Tanya
: Saya
pernah membaca satu riwayat yang mengatakan bahwa salah seorang shahabat pernah minum air kencing Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bertabarruk dengannya. Benarkah itu ?
Jawab
:
Mungkin riwayat yang Anda maksudkan adalah sebagai berikut :
Hadits
Umaimah radliyallaahu ‘anhaa
عَنْ
أُمَيْمَةَ، قَالَتْ: كَانَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدَحٌ
مِنْ عِيدَانٍ يَبُولُ فِيهِ، وَيَضَعُهُ تَحْتَ سَرِيرِهِ، فَقَامَ فَطَلَبَ،
فَلَمْ يَجِدُهُ فَسَأَلَ، فَقَالَ: " أَيْنَ الْقَدَحُ؟ "، قَالُوا:
شَرِبَتْهُ بَرَّةُ خَادِمُ أُمِّ سَلَمَةَ الَّتِي قَدِمَتْ مَعَهَا مِنْ أَرْضِ
الْحَبَشَةِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَقَدِ
احْتَظَرَتْ مِنَ النَّارِ بِحِظَارٍ "
Dari
Umaimah : Dulu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mempunyai wadah dari pelepah
kurma yang beliau gunakan untuk kencing padanya, dan beliau letakkan di bawah
tempat tidurnya. (Satu saat), beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam meminta
wadah tersebut, namun tidak beliau temui. Maka beliau bertanya : “Dimanakah
wadah itu ?”. Mereka berkata : “Telah diminum oleh Barrah, pembantu Ummu
Salamah yang datang bersamanya dari negeri Habasyah. Lalu Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Sungguh ia telah terlindung dari api
neraka”.
Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi ‘Aashim[1]
dalam Al-Aahaad wal-Matsaaniy no. 3342, Ath-Thabaraaniy[2]
dalam Al-Kabiir 24/189 no. 477 & 24/205-206 no. 527 (lafadh hadits
di atas adalah miliknya), Al-Baihaqiy[3]
dalam Al-Kubraa 7/67 (7/106) no. 13406, Abu Nu’aim[4]
dalam Ma’rifatush-Shahaabah hal. 3263 no. 7517, Ibnul-Muqri’[5]
dalam Mu’jam-nya no. 138, Al-Hasan bin Syaadzaan[6]
dalam Juuz-nya no. 29, Ibnu ‘Abdil-Barr[7]
dalam Al-Isti’aab 4/356-357, dan Ibnu ‘Asaakir[8]
dalam At-Taariikh 50/69 & 51/69; dari beberapa jalan (‘Aliy bin
Maimuun, Ahmad bin Ziyaad Al-Hadzdzaa’, Yahyaa bin Ma’iin, Ayyuub Al-Wazzaan,
dan Hilaal bin Al-‘Alaa’), semuanya dari Ibnu Juraij, dari Hukaimah bintu
Umaimah, dari ibunya (Umaimah).
Pada
sebagian riwayat, Ibnu Juraij telah menjelaskan penyimakan riwayatnya dari
Hukaimah sehingga hilanglah keraguan akan tadlis-nya.
Diriwayatkan
oleh Abu Daawud[9]
no. 24, An-Nasaa’iy dalam Al-Mujtabaa[10]
no. 32 & dalam Al-Kubraa[11]
no. 31, Ibnu Hibbaan[12]
no. 1426, Al-Haakim[13]
1/167, Al-Baihaqiy[14]
dalam Al-Kubraa 1/99, dan Al-Baghawiy[15]
dalam Syarhus-Sunnah no. 194; dari beberapa jalan (Muhammad bin ‘Iisaa,
Ayyuub Al-Wazzaan, Yahyaa bin Ma’iin, dan Muhammad bin Al-Faraj), semuanya dari
Ibnu Juraij, dari Hukaimah bintu Umaimah, dari ibunya dengan lafadh ringkas tanpa
menyebut diminumnya air kencing beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
كَانَ
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدَحٌ مِنْ عِيدَانٍ تَحْتَ
سَرِيرِهِ يَبُولُ فِيهِ بِاللَّيْلِ
“Nabi
shallallaahu 'alaihi wa sallam memiliki wadah dari pelepah kurma (yang
beliau letakkan) di tempat tidurnya, yang beliau gunakan untuk kencing pada
waktu malam hari” [lafadh dari Abu Daawud].
Hadits
ini dla’iif dikarenakan Hukaimah bin Umaimah, majhuul.
Hukaimah
bintu Umaimah; tidak diketahui (majhuul).
Termasuk thabaqah ke-3, dan dipakai oleh Abu Daawud dan At-Tirmidziy [Taqriibut-Tahdziib
hal. 1350 no. 8663 dan Tahriirut-Taqriib 4/408 no. 8565].
Ia hanya ditsiqahkan oleh Ibnu Hibbaan [Ats-Tsiqaat,
4/195, dengan menyebutkan satu orang perawi yang meriwayatkan darinya, yaitu
Ibnu Juraij], dimana sudah
diketahui Ibnu Hibbaan sangat longgar dan bermudah-mudah (tasaahul)
dalam mentautsiq perawi majhuul (majaahil).[16] Apalagi di
sini ia menyendiri dalam pentautsiqan tersebut. Yang menunjukkan rendahnya
kredibilitas Hukaimah, ada perbedaan lafadh dalam hadits tersebut. Satu riwayat
menunjukkan bahwa pembantu yang meminum kencing Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bernama ‘Barrah’, di riwayat lain disebutkan : ‘Barakah’.
Begitu juga dengan penisbatan tuan pembantu tersebut. Satu riwayat disebutkan
Ummu Salamah, di riwayat lain disebutkan Ummu Habiibah.
Adapun penghukuman Al-Haakim (1/167)
bahwa sanad hadits di atas shahih, maka ini kekeliruannya. Al-Haakim lebih tasaahul
daripada Ibnu Hibbaan dalam perkara pentautsiqan perawi dan penshahihan hadits[17].
Hadits Ummu Aimaan
عَنْ أُمِّ
أَيْمَنَ، قَالَتْ: قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ
اللَّيْلِ إِلَى فَخَّارَةٍ فِي جَانِبِ الْبَيْتِ، فَبَالَ فِيهَا فَقُمْتُ مِنَ
اللَّيْلِ، وَأَنَا عَطْشَانَةُ فَشَرِبْتُ مَا فِيهَا، وَأَنَا لا أَشْعُرُ،
فَلَمَّا أَصْبَحَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " يَا
أُمَّ أَيْمَنَ، قَوْمِي فَأَهْرِيقِي مَا فِي تِلْكَ الْفَخَّارَةِ ".
قُلْتُ: قَدْ وَاللَّهِ شَرِبْتُ مَا فِيهَا. قَالَتْ: فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ، ثُمَّ قَالَ: " أَمَا
إِنَّكِ لا تَتَّجِعِينَ بَطْنَكِ أَبَدًا "
Dari Ummu Aiman, ia berkata :
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bangkit pada suatu
malam menuju wadah tembikar yang ada di samping rumah, lalu beliau kencing
padanya. Lalu aku pun bangun pada satu malam dalam keadaan haus
dan aku minum apa yang ada di dalam wadah tersebut tanpa aku sadari (bahwa itu
air kencing). Ketika tiba waktu Shubuh, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: “Wahai Ummu Aiman, berdiri dan tumpahkanlah isi wadah itu”. Aku
berkata : “Demi Allah, aku telah meminum isinya”. Maka Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam tertawa hingga nampak gigi geraham beliau, lalu bersabda
: “Sesungguhnya engkau tidak akan pernah sakit perut selamanya”.
Hadits
Ummu Aiman diriwayatkan dari dua jalan :
a.
Nubaih
Al-‘Anaziy.
Diriwayatkan
oleh Ath-Thabaraaniy[18] dalam Al-Kabiir
25/89-90 no. 230, Al-Haakim[19] dalam Al-Mustadrak
4/58, dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’[20] 2/67 dan dalam
Dalaailun-Nubuwwah[21] no. 365; dari
beberapa jalan (‘Utsmaan bin Abi Syaibah, ‘Abdullah bin Rauh, dan Ishaaq bin
Buhluul), dari Syabaabah bin Sawwaar, dari Abu Malik An-Nakha’iy, dari Al-Aswad
bin Qais, dari Nubaih Al-‘Anaziy, dari Ummu Aiman.
Sanad riwayat
ini sangat lemah dikarenakan Abu Maalik An-Nakha’iy.
Abu Maalik
An-Nakha’iy Al-Waasithiy, namanya ‘Abdul-Malik bin Al-Husain, atau dikatakan :
‘Ubaadah bin Al-Husain atau bin Abil-Husain; seorang yang matruuk.
Termasuk thabaqah ke-7. Dipakai oleh Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 1199-1200 no. 8403].
b.
Al-Waliid bin
‘Abdirrahmaan.
Diriwayatkan
oleh Abu Ya’laa sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar[22] dalam Al-Mathaalibul-‘Aliyyah
no. 3849 : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abi Bakr : Telah
menceritakan kepada kami Salm bin Qutaibah, dari Al-Hasan bin Harb, dari
Ya’laa bin ‘Athaa’, dari Al-Waliid bin ‘Abdirrahmaan, dari Ummu Aiman.
Disebutkan
juga oleh Ibnu Katsiir[23] dalam Al-Bidaayah
wan-Nihaayah 5/347, namun dengan menyebutkan Al-Husain bin Harb sebagai
pengganti Al-Hasan bin Harb.
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asaakir[24] dalam At-Taariikh
4/303 dari jalan Abu Ya’laa dan juga disebutkan oleh Al-Bushairiy[25] dalam Ittihaaful-Khairah
9/119 no. 8681, namun dengan menyebutkan Al-Husain bin Huraits sebagai
pengganti Al-Hasan bin Harb.
Ad-Daaruquthniy
menyebutkan ta’lil atas jalan periwayatan ini :
وَسُئِلَ عَنْ حَدِيثِ أُمِّ أيمن، قَالَتْ: قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيهِ وَسَلَّمَ مِنَ اللَّيْلِ إِلَى فَخَّارَةٍ فِي الْبَيْتِ فَبَالَ فِيهَا،
....... ". فَقَالَ: يَرْوِيهِ أَبُو مَالِكٍ النَّخَعِيُّ، وَاسْمُهُ عَبْدُ
الْمَلِكِ بْنُ حُسَيْنٍ، وَاخْتُلِفَ عَنْهُ فَرَوَاهُ شِهَابٌ، عَنْ أَبِي
مَالِكٍ، عَنِ الأَسْوَدِ بْنِ قَيْسٍ، عَنْ نُبَيْحٍ الْعَنْزِيِّ، عَنْ أُمِّ
أيمن. وَخَالَفَهُ سَلْمُ بْنُ قُتَيْبَةَ، وَقُرَّةُ بْنُ سُلَيْمَانَ،
فَرَوَيَاهُ عَنْ أَبِي مَالِكٍ، عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطَاءٍ، عَنِ الْوَلِيدِ بْنِ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أُمِّ أيمن. وَأَبُو مَالِكٍ ضَعِيفٌ، وَالاضْطِرَابُ
فِيهِ مِنْ جِهَتِهِ
Ad-Daaruquthniy pernah ditanya tentang
hadits Ummu Aiman, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
bangkit pada suatu malam menuju wadah tembikar yang ada di dalam rumah, lalu
beliau kencing padanya. ……….dst. Ia (Ad-Daaruquthnniy) berkata : “Diriwayatkan oleh Abu
Maalik An-Nakha’iy – namanya ‘Abdul-Malik bin Husain - . Terdapat perselisihan
riwayat darinya. Diriwayatkan oleh Syihaab, dari Abu Maalik, dari Al-Aswad bin
Qais, dari Nubaih Al-‘Anaziy, dari Ummu Aiman. Salm bin Qutaibah dan Qurrah bin
Sulaimaan menyelisihinya. Keduanya telah meriwayatkan dari Abu Maalik, dari
Ya’laa bin ‘Athaa’, dari Al-Waliid bin ‘Abdirrahmaan, dari Ummu Aiman. Abu
Maalik dla’iif, dan idlthiraab dalam riwayat tersebut berasal
dari sisinya” [Al-‘Ilal, 15/415].
Ibnu Hajar
dalam Al-Ishaabah 8/171-172 membawakan sanad sebagai berikut :
وأخرج ابن السكن من طريق عبد الملك بن حصين عن نافع بن عطاء عن الوليد بن عبد
الرحمن عن أم أيمن قالت ......
Dan diriwayatkan oleh Ibnus-Sakan dari
jalan ‘Abdul-Malik bin Hushain, dari Naafi’ bin ‘Athaa’, dari Al-Waliid bin
‘Abdirrahmaan, dari Ummu Aiman, ia berkata : “…(al-hadits)….”.
Riwayat Ibnus-Sakan yang dibawakan oleh
Ibnu Hajar ini perlu diperhatikan, karena ada beberapa kekeliruan. ‘Abdul-Malik
bin Hushain (عبد
الملك بن حصين) di situ yang benar adalah ‘Abdul-Malik bin Husain (عبد الملك بن حسين) yang merupakan nama
dari Abu Maalik An-Nakha’iy. Naafi’ bin ‘Athaa’ (نافع بن عطاء) di situ yang benar
adalah Ya’laa bin ‘Athaa’ (يعلى بن عطاء). Oleh karena itu,
ini sesuai dengan ta’liil Ad-Daaruquthniy sebelumnya.
Nampak di sini
bahwa hadits Ummu Aiman masyhur merupakan hadits ‘Abdul-Malik bin Al-Husain Abu
Maalik An-Nakha’iy. Kata ‘Abdul-Maalik kemungkinan terhapus dalam
penulisan sehingga menjadi Al-Husain bin Huraits atau Al-Husain bin Harb –
(yang seharusnya : ‘Abdul-Malik bin Al-Husain/Harb). Maka, jalur Al-Waliid ini
berasal dari sumber yang sama dengan jalur Nubaih Al-‘Anaziy, yaitu Abu Maalik
An-Nakha’iy. Wallaahu a’lam.
Seandainya ta’lil
ini diabaikan, maka jalan riwayat Al-Waliid bin ‘Abdirrahmaan adalah lemah,
karena keterputusan (inqitha’) antara Al-Waliid dengan Ummu
Aiman. Al-Waliid bin ‘Abdirrahmaan termasuk thabaqah ke-4, sedangkan Ummu Aiman dikatakan meninggal
5 atau 6
bulan pasca meninggalnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, atau dikatakan pada masa
kekhilafahan ‘Umar atau awal kekhilafahan ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhumaa.
Apapun itu, keduanya
terpaut jarak yang cukup jauh.
Walhasil,
hadits Ummu Aiman pun lemah, tidak bisa dipakai
menjadi hujjah.
Hukum Air Kencing Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
Jumhur
ulama berpendapat bahwa kencing Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
adalah najis. Inilah pendapat yang shahih.
Beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mensifati air kencing manusia sebagai
najis (sehingga perlu dibersihkan dan dihindari) :
إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ، لَا تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا
الْبَوْلِ، وَلَا الْقَذَرِ، إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّلَاةِ،
وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ "، أَوْ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: فَأَمَرَ رَجُلًا مِنَ الْقَوْمِ، فَجَاءَ بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ، فَشَنَّهُ
عَلَيْهِ
“Sesungguhnya
masjid ini tidak selayaknya untuk dikencingi ataupun diberaki. Masjid ini hanyalah
untuk berdzikir kepada Allah ‘azza wa jalla, shalat dan membaca Al-Qur’an”.
Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan salah
seorang shahabat untuk mengambil seember air dan menyiramkannya [Diriwayatkan
oleh Muslim no. 285].
يُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ، ثُمَّ قَالَ:
بَلَى، كَانَ أَحَدُهُمَا لَا يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ، وَكَانَ الْآخَرُ يَمْشِي
بِالنَّمِيمَةِ
“Keduanya disiksa, padahal tidak
karena masalah yang besar (dalam anggapan keduanya)”. Lalu beliau
bersabda : “Padahal
sesungguhnya ia adalah persoalan besar. Salah
seorang di antara keduanya tidak melindungi diri dari percikan kencingnya, dan yang
lain suka mengadu domba (namiimah)”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 216].
Ini
adalah hukum umum yang berlaku pula pada diri beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Allah ta’ala berfirman :
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ
“Katakanlah
(wahai Muhammad) : ‘Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu….”
[QS. Al-Kahfi : 110].
Beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ، أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ
“Aku
hanyalah manusia seperti kalian. Aku dapat lupa sebagaimana kalian lupa”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 572].
Tentu
saja, dikecualikan pada hal-hal tertentu yang beliau memiliki kekhususan yang
tidak dimiliki manusia lainnya. Kekhususan ini mesti didasarkan nash,
seperti misal : anggota tubuh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam suci
dan mengandung barakah, serta disyari’atkan bertabarruk dengannya.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: " كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ، جَاءَ خَدَمُ
الْمَدِينَةِ بِآنِيَتِهِمْ فِيهَا الْمَاءُ، فَمَا يُؤْتَى بِإِنَاءٍ إِلَّا
غَمَسَ يَدَهُ فِيهَا، فَرُبَّمَا جَاءُوهُ فِي الْغَدَاةِ الْبَارِدَةِ،
فَيَغْمِسُ يَدَهُ فِيهَا "
Dari Anas bin Maali, ia berkata
: “Apabila Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat
Shubuh, para pelayan Madiinah datang sambil membawa bejana-bejana mereka yang
berisi air. Tidak ada satu pun dari bejana-bejana tersebut, kecuali beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam mencelupkan tangannya ke dalam bejana tersebut. Bahkan
kadang-kadang mereka mendatangi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam di
waktu Shubuh yang dingin, namun beliau tetap mencelupkan tangannya ke dalam
bejana tersebut” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2324].
عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ، قَالَ: خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ بِالْهَاجِرَةِ، فَأُتِيَ بِوَضُوءٍ
فَتَوَضَّأَ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَأْخُذُونَ مِنْ فَضْلِ وَضُوئِهِ
فَيَتَمَسَّحُونَ بِهِ، فَصَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ
الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ وَالْعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ وَبَيْنَ يَدَيْهِ عَنَزَةٌ،
وَقَالَ أَبُو مُوسَى: دَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ بِقَدَحٍ
فِيهِ مَاءٌ، فَغَسَلَ يَدَيْهِ وَوَجْهَهُ فِيهِ، وَمَجَّ فِيهِ، ثُمَّ قَالَ
لَهُمَا: اشْرَبَا مِنْهُ وَأَفْرِغَا عَلَى وُجُوهِكُمَا وَنُحُورِكُمَا
Dari Abu Juhaifah, ia berkata :
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar menemui kami pada
siang hari yang sangat panas. Lalu dibawakan air wudlu kepada beliau, dan
beliau pun berwudlu. Setelah selesai, orang-orang mengambil sisa air wudlu
beliau dan mengusapkannya ke tubuh mereka. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam shalat Dhuhur dua raka’at dan shalat ‘Ashar dua raka’at. Di hadapan
beliau ada ‘anazah (tombak kecil – untuk dijadikan sutrah)”. Abu Muusaa
berkata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam meminta seember kecil
air. Kemudian beliau mencuci tangan dan wajahnya di dalamnya, lalu meludahinya.
Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada mereka berdua
: “Minumlah kalian darinya, dan tuangkanlah ke wajah dan leher kalian”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 188].
Dan
yang lainnya.
Air
kencing dan kotoran (tahi) adalah najis. Untuk mengubah hukum asal ini (dari
najis menjadi suci) pada diri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
maka perlu dalil, dan dalil itu (sayangnya) tidak ada. Kalaupun ada, maka itu
tidak shahih – sebagaimana dibahas di atas. Yang menguatkan hal itu, Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam tetap beristinja’ ketika berhadats, dan kemudian berwudlu
ketika hendak shalat.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: اتَّبَعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخَرَجَ لِحَاجَتِهِ، فَكَانَ لَا يَلْتَفِتُ، فَدَنَوْتُ
مِنْهُ، فَقَالَ: " ابْغِنِي أَحْجَارًا أَسْتَنْفِضْ بِهَا أَوْ نَحْوَهُ، وَلَا
تَأْتِنِي بِعَظْمٍ وَلَا رَوْثٍ، فَأَتَيْتُهُ بِأَحْجَارٍ بِطَرَفِ ثِيَابِي فَوَضَعْتُهَا
إِلَى جَنْبِهِ وَأَعْرَضْتُ عَنْهُ، فَلَمَّا قَضَى أَتْبَعَهُ بِهِنَّ "
Dari Abu Hurairah, ia berkata : “Aku pernah
mengikuti Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam saat beliau keluar untuk
buang hajat, dan beliau tidak menoleh (ke kanan atau ke kiri) hingga aku pun
mendekatinya. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Carikan
untukku beberapa batu untuk aku gunakan beristinja' dan
jangan bawakan tulang atau kotoran hewan’. Lalu aku datang kepada beliau dengan
membawa beberapa batu di ujung kainku, dan kemudian aku letakkan di sisi beliau,
lalu aku berpaling dari beliau. Setelah selesai beliau gunakan batu-batu
tersebut." [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 155].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُسْتَنْجَى بِرَوْثٍ أَوْ عَظْمٍ، وَقَالَ: إِنَّهُمَا
لا تُطَهِّرَانِ.
Dari Abu Hurairah, ia berkata : “Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam melarang beristinja’
dengan kotoran binatang atau tulang. Dan beliau bersabda : ‘Sesungguhnya
keduanya tidak dapat mensucikan” [Diriwayatkan
oleh Ad-Daaruquthniy no. 149; dan ia berkata : ‘sanadnya shahih’].
عَنْ أَنَس بْنَ مَالِكٍ، يَقُولُ: " كَانَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ لِحَاجَتِهِ أَجِيءُ أَنَا وَغُلَامٌ
مَعَنَا إِدَاوَةٌ مِنْ مَاءٍ، يَعْنِي يَسْتَنْجِي بِهِ "
Dari Anas bin Maalik, ia berkata : “Apabila
Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam keluar untuk menunaikan hajatnya,
maka aku dan seorang anak yang bersama kami membawakan bejana berisi air, yakni
agar beliau bisa beristinja’ dengannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 150].
Seandainya
air kencing dan kotoran beliau suci, tentu beliau tidak akan beristinja’ dan
para shahabat radliyallaahu ‘anhum akan berebut sebagaimana mereka
berebut untuk mendapatkan sisa rambut, sisa air wudlu, atau keringat beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam.
Sebagian
ulama memang ada yang menghukumi air kencing beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam suci berdasarkan dua hadits yang dibahas di atas dan juga qiyas
terhadap hadits-hadits yang berisi tabarruknya para shahabat terhadap sebagian
anggota tubuh beliau (tangan, keringat, dan yang lainnya). Meskipun pendapat ini
lemah, mereka sama sekali tidak mengqiyaskan hal itu berlaku pada selain beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang
yang menyimpang.[26]
Wallaahul-musta’aan.
Semoga
artikel ini ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’
– perumahan ciomas
permai, ciapus, ciomas, bogor – 21091434/30072013 – 00:55].
[1] Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مَيْمُونٍ الْعَطَّارُ، ثنا حَجَّاجُ
بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ: أَخْبَرَتْنِي حُكَيْمَةُ بِنْتُ
أُمَيْمَةَ، عَنْ أُمِّهَا، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لَهُ قَدَحٌ مِنْ عِيدَانٍ يَبُولُ فِيهِ، ثُمَّ يُوضَعُ
تَحْتَ سَرِيرِهِ، فَجَاءَتِ امْرَأَةٌ، يُقَالُ
لَهَا: بَرَكَةُ، جَاءَتْ مَعَ أُمِّ حَبِيبَةَ مِنَ الْحَبَشَةِ، فَشَرِبَتْهُ،
فَطَلَبَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: شَرِبَتْهُ
بَرَكَةُ، فَسَأَلَهَا، فَقَالَتْ: شَرِبْتُهُ، فَقَالَ: لَقَدِ احْتَضَرْتِي مِنَ
النَّارِ بِحِضَارٍ، أَوْ قَالَ: جُنَّةٍ أَوْ. .. "، هَذَا مَعْنَاهُ
[2] Riwayatnya adalah :
24/189
no. 477 :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ زِيَادٍ الْحَذَّاءُ
الرَّقِّيُّ، ثنا حَجَّاجُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ:
حَدَّثَتْنِي حُكَيْمَةُ بِنْتُ أُمَيْمَةَ بِنْتِ رُقَيْقَةَ، عَنْ أُمِّهَا،
أَنَّهَا قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَبُولُ فِي قَدَحِ عِيدَانٍ، ثُمَّ يَرْفَعُ تَحْتَ سَرِيرِهِ، فَبَالَ فِيهِ ثُمَّ جَاءَ فَأَرَادَهُ، فَإِذَا الْقَدَحُ
لَيْسَ فِيهِ شَيْءٌ، فَقَالَ لامْرَأَةٍ يُقَالُ لَهَا بَرَكَةُ كَانَتْ تَخْدُمُ
أُمَّ حَبِيبَةَ، جَاءَتْ بِهَا مِنْ أَرْضِ الْحَبَشَةِ: " أَيْنَ الْبَوْلُ
الَّذِي كَانَ فِي الْقَدَحِ؟ " قَالَتْ: شَرِبْتُهُ، فَقَالَ: " لَقَدِ
احْتَظَرْتِ مِنَ النَّارِ بِحِظَارٍ "
24/205-206
no. 527 :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ،
ثنا يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ، ثنا حَجَّاجُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنِ ابْنِ
جُرَيْجٍ، عَنْ حُكَيْمَةَ بِنْتِ أُمَيْمَةَ، عَنْ أُمِّهَا أُمَيْمَةَ، قَالَتْ:
كَانَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَدَحٌ مِنْ عِيدَانٍ يَبُولُ فِيهِ، وَيَضَعُهُ تَحْتَ سَرِيرِهِ، فَقَامَ فَطَلَبَ، فَلَمْ يَجِدُهُ فَسَأَلَ، فَقَالَ: "
أَيْنَ الْقَدَحُ؟ "، قَالُوا: شَرِبَتْهُ بَرَّةُ خَادِمُ أُمِّ سَلَمَةَ
الَّتِي قَدِمَتْ مَعَهَا مِنْ أَرْضِ الْحَبَشَةِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَقَدِ احْتَظَرَتْ مِنَ النَّارِ بِحِظَارٍ
"
[3] Riwayatnya adalah :
أَخْبَرَنَا أَبُو نَصْرٍ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ
بْنِ عُمَرَ بْنِ قَتَادَةَ، ثنا أَبُو الْحَسَنِ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ
حَامِدٍ الْعَطَّارُ، ثنا أَحْمَدُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ عَبْدِ الْجَبَّارِ، ثنا
يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ، عَنْ حَجَّاجٍ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ:
أَخْبَرَتْنِي حُكَيْمَةُ بِنْتُ أُمَيْمَةَ، عَنْ أُمَيْمَةَ أُمِّهَا، " أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ
يَبُولُ فِي قَدَحٍ مِنْ عِيدَانٍ، ثُمَّ وَضَعَ تَحْتَ سَرِيرِهِ فَبَالَ،
فَوَضَعَ تَحْتَ سَرِيرِهِ فَجَاءَ فَأَرَادَهُ،
فَإِذَا الْقَدَحُ لَيْسَ فِيهِ شَيْءٌ، فَقَالَ لامْرَأَةٍ يُقَالُ لَهَا
بَرَكَةٌ كَانَتْ تَخْدُمُهُ لأُمِّ حَبِيبَةَ جَاءَتْ مَعَهَا مِنْ أَرْضِ
الْحَبَشَةِ: أَيْنَ الْبَوْلُ الَّذِي كَانَ فِي هَذَا الْقَدَحِ؟ قَالَتْ:
شَرِبْتُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ "
[4] Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ، ثنا أَحْمَدُ
بْنُ زِيَادٍ الْحَذَّاءُ الرَّقِّيُّ، ثنا حَجَّاجُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنِ
ابْنِ جُرَيْجٍ، ح
وَحَدَّثَنَا مَخْلَدُ بْنُ جَعْفَرٍ، ثنا إِبْرَاهِيمُ
بْنُ هَاشِمٍ الْبَغَوِيُّ، ثنا أَيُّوبُ الْوَزَّانُ، ثنا حَجَّاجُ بْنُ
مُحَمَّدٍ، قَالَ: قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ: أَخْبَرَتْنِي حُكَيْمَةُ بِنْتُ
أُمَيْمَةَ، عَنْ أُمِّهَا أُمَيْمَةَ بِنْتِ رُقَيْقَةَ، قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبُولُ فِي
قَدَحِ عِيدَانَ، ثُمَّ يَرْفَعُ تَحْتَ سَرِيرِهِ، فَبَالَ فِيهِ، فَأَرَادَهُ فَإِذَا الْقَدَحُ لَيْسَ فِيهِ
شَيْءٌ، فَقَالَ لامْرَأَةٍ يُقَالُ لَهَا: بَرَكَةُ، كَانَتْ تَخْدُمُ أُمَّ
حَبِيبَةَ جَاءَتْ بِهَا مِنْ أَرْضِ الْحَبَشَةِ: " أَيْنَ الْبَوْلُ
الَّذِي كَانَ فِي الْقَدَحِ؟، قَالَتْ: شَرِبْتُهُ، قَالَ: " وَلَقَدِ
احْتَظَرْتِ مِنَ النَّارِ بِحِظَارٍ "
[5] Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ
أَبِي خُبْزَةَ الْبَزَّارُ الشَّيْخُ الصَّالِحُ، حَدَّثَنَا هِلالُ بْنُ
الْعَلاءِ أَبُو عُمَرَ، حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ:
أَخْبَرَتْنِي حُكَيْمَةُ بِنْتُ أُمَيْمَةَ، أَخْبَرَتْهَا، عَنْ أُمِّهَا
أُمَيْمَةَ بِنْتِ رُقَيْقَةَ قَالَتْ: كَانَ لِرَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدَحٌ مِنْ عِيدَانٍ يَبُولُ فِيهِ
وَيَضَعُهُ تَحْتَ السَّرِيرِ، فَجَاءَتِ
امْرَأَةٌ يُقَالُ لَهَا بَرَكَةُ كَانَتْ مَعَ أُمِّ حَبِيبَةَ مِنَ الْحَبَشَةِ
فَشَرِبَتْهُ، فَطَلَبَهُ النَّبِيُّ فَلَمْ يَجِدْهُ، فَقِيلَ: شَرِبَتْهُ
بَرَكَةُ قَالَ: " لَقَدِ احْتَظَرَتْ مِنَ النَّارِ بِحِظَارٍ أَوْ جُنَّةٍ
"،
أَوْ نَحْوَ هَذَا، سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ الْحَسَنِ
قَالَ: سَمِعْتُ بِشْرَ بْنَ مُوسَى يَقُولُ: سَمِعْتُ أَبَا أُسَامَةَ يَقُولُ:
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ، فَلَمْ أَحْفَظْ عَنْهُ غَيْرَ هَذَا
[6] Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى، قَالَ:
حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ: أَخْبَرَتْنِي حَكِيمَةُ
ابْنَةُ أُمَيْمَةَ، عَنْ أُمَيْمَةَ أُمِّهَا، أَنّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَبُولُ فِي قَدَحٍ مِنْ
عِيدَانٍ، ثُمَّ يُوضَعُ تَحْتَ سَرِيرِهِ، فَبَالَ فَوُضِعَ تَحْتَ سَرِيرِهِ، فَجَاءَ فَأَرَادَهُ، فَإِذَا الْقَدَحُ لَيْسَ فِيهِ شَيْءٌ،
فَقَالَ لامْرَأَةٍ، يُقَالُ لَهَا: بَرَكَةُ كَانَتْ تَخْدُمُهُ لأُمِّ حَبِيبَةَ
جَاءَتْ مَعَهَا مِنْ أَرْضِ الْحَبَشَةِ: أَيْنَ الْبَوْلُ الَّذِي كَانَ فِي
هَذَا الْقَدَحِ؟ قَالَتْ: شَرِبْتُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
[7] Riwayatnya adalah :
أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ قَاسِمٍ، حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ مُعَاوِيَةَ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ عَبْدِ
الْجَبَّارِ الصُّوفِيُّ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ، حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ،
عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ: أَخْبَرَتْنِي حَكِيمَةُ بِنْتُ أُمَيْمَةَ، عَنْ
أُمَيْمَةَ أُمِّهَا، " أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَبُولُ فِي قَدَحٍ مِنْ عَيْدَانٍ وَيُوضَعُ تَحْتَ
سَرِيرِهِ، فَبَالَ فِيهِ لَيْلَةً، فَوُضِعَ تَحْتَ سَرِيرِهِ، فَجَاءَ فَإِذَا الْقَدَحُ لَيْسَ فِيهِ شَيْءٌ، فَقَالَ
لامْرَأَةٍ يُقَالُ لَهَا بَرَكَةٌ كَانَتْ تَخْدُمُهُ لأُمِّ حَبِيبَةَ جَاءَتْ
مَعَهَا مِنْ أَرْضِ الْحَبَشَةِ: الْبَوْلُ الَّذِي كَانَ فِي هَذَا الْقَدَحِ
مَا فَعَلَ؟. فَقَالَتْ: شَرِبْتُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ".
[8] Riwayatnya adalah :
50/69
:
أَخْبَرَنَا أَبُو الْفَرَجِ قَوَّامُ بْنُ زَيْدِ بْنِ
عِيسَى، وَأَبُو الْقَاسِمِ إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَحْمَدَ، قَالا: أنا أَبُو
الْحُسَيْنِ بْنُ النَّقُّورِ، أنا أَبُو الْحَسَنِ الْحَرْبِيُّ، نا أَحْمَدُ
بْنُ الْحَسَنِ بْنِ عَبْدِ الْجَبَّارِ.ح وَأَخْبَرَنَا أَبُو الْقَاسِمِ تَمِيمُ
ابْنُ أَبِي سَعِيدٍ، أنا أَبُو سَعْدٍ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ،
أَنْبَأَ أَبُو عَمْرِو بْنُ حَمْدَانَ، أنا أَبُو يَعْلَى الْمَوْصِلِيُّ.قَالا:
نا يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ، نا حَجَّاجٌ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ:
حَدَّثَتْنِي حَكِيمَةُ بِنْتُ أُمَيْمَةَ، عَنْ أُمَيْمَةَ أُمِّهَا: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ
يَبُولُ فِي قَدَحٍ مِنْ عَيْدَانٍ، ثُمَّ يُوضَعُ تَحْتَ سَرِيرِهِ، فَجَاءَ فَأَرَادَهُ، فَإِذَا الْقَدَحُ لَيْسَ فِيهِ شَيْءٌ، فَقَالَ
لامْرَأَةٍ يُقَالُ لَهَا بَرَكَةُ كَانَتْ تَخْدِمُهُ، لأُمِّ حَبِيبَةَ جَاءَتْ
مَعَهَا مِنْ أَرْضِ الْحَبَشَةِ: " الْبَوْلُ الَّذِي كَانَ فِي الْقَدَحِ؟
"، قَالَتْ: شَرِبْتُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
51/69 :
أَخْبَرَنَا بِهِ أَتَمُّ مِنْ هَذَا أَبُو الْفَتْحِ
يُوسُفُ بْنُ عَبْدِ الْوَاحِدِ، أنا شُجَاعُ بْنُ عَلِيٍّ، أنا أَبُو عَبْدِ
اللَّهِ بْنُ مَنْدَهْ، أنا أَبُو عَمْرِو أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ
إِبْرَاهِيمَ، نا هِلالُ بْنُ الْعَلاءِ، نا حَجَّاجُ بْنُ مُحَمَّدٍ، نا
ابْنُ جُرَيْجٍ: أَنَّ حَكِيمَةَ بِنْتَ أُمَيْمَةَ أَخْبَرَتْهُ، عَنْ أُمِّهَا
أُمَيْمَةَ بِنْتِ رُقَيْقَةَ، قَالَتْ: كَانَتْ
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدَحٌ مِنْ عَيْدَانٍ يَبُولُ
فِيهَا، وَيَضَعُهُ تَحْتَ السَّرِيرِ، فَجَاءَتِ
امْرَأَةٌ يُقَالُ لَهَا: بَرَكَةُ، قَدِمَتْ مَعَ أُمِّ حَبِيبَةَ مِنَ
الْحَبَشَةِ فَشَرِبَتْهُ، فَطَلَبَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَلَمْ يَجِدْهُ، فَقِيلَ: شَرِبَتْهُ بَرَكَةُ، فَقَالَ لَهَا: " لَقَدِ
احْتَظَرْتِ مِنَ النَّارِ بِحِظَارٍ "
[9] Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى، حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ،
عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ حُكَيْمَةَ بِنْتِ أُمَيْمَةَ بِنْتِ رُقَيْقَةَ، عَنْ
أُمِّهَا، أَنَّهَا قَالَتْ: " كَانَ لِلنَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدَحٌ مِنْ عِيدَانٍ تَحْتَ سَرِيرِهِ يَبُولُ
فِيهِ بِاللَّيْلِ "
[10] Riwayatnya adalah :
أَخْبَرَنَا أَيَّوبُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْوَزَّانُ، قال:
حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ، قال: قال ابْنُ جُرَيْجٍ: أَخْبَرَتْنِي حُكَيْمَةُ
بِنْتُ أُمَيْمَةَ، عَنْ أُمِّهَا أُمَيْمَةَ بِنْتِ رُقَيْقَةَ، قَالَتْ: " كَانَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدَحٌ
مِنْ عَيْدَانٍ يَبُولُ فِيهِ وَيَضَعُهُ تَحْتَ السَّرِيرِ "
[11] Riwayatnya adalah :
أَخْبَرَنَي أَيُّوبُ بْنُ مُحَمَّدِ الرَّقِّيُّ
الْوَزَّانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا حَجَّاجُ يعْنِي بْنَ مُحَمَّدٍ، قَالَ:
قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ: أَخْبَرْتِنِي حُكَيْمَةُ بِنْتُ أُمَيْمَة، عَنْ أُمِّهَا
أُمَيْمَةَ بِنْتِ رُقَيْقَةَ، قَالَتْ: كَانَ
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدَحٌ مِنْ عِيدَانٍ يَبُولُ فِيهِ،
وَيَضَعُهُ تَحْتَ السَّرِيرِ
[12] Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا أَبُو حَاتِمٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ:
أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ عَبْدِ الْجَبَّارِ الصُّوفِي،
بِبَغْدَادَ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ، حَدَّثَنَا حَجَّاجُ
بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ: حَدَّثَتْنِي حُكَيْمَةُ بِنْتُ
أُمَيْمَةَ، عَنْ أُمِّهَا أُمَيْمَةَ بِنْتِ رُقَيْقَةَ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَبُولُ فِي قَدَحٍ
مِنْ عِيدَانٍ، ثُمَّ يُوضَعُ تَحْتَ سَرِيرِهِ
[13] Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ إِسْمَاعِيلُ بْنُ مُحَمَّدِ
بْنِ إِسْمَاعِيلَ الْفَقِيهُ بِالرِّيِّ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ الْفَرَحِ
الأَزْرَقِ، ثنا حَجَّاجِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ
حُكَيْمَةَ بِنْتِ أُمَيْمَةَ بِنْتِ رُقَيْقَةَ، عَنْ أُمِّهَا، أَنَّهَا
قَالَتْ: " كَانَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَدَحٌ مِنْ عِيدَانَ تَحْتَ سَرِيرِهِ يَبُولُ فِيهِ بِاللَّيْلِ
".
هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الإِسْنَادِ وَسُنَّةٌ غَرِيبَةٌ
وَأُمَيْمَةُ بِنْتُ رُقَيْقَةَ صَحَابِيَّةٌ مَشْهُورَةٌ مُخَرَّجٌ حَدِيثُهَا
فِي الْوُحْدَانِ لِلأَئِمَّةِ، وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ
[14] Riwayatnya adalah :
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ،
أنا أَبُو بَكْرٍ إِسْمَاعِيلُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْمَاعِيلَ الْفَقِيهُ
بِالرِّيِّ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ الْفَرَجِ الأَزْرَقُ، نا حَجَّاجُ بْنُ
مُحَمَّدٍ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ حُكَيْمَةَ بِنْتِ أُمَيْمَةَ بِنْتِ
رُقَيْقَةَ، عَنْ أُمِّهَا، قَالَتْ: كَانَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدَحٌ مِنْ عِيدَانَ تَحْتَ سَرِيرِهِ يَبُولُ فِيهِ
بِاللَّيْلِ
[15] Riwayatnya adalah :
أَخْبَرَنَا عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ
الْفَاشَانِيُّ، أَخْبَرَنَا الشَّرِيفُ أَبُو عُمَرَ الْقَاسِمُ بْنُ جَعْفَرٍ
الْهَاشِمِيُّ، أنا أَبُو عَلِيٍّ اللُّؤْلُئِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ، نا
مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى، نا حَجَّاجٌ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ حُكَيْمَةَ
بِنْتِ أُمَيْمَةَ بِنْتِ رُقَيْقَةَ، عَنْ أُمِّهَا، أَنَّهَا قَالَتْ: " كَانَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدَحٌ
مِنْ عِيدَانٍ تَحْتَ سَرِيرِهِ يَبُولُ فِيهِ بِاللَّيْلِ "
قلت
: وهذا الذي ذهب إليه ابن حبان من أن الرجل إذا انتفت جهالة عينه كان على العدالة
حتى يتبين جرحه مذهب عجيب ، والجمهور على خلافه ، وهذا مسلك ابن حبان في "
كتاب الثقات " الذي ألفه ، فإنه يذكر خلقا نص عليهم أبو حاتم وغيره على أنهم مجهولون ،
وكان عند ابن حبان أن جهالة العين ترتفع برواية واحد مشهور ، وهو مذهب شيخه ابن
خزيمة ، ولكن جهالة حاله باقية عند غيره "
“Aku katakan :
Pendapat Ibnu Hibbaan
bahwa perawi yang hilang majhul ‘ain-nya
berarti ‘adil adalah pendapat yang aneh. Kebanyakan (jumhur) ulama
menentangnya. Jalan yang ditempuh Ibnu Hibban dalam kitab karangannya yaitu Kitaabuts-Tsiqaat menyebutkan sejumlah
perawi yang dicatat oleh Abu Haatim dan yang lainnya sebagai majhul, dan seakan-akan Ibnu Hibban
berpendapat bahwa majhul ‘ain itu
akan terangkat oleh satu perawi terkenal. Ini adalah pendapat syaikhnya, yaitu
Ibnu Khuzaimah. Namun para ulama lain (yaitu jumhur) menyatakan bahwa majhul haal itu tetap ada” [Lisaanul-Miizaan, 1/208-209].
Ibnu ‘Abdil-Haadi rahimahullah berkata :
وقد
ذكر ابن حبان في هذا الكتاب خلقا كثيرا من هذا النمط ، وطريقته فيه أنه ذكر من لم
يعرفه بجرح وإن كان مجهولا لم يعرف حاله ، وينبغي أن ينتبه لهذا ويعرف أن توثيق
ابن حبان للرجل بمجرد ذكره في هذا الكتاب من أدنى درجات التوثيق
“Ibnu Hibbaan menyebutkan dalam kitabnya (yaitu Ats-Tsiqaat) sejumlah contoh yang banyak
dari para perawi. Caranya, dia menyebutkan orang yang dia tidak dikenal adanya jarh (cacat) meskipun ia seorang yang majhul, tidak dikenal keadaannya (majhul haal). Hendaklah hal ini
diwaspadai. Tautsiq Ibnu Hibban
terhadap seseorang yang hanya disebutkan pada kitabnya ini berada pada tingkat
yang paling rendah” [Ash-Shaarimul-Munkiy,
hal 92-93].
[17] Banyak ulama berkomentar tentang tasaahul
Al-Haakim rahimahullah ini, di antaranya Az-Za’ilaa’iy rahimahullah
yang berkata :
الحاكم عرف تساهله وتصحيحه للأحاديث الضعيفة بل الموضوعة
“Al-Haakim
telah diketahui tasaahul-nya dan penshahihannya terhadap hadits-hadits dla’iif
dan maudluu’” [Nashbur-Raayah, 1/360].
An-Nawawiy
rahimahullah berkata :
الحاكم متساهل كما سبق بيانه مراراً
“Al-Haakim
adalah mutasaahil sebagaimana berlalu penjelasannya beberapa kali” [Al-Majmuu’,
7/64].
Selain
keduanya, para ulama yang mensifati Al-Haakim dengan tasaahul antara
lain adalah Ibnu Shalaah, Adz-Dzahabiy, Ibnu Taimiyyah, Al-‘Ainiy,
Al-Kasymiiriy, dan yang lainnya.
حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ إِسْحَاقَ التُّسْتَرِيُّ،
ثنا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، ثنا شَبَابَةُ بْنُ سَوَّارٍ، حَدَّثَنِي
أَبُو مَالِكٍ النَّخَعِيُّ، عَنِ الأَسْوَدِ بْنِ قَيْسٍ، عَنْ نُبَيْحٍ
الْعَنَزِيِّ، عَنْ أُمِّ أَيْمَنَ، قَالَتْ: قَامَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ اللَّيْلِ إِلَى
فَخَّارَةٍ فِي جَانِبِ الْبَيْتِ، فَبَالَ فِيهَا فَقُمْتُ مِنَ اللَّيْلِ،
وَأَنَا عَطْشَانَةُ فَشَرِبْتُ مَا فِيهَا، وَأَنَا لا أَشْعُرُ، فَلَمَّا أَصْبَحَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " يَا أُمَّ أَيْمَنَ، قَوْمِي فَأَهْرِيقِي مَا
فِي تِلْكَ الْفَخَّارَةِ ".قُلْتُ: قَدْ
وَاللَّهِ شَرِبْتُ مَا فِيهَا.قَالَتْ: فَضَحِكَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ، ثُمَّ
قَالَ: " أَمَا إِنَّكِ لا تَتَّجِعِينَ بَطْنَكِ أَبَدًا "
أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ كَامِلٍ الْقَاضِي، ثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوْحٍ الْمَدَايِنِيُّ، ثَنَا شَبَابَةُ، ثَنَا أَبُو
مَالِكٍ النَّخَعِيُّ، عَنِ الأَسْوَدِ بْنِ قَيْسٍ، عَنْ نُبَيْحٍ الْعَنَزِيِّ،
عَنْ أُمِّ أَيْمَنَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: قَامَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآَلِهِ وَسَلَّمَ مِنَ اللَّيْلِ إِلَيَّ
فَخَّارَةٍ مِنْ جَانِبِ الْبَيْتِ، فَبَالَ فِيهَا، فَقُمْتُ مِنَ اللَّيْلِ
وَأَنَا عَطْشَى، فَشَرِبْتُ مِنْ فِي
الْفَخَّارَةِ، وَأَنَا لا أَشْعُرُ، فَلَمَّا
أَصْبَحَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآَلِهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: "
يَا أُمَّ أَيْمَنَ، قَوْمِي إِلَى تِلْكَ الْفَخَّارَةِ فَأَهْرِيقِي مَا فِيهَا
"، قُلْتُ: قَدْ وَاللَّهِ شَرِبْتُ مَا
فِيهَا.قَالَ: فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَآَلِهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ، ثُمَّ قَالَ:
" أَمَا إِنَّكِ لا يَفْجَعُ بَطْنُكِ بَعْدَهُ أَبَدًا "
حَدَّثَنَا أَبُو عَمْرِو بْنُ حَمْدَانَ، ثنا الْحَسَنُ
بْنُ سُفْيَانَ، ثنا إِسْحَاقُ بْنُ بُهْلُولٍ، ثنا شَبَابَةُ بْنُ سَوَّارٍ، ثنا
عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ حُسَيْنٍ أَبُو مَالِكٍ النَّخَعِيُّ، عَنِ الأَسْوَدِ بْنِ
قَيْسٍ، عَنْ نُبَيْحٍ العَنَزِيِّ، عَنْ أُمِّ أَيْمَنَ، قَالَتْ: بَاتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فِي
الْبَيْتِ، فَقَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَبَالَ فِي فَخَّارَةٍ، فَقُمْتُ وَأَنَا
عَطْشَى، لَم أَشْعُرْ مَا فِي الْفَخَّارَةِ فَشَرِبْتُ
مَا فِيهَا، فَلَمَّا أَصْبَحْنَا، قَالَ لِي:
" يَا أُمَّ أَيْمَنَ أَهْرِيقِي مَا فِي الْفَخَّارَةِ "، قُلْتُ: وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ شَرِبْتُ مَا فِيهَا، فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ
حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ، ثُمَّ قَالَ: " أَمَا إِنَّهُ لا يَفْجَعُ
بَطْنُكِ بَعْدَهُ أَبَدًا "
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانَ بْنُ أَحْمَدُ، قَالَ: ثنا
الْحَسَنُ بْنُ إِسْحَاقَ، ثنا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، قَالَ: ثنا
شَبَابَةُ بْنُ سَوَّارٍ، قَالَ: ثنا أَبُو مَالِكٍ النَّخَعِيُّ، عَنِ الأَسْوَدِ
بْنِ قَيْسٍ، عَنْ نُبَيْحٍ الْعَنَزِيِّ، عَنْ أُمِّ أَيْمَنَ، قَالَتْ: " قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ مِنَ
اللَّيْلِ إِلَى فَخَّارَةٍ فِي جَانِبِ الْبَيْتِ فَبَالَ فِيهَا، فَقُمْتُ مِنَ
اللَّيْلِ وَأَنَا عَطْشَانَةٌ، فَشَرِبْتُ مَا
فِيهَا وَأَنَا لا أَشْعُرُ، فَلَمَّا أَصْبَحَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: يَا أُمَّ أَيْمَنَ،
قَوْمِي فَأَهْرِيقِي مَا فِي تِلْكَ الْفَخَّارَةِ، قُلْتُ: قَدْ وَاللَّهِ شَرِبْتُ مَا فِيهَا، قَالَتْ: فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ
حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِزُهُ، ثُمَّ قَالَ: أَمَا إِنَّكِ لا تَتَّجِعِينَ بَطْنَكِ
أَبَدًا "
وَقَالَ أَبُو يَعْلَى: ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي
بَكْرٍ، ثَنَا سِلْمُ بْنُ قُتَيْبَةَ، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ حَرْبٍ، عَنْ
يَعْلَى بْنِ عَطَاءٍ، عَنِ الْوَلِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أُمِّ
أَيْمَنَ، قَالَتْ: كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَّارَةٌ يَبُولُ فِيهَا، فَكَانَ إِذَا أَصْبَحَ يَقُولُ:
" يَا أُمَّ أَيْمَنَ، صُبِّي مَا فِي الْفَخَّارَةِ "، فَقُمْتُ
لَيْلَةً وَأَنَا عَطْشَى، فَشَرِبْتُ مَا فِيهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "
يَا أُمَّ أَيْمَنَ، صُبِّي مَا فِي الْفَخَّارَةِ "، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، قُمْتُ وَأَنَا عَطْشَى، فَشَرِبْتُ مَا
فِيهَا، قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
" إِنَّكِ لَنْ تَشْتَكِي بَطْنَكِ بَعْدَ يَوْمِكِ هَذَا أَبَدًا "
وقال الحافظ أبو يعلى ثنا محمد بن أبي بكر المقدمي ثنا سلم
بن قتيبة عن الحسين بن حرب عن يعلى بن عطاء عن الوليد بن عبد الرحمن عن أم أيمن
قالـت: كان لرسول الله فخارة يبول فيها، فكان إذا أصـبح يقول:
«يا أم أيمن، صبي ما في الفخارة». فقمت ليلة وأنا عطشى فشربت ما فيها، فقال رسول الله:
«يا أم أيمن، صبي ما في الفخارة». فقالت: يا رسول الله، قمت وأنا عطشى فشربت ما فيها. فقال: «إنك لن تشـتكي
بطنك بعد يومك هذا أبدًا».
أَخْبَرَتْنَا أُمُّ الْمُجْتَبَى فَاطِمَةُ بِنْتُ
نَاصِرٍ، قَالَتْ: قُرِئَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ بْنِ مَنْصُورٍ، أَنَا أَبُو بَكْرِ
بْنُ الْمُقْرِئِ، أَنَا أَبُو يَعْلَى، نَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي بَكْرٍ
الْمُقَدِّمِيُّ، نَا سَلْمُ بْنُ قُتَيْبَةَ، عَنِ الْحُسَيْنِ بْنِ حُرَيْثٍ،
عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطَاءٍ، عَنِ الْوَلِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أُمِّ
أَيْمَنَ، قَالَتْ: كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَخَّارَةٌ يَبُولُ فِيهَا، فَكَانَ إِذَا أَصْبَحَ، يَقُولُ:
" يَا أُمَّ أَيْمَنَ صُبِّي مَا فِي الْفَخَّارِ "، فَقُمْتُ لَيْلَةً
وَأَنَا عَطْشَى، فَغَلِطْتُ فَشَرِبْتُ مَا
فِيهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ
وَسَلَّمَ: " يَا أُمَّ أَيْمَنَ صُبِّي مَا فِي الْفَخَّارَةِ "،
فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، قُمْتُ وَأَنَا عَطْشَى فَشَرِبْتُ مَا فِيهَا،
فَقَالَ: " إِنَّكِ لَنْ تَشْتَكِيَ بَطْنَكَ بَعْدَ يَوْمِكِ هَذَا "
قَالَ أَبُو يَعْلَى الْمَوْصِلِيُّ: ثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ أَبِي بَكْرٍ، ثَنَا سَلْمُ بْنُ قُتَيْبَةَ، عَنِ الْحُسَيْنِ بْنِ
حُرَيثٍ، عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطَاءٍ، عَنِ الْوَلِيدِ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ، عَنْ أُمِّ أَيْمَنَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ
فَخَّارَةٌ يَبُولُ فِيَهَا، فَكَانَ إِذَا أَصْبَحَ، يَقُولُ: " يَا أُمَّ
أَيْمَنَ، صُبِّي مَا فِي الْفَخَّارَةِ "، فَقُمْتُ لَيْلَةً وَأَنَا
عَطْشَى، فَغَلِطْتُ، فَشَرِبْتُ مَا فِيهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ: "
يَا أُمَّ أَيْمَنَ صُبِّي مَا فِي الْفَخَّارَةِ "، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، قُمْتُ وَأَنَا عَطْشَى فَشَرِبْتُ مَا
فِيهَا، قَالَ: " إِنَّكِ لَنْ تَشْتَكِي
مِنْ بَطْنِكِ بَعْدَ يَوْمِكِ هَذَا أَبَدًا "
[26] Sebagian
orang-orang shufi yang ghulluw pecinta khurafat mengqiyaskan hal
tersebut pada wali atau pemimpin thariqat mereka sehingga anggota tubuh
mereka – termasuk air kencing dan kotorannya – pun dianggap suci dan boleh
bertabarruk dengannya.
Begitu pula sebagian orang-orang Syi’ah yang
tergopoh-gopoh membawakan riwayat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di
atas dan pendapat sebagian ulama yang berpendapat sucinya air kencing beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam; untuk beretorika dan membela sikap ghulluw mereka
terhadap para imam mereka, dengan menganggap : air kencing dan kotoran imam adalah
suci ! barangsiapa yang minum air kencingnya dan memakan kotorannya, laik
masuk surga dan haram dijilat api neraka [silakan baca artikel
ini]. Wallaahul-musta’aan……
Comments
Assalamu'alaikum ustadz,
artikel yang bermanfaat, tapi ada sedikit ganjalan dengan pilihan gambarnya, ana usul supaya gambarnya diganti ustadz. Soalnya kok jelas sekali itu gambar seorang wanita ya ?
Barakallaahufiykum.
Wa'alaikumus-salaam. Terima kasih masukannya. Sudah saya ganti.
Assalamu'alaykum
Ustadz coba kutipkan ulama hadits mana yang mengatakan bahwa Hukaimah bin Umaimah, majhuul. Sedangkan sudah diketahui bahwa Hukaimah bin Umaimah adalah anaknya dari Umaimah binti Raqiyah. Sedangkan Hafiz Ibn Hajar tidak mengatakan Majhul
[ 2765 ] د س أبي داود والنسائي حكيمة بنت أميمة روت عن أمها أميمة بنت رقيقة وعنها بن جريج قلت وذكرها بن حبان في الثقات
Bagaimana bisa dikatakan Majhul sedangkan Imam Dawud, Imam Tirmidzi, Imam Hakim, Imam Nasa'i, Abu Dawud meriwayatkan hadits dari Beliau.
Syekh Al-Bani pun mengatakan bahwa mayoritas ulama hadits menshahihkan riwayat tersebut.
Termasuk Hafiz Suyuti, Ibn Hiban, Al-Hakim. Imam Haytami juga mengatakan bahwa Hukaimah binti Umaymah adalah tiqat.
رواه الطبراني ورجاله رجال الصحيح غير عبد الله بن أحمد بن حنبل وحكيمة وكلاهما ثقة (majma' al-zawaid).
Dan sepertinya antum kurang berilmu dalam hal ini.
Wallahu 'alam
Majhul yang dimaksud bukan majhul secara bahasa. Coba antum pelajari dulu apa istilah majhuul dalam ilmu hadits. Atau, silakan baca artikel : Perawi Majhul.
Di atas saya sudah kemukakan penghukuman Ibnu Hajar terhadap Hukaimah. Silakan juga buka kitab Lisaanul-Miizaan dimana Ibnu Hajar mengatakan : "tidak diketahui". Sebelumnya, Adz-Dzahabiy dalam Miizaanul-I'tidaal juga mengatakan : "ghairu ma'ruuf". Sekali lagi, tentu yang dimaksud bukan secara bahasa.
Adapun Al-Haitsamiy yang mengatakan Hukaimah adalah tsiqah, ini adalah kekeliruannya. Al-Haitsamiy termasuk muta'akhkhiriin yang tautsiqnya perlu merujuk pada mutaqaddimiin.
Tautsiq Ibnu Hibbaan dan Al-Haakim pun telah saya jelaskan. Adapun As-Suyuuthiy, bersamaan dengan keluasan ilmunya, ia termasuk orang yang sangat longgar dalam menshahihkan hadits-hadits lemah. Diantara yang mengatakan itu adalah Al-Munaawiy, 'Abdul-Fattah Abu Ghuddah, Ahmad bin Shiddiq Al-Ghummariy, dan yang lainnya.
Adapun Al-Albaaniy, beliau adalah ulama besar. Namun saya tidak mengikatkan diri saya harus mengikuti semua penghukumannya.
As-salam Ustaz...
Bagaimana pula dengan kesahihan hadith seorang sahabat meminum darah bekam nabi s.a.w.?
Apabila yang dimaksud adalah 'Abdullah bin Az-Zubair, maka Asy-Syaikh Muqbil menjelaskan kisah itu tidak benar/tidak shahih :
http://www.youtube.com/watch?v=skEYpZRgecw.
Wallaahu a'lam.
assalamualaikum, saya tidak tahu bagaimana bisa apa yang disahihkan oleh al-Hakim tidak diterima hanya dengan alsan tasahul. berarti semua hadis yang disahihkan beliau tidak berguna karena tidak dapat dijadikan dalil...! lalu apa jadinya....?
bukankah tiap Imam Hadis itu punya standar sendiri dalam menentuka kriteria hadis shahih? dalam menentukan hadis sahih itu bersifat subyektif. apa yang ustadz nilai sahih belum tentu sahih bagi orang lain. lagian bukankah mereka ulama salaf sedangkan ustadz ulama khalaf? mana yang lebih pantas diikuti? selain itu ada kaidah fiqhiyah mengatakan:
الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد
Wa'alaikumus-salaam.
Tentu saja, tidak semua yang dishahihkan oleh Al-Haakim menjadi batal, tapi mesti dikembalikan pada kaedah. Dikembalikan lagi pada alasannya. Bukankah sudah saya sebutkan alasannya di atas (yaitu majhul-nya Hukaimah ?.
Benar, bahwasannya tiap-tiap ulama mempunyai ijtihad masing-masing. Tapi masing-masing ijtihad itu perlu ditimbang dan dinilai. Bukankah hampir semua ulama sepakat melemahkan pendapat Ibnu hazm yang menihilkan qiyas ?.
Saran saya, mari kita pelajari ilmu hadits. Kita buka-buka itu kitabnya Ibnu Shalah, Ibnu Katsiir, Ibnu Hajar, atau Adz-Dzahabiy. Saya yakin, setelah kita baca dan pahami, insya Allah, banyak hal yang kita dapatkan dari situ.
Assaalamu'alaykum Ustadz
Ustadz coba anda kutipkan di sini perkataan Hafiz Ibn Hajar di dalam Lisan al-Mizan apakah Hafiz Ibn Hajar mengatakan 'MAJHUL' ?
Lalu anda mengutip perkataan Hafiz Dzahabi di dalam miizanul i'tidal, tetapi anda lupa Hafiz Dzahabi MENASHAHIHKAN Hadits di atas.
Ustadz sepertinya pengertian Majhul yang anda kutip melalui Hafiz Ibn Hajar tidak sesuai dengan kriteria Ibn Hajar terhadap periwayat Majhul.
Hukaimah binti Umaimah salah satu periwayat di dalam kitab Abu Dawud, Nisa'i, Bayhaqi, dan ulama hadits lainnya. Sedangkan menurut Hafiz Ibn Hajar periwyat majhul hanya meriwayatkan sedikit hadits dan tidak banyak periwayat hadits yang meriwayatkan darinya.
Dan juga Hukaimah binti Umaimah di tsiqatkan oleh Ibn Hibban dan ini juga tidak masuk kriterai majhul oleh Hafiz Ibn Hajar.
Lebih baik anda membaca lagi artikel yang anda buat.
Banyak ulama hadits yang menshahihkan hadits tersebut : Hafiz Ibn Hibbah, Hafiz Dzahabi, Hafiz Suyuti, Imam Hayatami. Bahkan ulama hadits panutan ente ketika mentahqiq kitab Shahih Ibn Hibban mengatakan hadits ini Hasan sahih.
Coba ente tulis di sini ulama hadist sekaliber mereka di atas yang mendhoifkan riwayat hadits dari Huaimah binti Umaimah.
Dan satu hal lagi kutipkan di sini perkataan Hafiz Ibn Hajar yang mengatakan bahwa Hukaimah binti Umaihmah adalah MAJHUL dan dhoif.
Dan ingat Imam Malik rah mengatakan bahwa kotoran para Nabi itu suci.
Kami harap anda lebih jujur di dalam hal ini, karena kesalahan anda akan diikuti oleh orang lain, dan akan menerima dosa atas hal itu.
Wassalamu'alaykum
Wa'alaikumus-salaam.
Saya sarankan Anda belajar lebih giat ilmu hadits. Mulailah dari kitab-kitab dasar yang tipis-tipis. Kelihatan sekali Anda belum baca kitab At-Taqriib, Al-Lisaan, dan Al-Miizaan ya ?. Tapi berikut saya sebutkan, barangkali ada manfaatnya bagi Anda agar tak melantur kemana-mana :
At-Taqriib :
حكيمة بنت أميمة لا تعرف من الثالثة د س
Al-Lisaan :
حكيمة بنت أميمة عن أمها وعنها بن جريج لا تعرف
Al-Miizaan :
حكيمة بنت (1) أميمة [ د، س ] بنت رقيقة، عن أمها، كان للنبى صلى الله عليه وسلم قدح يبول فيه من الليل، فهى غير معروفة.
روى عنها هذا ابن جريج بصيغة عن /.
Semoga Anda dapat paham.
Adapun misalnya ada kontradiksi (misalnya) antara tashhih Adz-Dzahabiy dan penghukumannya atas Hukaimah dengan ghairu ma'ruuf - yang ini ekuivalen dengan majhuul sehingga menkonsekuesikan hadits itu dla'if; maka itu meski dikembalikan pada perkataannya yang kedua. Mengapa ?. Karena itu lebih jelas dan rinci. Penghukuman satu hadits itu di antaranya dibangun atas penilaian atas diri perawi. Bagaimana bisa dikatakan shahih sementara perawinya ia hukumi tidak ma'ruuf (majhuul) ?.
Wahm Adz-Dzahabiy seperti ini banyak. Bisa Anda baca pada komentarnya atas Mustadrak-nya Al-Haakim.
Tashhih hadits itu bukan hanya berdasarkan katanya dan katanya, tapi mesti dikembalikan pada kaedah. Kalau Anda tidak paham, makanya belajar.....
Assalamu'alaykum
Ustadz terimakasih atas kutipannya. Kami juga punya kitab Lisan al-Mizan. Ustadz kami memang orang bodoh, tetapi kami JUJUR. Ustadz di dalam artikel Ustadz sendiri yang menjelaskan perawi Majhul disebutkan bahwa tidak semua perawi Majhul ditolak riwayat haditsnya. Seperti yang dikatkan oleh Hafiz Ibn Hajar : :Ibnu Hajar rahimahullah melanjutkan :
“Apabila perawi disebutkan namanya, dan hanya ada seorang perawi bersendirian meriwayatkan darinya, maka ia majhuul al-‘ain. Statusnya seperti mubham (yaitu riwayatnya tidak diterima), kecuali jika ia ditsiqahkan oleh selain orang yang bertafarrud meriwayatkan darinya, menurut pendapat yang paling benar; atau ditsiqahkan oleh orang yang bertafarrud meriwayatkan darinya, jika ia seorang ulama ahli naqd/al-jarh wat-ta’diil."
Sedangkan Ustadz mengetahui bahwa Huakaimah binti Umaymay di Tsiqah kan oleh Hafiz Ibn Hibban. Dan berarti menurut Kriteria Hafiz Ibn Hajar bahwa riwayat dari Hukaimah ini bisa DITERIMA.
Dan Ustadz apakah anda merasa LEBIH BAIK dan LEBIH PINTAR dari Hafiz Ibn Hibban, Imam Suyuthi, Imam Haytami, Hafiz Ibn Hibban, Hafiz Dzahabi, Syekh Al-Bani.
Kalau anda mau jujur, harusnya anda mengakui bahwa hadits ini Shahih. Penilaian Hafiz Dzahabi bahwa Hukaimah tidaklah dikenal, tidaklah mengakibatkan hdits tersebut diTOLAK, karena menurut Hafiz Dzahabi kriteria Untuk Diterima hadits tersebut sudah memenuhi syarat.
Ustadz kami harap anda mau JUJUR dan mengakui KESALAHAN anda.
Silahkan baca lagi artikel anda tentang "Periwayat Majhul"
Dan lagi Ustadz ini bukan masalah "Katanya-Katanya" tetapi masalah KEILMUAN. Sekarang sebutkan ULAMA HADITS yang seKALIBER mereka di atas yang mendhoifkan hadits tersebut, selain USTADZ ? Kalau tidak ada lebih baik ustadz ISTIGHFAR.
Wallahu 'alam
Wa'alaikumus-salaam.
Oleh karena itu, saya sarankan Anda untuk belajar ilmu mushthalah hadits, karena nampak Anda (seakan-akan) belum pernah mendalami ilmu itu sebelumnya.
Bagaimana saya akan mengakui salah sementara saya tidak merasa salah. Hukaimah hanya ditsiqahkan oleh Ibnu Hibbaan saja, sedangkan ia masyhur bermudah-mudahan dalam mentautsiq perawi majhuul. Selain itu hanya ada satu perawi yang meriwayatkan darinya (Ibnu Juraij). Atau dalam sebagian riwayat ada dua. Maka yang seperti ini statusnya kalau nggak majhuul 'ain ya majhuul haal. Tidak lebih tinggi dari majhuul haal. Jahaalatul-haal Hukaimah itu tidak terangkat dengan tautsiq Ibnu Hibbaan. Apalagi Al-Haakim yang lebih tasaahul darinya. Tashhiih Adz-Dzahabiy itu mesti dikembalikan pada kaedahnya dan keberadaan taitsiq mutaqaddimiin. Tidak dikenal itu ya majhuul, tidak ada penetapan 'adalah terhadap perawi itu. Kok Anda malah mengatakan diterima (tidak ditolak)... Gimana si Anda ini.
Makna ditsiqahkan oleh ahli naqd itu maksudnya ahli naqd mutaqaddimiin, semisal : Ahmad, An-Nasaa'iy, Ibnu Ma'iin, dan yang semisalnya.
Anyway,... sekali lagi, saya persilakan untuk belajar kembali.
Assalamu'alaykum
Sekarang kami ingin mengomentari hadits diriwayatkan oleh Ummu Ayman bagaimana ulama hadist menilai riwayat ini :
1. Daruquthni.
Di dalam kitabnya Syarah Al-Muhadzab Imam Nawawi menjelaskan bahwa :
رواه الدار قطني وقال: "هو حديث حسن صحيح." وذلك كاف في الاحتجاج لكل الفضلات قياساً
Al Daruquthni berkata, “Hadits tentang perempuan yang minum air seni Nabi ini statusnya hasan shahih. Dan hal ini secara analogi cukup dijadikan sebagai argumen akan kesucian segala sesuatu yang dikeluarkan oleh tubuh Nabi.
2. Imam Nawawi
Imam Al-Zurqani di dalam kitabny Al-Mawahib al-Ludunyah menjelaskan bahwa Imam Nawawi mengatakan hadist ini HASAN SHAHIH, hal ini berdasarkan pendapat keshahihn dari al-Daruquthni
3. Qadi Iyadh
Al-Qadi Iyadh di dalam kitabnya Assyifa mengatakan hadits tersebut SHAHIH, dengan memperimbangkan penilaian Daruquthni yang mengshahihkan hadits tersebut dengan berdasarkan kriteria Bukhari dan Muslim.
وأن المرأة شربت بول الرسول (ص) فقال لها : لا تشتكي وجع بطنك أبدا حديث صحيح ]أخرجه الدارقطني ، وألزم البخاري ومسلما إخراجه في الصحيح
4. Mulla Ali Qari
Mulla Ali Qari menilai hadits tersebut Shahih. dan Belia mengutip perkataan Ibn Hajar : "Ibn Hajar berkata, banyak ulama-ulama salaf mengatakan bahwa kotoran Nabi shallallahu 'alahi wa salam SUCI berdasarkan hadits ini :
Wallahu 'alam
Wassalamu'alaykum
Kalau mau mengutip perkataan Ad-Daaraquthniy, ya yang valid dari kitabnya Ad-Daaraquthniy. Di atas sudah saya sebutkan perincian pembahasannya. Saya kira, tak perlu saya tanggapi banyak-banyak.
Assalamu'alaykum
Jadi pembaca blog Abul Jauza bisa menimbang dan menilai apakah Imam Nawawi yang mengambil pendapat Imam Daruqutni dan Juga Qadi Al-Iyad yang juga mengambil pendapat Imam Daruqutni tentang hadits yang kami sebutkan dan mengatakan Imam Daruqutni menyatakan HASAN SHAHIH.
Apakah itu benar atau tidak silahkan baca kitab-kitab mereka.
Siapa yang JUJUR di sini. Abul Jauza kan ? ataukah Imam Nawawi dan Qadi al-Iyad.
Dan silahkan siapa yang mau memakai penapat Abul Jauza ataukah Imam Nawawi ataukah Qadi al-Iyyad
Semoga orang-orang yang PINTAR yang membaca blog ini mengerti apa yang harus diambil, dan apa yang tidak.
Wallahu 'alam
Kalau mau sekedar taqlid, ya silakan saja. Tentang perkataan Ad-Daaraquthniy yang disitir An-Nawawiy kan perlu diteliti, bukan langsung ditelan mentah-mentah. Di atas saya sudah membawakan perkataan Ad-Daaraquthniy yang menta'lil riwayat tersebut dalam kitab Al-'Ilal.
Saya rasa apa yang saya tulis sudah saya rincikan.
saya pernah berkata dan bermaksud bergurau dengan berkata ; jika ibu x(tetangga) memakai jilbab, saya akan makan kotorannya. Waktu itu saya n teman sedang membicarakan ibu x(tetangga)yg suka berpakaian agak terbuka,kmudian ada yg mengatakan bgmn seandenya ibu x pake jilbab, saya kemudian menyela,seandeny ibu x pake jilbab, saya akan makan kotorannya,.namun itu semua hanya dalam konteks bercanda. Skarang ibu x dalam keseharianny memakai jilbab. Bagaimana dg perkataan saya dulu,padahal itu hal yg amat menjijikkan bila dilakukan n tidak mmungkin dilakukan, saya juga menyesal asal bicara sembarangan, namun saya pernah membaca bahwa semua nazar wajib dilakukan?
sebagian orang yang berpendapat air kencing Rasulullah najis mungkin karena ulama mereka umumnya menfatwakan seperti itu, padahala pada masalah ini ulama masih berbeda pendapat, tetapi kebanyakan ulama menyatakan tergolong khususiah Rasulullah Salallahualaihwasallam adalah bahwa air iar kencing beliau adalah halal. fatwa yang menanjiskan sebagi berikut: سألت شيخنان عن بعض من ألف في الخصائص النبوية، قال: إن بوله طاهر عليه الصلاة والسلام؟
الجواب: قال الشيخ: لم يصح في هذا شيء ؛ الخصائص لا تثبت إلا بالنص.
«از استاد ما از برخي کساني که کتاب در باره خصائص پيامبر نوشتهاند و گفتهاند که بول آن حضرت پاک است؟
جواب داد : هيچ روايت صحيحي در اين زمينه نيست و خصائص تنها با نص قابل اثبات است».
مسائل الإمام إبن باز ، المجموعة الأولي ، ص33 ، سؤال 15 .
Ya Ustadz Abul Jauzaa',,, begini aja :Methode yang antum terapkan untuk menjarh dan menta'dil seorang tokoh itu yang antum pake methode siapa ??? Versi Ibnu Hibban kah ?? Ibnu Hajar kah ?? Al Hakim kah ??? Ato siapa ??? Karena kalo antum menggunakan methode gado2 maka urusan STATUS perowi ini akan amburadul satu sama lain,,, Bagaimana ????
Jawabannya ada di artikel.
madzhab hanifahah
الكتاب : حاشية رد المختار على الدر المختار شرح تنوير الأبصار فقه أبو حنيفة
المؤلف : ابن عابد محمد علاء الدين أفندى
الناشر : دار الفكر للطباعة والنشر.
سنة النشر : 1421هـ - 2000م.
مكان النشر : بيروت.
عدد الأجزاء : 8
Juz 1 hal 138
مطلب في طهارة بوله صلى الله عليه وسلم ( تنبيه ) صحح بعض أئمة الشافعية طهارة بوله وسائر فضلاته وبه قال أبو حنيفة كما نقله في المواهب اللدنية عن شرح البخاري للعيني وصرح به البيري في شرح الأشباه
وقال الحافظ ابن حجر تظافرت الأدلة على ذلك وعد الأئمة ذلك من خصائصه
ونقل بعضهم عن شرح المشكاة لمنلا على القاري أنه قال اختاره كثير من أصحابنا وأطال في تحقيقه في شرحه على الشمائل في باب ما جاء في تعطره عليه الصلاة والسلا
Mazhab malikiah
الكتاب : بلغة السالك لأقرب المسالك
المؤلف : أحمد الصاوي
تحقيق ضبطه وصححه: محمد عبد السلام شاهين
الناشر : دار الكتب العلمية
سنة النشر : 1415هـ - 1995م
مكان النشر : لبنان/ بيروت
عدد الأجزاء : 4
Juz: 1 hal 33
وذكر فى مجموعة أيضاً : أن فضلات الأنبياء طاهرة حتى بالنسبة لهم لأن الطهارة متى ثبتت لذات فهى مطلقة ، واستنجاؤهم تنزيه وتشريع ولو قبل النبوة ، وأن كان لا حكم أذ ذاك كالعصمة لاصطفائهم من أصل الحلقة . وأن المنى الذى خلقت منه الأنبياء طاهر بلا خلاف . بل جميع ما تكون منه أصول المصطفى طاهر أيضا 16 ( اه )
Madzhab hambaliah
الكتاب : مطالب أولي النهى في شرح غاية المنتهى
المؤلف : مصطفى بن سعد السيوطي الرحيبانى (المتوفى : 1243هـ)
Juz 4 hal 307
وَلِأَنَّ فَضَلَاتِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّهَا طَاهِرَةٌ .
juz 1 hal 353
( وَمَحَلُّ ذَلِكَ ) - أَيْ : مَا تَقَدَّمَ - فِيمَا إذَا وَجَدَ نَائِمٌ وَنَحْوُهُ بَلَلًا : ( فِي غَيْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَنَّهُ لَا يَحْتَلِمُ ) ، لِأَنَّهُ لَا يَنَامُ قَلْبُهُ ، وَلِأَنَّ الْحُلُمَ مِنْ الشَّيْطَانِ ، وَهُوَ مَحْفُوظٌ مِنْهُ ، ( وَمَنِيُّهُ وَغَيْرُهُ ) مِنْ فَضَلَاتِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ( طَاهِرٌ ) فَلَا يَلْزَمُهُ تَطْهِيرُ مَا أَصَابَهُ مِنْهَا
Madzhab syafiiah
الكتاب : الإقناع في حل ألفاظ أبي شجاع
تأليف : شمس الدين محمد بن أحمد الشربينى الخطيب القاهرى الشافعي
Hal 454 ju 2
أن شعره صلى الله عليه وسلم طاهر على المذهب وإن نجسنا شعر غيره وأن بوله ودمه وسائر فضلاته طاهرة على أحد الوجهين
الكتاب : الفتاوى الكبرى الفقهية
المؤلف : شهاب الدين أحمد بن محمد بن علي بن حجر الهيتمي السعدي الانصاري
ت : 974 هـ
الناشر : دار الفكر
عدد الأجزاء :
Juz 4 hal 117
وَسُئِلَ عَمَّا اُعْتِيدَ من قَوْلِ الْإِنْسَانِ لِمَنْ يَفْرُغُ من شُرْبِهِ صِحَّةً أو نَحْو ذلك هل له أَصْلٌ أو هو بِدْعَةٌ فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ يُمْكِنُ أَنْ يُقَالَ أَنَّ له أَصْلًا وَيُحْتَجُّ له بِقَوْلِهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم لِأُمِّ أَيْمَنَ لَمَّا أَنْ شَرِبَتْ بَوْلَهُ صلى اللَّهُ عليه وسلم صِحَّةً يا أُمّ أَيْمَنَ لَنْ تَلِجَ النَّارُ بَطْنَك وَوَجْهُ الْقِيَاس أَنَّ الْمُخْتَارَ عِنْد كَثِيرٍ من أَئِمَّتِنَا طَهَارَةُ فَضَلَاتِهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم وَأَنَّ بَوْلَهُ شِفَاءٌ أَيُّ شِفَاءٍ
الكتاب : تُحْفَةُ الْحَبِيبِ عَلَى شَرْحِ الْخَطِيبِ (( حاشية البجيرمي على الخطيب ))
المؤلف : سليمان بن عمر بن محمد البجيرمي (المتوفى : 1221هـ)
Juz 3 hal 125
قَوْلُهُ : ( تَحُكُّ الْمَنِيَّ ) أَيْ مَنِيَّهَا أَوْ الْمُخْتَلَطَ مَنِيُّهُمَا مَعًا ق ل ؛ لِأَنَّهُ كَانَ مَعْصُومًا مِنْ الِاحْتِلَامِ بِنَاءً عَلَى أَنَّهُ مِنْ الشَّيْطَانِ ، فَانْدَفَعَ مَا يُقَالُ : إنَّ هَذَا لَا يَدُلُّ عَلَى طَهَارَةِ مَنِيِّ الْآدَمِيِّ ؛ لِأَنَّ فَضَلَاتِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَاهِرَةٌ .
الكتاب : حاشية البجيرمي على المنهاج
المؤلف : سليمان بن محمد البجيرمي (المتوفى : 1221هـ
Juz 1 hal 232
( قَوْلُهُ : جَوَّزَهُ حَيْثُ فَعَلَهُ ) فِيهِ أَنَّ فَضَلَاتِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ طَاهِرَةٌ وَمِثْلُهُ بَقِيَّةُ الْأَنْبِيَاءِ ، ثُمَّ رَأَيْت سم قَالَ يَنْبَغِي أَنَّ مَحَلَّ وُجُوبِ الِاسْتِنْجَاءِ فِي حَقِّ غَيْرِ نَبِيِّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَنَّ فَضَلَاتِهِ طَاهِرَةٌ وَإِنَّمَا كَانَ يَفْعَلُهُ لِلتَّنَزُّهِ وَبَيَانِ الْمَشْرُوعِيَّةِ
الكتاب : حاشية البجيرمي على المنهاج
المؤلف : سليمان بن محمد البجيرمي (المتوفى : 1221هـ
Juz 1 hal 413
( قَوْلُهُ عَنْ عَائِشَةَ إلَخْ ) وَمِنْ الْمَعْلُومِ أَنَّهُ كَانَ مُخْتَلِطًا بِمَنِيِّ إحْدَى زَوْجَاتِهِ لِأَنَّهُ كَانَ مَعْصُومًا مِنْ الِاحْتِلَامِ بِنَاءً عَلَى أَنَّهُ مِنْ الشَّيْطَانِ وَعَلَى فَرْضِ أَنْ يَكُونَ مِنْ مَنِيِّهِ وَحْدَهُ وَقُلْنَا بِطَهَارَةِ فَضَلَاتِهِ فَالْمُرَادُ بِفَضَلَاتِهِ الَّتِي قَامَ الدَّلِيلُ عَلَى طَهَارَتِهَا الْبَوْلُ وَالْغَائِطُ وَالدَّمُ وَنَحْوُهَا ، وَأَمَّا الْمَنِيُّ فَلَمْ يَقُمْ الدَّلِيلُ عَلَى طَهَارَتِهِ ، وَلَا يَجُوزُ الْحَمْلُ عَلَى الْخُصُوصِيَّةِ إلَّا بِدَلِيلٍ فَيَكُونُ حُكْمُهُ فِيهِ كَحُكْمِنَا ، وَفِيهِ أَنَّ هَذَا لَا يَنْهَضُ إلَّا إنْ امْتَنَعَ الْقِيَاسُ ح ل وَهُوَ غَيْرُ مُمْتَنِعٍ بَلْ أَوْلَوِيٌّ ح ف ، أَوْ يَقُولُ : هَذَا الِاسْتِدْلَال مَبْنِيٌّ عَلَى الْقَوْلِ الضَّعِيفِ بِأَنَّ فَضَلَاتِهِ غَيْرُ طَاهِرَةٍ
الكتاب : حاشية البجيرمي على المنهاج
المؤلف : سليمان بن محمد البجيرمي (المتوفى : 1221هـ)
Juz 16 hal 88
وَجْهُ التَّبَرِّي أَنَّهُ لَيْسَ هُنَا مُخَامَرَةُ نَجَاسَةٍ ؛ لِأَنَّ فَضَلَاتِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ظَاهِرَةٌ
ibnu hajar al-asqolani (fathul bari juz 1 hal 272:
وقد تكاثرت الادله على طهارة فضلاته وعد الأئمة ذلك في خصائصه فلا يلتفت إلى ما وقع في كتب كثير من الشافعية مما يخالف ذلك فقد استقر الأمر بين ائمتهم على القول بالطهاره
kitab nizom al hukumah an nabawiyah karangan muhamad al-katani: juz 1 hal 108-110:
هل كانوا يهنئون الشارب في الزمن النبوي
عن ابن جريج قال أخبرت أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يبول في قدح من عيدان وهي الطوال من النخل ثم توضع تحت سريره فجاء فإذا القدح ليس فيه شيء فقال لإمرأة يقال لها بركة كانت تخدم أم حبيبة جاءت معها من أرض الحبشة أين البول الذي كان في القدح قالت شربته قال صحة يا أم يوسف فما مرضت قط حتى كان مرضها الذي ماتت فيه رواه عبد الرزاق في مصنفه وأبو داوود متصلا عن ابن جريج عن حكيمة عن أمها أميمة وصحح ابن دحية أنهما قصتان وقعتا لإمرأتين وقد وضح أن بركة أم يوسف غير بركة أم أيمن وهوالذي ذهب إليه البلقيني
قلت
وحكيمة المذكورة بضم الحاء المهملة وفتح الكاف مصغر كما في التبصير وغيره تابعية وفي الإصابة عن أبي نعيم لم يرو عنها إلا ابن جريج ونحوه في مختصر التهذيب فإنه لم يذكر لها راويا سواه وفي مرقاة الصعود للسيوطي لم ترو حكيمة إلا عن ابن جريج زاد الذهبي روى عنها بصيغة عن أي وهو مدلس فيتقي من حديثه ما عنعن فيه وكذا لأبي داوود وأبي نعيم لاكن في الإستيعاب وجامع الرعيني بصيغة التحديث فإن ثبت فلم يبق إلا الجهل بحكيمة فقد قال الذهبي في الميزان في ترجمة حكيمة غير معروفة قال الزرقاني المالكي عن قوله صلى الله عليه وسلم لها صحة بكسر الصاد والنصب أي جعله الله صحة أو الرفع أي ما شربته صحة أي سبب لها
وفيه إن قول ذلك مستحب للشارب ويقاس عليه الأكل وحكمته أنه يخشى منهما السقم ونحوه كما قيل
( فإن الداء أكثر ما تراه ** يكون من الطعام أو الشراب ) هـمنه
وقال الشهاب الخفاجي في شرح الشفا على الحديث المذكور مانصه في قوله صلى الله عليه وسلم صحة ما يدل على أن الدعاء به بعد الشرب سنة لا بدعة هـ
ثم وجه بما سبق عن الزرقاني وأنشد البيت المذكور أيضا
lanjutkan:
وفي حاشية النور على الشبراملسي على المواهب على قوله صحة أيضا يؤخذ منه أن قول صحة سنة وينبغي أن يكون مثل الشرب الأكل هـ
وقال الإمام أبو عبد الله محمد بن الحاج العبدري المالكي في المدخل قول صحة لمن يفرغ من الشرب وإن كان دعاء حسنا فإتخاذه عند الشرب بدعة فإن قيل إن النبي صلى الله عليه وسلم قال لأم أيمن لما أن شربت بوله صحة فهذا ليس فيه حجة فإنه لم يكن ثم ماء يشرب وإنما هو البول وهو إذا شرب عاد بالضرر فقال صلى الله عليه وسلم صحة لينفي عنها ما تتوقعه مما جرت به العادة من بول غيره بخلاف شرب الماء
ويدل على ذلك أنه لم ينقل عنه صلى الله عليه وسلم هذا اللفظ في غير هذا الموطن ولا عن أحد من الصحابة والسلف فلم يبق إلا أن يكون بدعة هـ
وهو وجيه إلا أن آداب الإسلام لا تنافي التهنئة بالشراب والأكل
وقول صحة للشارب جرت مجرى الليل والنهار في المغرب الأوسط حتى ربما كنت أستثقل هناك الشراب لأجل تهافتهم على تهنئة الشارب بها من أفواه جميع من حضر
وفي الحجاز ومصر يقولون هنيئا مريئا
وربما يقام لهم الدليل على ذلك من حكايته سبحانه عن تهنئة أهل الجنة لمن يأكل فيها من الداخلين ! ( كلوا واشربوا هنيئا بما أسلفتم في الأيام الخالية ) !وقد رأيت في رحلة عالم المغرب الأوسط الشيخ أبي رأس المعسكري أنه لما دخل إلى فاس حضر وليمة بها فشرب بعض الطلبة بمحضره قال فبادرته بلفظ صحة فضحك مني من حضر حتى قرعت سن الندم ثم قلت ماسندكم في الترك فقالوا تلك عادتنا فقلت تستدلون بنقل على ذلك فقالوا بأجمعهم وأي نقل في هذا فقلت إن شهاب الدين الخفاجي نص على السنة وصاحب المدخل على عكسه وكان الشيخ الطيب بن كيران متكئا ولما سمع النقل استوى كإستواء المأمون لما لحنه النضر بن شميل وقال أيوجد النقل علي ذلك والإختلاف على ما هنالك فقلت نعم وأحلتهم على كلام الشهاب والمدخل قال فاعترفوا بفضلي وبصحة نقلي هـكلامه ملخصا
lanjutkan:
وفي حاشية النور على الشبراملسي على المواهب على قوله صحة أيضا يؤخذ منه أن قول صحة سنة وينبغي أن يكون مثل الشرب الأكل هـ
وقال الإمام أبو عبد الله محمد بن الحاج العبدري المالكي في المدخل قول صحة لمن يفرغ من الشرب وإن كان دعاء حسنا فإتخاذه عند الشرب بدعة فإن قيل إن النبي صلى الله عليه وسلم قال لأم أيمن لما أن شربت بوله صحة فهذا ليس فيه حجة فإنه لم يكن ثم ماء يشرب وإنما هو البول وهو إذا شرب عاد بالضرر فقال صلى الله عليه وسلم صحة لينفي عنها ما تتوقعه مما جرت به العادة من بول غيره بخلاف شرب الماء
ويدل على ذلك أنه لم ينقل عنه صلى الله عليه وسلم هذا اللفظ في غير هذا الموطن ولا عن أحد من الصحابة والسلف فلم يبق إلا أن يكون بدعة هـ
وهو وجيه إلا أن آداب الإسلام لا تنافي التهنئة بالشراب والأكل
وقول صحة للشارب جرت مجرى الليل والنهار في المغرب الأوسط حتى ربما كنت أستثقل هناك الشراب لأجل تهافتهم على تهنئة الشارب بها من أفواه جميع من حضر
وفي الحجاز ومصر يقولون هنيئا مريئا
وربما يقام لهم الدليل على ذلك من حكايته سبحانه عن تهنئة أهل الجنة لمن يأكل فيها من الداخلين ! ( كلوا واشربوا هنيئا بما أسلفتم في الأيام الخالية ) !وقد رأيت في رحلة عالم المغرب الأوسط الشيخ أبي رأس المعسكري أنه لما دخل إلى فاس حضر وليمة بها فشرب بعض الطلبة بمحضره قال فبادرته بلفظ صحة فضحك مني من حضر حتى قرعت سن الندم ثم قلت ماسندكم في الترك فقالوا تلك عادتنا فقلت تستدلون بنقل على ذلك فقالوا بأجمعهم وأي نقل في هذا فقلت إن شهاب الدين الخفاجي نص على السنة وصاحب المدخل على عكسه وكان الشيخ الطيب بن كيران متكئا ولما سمع النقل استوى كإستواء المأمون لما لحنه النضر بن شميل وقال أيوجد النقل علي ذلك والإختلاف على ما هنالك فقلت نعم وأحلتهم على كلام الشهاب والمدخل قال فاعترفوا بفضلي وبصحة نقلي هـكلامه ملخصا
lanjutan: وقد علمت مما سبق أن الزرقاني من محدثي المالكية صرح بإستحباب التهنئة وتصريح شيخه النور الشبراملسي الشافعي بالإستحباب فتأيد تصريح الشهاب الخفاجي مع العمل المتوارث بالمشرق وغيره اليوم وفي شرح منظومة الآداب للمحدث السفاريني الحنبلي ذكرهم أي فقهاء الحنابلة أن الحامد أي بعد الأكل يدعى له يدل على أنه يدعى للآكل والشارب بما يناسب الحال والقول بالإستحباب مطلقا هو مقتضى كلام ابن الجوزي هـ
وهو ملخص من كلام مطول في المسألة للإمام بن مفلح في كتابه الأداب الكبير انظرها ولا بد والله اعلم ثم بعد هذا بمدة وقفت على كلام في الباب للشهاب بن حجر الهيثمي في فتاويه الفقهية لا أجمع منه ولا أجود وهذا سياقه رحمه الله سئل عما اعتيد من قول الإنسان لمن يفزع من شربه صحة ونحو ذلك هل له أصل أو هو بدعة فأجاب بقوله يمكن أن يقال إن له أصلا ويحتج بقوله صلى الله عليه وسلم لأم أيمن لما شربت بوله صلى الله عليه وسلم صحة يا أم أيمن لن يلج النار بطنك ووجه القياس أن المختار عند كثير من إيمتنا طهارة فضلاته صلى الله عليه وسلم وأن بوله شفاء أي شفاء فإذا قال ذلك لشاربته فلا بدع أن يقاس عليه قول مثله لشارب الماء لا يقال لم ينقل عنه صلى الله عليه وسلم قول ذلك في غير هذه الواقعة لأنا نقول لا يشترط في الإقتداء به صلى الله عليه وسلم فيما يفعله على جهة التشريع تكرر ذلك الفعل منه صلى الله عليه وسلم بل يكفي صدور ذلك منه كذلك ولو مرة كما هو واضح على أن عدم النقل في غير هذه الواقعة لا يدل على عدم الوجود وليس هذا مما تتوفر الدواعي على نقله وبقولنا إن بوله صلى الله عليه وسلم شفاء أي شفاء اندفع ما قيل هذا لا حجة فيه لأنه لم يكن ثم ما يشرب وإنما هو البول وهو إذا شرب عاد بالضرر فقال صحة لينفي عنها ما تتوقعه مما جرت به العادة من بول غيره صلى الله عليه وسلم فتضمن ذلك دعاء وأخبارا بخلاف شرب الماء ه
lanjutan:
فقوله لينفى عنها ما تتوقعه لم يرد بأنه تقرر عند أم أيمن وغيرها أنه شفاء ولم تقصد بشربه إلا ذلك فاندفع جميع ما ذكره ويمكن أن يقال لا حجة فيه لا لما ذكره هذا القائل بل لكونه صلى الله عليه وسلم لم يقل لها ذلك إلا تحقيقا لما قصدته من شرب البول فإنها إنما شربته للتداوي وطلب الشفاء فقال لها صلى الله عليه وسلم صحة تحقيقا لقصدها وإجابة لما مر لها وأخبارا بأن ما قصدته من الصحة قد حصل وتحقق وهذا معنى ظاهر إرادته من اللفظ وعند ذلك لا يبقى في الخبردلالة ظاهرة على أن فيه دليلا لندب ذلك عند شرب الماء نعم فيه دلالة ظاهرة لندبه عند شرب الدواء لأنه على طبق النص فلا فارق بينهما ه
KESUCIAN KOTORAN RASULULLAH
Pada pembahaan permasalahan ini, kami akan membagi kepada beberapa bagian:
1. Pendapat-pendapat para ulama Madzhab.
2. Pendapat-pendapat ulama Muhaditsin.
3. Fatwa ulama madzhab
4. Pembahasan jalur riwayat hadits.
5. Penolakan-penolakan syubuhat.
Pendapat para ulama madzhab :
• Madzhab Hanafiah
Kebanyakan Ulama Hanafiah berpendapat bahwa kotoran Rasulullah shallahualaih wasallam itu suci, pendapat ini di ikuti oleh Imam madzhab yaitu Abu Hanafiah, sebagaimana di jelaskan di kitab hasyiah roddul mukhtar juz 1 halaman 138 :
مطلب في طهارة بوله صلى الله عليه وسلم ( تنبيه ) صحح بعض أئمة الشافعية طهارة بوله وسائر فضلاته وبه قال أبو حنيفة كما نقله في المواهب اللدنية عن شرح البخاري للعيني وصرح به البيري في شرح الأشباه
وقال الحافظ ابن حجر تكاثرت الأدلة على ذلك وعد الأئمة ذلك من خصائصه
ونقل بعضهم عن شرح المشكاة لمنلا على القاري أنه قال اختاره كثير من أصحابنا وأطال في تحقيقه في شرحه على الشمائل في باب ما جاء في تعطره عليه الصلاة والسلا
Pembahasan mengenai kesucian Air kencing beliau shallahualaih wasallam, (peringatan) sebagian imam-imam Madzhab syafi’iah membenarkan kesucian air kencing beliau dan seluruh kotoran beliau, pendapat ini di pegang pula Abi Hanifah sebagaimana yang di nukil di kitab mawahib al-laduniah an syarhil Bukhori karangan Al-Aini, kemudian di pertegas (pendapatnya) oleh al-Bayri di kitab syarah al-Asybah. Al-hafiz ibnu Hajar berpendapat : dalil-dalil kesucian (air kencing Nabi) sangat banyak, dan para imam menjadikannya sebagian dari khususiah beliau.
Sebagian menukil dari kitab syarah al-misykah karanagn Manla ali al-Qori, bahwasannya beliau berpendapat: kebanyakan ulama kita memilih pendapat (kesucian air kencing Rasulullah), kemudian beliau memperpanjang pentahkikannya di dalam syarahnya pada kitab Al-Syamail pada bab perkara yang menyangkut cara beliau alaihi salam memakai minyak wangi.
• Madzhab Syafiiah
Terdapat 2 pendapat mengenai kesucian kotoran Rasulullah shallalahualaih wasallam, kebanyakan berpendapat bahwa seluruh kotoran Rasulullah shallalahulaih wasallam itu suci, dan ini pendapat mu’tamad madzhab syafiiah, pendapat yang menyatakan kenajisan kotoran Rasulullah merupakan pendapat yang dhoif.
Di jelaskan di kitab al-iqna fihilli alfazi abi syuja karangan imam Syirbini, juz 2 halaman 454:
أن شعره صلى الله عليه وسلم طاهر على المذهب وإن نجسنا شعر غيره وأن بوله ودمه وسائر فضلاته طاهرة على أحد الوجهين
Bahwa Rambut beliau shallalhualaih wasallam itu suci berdasarkan pendapat madzhab (pendapat imam syafii yang mengandung perbedaan), walaupun kita menajiskan rambut selain beliau. dan air kencing, darah juga seluruh kotoran-kotorannya itu suci berdasarkan dari salah satu pendapat.
Dijelasakn di kitab hasyiah al-Bujeromi alal minhaj karangan Imam Sulaiman bin Muhammad al-Bujeromi juz 1 halaman 232:
( قَوْلُهُ : جَوَّزَهُ حَيْثُ فَعَلَهُ ) فِيهِ أَنَّ فَضَلَاتِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ طَاهِرَةٌ وَمِثْلُهُ بَقِيَّةُ الْأَنْبِيَاءِ ، ثُمَّ رَأَيْت سم قَالَ يَنْبَغِي أَنَّ مَحَلَّ وُجُوبِ الِاسْتِنْجَاءِ فِي حَقِّ غَيْرِ نَبِيِّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَنَّ فَضَلَاتِهِ طَاهِرَةٌ وَإِنَّمَا كَانَ يَفْعَلُهُ لِلتَّنَزُّهِ وَبَيَانِ الْمَشْرُوعِيَّة
(pernyataannya: beliau perbolehkan karena beliau melakukannya) tersimpulkan bahwa kotoran beliau shallahualaih wasallam itu suci begitu pula Nabi-Nabi yang lain, kemudian aku melihat ibnu Qosim berpendapat seyogyanya bahwa kewajiban beristinja itu berhak pada selain Nabi Kita shallalahualaih wasallam karena kotoran-kotoran beliau itu suci, adapun beliau melakukan (istinja) hanya untuk kesucian dan penjelasan suatu syariat.
Dijelasakan pada kitab yang sama juz 1 halaman 413:
وَقُلْنَا بِطَهَارَةِ فَضَلَاتِهِ فَالْمُرَادُ بِفَضَلَاتِهِ الَّتِي قَامَ الدَّلِيلُ عَلَى طَهَارَتِهَا الْبَوْلُ وَالْغَائِطُ وَالدَّمُ وَنَحْوُهَا ، وَأَمَّا الْمَنِيُّ فَلَمْ يَقُمْ الدَّلِيلُ عَلَى طَهَارَتِهِ ، وَلَا يَجُوزُ الْحَمْلُ عَلَى الْخُصُوصِيَّةِ إلَّا بِدَلِيلٍ فَيَكُونُ حُكْمُهُ فِيهِ كَحُكْمِنَا…: هَذَا الِاسْتِدْلَال مَبْنِيٌّ عَلَى الْقَوْلِ الضَّعِيفِ بِأَنَّ فَضَلَاتِهِ غَيْرُ طَاهِرَةٍ
Kami menyatakan kesucian kotoran-kotoran beliau, yang di maksud kotoran-kotoran beliau di sini adalah yang memiliki dalil atas kesuciannya seperti air kencing, kotoran, darah dan sejenisnya, sedangkan mani itu tidak terdapat dalil atas kesuciannya, tidak bisa kita mengihtimalkannya kepada perkara khususiah kecuali dengan menggunakan dalil, maka dari itu hukum mani baliau seperti hukum mani kita…pembuktian ini tersusun atas pendapat doif yang menyatakan bahwa kotoran-kotoran beliau itu tidak suci
Di jelaskan di kitab hasyiah jamal karangan Sualaiman bin Umar al-Jamal, juz 2 halaman 136:
وَشَمِلَ الرَّوْثُ فَضَلَاتِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مَا صَحَّحَاهُ وَحَمَلَ الْقَائِلُ بِذَلِكَ الْأَخْبَارَ الَّتِي يَدُلُّ ظَاهِرُهَا لِلطَّهَارَةِ كَعَدَمِ إنْكَارِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شُرْبَ أُمِّ أَيْمَنَ بَوْلَهُ عَلَى التَّدَاوِي لَكِنْ جَزَمَ الْبَغَوِيّ وَغَيْرُهُ بِطَهَارَتِهَا وَصَحَّحَهُ الْقَاضِي وَغَيْرُهُ ، وَنَقَلَهُ الْعِمْرَانِيُّ عَنْ الْخُرَاسَانِيِّينَ وَصَحَّحَهُ السُّبْكِيُّ وَالْبَارِزِيُّ وَالزَّرْكَشِيُّ ، وَقَالَ ابْنُ الرِّفْعَةِ إنَّهُ الَّذِي أَعْتَقِدُهُ وَأَلْقَى اللَّهُ بِهِ ، وَقَالَ الْبُلْقِينِيُّ إنَّ بِهِ الْفَتْوَى وَصَحَّحَهُ الْقَايَاتِيُّ ، وَقَالَ إنَّهُ الْحَقُّ ، وَقَالَ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ تَكَاثَرَتْ الْأَدِلَّةُ عَلَى ذَلِكَ وَعَدَّهُ الْأَئِمَّةُ فِي خَصَائِصِهِ فَلَا يُلْتَفَتُ إلَى خِلَافِهِ ، وَإِنْ وَقَعَ فِي كُتُبِ كَثِيرٍ مِنْ الشَّافِعِيَّةِ فَقَدْ اسْتَقَرَّ الْأَمْرُ مِنْ أَئِمَّتِهِمْ عَلَى الْقَوْلِ بِطَهَارَتِهَا ا هـ .
وَأَفْتَى بِهِ الْوَالِدُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ ، وَهَلْ تَنَزُّهُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا عَلَى الِاسْتِحْبَابِ وَمَزِيدٍ النَّظَافَةِ قَالَ الزَّرْكَشِيُّ وَيَنْبَغِي طَرْدُ الطَّهَارَةِ فِي فَضَلَاتِ سَائِرِ الْأَنْبِيَاءِ وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ سَوَاءٌ قَبْلَ النُّبُوَّةِ أَوْ بَعْدَهَا وَنَازَعَهُ الْجَوْهَرِيُّ فِي ذَلِكَ
Dan mencakup pula tahi, kotoran-kotoran beliau shallahualaih wasallam, dan pendapat ini yang mereka berdua benarkan, dan orang yang berpendapat mengihtimalkan hadits-hadits tersebut yang menunjukan dzhohirnya kepada kesucian, seperti peniadaan ingkar beliau shallahualaih wasallam terhadap (prilaku) Umu Ayman yang meminum air kencing beliau dengan tujuan pengobatan, tetapi Baghowi dan selainnya menegaskan kesucian (air kencing beliau) dan dibenarkan oleh Qodi dan selainnya, Imroni menukilkan pendapat kesuciannya dari ulama-ulama khurosan kemudian di benarkan oleh Subuki, Barizi dan Zarkasi, ibnu Rif’ah berkata: pendapat ini (kesucian kotoran Rasulullah) yang aku pegang dan yang Allah tetapkan (di hatiku) kepadanya. Bulqini berkata: pendapat ini yang di fatwakan dan di benarkan oleh al-Qoyati, beliau berpendapat: pendapat ini adalah hak. Hafiz ibnu Hajar berpendapat: sangat banyak dalil yang menyatakan kesucian air kencing beliau dan para imam menggolongkannya sebagai khususiahnya, janganlah engkau berpaling kepada perbedaannya, walaupun banyak terdapat di dalam kitab-kitab syafiiah, sungguh perkara ini telah ditetapkan oleh para imam mereka mengenai kesuciannya.
Ayah telah memfatwakan (pendapat kesuciannya) dan pendapat ini adalah yang mu’tamad, dan apakah bersucinya beliau itu sunah hukumnya dan untuk mempertambah kebersihan, Zarkasyi berpendapat: seyogyanya kesucian itu di tunjukan pula kepada kotoran-kotoran para Nabi dan ini mu’tamad baik sebelum menjadi Nabi maupun setelahnya, Jauhari menyangkal pendapatnya pada masalah ini (kesucian kotoran para nabi sebelum dan sesudah).
• Madzhab Hambaliah
Madzhab Hambaliah menyatkan kesucian kotoran-kotoran Rasulullah shallahulaih wasallam dan kami belum menemukan nash di kitab-kitab mereka yang menyatakan sebaliknya.
Di jelaskan di kitab matholib uli nuha fi syarah ghoyatul muntaha juz 4 halaman 307:
…وَلِأَنَّ فَضَلَاتِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّهَا طَاهِرَةٌ .
…Karena kotoran-kotoran beliau shallalahulaih wasallam seluruhnya itu suci
Di jelaskan di kitab yang sama pada juz 1 halaman 353:
( وَمَحَلُّ ذَلِكَ ) - أَيْ : مَا تَقَدَّمَ - فِيمَا إذَا وَجَدَ نَائِمٌ وَنَحْوُهُ بَلَلًا : ( فِي غَيْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَنَّهُ لَا يَحْتَلِمُ ) ، لِأَنَّهُ لَا يَنَامُ قَلْبُهُ ، وَلِأَنَّ الْحُلُمَ مِنْ الشَّيْطَانِ ، وَهُوَ مَحْفُوظٌ مِنْهُ ، ( وَمَنِيُّهُ وَغَيْرُهُ ) مِنْ فَضَلَاتِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ( طَاهِرٌ ) فَلَا يَلْزَمُهُ تَطْهِيرُ مَا أَصَابَهُ مِنْهَا
(kejadian seperti itu)- yaitu: yang telah terdahulu penjelasannya- jika seorang yang tidur dan sejenisnya mendapatkan hal yang basah: (selain pada Nabi shallalahulaih wasallam, karena beliau itu tidak berihtilam), karena beliau tidak tidur hatinya, dan karena pula mimpi basah itu dari syaitan, dan hal itu terjaga pada dirinya, (dan mani beliau dan selainnya) dari kotoran-kotoran beliau shallahualaih wasallam itu (suci) maka tidak diwajibkan atasnya mensucikan apa yang terkena dari padanya.
• Madzhab Malikiah
Ulama madzhab malikiah sepakat menentukan kesucian kotoran-kotoran Rasulullah shallalahulaih wasallam.
Di jelaskan di kitab bulghotu as-Salik li aqrobil masalik, juz 1 halaman 33 :
وذكر فى مجموعة أيضاً : أن فضلات الأنبياء طاهرة حتى بالنسبة لهم لأن الطهارة متى ثبتت لذات فهى مطلقة ، واستنجاؤهم تنزيه وتشريع ولو قبل النبوة ، وأن كان لا حكم أذ ذاك كالعصمة لاصطفائهم من أصل الحلقة . وأن المنى الذى خلقت منه الأنبياء طاهر بلا خلاف . بل جميع ما تكون منه أصول المصطفى طاهر أيضا
Disebutkan di kitab majmua’h juga: bahwa kotoran-kotoran para Nabi itu suci, bahkan bagi diri mereka sendiri, karena kesucian itu jika telah di tetapkan kapada suatu dzat maka kesucian itu menjadi mutlak (kepada yang lainnya), dan istinja mereka itu merupakan kesucian dan (penjelasan) suatu syariat, walaupun tidak ada penghukuman, karena hal itu merupakan suatu ismah karena pilihan mereka dari asal penciptaan, dan mani yang diciptakan (sehingga) menjadi para Nabi itu suci tanpa menimbulkan perbedaan (di antara ulama), bahkan seluruh yang menjadi asal-usul Mustofa itu suci pula.
Di jelaskan dikitab syarah Mukhtashor kholil karangan Muhammad bin Abdullah al-khorsyi, juz 1 halaman 418:
…وَالْخِلَافُ فِي غَيْرِ فَضَلَاتِ الْأَنْبِيَاءِ فَإِنَّهَا طَاهِرَةٌ بِلَا خِلَافٍ وَغَسْلُ عَائِشَةَ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ لِلتَّشْرِيعِ .
…dan yang menimbulkan perbedaan adalah pada selain kotoran-kotoran para Nabi, sesungguhnya kotoran-kotoran para Nabi itu Suci tanpa menimbulakan perbedaan (antara ulama), dan cucian Aisyah terhadap mani di pakaiannya shallalahualaih wasallam untuk tujuan (penjelasan) syariat.
Sudah ? Puas ?.
Saya bukannya tidak tahu akan pendapat ulama yang berseberangan dengan penyimpulan pada artikel di atas. Dan saya pun tidak kesulitan menyebutkan dengan copi paste ulama yang menyatakan najisnya. Tapi sebagaimana prinsip dalam beragama, kita berpegang bukan pada pendapat semata, akan tetapi dalil. Atau lebih kongkritnya,.... pendapat mana yang mempunyai pendalilan yang lebih kuat.
oke..saya akan bahas masalah ini sampai ke akar nya berdasarkan pembagian yang telah saya sebut di atass..ingsya Allah semua artikel anda yang menyimpang dari pendapat mayoritas ulamaahlu sunah wal jamaah akan kami bahas dan tolak..dan kami tidak pernah mengcopy past, tapi ini hasil dari pembahasan dan kerja keras
setidak nya anda menyatakan kebohongan anda mengenai pernyataan anda bahwa pendapat jumhur menajiskan air kencing rasulullah, jumhur mana yang anda maksud?..coba sebutkan pendapat2 jumhur ulama madzhab yang menyatakan sepertiit, bila perlu copy paste biar lbh mudah
Dua saja ya :
Dalam kitab Raudlatuth-Thaalibiin dikatakan :
والثاني كالدم والبول والعذرة والروث والقيء وهذه كلها نجسة من جميع الحيوانات مأكول اللحم وغيره ولنا وجه أن بول ما يؤكل لحمه وروثه طاهران وهو أحد قولي أبي سعيد الأصطخري من أصحابنا واختاره الروياني وهو مذهب مالك وأحمد والمعروف من المذهب النجاسة
وهل يحكم بنجاسة هذه الفضلات من رسول الله صلى الله عليه وسلم وجهان قال الجمهور نعم
[1/5 - via syamilah]
Penulis Asnal-Mathaalib berkata :
وَالْجُمْهُورُ كَمَا فِي الْأَصْلِ عَلَى نَجَاسَةِ هَذِهِ الْفَضَلَاتِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَحَّحَهُ الرَّافِعِيُّ فِي شَرْحِهِ الصَّغِيرِ ، وَالنَّوَوِيُّ فِي تَحْقِيقِهِ ، وَجَزَمَ الْبَغَوِيّ ، وَغَيْرُهُ بِطَهَارَتِهَا ، وَصَحَّحَهُ الْقَاضِي ، وَغَيْرُهُ
[1/54 - via syamilah].
Dan yang lainnya masih banyak.
Dua fuqahaa' itu bilang kalau jumhur berpendapat najis.
Barangkali perkataan mereka itu keliru, tapi setidaknya diketahui bahwa yang mengatakan jumhur itu bukan saya saja.
penukilan anda mengenai pendapat sebagian ulama syafiiah, penukilan yang benar..sudah saya jelaskan di atas bahwa pada madzhab syafiiah terdapat 2 pendapat: pendapat yang menyatakan najis, sebagaimana yang anda nukil, tapi pendapat ini adalah pendapat doif, sebagimana yang telah sebutkan di atas, walaupun banyak ulama syafiiah yang berpendapat seperti itu, imam ibnu hajar al asqolani telah memperingatkan kepada kita agar kita tidak berpaling kepada pendapat-pendapat ulama syafiiah yang menajiskan, karena yang mut'amad adalah kesucian fadholat Rasulullah. sebagiaman yang saya nukilkan di atas..sangat banyak sekali kitab-kitab syaiffiah yang mu'tabar yang menjelaskan kesucian fadholat Rasulullah.
Pointnya di sini adalah An-Nawawiy mengatakan jumhur ulama mengatakan najisnya.
ikhtiyar imam nawawi bukan lah suatu qoul mu'tamad, dan pernyataan nya bahwa itu qoul jumhur, tidak berarti bahwa pendapat itu mu'tamad. semua di kembalikan kepada ulama mutakhirin yaitu imam romli dan imam ibnu hajar al haitami:
FATWA ULAMA MADZHAB MENGENAI KESUCIAN AIR KENCING RASULULLAH
Di jelaskan di kitab Al-Uqud ad-diroyah fi tanqih al-fatawa al-hamidiah (hanafi), karangan ibnu Abidin Muhammad Amin bin Umar, juz 7 halaman 423:
…لِأَنَّ فَضَلَاتِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ طَاهِرَةٌ كَمَا جَزَمَ بِهِ الْبَغَوِيّ وَغَيْرُهُ وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ لِأَنَّ أُمَّ أَيْمَنَ بَرَكَةَ الْحَبَشِيَّةَ شَرِبَتْ بَوْلَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَنْ يَلِجَ النَّارَ بَطْنُكِ صَحَّحَهُ الدَّارَقُطْنِيُّ وَقَالَ أَبُو جَعْفَرٍ التِّرْمِذِيُّ دَمُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَاهِرٌ لِأَنَّ أَبَا طَيْبَةَ شَرِبَهُ وَفَعَلَ مِثْلَ ذَلِكَ ابْنُ الزُّبَيْرِ وَهُوَ غُلَامٌ حِينَ أَعْطَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَمَ حِجَامَتِهِ لِيَدْفِنَهُ فَشَرِبَهُ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { مَنْ خَالَطَ دَمُهُ دَمِي لَمْ تَمَسَّهُ النَّارُ } وَهَذِهِ الْأَحَادِيثُ مَذْكُورَةٌ فِي كُتُبِ الْحَدِيثِ الصَّحِيحَةِ وَذَكَرَهَا فُقَهَاؤُنَا وَتَبِعَهُمْ الشَّافِعِيَّةُ كَالشِّرْبِينِيِّ فِي شَرْحِ الْغَايَةِوَفُقَهَاءُ الْمَالِكِيَّةِ ، وَالْحَنَابِلَةِ فَكَانَتْ كَالْمُجْمَعِ عَلَيْهَا فَحَيْثُ ثَبَتَ أَنَّ فَضَلَاتِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ تُنْجِي مِنْ النَّارِ فَكَيْفَ مَنْ رُبِّيَ مِنْ دَمِهَا وَلَحْمِهَا وَرُبِّيَ فِي بَطْنِهَا وَمَنْ كَانَ أَصْلُ خِلْقَتِهِ الشَّرِيفَةِ مِنْهُ يَدْخُلُ النَّارَ هَذَا مَا جَرَى بِهِ لِسَانُ الْقَلَمِ ، وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ .
…karena kotoran-kotoran beliau alaihi salallam itu suci sebagaimana di pertegas oleh Baghowi dan selainnya, pendapat ini lah yang mu’tamad, karena Ummu Ayman Barokah Al-Habasyiah meminum air kencing beliau shallahualaih wasallam, kemudian beliau bersabda: perutmu tidak akan masuk neraka, Daruqutni menshohihkan (hadits ini), Abu Ja’far At-Tirmidzi berpendapat: darah Nabi shallahaualaih wasallam itu suci, karena Aba Atiyah meminumnya, hal ini di perbuat pula oleh ibnu Zubair dikala kecialnya, yang mana Nabi memberinya darah bekam agar ia memendamnya, kemudian ia malah meminumnya, maka nabi bersabda kepadanya: barang siapa yang darahnya tercampur oleh darahku maka ia tidak akan masuk neraka, hadits-hadits ini disebutkan di kitab-kitab hadits yang shohih, begitu pula di sebut oleh Ahli Fiqih kita, kemudian di ikuti oleh ulama syafi’iah, seperti Syarbani di dalam kitab Al-Ghoyah, dan juga Ahli Fiqih Malikiah, dan Hanabilah, maka perkara ini seperti ijma (disepakati para ulama), ketika ditetapkan bahwa kotoran-kotoran beliau menyelamatkan dari api neraka, bagaimana dengan yang dipelihara dari darahnya dan dagingnya, dan di pelihara di dalam perutnya, siapa yang asal penciptaannya yang mulia dari dirinya yang masuk neraka!?, ini berdasarkan catatan-catatan terulis, Allah yang Maha Suci yang Maha mengetahui.
kemudian..maksud pernyataan imam Nawawi di sini adalah bukan jumhur ulama madzhab 4, tapi jumhur ulama syafiiah..dan telah kita ketahui bahwa kebanyakan ulamasyafiiah menyatakan kesucian kotoran Rasulullah.
Di jelaskan di kitab fatawa al-azhar, juz 10 halaman 344:
…جاءت عدة روايات فى أن بعض الصحابة شرب دم الحجامة من النبى صلى الله عليه وسلم ، وبعضهم شرب بوله . جاء فى المواهب اللدنية للقسطلانى "ج 1 ص 285" قوله : وفى هذه الأحاديث دلالة على طهارة بوله ودمه صلى الله عليه وسلم ، قال النووى فى شرح المهذب : واستدل من قال بطهارتهما بالحديثين المعروفين أن أبا طَيْبَةَ الحجام حجمه صلى الله عليه وسلم وشرب دمه ولم ينكر عليه ، وأن امرأة شربت بوله صلى الله عليه وسلم فلم ينكر عليها ، وحديث أبى طيبة ضعيف ، وحديث شرب البول صحيح رواه الدارقطنى وقال :
هو حديث صحيح ، وقيل إنه ضعيف كما فى الزرقانى شارح المواهب
…Banyak riwayat menyebutkan bahwa sebagian Shohabat meminum darah bekam dari Nabi shallualaih wasallam, sebagian mereka meminum air kencing beliau, di jelaskan di kitab Al-Mawahib Al-Laduniah karangan Qostolani, juz 1 halaman 285; pernyataannya: dari hadits-hadits ini terdapat bukti kesucian air kencing dan darah beliau Shallahualaih wasallam, Nawawi berpendapat di dalam kitab Syarah Al-Muhadzab: ulama yang berpendapat kesucian darah dan air kencing Nabi berdalil dengan dua hadits yang ma’ruf, bahwa Aba Toyyibah tukang bekam membekam Rasulullah shallahualaihwasallam dan dia meminum darah beliau, dan beliau tidak mengingkarinya, dan seorang wanita meminum air kencing beliau shallahualaih wasallam, kemudian beliau tidak mengingkarinya, dan hadits Abu Toyyibah dhoif kedudukannya, sedangkan hadits air kencing shohih di riwayatkan Daroqutni, dan ia berpendapat: hadits itu shohih, di katakan: hadits itu dhoif sebagiamana di kitab syarah al-Mawahib karangan Zarqoni.
Di jelaskan di kitab al-Fatawa al-fiqiah al-kubro karangan ibnu Hajar Al-Haitami, juz 4, halaman 117:
وَسُئِلَ عَمَّا اُعْتِيدَ من قَوْلِ الْإِنْسَانِ لِمَنْ يَفْرُغُ من شُرْبِهِ صِحَّةً أو نَحْو ذلك هل له أَصْلٌ أو هو بِدْعَةٌ فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ يُمْكِنُ أَنْ يُقَالَ أَنَّ له أَصْلًا وَيُحْتَجُّ له بِقَوْلِهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم لِأُمِّ أَيْمَنَ لَمَّا أَنْ شَرِبَتْ بَوْلَهُ صلى اللَّهُ عليه وسلم صِحَّةً يا أُمّ أَيْمَنَ لَنْ تَلِجَ النَّارُ بَطْنَك وَوَجْهُ الْقِيَاس أَنَّ الْمُخْتَارَ عِنْد كَثِيرٍ من أَئِمَّتِنَا طَهَارَةُ فَضَلَاتِهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم وَأَنَّ بَوْلَهُ شِفَاءٌ أَيُّ شِفَاءٍ
Dan di mintai fatwa mengenai kebiasaan ucapan seseorang sihhatan atau sejenisnya setelah selesai minum, apakah perkara ini memiliki dalil atau perbuatan bid’ah?, kemudian beliau menjawab dengan fatwanya: mungkin bisa di katakan perkara ini memiliki dalil, dalil itu berupa sabda beliau shallahualaih wasallam kepada Ummu Ayman ketika meminum air kencing beliau shallahualaih wasallam: sihhatan wahai Ummu Ayman, dirimu tidak akan masuk kedalam neraka, dan segi Qiasnya, bahwa yang di pilih menurut kebanyakan Imam-imam kita adalah kesucian kotoran-kotoran beliau shallahualaih wasallam, dan air kencing adalah obat dari segala penyakit.
Anda pintar juga ya berdalih, kalau jumhur di situ maksudnya jumhur ulama Syaafi'iyyah. Kalau ini dikatakan oleh orang yang tidak terbiasa membaca uslub An-Nawawiy, bisa saya maklumi. Anyway, saya sudah membaca pembahasan hal itu dalam ranah madzhab Syaafi'iyyah.
Sebagai informasi, saya sama sekali tidak tertarik membahas pendapat. Tapi saya lebih suka membahas pendalilan satu pendapat. Artikel saya di atas sudah lebih dari mencukupi untuk menanggapi komentar Anda di atas. Terima kasih.
akhi Ma'arif Aziz
bukankah Allooh telah berfirman :
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
setiap kali ada perselisihan harus dikembalikan kepada Quran dan Sunnah. seharusnya akhi sebelum berbicara tentang perselisihan para ulama, berbicaralah dahulu tentang apa yang mereka perselisihkan, yaitu hadits Rosulullooh sholalloohu 'alaihi wassallam di atas.
ana yakin Ustadz Abul Jauzaa akan dengan senang hati menerima apabila ada argumentasi ilmiah dari akhi mengenai keshahihan hadits tersebut. namun jika tidak ada, secara tidak langsung sebetulnya akhi sudah mengakui kebenaran dari tulisan di atas, yaitu bahwasanya hadits tersebut tidak shahih.
kalau antum mengambil jalan seperti akhi Zulkurniawan Harahap yang menshahihkan hadits tersebut "hanya" karena ada ulama yang menshahihkannya juga, ana rasa ini sangat jauh dari kata ilmiah, karena antum pasti tahu bahwa syarat hadits shahih itu ada 4 yang tidak ada di antaranya adalah penshahihan dari ulama.
nah, kalau akhi sudah mengakui (meskipun secara tidak langsung) ketidakshahihan hadits di atas, ana rasa akhi tidak perlu bersusah payah berbicara tentang perselisihan para ulama dan memaksakan pendapat antum yang mu'tamad.
Anda pintar juga ya berdalih, kalau jumhur di situ maksudnya jumhur ulama Syaafi'iyyah. Kalau ini dikatakan oleh orang yang tidak terbiasa membaca uslub An-Nawawiy, bisa saya maklumi. Anyway, saya sudah membaca pembahasan hal itu dalam ranah madzhab Syaafi'iyyah.
>>>>>>>>>>>>>>
setidaknya anda membaca lebih banyaklagi kitab2 syafiiah, bahwa peda permasalahan ini, menimbulkan dua pendapat atau wajhan, n imam nawawi telah menyebutkan pernyataan wajhan di kitab roudhohnya, n menyatakan pendapat jumhur atas kenajisannya.. tetapi pernyataan beliau sudah di jawab oleh ibnu hajar al asqolani di kitab fathul barinya, dan sudah di doifkan kitab hasyiah jamal n bahkan ibnu hajar al haitami menyebutkan di kitab fatawanya bahwa pensucian fadholat Rasulullah adalah pendapat aksarin (pendapat yang terbanyak).
bukankah Allooh telah berfirman :
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
setiap kali ada perselisihan harus dikembalikan kepada Quran dan Sunnah. seharusnya akhi sebelum berbicara tentang perselisihan para ulama, berbicaralah dahulu tentang apa yang mereka perselisihkan, yaitu hadits Rosulullooh sholalloohu 'alaihi wassallam di atas.
ana yakin Ustadz Abul Jauzaa akan dengan senang hati menerima apabila ada argumentasi ilmiah dari akhi mengenai keshahihan hadits tersebut. namun jika tidak ada, secara tidak langsung sebetulnya akhi sudah mengakui kebenaran dari tulisan di atas, yaitu bahwasanya hadits tersebut tidak shahih.
>>>>>>
apakah anda mengira fuqoha madzhab 4 menyimpulkan suatu masalah berdasarkan royunya??mereka mengembalkian masalah ini kepada Quran, hadits, ijma dan qias pula..dan perbedaan mereka pada masalah ini pula, bukan karena perbedaan dari shohih doifnya hadits, tapi perbedaan dalam menta'lilkan makna hadits.
Kepada mas Ma'arif Aziiz, mohon maaf komentar Anda yang puanjang itu tidak saya tampilkan di sini. Tapi saya link-an saja asal copi paste itu dari Artikel di Blog Anda.
Sekali lagi, dalam masalah bahts, saya tidak akan terlalu pusing membahas pendapat. Kalau cuma pendapat, insya Allah saya tidak sukar berbuat hal serupa. Tapi yang dibutuhkan di sini adalah (kekuatan) pendalilan. Dalam ranah fiqh, pendapat itu banyak. Ada yang kuat, ada pula yang lemah. Yang kuat itu pendapat yang didukung pasnya istidlaal dan istinbath. Shahih dalilnya, tepat pula pengambilan hukum dari dalil itu. Sampai saat ini tidak ada sanggahan berarti dari tulisan Anda selain hanya nukilan pendapat saja. Dan saya ucapkan terima kasih atas hal tersebut.
Anyway,.... saya pingin tanya tentang hadits ini :
عَنْ الْمُهَاجِرِ بْنِ قُنْفُذٍ أَنَّهُ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَبُوْلُ،
فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ حَتَّى تَوَضَّأَ ثُمَّ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ،فَقَالَ: إِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ عَلَى طُهْرٍ- أَوْ قَالَ: عَلَى طَهَارَةٍ
Dari al-Muhajir bin Qunfudz radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya dia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedang buang air kecil. Ia mengucapkan salam kepada Rasulullah, namun beliau tidak menjawab salamnya, hingga beliau berwudhu’ lalu beliau mengemukakan alasan kepadanya, seraya bersabda: “Sesungguhnya aku tidak suka menyebut nama Allah ‘Azza wa Jalla melainkan dalam keadaan suci".
Nah, seandainya kotoran beliau itu suci (tidak najis), kenapa beliau bilang bahwa diri beliau tidak suci pada waktu buang air kecil ? - sehingga tidak menjawab salam. Apakah sesuatu yang suci menyebabkan ketidaksucian ?.
akhi Ma'arif Aziz
para ulama itu berijtihad. bagi mereka jika benar mendapat 2 pahala, jika salah mendapat 1 pahala. akan tetapi bagi orang-orang seperti kita, tidak akan mendapat 1 pahala apabila mengikuti ijtihad yang salah.
sekarang bertanyalah pada diri akhi sendiri, ketika mengikuti pendapat para ulama tersebut, posisi akhi itu berada dimana? apakah sedang ber-ijtihad, ataukah ber-ittiba', ataukah bertaqlid buta?
kalau disebut ijtihad, ana rasa tidak mungkin, karena akhi tidak berbuat apapun, kecuali hanya menukil saja.
kalau disebut ittiba' pun juga tidak mungkin, karena akhi tidak punya kepahaman akan dalil yang mereka gunakan?
pilihan terakhir hanyalah taqlid buta, karena akhi lebih memprioritaskan perhatian pada perkataan para ulama ketimbang mempelajari hadits yang dipermasalahkan.
Maaf saya numpang sedikit coment. Anggap saja saya orang awam yang baru belajar agama.
.saya main pakai logika saja. Bagaimana mungkin kalau rosulullah sendiri menganggap air kencing dan air besar beliau kotor dan najis sementara kita menganggapnya suci?
..kalau kita main anggap menganggap dan hanya tanggapan. Bukanya kita seharusnya mengikuti apa yg dinggap rosulullah najis ya najis dn yg suci ya suci. Dan rosullullah menganggap air kencing serta kotoranyA itu najis. Kalau ga najis ga mungkin dong rosullulah tercinta selalu berwudhu setiap habis kencing dan hendak menunaikan sholat.
Rasulullah saw ga nanya sama kita air kencingnya suci atau najis,.... wallahua'lam..... cuma kalau ada kencingnya rasulullah saw saya juga mau, ga geli, ga jijik,.....
cuma ngomong wallahu'allam aja susah bangeed
rasulullah ga nanya air kencingnya najis atau suci...???
kalaupun shahih, hal tersebut terjadi karena tidak sengaja, dan tidak ada riwayat para sahabat mencari atau mengambil air kencing nabi utk diminum karena mencintai nabi atau tabarruk
(وَبَوْلٌ) لِلْأَمْرِ بِصَبِّ الْمَاءِ عَلَيْهِ فِي بَوْلِ الْأَعْرَابِيِّ فِي الْمَسْجِدِ، وَقِيسَ بِهِ سَائِرُ الْأَبْوَالِ، وَأَمَّا «أَمْرُهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - الْعُرَنِيِّينَ بِشُرْبِ أَبْوَالِ الْإِبِلِ» فَكَانَ لِلتَّدَاوِي، وَهُوَ جَائِزٌ بِصَرْفِ النَّجَاسَةِ غَيْرُ الْخَمْرَةِ، وَمَا وَرَدَ مِنْ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَمْ يَجْعَلْ الشِّفَاءَ فِي الْمُحَرَّمَاتِ مَحْمُولٌ عَلَى صَرْفِ الْخَمْرِ، وَشَمِلَ كَلَامُهُ نَجَاسَةَ الْفَضَلَاتِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَهُوَ مَا صَحَّحَاهُ وَحَمَلَ الْقَائِلُ بِذَلِكَ الْأَخْبَارَ الَّتِي يَدُلُّ ظَاهِرُهَا لِلطَّهَارَةِ كَعَدَمِ إنْكَارِهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - شُرْبَ أُمِّ أَيْمَنَ بَوْلَهُ عَلَى التَّدَاوِي، لَكِنْ جَزَمَ الْبَغَوِيّ وَغَيْرُهُ بِطَهَارَتِهَا، وَصَحَّحَهُ الْقَاضِي وَغَيْرُهُ، وَنَقَلَهُ الْعِمْرَانِيُّ عَنْ الْخُرَاسَانِيِّينَ، وَصَحَّحَهُ السُّبْكِيُّ وَالْبَارِزِيُّ وَالزَّرْكَشِيُّ.
وَقَالَ ابْنُ الرِّفْعَةِ: إنَّهُ الَّذِي أَعْتَقِدُهُ وَأَلْقَى اللَّهَ بِهِ.
وَقَالَ الْبُلْقِينِيُّ: إنَّ بِهِ الْفَتْوَى، وَصَحَّحَهُ الْقَايَاتِيُّ وَقَالَ: إنَّهُ الْحَقُّ، وَقَالَ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ: تَكَاثَرَتْ الْأَدِلَّةُ عَلَى ذَلِكَ، وَعَدَّهُ الْأَئِمَّةُ فِي خَصَائِصِهِ فَلَا يُلْتَفَتُ إلَى خِلَافِهِ، وَإِنْ وَقَعَ فِي كُتُبِ كَثِيرٍ مِنْ الشَّافِعِيَّةِ فَقَدْ اسْتَقَرَّ الْأَمْرُ مِنْ أَئِمَّتِهِمْ عَلَى الْقَوْلِ بِالطَّهَارَةِ انْتَهَى.
وَأَفْتَى بِهِ الْوَالِدُ - رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى - وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ، وَحُمِلَ تَنَزُّهُهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - مِنْهَا عَلَى الِاسْتِحْبَابِ وَمَزِيدِ النَّظَافَةِ.
Posting Komentar