةُ وَيَظْهَرُ الْحَقُّ بَيْنَ الْمُتَنَاظِرَيْنِ حَتَّى يَكُونَا
مُتَقَارِبَيْنِ أَوْ مُتَسَاوِيَيْنِ فِي مَرْتَبَةٍ وَاحِدَةٍ مِنَ الدِّينِ
وَالْفَهْمِ وَالْعَقْلِ وَالإِنْصَافِ وَإِلا فَهُوَ مِرَاءٌ وَمُكَابَرَةٌ
“Para ulama berkata : Tidak sah perdebatan
dan upaya menampakkan kebenaran antara dua orang yang berdebat hingga keduanya
hampir sama atau sama dalam tingkatan agama, pemahaman, akal/kecerdasan, dan
keadilannya. Jika tidak
demikian, maka yang terjadi hanyalah debat kusir dan sikap sombong/keras
kepala” [idem no. 1852].
Beberapa
point kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan perdebatan yang disyari’atkan
adalah sebagai berikut:
1.
Perdebatan harus
dilakukan dengan niat ikhlash untuk mendapatkan keridlaan Allah ta’ala semata.
2.
Asas yang melandasi
perdebatan adalah hujjah yang berasal dari Al-Qur’an, As-Sunnah Ash-Shahiihah, dan
ijmaa’ yang dipahami menurut pemahaman as-salafush-shaalih.
3.
Perdebatan
dilakukan oleh orang yang kokoh ilmunya tentang hujjah dan kebathilan yang hendak
ia bantah, tentang keadaan orang yang didebat, dan tentang ilmu/teknik dalam
perdebatan; sehingga dengan perdebatan itu akan terjadi pemisahan antara
kebenaran dan kebathilan.
4.
Perdebatan dilakukan
oleh dua pihak yang setara/selevel dalam ilmu, keadilan, dan ketaqwaan,
sehingga tidak terjadi debat kusir dan sikap sombong dari pihak-pihak yang
berdebat.
5.
Adanya keyakinan
bahwa perdebatan tersebut tidak akan merusak keyakinan yang benar dari orang
yang berdebat.
6.
Perdebatan
dilakukan jika ada maslahat yang besar bagi kaum muslimin, pendengar, dan/atau
orang yang berdebat; serta menolak mafsadat yang dikhawatirkan akan timbul/menimpa.
7.
Perdebatan
dilakukan dengan lemah lembut, memperhatikan etika dan sopan-santum, serta
menjauhi caci-maki dan sikap merendahkan/mengejek lawan.
8.
Perdebatan
dilakukan untuk menjelaskan kebenaran, sehingga apabila kebenaran itu telah
jelas, mesti disepakati dan diterima oleh semua pihak yang berdebat.
9.
Perdebatan tidak harus
selalu dilakukan, namun ia menjadi pilihan terakhir setelah dakwah dan nasihat yang
diberikan tidak diterima.
Bersambung, insya Allah.
[Perum Ciomas Indah Bukit Asri, Sabtu, 18-04-2015 –
Abul-Jauzaa’ - Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad, syarh dan tahqiiq
Al-Waliid bin Muhammad Nabiih, hal. 37-38, Maktabah Ibni Taimiyyah, Cet. 1/1416, Kairo,
dengan beberapa referensi lain sebagai tambahan penjelasan].
Silakan
baca pembahasan sebelumnya :
Ushuulus-Sunnah
lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (6)
– Tanda-Tanda Ahlul-Bid’ah
Comments
Assalamu‘alaikum yaa Ustadz Abul Jauzaa’..
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin..
saya mendapat ilmu pengetahuan dari artikel diatas.
Dari kesimpulan yg ada dalam posting, dimana kesimpulan itu ada sembilan point kesimpulan yang ada. Kita ketahui jika anak sekte dari Asy‘ariyah yaitu sekte Nahdliyun sangat bertentangan sekali dengan sembilan point itu.
Mungkin karena efek samping yang ada dalam aqidah gado-gado mereka, yang membuat mereka sangat jauh sekali dari sembilan point tersebut dalam hal berdebat.
Bahkan dalam beragama, mereka (sekte Nahdliyun) sangat mengagungkan/mendahulukan Qiyas semata, ketimbang menggunakan al-Qur`an, as-Sunnah ash-Shahiihah dan ijmaa’ dengan pemahaman as-salafush-shaalih.
salam, Afqi al-Pantouw..
Posting Komentar