Tashniifun-Naas



Tashniifun-Naas yang dimaksudkan di sini adalah pengklasifikasian manusia dengan menisbatkan seorang pelaku bid’ah kepada kebid’ahannya, menisbatkan pendusta kepada kedustaannya, dan yang semisalnya. Bab ini sangat terkait dengan al-jarh wat-ta’diil yang diamalkan para ulama dari generasi ke generasi tanpa ada pengingkaran. Tashniif merupakan bagian dari agama yang kita beragama di atasnya.
Barangsiapa dikenal dengan bid’ah qadar, maka dikatakan kepadanya ‘qadariy. Barangsiapa dikenal dengan bid’ah Khaawarij, maka dikatakan kepadanya Khaarijiy; Murji’ah dikatakan Murji’; Raafidlah dikatakan Raafidliy, Mu’tazilah dikatakan Mu’taziliy, Asy’ariyyah dikatakan Asy’ariy, dan seterusnya. Nabi telah bersabda:

إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ افْتَرَقَتْ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَإِنَّ أُمَّتِي سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، كُلُّهَا فِي النَّارِ، إِلَّا وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
Sesungguhnya Bani Israaiil terpecah menjadi 71 golongan/kelompok. Dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi 72 golongan kelompok yang semuanya akan masuk neraka kecuali satu saja, yaitu Al-Jamaa’ah (Ahlus-Sunnah)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 3993, Ahmad 3/120 & 3/145, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr 12/337-338 no. 6214, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Ibni Maajah 3/308].
Dalam hadits ini terdapat dalil keberadaan kelompok-kelompok yang menyimpang dalam Islam. Kelompok-kelompok tersebut tidaklah tergambar wujudnya kecuali dengan keberadaan orang yang mempunyai ‘aqidah yang merepresentasikan penyimpangan/kebid'ahan masing-masing kelompok. Rasulullah sendiri telah menyebutkan penamaan kelompok-kelompok tersebut dalam beberapa hadits. Maka, setiap orang yang beragama dengan ‘aqidah masing-masing kelompok ini, dinisbatkan kepadanya. Dari sinilah tashniifun-naas tegak.
Contoh:
1.    Qadariyyah
Nabi bersabda:
الْقَدَرِيَّةُ مَجُوسُ هَذِهِ الْأُمَّةِ إِنْ مَرِضُوا فَلَا تَعُودُوهُمْ وَإِنْ مَاتُوا فَلَا تَشْهَدُوهُمْ
Al-Qadariyyah adalah majusi umat ini. Apabila mereka sakit, jangan kalian tengok, dan apabila mereka meninggal, jangan engkau hadiri jenazahnya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4691; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 3/143].
Qadariyyah, individu mereka disebut qadariy. Nabi  menisbatkan sebagian umatnya yang akan muncul sepeninggal beliau kepada bid’ah qadar (Qadariyyah). Beliau mengklasifikasikan berdasarkan kebid’ahan mereka, yaitu pengingkaran terhadap qadar.  Oleh karena itu, para ulama sepeninggal beliau senantiasa memperingatkan umat tentang keberadaan mereka dan menasihati agar menjauhi mereka.
عَنْ طَاوُسٍ، قَالَ: ذَكَرْتُ الْقَدَرِيَّةَ عِنْدَ ابْنِ عَبَّاسٍ، فَقَالَ: " هَاهُنَا مِنْهُمْ أَحَدٌ؟ " فَقُلْتُ: لَوْ كَانَ مَا كُنْتَ تَصْنَعُ؟ قَالَ: " كُنْتُ آخُذُ بِرَأْسِهِ، ثُمَّ أَقْرَأُ عَلَيْهِ آيَةَ كَذَا وَكَذَا ".قَالَ طَاوُسٌ: فَتَمَنَّيْتُ أَنَّ كُلَّ قَدَرِيٍّ كَانَ عِنْدَنَا
Dari Thaawus, ia berkata : “Aku menyebutkan qadariyyah di sisi Ibnu ‘Abbaas, lalu ia berkata : ‘Apakah di sini ada salah seorang di antara mereka ?’. Aku katakan : ‘Seandainya ada, apa yang akan engkau lakukan ?’. Ibnu ‘Abbaas berkata : ‘Akan aku pegang kepalanya, kemudian aku bacakan kepadanya ayat ini dan itu’. Thaawus berkata : “Maka aku berharap setiap orang qadariy ada di sisi kami” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Qadlaa’ wal-Qadar hal. 753-754 no. 397; shahih].
عَنْ مُعَاذ بْن مُعَاذٍ، قَالَ: " صَلَّيْتُ خَلْفَ رَجُلٍ مِنْ بَنِي سَعْدٍ، ثُمَّ بَلَغَنِي أَنَّهُ قَدَرِيُّ، فَأَعَدْتُ الصَّلاةَ بَعْدَ أَرْبَعِينَ سَنَةً، أَوْ ثَلاثِينَ سَنَةً "
Dari Mu’aadz bin Mu’aadz, ia berkata : “Aku pernah shalat di belakang laki-laki Bani Sa’d. Kemudian sampai kepadaku bahwa dirinya seorang qadariy. Maka aku ulangi shalatku tersebut setelah 40 atau 30 tahun (kemudian)” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam As-Sunnah 2/386 no. 839; shahih].
عَنْ عَمْرو، قَالَ لَنَا طَاوُسٌ: " أَخْزُوا مَعْبَدًا الْجُهَنِيَّ فَإِنَّهُ قَدَرِيٌّ "
Dari ‘Amru : Thaawus berkata kepadaku : “Aku hinakan/rendahkan Ma’bad Al-Juhhaniy, karena ia seorang qadariy” [idem, 2/390 no. 847; shahih].
عَنْ مَرْوَانُ بْنُ مُحَمَّدٍ الطَّاطَرِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ مَالِكَ بْنَ أَنَسٍ، يُسْأَلُ عَنْ تَزْوِيجِ الْقَدَرِيِّ، فَقَرَأَ: وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ
Dari Marwaan bin Muhammad Ath-Thaathariy, ia berkata : Aku mendengar Maalik bin Anas ditanya tentang pernikahan seorang qadariy, maka ia membaca ayat ‘Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik’ (QS. Al-Baqarah : 221)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 198; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Dhilaalul-Jannah 1/88].
عَنِ ابْنِ عَوْنٍ، قَالَ: أَنَا رَأَيْتُ غَيْلَانَ يَعْنِي الْقَدَرِيَّ مَصْلُوبًا عَلَى بَابِ دِمَشْقَ
Dari Ibnu ‘Aun, ia berkata : “Aku melihat Ghailaan Al-Qadariy[1] disalib di pintu Damaskus” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaaid ‘alal-Musnad 2/109; shahih].
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ الأَسْوَدِ، قَالَ: قُلْتُ لِمُجَاهِدٍ: يَا أَبَا الْحَجَّاجِ، أَشَعَرْتَ أَنَّ وَهْبًا مَوْلَى سَلامَةَ قَدَرِيُّ ؟ قَالَ: ثُمَّ رَآنِي بَعْدَ ذَلِكَ مَعَهُ، قَالَ: ثُمَّ لَقِيتُ مُجَاهِدًا، فَإِذَا هُوَ كَالْمُعْرِضِ عَنِّي، قَالَ: " أَلَيْسَ قُلْتَ وَهْبٌ قَدَرِيُّ، ثُمَّ رَأَيْتُكَ مَعَهُ
Dari ‘Utsmaan bin Al-Aswad, ia berkata : Aku berkata kepada Mujaahid : “Wahai Abul-Hajjaaj, apakah engkau menyadari bahwa Wahb maulaa Salaamah itu qadariy ?”. Beberapa waktu kemudian ia melihatku bersama dengannya (Wahb). Lalu suatu hari aku bertemu dengan Mujaahid yang seakan-akan ia menghindariku. Mujaahid berkata : “Bukankah dulu engkau berkata Wahb itu qadariy, kemudian aku melihatmu bersama dengannya” [Diriwayatkan oleh Al-Faryaabiy dalam Al-Qadar no. 404].
2.    Khawaarij[2]
Rasulullah bersabda:
الْخَوَارِجُ كِلَابُ النَّارِ
Khawaarij adalah anjing-anjing neraka” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 173, Ahmad 4/355 & 4/382, Ath-Thayaalisiy no. 860, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Ibni Maajah 1/75].
Dalam hadits ini beliau secara jelas menyebutkan nama sekelompok umatnya sebagai Khawaarij yang kelak menjadi anjing-anjing neraka. Orang yang beraqidah Khawaarij atau terjatuh pada bid’ah Khawaarij disebut Khaarijiy. Diantara pokok bid’ah ‘aqidah Khawaarij adalah pengkafiran para pelaku dosa besar dan penghalalan darah kaum kaum muslimin dengan sebab tersebut.
عَنْ عِيسَى بْنِ الْمُغِيرَةِ، قَالَ: خَرَجَ خَارِجِيٌ بِالسَّيْفِ بِخُرَاسَانَ فَأُخِذَ، فَكُتِبَ فِيهِ إِلَى عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ، فَكَتَبَ فِيهِ: " إِنْ كَانَ جَرَحَ أَحَدًا فَاجْرَحُوهُ، وَإِنْ قَتَلَ أَحَدًا فَاقْتُلُوهُ، وَإِلا فَاسْتَوْدِعُوهُ السِّجْنَ، وَاجْعَلُوا أَهْلَهُ قَرِيبًا مِنْهُ، حَتَّى يَتُوبَ مِنْ رَأْيِ السُّوءِ "
Dari ‘Iisaa bin Al-Mughiirah, ia berkata : Ada seorang khaarijiy memberontak angkat senjata di Khurasaan, lalu ia ditangkap. Dituliskan surat kepada ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz tentangnya, lalu ia (‘Umar) menuliskan jawabannya: “Apabila ia melukai seseorang, lukailah ia (sebagai qishaash). Apabila membunuh seseorang, bunuhlah ia. Jika tidak, maka jebloskanlah ke dalam penjara dan taruh keluarganya dekat dengan dirinya, sampai ia bertaubat dari pandangan/pemikiran buruknya tersebut” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq dalam Al-Mushannaf 10/118 no. 18576].
عَن الْمُعَلَّى بْن زِيَادٍ، قَالَ: قِيلَ لِلْحَسَنِ: يَا أَبَا سَعِيدٍ، خَرَجَ خَارِجِيٌّ بِالْخُرَيْبَةِ، فَقَالَ: الْمِسْكِينُ رَأَى مُنْكَرًا فَأَنْكَرَهُ، فَوَقَعَ هُوَ أَنْكَرَ مِنْهُ
Dari Al-Mu’allaa bin Ziyaad, ia berkata : Dikatakan kepada Al-Hasan (Al-Bashriy) : “Wahai Abu Sa’iid, seorang khaarijiy memberontak di Khuraibah”. Lalu ia berkata : “Seorang miskin melihat kemunkaran, lalu ia mengingkarinya. Kemudian ia terjatuh pada kemunkaran yang besar daripada yang diingkarinya” [Diriwayatkan oleh Al-Aajuriiy dalam Asy-Syarii’ah 1/145 no. 150; sanadnya hasan].
Khawaarij disebut juga Haruuriyyah.
عَنْ مُعَاذَةَ، قَالَتْ: " سَأَلْتُ عَائِشَةَ، فَقُلْتُ: مَا بَالُ الْحَائِضِ، تَقْضِي الصَّوْمَ، وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ؟ فَقَالَتْ: أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ؟ قُلْتُ: لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ، وَلَكِنِّي أَسْأَلُ، قَالَتْ: كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ، وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ "
Dari Mu’aadzah, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada ‘Aaisyah. Aku katakan : ”Bagaimana dengan wanita haidl, ia mengqadla puasa namun tidak mengqadla shalat?”. Aaisyah menjawab : ”Apakah kamu seorang Haruuriyyah (Khaawarij)?[3]”. Aku menjawab : ”Aku bukan Haruuriyyah, tapi aku sekedar bertanya”. Aisyah berkata : ”Kami pernah mengalami begitu. Lalu kami diperintahkan untuk mengqadla puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqadla shalat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 335].
عَنْ عَاصِمٍ، قَالَ: كَانَ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِذَا ابْتَدَأَ مَجْلِسَهُ، قَالَ: " لا يُجَالِسْنَا رَجُلٌ جَالَسَ شَقِيقًا الضَّبِّيَّ، وَلا يُجَالِسْنَا حَرُورِيٌّ، وَإِيَّايَ وَالْقُصَّاصَ إِلا أَبُو الأَحْوَصِ "
Dari ‘Aashim, ia berkata : Abu ‘Abdirrahmaan (As-Sulamiy) apabila memulai majelisnya, ia berkata : “Jangan bermajelis dengan kami orang yang bermajelis dengan Syaqiiq Adl-Dlabbiy, dan jangan bermajelis dengan kami orang haruuriy. Dan jauhilah kalian para pendongeng, kecuali Abul-Ahwash” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’ 4/192-193; sanadnya hasan].
3.    Murji’ah
Nabi bersabda:
مَا بَعَثَ اللَّهُ نَبِيًّا قَبْلِي قَطُّ فَاجْتَمَعَتْ لَهُ أُمَّتُهُ إِلا كَانَ فِيهِمْ مُرْجِئَةٌ وَقَدَرِيَّةٌ يُشَوِّشُونَ عَلَيْهِ أَمْرَ أُمَّتِهِ مِنْ بَعْدِهِ، أَلا وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَعَنَ الْمُرْجِئَةَ وَالْقَدَرِيَّةَ عَلَى لِسَانِ سَبْعِينَ نَبِيًّا أَنَا آخِرُهُمْ
Allah tidak mengutus seorang nabi pun sebelumku lalu umatnya berkumpul untuknya, kecuali ada pada mereka kelompok Murji’ah dan Qadariyyah yang mengacaukan perkara umatnya sepeninggalnya. Ketahuilah, sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla melaknat Murji’ah dan Qadariyyah melalui lisan tujuh puluh orang nabi dan aku yang terakhir dari mereka” [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah no. 1219 (Al-Iimaan)  &  no. 1530 (Al-Qadar) – ini lafadh no. 1530; sanadnya hasan[4]].
Kelompok Murji’ah eksis sepanjang zaman dan para Nabi senantiasa memperingat keburukan mereka. Para ulama sepeninggal beliau mengklasifikasikan manusia yang terjatuh dalam bid’ah Murji’ah sebagai Murji’.
عَنْ أَبِي بَكْرٍ الْمَرُّوذِيُّ، أَنَّ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ، قِيلَ لَهُ مَنِ الْمُرْجِئُ؟ قَالَ: الْمُرْجِئُ الَّذِي يَقُولُ: الإِيمَانُ قَوْلٌ "
Dari Abu Bakr Al-Marruudziy : Bahwasannya pernah dikatakan kepadanya : “Siapakah Murji’ itu ?”. Ia menjawab : “Murji’ adalah orang yang mengatakan iman adalah perkataan (saja)” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah 3/565 no. 960; shahih].
عَنْ مَحْمُود بْن غَيْلانَ أَبِي أَحْمَدَ، قَالَ: سَمِعْتُ مُؤَمَّلَ بْنَ إِسْمَاعِيلَ، يَقُولُ فِي غَيْرِ مَجْلِسٍ يُقْبِلُ عَلَيْنَا، أُحَرِّجُ عَلَى كُلِّ مُبْتَدَعٍ جَهْمِيٍّ، أَوْ رَافِضِيٍّ، أَوْ قَدَرِيٍّ، أَوْ مُرْجِئٍ سَمِعَ مِنِّيَ، وَاللَّهِ لَوْ عَرَفْتُكُمْ لَمْ أُحَدِّثْكُمْ
Dari Mahmuud bin Ghailaan Abu Ahmad, ia berkata : Aku mendengar Muammal bin Ismaa’iil di luar majelisnya berkata sambil menghadap kami : “Aku melarang setiap mubtadi’ dari kalangan jahmiy, raafidliy, qadariy, atau murji’ mendengarkan (meriwayatkan) hadits dariku. Demi Allah, seandainya aku mengenal kalian (satu persatu), niscaya aku tidak meriwayatkan hadits kepada kalian” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuuli I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jamaa’ah hal. 638 no. 1148; sanadnya shahih].
عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، قَالَ: كَانَ أَبُو حَنِيفَةَ مُرْجِئًا يَرَى السَّيْفَ
Dari Abu Ishaaq (Al-Fazzaariy), ia berkata : “Abu Haniifah seorang murji’ yang berpendapat bolehnya mengangkat pedang” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam As-Sunnah hal. 207 no. 325; shahih].
4.    Mu’tazilah
Mu’tazilah adalah paham yang dicetuskan oleh Waashil bin ‘Atha’ yang didukung ‘Amru bin ‘Ubaid. Bid’ah mereka berkembang hingga puncaknya adalah fitnah yang terjadi di masa Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Para ulama secara terang dan jelas menyebut kelompok Mu’tazilah dan yang berafiliasi dengan mereka sebagai Mu’taziliy. Keras pengingkaran para ulama kita sepanjang masa terhadap kelompok ini karena pengingkaran dan penolakan mereka terhadap nash.
عَنْ مُوسَى بْن دَاوُدَ، قَالَ: قَالَ لِي عَبَّادُ بْنُ الْعَوَّامِ، " قَدِمَ عَلَيْنَا شَرِيكُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ مُنْذُ نَحْوِ خَمْسِينَ سَنَةً، قَالَ: فَقُلْتُ لَهُ: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ إِنَّ عِنْدَنَا قَوْمًا مِنَ الْمُعْتَزِلَةِ يُنْكِرُونَ هَذِهِ الأَحَادِيثَ، قَالَ: فَحَدَّثَنِي بِنَحْو مِنْ عَشَرَةِ أَحَادِيثَ فِي هَذَا، وَقَالَ: أَمَّا نَحْنُ فَقَدْ أَخَذْنَا دِينَنَا عَنِ التَّابِعِينَ عَنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَهُمْ عَمَّنْ أَخَذُوا "
Dari Muusaa bin Daawud, ia berkata : ‘Abbaad bin Al-‘Awwaam pernah berkata kepadaku : "Syariik bin ‘Abdillah datang kepada kami sejak sekitar 50 tahun lalu. Aku berkata kepadanya : ‘Wahai Abu ‘Abdillah, di sisi kami ada satu kaum dari kalangan Mu’tazilah yang mengingkari hadits-hadits ini (yaitu hadits nuzuul – Abul-Jauzaa’)". 'Abbaad melanjutkan : "Lalu ia (Syariik) meriwayatkan sekitar 10 hadits tentang hal ini kepadaku, seraya berkata : 'Kami mengambil agama kami dari taabi’iin, dari para shahabat Rasulullah . Sedangkan mereka, dari mana (mengambil agamanya)?” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam as-Sunnah hal. 273 no. 509 dan Ad-Daaraquthniy dalam An-Nuzuul no. 65; hasan[5]].
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata:
أحمد بن محمد بن ذر الأصبهاني الواعظ. له عن الطبراني. معتزلي غال، وهو والد أبى الخير.
“Ahmad bin Muhammad bin Dzarr Al-Ashbahaaniy Al-Waa’idh. Ia mempunyai riwayat dari Ath-Thabaraaniy. Mu’taziliy ekstrem. Ia adalah orang tua dari Abul-Khair” [Miizaanul-I’tidaal, 1/155 no.612].
عَنْ عَبْد الرَّزَّاقِ، قَالَ: قَالَ لِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ أَبِي يَحْيَى: " إِنِّي أَرَى الْمُعْتَزِلَةَ عِنْدَكُمْ كَثِيرًا ". قُلْتُ: " نَعَمْ، وَهُمْ يَزْعُمُونَ أَنَّكَ مِنْهُمْ ". قَالَ: " أَفَلا تَدْخُلُ مَعِي هَذَا الْحَانُوتَ حَتَّى أُكَلِّمَكَ؟ ". قُلْتُ: " لا ". قَالَ: " لِمَ؟ ". قُلْتُ: " لأَنَّ الْقَلْبَ ضَعِيفٌ، وَإِنَّ الدِّينَ لَيْسَ لِمَنْ غَلَبَ
Dari ‘Abdurrazzaaq, ia berkata : Telah berkata kepadaku Ibraahiim bin Abi Yahyaa : “Sesungguhnya aku banyak memegang pendapat Mu’tazilah di sisi kalian”. Aku berkata : “Benar. Bahkan orang-orang menyangka engkau termasuk dari kalangan mereka”. Ia berkata : “Tidakkah engkau mau masuk bersamaku di warung ini hingga aku dapat berbincang denganmu ?”. Aku katakan : “Tidak”. Ia berkata : “Mengapa?”. Aku berkata : “Karena hati itu lemah, dan sesungguhnya agama bukan milik orang yang menang perdebatan” [Diriwayatkan oleh Al-Laalika’iy dalam Syarh Ushuuli I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jamaa’ah hal. 135 no. 249 dan Al-Baihaqiy dalam Al-Qadar hal. 817 no. 462; shahih].
عَنْ يَحْيَى بْنِ عُبَيْدٍ، قَالَ: لَقِيَنِي رَجُلٌ مِنَ الْمُعْتَزِلَةِ فَقَامَ فَقُمْتُ، فَقُلْتُ: " إِمَّا أَنْ تَمْضِيَ، وَإِمَّا أَنْ أَمْضِيَ ؛ فَإِنِّي إِنْ أَمْشِ مَعَ نَصْرَانِيٍّ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَمْشِيَ مَعَكَ "
Dari Yahyaa bin ‘Ubaid, ia berkata : “Ada seorang laki-laki dari kalangan Mu’tazilah menemuiku. Ia berdiri, lalu aku pun berdiri. Aku berkata : “Engkau yang pergi atau aku yang pergi. Sungguh seandainya aku berjalan bersama Nashrani lebih aku sukai daripada berjalan bersamamu” [Diriwayatkan oleh Ibnu Wadldlah dalam Al-Bida’ hal. 100 no. 140; shahih].
5.    Raafidlah[6]
Raafidlah adalah kelompok sesat yang bertindak ghulluw terhadap ahli bait Nabi . Mereka dinamakan dengan Raafidlah (kaum yang meninggalkan) karena mereka meninggalkan Zaid bin ‘Aliy, ketika mereka memintanya untuk menyatakan putus hubungan dengan Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, akan tetapi ia justru mendoakan rahmat untuk mereka berdua. Maka mereka mengatakan : ”Jika demikian, kami akan meninggalkanmu”. Maka Zaid bin ‘Aliy berkata : ”Pergilah ! Sesungguhnya kalian adalah Raafidlah (orang-orang yang meninggalkan)”.[7]
عَنْ عَبْد اللَّهِ بْن أَحْمَدَ، قَالَ: قُلْتُ لأَبِي: " مَنِ الرَّافِضَةُ ؟ قَالَ: الَّذِي يَشْتِمُ، وَيَسُبُّ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ رَحِمَهُمَا اللَّهُ "
Dari ‘Abdullah bin Ahmad, ia berkata : Aku bertanya kepada ayahku (Ahmad bin Hanbal) : “Siapakah Raafidlah ?”. Ia berkata : “Orang yang menghina dan mencaci Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa’ [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah 3/492 no. 777; shahih].
عَنْ فُضَيْلُ بْنُ مَرْزُوقٍ، قَالَ: سَمِعْتُ حَسَنَ بْنَ حَسَنٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ: مَرَقَتْ عَلَيْنَا الرَّافِضَةُ كَمَا مَرَقَتِ الْحَرُورِيَّةُ عَلَى عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
Dari Fudlail bin Marzuuq, ia berkata : Aku mendengar Hasan bin Hasan radliyallaahu ‘anhumaa berkata : “Raafidlah lepas/keluar ketaatan terhadap kami sebagaimana Haruuriyyah lepas/keluar ketaatan terhadap ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu” [Diriwayatkan oleh Al-Aajuriiy dalam Asy-Syarii’ah 3/462 no. 1923; sanadnya hasan].
Raafidlah eksis dan menjadi salah satu kelompok yang paling merusak Islam dan kaum muslimin.
عَنْ حَرْمَلَة، قَالَ: سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ، يَقُولُ: " لَمْ أَرَ أَحَدًا أَشْهَدَ بِالزُّورِ مِنَ الرَّافِضَةِ "
Dari Harmalah, ia berkata : Aku mendengar Asy-Syaafi’iy berkata : “Aku tidak melihat seorang pun yang lebih dipersaksikan kedustaannya daripada Raafidlah” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 10/208 no. 20905; shahih].
عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدِ بْنِ الْعَبَّاسِ الْمِصْرِيَّ، قَالَ: سَمِعْتُ هَارُونَ الرَّشِيدَ، يَقُولُ: " طَلَبْتُ أَرْبَعَةً فَوَجَدْتُهَا فِي أَرْبَعَةٍ: طَلَبْتُ الْكُفْرَ فَوَجَدْتُهُ فِي الْجَهْمِيَّةِ، وَطَلَبْتُ الْكَلامَ وَالشَّغَبَ فَوَجَدْتُهُ فِي الْمُعْتَزِلَةِ، وَطَلَبْتُ الْكَذِبَ فَوَجَدْتُهُ عِنْدَ الرَّافِضَةِ، وَطَلَبْتُ الْحَقَّ فَوَجَدْتُهُ مَعَ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ "
Dari Abu ‘Abdillah Muhammad bin Al-‘Abbaas Al-Mishriy, ia berkata : Aku mendengar Haaruun bin Ar-Rasyiid berkata : “Aku mencari 4 hal dan aku mendapatinya pada 4 jenis. Aku mencari kekufuran, maka aku mendapatinya ada pada Jahmiyyah. Aku mencari ilmu kalam dan kekacauan, maka aku mendapatinya ada pada Mu’tazilah. Aku mencari kedustaan, maka aku mendapatinya ada pada Raafidlah. Dan aku mencari kebenaran, maka aku mendapatinya ada pada ashaabul-hadiits (ahli hadits)” [Diriwayatkan oleh Al-Khathiib dalam Syaraf Ashhaabil-Hadiits hal. 108 no. 104].
Abu ‘Ubaid Al-Aajuriiy rahimahullah berkata:
سالت أبا داود عن تليد بن سليمان ، فقال : رافضي خبيث ، قال : وسمعت أبا داود يقول : تليد رجل سوء ، يشتم أبا بكر وعمر
Aku bertanya kepada Abu Daawud tentang Taliid bin Sulaimaan, lalu ia menjawab : “Raafidliy, khabiits (busuk)”. Dan aku juga mendengarnya berkata : “Taliid seorang yang buruk, mencaci Abu Bakr dan ‘Umar” [As-Suaalaat no. 1871].
Selain kelima kelompok di atas, tashniif tersebut juga dinisbatkan terhadap bid’ah pencetus atau tokoh utamanya, seperti Jahmiyyah yang dinisbatkan kepada Jahm bin Shafwaan (pewaris Ja’d bin Dirham). Yaitu, ketika fitnah khalqul-qur’aan dan pengingkaran ayat-ayat sifat. Pengikutnya disebut Jahmiy.
Muhammad bin Al-Husain Al-Aajurriy berkata ketika menjelaskan makna perkataan Ahmad bin Hanbal rahimahumullah:
لَمْ يَخْتَلِفْ أَهْلُ الإِيمَانِ أَنَّ الْقُرْآنَ كَلامُ اللَّهِ تَعَالَى. فَلَمَّا جَاءَ جَهْمُ بْنُ صَفْوَانَ فَأَحْدَثَ الْكُفْرَ بِقَوْلِهِ: الْقُرْآنُ مَخْلُوقٌ لَمْ يَسَعِ الْعُلَمَاءَ إِلا الرَّدُّ عَلَيْهِ بِأَنَّ الْقُرْآنَ كَلامُ اللَّهِ غَيْرَ مَخْلُوقٍ بِلا شَكٍّ، وَلا تَوَقُّفٍ فِيهِ، فَمَنْ لَمْ يَقُلْ غَيْرَ مَخْلُوقٍ سُمِّيَ وَاقِفِيًّا، شَاكًّا فِي دِينِهِ
“Ahlul-iman tidak berselisih pendapat Al-Qur’an adalah kalaamullah ta’ala. Ketika datang Jahm bin Shafwaan, ia mengadakan kekufuran dengan perkataannya ‘Al-Qur’an adalah makhluk’. Para ulama tidak membiarkannya kecuali membantahnya bahwa Al-Qur’an adalah kalaamullah bukan makhluk tanpa ada keraguan dan tidak boleh abstain padanya. Barangsiapa yang tidak mengatakan ‘bukan makhluk’, ia dinamakan waaqifiy (orang yang abstain), ragu terhadap agamanya” [Asy-Syaari’ah hal. 1/232].
Abu Ja’far Ad-Daqiiqiy rahimahullah berkata:
مَنْ رَدَّهَا فَهُوَ عِنْدَنَا جَهْمِيُّ، وَحُكْمُ مَنْ رَدَّ هَذَا أَنْ يُتَّقَى
“Barangsiapa yang menolaknya (yaitu riwayat Mujaahid tentang penafsiran ayat sifat)[8], maka ia di sisi kami adalah Jahmiy, dan hukum bagi orang yang menolak riwayat ini adalah dijauhi/dikucilkan” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 257].
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata:
إبراهيم بن أبى صالح. قال أبو الحسين: مسلم جهمى، لا يكتب حديثه
“Ibraahiim bin Abi Shaalih. Abul-Husain berkata (tentangnya) : ‘Muslim jahmiy’, tidak ditulis haditsnya” [Miizaanul-I’tidaal, 1/37 no. 113].
Begitu juga Asyaa’irah yang dinisbatkan kepada bid’ah Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah (sebelum ia bertaubat kepada pemahaman Ahlus-Sunnah), Maaturidiyyah yang dinisbatkan kepada bid’ah Abu Manshuur Al-Maaturidiy, Ahmadiyyah yang dinisbatkan kepada Mirza Ghulam Ahmad, dan yang lainnya.
Tashniif semacam ini tidak pernah diingkari para ulama dari zaman ke zaman, terlepas apakah kemudian penisbatan tersebut kepada seseorang tepat/benar ataukah tidak. Jika penisbatan tersebut benar, maka tercapailah maksud dalam rangka nasihat terhadap umat. Jika tidak, maka orang yang dinisbati tersebut berlepas diri darinya.
Contohnya, Abu Haniifah dituduh berpemikiran Jahmiyyah dalam masalah Khalqul-Qur’aan. Banyak riwayat dari Abu Haniifah yang membantah tuduhan ini. As-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah mengklarifikasi[9]:
وهذا هو الظن بالإمام أبي حنيفة رحمه الله وعلمه، فإن صح عنه خلافه، فلعل ذلك كان قبل أن يناظره أيو يوسف، كما في الرواية الثابتة عنه في الكتاب، فلما ناظره، ولأمر ما استمر في مناظرته ستة أشهر، اتفق معه أخيرا على أن القرآن غير مخلوق، وأن من قال: "القرآن مخلوق" فهو كافر
“Dan ini adalah dugaan terhadap Al-Imaam Abu Haniifah rahimahullah dan ilmunya. Apabila hal itu shahih darinya, maka kemungkinan itu terjadi sebelum perdebatan dengan Abu Yuusuf, sebagaimana ada dalam riwayat shahih darinya dalam kitab ini (yaitu Mukhtashar Al-‘Ulluw – Abul-Jauzaa’). Setelah terjadi perdebatan dengan Abu Yuusuf selama enam bulan, akhirnya Abu Haniifah sepakat dengannya bahwa Al-Qur’an itu bukan makhluk, dan barangsiapa yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia kafir” [Mukhtashar Al-‘Ulluw hal. 156].
Tsaur bin Yaziid Al-Himshiy (w. 250 H) dituduh berpemikiran qadariy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 190 no. 869]. Adz-Dzahabiy rahimahullah mengklarifikasi:
 كان ثور عابدا، ورعا، والظاهر أنه رجع، فقد روى أبو زرعة عن منبه بن عثمان، أن رجلا قال لثور: يا قدري.
قال: لئن كنت كما قلت إني لرجل سوء، وإن كنت على خلاف ما قلت إنك لفي حل
“Tsaur adalah seorang ahli ibadah yang wara’. Dan yang nampak, dirinya telah rujuk (dari bid’ah qadariy). Abu Zur’ah meriwayatkan dari Munabbih bin ‘Utsmaan, bahwasannya ada seorang laki-laki berkata kepada Tsaur : ‘Wahai qadariy’. Tsaur berkata : ‘Apabila aku sebagaimana yang engkau katakan, sungguh aku adalah orang yang buruk. Namun apabila aku tidak seperti yang engkau katakan, sungguh engkau wajib membebaskan tuduhanmu itu” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 6/345].
Al-Qaadliy Abu Ya’laa Al-Hanbaliy rahimahullah (w. 458 H) dituduh berpemahaman mujassimah, dan (tentu) ini tidak benar.[10]
Dan yang lainnya.
Sedikit antitesis dari contoh di atas, masyhur pandangan Ahlul-Bid'ah terhadap Ahlus-Sunnah (yang kemudian menjadi ciri khas mereka) sebagaimana dikatakan Abu Haatim Ar-Raaziy rahimahullah [11]:
وَعَلامَةُ أَهْلِ الْبِدَعِ الْوَقِيعَةُ فِي أَهْلِ الأَثَرِ، وَعَلامَةُ الزَّنَادِقَةِ تَسْمِيَتُهُمْ أَهْلَ السُّنَّةِ حَشْوِيَّةً يُرِيدُونَ إِبْطَالَ الآثَارِ. وَعَلامَةُ الْجَهْمِيَّةِ تَسْمِيَتُهُمْ أَهْلَ السُّنَّةِ مُشَبِّهَةً،  وَعَلامَةُ الْقَدَرِيَّةِ تَسْمِيَتُهُمْ أَهْلَ الأَثَرِ مُجَبِّرَةً. وَعَلامَةُ الْمُرْجِئَةِ تَسْمِيَتُهُمْ أَهْلَ السُّنَّةِ مُخَالِفَةً وَنُقْصَانِيَّةً. وَعَلامَةُ الرَّافِضَةِ تَسْمِيَتُهُمْ أَهْلَ السُّنَّةِ نَاصِبَةً. وَلا يَلْحَقُ أَهْلَ السُّنَّةِ إِلا اسْمٌ وَاحِدٌ وَيَسْتَحِيلُ أَنْ تَجْمَعَهُمْ هَذِهِ الأَسْمَاءُ "
“Tanda-tanda Ahlul-Bid’ah adalah mencela Ahlul-Atsar. Tanda orang-orang Zanaadiqah adalah penamaan mereka terhadap Ahlus-Sunnah sebagai Hasyawiyyah karena mereka ingin membatalkan atsar-atsar. Tanda orang-orang Jahmiyyah adalah penamaan mereka terhadap Ahlus-Sunnah dengan Musyabbihah. Tanda orang-orang Qadariyyah adalah penamaan mereka terhadap Ahlus-Sunnah dengan Mujabbirah. Tanda orang-orang Murji’ah adalah penamaan mereka terhadap Ahlus-Sunnah dengan Mukhaalifah (orang yang selalu mempertentangkan) dan Nuqshaaniyyah (orang yang kurang dalam imannya). Tanda orang-orang Raafidlah adalah penamaan mereka terhadap Ahlus-Sunnah dengan Naashibah (pembenci ahlul-bait Nabi ). Dan tidaklah didapatkan pada Ahlus-Sunnah kecuali hanya satu nama, sehingga mustahil nama-nama ini terkumpul pada mereka (Ahlus-Sunnah)” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jamaa’ah hal. 179].
Penamaan apabila berkesesuaian dengan yang dinamakan, maka itulah yang dikehendaki. Namun apabila tidak berkesesuaian, tidak ada faedahnya sama sekali seperti contoh di atas. Seandainya kelompok Asyaa’irah mengklaim diri sebagai Aswaja alias Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah tanpa berpegang pada pokok-pokok ‘aqidah dan manhaj Ahlus-Sunnah sebagaimana dipahami salafunash-shaalih, itu hanyalah pepesan kosong. Meskipun mereka mematenkan nama (Aswaja) tersebut ke Kemenkumham, tak menjadikan mereka sebagai Ahlus-Sunnah.
Perlu digarisbawahi juga : Dikarenakan tashniif lazimnya diikuti dengan (tujuan) tahdzir[12], maka dibutuhkan sifat taqwa, wara’, dan ketelitian. Bukan dengan hawa nafsu atau sekedar ikut-ikutan trend. Tashniifun-naas sebagai upaya untuk menyingkap hakekat ahlul-bid’ah dan kebid’ahan mereka kepada kaum muslimin sehingga dapat lebih berhati-hati darinya. Juga sebagai bentuk pengamalan hadits:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
Agama adalah nasihat”. Kami berkata : “Untuk siapa (wahai Rasulullah)?”. Beliau bersabda : “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, imam/pemimpin kaum muslimin, dan orang-orang kebanyakan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 55, At-Tirmidziy no. 1926, dan yang lainnya].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga tulisan ini ada manfaatnya.
Saya banyak mengambil faedah dari buku Tashniifun-Naas aw Ar-Radd ‘alaa Munkirit-Tashniif oleh Asy-Syaikh Dr. ‘Abdus-Salaam bin Barjas rahimahullah, Daarul-Minhaaj, Cet. 1/1433 H.
[abul-jauzaa’ – ciper, 5 Syawwaal 1439 H].



[1]    Ghailaan bin Abi Ghailaan, Abu Marwaan. Ia seorang da’i qadariyyah sehingga terkenal dengan nama Ghailaan Al-Qadariy. Saat pertama kali bid’ah qadarnya muncul dan menyebar, ia dihadapkan ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz rahimahullah. Setelah ditahan beberapa hari, ia menyatakan taubat. Sepeninggal ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz rahimahullah, ia kembali kepada bid’ah qadarnya. Akhirnya ditangkap dan dibunuh oleh khalifah Hisyaam bin ‘Abdil-Malik rahimahumullah karena kesesatannya.
[2]    Penjelasan lebih lanjut tentang Khawaarij, silakan baca artikel : Khawaarij.
[3]    An-Nawawiy rahimahullah berkata :
فمعنى قول عائشة رضي الله عنها أن طائفة من الخوارج يوجبون على الحائض قضاء الصلاة الفائتة في زمن الحيض وهو خلاف إجماع المسلمين،
“Makna perkataan ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa (yaitu : ‘apakah kamu seorang Haruuriyyah ?’ – Abul-Jauzaa’) bahwasannya satu kelompok dari Khawaarij mewajibkan wanita haidl untuk mengqadlaa’ shalat yang ditinggalkan saat datang haidl. Dan hal itu menyelisihi ijma’ kaum muslimin” [Syarh Shahiih Muslim, 4/27].
[4]    Takhrij hadits selengkapnya, silakan baca artikel : Apakah Murji’ah Sudah Ada Semenjak Jaman Nabi ?.
[5]    Dalam sanad yang dibawakan oleh ‘Abdullah dalam As-Sunnah disebutkan perawi : Aslam bin Qaadim. Ini keliru, karena yang benar adalam Muslim bin Qaadim (tsiqah) sebagaimana disebutkan dalam sanad Ad-Daaraquthniy rahimahumullah, wallaahu a’lam.
[6]    Blog ini memuat banyak artikel yang membahas tentang Syi’ah dan Raafidlah. Silakan baca Label : Syi’ah.
[7]    Lebih lanjut, silakan baca artikel : Sekilas tentang Raafidlah dan Pendirinya.
[8]    Allah ta’ala berfirman:
عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
"Mudah-mudahan Rabbmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji" [QS : Al-Israa’ : 79].
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، ثنا ابْنُ فُضَيْلٍ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ: عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا قَالَ: يُقْعِدُهُ مَعَهُ عَلَى الْعَرْشِ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudlail, dari Laits, dari Mujaahid tentang firman Allah ta’ala : ‘Mudah-mudahan Rabbmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji" (QS : Al-Israa’ : 79), ia (Mujaahid) berkata : “Allah mendudukkan beliau (Nabi ) bersama-Nya di atas ‘Arsy” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 695].
Diriwayatkan juga oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 255 (Ibnu Abi syaibah) & 256 Ibnu Mandah dalam Adz-Dzikr hal. 99-100 no. 70 dari jalan Abu Bakr bin Abi Syaibah.
Pembahasan selengkapnya silakan baca artikel : Sifat Duduk (Juluus) – 1 dan Sifat Duduk (Juluus) – 2.
[9]    Selengkapnya silakan baca artikel : Abu Haniifah Bukan Penganut Paham Jahmiyyah.
[10]   Selengkapnya silakan baca artikel : Al-Qaadliy Abu Ya’laa Bukan Seorang Mujassim !!.
[11]   Abu ‘Utsmaan Ash-Shaabuniy rahimahullah berkata:
وعلامات البدع على أهلها بادية ظاهرة، وأظهر آياتهم وعلاماتهم شدة معاداتهم لحملة أخبار الني ﷺ، واحتقارهم لهم وتسميتهم إياهم حشوية وجهلة وظاهرية ومشبهة، اعتقادا منهم في أخبار الرسول صلى الله عليه وسلم أنها بمعزل عن العلم، وأن العلم ما يلقيه الشيطان إليهم من نتائج عقولهم الفاسدة، ووساوس صدورهم المظلمة، وهواجس قلوبهم الخالية من الخير، وحججهم العاطلة. أولئك الذين لعنهم الله
“Tanda-tanda bid’ah yang ada pada ahlul-bid’ah adalah sangat jelas. Dan tanda-tanda yang paling jelas adalah permusuhan mereka terhadap pembawa khabar Nabi (yaitu para ahlul-hadits), memandang rendah mereka, serta menamai mereka sebagai hasyawiyyah, orang-orang bodoh, dhahiriyyah, dan musyabbihah. Mereka meyakini bahwa hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengandung ilmu. Dan bahwasannya ilmu itu adalah apa-apa yang dibawa setan kepada mereka dalam bentuk hasil pemikiran akal-akal rusak mereka, was-was yang terbisikkan dalam hati-hati mereka yang penuh kegelapan, dan hal-hal yang terlintas dalam hati mereka nan kosong dari kebaikan dan hujjah. Mereka adalah kaum yang dilaknat oleh Allah” [‘Aqiidatu Ashhaabil-Hadiits, hal. 102].
[12]   Sebagai pelengkap, silakan baca artikel : Hajr (Pemboikotan).