Saya kadang iba dengan rekan-rekan Syi’ah yang sering
dijadikan bulan-bulanan kaum muslimin (baca : Ahlus-Sunnah) karena melakukan nikah
mut’ah yang kemudian dianggap sebagai bentuk perzinahan berkedok agama. Banyak
sekali tulisan yang mereka susun dan kumpulkan, dengan berbagai kemasan bahasa
(‘Arab, Inggris, Melayu, dan Indonesia), menyebutkan kesamaan atau kemiripannya
dengan zina. Diantara bukti yang berhasil terkoleksi perihal nikah mut’ah antara
lain adalah :
1.
Syarat utamanya hanyalah mahar dan durasi pernikahan saja.
عَنْ أَبِي عَبْدِ
اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ لَا تَكُونُ مُتْعَةٌ إِلَّا بِأَمْرَيْنِ أَجَلٍ
مُسَمًّى وَ أَجْرٍ مُسَمًّى
Dari Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam, ia berkata : “Tidak terjadi
nikah mut’ah kecuali dengan dua perkara, yaitu : (durasi) waktu tertentu
dan mahar tertentu” [Al-Kaafiy oleh Al-Kulainiy, 5/455].
Mahar di sini dapat dianalogkan dengan upah, sebagaimana difatwakan oleh
Ayatullah Ar-Ruuhaaniy berikut :
Pertanyaan :
“Suatu saat, saya pernah perli ke Night Club. Ada seorang pelacur
meminta kepada saya uang sekitar 100 dolar. Aku pun membayarnya. Lantas ia
berkata kepadaku : ‘Engkau boleh nikahi mut’ah seluruh badanku sebagai imbalan
uang yang engkau berikan. Namun durasinya hanya sehari saja’. Apakah yang
seperti ini dapat dianggap sebagai pernikahan mut’ah ?”.
Ar-Ruuhaaniy menjawab :
“Dengan menyebut nama Allah,.... Apabila yang ia katakan adalah dengan
tujuan pernikahan, dan engkau pun berkata setelah itu : ‘aku terima bagi diriku
yang demikian’, maka yang seperti itu adalah pernikahan mut’ah”.
Berikut screen shot fatwa dimaksud :
2.
Boleh tanpa (izin) wali.
Abu 'Abdillah 'alaihis-salaam pernah
berkata :
لا بأس بتزويج البكر إذا رضيت من غير إذن أبيها
"Tidak mengapa menikahi gadis apabila ia
ridla meskipun tanpa izin ayahnya" [Risaalah
Al-Mut'ah oleh Al-Mufiid, hal. 10. Disebutkan juga dalam Tahdziibul-Ahkaam oleh Ath-Thuusiy 7/254].
Dari
Abu Sa'iid (perawi Syi'ah), ia berkata :
سئل أبو عبد الله عليه السلام عن التمتع من
الابكار اللواتي بين الأبوين فقال: لا بأس ولا أقول كما يقول هؤلاء الأقشاب
Abu
'Abdillah 'alaihis-salaam pernah
ditanya tentang nikah mut'ah gadis
masih ada di tengah orang tua mereka. Ia menjawab : "Tidak mengapa, dan
aku tidak mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh para penjahat itu" [Tahdziibul-Ahkaam,
7/254].
Ayatullah Ar-Ruuhaniy pernah ditanya :
“Apakah dimakruhkan dalam pernikahan mut’ah dengan seorang gadis apabila
telah diizinkan oleh ayahnya ?. Apa hukumnya nikah mut’ah dengan seorang gadis
jika : (a) ayahnya tidak menyetujuinya, atau (b) ayahnya tidak mengetahui adanya
pernikahan mut’ah tersebut, atau (c) ayahnya telah meninggal ?”.
Ia (Ar-Ruuhaniy) menjawab :
“Dengan menyebut nama Allah,... pernikahan mut’ah dengan seorang gadis
diperbolehkan dalam segala bentuknya apabila ia telah dewasa/baligh. Tidak ada
bedanya (dalam hal kebolehannya) baik ayahnya ada atau tidak ada, baik dengan
atau tanpa izinnya”.
Berikut screen shot fatwa dimaksud :
3.
Boleh
tanpa saksi dan bukti.
عَنْ زُرَارَةَ بْنِ
أَعْيَنَ قَالَ سُئِلَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) عَنِ الرَّجُلِ
يَتَزَوَّجُ الْمَرْأَةَ بِغَيْرِ شُهُودٍ فَقَالَ لَا بَأْسَ بِتَزْوِيجِ
الْبَتَّةِ فِيمَا بَيْنَهُ وَ بَيْنَ اللَّهِ إِنَّمَا جُعِلَ الشُّهُودُ فِي
تَزْوِيجِ الْبَتَّةِ مِنْ أَجْلِ الْوَلَدِ لَوْ لَا ذَلِكَ لَمْ يَكُنْ بِهِ
بَأْسٌ
Dari Zuraarah bin A’yan, ia berkata : Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam pernah
ditanya tentang seorang laki-laki yang menikahi wanita tanpa ada saksi-saksi,
maka ia menjawab : “Tidak mengapa dengan pernikahan yang terjadi antara dirinya
dan Allah. Dijadikan saksi-saksi dalam pernikahan itu hanyalah karena (keberadaan)
anak (yang dihasilkan). Jika tidak demikian[1],
maka tidak mengapa” [Al-Kaafiy, 5/387].
عَنْ أَبِي عَبْدِ
اللَّهِ ( عليه السلام ) فِي الرَّجُلِ يَتَزَوَّجُ بِغَيْرِ بَيِّنَةٍ قَالَ لَا
بَأْسَ
Dari Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam tentang seorang laki-laki yang
menikah tanpa adanya bukti, maka ia menjawab : “Tidak mengapa” [idem].
Ulama Syi’ah yang bernama ‘Abdullah bin Ja’far Al-Himyariy pernah ditanya :
“Apa yang engkau katakan tentang seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita
pada posisi ini atau yang lainnya tanpa ada bukti maupun saksi-saksi ?”.
Ia menjawab :
بلى، فانكحها في هذا الموضع وفي غيره بلا شهود ولا بينة
“Ya, nikahilah ia tanpa ada bukti dan saksi-saksi” [Qurbul-Isnaad oleh
‘Abdullah bin Ja;far Al-Himyariy, hal. 252].
4.
Durasi nikah boleh hanya sepekan, sehari, bahkan dengan sekali senggama
saja.
عَنْ أَبِي عَبْدِ
اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ يُشَارِطُهَا مَا شَاءَ مِنَ الْأَيَّامِ .
Dari Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam, ia berkata : “Ia boleh
mensyaratkannya durasi hari nikah mut’ahnya sekehendaknya” [Al-Kaafiy,
5/459].
عَنْ زُرَارَةَ قَالَ
قُلْتُ لَهُ هَلْ يَجُوزُ أَنْ يَتَمَتَّعَ الرَّجُلُ بِالْمَرْأَةِ سَاعَةً أَوْ
سَاعَتَيْنِ فَقَالَ السَّاعَةُ وَ السَّاعَتَانِ لَا يُوقَفُ عَلَى حَدِّهِمَا وَ
لَكِنَّ الْعَرْدَ وَ الْعَرْدَيْنِ وَ الْيَوْمَ وَ الْيَوْمَيْنِ وَ اللَّيْلَةَ
وَ أَشْبَاهَ ذَلِكَ .
Dari Zuraarah, ia berkata : Aku berkata kepadanya (imam, yaitu : Abu ‘Abdillah)
: “Apakah boleh seorang laki-laki melakukan nikah mut’ah dengan seorang wanita
selama satu atau dua jam ?”. Ia menjawab : “Satu atau dua jam itu tidak
diketahui batas (akhirnya). Akan tetapi nikahlah sekali atau dua kali senggama[2],
sehari atau dua hari, semalam, dan yang seperti itu” [idem].
عَنْ خَلَفِ بْنِ
حَمَّادٍ قَالَ أَرْسَلْتُ إِلَى أَبِي الْحَسَنِ ( عليه السلام ) كَمْ أَدْنَى
أَجَلِ الْمُتْعَةِ هَلْ يَجُوزُ أَنْ يَتَمَتَّعَ الرَّجُلُ بِشَرْطِ مَرَّةٍ
وَاحِدَةٍ قَالَ نَعَمْ
Dari Khalaf bin Hammaad, ia berkata : Aku menyuruh orang untuk menemui
Abul-Hasan ‘alaihis-salaam untuk bertanya : “Berapa durasi minimal
pernikahan mut’ah ? Bolehkah seorang laki-laki mensyaratkan sekali
senggama saja ?”. Ia menjawab : “Ya, boleh” [idem, 5/460].
5.
Tidak ada batasan maksimal jumlah wanita yang dimut'ah.
عَنْ عُمَرَ بْنِ
أُذَيْنَةَ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ قُلْتُ كَمْ تَحِلُّ
مِنَ الْمُتْعَةِ قَالَ فَقَالَ هُنَّ بِمَنْزِلَةِ الْإِمَاءِ .
Dari ‘Umar bin Adzainah, dari Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam; ia (‘Umar)
berkata : Aku bertanya kepada Abu ‘Abdillah : “Berapa banyak wanita dihalalkan dinikahi
dari nikah mut’ah ?”. Ia menjawab : “Mereka (wanita) kedudukannya seperti budak”
[Al-Kaafiy oleh Al-Kulainiy, 5/451].
Maksudnya, karena kedudukan wanita dalam nikah mut’ah seperti kedudukan budak,
maka tidak ada batasan jumlah sebagaimana pernikahan permanen yang maksimal
hanya 4 orang.
عَنْ بَكْرِ بْنِ
مُحَمَّدٍ الْأَزْدِيِّ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا الْحَسَنِ ( عليه السلام ) عَنِ
الْمُتْعَةِ أَ هِيَ مِنَ الْأَرْبَعِ فَقَالَ لَا .
Dari Bakr bin Muhammad Al-Azdiy, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada
Abul-Hasan ‘alaihis-salaam tentang nikah mut’ah, apakah ia hanya boleh
maksimal empat ?”. Ia menjawab : “Tidak” [idem].
عَنْ زُرَارَةَ بْنِ
أَعْيَنَ قَالَ قُلْتُ مَا يَحِلُّ مِنَ الْمُتْعَةِ قَالَ كَمْ شِئْتَ
Dari Zurarah bin A’yan, ia berkata : Aku pernah bertanya : “Apa yang
dihalalkan dari nikah mut’ah ?”. Imam (Abu ‘Abdillah) menjawab : “Berapapun
yang engkau suka” [idem].
6.
Tidak
ada talak.
Jika durasi waktu sudah habis, pernikahan bubar dengan sendirinya.
عَنْ زُرَارَةَ قَالَ
عِدَّةُ الْمُتْعَةِ خَمْسَةٌ وَ أَرْبَعُونَ يَوْماً كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى
أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) يَعْقِدُ بِيَدِهِ خَمْسَةً وَ أَرْبَعِينَ
فَإِذَا جَازَ الْأَجَلُ كَانَتْ فُرْقَةٌ بِغَيْرِ طَلَاقٍ
Dari Zuraarah, ia berkata : “Masa ‘iddah dalam nikah mut’ah adalah
empatpuluh lima hari. Seakan-akan aku melihat pada Abu Ja’far ‘alaihis-salaam
mengisyaratkan dengan tangannya bilangan empatpuluh lima. Apabila waktu sudah
habis, mereka pun berpisah (bubar) tanpa perlu thalaq” [idem,
5/458].
7.
Boleh
nikah mut'ah berkali-kali dengan laki-laki/wanita yang sama.
عَنْ زُرَارَةَ عَنْ
أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) قَالَ قُلْتُ لَهُ جُعِلْتُ فِدَاكَ الرَّجُلُ
يَتَزَوَّجُ الْمُتْعَةَ وَ يَنْقَضِي شَرْطُهَا ثُمَّ يَتَزَوَّجُهَا رَجُلٌ
آخَرُ حَتَّى بَانَتْ مِنْهُ ثُمَّ يَتَزَوَّجُهَا الْأَوَّلُ حَتَّى بَانَتْ
مِنْهُ ثَلَاثاً وَ تَزَوَّجَتْ ثَلَاثَةَ أَزْوَاجٍ يَحِلُّ لِلْأَوَّلِ أَنْ
يَتَزَوَّجَهَا قَالَ نَعَمْ كَمْ شَاءَ لَيْسَ هَذِهِ مِثْلَ الْحُرَّةِ هَذِهِ
مُسْتَأْجَرَةٌ وَ هِيَ بِمَنْزِلَةِ الْإِمَاءِ .
Dari Zuraarah, dari Abu Ja’far ‘alaihis-salaam; ia (Zuraarah) berkata
: Aku berkata kepadanya : “Seorang laki-laki melakukan nikah mut'ah dengan
seorang wanita hingga persyaratannya terselesaikan (habis waktunya sehingga
bubar/pisah). Lalu ada laki-laki lain menikahinya (secara mut’ah) hingga
selesai (bubar/pisah). Kemudian laki-laki yang pertama tadi menikahinya kembali
(secara mut’ah) sampai tiga kali. Kemudian wanita tadi melakukan nikah
mut’ah dengan tiga orang laki-laki. Apakah laki-laki yang pertama masih
diperbolehkan menikahinya kembali (secara mut’ah) ?”. Abu Ja’far
menjawab : “Ya, berapa kali pun boleh sesuai kehendaknya. Wanita yang dinikahi
mut’ah ini tidaklah seperti wanita merdeka (yang dinikahi permanen). Wanita ini
adalah wanita sewaan yang kedudukannya seperti budak” [idem, 5/460].
8.
Tidak perlu menyelidiki apakah si wanita sudah menikah atau berprofesi
sebagai wanita jalang.
عن فضل مولى محمد بن راشد عن أبي عبد الله
عليه السلام قال: قلت اني تزوجت امرأة متعة فوقع في نفسي أن لها زوجا ففتشت عن ذلك
فوجدت لها زوجا قال: ولم فتشت؟!.
Dari
Fadhl maulaa Muhammad bin Raasyid, dari Abu 'Abdillah 'alaihis-salaam; aku (Fadhl) berkata : "Sesungguhnya aku menikah
dengan seorang wanita secara mut'ah.
Lalu timbullah dalam hatiku (keraguan) bahwasannya ia sudah mempunyai suami.
Kemudian aku selidiki tentang hal itu, dan ternyata aku dapati ia memang sudah
mempunyai suami". Abu 'Abdillah berkata : "Dan kenapa pula engkau
selidiki ?" [Tahdziibul-Ahkaam, 7/253].
عَنْ أَبَانِ بْنِ
تَغْلِبَ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) إِنِّي أَكُونُ فِي
بَعْضِ الطُّرُقَاتِ فَأَرَى الْمَرْأَةَ الْحَسْنَاءَ وَ لَا آمَنُ أَنْ تَكُونَ
ذَاتَ بَعْلٍ أَوْ مِنَ الْعَوَاهِرِ قَالَ لَيْسَ هَذَا عَلَيْكَ إِنَّمَا
عَلَيْكَ أَنْ تُصَدِّقَهَا فِي نَفْسِهَا
Dari
Abaan bin Tsaghlib, ia berkata : Aku pernah berkata kepada Abu 'Abdillah 'alaihis-salaam : "Sesungguhnya aku
pernah berada di jalanan, lalu aku melihat seorang wanita cantik (dan ingin aku
nikahi), namun aku merasa tidak aman jangan-jangan ia sudah punya suami atau
termasuk wanita jalang". Abu 'Abdillah berkata : "Bukan kewajibanmu
untuk untuk menyelidikinya. Yang wajib bagimu adalah membenarkan pengakuannya
terhadap dirinya saja" [Al-Kaafiy,
5/462].
Saya mencoba membayangkan gambaran pernikahan mut’ah
dengan 8 point di atas. Hasilnya memang sangat mirip dengan yang disangkakan
para pegiat anti-mut’ah : zina, protitusi berkedok agama.
Bisa jadi razia protitusi Satpol PP di hotel-hotel melati
akan mengalami kegagalan jika semua orang yang tertangkap mengaku telah menikah
secara mut’ah. Tak perlu wali, saksi, bukti, boleh dengan sekali senggama, dan pernikahan
otomatis bubar ketika sudah dirazia.
Ditambah lagi dengan report video singkat fenomena di
Iraan berikut :
Mencermati video di atas, saya menjadi tidak terlalu
terkejut jika ‘Iraan menjadi satu-satunya negara Timur Tengah yang punya pabrik
kondom [sumber : sini
dan sini].
Tapi, sebagaimana tertera pada judul, tak adil rasanya
jika Anda terus mencaci mereka (Syi’ah) dengan menyamakan mut’ah dengan zina, yang kemudian Anda membutakan diri pada fakta bahwa keduanya mempunyai perbedaan.
Perbedaannya adalah orang yang melakukan zina mengakui
bahwa dirinya melakukan dosa besar yang diancam neraka; sedangkan orang Syi’ah
melakukan mut’ah karena merasa benar dan mengharapkan dengannya surga dan keutamaan dari Allah ta’ala. Diantaranya mereka bersandar pada riwayat Al-Baaqir (salah satu imam Syi’ah) :
للمتمتع ثواب؟ قال: إن كان يريد بذلك الله عز وجل ،
وخلافا لفلان ، لم يكلمها كلمة إلا كتب الله تعالى له بها حسنة، ولم يمد يده إليها
إلا كتب الله له حسنة، فإذا دنا منها غفر الله تعالى له بذلك ذنبا، فإذا اغتسل غفر
الله له بقدر ما مر من الماء على شعره، قلت: بعدد الشعر؟ قال: نعم بعدد الشعر
"Adakah orang yang melakukan mut’ah mendapat pahala?”.
Dia (Al-Baaqir) menjawab: "Jika dia melakukannya (mut'ah) karena Allah 'Azza
wa Jalla dan menyelisihi si fulan, maka tidaklah dia (orang yang
melakukan mut'ah) berbicara dengannya (perempuan yang dimut'ah) satu kalimah
melainkan Allah memberikan kepadanya satu kebaikan. Tidaklah dia menghulurkan
tangannya kepadanya melainkan Allah menuliskan untuknya satu kebaikan. Bila dia
menghampiri perempuan itu (bersetubuh), maka Allah Ta’ala mengampunkannya
dengan perbuatan tersebut. Bila ia mandi, maka Allah mengampunkannya sebanyak
air yang mengalir di atas bulunya”. Aku (perawi) berkata: “Sebanyak jumlah
bulu? Al-Baaqir menjawab: “Ya! Sebanyak jumlah bulu" [Mustadrak
Al-Wasaail, no. 17257 – sumber : sini].
Memang cukup menggiurkan janji-janji bagi para pelaku mut’ah.
Pelaku zina merasa sedih karena diancam neraka, pelaku
mut’ah bersuka-ria karena mendapatkan ampunan dan surga.
Sesekali Anda mesti mengangkat perbedaan ini agar terasa
lebih adil bagi mereka dan juga kita.... Setuju ??!
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas,
bogor - 22091434/31072013 – 01:19].
Comments
Sengtujuuh!
Hehehe... you are a legend,akhi... di awal2 seakan antum mau 'mbelain' syiah yang mut'ahnya sering disama2in dengan zina...
eh, ternyata yg antum maksud beda adalah bahwa mut'ah itu lebih keji dari zina... hilarious :D
Skandal Nikah Mut'ah pada Shi'ah :
1-4 The Scandal of Muta (temporary marriage) in Shiism.
2-4 The Scandal of Muta (temporary marriage) in Shiism.
3-4 The Scandal of Muta (temporary marriage) in Shiism.
4-4 The Scandal of Muta (temporary marriage) in Shiism.
Saya pikir benar juga ya , bilamana ada sebagian orang yang menolak pelebelan sesat kepada syiah , karena syiah adalah kafir mutlak yang sudah keluar dari sunah.
bukankah lawan kata sunah adalah syiah ?
anang dc
Baca juga fatwa Muqtada ash-shadr tentang sex party :
Mut'ah Berjama'ah.
Penganut free sex akan senang sekali masuk agama Syi'ah yang menyediakan fasilitas penyaluran libido liar mereka.
Orang-orang syi'ah itu cuma dijadikan sapi perah buat ulama-ulama mereka agar mereka (ulama Syi'ah) dapat bebas berhubungan badan secara legal dengan jama'ah mereka. Tapi gantian anak si ulama mau dimut'ah, malah diancam kekal neraka :
MUT'AH DENGAN ANAK WANITA SISTANI, KEKAL DI NERAKA.
ini penjelasan haram
nikah mutah.
https://www.facebook.com/notes/marhaban-ya-ramadhan/nikah-mutah-zinah/282233218460791?ref=nf
terus bedanya nikah Mut'ah dan Nikah Siri apa??? tidak dibedah sekalian??? jangan sepotong-sepotong dalam melihan 2 mata koin.
http://gridebatas.blogspot.com
To : satan Jlink
Assalamu'alaikum
Singkat saja ya... jelas beda mas, bedanya jauh bagaikan langit dan bumi, kalo Nikah secara sirri itu masih lengkap, ada saksi, wali, penghulu, dsb.
Lha kalo mut'ah ....cuma ente ama pasangan ente doank, enggak perlu saksi, wali, penghulu, segala macem, tinggal ucapin aja akadnya, misal : saya ingin menikah mut'ah dengan tempo satu jam, dengan maskawin seratus ribu tunai"
selesai! ente bisa menikmati indahnya mahligai rumah tangga selama satu jam.
Wallohul Musta'an
wallahu 'alam bisshowab
kasiannya kaum hawa di jadikan bukan sex,, saran sy untuk perempuan syiah berfikirlah pake logika.. hikmah dan arti pernikahan bwt kaum syiah itu apa ? itu sama sj kau melacurkan dirimu, kau di perbudak harga dirimu sdh tdk ada.. sy menghrgai syiah sbg sesama muslim tp ajaranx sesat sungguh menyrdihkan
ada ga hadis dri rosul nya??????/
Kerren euyyyyy.... ,,
Barakallahu fik... thoyyib nih tulisan..
postingan yang bagus
Posting Komentar