Memahami Hadits Orang yang Berwasiat Untuk Dibakar dan Sanggahan Kepada Para Pencela



Begitu kata ‘oknum itu’ dalam judul artikel bombastis yang ia tulis,…..
Hadits yang dimaksud adalah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: كَانَ رَجُلٌ يُسْرِفُ عَلَى نَفْسِهِ فَلَمَّا حَضَرَهُ الْمَوْتُ، قَالَ: لِبَنِيهِ إِذَا أَنَا مُتُّ فَأَحْرِقُونِي ثُمَّ اطْحَنُونِي ثُمَّ ذَرُّونِي فِي الرِّيحِ فَوَاللَّهِ لَئِنْ قَدَرَ عَلَيَّ رَبِّي لَيُعَذِّبَنِّي عَذَابًا مَا عَذَّبَهُ أَحَدًا، فَلَمَّا مَاتَ فُعِلَ بِهِ ذَلِكَ فَأَمَرَ اللَّهُ الْأَرْضَ، فَقَالَ: اجْمَعِي مَا فِيكِ مِنْهُ فَفَعَلَتْ فَإِذَا هُوَ قَائِمٌ، فَقَالَ: مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا صَنَعْتَ؟، قَالَ: يَا رَبِّ خَشْيَتُكَ فَغَفَرَ لَهُ
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi , beliau bersabda : “Dahulu ada seseorang yang melalaikan dirinya sendiri (dengan banyak berbuat dosa). Ketika maut hampir mendekati dirinya, ia berkata (kepada anak-anaknya) : ‘Jika nanti aku meninggal dunia maka bakarlah jasadku lalu tumbuklah menjadi debu, kemudian hamburkanlah agar tertiup angin. Demi Allah, seandainya Rabbku berkuasa terhadap diriku, niscaya Dia akan menyiksaku dengan siksaan yang tidak akan ditimpakan kepada seorangpun’. Ketika orang itu meninggal dunia, wasiatnyapun dilaksanakan. Kemudian Allah memerintahkan bumi dengan berfirman : ‘Kumpulkanlah apa yang ada padamu’. Maka bumi melaksanakan perintah Allah. Ketika orang tadi telah berdiri (setelah dikumpulkan), Allah berfirman : ‘Apa yang mendorongmu melakukan itu?’. Orang itu menjawab : ‘Wahai Rabb, karena aku takut kepada-Mu’. Maka Allah ta’ala pun mengampuninya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3481].

Hadits ini sudah beberapa kali dibawakan dalam artikel blog ini dalam bahasan ‘udzur kejahilan[1]. Banyak ulama menjelaskan bahwa hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu tersebut menjadi salah satu dalil diterima udzur kejahilan dalam masalah ushuuluddiin. Ada yang menyanggah,”Itu kan untuk masalah yang samar”. Saya katakan,”Orang yang tidak tahu terhadap sebagian masalah, artinya masalah itu samar baginya”. Jadi, tidak bisa dikapling-kapling secara pasti berlaku untuk setiap orang, tempat, dan zaman bahwa perkara A adalah jelas, sedangkan perkara B adalah samar. Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah menjelaskan kaidah ini dalam beberapa tempat dalam kitabnya. Saya pun telah menuliskan bahasannya dalam artikel Jelas dan Samar.
Akan saya contohkan yang kongkrit. Para ulama sering mencontohkan perkara wajibnya shalat lima waktu dan haramnya khamr merupakan perkara jelas yang tidak menerima padanya udzur kejahilan[2]. Akan tetapi, ketika ada orang yang benar-benar tidak tahu akan hukum keduanya dan kemudian melakukan pelanggaran, maka ketidaktahuannya dapat diterima. Ini bukan karangan saya. Perhatikan riwayat yang dibawakan oleh Al-Khallaal rahimahullah berikut:
أَخْبَرَنِي موسى بن سهل، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّد بن أحمد الأسدي، قَالَ: حَدَّثَنَا إبراهيم بن يعقوب، عن إسماعيل بن سعيد، قَالَ: سألت أحمد عن الرجل يقول: الزنا وشرب الخمر حلال جاهلا بِهِ؟ فقيل له: إنه حرام فِي كتاب الله تعالى. فَقَالَ: بل هو حلال، ثم قيل له أيضا، فَقَالَ: هو حرام؟، فَقَالَ: إن كان مستثبتا لا يعتقد الكفر والجحود لا يكفر، ولا تبين مِنْهُ امرأته.
Telah mengkhabarkan kepadaku Musa bin Sahl, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ahmad Al-Asadiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Ya'qub, dari Isma'il bin Sa'id, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Ahmad (bin Hanbal) tentang seseorang yang mengatakan zina dan minum khamr halal dalam keadaan jahil tentang hukumnya. Dikatakan kepadanya : 'Sesungguhnya hal tersebut (zina dan minum khamr) haram berdasarkan Kitabullah ta'ala. Orang itu menjawab : 'Bahkan itu halal'. Kemudian dikatakan lagi kepadanya (hukumnya haram berdasarkan Kitabullah). Orang itu menjawab : 'Itu haram ya?".
Maka Ahmad berkata : "Apabila ia seorang mustatsbit (berpegang pada nash) serta tidak meyakini kekufuran dan penolakan/juhuud; maka tidak dikafirkan dan istrinya tidak diceraikan darinya" [Ahlul-Milal war-Riddah no. 1406].
BAHKAN, dulu Qudaamah bin Madh’uun radliyallaahu ‘anhu membolehkan dirinya minum khamr karena salah ta'wil ayat padahal ia hidup di tengah para sahabat serta telah berlalu kehidupannya bersama Nabi dan kekhalifahan Abu Bakr radliyallaahu 'anhu. Meskipun dirinya dikenakan hukuman cambuk karena minum khamr, ia diberikan udzur tidak dikafirkan karena salah dalam ta'wil.
فَقَالَ عُمَرُ لِقُدَامَةَ: " إِنِّي حَادُّكَ "، فَقَالَ: لَوْ شَرِبْتَ كَمَا يَقُولُونَ مَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تَجْلُدُونِي، فَقَالَ عُمَرُ: " لِمَ؟ "، قَالَ قُدَامَةُ: قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا الآيَةُ، فَقَالَ عُمَرُ: " أَخْطَأْتَ التَّأْوِيلَ، إِنَّكَ إِذَا اتَّقَيْتَ اجْتَنَبْتَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْكَ "، ...... فَأَمَرَ بِقُدَامَةَ فَجُلِدَ، ......
‘Umar berkata kepada Qudaamah : “Sesungguhnya aku akan menjatuhkan hukuman hadd kepadamu”. Qudaamah berkata : “Seandainya aku minum sebagaimana yang mereka katakan, engkau tidak berhak mencambukku”. ‘Umar berkata : “Kenapa ?”. Qudaamah berkata : “Allah ta’ala telah berfirman : ‘Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman’ (QS. Al-Maaidah : 93). ‘Umar berkata : “Engkau keliru dalam menakwilkan ayat tersebut. Seandainya engkau bertaqwa, niscaya engkau jauhi apa yang diharamkan Allah terhadapmu”…… Kemudian ia memerintahkan Qudamah untuk dicambuk…. [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 17076; shahih].
Secara umum, keharaman zina dan khamr merupakan perkara aksiomatik diketahui dalam agama (ma'lum minad din bidl-dlarurah). Akan tetapi, Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah memberikan perincian kondisi orang yang mengingkarinya. Apabila diketahui pada dasarnya dirinya orang yang mengikuti nash, namun ternyata ia salah paham atau benar-benar tidak mengetahui keharamannya, maka tidak dikafirkan. Oleh karena itu, ketika Al-Qarraafiy Al-Maalikiy (w. 684 H) memutlakkan kekafiran pada orang yang mengingkari perkara yang ma'lum minad-din bidl-dlarurah, Ibnusy-Syaath Al-Maalikiy rahimahumallah (w. 723 H) mengomentarinya:
قلت : هذا كفر .. إن كان جحده بعد علمه : فيكون تكذيبا ، وإلا .. فهو جهل، وذلك الجهل معصية ؛ لأنه مطلوب بإزالة مثل هذا الجهل على وجه الوجوب
"Aku katakan : Ini adalah kekufuran... apabila pengingkaran/penolakannya setelah pengetahuannya, maka hal itu merupakan pendustaan. Jika tidak, maka itu adalah kejahilan, dan kejahilan merupakan kemaksiatan karena ia dituntut untuk menghilangkan kejahilan seperti ini, dan itu wajib baginya" [Haasyiyah Ibnisy-Syaath 'alal-Furuuq, 4/233].
ما قاله في ذلك صحيح إلا كونه اقتصر على اشتراط شهرة ذلك الأمر من الدين بل لا بد من اشتهار ذلك من وصول ذلك إلى هذا الشخص وعلمه به فيكون إذ ذاك مكذبا لله تعالى ولرسوله فيكون بذلك كافرا أما إذا لم يعلم ذلك الأمر ، وكان من معالم الدين المشتهرة فهو عاص بترك التسبب إلى علمه ليس بكافر ، والله تعالى أعلم
"Apa yang dikatakannya dalam perkara tersebut benar, kecuali pembatasan atas pensyaratan kemasyhuran perkara agama tersebut. Akan tetapi, kemsyahuran perkara agama mesti dibarengi dengan sampainya kepada individu (yang dihukumi) dan pengetahuan/pemahamnnya terhadapnya. Sehingga jika kondisi tersebut terpenuhi, pengingkarannya merupakan pendustaan terhadap Allah ta'ala dan Rasul-Nya; dan berdasarkan hal itu ia kafir. Adapun jika individu itu tidak mengetahui perkara yang ia langgar, sementara perkara itu adalah perkara agama yang masyhur, maka ia bermaksiat dengan meninggalkan sebab yang menyampaikannya kepada ilmu, dan ia tidak kafir. Wallaahu ta'ala a'lam" [idem, 4/234].
Untuk case Qudaamah bin Madh’uun radliyallaahu ‘anhu, Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan:
وأما الفرائض الأربع فإذا جحد وجوب شيء منها بعد بلوغ الحجة فهو كافر وكذلك من جحد تحريم شيء من المحرمات الظاهرة المتواتر تحريمها كالفواحش والظلم والكذب والخمر ونحو ذلك وأما من لم تقم عليه الحجة مثل أن يكون حديث عهد بالاسلام أو نشأ ببادية بعيدة لم تبلغه فيها شرائع الاسلام ونحو ذلك أو غلط فظن أن الذين آمنوا وعملوا الصالحات يستثنون من تحريم الخمر كما غلط فى ذلك الذين استتابهم عمر وأمثال ذلك فإنهم يستتابون وتقام الحجة عليهم فإن اصروا كفروا حينئذ ولا يحكم بكفرهم قبل ذلك كما لم يحكم الصحابة بكفر قدامة بن مظعون وأصحابه لما غلطوا فيما غلطوا فيه من التأويل
“Adapun kewajiban-kewajiban rukun Islam yang empat (setelah syahadat), apabila ada seseorang mengingkari kewajibannya setelah sampai hujjah kepadanya, maka ia kafir. Begitu juga dengan orang yang mengingkari keharaman sesuatu yang jelas lagi mutawatir status keharamannya seperti perbuatan keji (= zina), berbuat dhalim, berdusta, minum khamr, dan yang semisalnya. Namun bagi orang yang belum tegak padanya hujjah seperti orang yang baru masuk Islam atau hidup di daerah terpencil yang jauh (dari ilmu dan ulama) yang belum sampai kepadanya syari'at-syari'at Islam, atau keliru dengan menyangka bahwa orang-orang yang beriman dan beramal shalih dikecualikan dalam pengharaman minum khamr sebagaimana telah keliru orang-orang yang diminta 'Umar (bin Al-Khaththaab) untuk bertaubat, dan yang semisalnya; maka mereka diminta untuk bertaubat dan ditegakkan hujjah kepada mereka. Apabila mereka bersikeras melakukannya (setelah itu), maka dikafirkan - pada waktu itu - , dan mereka tidak dihukumi kafir sebelum itu. sebagaimana para shahabat tidak menghukumi kekufuran Qudaamah bin Madh'uun dan shahabat-shahabatnya ketika mereka keliru pada perkara yang mereka keliru dalam mena'wilkannya......"[3] [Majmuu' Al-Fataawaa, 7/609-610].
Riwayat Ahmad bin Hanbal rahimahullah dan Qudaamah bin Madh’uun radliyallaahu ‘anhu di atas merupakan bantahan bagi sekelompok orang yang menganggap perkara ma'lum minad-din bidl-dlarurah merupakan perkara yang tetap lagi pejal, berlaku bagi semua orang, semua kondisi, semua tempat, dan semua zaman.
Itu sebagai muqaddimah
Kemudian tentang bahasan hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu. Katanya,
Pertama; terdapat ikhtilaf pada lafal hadits ini pada kitab-kitab sunnah menjadi tiga macam.
1- Sebagaimana yang telah disebutkan di atas dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu yang menyebutkan bahwa orang ini meragukan kekuasaan Allah untuk mengumpulkan jasadnya apabila telah menjadi debu.
2- Riwayat yang tidak menyebutkan bahwa orang ini meragukan kekuasaan Allah. Dari Hudzaifah bin Al Yaman Radhiyallahu ‘Anhu ia berkata; Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda;
“Ada seseorang yang sedang sakarat. Ketika dia sudah putus asa dari kehidupan dia berwasiat kepada keluarganya; apabila dia mati kumpulkanlah kayu bakar yang banyak dan bakarlah jasadku. Hingga apabila api telah memakan dagingku dan tersisa tulang-tulangku, ambil dan tumbuklah. Kemudian tunggu sampai datang hari yang banyak angin taburkanlah di laut. Maka mereka melakukannya. Lalu Allah mengumpulkan jasadnya dan berkata kepadanya; Kenapa kamu lakukan itu? Ia menjawab; Takut kepada-Mu. Maka dia diampuni.” HR. Al Bukhari no 1602
3- Riwayat yang justru menerangkan bahwa orang tersebut tidak mengingkari kekuasaan Allah. Dari Abu Said Al Khudri dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam;
“Ada seseorang sebelum kalian yang Allah limpahkan harta dan keturunan. Dia berkata kepada anak-anaknya; Lakukanlah perintahku ini atau aku alihkan warisanku kepada orang lain. Apabila aku mati bakarlah aku, kemudian tumbuk dan taburkan (debunya) di tengah angin kencang. Sesungguhnya aku belum mengerjakan satu pun kebaikan. Dan sesungguhnya Allah mampu untuk mengazabku. Lalu dia mengambil dari anak-anaknya janji dan mereka melakukannya, demi Rabku. Maka Allah berkata; Apa alasanmu melakukan ini? Dia menjawab; Takut kepada-Mu. Dia tidak mengujinya selain itu”.
[selesai kutipan]
Maaf, tak ada yang istimewa sebenarnya. Tulisan di atas hanyalah buah taqlid tanpa ada usaha melakukan pengecekan riwayat secara detail. Tapi kalau ‘oknum itu’ sudah punya niat ‘asal ngebantah’, taqlid buta tanpa cek ulang akan dilalap juga.
Untuk riwayat yang - katanya - tidak menyebutkan bahwa keraguan terhadap kekuasaan Allah, lalu ‘oknum itu’ menisbatkan kepada hadits Hudzaifah bin Al-Yaman radliyallaahu ‘anhu dalam Shahiih Al-Bukhaariy no. 1602; apakah yang bersangkutan tidak ada usaha mentakhrij hadits, menelusuri jalan periwayatan, sanad dan matannya ?. Ini saya bawakan riwayat An-Nasaa'iy dalam Sunan-nya no. 2080:
أَخْبَرَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ رِبْعِيٍّ، عَنْ حُذَيْفَةَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ قَالَ: " كَانَ رَجُلٌ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ يُسِيءُ الظَّنَّ بِعَمَلِهِ، فَلَمَّا حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ، قَالَ لِأَهْلِهِ: إِذَا أَنَا مُتُّ فَأَحْرِقُونِي، ثُمَّ اطْحَنُونِي، ثُمَّ اذْرُونِي فِي الْبَحْرِ، فَإِنَّ اللَّهَ إِنْ يَقْدِرْ عَلَيَّ لَمْ يَغْفِرْ لِي، قَالَ: فَأَمَرَ اللَّهُ ﷻ الْمَلَائِكَةَ فَتَلَقَّتْ رُوحَهُ، قَالَ لَهُ: مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا فَعَلْتَ؟ قَالَ: يَا رَبِّ، مَا فَعَلْتُ إِلَّا مِنْ مَخَافَتِكَ، فَغَفَرَ اللَّهُ لَهُ
".......karena jika Allah mampu/sanggup mengumpulkanku, niscaya Ia tidak akan mengampuniku.....”
Sanadnya sama dengan yang ada di Shahiih Al-Bukhaariy. Cuma yang di Shahiih Al-Bukhaariy, yang meriwayatkan dari Jariir adalah 'Utsmaan bin Abi Syaibah, sementara An-Nasaa'iy adalah Ishaaq bin Rahawaih. Ishaaq lebih kuat daripada 'Utsmaan, sehingga lafadh itu diterima. Sesuai juga dengan lafadh Abu Hurairah radliyallaahu 'anhu.
Untuk riwayat yang - katanya - ‘justru menerangkan bahwa orang tersebut tidak mengingkari kekuasaan Allah’ dari Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu, maka saya persilakan mengambil kitab Shahiih Al-Bukhaariy, buka hadits nomor 7508. Di situ disebutkan lafadhnya begini:
وَإِنْ يَقْدِرِ اللَّهُ عَلَيْهِ يُعَذِّبْهُ
"(Ia menyangka), apabila Allah sanggup mengumpulkannya, niscaya Ia akan mengadzabnya".
Clear, ini sebagai dalil kesesuaian lafadh dengan kebanyakan jalur periwayatannya yang menjelaskan keraguan orang tersebutterhadap kekuasaan Allah . Kemudian riwayat yang diklaim tidak adanya pengingkaran:
وَإِنَّ اللَّه يَقْدِر عَلَى أَنْ يُعَذِّبنِي
"Dan sesungguhnya Allah mampu untuk mengazabku"
Maka An-Nawawiy rahimahullah menjelaskan:
لَكِنْ يَكُون قَوْله هُنَا مَعْنَاهُ : إِنَّ اللَّه قَادِر عَلَى أَنْ يُعَذِّبنِي إِنْ دَفَنْتُمُونِي بِهَيْئَتِي ، فَأَمَّا إِنْ سَحَقْتُمُونِي وَذَرَّيْتُمُونِي فِي الْبَرّ وَالْبَحْر فَلَا يَقْدِر عَلَيَّ وَيَكُون جَوَابه كَمَا سَبَقَ ، وَبِهَذَا تَجْتَمِع الرِّوَايَات . وَاَللَّه أَعْلَم
“Akan tetapi perkataannya di sini makanya : ‘Sesungguhnya Allah mampu mengadzabku apabila kalian menguburkanku dengan wujud/bentukku sekarang ini. Namun apabila kalian menghancurkan tubuhku dan menaburkan tubuhku di darat dan lautan, Dia tidak akan mampu mengumpulkan/mengadzabku’. Sehingga hal ini menjadi jawabannya sebagaimana yang telah lalu. Dengan demikian, riwayat-riwayat tersebut dapat dijamak. Wallaahu a’lam” [Syarh Shahiih Muslim, 17/74].
Kemudian ‘oknum itu’ membawakan beberapa penafsiran perkataan ulama terkait hadits tersebut. Alhamdulillah, saya mengetahui aneka penafsiran perkataan para ulama tersebut. Akan tetapi, apa relevansinya ? Justru banyak ulama – diantaranya ia sebutkan – menjelaskan hadits orang jahil akan kekuasaan Allah sebagai dalil diterimanya ‘udzur kejahilan dalam sebagian perkara ushuuluddiin, termasuk kejahilan dalam (sebagian) rincian perkara uluhiyyah.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan:
فهذا رجلٌ شَكَّ في قدرة الله، وفي إعادته إذا ذُري؛ بل اعتقد أنه لا يُعاد، وهذا كُفْر باتِّفاق المُسلمينَ؛ ولكن كان جاهِلاً لا يعلم ذلك، وكان مُؤمنًا يخاف الله أنْ يعاقِبه، فغُفِر له بذلك
“Orang ini telah ragu atas kekuasaan Allah dan dalam kemampuan-Nya untuk mengembalikannya apabila ia telah menjadi debu/abu (setelah dibakar). Bahkan ia meyakini Allah tidak akan membangkitkannya kembali (di akhirat). Ini adalah kekafiran berdasarkan kesepakatan (ijmaa’) kaum muslimin[4]. Akan tetapi orang tersebut jaahil, tidak mengetahui perkara tersebut, dan ia sendiri seorang yang mukmin yang takut kepada Allah dan siksa-Nya. Maka ia diampuni (oleh Allah) karena hal tersebut” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 3/230-231].
فهذا الرجل  ظن أن الله لا يقدر عليه إذا تفرق هذا التفرق، فظن أنه لا يعيده إذا صار كذلك، وكل واحد من إنكار قدرة الله تعالى، وإنكار معاد الأبدان و إن تفرقت كفر، لكنه كان مع إيمانه بالله وإيمانه بأمره وخشيته منه جاهلاً بذلك، ضالاً في هذا الظن مخطئاً، فغفر الله له ذلك، والحديث صريح في أن الرجل طمع أن لا يعيده إذا فعل ذلك، وأدنى هذا أن يكون شاكاً في المعاد، وذلك كفر إذا قامت حجة النبوة على منكره حكم بكفره
“Orang ini menyangka bahwa Allah tidak mampu membangkitkan/mengumpulkannya apabila tubuhnya terpisah-pisah, lalu ia menyangka dirinya tidak akan mengembalikannya apabila tubuhnya apabila telah menjadi abu. Maka setiap perkara pengingkaran terhadap kekuasaan Allah ta’ala dan pengingkaran pengembalian badan/jasad meskipun terpisah-pisah adalah kekufuran. Meskipun demikian, disamping keimanannya terhadap Allah, keimanannya terhadap perintah-Nya, dan rasa takutnya kepada-Nya, ia pun jahil akan dengan persangkaannya tersebut dan keliru. Maka Allah mengampuninya dalam hal itu. Dan hadits ini sangat gambling menjelaskan bahwa orang itu sangat ingin untuk tidak dikembalikan apabila ia melakukannya (yaitu jasadnya dibakar, ditumbuk, dan dihamburkan tertiup angin- Abul-Jauzaa’). Minimal, orang itu ragu akan hari kebangkitan. Perkara itu merupakan kekufuran. Apabila telah tegak hujjah nubuwwah terhadap orang yang mengingkarinya, maka ia dihukumi dengan kekufuran…” idem, 11/409].
Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy menukil perkataan Al-Khaththaabiy rahimahumallah:
قَدْ يُسْتَشْكَل هَذَا فَيُقَال كَيْف يُغْفَر لَهُ وَهُوَ مُنْكِر لِلْبَعْثِ وَالْقُدْرَة عَلَى إِحْيَاء الْمَوْتَى ؟ وَالْجَوَاب أَنَّهُ لَمْ يُنْكِر الْبَعْث وَإِنَّمَا جَهِلَ فَظَنَّ أَنَّهُ إِذَا فُعِلَ بِهِ ذَلِكَ لَا يُعَاد فَلَا يُعَذَّب ، وَقَدْ ظَهَرَ إِيمَانه بِاعْتِرَافِهِ بِأَنَّهُ إِنَّمَا فَعَلَ ذَلِكَ مِنْ خَشْيَة اللَّه
“Hadits ini dianggap susah dipahami, sehingga dikatakan : ‘Bagaimana bisa orang itu diampuni sementara dirinya mengingkari kebangkitan dan kekuasaan Allah menghidupkan kembali orang yang telah mati?’. Jawabannya : Bahwasannya orang itu tidak mengingkari kebangkitan. Dirinya hanyalah jahil sehingga menyangka apabila jasadnya diperlakukan seperti itu, ia tidak akan dibangkitkan dan tidak pula diadzab. Sungguh, keimanannya nampak dengan pengakuan bahwa ia melakukannya hanyalah karena rasa takutnya kepada Allah” [Fathul-Baariy, 6/522].
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata saat membahas kufur juhuud (pengingkaran) :
وكفر الجحود نوعان : كفر مطلق عام وكفر مقيد خاص فالمطلق : أن يجحد جملة ما أنزله الله وإرساله الرسول والخاص المقيد : أن يجحد فرضا من فروض الإسلام أو تحريم محرم من محرماته أو صفة وصف الله بها نفسه أو خبرا أخبر الله به عمدا أو تقديما لقول من خالفه عليه لغرض من الأغراض
وأما جحد ذلك جهلا أو تأويلا يعذر فيه صاحبه : فلا يكفر صاحبه به كحديث الذي جحد قدرة الله عليه وأمر أهله أن يحرقوه ويذروه في الريح ومع هذا فقد غفر الله له ورحمه لجهله إذ كان ذلك الذي فعله مبلغ علمه ولم يجحد قدرة الله على إعادته عنادا أو تكذيبا
“Kufur juhuud ada dua macam : kufur mutlak lagi umum, dan kufur muqayyad lagi khusus. Kufur mutlak adalah menolak semua yang diturunkan Allah dan diutusnya Rasul. Kufur khusus lagi muqayyad : menolak kewajiban dari kewajiban-kewajiban dalam syari’at Islam atau (menolak) keharaman dari keharaman-keharaman dalam syari’at Islam, atau (menolak) sifat yang telah Allah sifatkan dengannya untuk diri-Nya, atau (menolak) khabar yang telah Allah khabarkan dengannya secara sengaja atau mendahulukan perkataan orang yang menyelisihinya untuk satu tujuan tertentu.
Adapun orang yang mengingkarinya karena ketidaktahuannya atau karena ta’wiil, maka pelakunya diberikan ‘udzur, sehingga ia tidak dikafirkan dengannya. Hal itu sebagaimana hadits orang yang mengingkari kekuasaan Allah padanya, dimana ketika itu (sebelum meninggal) ia memerintahkan keluarganya agar membakar jasadnya dan menaburkan abunya di udara. Bersamaan dengan ini, Allah mengampuni dan merahmatinya karena kejahilannya. Perbuatan orang tersebut dilakukan sesuai batas pengetahuannya, tanpa adanya pengingkaran terhadap kekuasaan Allah untuk mengembalikan dirinya dengan penentangan atau pendustaan” [Madaarijus-Saalikiin, 1/338-339].
Ibnu Hazm rahimahullah berkata :
فهذا إنسان جهل إلى أن مات أنَّ الله - عز وجل - يقدر على جمع رماده وإحيائه، وقد غفر له؛ لإقراره وخوفه وجهله
“Orang ini jahil hingga meninggal dunia bahwasa Allah ‘azza wa jalla mampu untuk mengumpulkan abunya dan mampu untuk menghidupkannya kembali. Sungguh, Allah telah mengampuninya dikarenakan iqraar-nya (atas iman kepada Allah), rasa takutnya, dan ketidaktahuannya (kejahilannya)” [Al-Fishaal, 3/252].
Jika kita mengambil hadits tersebut sebagai dalil diberikannya udzur kejahilan dengan mengambil perkataan ulama, apakah lantas kita taruh hanya karena keberatan dari ‘oknum itu’ ?. No way !!
Setelah itu, ‘oknum itu’ mengigau dengan perkataannya:
“Setelah uraian ini semua masih pantaskah kita mengatakan seperti yang dikatakan salah seorang pencela; “konsekuensinya, jika jahil dalam sebagian perkara rububiyah diberikan udzur, maka jahil dalam sebagian perkara uluhiyah pun (seharusnya) diberikan udzur”
[selesai kutipan]
Entah apa fokus uraian yang telah dituliskannya, ambigu. Mungkin menjadi tidak pantas kita mengambil perkataan ulama Ahlus-Sunnah terdahulu yang menafsirkan hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu seperti di atas, karena tidak sesuai dengan penjelasan ulama yang kebetulan ia anut pendapatnya. Mungkin begitu…..
Tentang masalah udzur dalam perkara Rububiyyah dan Uluhiyyah, apakah ‘oknum tersebut’ buta huruf ketika saya menulis:
Sebaliknya, sangat jarang orang tidak mengetahui rububiyyah Allah ta'ala sebagaimana dalam ayat di awal. Rububiyyah Allah sangatlah mendasar bagi hamba. Jahil dalam rububiyyah Allah lebih besar perkaranya daripada jahil dalam uluhiyyah. Dengan kata lain, syirik rububiyyah lebih besar daripada syirik uluhiyyah. Begitulah yang dijelaskan ulama” [lihat : Jahil dalam Rububiyyah dan Uluhiyyah].
Ketika Asy-Syaikh Muhammad bin Ibraahiim rahimahullah ditanya, manakah yang lebih besar, syirik dalam Rububiyyah ataukah dalam Uluhiyyah, beliau rahimahullah menjawab:
المتبادر أَن الشرك في الربوبية أَعظم، ولكن لم يجيء فيه من النصوص مثل ما جاء في الشرك في الإلهية، لأَن أُكثر الخلق لم ينازعوا فيه
“Ringkasnya, syirik dalam Rubuubiyyah lebih besar (daripada syirik dalam Uluhiyyah). Akan tetapi tidak ada dalam nash-nash (yang menjelaskan syirik dalam Rubuubiyyah) semisal nash-nash yang menjelaskan syirik dalam Uluhiyyah. Karena mayoritas manusia tidak berselisih pendapat padanya….” [secara ringkas – Al-Fataawaa war-Rasaaail, 1/31].
Jika syirik dalam Rubuubiyyah lebih besar daripada Uluhiyyah, dimanakah letak kekeliruan jika dikatakan ‘jika jahil dalam sebagian perkara rububiyah diberikan udzur, maka jahil dalam sebagian perkara uluhiyah pun (seharusnya) diberikan udzur?.
Saya tidak mengatakan ‘semua perkara’, akan tetapi ‘sebagian perkara’.
Apakah ‘oknum itu’ pikir ‘kemampuan Allah untuk membangkitkan dan menghidupkan kembali yang telah mati’ bukan termasuk bagian dari Rububiyyah Allah ?. Bukankah ‘oknum itu’ pernah membacakan – barangkali – beberapa ayat yang menetapkan pengakuan kaum musyrikin era dulu akan Rububiyyah Allah[5] include hal tersebut, seperti firman Allah :
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
Katakanlah, ’Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab, ’Allah.’ Maka katakanlah, ’Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?’” [QS. Yuunus : 31].
Tauhid Rububiyyah adalah : Suatu keyakinan yang pasti bahwa Allah satu-satunya pencipta, pemberi rizki, menghidupkan dan mematikan, serta mengatur semua urusan makhluk-makhluk-Nya tanpa ada sekutu bagi-Nya[6].
Oknum itu’ melanjutkan:
Siapa saja yang memperhatikan hadits ini (riwayat pertama) tahu bahwa hadits berbicara tentang hukum akhirat “Lalu Allah bertanya kepadanya; Apa yang melandasimu melakukan itu? Dia menjawah; takut kepadamu. Maka orang ini diampuni.” Sedangkan penjelasan para imam dakwah tentang kafirnya pelaku syirik besar adalah tentang hukum dunia saja, atau hukum dunia dan akhirat.
[selesai kutipan]
Justru karena ada penegasan dari Allah bahwa orang tersebut diampuni, para ulama ber-istinbaath bahwa orang jahil yang melakukan sebagian perkara kekufuran yang disepakati, maka ia dapat diberikan udzur dan tidak dikafirkan karenanya. Itu pointnya. Perkara ada sebagian ulama kontemporer yang pendapatnya dipegang gerombolan ‘oknum itu’ menyelisihi para ulama yang saya sebutkan di atas, nggak masalah. Kita hormati. Tapi kalau oknum itu bilang ‘Hendaknya seseorang mencukupkan diri dengan keterangan ulama dan tidak merangkai pemahamannya sendiri karena lebih selamat dan lebih terjaga agamanya’, maksudnya mencukupkan diri pada ulama yang ia pegang, ini namanya pembodohan masal. Sori lah yaw… Banyak dalil yang bertentangan dengan pendapat yang ia pegang.
Lalu oknum itu menulis tentang madzhab Ibnul-Qayyim rahimahullah yang ia kira sama dengan dirinya. Ia tidak membedakan antara kafir asli dan yang tidak. Perkataan Ibnul-Qayyim rahimahullah sebelumnya sebenarnya telah cukup. Saya tambahkan yang ini dari perkataan beliau rahimahullah:
فأما أهل البدع الموافقون لأهل الإسلام ، ولكنهم مخالفون في بعض الأصول ـ كالرافضة والقدرية والجهمية وغلاة المرجئة ونحوهم ـ فهؤلاء أقسام:
أحدها : الجاهل المقلد الذي لا بصيرة له ، فهذا لا يكفر ولا يفسق ،ولا ترد شهادته ؛ إذا لم يكن قادرا على تعلم الهدى ، وحكمه حكم المستضعفين من الرجال والنساء والولدان الذين لا يستطيعون حيلة ولا يهتدون سبيلا ، فأولئك عسى الله أن يعفوا عنهم وكان الله عفوا غفورا.
القسم الثاني : المتمكن من السؤال وطلب الهداية ومعرفة الحق ، ولكن يترك ذلك اشتغالا بدنياه ورياسته ولذته ومعاشه وغير ذلك ؛ فهذا مستحق للوعيد آثم بترك ما وجب عليه من تقوى الله بحسب استطاعته ؛ فهذا حكمه حكم أمثاله من تاركي بعض الواجبات ، فإن غلب ما فيه من البدعة والهوى على ما فيه من السنة والهدى : ردت شهادته ، وإن غلب ما فيه من السنة والهدى : قبلت شهادته.
القسم الثالث : أن يسأل ويطلب ويتبين له الهدى ، ويتركه تقليدا وتعصبا ، أو بغضا أو معاداة لأصحابه ، فهذا أقل درجاته : أن يكون فاسقا ، وتكفيره محل اجتهاد وتفصيل، فإن كان معلنا داعية : ردت شهادته وفتاويه وأحكامه مع القدرة على ذلك ، ولم تقبل له شهادة ، ولا فتوى ولا حكم إلا عند الضرورة ، كحال غلبة هؤلاء واستيلائهم ، وكون القضاة والمفتين والشهود منهم ،ففي رد شهادتهم وأحكامهم إذ ذاك فساد كثير ولا يمكن ذلك ، فتقبل للضرورة.
“Adapun ahlul-bid’ah yang berkesesuaian dengan orang Islam, akan tetapi mereka menyelisihi dalam sebagian ushul (pokok agama) seperti Raafidlah, Qadariyyah, Jahmiyyah, Murji’ah ekstrim, dan yang lainnya – maka mereka itu bermacam-macam:
Pertama : Orang jahil yang taqlid lagi tidak memiliki bashirah, maka orang ini tidak dikafirkan, tidak difasikkan fasiq, dan tidak ditolak kesaksiannya, apabila ia tidak mampu mempelajari petunjuk. Hukum yang diberlakukan untuknya adalah hukum orang-orang yang tertindas (mustadl’afiin) dari kalangan laki-laki, wanita, dan anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
Kedua: Orang yang memiliki kesempatan untuk bertanya, mencari hidayah, dan mengetahui kebenaran, namun ia meninggalkannya karena sibuk dengan dunia, kedudukan, kenikmatan, kehidupannya, dan hal lainnya; maka orang ini berhak mendapatkan ancaman lagi berdosa dengan sebab meninggalkan hal yang diwajibkan atasnya, yaitu untuk bertaqwa kepada Allah sesuai kemampuannya. Hukum yang diberlakukan untuknya adalah hukum orang-orang yang seperti dia dari kalangan yang meninggalkan sebagian kewajiban. Apabila bid’ah dan hawa nafsu yang ada padanya lebih mendominasi daripada sunnah dan petunjuk, maka kesaksiannya ditolak. Namun apabila sunnah dan petunjuk yang ada padanya lebih mendominasi, maka kesaksiannya diterima.
Ketiga: Orang yang bertanya, mencari kebenaran, dan kemudian jelas baginya petunjuk (karena usahanya itu); namun ia malah meninggalkannya karena taqlid dan fanatik (ta’ashub) atau karena benci dan memusuhi orang-orangnya, maka minimal statusnya adalah fasiq, dan pengkafirannya adalah tempat ijtihad dan perincian. Apabila ia terang-terangan lagi mendakwahkannya; maka kesaksiannya, fatwa-fatwanya, dan putusan-putusannya ditolak saat mampu atas hal itu. Begitu kesaksiannya, fatwa-fatwanya, dan putusan-putusannya tidak diterima kecuali saat darurat, seperti pada keadaan pendudukan dan penguasaan mereka, serta keberadaan para hakim, mufti, dan saksi dari kalangan mereka; karena dalam sikap menolak kesaksian dan putusan-putusan mereka saat itu adalah kerusakan yang besar dan tidak mungkin itu, sehingga diterimalah dengan alasan darurat” [Thuruqul-Hukmiyyah, hal. 254-255].
Saya tanya kepada ‘oknum itu’ sekarang:
Raafidlah itu seperti apa ? Apakah mereka tidak melakukan kesyirikan ? Bukankah komunitas Anda sering mempopulerkan status Raafidlah kafir secara mutlak, baik orang awamnya maupun adalah kafir, lalu mencela orang-orang yang memberikan perincian dalam status mereka ?”.
Alhamdulillah, saya telah menuliskannya di artikel ini : ‘Udzur Kejahilan Menurut Ibnul-Qayyim – Haafidh Al-Hakamiy – Rabii’ Al-Madkhaliy. Silakan rekan-rekan membacanya.
Di bagian akhir ‘oknum itu’ pamer referensi beberapa buku yang mendukung pendapatnya. InsyaAllah saya pun mampu melakukannya. Silakan baca:
1.    Madhaahiru Inhiraafaatil-'Aqadiyyah 'indash-Shuufiyyah wa Atsaruhas-Sayyi' 'alal-Ummatil-Islaamiyyah oleh Abu 'Abdil-'Aziiz Idriis bin Mahmuud Idriis. Buku ini asalnya adalah tesis S2 Universitas Islam Madinah (UIM) di bawah bimbingan Asy-Syaikh Dr. Shaalih bin 'Abdillah Al-'Ubuud hafidhahullah, mantan rektor UIM.
2.    Manhaajul-Imaam Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab fii Mas-alatit-Takfiir oleh Dr. Ahmad bin Jazaa’ Ar-Radlaimaan, dengan pengantar Asy-Syaikh Prof. Dr. Naashir bin ‘Abdil-Kariim Al-‘Aql hafidhahumallah.
3.    I’laanun-Nakiir ‘alaa Ghulaatit-Takfiir oleh Asy-Syaikh Ahmad bin Ibraahiim Abil-‘Ainain yang dipuji oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadiy Al-Wadii’iy rahimahullah.
4.    Syarh Kasyfisy-Syubuhaat oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah.
5.    Al-Jahl bi-Masaailil-I’tiqaad wa Hukmuhu oleh ‘Abdurrazzaaq Ma’aasy. Buku ini asalnya tesis S2 di bawah bimbingan Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin Naashir Al-Barraak hafidhahullah.
6.    Taqriiraatu Aimmatid-Da'wah fii Mukhalafati Madzhabil-Khawaarij wa Ibthaalihi oleh Dr. Muhammad Hisyaam Thaahir. Buku ini asalnya adalah disertasi S3 dengan penguji Asy-Syaikh 'Abdul-'Aziiz Aalusy-Syaikh (mufti Saudi saat ini) dan Asy-Syaikh Prof. Su'uud bin 'Abdil-'Aziiz Al-Khalaf hafidhahumullah.
7.    Dan lain-lain, banyak.
Terakhir, sebaiknya kita semua merasa perlu memperbanyak baca. Silakan saja, seseorang menguatkan pendapat seorang atau sekelompok ulama. Tapi kalau sampai menihilkan perbedaan pendapat, apalagi membuat bid’ah dengan tabdii’ irjaa’, sungguh, engkau kurang piknik jauh.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – 04022020].



[2]    Saya sepakat sebagai sebuah keumumannya. Selain itu, juga dalam rangka mempermudah saat menjelaskan dengan mengambil contoh yang mudah.
[3]    Padahal di lain tempat Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
ومن جحد وجوب بعض الواجبات الظاهرة المتواترة كالصلوات الخمس وصيام شهر رمضان وحج البيت العتيق أو جحد تحريم بعض المحرمات الظاهرة المتواترة كالفواحش والظلم والخمر والميسر والزنا وغير ذلك أو جحد حل بعض المباحات الظاهرة المتواترة كالخبز واللحم والنكاح فهو كافر مرتد يستتاب فان تاب والا قتل وان اضمر ذلك كان زنديقا منافقا لا يستتاب عند اكثر العلماء بل يقتل بلا استتابة إذا ظهر ذلك منه
“Dan barangsiapa yang mengingkari kewajiban sebagian perkara yang diwajibkan yang jelas lagi mutawatir seperti shalat yang lima, puasa bulan Ramadlaan, dan haji di Baitullah; atau mengingkari pengharaman sebagian perkara haram yang jelas lagi mutawatir seperti perbuatan keji, kedhaliman, khamr, judi, zina, dan yang lainnya; atau mengingkari halalnya sebagian perkara halal yang jelas lagi mutawatir seperti roti, daging, dan nikah; maka ia kafir lagi murtad dan ia diminta untuk bertaubat. Jika bertaubat, maka taubatnya diterima. Jika tidak bertaubat, maka dibunuh. Apabila ia menyembunyikan perbuatannya itu, maka statusnya zindiq munafik, tidak diminta untuk bertaubat menurut jumhur ulama. Bahkan ia langsung dibunuh tanpa diminta bertaubat apabila nampak perkara itu darinya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 11/405].
Artinya, Syaikhul-Islaam memang mengakui pemberlakuan kaedah ini. Namun dalam hal pengkafiran kepada individu tertentu, tetap harus hati-hati dengan meneliti kondisinya.
[4]    Mengingkari kebangkitan adalah diantara bentuk pengingkaran orang musyrik zaman dulu. Allah berfirman:
وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لا يَبْعَثُ اللَّهُ مَنْ يَمُوتُ بَلَى وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh: "Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati". (Tidak demikian), bahkan (pasti Allah akan membangkitkannya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui” [QS. An-Nahl : 38].
[6]    Silakan baca artikel blog ini yang berjudul : Pembagian Tauhid Menurut Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah.

Comments