Permasalahan
hukum orang yang meninggalkan shalat karena malas atau meremehkan – bersamaan
dengan pengakuan atas kewajibannya – merupakan permasalahan klasik yang telah
dibahas di banyak kitab para ulama dulu dan sekarang. Khilaaf ini
masyhur, sebagaimana dikutip realitasnya oleh Abu Ismaa’iil Ash-Shaabuniy rahimahullah:
واختلف أهل الحديث في ترك المسلم صلاة
الفرض متعمداً ؛ فكفره بذلك أحمد بن حنبل ، وجماعة من علماء السلف رحمهم الله أجمعين
، وأخرجوه به من الإسلام، للخبر الصحيح المروي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه
قال : (بين العبد والشرك ترك الصلاة ، فمن ترك الصلاة فقد كفر).
وذهب الشافعي ، وأصحابه، وجماعة من علماء السلف- رحمة الله عليهم أجمعين –
إلى أنه لا يكفر به – ما دام معتقداً لوجوبها – وإنما يتوجب القتل كما يستوجبه
المرتد عن الإسلام . وتأولوا الخبر : من ترك الصلاة جاحداً لها ؛ كما أخبر سبحانه
عن يوسف عليه السلام أنه قال: (إني تركت ملة قوم لا يؤمنون بالله وهم بالآخرة هم
كافرون) ، ولم يك تلبس بكفر ففارقه ؛ ولكن تركه جاحداً له.
“Ahlul-hadiits
berselisih pendapat tentang keadaan seorang muslim yang meninggalkan shalat
fardlu secara sengaja. Ahmad bin Hanbal dan sekelompok ulama salaf – semoga
Allah merahmati mereka semua – telah mengkafirkannya serta mengeluarkannya dari
agama Islam. Hal itu berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam : ‘Batas antara seorang hamba dengan kesyirikan
adalah meninggalkan shalat. Barangsiapa yang meninggalkan shalat, maka ia telah
kafir’.[1]
Adapun Asy-Syaafi’iy
dan shahabat-shahabatnya, serta sekelompok ulama salaf – semoga Allah merahmati
mereka semua – berpendapat bahwa mereka tidak kafir dengannya, selama orang tersebut
meyakini tentang kewajibannya. Hanya saja, ia wajib dibunuh (sebagai hadd)
seperti
halnya wajib dibunuhnya orang yang murtad dari Islam. Mereka menakwilkan hadits
di atas dengan : ‘orang yang meninggalkan shalat dengan mengingkari
kewajibannya’. Hal itu sebagaimana firman Allah subhaanahu tentang Yuusuf ‘alaihis-salaam : ‘Sesungguhnya
aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah,
sedang mereka ingkar kepada hari kemudian’ (QS. Yuusuf : 37).
Yuusuf meninggalkan agama mereka bukan karena kekufuran yang samar, akan tetapi
karena keingkaran mereka terhadap Allah dari hari kiamat” [‘Aqiidatus-Salaf
wa Ashhaabul-Hadiits, hal. 84].
Sebagian
ulama, ada yang membawakan pernyataan ijmaa’ akan kafirnya orang yang
meninggalkan shalat, diantaranya adalah apa yang diisyaratkan Ishaaq bin
Rahawaih rahimahullah dalam perkataannya:
قَدْ صَحَّ عَنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ: أَنَّ تَارِكَ الصَّلاةِ كَافِرٌ،
وَكَذَلِكَ كَانَ رَأْيُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ لَدُنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ
وَسَلَّمَ إِلَى يَوْمِنَا هَذَا: أَنَّ تَارِكَ الصَّلاةِ عَمْدًا مِنْ غَيْرِ
عُذْرٍ حَتَّى يَذْهَبَ وَقْتُهَا كَافِرٌ
“Telah
shahih riwayat dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bahwasannya orang yang meninggalkan shalat adalah kafir. Begitu juga pendapat dari
kalangan ulama semenjak jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hingga
era kita sekarang : Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja tanpa ‘udzur
hingga keluar dari waktunya adalah kafir” [Diriwayatkan oleh Al-Marwadziy dalam
Ta’dhiimu-Qadrish-Shalaah, hal. 609; shahih].
Akan
tetapi isyarat ijmaa’ ini tidak benar. Setidaknya dibuktikan dengan
riwayat berikut:
أخبرنا عبد الله بن أحمد قال
: حدثنا زكريا بن يحيى ، قال حدثنا إبراهيم بن سعد ، قال : سألت ابن شهاب عن الرجل
يترك الصلاة ؟ قال : إن كان إنما تركها أنه يبتغي دينا غير الإسلام قتل . وإن كان
إنما هو فاسق من الفساق ضرب ضربا شديدا أو سجن .
Telah
mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Zakariyyaa bin Yahyaa, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami
Ibraahiim bin Sa’d, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Ibnu Syihaab
(Az-Zuhriy) tentang orang yang meninggalkan shalat. Ia menjawab : “Apabila ia
meninggalkan shalat karena motif menghendaki agama selain Islam, maka dibunuh.
Namun apabila ia hanyalah seorang yang fasiq, maka ia dipukul dengan pukulan
yang keras atau dihukum” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam Al-Jaami’,
hal. 546 no. 1402; sanadnya shahih].
Bagaimana
dapat dikatakan ijmaa’ berdasarkan perkataan Ishaaq sementara Az-Zuhriy –
tokoh atbaa’ut-taabi’iin yang hidup sebelumnya – menyatakan hal sebaliknya.
Bahkan Ibnul-Mundzir rahimahullah saat mengumpulkan ijmaa’-ijmaa’ ulama
dalam berbagai permasalahan agama jelas menyatakan:
لم أجد فيهما إجماعاً
“Aku
tidak mendapati adanya ijmaa’ dalam dua permasalahan tersebut (yaitu
hukum pelaku sihir laki-laki dan wanita, serta hukum orang meninggalkan
shalat)” [Kitaabul-Ijmaa’, hal. 179].
Bahkan
ada bentuk ijmaa’ ‘amaliy yang diakui, baik oleh ulama yang tidak mengkafirkannya
maupun yang mengkafirkannya. Setelah merajihkan tidak kafirnya orang yang
meninggalkan shalat, Ibnu Qudaamah Al-Maqdisiy rahimahullah berkata:
وَلِأَنَّ ذَلِكَ إجْمَاعُ الْمُسْلِمِينَ
، فَإِنَّا لَا نَعْلَمُ فِي عَصْرٍ مِنْ الْأَعْصَارِ أَحَدًا مِنْ تَارِكِي
الصَّلَاةِ تُرِكَ تَغْسِيلُهُ ، وَالصَّلَاةُ عَلَيْهِ ، وَدَفْنُهُ فِي مَقَابِر
الْمُسْلِمِينَ ، وَلَا مُنِعَ وَرَثَتُهُ مِيرَاثَهُ ، وَلَا مُنِعَ هُوَ
مِيرَاثَ مُوَرِّثِهِ ، وَلَا فُرِّقَ بَيْنَ زَوْجَيْنِ لِتَرْكِ الصَّلَاةِ مِنْ
أَحَدِهِمَا ؛ مَعَ كَثْرَةِ تَارِكِي الصَّلَاةِ ، وَلَوْ كَانَ كَافِرًا
لَثَبَتَتْ هَذِهِ الْأَحْكَامُ كُلُّهَا
“Karena hal tersebut[2]
merupakan ijmaa’ kaum muslimin. Kami tidak mengetahui sepanjang jaman seorangpun
dari orang yang meninggalkan shalat tidak dimandikan, tidak
dishalatkan, dan tidak dikuburkan di pekuburan kaum muslimin (apabila ia
meninggal). Ahli
warisnya tidak
dihalangi menerima harta warisannya, ia tidak dihalangi untuk mendapatkan harta warisan, dan tidak diceraikan antara suami-istri
dengan sebab salah seorang diantara keduanya meninggalkan shalat – padahal
banyak sekali orang yang meninggalkan shalat. Seandainya statusnya kafir, niscaya
semua hukum tersebut diberlakukan” [Al-Mughniy, 2/297].
An-Nawawiy
rahimahullah berkata:
ولم يزل المسلمون يورثون
تارك الصلاة ويورثون عنه ولو كان كافرا لم يغفر له ولم يرث ولم يورث
“Kaum
muslimin senantiasa mewariskan harta kepada orang yang meninggalkan shalat dan
juga mendapatkan harta warisan darinya. Seandainya ia berstatus kafir, niscaya dosa-dosanya tidak diampuni,
tidak mewariskan harta, dan tidak pula diwarisi harta” [Al-Majmuu’,
3/17].
Meskipun
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah merajihkan kafirnya orang
yang tidak pernah shalat, beliau menjelaskan hal senada yang dikatakan Ibnu
Qudaamah dan An-Nawawiy rahimahumullah di
atas:
قال أصحابنا يحكم بكفره في
الوقت الذي يباح فيه دمه و هو ما إذا دعي فامتنع ... فأما إذا لم يدع و لم يمتنع
فهذا لا يجري عليه شيء من أحكام المرتدين في شيء من الأشياء و لهذا لم يعلم انم
أحدا من تاركي الصلاة ترك غسله و الصلاة عليه و دفنه مع المسلمين و لا منع ورثته
ميراثه و لا إهدار دمه بسبب ذلك مع كثرة تاركي الصلاة في كل عصر و الأمة لا تجتمع
على ضلالة
“Shahabat-shahabat
kami (dari kalangan ulama Hanaabilah) berkata : Dihukumi kekafirannya pada
waktu ia dibunuh, yaitu ketika ia diseru untuk bertaubat melakukan shalat,
namun menolaknya......
Namun
apabila ia tidak diseru (untuk bertaubat) dan tidak pula ia menolaknya, maka
tidak diberlakukan padanya sedikitpun hukum-hukum orang yang murtad. Oleh
karena itu, tidak diketahui seorangpun dari orang yang meninggalkan shalat
tidak dimandikan, tidak dishalatkan, dan tidak dikuburkan bersama kaum muslimin
(apabila ia meninggal). Ahli warisnya tidak dicegah mendapatkan harta
warisannya dan darahnya tidak dialirkan (secara sia-sia) dengan sebab itu,
padahal banyak sekali orang yang meninggalkan shalat di sepanjang jaman. Dan
umat tidaklah berkumpul dalam kesesatan” [Syarhul-‘Umdah, 4/91-92].
Di
lain tempat, Syaikhul-Islaam rahimahullah berkata:
ومتى إمتنع الرجل من الصلاة
حتى يقتل لم يكن فى الباطن مقرا بوجوبها ولا ملتزما بفعلها وهذا كافر بإتفاق
المسلمين
“Dan
ketika seseorang tetap menolak
mengerjakan shalat[3] hingga
ia dibunuh, maka itu menunjukkan di batinnya tidak ada pengakuan terhadap
kewajibannya dan tidak punya komitmen
untuk melakukannya. Maka orang ini statusnya kafir dengan kesepakatan kaum
muslimin” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 22/48].
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:
ومن العجب أن يقع الشك في
كفر من أصر على تركها, ودعى إلى فعلها على رؤوس الملأ وهو يرى بارقة السيف على
رأسه ويشد للقتل وعصبت عيناه وقيل له تصلي وإلا قتلناك فيقول اقتلوني ولا أصلي
أبدا!
“Dan
yang sungguh mengherankan adanya keraguan tentang kekafiran orang terus-menerus
meninggalkan shalat, lalu ia dipanggil dihadapan penguasa atas perbuatannya. Ia melihat kilatan pedang
berada di atas kepalanya siap untuk membunuhnya sedangkan kedua matanya ditutup
kain. Dikatakan padanya : ‘Shalatlah engkau. Jika tidak,
kami akan membunuhmu’. Lalu orang tersebut malah berkata : ‘Bunuhlah aku, dan
aku tetap tidak akan shalat selamanya” [Ash-Shalaah wa Hukmu Taarikihaa, hal. 63].
Asy-Syaikh
Al-Albaaniy rahimahullah berkata:
و الخلاصة : أن مجرد الترك
لا يمكن أن يكون حجة لتكفير المسلم و إنما هو فاسق أمره إلى الله إن شاء عذبه و إن
شاء غفر له و الحديث الذي هو عماد هذه الرسالة نص صريح في ذلك لا يسع مسلما أن
يرفضه
و أن من دعي إلى الصلاة و أنذر بالقتل إن لم
يستجب فقتل فهو كافر - يقينا - حلال الدم لا يصلى عليه و لا يدفن في مقابر
المسلمين
فمن أطلق التكفير فهو مخطئ و من أطلق عدم
التكفير فهو مخطئ و الصواب التفصيل
“Dan
kesimpulannya : Hanya sekedar meninggalkan shalat saja tidak mungkin menjadi
hujjah untuk mengkafirkan seorang muslim. Ia hanya berstatus fasiq dan
perkaranya terserah kepada Allah, apabila berkehendak, Ia akan mengadzabnya,
dan apabila berkehendak, Ia akan mengampuninya. Dan hadits yang menjadi tiang
dalam risalah ini merupakan nash yang jelas dalam permasalahan tersebut. Tidak
ada alasan bagi seorang muslim untuk menolaknya.
Dan barangsiapa yang diseru untuk shalat dan diancam
untuk dibunuh; apabila ia tetap enggan, maka ia dibunuh dan berstatus kafir
secara yakin. Darahnya halal dialirkan, ia tidak dishalatkan, dan tidak pula
dikuburkan di pekuburan kaum muslimin.
Barangsiapa yang memutlakkan pengkafiran, maka ia
keliru. Begitu juga barangsiapa yang memutlakkan peniadaan pengkafiran, maka ia
keliru. Yang benar, dirinci….” [Hukmu Taarikish-Shalaah, hal. 52-53].
Jadi,
kaum muslimin dulu hingga sekarang bersepakat dalam praktek kehidupan mereka
tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat karena malas/meremehkan, kecuali
jika mereka menolak mengerjakannya secara terang-terangan dan tidak mau shalat
setelah diperingatkan dan diancam untuk dibunuh. Penolakan dan keengganannya
ini mengindikasikan kekufuran yang ada di dalam hatinya.
Sayangnya,....
ada sebagian orang yang kemudian menuduh
orang lain yang berpegang pada
pendapat tidak kafirnya orang meninggalkan shalat sebagai orang yang
berpemikiran Murji’ah, baik secara terang-terangan maupun sindiran. Contohnya
adalah Muhammad bin Ibraahiim Syaqrah, Safar Al-Hawaliy, dan yang lainnya. Bahkan
dalam kitab At-Tawassuth wal-Iqtishaad hal. 19-20 setelah menyebutkan eksistensi
perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam permasalahan meninggalkan shalat,
Penulis mengatakan:
ولكن هاهنا مسألةٌ مهمَّةٌ ،
وهي أَنَّ أصحاب الحديث الذين لم يكفِّروا تاركَ الصَّلاة ؛ لا يعنون أَنَّ
الصَّلاةَ عملٌ والعمل لا يكفّر تاركه أو فاعله بغير اعتقادٍ أو استحلالٍ أو
تكذيبٍ ، فهذه لَوْثَةٌ إرجائيَّةٌ حاشاهم منها
“Akan
tetapi di sini terdapat permasalahan yang penting, yaitu bahwa ashhaabul-hadiits
yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat tidak memaksudkan bahwa
shalat itu adalah amal, sedangkan amal tidak menyebabkan pengkafiran orang yang
meninggalkannya atau pelakunya tanpa adanya i’tiqad, istihlaal (penghalalan),
atau pendustaan (takdziib). Ini hanyalah noda pemahaman irjaa’,
semoga Allah menghindarkan mereka darinya” [selesai][4].
Perkataan
ini rancu.
Pertama, penyebutan kufur amaliy
terhadap perbuatan meninggalkan shalat telah shahih dikatakan via lisan
para ulama kita.
Meskipun
dalam kesimpulan merajihkan pendapat kafirnya orang yang meninggalkan shalat,
Ibnul-Qayyim rahimahullah menjelaskan:
أن الكفر نوعان: كفر عمل وكفر جحود وعناد, فكفر
الجحود أن يكفر بما علم أن الرسول جاء به من عند الله جحودا وعنادا من أسماء الرب
وصفاته وأفعاله وأحكامه, وهذا الكفر يضاد الإيمان من كل وجه. أما كفر العمل فينقسم
إلى ما يضاد الإيمان وإلى ما لا يضاده. فالسجود للصنم والاستهانة بالمصحف وقتل
النبي وسبه يضاد الإيمان, وأما الحكم بغير ما أنزل الله وترك الصلاة فهو من الكفر
العملي قطعا ولا يمكن أن ينفي عنه اسم الكفر بعد أن اطلقه الله ورسوله عليه
فالحاكم بغير ما أنزل الله كافر وتارك الصلاة كافر بنص رسول الله صلى الله عليه
وسلم, ولكن هو كفر عمل لا كفر اعتقاد, ومن الممتنع أن يسمي الله سبحانه الحاكم
بغير ما أنزل الله كافرا ويسمى رسول الله صلى الله عليه وسلم تارك الصلاة كافرا
ولا يطلق عليهما اسم كافر. وقد نفى رسول الله صلى الله عليه وسلم الإيمان عن
الزاني والسارق وشارب الخمر وعمن لا يأمن جاره بوائقه, وإذا نفي عنه اسم الإيمان
فهو كافر من جهة العمل وانتفى عنه كفر الجحود والاعتقاد وكذلك قوله: "لا
ترجعوا بعدي كفارا يضرب بعضكم رقاب بعض". فهذا كفر عمل. وكذلك قوله: "من
أتى كاهنا فصدقه أو امرأة في دبرها فقد كفر بما أنزل على محمد". وقوله:
"إذا قال الرجل لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما". وقد سمى الله سبحانه
وتعالى من عمل ببعض كتابه وترك العمل ببعضه مؤمنا بما عمل به وكافرا بما ترك العمل
بت....... فالإيمان العملي يضاده الكفر العملي والإيمان الاعتقادي يضاده الكفر
الاعتقادي.
وقد أعلن النبي صلى الله عليه وسلم بما قلناه في قوله في الحديث الصحيح: "سباب المسلم فسوق وقتاله كفر". ففرق بين قتاله وسبابه وجعل أحدهما فسوقا لا يكفر به والآخر كفر, ومعلوم أنه إنما أراد الكفر العلمي لا الاعتقادي, وهذا الكفر لا يخرجه من الدائرة الإسلامية والملة بالكلية كما لا يخرج الزاني والسارق والشارب من الملة وإن زال عنه اسم الإيمان, وهذا التفصيل هو قول الصحابة الذين هم أعلم الأمة بكتاب الله وبالإسلام والكفر ولوازمهما فلا تتلقى هذه المسائل إلا عنهم فإن المتأخرين لم يفهموا مرادهم فانقسموا فريقين فريقا أخرجوا من الملة بالكبائر, وقضوا على أصحابها بالخلود في النار, وفريقا جعلوهم مؤمنين كاملي الإيمان فهؤلاء غلوا وهؤلاء جفوا وهدى الله أهل السنة للطريقة المثلى والقول الوسط الذي هو في إذنه كالإسلام في الملل فها هنا كفر دون كفر ونفاق دون نفاق وشرك دون شرك وفسوق دون فسوق وظلم دون ظلم.
وقد أعلن النبي صلى الله عليه وسلم بما قلناه في قوله في الحديث الصحيح: "سباب المسلم فسوق وقتاله كفر". ففرق بين قتاله وسبابه وجعل أحدهما فسوقا لا يكفر به والآخر كفر, ومعلوم أنه إنما أراد الكفر العلمي لا الاعتقادي, وهذا الكفر لا يخرجه من الدائرة الإسلامية والملة بالكلية كما لا يخرج الزاني والسارق والشارب من الملة وإن زال عنه اسم الإيمان, وهذا التفصيل هو قول الصحابة الذين هم أعلم الأمة بكتاب الله وبالإسلام والكفر ولوازمهما فلا تتلقى هذه المسائل إلا عنهم فإن المتأخرين لم يفهموا مرادهم فانقسموا فريقين فريقا أخرجوا من الملة بالكبائر, وقضوا على أصحابها بالخلود في النار, وفريقا جعلوهم مؤمنين كاملي الإيمان فهؤلاء غلوا وهؤلاء جفوا وهدى الله أهل السنة للطريقة المثلى والقول الوسط الذي هو في إذنه كالإسلام في الملل فها هنا كفر دون كفر ونفاق دون نفاق وشرك دون شرك وفسوق دون فسوق وظلم دون ظلم.
“Bahwasannya kekufuran itu ada dua : (1) kufur
amal, serta (2) kufur pengingkaran (juhuud) dan penentangan (‘inaad).
Kufur pengingkaran adalah kufur dengan apa yang
diturunkan kepada Rasul dari sisi Allah dengan pengingkaran dan penentangan
terhadap nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, dan
hukum-hukum-Nya. Kekufuran ini bertolak belakang dengan keimanan dari segala
sisi. Sedangkan kufur amal dibagi menjadi dua, yaitu yang bertolak belakang
dengan iman dan yang tidak bertolak belakang.
Sujud kepada berhala, menghina mushhaf Al-Qur’an,
membunuh Nabi dan mencacinya adalah kufur amal yang bertolak-belakang dengan
iman. Berhukum dengan selain hukum Allah dan meninggalkan shalat merupakan kufur
‘amaliy, tidak mungkin untuk menafikkan darinya nama kekufuran setelah
Allah dan Rasul-Nya memutlakkannya. Hakim yang tidak berhukum dengan hukum yang
diturunkan Allah adalah kafir dan orang yang meninggalkan shalat pun kafir
berdasarkan nash Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi
ia adalah kufur amal, bukan kufur i’tiqad. Termasuk hal yang menghalangi
(adanya kufur i’tiqad) adalah bahwa Allah subhaanahu wa ta’ala
telah menamakan seorang hakim yang tidak berhukum adalah kafir dan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga menamakan orang yang
meninggalkan shalat adalah kafir, namun tidak memutlakkan terhadap keduanya
dengan nama kafir. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
menafikkan keimanan bagi pelaku zina, pencuri, peminum khamr, dan orang yang
tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya. Apabila dinafikkan darinya
nama keimanan, maka ia kafir dari segi amal dan dinafikkan dari kufur juhuud
dan i’tiqaad. Seperti halnya
sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Janganlah kalian
kembali pada kekafiran setelahku, dimana sebagian di antara kalian membunuh
sebagian yang lain’. Ini adalah kufur ‘amal. Begitu pula sabda
beliau shallallaahu ‘alaihi wa salaam : ‘Barangsiapa yang mendatangi
dukun dan membenarkan apa yag diucapkannya atau seorang yang mendatangi
istrinya melalui duburnya (liwath), sungguh ia telah kafir dengan apa yang
diturunkan kepada Muhammad’. Dan juga sabda beliau : ‘Apabila seseorang
berkata : wahai kafir, maka akan kembali pada salah seorang di antara mereka’.
Allah subhaanahu wa ta’ala telah menamakan amal pada sebagian kitab-Nya
dan meninggalkan ‘amal sebagai orang beriman (mukmin) dengan apa yang ia
kerjakan dan kafir dengan apa yang ia tinggalkan dengannya…….. Maka iman ‘amaliy
lawannya adalah kufur ‘amaliy dan iman i’tiqadiy lawannya adalah
kufur i’tiqadiy.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
memberitahukan dengan apa yang disabdakannya dalam sebuah hadits shahih : ‘Mencaci
seorang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran’. Beliau
membedakan antara memerangi dan mencela, serta menjadikan salah satu di antara
keduanya kefasikan – bukan kekafiran – sedangkan yang lain kekafiran. Dan telah
diketahui bahwasannya yang beliau maksudkan dengannya hanyalah kufur ‘amaliy,
bukan i’tiqadiy. Kekufuran jenis ini tidaklah mengeluarkan pelakunya
dari wilayah Islam dan agama secara keseluruhan; sebagaimana seorang pezina,
pencuri, dan peminum khamr tidaklah dikeluarkan dari agama meskipun hilang
darinya nama iman. Perincian ini merupakan perkataan shahabat yang mereka itu
merupakan umat paling tahu terhadap Kitabullah, Islam, kekufuran dan
konsekuensi-konsekuensinya. Permasalahan seperti ini tidaklah diambil kecuali
dari mereka. Orang-orang belakangan (muta-akhkhiriin) tidak memahami
maksud mereka (para shahabat) sehingga membagi orang-orang menjadi dua golongan
: (1) golongan yang mengeluarkan dari agama/millah dikarenakan dosa
besar dan menghukumi pelakunya kekal di dalam neraka, (2) golongan yang
menjadikan seseorang sebagai mukmin yang sempurna imannya (walaupun melakukan
dosa besar). Mereka ini adalah orang-orang yang melampaui batas (yaitu golongan
pertama) dan meremehkan (yaitu golongan kedua). Allah memberikan petunjuk
kepada Ahlus-Sunnah jalan yang lurus dan perkataan yang tengah, dimana hal ini
diibaratkan seperti Islam berada di tengah-tengah antara agama-agama lainnya.
Dan di sinilah keberadaan kekufuran di bawah kekufuran (kufrun duuna kufrin),
kemunafikan di bawah kemunafikan, kesyirikan di bawah kesyirikan, kefasikan di
bawah kefasikan, dan kedhaliman di bawah kedhaliman” [Ash-Shalaah wa Hukmu
Taarikihaa, hal. 56-58].
Kita dapat melihat bahwa Ibnul-Qayyim rahimahullah
tidak mengklasifikasikan perbuatan meninggalkan shalat sebagai
kekufuran yang bertolak-belakang dengan keimanan[5]
!
Bahkan Ibnu Taimiyyah menukil perkataan Ibnu Baththah
Al-'Ukbariy rahimahumallah dalam Syarhul-'Umdah sebagai
berikut:
ولأن الصلاة عمل من أعمال الجوارح فلم يكفر بتركه
كسائر الأعمال المفروضة ولأن من أصول أهل السنة أنهم لا يكفرون أحدا من أهل السنة
بذنب ولا يخرجونه من الإسلام بعمل بخلاف ما عليه الخوارج وإنما الكفر بالاعتقادات،
يكفر.... وتارك الصلاة مع إقراره بالوجوب صحيح الاعتقاد فلا يكفر...
"Dan dikarenakan
shalat merupakan satu amal dari amal-amal jawaarih,
maka seseorang tidak dikafirkan dengan sebab meninggalkannya seperti amal-amal yang
diwajibkan lainnya. Termasuk diantara pokok Ahlus-Sunnah bahwasannya mereka
tidak mengkafirkan seorang pun dari kalangan Ahlus-Sunnah dengan sebab dosa
yang mereka lakukan dan tidak pula mengeluarkan mereka dari Islam dengan sebab
amal, berbeda halnya dengan Khawaarij. Kekufuran itu hanyalah dengan sebab
keyakinan….. Dan orang yang meninggalkan shalat bersamaan dengan pengakuannya
akan kewajibannya adalah orang yang benar keyakinannya, sehingga tidak dikafirkan"
[selesai].
Ibnu Baththah rahimahullah adalah seorang imam
Ahlus-Sunnah di masanya, bukan seorang Murji'. Meskipun demikian, perkataan
beliau rahimahullah di atas perlu
dirinci sebagaimana rincian Ibnul-Qayyim rahimahumallah
di atas, karena kekufuran dapat terjadi dengan sebab amal perbuatan seperti
sujud kepada matahari/berhala, mencaci Allah dan Rasul-Nya, dan yang semisalnya
sebagaimana dijelaskan di point berikutnya.
Kedua, ketika dikatakan
meninggalkan shalat adalah kufur ‘amaliy, bukan berarti kekafiran tidak
akan pernah terjadi dengan sebab amal perbuatan, meski tanpa adanya
penghalalan. Kekafiran dalam amal perbuatan itu terjadi jika perbuatan
kekafiran tersebut bertentangan dengan keimanan dari segala sisinya sebagaimana
dikatakan oleh Ibnul-Qayyim rahimahullah di atas, seperti sujud kepada berhala, menghina mushhaf Al-Qur’an,
membunuh Nabi dan mencacinya.
Al-Qaadliy
‘Iyaadl rahimahullah berkata:
وكذلك نكفِّر بفعلٍ أجمع المسلمون على أَنَّه لا
يصدُرُ إلاَّ من كافر وإنْ كان صاحبُه مصرِّحاً بالإسلام مع فعله كالسجود للصَّنم
، أو الشمس ، والقمر ، والصَّليب، والنَّار
“Begitu
juga kami mengkafirkan dengan sebab perbuatan dimana kaum muslimin bersepakat
bahwa hal tersebut tidak terjadi kecuali pada orang kafir meskipun pelakunya
mengaku beragama Islam dengan perbuatan tersebut; seperti sujud kepada berhala,
matahari, bulan, salib, atau api.....” [Asy-Syifaa, 2/397].
Asy-Syaikh
Haafidh Al-Hakamiy rahimahullah menjelaskan sebab perbuatan-perbuatan
tersebut – meskipun dikatagorikan kufur ‘amaliy – dapat mengeluarkan
pelakunya dari Islam (murtad):
اعلم أن هذه الأربعة وما شاكلها ليس هي من
الكفر العملي، إلا من جهة كونها واقعة بعمل الجوارح فيما يظهر للناس، ولكنها لا تقع
إلا مع ذهاب عمل القلب من نيته وإخلاصه ومحبته وانقياده، لا يبقى معها شيء من ذلك،
فهي وإن كانت عملية في الظاهر، فإنها مستلزمة للكفر الاعتقادي ولابد، ولم تكن هذه لتقع
إلا من منافق مارق أو معاند مارد
“Ketahuilah
bahwasannya keempat hal ini[6] dan yang serupa dengannya
bukan termasuk kufur ‘amaliy, kecuali hanya sekedar dilihat dari sisi
terjadinya pada amal anggota badan, sebagaimana yang nampak pada manusia. Akan
tetapi perbuatan tersebut tidak terjadi kecuali dengan hilangnya amalan hati
berupa niat, rasa ikhlash, kecintaan, dan ketundukan. Tidak tersisa sedikitpun
hal tersebut pada diri pelakunya. Hal itu meskipun termasuk amal perbuatan
(anggota badan) dari sisi dhahirnya, akan tetapi mengkonsekuensikan kekufuran i’tiqadiy.
Kekufuran ini tidak terjadi kecuali pada diri seorang munafik yang keluar dari
Islam atau orang yang durhaka lagi pembangkang” [A’lamus-Sunnah
Al-Mansyuurah, hal. 100].
Ketiga, tuduhan menganut paham Murji’ah
kepada golongan yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat hanyalah
daur ulang pemikiran ala Khawaarij sebagaimana disebutkan oleh Abul-Fadhl
As-Saksakiy Al-Hanbaliy rahimahullah ratusan tahun yang lalu:
إن تارك الصلاة - إذا لم يكن جاحدا - فهو مسلم - على
الصحيح من مذهب أحمد - ، وإن المنصورية يسمون أهل السنة مرجئة؛ لأنهم يقولون بذلك،
ويقولون : هذا يؤدي إلى أن الإيمان عندهم قول بلا عمل
“Sesungguhnya
orang yang meninggalkan shalat – apabila ia tidak mengingkari (kewajibannya) – maka
statusnya muslim berdasarkan yang shahih dari madzhab Ahmad. Dan sesungguhnya
kelompok Manshuuriyyah[7] menamakan Ahlus-Sunnah
sebagai Murji’ah karena mereka (Ahlus-Sunnah) berpendapat demikian. Mereka
(Manshuuriyyah) berkata : ‘Pendapat ini mengkonsekuensikan bahwa iman menurut mereka hanyalah
perkataan saja tanpa amal” [Al-Burhaan, hal. 35].
Sungguh
apa yang dikatakan beliau rahimahullah sekarang hampir sama persis
dengan tuduhan yang dilemparkan kepada Ahlus-Sunnah di masa sekarang – meskipun
penuduh juga mengklaim Ahlus-Sunnah.
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah menjelaskan
persamaan dan perbedaan antara Ahlus-Sunnah dan Murji’ah dalam permasalahan
hukum meninggalkan shalat:
هذا قولٌ قد قالت به جماعة من الأئمة ممن يقولون الإيمان قولٌ وعمل ، وقالت به
المرجئة أيضاً، إلا أن المرجئة تقول أن المؤمن المقرُّ مستكمل الإيمان أما أهل
السنة فيقولون أنّ إيمانه ناقصٌ
“Perkataan
ini (yaitu orang yang meninggalkan
shalat tidak kafir)
telah dikatakan oleh sekelompok imam yang mereka itu berpendapat : ‘iman adalah
perkataan dan perbuatan’. Murji’ah juga mengatakan hal yang sama (tidak
kafirnya orang yang meninggalkan shalat), akan tetapi mereka mengatakan bahwa seorang mukmin yang mengakui kewajibannya adalah
mukmin yang sempurna keimanannya
(meski tidak melakukan kewajiban tersebut).
Adapun Ahlus-Sunnah mengatakan keimanannya kurang” [At-Tamhiid, 2/381].
Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah saat
mengomentari perkataan Safar Al-Hawaliy yang menuduhnya mengambil perkataan
Murji’ah, berkata:
اتق الله ، فهم -
أي المرجئة - يقولون الصلاة ليست من الإيمان ونحن نقول
بخلافهم
“Bertaqwalah
kepada Allah, mereka – yaitu Murji’ah – mengatakan shalat tidak termasuk bagian
dari iman, sedangkan kami mengatakan hal yang berbeda (yaitu : shalat termasuk
bagian dari iman” [Ad-Durarul-Mutalaali’ah, hal. 125-126].
Maksud
beliau rahimahullah, Murji’ah tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan
shalat karena mereka tidak memasukkan shalat – sebagaiman amal jawaarih lainnya
– termasuk bagian dari iman, sehingga keimanan orang tersebut tetap sempurna. Adapun Ahlus-Sunnah mengatakan
shalat masuk bagian dari iman yang jika ia ditinggalkan, maka berkurang
keimanannya. Sama seperti yang dijelaskan
oleh Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah di atas.
Adapun
dalil tidak kafirnya orang yang meninggalkan shalat sangatlah banyak,
diantaranya:
1.
Allah ta’ala berfirman
:
إِنَّ اللَّهَ لا
يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ
يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang
selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”
[QS. An-Nisaa’ : 48].
Dosa
meninggalkan shalat wajib masuk dalam cakupan wilayah ampunan Allah ta’ala,
jika Ia berkehendak untuk mengampuninya. Artinya, ia bukan termasuk orang yang
diancam dengan kekekalan neraka akibat kekafirannya.
2.
Hadits syafa’at.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ
الْخُدْرِيِّ مرفوعا : ....حَتَّى إِذَا خَلَصَ الْمُؤْمِنُونَ مِنْ النَّارِ
فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ بِأَشَدَّ مُنَاشَدَةً
لِلَّهِ فِي اسْتِقْصَاءِ الْحَقِّ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ لِلَّهِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ لِإِخْوَانِهِمْ الَّذِينَ فِي النَّارِ يَقُولُونَ رَبَّنَا كَانُوا
يَصُومُونَ مَعَنَا وَيُصَلُّونَ وَيَحُجُّونَ فَيُقَالُ لَهُمْ أَخْرِجُوا مَنْ
عَرَفْتُمْ فَتُحَرَّمُ صُوَرُهُمْ عَلَى النَّارِ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا
قَدْ أَخَذَتْ النَّارُ إِلَى نِصْفِ سَاقَيْهِ وَإِلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ يَقُولُونَ
رَبَّنَا مَا بَقِيَ فِيهَا أَحَدٌ مِمَّنْ أَمَرْتَنَا بِهِ فَيَقُولُ ارْجِعُوا
فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ دِينَارٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ
فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا
أَحَدًا مِمَّنْ أَمَرْتَنَا .....
Dari Abu Sa'iid Al-Khudriy secara marfu’ : “…… Sehingga ketika orang-orang mu'min
terbebas dari neraka, maka demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidaklah
salah seorang dari kalian yang begitu gigih memohon kepada Allah di dalam
menuntut al-haq pada hari kiamat untuk saudara-saudaranya yang berada di dalam
neraka. Mereka berseru : ‘Wahai Rabb kami, mereka selalu berpuasa bersama kami,
shalat bersama kami, dan berhaji bersama kami.” Maka dikatakan kepada mereka;
“Keluarkanlah orang-orang yang kalian ketahui.” Maka bentuk-bentuk mereka hitam
kelam karena terpanggang api neraka, kemudian mereka mengeluarkan begitu banyak
orang yang telah dimakan neraka sampai pada pertengahan betisnya dan sampai
kedua lututnya. Kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, tidak tersisa lagi
seseorang pun yang telah engkau perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah
berfirman : ‘Kembalilah kalian, maka barangsiapa yang kalian temukan di dalam
hatinya kebaikan seberat dinar, maka keluarkanlah dia’. Mereka pun mengeluarkan
jumlah yang begitu banyak, kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, kami
tidak meninggalkan di dalamnya seorangpun yang telah Engkau perintahkan kepada
kami’......” [Diriwayatkan
oleh Muslim no. 302].
Hadits ini jelas menunjukkan masih ada golongan yang selamat
dari kekekalan neraka yang mereka tidak mengerjakan shalat, puasa, dan haji;
yaitu kaum yang masih mempunyai keimanan seberat dinar.
3.
Hadits masyi’ah.
حَدَّثَنَا
سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ، قَالَ: ثنا أَبُو زُرْعَةَ الدِّمَشْقِيُّ، قَالَ: ثنا
آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ، قَالَ: ثنا أَبُو غَسَّانَ مُحَمَّدُ بْنُ مُطَرِّفٍ،
عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، عَنِ الصُّنَابِحِيِّ،
عَنْ عُبَادَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ: " خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى
عِبَادِهِ، مَنْ حَافَظَ عَلَيْهِنَّ وَلَمْ يُضَيِّعْهُنَّ اسْتِخْفَافًا
بِحَقِّهِنَّ، كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ لا يُعَذَّبْهُ، وَمَنْ لَمْ
يَأْتِ بِهِنَّ لَمْ يَكُنْ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ، إِنْ شَاءَ رَحِمَهُ،
وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ "
Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan
bin Ahmad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Zur’ah Ad-Dimasyqiy,
ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Aadam bin Abi Iyaas, ia berkata :
Telah menceritakan kepada kami Abu Ghassaan Muhammad bin Mutharrif, dari Zaid
bin Aslam, dari ‘Athaa’ bin Yasaar, dari Ash-Shunaabihiy, dari ‘Ubaadah, ia
berkata : “Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “Ada lima waktu shalat yang diwajibkan Allah ‘azza wa
jalla atas hamba-hamba-Nya. Barangsiapa yang menjaganya dan tidak
menyia-nyiakannya sedikitpun dengan meremehkan hak-haknya, maka ia mempunyai
perjanjian di sisi Allah agar Ia tidak mengadzabnya. Dan barangsiapa yang tidak mengerjakannya, maka dia
tidak memiliki janji dengan Allah. Apabila berkehendak, Allah akan
mengadzabnya. Apabila berkehendak Allah akan memberikan rahmat kepadanya, dan
apabila berkehendak akan mengadzabnya” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 5/130-131; shahih].
Makna perkataan lam ya’ti bihinna
meliputi tidak mengerjakan shalat wajib yang lima, tidak menjaganya,
menyia-nyiakannya dengan meremehkan haknya. Dan ini masih dalam masyi’ah Allah
ta’ala. Ath-Thahawiy rahimahullah berkata :
فكان في حديث عبادة
: إن لم يأت بهن، يعني : الصلاوات الخمس.
“Dan dalam hadits ‘Ubaadah : ‘jika ia tidak mengerjakannya’, yaitu : (tidak mengerjakan) shalat lima
waktu” [Syarh Musykilil-Aatsaar, 8/200].
4. Hadits Nashr bin ‘Aashim tentang orang
yang masuk Islam.
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ نَصْرِ بْنِ
عَاصِمٍ، عَنْ رَجُلٍ مِنْهُمْ، أَنَّهُ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَأَسْلَمَ عَلَى أَنَّهُ لَا يُصَلِّي إِلَّا صَلَاتَيْنِ، فَقَبِلَ ذَلِكَ
مِنْهُ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad
bin Ja’far : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Qataadah, dari Nashr
bin ‘Aashim, dari seorang laki-laki dari kalangan mereka : Bahwasannya ia
mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan menyatakan
keislamannya dengan syarat bahwa ia tidak shalat melainkan dua shalat saja.
Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menerima hal itu darinya
[Diriwayatkan oleh Ahmad 5/25, dan darinya Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush-Shahaabah
no. 7346; shahih].
Dalam riwayat Abu Nu’aim terdapat tambahan
lafadh :
فَقَالَ: "
إِنْ يُقْبَلْ مِنْهُ، فَإِذَا دَخَلَ فِي الإِسْلامِ أُمِرَ بِالْخَمْسِ "
Nashr berkata : “Jika hal itu diterima
darinya, namun ketika ia masuk Islam, ia tetap diperintahkan untuk mengerjakan
shalat lima waktu”.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menerima
keislaman orang tersebut meskipun ia mengemukakan persyaratan faasid,
yaitu tidak shalat lima waktu. Seandainya meninggalkan shalat merupakan amalan
yang mengkonsekuensikan kekafiran dengan dzat perbuatannya, niscaya beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam tidak menerima Islamnya. Kondisi ini seperti kondisi Bani
Tsaqiif ketika berbaiat kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
yang mensyaratkan untuk tidak bershadaqah dan berjihad.
حَدَّثَنَا
الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَّاحِ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيل يَعْنِي ابْنَ عَبْدِ
الْكَرِيمِ، حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ يَعْنِي ابْنَ عَقِيلِ بْنِ مُنَبِّهٍ، عَنْ
أَبِيهِ، عَنْ وَهْبٍ، قَالَ: سَأَلْتُ جَابِرًا عَنْ شَأْنِ ثَقِيفٍ إِذْ
بَايَعَتْ، قَالَ: اشْتَرَطَتْ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنْ لَا صَدَقَةَ عَلَيْهَا وَلَا جِهَادَ، وَأَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ ذَلِكَ يَقُولُ: " سَيَتَصَدَّقُونَ
وَيُجَاهِدُونَ إِذَا أَسْلَمُوا "
Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan
bin Ash-Shabbaah : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin ‘Abdil-Kariim :
Telah menceritakan kepadaku Ibraahiim bin ‘Aqiil bin Munabbih, dari ayahnya,
dari Wahb, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Jaabir tentang keadaan Bani
Tsaqiif ketika ia berbaiat (kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam).
Ia berkata : “Mereka mensyaratkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
untuk dibebani kewajiban shadaqah dan jihad”. Dan ia (Jaabir) mendengar Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam setelah itu bersabda : “Mereka akan bershadaqah dan
membayar zakat jika masuk Islam” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3025;
shahih].
5. Hadits jenazah budak.
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata
:
وَقَالَ
الْخَلَّالُ، فِي " جَامِعِهِ ": ثنا يَحْيَى، ثنا عَبْدُ الْوَهَّابِ،
ثنا هِشَامُ بْنُ حَسَّانَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ
أَبِي شَمِيلَةَ، {أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ
إلَى قُبَاءَ فَاسْتَقْبَلَهُ رَهْطٌ مِنْ الْأَنْصَارِ يَحْمِلُونَ جِنَازَةً
عَلَى بَابٍ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا هَذَا ؟
قَالُوا: مَمْلُوكٌ لِآلِ فُلَانٍ، كَانَ مِنْ أَمْرِهِ. قَالَ: أَكَانَ يَشْهَدُ
أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ ؟ قَالُوا: نَعَمْ، وَلَكِنَّهُ كَانَ وَكَانَ.
فَقَالَ لَهُمْ: أَمَا كَانَ يُصَلِّي ؟ فَقَالُوا: قَدْ كَانَ يُصَلِّي وَيَدَعُ.
فَقَالَ لَهُمْ: ارْجِعُوا بِهِ، فَغَسِّلُوهُ، وَكَفِّنُوهُ، وَصَلُّوا عَلَيْهِ،
وَادْفِنُوهُ، وَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَقَدْ كَادَتْ الْمَلَائِكَةُ
تَحُولُ بَيْنِي وَبَيْنَهُ}.
Dan telah berkata Al-Khallaal dalam Jaami’-nya
: Telah menceritakan kepada kami Yahyaa : Telah menceritakan kepada kami
‘Abdul-Wahhaab : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin Hassaan, dari
‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan, dari Abu Syamiilah : Bahwasannya Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah keluar menuju Qubaa’, lalu sekelompok orang dari
kalangan Anshaar yang membawa jenazah menghadap beliau yang berada di pintu.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Siapakah ini ?”.
Para shahabat berkata : “Seorang budak milik keluarga Fulaan”. Beliau bersabda
: “Apakah ia pernah bersyahadat bahwa tidak ada tuhan yang berhak diibadahi
selain Allah ?”. Mereka berkata : “Ya, akan tetapi ia dulu begini dan
begitu”. Beliau bertanya kepada mereka : “Apakah ia dulu mengerjakan shalat
?”. Mereka berkata : “Ia dulu mengerjakan shalat dan (kemudian)
meninggalkannya”. Beliau bersabda kepada mereka : “Kembalilah kalian
dengannya. Mandikanlah, kafanilah, shalatkanlah, lalu kuburkanlah ia. Demi
Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh hampir saja malaikat menghalangi
antara aku dengan dia” [Al-Mughniy, 2/158; sanadnya hasan].
Perkataan para shahabat bahwa budak
tersebut dulu pernah shalat lalu meninggalkannya sebagai petunjuk bahwa budak
tersebut meninggal dalam keadaan meninggalkan shalat. Namun demikian Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam tetap memerintahkan para shahabat agar
memperlakukannya sebagai jenazah muslim untuk dimandikan, dikafani, lalu
dishalatkan. Ibnu Qudaamah menggunakan ayat ini sebagai dalil tidak kafirnya
orang yang meninggakan shalat dengan sebab malas atau peremehan.
6. Hadits hisab.
أَخْبَرَنَا
سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ
أَبِي هِنْدٍ، عَنْ زُرَارَةَ بْنِ أَوْفَى، عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ، قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ أَوَّلَ
مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ الصَّلَاةُ، فَإِنْ وَجَدَ صَلَاتَهُ كَامِلَةً،
كُتِبَتْ لَهُ كَامِلَةً، وَإِنْ كَانَ فِيهَا نُقْصَانٌ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى
لِمَلَائِكَتِهِ: انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَأَكْمِلُوا لَهُ مَا
نَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ، ثُمَّ الزَّكَاةُ، ثُمَّ الْأَعْمَالُ عَلَى حَسَبِ
ذَلِكَ ".
Telah mengkhabarkan kepada kami Sulaimaan
bin Harb : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari Daawud bin
Abi Hind, dari Zuraarah bin Aufaa, dari Tamiim Ad-Daariy, ia berkata : Telah
bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya
yang pertama kali dihisab dari seorang hamba (pada hari kiamat) adalah shalat.
Apabila didapatkan shalatnya sempurna, maka akan ditulis sempurna baginya.
Apabila didapatkan padanya kekurangan, maka Allah ta’ala akan berfirman kepada
malaikat-Nya : ‘Lihatlah, apakah hamba tersebut mempunyai amalan shalat sunnah.
(Jika ada), maka sempurnakanlah baginya yang kurang dari shalat fardlunya.
Kemudian akan dihisab tentang zakat, kemudian amal-amal lain yang dihisab
seperti itu juga” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 1395; shahih].
Ketidaksempurnaan shalat wajib seorang
hamba tersebut diantaranya meliputi shalat-shalat wajibnya yang semasa di dunia
ia tinggalkan, sehingga tidak sempurna. Seandainya meninggalkan shalat adalah
kafir, maka tidak ada faedahnya perintah Allah ta’ala kepada malaikat
untuk amalan shalat sunnahnya.
7. Hadits as-sahm.
حَدَّثَنَا
هُدْبَةُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنَا هَمَّامٌ، عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ أَبِي طَلْحَةَ، عَنْ شَيْبَةَ الْخُضَرِيِّ، أَنَّهُ شَهِدَ عُرْوَةَ،
يُحَدِّثُ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ، عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " ثَلاثٌ أَحْلِفُ عَلَيْهِنَّ، لا يَجْعَلُ
اللَّهُ مَنْ لَهُ سَهْمٌ فِي الإِسْلامِ كَمَنْ لا سَهْمَ لَهُ، وَسِهَامُ
الإِسْلامِ ثَلاثَةٌ: الصَّوْمُ، وَالصَّلاةُ، وَالصَّدَقَةُ، لا يَتَوَلَّى
اللَّهُ عَبْدًا فَيُوَلِّيَهُ غَيْرَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلا يُحِبُّ رَجُلٌ
قَوْمًا إِلا جَاءَ مَعَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَالرَّابِعَةُ لَوْ حَلَفْتُ
عَلَيْهَا لَمْ أَخَفْ أَنْ آثَمَ، لا يَسْتُرُ اللَّهُ عَلَى عَبْدِهِ فِي
الدُّنْيَا إِلا سَتَرَ عَلَيْهِ فِي الآخِرَةِ "، فَقَالَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ
الْعَزِيزِ: إِذَا سَمِعْتُمْ مِثْلَ هَذَا مِنْ مِثْلِ عُرْوَةَ، فَاحْفَظُوهُ،
قَالَ إِسْحَاقُ: وَحَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ
ابْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ
Telah menceritakan kepada kami Hudbah bin
Khaalid : Telah menceritakan kepada kami Hammaam, dari Ishaaq bin ‘Abdillah bin
Abi Thalhah, dari Syaibah Al-Hadlramiy : Bahwasannya ia menyaksikan ‘Urwah
menceritakan riwayat kepada ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz, dari ‘Aaisyah, dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Ada tiga hal yang aku bersumpah
atasnya : (1) Allah tidak akan menjadikan orang yang mempunyai bagian (sahm)
dalam Islam seperti orang yang tidak mempunyai bagian. Bagian-bagian dalam Islam
ada tiga, yaitu : puasa, shalat, dan zakat; (2) Allah tidak akan membela
seorang hamba (di dunia), lalu Ia menyerahkan kepada selain-Nya pada hari
kiamat; dan (3) tidaklah seseorang mencintai satu kaum kecuali ia akan datang
bersama mereka pada hari kiamat. Dan yang keempat, seandainya aku bersumpah
atasnya, aku tidak khawatir berdosa : Tidaklah Allah menutupi aib hamba-Nya di
dunia kecuali Allah juga akan menutupi aibnya di akhirat”. Lalu ‘Umar bin
‘Abdil-‘Aziiz berkata : “Apabila kalian mendengar hadits semisal ini, seperti
hadits yang dibawakan ‘Urwah, hapalkanlah”.
Ishaaq berkata : Dan telah menceritakan
kepadaku ‘Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’uud, dari Ibnu Mas’uud, dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam hadits yang semisalnya” [Diriwayatkan oleh Abu Ya’laa no.
4566; shahih. Ada beberapa jalan pendukung riwayat ini].
Bagian pertama sumpah Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa Allah tidak akan menjadikan orang yang
masih mempunyai bagian dalam Islam sama seperti orang yang tidak mempunyai
bagian. Seandainya meninggalkan shalat hukumnya kafir, niscaya kedudukan orang
yang tidak mempunyai salah satu bagian dari Islam berupa shalat, niscaya sama
dengan orang yang tidak mempunyai bagian sama sekali dari Islam.
8.
Dan yang lainnya.
Wallaahu
a'lam.
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa' – senayan, Jakarta – 20012014 – 07:42].
[1] Shahih : Diriwayatkan oleh Muslim
(no. 82), namun dengan lafadh :
إِنَّ
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِرْكِ وَالكُفرِ تَرْكَ الصَّلاة
“Sesungguhnya
batas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan
shalat”.
[3] Saat
ia diseru bertaubat dan diancam dibunuh.
[5] Bahkan saat menjelaskan hadits:
سِبَابُ
الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencaci
seorang muslim adalah kefasikan sedangkan memeranginya adalah kekufuran”
beliau
(Ibnul-Qayyim) rahimahullah berkata:
ففرق بين قتاله
وسبابه وجعل أحدهما فسوقا لا يكفر به والآخر كفر, ومعلوم أنه إنما أراد الكفر
العلمي لا الاعتقادي, وهذا الكفر لا يخرجه من الدائرة الإسلامية والملة بالكلية
“Dan
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membedakan antara memerangi muslim
dan mencacinya. Beliau menjadikan salah satu diantara sebagai perbuatan
kefasikan, dan yang lain sebagai kekufuran. Dan yang ma’lum bahwasannya yang
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam maksudkan hanyalah kufur ‘amaliy,
bukan kufur i’tiqadiy, dan kekufuran ini tidak mengeluarkannya dari
agama Islam secara keseluruhan” [Ash-Shalaah, hal. 58].
Tentu
saja yang dimaksudkan beliau rahimahullah di sini adalah kufur amaliy
yang tidak bertolak-belakang dengan keimanan sehingga tidak dikafirkan.
[6] Yaitu : sujud kepada berhala, merendahkan
mushhaf, mencaci rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan
mengolok-olok agama.
[7] Yaitu salah satu pecahan kelompok
Khawaarij.
Comments
Posting Komentar