Allah ta'ala berfirman:
قُلْ مَنْ
يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ
وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ
مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ ۚ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ ۚ فَقُلْ
أَفَلَا تَتَّقُونَ
“Katakanlah: ‘Siapakah yang
memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa
(menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang
hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah
yang mengatur segala urusan?” Maka pasti mereka akan menjawab: ‘Allah’. Maka
katakanlah : ‘Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” [QS. Yunus: 31].
Ayat ini - dan banyak ayat lain yang
semisal dalam Al-Qur'an - merupakan dalil bahwa orang musyrik dahulu mengakui
rububiyyah Allah ta'ala. Rububiyyah Allah ta’ala diketahui secara
fitrah dan akal. Meskipun demikian, pengakuan rububiyyah Allah mereka tidak
mencukupi untuk menjadikannya seorang muslim karena mereka belum mengakui
uluhiyyah Allah ta'ala.
Banyak orang yang tidak tahu (JAHIL)
dalam perkara uluhiyyah Allah ta'ala sebagaimana jahilnya Bani Israail,
kaum Nabi Musa 'alaihis-salaam.
وَجَاوَزْنَا
بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى
أَصْنَامٍ لَهُمْ قَالُوا يَا مُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ
قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ
"Dan Kami seberangkan Bani
Israel ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum
yang tetap menyembah berhala mereka, Bani Israel berkata: "Hai Musa,
buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa
tuhan (berhala)". Musa menjawab: "Sesungguhnya kamu ini adalah kaum
yang tidak mengetahui/JAHIL (sifat-sifat Tuhan)" [QS. Al-A'raaf :
138].
Mereka mengira boleh beribadah
kepada selain Allah ta’ala disamping beribadah kepada Allah ta’ala.
Sama seperti ibadah orang Yahudi dan Nashrani. Sebagian sahabat ketika baru
masuk Islam juga pernah menyangka ada ruang kebolehan kesyirikan dalam Islam
sebagaimana hadits:
عَنْ أَبِي
وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ لَمَّا خَرَجَ إِلَى خُيْبَرَ،
مَرَّ بِشَجَرَةٍ لِلْمُشْرِكِينَ، يُقَالُ لَهَا: ذَاتُ أَنْوَاطٍ، يُعَلِّقُونَ
عَلَيْهَا أَسْلِحَتَهُمْ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ
أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ أَنْوَاطٍ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: سُبْحَانَ
اللَّهِ، هَذَا كَمَا قَالَ قَوْمُ مُوسَى: اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ
آلِهَةٌ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَرْكَبُنَّ سُنَّةَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
Dari Abu Waaqid Al-Laitsiy : Bahwasannya
Rasulullah ﷺ
ketika keluar menuju Khaibar, beliau
melewati sebuah pohon milik orang-orang musyrik yang bernama Dzaatu Anwaath
yang digantungkan padanya pedang-pedang mereka. Sebagian sahabat berkata : “Wahai
Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzaatu Anwaath sebagaimana mereka mempunyai
Dzaatu Anwaath”. Maka Nabi ﷺ
bersabda : “Subhaanallaah (Maha Suci Allah), ini adalah seperti perkataan
kaum Musa : ‘Buatkanlah untuk kami tuhan sebagaimana mereka mempunyai
tuhan-tuhan’ (QS. Al-A’raaf : 138). Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya,
sungguh kalian benar-benar mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian” [Diriwayatkan
oleh At-Tirmidziy no. 2180, dan ia berkata : “Hasan shahih”].
Sebaliknya, sangat jarang orang
tidak mengetahui rububiyyah Allah ta'ala sebagaimana dalam ayat di awal.
Rububiyyah Allah sangatlah mendasar bagi hamba. Jahil dalam rububiyyah Allah
lebih besar perkaranya daripada jahil dalam uluhiyyah. Dengan kata lain, syirik
rububiyyah lebih besar daripada syirik uluhiyyah. Begitulah yang dijelaskan
ulama (ref : https://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=25344).
Meskipun rububiyyah Allah merupakan perkara
yang mendasar, tetap saja sebagian orang yang benar-benar jahil dalam sebagian
perkara rububiyyah ini bersamaan dengan penetapannya pada sebagian yang lain.
Seperti yang tergambar dalam hadits orang yang minta dibakar jasadnya:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: كَانَ رَجُلٌ
يُسْرِفُ عَلَى نَفْسِهِ فَلَمَّا حَضَرَهُ الْمَوْتُ، قَالَ: لِبَنِيهِ إِذَا
أَنَا مُتُّ فَأَحْرِقُونِي ثُمَّ اطْحَنُونِي ثُمَّ ذَرُّونِي فِي الرِّيحِ
فَوَاللَّهِ لَئِنْ قَدَرَ عَلَيَّ رَبِّي لَيُعَذِّبَنِّي عَذَابًا مَا عَذَّبَهُ
أَحَدًا، فَلَمَّا مَاتَ فُعِلَ بِهِ ذَلِكَ فَأَمَرَ اللَّهُ الْأَرْضَ، فَقَالَ:
اجْمَعِي مَا فِيكِ مِنْهُ فَفَعَلَتْ فَإِذَا هُوَ قَائِمٌ، فَقَالَ: مَا
حَمَلَكَ عَلَى مَا صَنَعْتَ؟، قَالَ: يَا رَبِّ خَشْيَتُكَ فَغَفَرَ لَهُ
Dari Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu, dari Nabi ﷺ,
beliau bersabda : “Dahulu ada seseorang yang melalaikan dirinya sendiri
(dengan banyak berbuat dosa). Ketika maut hampir mendekati dirinya, ia berkata
(kepada anak-anaknya) : ‘Jika nanti aku meninggal dunia maka bakarlah jasadku
lalu tumbuklah menjadi debu, kemudian hamburkanlah agar tertiup angin. Demi
Allah, seandainya Rabbku berkuasa terhadap diriku, niscaya Dia akan menyiksaku
dengan siksaan yang tidak akan ditimpakan kepada seorangpun’. Ketika orang itu
meninggal dunia, wasiatnyapun dilaksanakan. Kemudian Allah memerintahkan bumi
dengan berfirman : ‘Kumpulkanlah apa yang ada padamu’. Maka bumi melaksanakan
perintah Allah. Ketika orang tadi telah berdiri (setelah dikumpulkan), Allah
berfirman : ‘Apa yang mendorongmu melakukan itu?’. Orang itu menjawab : ‘Wahai
Rabb, karena aku takut kepada-Mu’. Maka Allah ta’ala pun mengampuninya”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3481].
Orang tersebut jahil atas kekuasaan
dan kemampuan Allah ta'ala atas makhluk-Nya. Padahal, ke-Mahakuasa-an
Allah ta’ala dapat dicapai dengan akal (sehat) dan fithrah. Perkara ini
masuk dalam cakupan rubuubiyyah Allah karena Allah ta’ala satu-satunya
Pencipta, Pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan, serta mengatur semua
urusan makhluk-makhluk-Nya tanpa ada sekutu bagi-Nya.
Allah ta’ala tetap memaafkan
kejahilan orang tersebut.
Ibnu Qutaibah rahimahullah berkata:
وهذا رجل مؤمن
باللَّه، مقر به، خائف له، إلا أنه جهل صفة من صفاته، فظن أنه إذ أحرق وذري الريح
أنه يفوت اللَّه تَعَالَى، فغفر اللَّه تَعَالَى له بمعرفته تأنيبه وبمخافته من
عذابه، جهله بهذه الصفة من صفاته
“Orang ini beriman kepada Allah,
mengakui-Nya, dan takut kepada-Nya; namun dirinya jahil terhadap sebagian sifat
dari sifat-sifat-Nya yang kemudian menyangka dirinya apabila dibakar dan abunya
dihamburkan tertiup angin akan luput dari adzab Allah ta’ala. Allah ta’ala
memberikan ampunan kepadanya akan kejahilannya terhadap sifat dari
sifat-sifat-Nya dikarenakan pengetahuannya akan dirinya yang tercela (akibat
dosanya) dan rasa takutnya terhadap adzab-Nya” [Ta’wiilu Mukhtalafil-Hadiits,
hal. 112].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata
:
فهذا رجلٌ شَكَّ
في قدرة الله، وفي إعادته إذا ذُري؛ بل اعتقد أنه لا يُعاد، وهذا كُفْر باتِّفاق
المُسلمينَ؛ ولكن كان جاهِلاً لا يعلم ذلك، وكان مُؤمنًا يخاف الله أنْ يعاقِبه،
فغُفِر له بذلك
“Orang ini telah ragu atas kekuasaan
Allah dan dalam kemampuan-Nya untuk mengembalikannya apabila ia telah menjadi
debu/abu (setelah dibakar). Bahkan ia meyakini Allah tidak akan
membangkitkannya kembali (di akhirat). Ini adalah kekafiran berdasarkan
kesepakatan (ijmaa’) kaum muslimin. Akan tetapi orang tersebut jaahil, tidak
mengetahui perkara tersebut, dan ia sendiri seorang yang mukmin yang takut
kepada Allah dan siksa-Nya. Maka ia diampuni (oleh Allah) karena hal tersebut”
[Majmuu’ Al-Fataawaa, 3/230-231].
Konsekuensinya, jika jahil dalam
sebagian perkara rububiyyah diberikan 'udzur, maka jahil dalam sebagian perkara
uluhiyyah pun (seharusnya) diberikan udzur.
Wallaahu a'lam.
Bahan bacaan :
dll.
Comments
Posting Komentar