Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (11) – As-Sunnah dan Akal


٩ - ليس في السنة قِيَاسٌ
9.     Tidak ada qiyaas dalam As-Sunnah.
Penjelasan:
Para ulama berbeda perkataan dalam menjelaskan maksud ucapan Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahumallah di sini.
1.     Dikatakan maksudnya adalah tidak boleh menyertakan sesuatu terhadap sunnah yang bukan termasuk darinya yang kemudian menjadikannya sebagai sunnah dan kita katakan sesuatu tersebut dinashkan dalam sunnah.
2.     Dikatakan juga, maksud qiyas di sini adalah qiyaas faasid (qiyas yang rusak), yaitu qiyas yang bertentangan dengan nash dan ijmaa’. Ini adalah qiyas yang terlarang. Apabila didapatkan satu nash dalam satu permasalahan, maka tidak boleh menentangnya dengan qiyas, karena pertentangan nash dengan qiyas menyebabkan qiyas tersebut rusak.
Misalnya qiyas riba yang dilakukan oleh orang-orang musyrik terhadap jual-beli. Allah ta’ala berfirman:
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” [QS. Al-Baqarah : 275].
Ini adalah qiyas yang rusak karena dilakukan untuk menentang firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman” [QS. Al-Baqarah : 278].
Contoh lain adalah qiyas yang dilakukan Ibliis ketika ia mengatakan:
أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ
Aku lebih baik daripadanya, Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah” [QS. Al-A’raaf : 12].
Ini adalah qiyas yang rusak karena dilakukan untuk menentang firman Allah ta’ala:
اسْجُدُوا لآدَمَ
Sujudlah kalian kepada Adam” [QS. Al-Baqarah : 34].
Contoh lain adalah seseorang meninggalkan shalat ketika safar karena mengqiyaskan kebolehan tidak berpuasa (berbuka) bagi seorang musafir.
Apabila telah ada nash, maka tidak boleh menentangnya/membantahnya dengan qiyas, tidak dengan akal, tidak dengan pendapat, dan tidak dengan apapun. Kewajiban kita hanyalah tasliim (menerima). Allah ta’ala berfirman:
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” [QS. An-Nisaa’ : 65].
3.     Dikatakan juga maksudnya tidak ada qiyas dalam perkara ‘aqidah dan ibadah mahdlah (murni), karena keduanya bersifat tauqifiyyah, (ditetapkan berdasarkan nash).
‘Aqidah dan ibadah mahdlah ditetapkan tidak berdasarkan ‘illat, karena Allah ta’ala berfirman:
لا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, namun merekalah yang (kelak) akan ditanyai” [QS. Al-Anbiyaa’ : 23].
Padahal qiyas sendiri ditetapkan berdasarkan ‘illat, dan ‘illat tersebut termasuk diantara rukun-rukunnya. Adapun qiyas antara perkara cabang dengan perkara pokok dalam suatu hukum karena ada kesamaan ‘illat – sebagaimana masyhur dalam bahasan fiqh/ushul fiqh - , maka ini diperbolehkan.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
كان أحمد و غيره من فقهاء أهل الحديث يقولون إن الأصل فى العبادات التوقيف فلا يشرع منها إلا ما شرعه الله تعالى و إلا دخلنا في معنى قوله أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Ahmad dan yang lainnya dari kalangan fuqahaa’ ahli hadits berkata : Sesungguhnya pokok dalam ibadah-ibadah adalah tauqiif, sehingga tidak disyari’atkan darinya kecuali apa-apa yang disyari’atkan oleh Allah ta’ala. Jika tidak demikian, kita akan masuk dalam makna firman-Nya ta’ala : ‘Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?’ (QS. Asy-Syuuraa : 21)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 29/17].
Contoh qiyas yang diperbolehkan adalah qiyas antara haramnya narkoba dengan (haramnya) khamr karena mempunyai ‘illat yang sama, yaitu memabukkan. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr hukumnya haram” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2003].
Yang menjadi cabang dalam hal ini adalah narkoba, sedangkan yang pokok adalah khamr.
Contoh qiyas yang tidak dipebolehkan adalah qiyas antara batalnya wudlu karena makan daging burung onta (an-na’aamah) dengan batalnya wudlu karena makan daging onta. Hukum pada perkara pokoknya (yaitu batalnya wudlu karena makan daging onta) tidak memiliki ‘illat yang diketahui, akan tetapi ini adalah perkara murni ta’abbduiy (ibadah mahdlah) berdasarkan pendapat yang masyhur.
Begitu juga dalam perkara aqidah, maka tidak ada qiyas, yaitu qiyas syumul dan qiyas tamtsil. Adapun aulawiyyah, maka diperbolehkan.
a.      Qiyas asy-syumuul : mengqiyaskan satu bagian kepada sesuatu yang umum yang mencakup seluruh bagian-bagiannya, sehingga setiap bagian tersebut masuk dalam yang umum baik lafadh maupun maknanya.
Qiyas ini seperti silogisme berikut:
PMy  :   Semua mamalia berkaki empat.
PMn  :   Sapi adalah mamalia.
K    :   Sapi berkaki empat.
Qiyas ini boleh dan benar.
PMy  :   Semua yang memiliki tangan adalah makhluk.
PMn  :   Allah memiliki tangan.
K    :   Allah adalah makhluk.
Qiyas ini tidak boleh dan tidak benar. Akibat penggunakan logika qiyas ini, ahlul-bida’ telah terjerumus dalam kesesatan dalam menolak nash dan kemudian mentahrifnya (menyelewengkannya) kepada makna-makna yang menyimpang. Mereka katakan bahwa dikarenakan semua yang memiliki tangan adalah makhluk, maka setiap orang yang mengatakan Allah memiliki tangan mengkonsekuensikan anggapan bahwa Allah adalah makhluk. Ini tidak benar, kata mereka. Oleh karena itu, ‘tangan’ di situ mesti ditakwilkan kepada makna lain seperti kekuasaan, kehendak, dan yang lainnya untuk menghindari penyerupaan terhadap makhluk-Nya. Akibat dari logika qiyas ini, mereka menuduh Ahlus-Sunnah yang menetapkan sifat tangan bagi Allah ta’ala sebagaimana dhahirnya sebagai musyabbihah dan mujassimah.
Logika qiyas yang mereka lakukan untuk menolak nash itu tidak benar karena Allah ta’ala telah menetapkan bagi diri-Nya mempunyai tangan, namun tangan-Nya berbeda dengan tangan makhluk-Nya; sebagaimana Allah ta’ala menetapkan bagi diri-Nya sifat mendengar dan melihat, namun kedua sifat ini berbeda dengan sifat makhluk-Nya. Allah ta’ala berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [QS. Asy-Syuuraa : 11].
b.      Qiyaas at-tamtsiil : menyamakan sesuatu dengan yang semisalnya, dengan menjadikan apa yang tetap bagi Allah seperti apa yang tetap bagi makhluk-Nya.
Allah mempunyai tangan, makhluk juga mempunyai tangan. Jadi, tangan Allah sama seperti tangan makhluk. Qiyas ini jelas tidak benar dengan dalil QS. Asy-Syuuraa ayat 11 di atas.
c.      Qiyas al-aulawiyyah : qiyas dimana perkara cabangnya lebih kuat dan lebih berhak terhadap hukumnya daripada pokoknya. Qiyas seperti ini diperbolehkan untuk Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman:
وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الأعْلَى
Dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi” [QS. An-Nahl : 60].
Maknanya, semua sifat sempurna (dari makhluk-Nya – jika ada), maka Allah ta’ala memiliki sifat-sfat tersebut yang paling tinggi dan paling sempurna [Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah oleh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin, 1/130].
Contoh umumnya adalah mengqiyaskan larangan memukul dengan larangan perkataan ‘ah’ dan bentakan terhadap orang tua dalam firman Allah ta’ala:
فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا كَرِيمًا
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia” [QS. Al-Israa’ : 23].
Maksudnya, jika perkataan ‘ah’ dan hardikan saja dilarang (ini perkara pokoknya), maka memukul (perkara cabang) tentu lebih kuat larangan dan pengharamannya.
Adapun contoh penggunaan qiyas ini untuk hak Allah adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلَاةٍ
“Allah jauh lebih gembira dengan taubat hamba-Nya ketika ia bertaubat kepada-Nya, daripada salah seorang di antara kalian yang berada di atas hewan tunggangannya di tanah yang tandus....” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2747].
Hadits ini menetapkan sifat gembira.
Juga sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
أَتُرَوْنَ هَذِهِ طَارِحَةً وَلَدَهَا فِي النَّارِ قُلْنَا: لَا، وَهِيَ تَقْدِرُ عَلَى أَنْ لَا تَطْرَحَهُ فَقَالَ: لَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا
Apakah menurut kalian ibu ini tega melemparkan anaknya ke dalam api ?”. Kami (para shahabat) menjawab : “Tidak. Ia tidak akan tega melemparkannya”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Allah lebih sayang terhadap hamba-Nya daripada (kasih sayang) ibu ini terhadap anaknya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5999].
Hadits ini menetapkan sifat rahiim (penyayang).
Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata:
١٠ - وَلَا تُضْرَبُ لَهَا الْأَمْثَالُ، وَلَا تُدْرَكُ بِالْعُقُولِ وَلَا الْأَهْوَاءِ، وَإِنَّمَا هُوَ الْاتِّبَاعُ وَتَرْكُ الْهَوَى
10.   As-Sunnah tidak boleh dibuat permisalan-permisalan dan tidak boleh dipahami dengan akal semata dan hawa nafsu. Kewajiban yang ada hanyalah ittibaa’ dan meninggalkan hawa nafsu.
Penjelasan:
As-Sunnah tidak boleh dibuat permisalan-permisalan, sehingga dikatakan ini seperti ini sehingga hukumnya demikian dan demikian. Ini dilakukan dalam rangka membantah As-Sunnah.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " تَوَضَّئُوا مِمَّا غَيَّرَتِ النَّارُ "، فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ أَتَوَضَّأُ مِنَ الْحَمِيمِ؟ فَقَالَ لَهُ: يَا ابْنَ أَخِي إِذَا سَمِعْتَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدِيثًا فَلَا تَضْرِبْ لَهُ الْأَمْثَالَ
Dari Abu Hurairah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernha bersabda : “Berwudlulah karena makan sesuatu yang dimasak oleh api”. Ibnu ‘Abbaas berkata : “Apakah mesti juga berwudlu karena minum air panas ?”. Maka Abu Hurairah berkata : “Wahai anak saudaraku, apabila engkau mendengar hadits dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka jangan engkau buat permisalan-permisalan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 485; hasan].
Ibnu Maajah membawakan riwayat di atas secara lebih singkat dalam Bab : ‘Pengagungan terhadap Hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Teguran terhadap Orang yang Menentangnya’ :
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ، قَالَ لِرَجُلٍ: " يَا ابْنَ أَخِي، إِذَا حَدَّثْتُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدِيثًا، فَلَا تَضْرِبْ لَهُ الْأَمْثَالَ "
Dari Abu Salamah : Bahwasannya Abu Hurairah pernah berkata pada seseorang (yaitu Ibnu ‘Abbaas) : “Wahai anak saudaraku, apabila aku menceritakan hadits kepadamu dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, jangan engkau buat untuknya permisal-permisalan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 22; hasan].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ: " اقْتَتَلَتِ امْرَأَتَانِ مِنْ هُذَيْلٍ فَرَمَتْ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى بِحَجَرٍ، فَقَتَلَتْهَا وَمَا فِي بَطْنِهَا، فَاخْتَصَمُوا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَّ دِيَةَ جَنِينِهَا غُرَّةٌ عَبْدٌ أَوْ وَلِيدَةٌ، وَقَضَى بِدِيَةِ الْمَرْأَةِ عَلَى عَاقِلَتِهَا وَوَرَّثَهَا وَلَدَهَا وَمَنْ مَعَهُمْ، فَقَالَ حَمَلُ بْنُ النَّابِغَةِ الْهُذَلِيُّ: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ أَغْرَمُ مَنْ لَا شَرِبَ وَلَا أَكَلَ وَلَا نَطَقَ وَلَا اسْتَهَلَّ فَمِثْلُ ذَلِكَ يُطَلُّ؟، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا هَذَا مِنْ إِخْوَانِ الْكُهَّانِ مِنْ أَجْلِ سَجْعِهِ الَّذِي سَجَعَ
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Ada dua orang wanita yang saling bunuh dari suku Hudzail. Salah seorang diantara keduanya melempari batu kepada yang lain sehingga membunuhnya dan janin yang ada di perutnya. Maka mereka memperkarakannya ke hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memutuskan diyat bagi janinnya denda berupa budak laki-laki atau budak perempuan. Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun memutuskan diyat yang wanita terbunuh itu dibebankan kepada keluarga wanita pembunuh dan mewariskannya kepada anaknya dan keluarga yang bersama mereka. Hamal bin An-Naabighah Al-Hudzaliy berkata : “Wahai Rasulullah, bagaimana bisa aku menanggung denda orang yang tidak bisa minum, tidak bisa makan, tidak bisa berbicara, dan tidak bisa menangis ?. Maka yang semisal itu dibatalkan saja”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Orang ini hanyalah saudaranya para dukun” – dengan sebab sajaknya yang ia katakan [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6910 dan Muslim no. 1681].
Banyak sekali contoh yang lain dari salaf yang mereka membenci  dan bersikap keras terhadap orang-orang yang menolak/meremehkan As-Sunnah.
عَنْ عِمْرَان بْن حُصَيْنٍ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ " فَقَالَ بُشَيْرُ بْنُ كَعْبٍ: مَكْتُوبٌ فِي الْحِكْمَةِ إِنَّ مِنَ الْحَيَاءِ وَقَارًا وَإِنَّ مِنَ الْحَيَاءِ سَكِينَةً، فَقَالَ لَهُ عِمْرَانُ: أُحَدِّثُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتُحَدِّثُنِي عَنْ صَحِيفَتِكَ
Dari ‘Imraan bin Hushain, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Malu tidak datang kecuali dengan kebaikan”. Maka Busyair bin Ka’b berkata : “Terulis di dalam buku hikmah bahwa mau itu ada yang merupakan kelemahan, atau pula merupakan ketenangan”. ‘Imraan berkata kepadanya : “Aku menceritakan kepadamu hadits dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan engkau menceritakan kepadamu dari lembaran-lembaranmu ?” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6117 dan Muslim no. 37].
Ibnu Hajar menukil pendapat ulama bahwa kemarahan ‘Imraan bin Hushain karena perkataan Busyair diucapkan untuk menentang/menyelisihi perkataan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam [lihat : Fathul-Baariy, 10/552].
عَنْ أَبِي الْمُخَارِقِ، قَالَ: ذَكَرَ عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " نَهَى عَنْ دِرْهَمَيْنِ بِدِرْهَمٍ "، فَقَالَ فُلَانٌ: مَا أَرَى بِهَذَا بَأْسًا، يَدًا بِيَدٍ، فَقَالَ عُبَادَةُ: أَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُ: لَا أَرَى بِهِ بَأْسًا، وَاللَّهِ لَا يُظِلُّنِي وَإِيَّاكَ سَقْفٌ أَبَدًا
Dari Abul-Mukhaariq, ia berkata : ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit radliyallaahu ‘anhu pernah menyebutkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang dua dirham ditukar dengan satu dirham”. Lalu Fulaan berkata : “Aku berpendapat itu tidak mengapa, asalkan cash tangan dengan tangan”. Maka ‘Ubaadah berkata : “Aku berkata ‘telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam’ dan engkau malah berkata : ‘aku berpandapat itu tidak mengapa’. Demi Allah, aku dan engkau tidak akan pernah berada satu atap selama-lamanya (karenanya)” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 443; shahih].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ أَنَّهُ رَأَى رَجُلًا يَخْذِفُ، فَقَالَ لَهُ: لَا تَخْذِفْ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْخَذْفِ، أَوْ كَانَ يَكْرَهُ الْخَذْفَ، وَقَالَ: إِنَّهُ لَا يُصَادُ بِهِ صَيْدٌ، وَلَا يُنْكَى بِهِ عَدُوٌّ، وَلَكِنَّهَا قَدْ تَكْسِرُ السِّنَّ وَتَفْقَأُ الْعَيْنَن "، ثُمَّ رَآهُ بَعْدَ ذَلِكَ يَخْذِفُ، فَقَالَ لَهُ: أُحَدِّثُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنِ الْخَذْفِ أَوْ كَرِهَ الْخَذْفَ، وَأَنْتَ تَخْذِفُ، لَا أُكَلِّمُكَ كَذَا وَكَذَا
Dari ‘Abdullah bin Mughaffal, bahwasannya ia pernah melihat seseorang yang bermain melempar-lempar kerikil (khadzaf). Ia berkata : “Janganlah melempar-lempar kerikil. Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang melempar-lempar kerikil – atau beliau membenci melempar-lempar kerikil. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Sesungguhnya melempar kerikil itu tidak dapat membunuh binatang buruan dan tidak dapat melumpuhkan musuh. Akan tetapi hanya mematahkan tulang dan menciderai mata’. Kemudian setelah itu, ia (Abdullah bin Mughaffal) kembali melihat orang itu bermain melempar-lempar kerikil. Lalu ia berkata kepadanya : “Bukankah aku telah menyampaikan kepadamu hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melarang melempar-lempar kerikil – atau beliau membenci melempar-lempar kerikil, sedangkan engkau masih melakukannya? Sungguh aku tidak akan mengajakmu bicara demikian dan demikian” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5479 dan Muslim no. 1954].
عَنْ قَتَادَةَ، قَالَ: حَدَّثَ ابْنُ سِيرِينَ رَجُلًا بِحَدِيثٍ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَجُلٌ: قَالَ فُلَانٌ: كَذَا وَكَذَا، فَقَالَ ابْنُ سِيرِينَ: " أُحَدِّثُكَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُ: قَالَ فُلَانٌ وَفُلَانٌ: كَذَا وَكذَا، لَا أُكَلِّمُكَ أَبَدًا "
Dari Qataadah, ia berkata : Ibnu Siiriin pernah menceritakan kepada seseorang satu hadits dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Orang tersebut berkata : “Telah berkata Fulaan begini dan begitu”. Maka Ibnu Siiriin berkata : “Aku menceritakan kepadamu satu hadits dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan engkau berkata : ‘telah berkata Fulaan begini dan begitu ?. Aku tidak akan berbicara kepadamu selamanya” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 443; shahih].
أخبرنا أبو بكر محمد بن عبد الله بن محمد بن زكريا الشيباني، أخبرنا أبو العباس محمد بن عبد الرحمن الدغولي، سمعت محمد بن حاتم المظفري يقول: كان أبو معاوية الضرير يحدث هارون الرشيد فحدثه بحديث أبي هريرة "احتج آدم وموسى"، فقال عيسى بن جعفر: كيف هذا وبين آدم وموسى ما بينهما؟ قال فوثب به هارون وقال: يحدثك عن الرسول صلى الله عليه وسلم وتعارضه بكيف؟ قال: فما زال يقول حتى سكت عنه
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr Muhammad bin ‘Abdillah bin Muhammad  bin Zakariyyaa Asy-Syaibaaniy : Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin ‘Abdirrahmaan Ad-Daghuuliy : Aku mendengar Muhammad bin Haatim Al-Mudhaffariy berkata : “Dulu Abu Mu’aawiyyah Adl-Dlariir pernah menceritakan kepada Haaruun Ar-Rasyiid. Maka ia menceritakan hadits Abu Hurairah : ‘Aadam berdebat dengan Muusaa’. Lalu ‘Iisaa bin Ja’far berkata : “Bagaimana itu terjadi sedangkan antara Aadam dan Muusaa terpaut masa yang cukup jauh”. Mendengar itu, Haarun meloncat berdiri seraya berkata : “Diceritakan kepadamu hadits dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan engkau membantahkan dengan perkataan ‘bagaimana’ ?”. Perawi berkata : “Haaruun senantiasa mengulangnya gingga ia terdiam darinya” [Diriwayatkan oleh ‘Ash-Shaabuhiy dalam ‘Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabil-Hadiits, hal. 126-127 no. 184; shahih].
Setelah menyebutkan kisah Haaruun Ar-Rasyiid di atas Abu ‘Utsmaan Ash-Shaabuniy rahimahullah berkata:
هكذا ينبغي للمرء أن يعظم أخبار رسول الله صلى الله عليه وسلم، ويقابلها بالقبول والتسليم والتصديق. وينكر أشد الإنكار على من يسلك فيها غير هذا الطريق الذي سلكه هارون الرشيد رحمه الله مع من اعترض على الخبر الصحيح، الذي سمعه بكيف؟ على طريق الإنكار له، والابتعاد عنه، ولم يتلقه بالقبول كما يجب أن يتلقى جميع ما يرد من الرسول صلى الله عليه وسلم.
“Begitulah yang seharusnya dilakukan oleh seseorang untuk mengagungkan hadits-hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, menerimanya dengan penuh penerimaan, kepasrahan, dan pembenaran. Dan hendaknya ia mengingkari dengan sebesar-besar pengingkaran terhadap orang yang tidak menempuh jalan ini yang ditempuh oleh Haaruun Ar-Rasyiid rahimahullah terhadap orang yang menentang hadits shahih yang ia dengar dengan perkataan ‘bagaimana (kaifa) ?’ dalam rangka pengingkaran dan menjauhkan diri darinya; bukan menerimanya sebagaimana keharusan bagi dirinya untuk menerima semua yang dikhabarkan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [idem, hal. 127].
As-Sunnah tidak boleh dipahami dengan akal semata dan hawa nafsu.
‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu berkata:
لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ، لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ، وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ "
“Seandainya agama ini diukur dengan akal pikiran semata, niscaya bagian bawa khuff (sepatu) lebih berhak untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun aku telah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas kedua khuff-nya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 162; shahih].
Bagian bawah khuff yang menginjak tanah pada umumnya lebih kotor daripada bagian atasnya, sehingga secara akal yang perlu dibersihkan adalah bagian bawahnya. Namun ketika ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khuff ketika bersuci, maka ia buang jauh-jauh logika akal tersebut dan hanya mengikuti apa yang ia lihat dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Lebih jelas lagi adalah riwayat ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu berikut:
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ جَاءَ إِلَى الْحَجَرِ الْأَسْوَدِ فَقَبَّلَهُ فَقَالَ إِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْ لَا أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ
Dari ‘Umar radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya ia pernah mendatangi hajar aswad lalu menciumnya dan berkata : “Sesungguhnya aku tahu bahwasannya engkau hanyalah sebuah batu yang tidak memberikan kemudlaratan dan tidak pula manfaat. Seandainya aku tidak melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menciummu, aku tidak sudi menciummu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1597].
Akal sebenarnya mengatakan bahwa batu yang notabene tidak dapat memberikan manfaat maupun mudlarat tidak layak untuk dicium atau diusap-usap. Akan tetapi dikarenakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan dalam rangkaian ibadah manasik haji (thawaf) untuk mencium hajar aswad, maka ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu pun menciumnya semata-mata karena ber-ittibaa’ kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
عَنْ سَهْل بْن حُنَيْفٍ، قَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، اتَّهِمُوا رَأْيَكُمْ عَلَى دِينِكُمْ لَقَدْ رَأَيْتُنِي يَوْمَ أَبِي جَنْدَلٍ وَلَوْ أَسْتَطِيعُ أَنْ أَرُدَّ أَمْرَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ لَرَدَدْتُهُ
Dari Sahl bin Hunaif, ia berkata : “Wahai sekalian manusia, curigailah pendapat kalian terhadap agama kalian. Sungguh aku telah menyaksikan diriku pada peristiwa Abu Jandal, seandainya aku sanggup untuk menolak perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, niscaya aku akan menolaknya....” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3181 & 7308].
Maksud perkataan ‘curigailah pendapat kalian terhadap agama kalian’ adalah : Janganlah kalian beramal dalam perkara agama berdasarkan akal pikiran saja tanpa bersandar pada pokok dari agama [Fathul-Baariy, 13/288-289].
Oleh karena itu, orang rasionalis yang menyandarkan agamanya dengan akal pikirannya semata, tidak akan pernah bersatu dengan Ahlus-Sunnah. Bahkan mereka adalah musuh yang keras terhadap sunnah dan orang-orang yang berpegang kepadanya.
‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu berkata:
أَصْبَحَ أَهْلُ الرَّأْيِ أَعْدَاءَ السُّنَنِ، أَعْيَتْهُمُ الأَحَادِيثُ أَنْ يَعُوهَا، وَتَفَلَّتَتْ مِنْهُمْ أَنْ يَرْوُوهَا فَاسْتَبَقُوهَا بِالرَّأْيِ
Ahlur-ra’yi (= orang-orang yang mengedepankan akal/rasionalis) telah menjadi musuh-musuh sunnah. Hadits-hadits telah menyebabkan mereka tidak mampu untuk menghapalkannya/memahaminya, sehingga mereka pun tidak dapat meriwayatkannya. Lalu mereka bergegas untuk mengambil pendapat dengan akal pikiran mereka” [Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dalam Al-Jaami’ no. 2001 & 2003 & 2004, Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 213, Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 201, dan yang lainnya; shahih].
Seperti yang terjadi di negeri kita ini dimana orang-orang Rasionalis sering mengejek orang-orang yang berpegang terhadap sunnah sebagai orang yang beragama dengan agamanya orang Arab.
Tidak boleh menentang sunnah dengan akal, karena sunnah adalah wahyu yang terjaga dari kekeliruan, sedangkan akal diciptakan dengan penuh keterbatasan. Bukankah manusia ketika dilahirkan memiliki kadar akal minimal, kemudian akalnya berkembang dan mencapai batas maksimal ketika dewasa, dan kemudian akhirnya melemah hingga dapat kembali pada keadaan awal seperti ketika ia lahir dari perut ibunya?. Akal pun berbeda-beda kadarnya antara satu orang dengan orang yang lain. Apa yang ditetapkan sunnah sebagai kebenaran dan kebaikan, maka ia pasti benar dan baik. Berbeda halnya dengan akal. Permasalahan keterbatasan akal di sini lebih mudah digambarkan pada 5 orang buta yang disuruh mendeskripsikan seekor gajah yang ada di hadapan mereka. Tentu masing-masing akan berbeda-beda dalam pendeskripsiannya, karena masing-masing mendeskripsikan sebatas bagian tubuh gajah yang dapat dipegang dan kemampuan otaknya untuk membayangkan apa sebenarnya yang mereka pegang. Seperti itulah gambaran akal manusia yang seringkali tidak berhasil dalam melihat hakekat sesuatu secara keseluruhan. Hanya Allah ta’ala yang Maha Mengetahui hakekat apa yang Ia ciptakan secara keseluruhan, mana yang benar mana yang salah, mana yang bermanfaat dan mana yang tidak bermanfaat, dan seterusnya.
Berbicara masalah agama yang hanya mengandalkan akal semata, dapat menyebabkan seseorang berbicara tentang Allah ta’ala tanpa ilmu sehingga ia terjatuh dalam dosa besar yang paling besar. Allah ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui" [QS. Al-A’raaf : 33].
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:
فرتب المحرمات أربع مراتب وبدأ بأسهلها وهو الفواحش ثم ثنى بما هو أشد تحريما منه وهو الإثم والظلم ثم ثلث بما هو أعظم تحريما منهما وهو الشرك به سبحانه ثم ربع بما هو أشد تحريما من ذلك كله وهو القول عليه بلا علم
“Allah ta’ala telah mengklasifikasikan perkara-perkara haram menjadi empat tingkatan. Allah memulainya dengan yang paling ringan, yaitu perbuatan-perbuatan keji (fawaahisy), kemudian Allah ta’ala menyebutkan yang lebih berat darinya, yaitu perbuatan dosa dan aniaya (kedhaliman). Kemudian Allah ta’ala menyebutkan yang ketiga yang lebih haram darinya, yaitu berbuat syirik kepada Allah subhaanahu wa ta’ala. Kemudian menyebutkan yang keempat yang lebih haram dari semuanya, yaitu berkata-kata tentang Allah tanpa ilmu” [I’laamul-Muwaqqi’iin, 1/38].
Contoh kongkritnya adalah atheis. Keyakinan atheis (peniadaan tuhan) lebih berat daripada kesyirikan, karena atheis ini adalah peniadaan secara total sedangkan kesyirikan adalah peniadaan sebagian (peniadaan pengesaan Allah dalam ‘ubuudiyyah). Dan tidaklah paham atheis ini muncul kecuali karena adanya pengagungan terhadap akal. Mereka hanya percaya pada sesuatu yang dapat diindera. Dikarenakan Allah ta’ala tidak dapat diindera, maka mereka menyimpulkan Allah itu tidak ada. Subhaanallaah.
لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ الثَّرَى
Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah” [QS. Thaha : 6].
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأولِي الألْبَابِ * الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” [QS. Aali ‘Imraan : 190-191].
Kewajiban yang ada hanyalah ittibaa’.
Allah ta’ala berfirman:
اتَّبِعْ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ لا إِلَهَ إِلا هُوَ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ
Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu; tidak ada Tuhan selain Dia; dan berpalinglah dari orang-orang musyrik” [QS. Al-An’aam : 106].
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya” [QS. Al-An’aam : 153].
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. Aali ‘Imraan : 31].
Dan meninggalkan hawa nafsu.
Allah ta’ala berfirman:
وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ
Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu” [QS. Al-Baqarah : 120].
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ
Andai kata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya” [QS. Al-Mukminuun : 71].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ketika mengomentari perkataan Al-Imaam Ahmad ‘tidak ada qiyaas dalam sunnah, tidak boleh dibuat permisal-permisalan, dan tidak boleh dipahami dengan akal semata’ berkata:
هذا قوله وقول سائر أئمة المسلمين فإنهم متفقون على أن ما جاء به الرسول صلى الله عليه و سلم لا تدركه كل الناس بعقولهم ولو أدركوه بعقولهم لاستغنوا عن الرسول
“Ini adalam perkataan beliau dan juga perkataan seluruh imam kaum muslimin, karena mereka bersepakat bahwa segala sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak boleh dipahami oleh seluruh manusia dengan akal mereka semata. Seandainya mereka dapat memahami dengan akal-akal mereka, niscaya mereka tidak butuh kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam...” [Dar’ut-Ta’aarudl Al-‘Aql wan-Naql, 5/297].
Wallaahu a’lam.
Bersambung, insya Allah……
[Perum Ciomas Indah Bukit Asri, Sabtu, 23-05-2015 – Abul-Jauzaa’ - Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad, syarh dan tahqiiq oleh Al-Waliid bin Muhammad Nabiih, hal. 40-42; syarh oleh Rabii’ Al-Madkhaliy, hal. 10-12; syarh oleh Zainul-‘Aabidiin bin Al-Husain, hal. 35-40; syarh oleh Ahmad bin Yahyaa An-Najmiy, hal. 54-56; syarh oleh ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah Ar-Raajihiy, hal. 26-27; syarh oleh Khaalid bin Mahmuud Al-Juhaniy hal. 34-36; dan syarh oleh Ibnul-Jibriin, hal. 46-52; dan yang lainnya].


Silakan baca pembahasan sebelumnya:
Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (10) – Para Pengingkar As-Sunnah

Comments

'Abdullah mengatakan...

Ustaz Abul Jauzaa, daftar artikel blog anda sepertinya tidak di-update. Artikel-artikel yang baru tidak terpapar.