Bincang Bersama Bapak Syamsuddiin Ramadlaan - Revised



Ada hal yang menarik saat saya membaca komentar bapak Syamsuddiin Ramadlan, seorang da’i Hizbut-Tahriir, ketika ia berusaha keras melemahkan hadits ‘Iyyadl bin Ghanm tentang tata cara menasihati penguasa secara empat mata. Namun sayangnya, kritik haditsnya sangat tidak berterima dan terkesan membabi buta tanpa memperhatikan bagaimana thariqah ahli hadits dalam meneliti jalur-jalur riwayat tersebut. Saya hanya akan menambahkan sedikit dari apa yang telah saya tulis di http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/05/takhrij-ringkas-hadits-iyaadl-bin-ghanm.html.

Untuk memudahkan, saya tulis ulang hadits yang akan dibahas sebagai berikut :
حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ حَدَّثَنَا صَفْوَانُ حَدَّثَنِي شُرَيْحُ بْنُ عُبَيْدٍ الْحَضْرَمِيُّ وَغَيْرُهُ قَالَ جَلَدَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ صَاحِبَ دَارِيَا حِينَ فُتِحَتْ فَأَغْلَظَ لَهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ الْقَوْلَ حَتَّى غَضِبَ عِيَاضٌ ثُمَّ مَكَثَ لَيَالِيَ فَأَتَاهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ فَاعْتَذَرَ إِلَيْهِ ثُمَّ قَالَ هِشَامٌ لِعِيَاضٍ أَلَمْ تَسْمَعْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا أَشَدَّهُمْ عَذَابًا فِي الدُّنْيَا لِلنَّاسِ فَقَالَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ يَا هِشَامُ بْنَ حَكِيمٍ قَدْ سَمِعْنَا مَا سَمِعْتَ وَرَأَيْنَا مَا رَأَيْتَ أَوَلَمْ تَسْمَعْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ وَإِنَّكَ يَا هِشَامُ لَأَنْتَ الْجَرِيءُ إِذْ تَجْتَرِئُ عَلَى سُلْطَانِ اللَّهِ فَهَلَّا خَشِيتَ أَنْ يَقْتُلَكَ السُّلْطَانُ فَتَكُونَ قَتِيلَ سُلْطَانِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
Telah menceritakan kepada kami Abul-Mughiirah : Telah menceritakan kepada kami Shafwaan : Telah menceritakan kepadaku Syuraih bin ‘Ubaid Al-Hadlramiy dan yang lainnya, ia berkata : 'Iyaadl bin Ghanm pernah mencambuk orang Dariya ketika ditaklukkan. Hisyaam bin Hakiim meninggikan suaranya kepadanya untuk menegur sehingga 'Iyaadl marah. Kemudian 'Iyaadl radliyallaahu ‘anhu tinggal beberapa malam, lalu Hisyaam bin Hakiim mendatanginya untuk memberikan alasan (apa yang telah ia perbuat sebelumnya kepada ‘Iyadl). Hisyaam berkata kepada 'Iyaadl : “Tidakkah engkau mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ’Orang yang paling keras siksaannya adalah orang-orang yang paling keras menyiksa manusia di dunia?’. 'Iyaadl bin Ghanm berkata : “Wahai Hisyaam bin Hakiim, kami pernah mendengar apa yang kau dengar dan kami juga melihat apa yang kau lihat. Namun tidakkah engkau mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : ‘Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa dalam suatu perkara, maka jangan dilakukan dengan terang-terangan. Akan tetapi gandenglah tangannya dan menyepilah berdua. Jika diterima, memang itulah yang diharapkan; namun jika tidak, maka orang tersebut telah melaksakan kewajibannya’. Engkau wahai Hisyaam, kamu sungguh orang yang lancang karena engkau berani melawan penguasa Allah. Tidakkah engkau takut jika penguasa itu membunuhmu lalu jadilah engkau orang yang dibunuh penguasa Allah tabaaraka wa ta'ala?” [Musnad Al-Imaam Ahmad, 3/403-404].
Riwayat Jubair bin Nufair dari ‘Iyaadl bin Ghanm atau Hisyaam bin Hakiim Terputus ?
Bapak Syamsuddin Ramadlaan berkata :
Kedua, adapun tentang Jubair bin Nufair yang antum nobatkan sebagai "wasithah antara Syuraih bin 'Ubaid dengan Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim, sehingga tampak seolah-olah telah menyambungkan "keterputusan antara Syuraih bin 'Ubaid dengan Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim, maka perlu antum ketahui bahwa ternyata Jubair bin Nufair pun menuturkan hadits tersebut dengan ta'liq (menggugurkan perawi atasnya). Jubair bin Nufair adalah seorang tabi'un yang terkemuka. Imam Adz Dzahabiy dalam Tadzkiratu al-Huffaadz berkata, ".Beliau (Jubair bin Nufair) adalah seorang ulama terkemuka, haditsnya ada dalam kitab-kitab hadits seluruhnya, kecuali Shahih Bukhari, dan demikian itu karena kelemahannya (layyin al-hadits). Namun, kadang-kadang ia melakukan tadlis dari shahabat-shahabat besar". Atas dasar itu, hadits dari Jubair bin Nufair pun munqathi', dan tidak bisa menyelamatkan keterputusan antara Syuraih bin 'Ubaid dengan 'Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim. Sebab, Jubair bin Nufair sendiri tidak menyaksikan langsung kejadiannya atau mendengarnya langsung dari orang yang meriwayatkan dari 'Iyad bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim. Atas dasar itu, hadits yang antum katakan naik derajatnya itu, tetap tidak bisa selamat dari keterputusan (inqitha'). Dengan demikian, hadits itu harus dihukumi sebagai hadits munqathi' dan tidak layak dijadikan sandaran hujjah.
Jubair bin Nufair bin Maalik bin ‘Aamir Al-Hadlramiy, Abu ‘Abdirrahmaan/Abu ‘Abdillah Asy-Syaamiy Al-Himshiy; salah seorang kibaarut-taabi’iin yang menjumpai jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan Ibnu Hibbaan mengatakan ia pernah menjumpai jaman jahiliyyah [Ats-Tsiqaat, 4/111. Lihat pula : At-Taariikh Al-Kabiir 2/224 no. 2275]. Ia meriwayatkan secara muttashil (bersambung) dari beberapa orang shahabat besar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya : Tsaubaan Maulaa Rasulillah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Khaalid bin Waalid, ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit, ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Aash, ‘Irbaadl bin Saariyyah, ‘Aaisyah Ummul-Mukminiin, dan yang lainnya [lihat : Tahdziibul-Kamaal, 4/509-510 no. 905]. Ia meriwayatkan secara mursal dari Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu, sebagaimana dikatakan oleh Abu Zur’ah [lihat : Jaami’ut-Tahshiil, hal. 153 no. 88]. Adapun penyimakannya dari ‘Umar bin Al-Khaththaab perlu diteliti kembali [Tahdziibul-Kamaal, 4/510].
Jika dikatakan riwayat Jubair bin Nufair dari ‘Iyaadl bin Ghanm atau Hisyaam bin Hakiim terputus (munqathi’), dengan alasan bahwa Jubair membawakan lafadh periwayatan tidak dengan tashriih penyimakan[1], maka ini sangat layak untuk mendapat kritikan.
Kedudukannya hadits Jubair dari ‘Iyaadl bin Ghanm dan Hisyaam bin Hakiim adalah seperti hadits mu’an’an. Hadits mu’an’an dihukumi bersambung menurut jumhur muhadditsiin jika memenuhi persyaratan :
1.         Tetapnya ‘adalah perawi.
2.         Bukan seorang mudallis.
3.         Kemungkinan perawi tersebut bertemu dengan syaikh-nya – dimana ini merupakan madzhab Al-Imam Muslim rahimahullah, dan dihikayatkan ijma’.
[lihat : Syarh ‘Ilal At-Tirmidziy oleh Ibnu Rajab, hal. 1/359-377, tahqiq : Nuuruddin ‘Itr; Al-Jawaahirus-Sulaimaaniyyah Syarh Al-Mandhuumah Al-Baiquuniyyah oleh Abul-Hasan Al-Ma’ribiy, hal. 171-172; dan Taisiru Mushthalahil-Hadiits oleh Mahmuud Ath-Thahhaan, hal. 67-68].
Ketiga syarat tersebut dipenuhi oleh Jubair bin Nufair.
Ia seorang perawi tsiqah lagi jaliil. Ia termasuk perawi yang dipakai Muslim dalam Shahiih-nya. Abu Haatim berkata : "Tsiqah". An-Nasaa'iy berkata : "Tidak ada seorang pun dari kalangan kibaarut-taabi'iin yang lebih bagus riwayatnya dari para shahabat, daripada tiga orang : Qais bin Abi Haazim, Abu 'Utsmaan An-Nahdiy, dan Jubair bin Nufair". Ibnu Sa'd berkata : "Tsiqah". Ibnu Khiraasy berkata : "Ia termasuk tabi'iy daerah yang yang paling agung". Al-'Ijliy berkata : "Tsiqah". Abu Daawud juga mentsiqahkannya. Ya’quub bin Syaibah bekata : “Ia masyhuur dengan ilmunya”. [Tahdziibul-Kamaal, 4/509-514 no. 905 dan Tahdziibut-Tahdziib 2/64-65 no. 103].
Menukil perkataan Adz-Dzahabiy saja yang mengisyaratkan ia seorang yang layyin karena Al-Bukhaariy tidak membawakan riwayatnya adalah satu tindakan yang kurang fair. Sudah menjadi pemakluman bahwa tidak semua perawi tsiqah diambil oleh Al-Bukhaariy dalam Shahiih-nya.
Ia pun bukan seorang mudallis (yang tidak diterima tadlis-nya). Memang benar, Ibnu Hajar mengklasifikasikannya dalam kelompok mudallisiin, akan tetapi Jubair ini masuk dalam tingkatan kedua [lihat : Ta’riifu Ahlit-Taqdiis hal. 57 no. 39, tahqiq : Dr. ‘Abdul-Ghaffaar Sulaimaan & Prof. Muhammad Ahmad]. Maknanya, tadlis-nya itu diterima karena riwayatnya menjadi hujjah dalam kitab Ash-Shahiih. Dan sepengetahuan saya, tidak ada ulama mutaqaddimiin yang mensifati Jubair ini dengan tadlis selain yang termuat dalam Tadzkiratul-Huffadh (1/52). Ada kemungkinan bahwa maksud penyifatan Adz-Dzahabiy ini adalah bahwa ia kadang membawakan riwayat mursal. Dan bagi ulama mutaqaddimiin, irsal ini seringkali disebut dengan tadlis. Sepengetahuan saya, para ulama hanya menyebutkan riwayat mursal dari Jubair ini adalah dari Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa. Jika bapak Syamsuddiin Ramadlaan ingin menghukumi riwayat Jubair dari ‘Iyaadl atau Hisyaam bin Hakiim ini mursal, sangat dipersilakan untuk membuktikan secara ilmiah menurut kaidah ilmu hadits, bukan sekedar prasangka semata. Singkatnya, walaupun ia membawakan dengan shighah 'an, maka riwayatnya dihukumi muttashil sampai benar-benar ada keterangan yang pasti dari ulama hadits mu'tabar bahwa ia telah melakukan tadlis atau riwayatnya tersebut terputus (munqathi'). Dan dalam keterangan ulama mutaqaddimin tidak ada, kecuali keterputusan riwayatnya dari Abu Bakr dan 'Umar radliyallaahu 'anhumaa.
Ia pun sejaman dengan ‘Iyaadl bin Ghanm dan Hisyaam bin Hakiim, sehingga memungkinkan adanya pertemuan di antara mereka. Betapa tidak ? Jubair adalah kalangan muhdlaram yang tentu saja pernah semasa (mu’asharah) dengan ‘Iyaadl bin Ghanm dan Hisyaam bin Hakam. Dikuatkan lagi bahwa Jubair, ‘Iyaadl, dan Hisyaam adalah termasuk orang-orang yang sedaerah, yaitu Himsh (Syaam). Periwayatan Jubair dari kalangan shahabat yang dikritik kebersambungannya – sepanjang pengetahuan saya – hanyalah yang berasal dari Abu Bakr dan ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhumaa. Selain itu, tidak ada tashriih perkataan dari ulama naqd yang mu’tabar bahwa Jubair bin Nufair tidak pernah bertemu atau mendengar dari ‘Iyaadl bin Ghanm dan Hisyaam bin Hakiim.
Oleh karena itu, hukum periwayatan Jubair bin Nufair dari ‘Iyaadl bin Ghanm dan Hisyaam bin Hakiim adalah bersambung muttashil – sesuai persyaratan Muslim. Klaim munqathi’ adalah klaim tanpa faedah yang menyelisihi kaedah ilmu hadits[2].
Yang lebih menambah keyakinan kita akan kebersambungan sanad tersebut adalah riwayat :
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ هِشَامَ بْنَ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ وَجَدَ عِيَاضَ بْنَ غَنْمٍ وَهُوَ عَلَى حِمْصَ يُشَمِّسُ نَاسًا مِنْ النَّبَطِ فِي أَدَاءِ الْجِزْيَةِ فَقَالَ لَهُ هِشَامٌ مَا هَذَا يَا عِيَاضُ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يُعَذِّبُ الَّذِينَ يُعَذِّبُونَ النَّاسَ فِي الدُّنْيَا
Telah menceritakan kepada kami Abul-Yamaan : Telah menceritakan kepada kami Syu’aib, dari Az-Zuhriy : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Urwah bin Az-Zubair : Bahwasannya Hisyaam bin Hakiim bin Hizaam mendapatkan 'Iyaadl bin Ghanm di Himsh menjemur rakyat jelata dalam masalah pembayaran jizyah. Lalu Hisyaam berkata kepadanya : “Wahai 'Iyaadl, sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Allah tabaaraka wa ta’ala menyiksa orang yang menyiksa manusia di dunia’ [Al-Musnad, 3/404].
Sanad hadits ini shahih sesuai dengan persyaratan Muslim.
Al-Imam Muslim juga membawakan hadits semakna sebagai berikut :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ هِشَامِ بْنِ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ قَالَ مَرَّ بِالشَّامِ عَلَى أُنَاسٍ وَقَدْ أُقِيمُوا فِي الشَّمْسِ وَصُبَّ عَلَى رُءُوسِهِمْ الزَّيْتُ فَقَالَ مَا هَذَا قِيلَ يُعَذَّبُونَ فِي الْخَرَاجِ فَقَالَ أَمَا إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ يُعَذِّبُ الَّذِينَ يُعَذِّبُونَ فِي الدُّنْيَا
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyaats, dari Hisyaam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari Hisyaam bin Hakiim  bin Hizaam, ia berkata : Aku pernah melewati beberapa orang di Syam yang dijemur di bawah terik matahari sedangkan kepala mereka dituangi minyak. Kemudian Hisyam bertanya : “Mengapa mereka ini dihukum ?”. Dikatakan : “Mereka disiksa karena masalah pajak (kharaj)”. Hisyaam berkata : “Sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : 'Sesungguhnya Allah akan menyiksa orang-orang yang menyiksa orang lain di dunia" [Shahih Muslim no. 2613].
Dua hadits di atas adalah hadits serupa dengan hadits yang sedang kita perbincangkan, namun hanya memuat sebagian lafadhnya saja.
Sisi pendalilannya adalah : Jika riwayat ‘Urwah bin Az-Zubair dari Hisyaam bin Hakiim dihukumi bersambung lagi shahih (sebagaimana dua riwayat di atas), maka riwayat Jubair bin Nufair lebih pantas untuk dihukumi bersambung dibandingkan ‘Urwah. Jubair termasuk kibaarut-taabi’iin, sedangkan ‘Urwah adalah taabi’iy pertengahan.
Riwayat Syuraih dari Jubair bin Nufair Terputus ?
Sebenarnya ini telah saya singgung dalam bahasan saya sebelumnya. Namun di sini saya akan mengulang sebagai penekanan saja.
Abul-Hasan bin Az-Ziyaadiy mengatakan bahwa Jubair wafat pada tahun 75 H. Ibnu Sa’d, Khaliifah bin Khayyaath, dan Ibnu Hibbaan mengatakan tahun 80 H. Yang terakhir inilah yang dikuatkan oleh Ibnu Hajar dimana ia mengatakan : “Wafat tahun 80, dan dikatakan juga setelahnya” [At-Taqriib, hal. 195 no. 912]. Bahkan dalam Tahdziibut-Tahdziib (2/56), Ibnu Hajar membawakan perkataan Mu’aawiyyah bin Shaalih bahwa ia menjumpai masa Al-Waliid bin ‘Abdil-Malik (86 H).
Syuraih bin ‘Ubaid bin Syuraih bin ‘Abd bin ‘Ariib Al-Hadlramiy Al-Maqraaiy Abush-Shalt Asy-Syaamiy Al-Himshiy; termasuk golongan tabi’iy pertengahan, tsiqah, namun banyak memursalkan hadits, wafat setelah tahun 100 H [Taqriibut-Tahdziib, hal. 424 no. 2790].
Di sini terdapat petunjuk bahwa antara Syuraih dan Jubair bin Nufair semasa. Tidak ada tashriih dari ulama mu’tabar yang menyatakan kemursalan riwayat Syuraih dari Jubair. Oleh karena itu, riwayatnya di sini dihukumi bersambung. Tidak ada sedikitpun hujjah untuk mengatakan riwayat antara keduanya terputus (munqathi’).
Lebih yakin lagi bahwa Abu Daawud dalam Sunan-nya (no. 255) telah menyebutkan tashriih penyimakan Syuraih dari Jubair bin Nufair.
Kritik terhadap Riwayat Ath-Thabaraaniy
Bapak Syamsuddiin Ramadlaan berkata :
Ibnu Zuraiq adalah waah. Imam Adz Dzahabiy berkata, "Ibnu Zuraiq adalah waah (lemah)". Ishaq adalah ayah dari Amru, dan tentang dia, Al Hafidz berkata, "Shaduq yahammu katsiira (shaduq tapi banyak lemahnya), dan Mohammad bin 'Aud menyebutkan bahwa dia itu berdusta". Abu Hatim juga berkata tentang dia, "Syaikh la ba'sa bihi, hanya saja mereka mencelanya. Saya mendengar Yahya bin Ma'in memujinya dengan baik". Dalam Tarikh Ibnu 'Asaakir dan juga Tahdzibnya Ibnu Badran, disebutkan bahwa An Nasaaiy berkata, "Ishaq tidak tsiqqah jika meriwayatkan dari 'Amru bin Harits". Sedangkan hadits di atas Ishaq meriwayatkan dari 'Amru bin Harits!!!
Penulisan Ibnu Zuraiq ini keliru. Yang benar Ibnu Zibriiq. Lengkapnya : Ishaaq bin Ibraahiim bin Al-'Alaa' bin Adl-Dlahhaak bin Zibriiq Al-Himshiy Az-Zubaidiy [Al-Jarh wat-Ta'diil, 2/209 no. 711 dan Tahdziibul-Kamaal 2/369-371 no. 330]. Mengenai Ishaaq bin Ibraahiim bin Zibriiq, Abu Haatim berkata : “Syaikh”. Ibnu Ma’iin memujinya dengan berkata : “Tidak mengapa dengannya (laa ba’sa bihi)” [Al-Jarh wat-Ta’diil 2/209 no. 711]. An-Nasaa’iy – sebagaimana dinukil Al-Mizziy – mengatakan : “Tidak tsiqah”. Namun dalam riwayat Ibnu ‘Asaakir sebagaimana yang dibawakan oleh Ibnu Badraan dalam At-Tahdziib (2/407), An-Nasaa’iy berkata : “Tidak tsiqah, jika ia meriwayatkan dari ‘Amru bin Al-Haarits”. Jadi ketidaktsiqahan ini di-taqyid dalam periwayatan dari ‘Amru. Muhammad bin ‘Auf memutlakkan kedustaan terhadapnya. Abu Dawud mengikuti Muhammad bin ‘Auf dengan perkataannya : “Tidak ada apa-apanya”. Namun perkataan keduanya ini perlu ditinjau kembali, sebab Al-Bukhaariy (dalam Shahih-nya dengan periwayatan mu’allaq), Abu Haatim, Al-Fasaawiy, dan yang lainnya membawakan riwayatnya dimana tidak ada keraguan bahwa mereka tidaklah meriwayatkan dari para pendusta yang dikenal kedustaaannya. Abu Ishaaq Al-Huwainiy dalam Natsnun-Nabaal (hal. 176-177 no. 276) membawakan bahwa Maslamah bin Al-Qaasim mentsiqahkannya. Al-Haakim (Al-Mustadrak 3/290) dan Ibnu Hibbaan (Ats-Tsiqaat 8/113) men-tautsiq-nya. Perkataan yang benar di sini adalah bahwa Ishaaq bin Ibraahiim bin Zibriiq adalah shaduuq; riwayatnya lemah jika berasal dari ‘Amr bin Al-Haarits.
Dengan perkataan para imam di atas, nampaklah bagi kita riwayat Ishaaq bin Ibraahiim ini dapat digunakan sebagai mutaba’ah.
Bapak Syamsuddiin Ramadlaan berkata :
Sedangkan Amru bin Harits, Ibnu Hibban dalam Tsiqahnya berkata, "Ia adalah mustaqim al-hadits". Namun, Imam Adz Dzahabiy membantahnya dalam Al-Mizan, "Tafarrada bi ar-riwayah 'anhu Ishaq bin Ibrahim bin Zuraiq dan maulanya, yang namanya 'Ulwah, dan dia tidak tidak diketahui keadilannya". Dengan demikian, yang meriwayatkan hadits dari dari Amru bin Harits hanyalah Ishaq dan maulanya Amru bin Harits yang majhul.
Nampaknya, bapak Syamsuddiin Ramadlaan ini ingin menggunakan perkataan Adz-Dzahabiy untuk melemahkan ‘Amru bin Al-Haarits. Aneh sekali,…. dari sisi mana pekataan Adz-Dzahabiy itu menggugurkan riwayat ‘Amru bin Al-Haarits ? Adz-Dzahabiy berkata dalam Al-Kaasyif (2/73 no. 4136) : “Telah ditsiqahkan”. Para ulama telah menjelaskan jika Ibnu Hibbaan telah menjazmkan satu pentautsiqan, maka tautsiq-nya itu diterima. Sedangkan perkataan Adz-Dzahabiy bahwa hanya ada dua perawi yang meriwayatkan darinya, ini juga perlu kita cermati. Dalam kitab-kitab biografi perawi, tercatat tiga orang perawi yang meriwayatkan darinya, yaitu : Ishaaq bin Ibraahiim bin Zibriiq, ‘Ulwah, dan Muhammad bin ‘Auf Ath-Thaa’iy [lihat : Tahdziibul-Kamaal, 21/569-570 no. 4340].
Pernyataan yang benar akan diri ‘Amru bin Al-Haarits adalah ia seorang yang tsiqah.
Bapak Syamsuddiin Ramadlaan berkata :
Sedangkan Amru bin Ishaq bin Zuraiq al-Himshiy termasuk syaikhnya Imam Thabaraniy. Sayangnya tidak ada biografi atas dirinya, alias majhul.
Dengan demikian hadits dari jalur ini jelas-jelas lemah dan banyak 'illatnya, yakni; (1) majhulnya Amru bin Ishaq bin Zuraiq al-Himshiy, syaikhnya Imam Thabaraniy, (2) dla'ifnya Ishaq bin Ibrahim bin Zuraiq yang sangat parah, (3) lemahnya (layyin) 'Amru bin Harits,…..
Benar bahwasannya ‘Amru bin Ishaaq adalah perawi majhuul. Namun tidakkah ia sendiri membaca bahwa Ath-Thabaraaniy dalam riwayatnya itu mengambil dari tiga orang perawi ? Mereka adalah : ‘Amru bin Ishaaq, ‘Ammaarah bin Watsiimah, dan ‘Abdurrahmaan bin Mu’aawiyyah. ‘Ammaarah seorang yang shaduuq (Irsyaadul-Qaadliy, hal. 444-445) dan ‘Abdurrahmaan seorang yang majhuul haal (Irsyaadul-Qaadliy, hal. 357-358). Oleh karena itu, ketiganya saling menguatkan satu dengan yang lainnya. Mungkin beliau ini tidak paham dengan yang dibaca dan yang ditulis.
Adapun klaimnya atas ‘parah-nya’ status Ishaaq bin Ibraahiim bin Zuraiq adalah penghukuman yang berlebih-lebihan tanpa mau menoleh dan menjamak perkataan para ulama naqd. Juga tentang ‘Amru bin Al-Haarits yang telah lewat penjelasannya di atas…..
Bapak Syamsuddiin Ramadlaan berkata :
(3) lemahnya (layyin) al-Fadlil bin Fudlalah, (4) keterputusan (inqitha') antara al-Fadlil dengan Ibnu 'Aidz, (5) terputusnya Ibnu 'Aidz dengan Jubair bin Nufair, (6)
Kalau boleh saya katakan : ‘Ini hanyalah omong kosong belaka !!!’.
Al-Fudlail bin Fadlaalah (inilah penulisan yang benar) ini adalah Al-Hauzaniy Asy-Syaamiy. Tidak ada yang memberikan jarh kepadanya. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat (5/295). Begitu juga Al-Haakim mentautsiqnya dengan menshahihkan riwayat yang ia bawakan [Al-Mustadrak, 3/290]; sementara itu sejumlah perawi tsiqah meriwayatkan darinya (yaitu : Shafwaan bin ‘Amru As-Saksakiy, Muhammad bin Al-Waliid Az-Zubaidiy, dan Mu’aawiyyah bin Shaalih Al-Hadlramiy). Oleh karena itu, penghukuman yang benar akan dirinya adalah shaduuq hasanul-hadiits [lihat : Tahriirut-Taqriib, 3/163 no. 5436].
Adapun klaimnya bahwa riwayatnya dari Ibnu ‘Aidz adalah munqathi’, ini juga tidak didasari bukti. Jika bapak Syamsuddiin mendasari perkataannya dari Ibnu Hajar dalam At-Taqriib bahwa ia memursalkan satu riwayat, maka Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal hanya menyatakan riwayat mursal-nya dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Selain dari itu, maka perlu bukti ! agar tidak seenaknya orang mengatakan mursal atau munqathi’. Al-Fudlail termasuk shigaarut-taabi’iin dan Ibnu ‘Aidz termasuk tabi’iy pertengahan. Jadi, ini sangat mungkin bahwa keduanya semasa (mu’asharah). Lihat kembali persyaratan diterimanya hadits mu’an’an sebagaimana telah dituliskan di atas.
Hal yang sama tentang klaimnya bahwa riwayat Ibnu ‘Aaidz dengan Jubair bin Nufair terputus.
Logika Aneh
Bapak Syamsuddiin Ramadlaan berkata :
Seandainya peristiwa diskusi antara Hisyam bin Hakim dengan Iyadl bin Ghanm tentang "koreksi sembunyi-sembunyi" merupakan hukum asal mengapa shahabat jalil Hisyam bin Hakim tetap mengoreksi penguasa dengan terang-terangan!?
Silakan para Pembaca mencermati hadits di atas. Hadits di atas menunjukkan bahwa Hisyaam bin Hakiim belum mengetahui hadits yang dimiliki ‘Iyaadl. Dan itu terbukti setelah ‘Iyaadl menyampaikan hadits, Hisyaam tidak berkomentar apapun alias menerimanya. Tidak ada riwayat shahih yang menyatakan bahwa Hisyaam setelah itu tetap melanjutkan apa yang diperbuat semula (mengoreksi penguasa secara terang-terangan).
Betapa banyak seorang shahabat tidak mengetahui satu hadits yang kemudian ia diberitahu oleh shahabat lain akan hadits tersebut. Contoh akan hal ini sangat banyak.
Apalagi beberapa shahabat besar mempraktekkan hadits ini seperti Usaamah bin Zaid, Ibnu ‘Abbaas, dan Abdullah bin Abi Aufa radliyallaahu ‘anhum; meskipun bapak Syamsuddiin dan rekan-rekan beliau di Hizbut-Tahriir tidak menyukainya.
Merapikan Jalur Periwayatan
Hadits ‘Iyaadl bin Ghanm tentang nasihat empat mata kepada pemimpin diriwayatkan oleh Ahmad (3/403-404) dari jalan : Telah menceritakan kepada kami Abul-Mughiirah : Telah menceritakan kepada kami Shafwaan : Telah menceritakan kepadaku Syuraih bin ‘Ubaid Al-Hadlramiy dan yang lainnya, ia berkata : 'Iyaadl bin Ghanm pernah mencambuk orang Dariya ketika ditaklukkan. Hisyaam bin Hakiim meninggikan suaranya kepadanya untuk menegur sehingga 'Iyaadl marah…..dst.
Sanad hadits ini lemah karena inqithaa’ (keterputusan) antara Syuraih dengan ‘Iyaadl dan Hisyaam.
Akan tetapi inqithaa’ ini disambung oleh Ibnu Abi ‘Aashim (no. no. 1097) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Auf : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ismaa’iil : Telah menceritakan ayahku, dari Dlamdlam bin Zur’ah, dari Syuraih bin ‘Ubaid, ia berkata : Telah berkata Jubair bin Nufair, ia berkata : Telah berkata ‘Iyaadl bin Ghanm kepada Hisyaam bin Hakiim : “Tidakkah engkau pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘….(al-hadits)….”.
Sanad riwayat ini juga lemah karena kelemahan Muhammad bin Ismaa’iil bin ‘Ayyaasy. Selain itu, penyimakannya dari ayahnya dikritik oleh Abu Haatim [Tahdziibul-Kamaal, 24/483-484 no. 5067].
Syuraih mempunyai mutaba’ah dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaidz Al-Azdiy sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abi ‘Aashim (no. 1098) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Auf : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Hamiid bin Ibraahiim, dari ‘Abdullah bin Saalim, dari Az-Zubaidiy, dari Al-Fudlail bin Fadlaalah, ia mengembalikannya kepada Ibnu ‘Aaidz, dan Ibnu ‘Aaidz mengembalikannya kepada Jubair bin Nufair, dari ‘Iyaadl bin Ghanm, ia berkata kepada Hisyaam bin Al-Hakiim : “…..(al-hadits)….”.
Sanad riwayat ini lemah karena ‘Abdul-Hamiid bin Ibraahiim. Hapalannya tercampur setelah kitab-kitabnya hilang [At-Taqriib, hal. 563 no. 3775].
‘Abdul-Hamiid bin Ibraahiim mempunyai mutaba’ah dari ‘Amru bin Al-Haarits Al-Himshiy. Diriwayatkan pula oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 17/367 no. 1007, Al-Haakim 3/290, dan Al-Bukhaariy dalam At-Taariikh Al-Kabiir 7/18-19 dari jalan Ishaaq bin Ibraahiim bin Zibriiq, dari ‘Amru bin Al-Haarits Al-Himshiy, dari ‘Abdullah bin Saalim, selanjutnya seperti sanad di atas.
Sanad hadits ini lemah karena Ishaaq bin Ibraahiim bin Zibriiq. Ia seorang yang shaduuq, namun periwayatannya dari ‘Amru bin Al-Haarits adalah lemah dan ditinggalkan.
Dapat kita lihat bahwa dalam setiap thabaqah sanad saling menguatkan satu dengan yang lainnya. Kelemahan masing-masing sanad bukanlah jenis kelemahan yang tidak menerima penguat berupa mutaba’aat. Oleh karena itu, hadits ini tidak jatuh lebih rendah dari derajat hasan. Bahkan, beberapa ulama telah men-jazm-kan dengan keshahihan seperti Al-Albaaniy, Al-Arna’uth, Ibnu Barjaas, Baasim Al-Jawaabirah, dan Hamzah Az-Zain.
Pendek kata, penghukuman bapak Syamsuddiin Ramadlan dengan kedla’ifan adalah penghukuman yang keliru, mengabaikan penguat-penguat yang dapat mengangkat kelemahan masing-masing sanad.
Dikarenakan hadits ini adalah hasan atau shahih, maka sudah menjadi kewajiban bagi setiap orang yang mengakui muslim untuk berpegang kepadanya dalam perkara syari’at. Termasuk dalam hal ini bapak Syamsuddiin Ramadlaan. Saya pribadi sangat mengharapkan agar beliau ini lebih mengutamakan As-Sunnah daripada terus membeo teologi Hizbut-Tahriir yang mengharuskan menentang/menolak hadits ‘Iyaadl bin Ghanm radliyallaahu ‘anhu. Apalagi hadits ini telah dipraktekkan oleh para shahabat besar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam muamalah mereka terhadap pemimpin kaum muslimin[3].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abu al-jauzaa’ – 1431] – direvisi untuk kedua kalinya tanggal 13-8-2010.
Adapun kritik hadits bapak Syamsuddin Ramadlaan adalah sebagai berikut (saat menanggapi kritikan Ustadz Badru Salam) :
Demikianlah, antum berusaha mati-matian menshahihkan hadits 'Iyadl bin Ghanm dengan cara mencari syahid maupun mutaba'ahnya. Sayang usaha antum tersebut malah menjerumuskan antum untuk mencari-cari dalih, untuk memenuhi keinginan dan hawa nafsu antum., bukan untuk menegakkan hujjah yang lurus. Namun, demi menegakkan sunnah dan kebenaran, ana akan jelaskan kelemahan jalur dari Imam Thabaraniy. Kelemahannya hadits ini terlihat dari kenyataan berikut ini:
Pertama, hadits riwayat Imam Ahmad dari jalur Abu Mughirah, Shofwan, Syuraih bin 'Ubaid telah terbukti kelemahannya, karena Syuraih tidak pernah bertemu dengan Hisyam bin Hakim (lebih-lebih lagi Iyadl bin Ghanm). Dengan demikian, hadits ini dihukumi sebagai hadits munqathi', sehingga gugur sebagai hujjah.
Kedua, adapun tentang Jubair bin Nufair yang antum nobatkan sebagai "wasithah antara Syuraih bin 'Ubaid dengan Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim, sehingga tampak seolah-olah telah menyambungkan "keterputusan antara Syuraih bin 'Ubaid dengan Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim, maka perlu antum ketahui bahwa ternyata Jubair bin Nufair pun menuturkan hadits tersebut dengan ta'liq (menggugurkan perawi atasnya). Jubair bin Nufair adalah seorang tabi'un yang terkemuka. Imam Adz Dzahabiy dalam Tadzkiratu al-Huffaadz berkata, ".Beliau (Jubair bin Nufair) adalah seorang ulama terkemuka, haditsnya ada dalam kitab-kitab hadits seluruhnya, kecuali Shahih Bukhari, dan demikian itu karena kelemahannya (layyin al-hadits). Namun, kadang-kadang ia melakukan tadlis dari shahabat-shahabat besar". Atas dasar itu, hadits dari Jubair bin Nufair pun munqathi', dan tidak bisa menyelamatkan keterputusan antara Syuraih bin 'Ubaid dengan 'Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim. Sebab, Jubair bin Nufair sendiri tidak menyaksikan langsung kejadiannya atau mendengarnya langsung dari orang yang meriwayatkan dari 'Iyad bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim. Atas dasar itu, hadits yang antum katakan naik derajatnya itu, tetap tidak bisa selamat dari keterputusan (inqitha'). Dengan demikian, hadits itu harus dihukumi sebagai hadits munqathi' dan tidak layak dijadikan sandaran hujjah.
Adapun hadits dari jalur Mohammad bin 'Ayyasy, maka antum juga harus tahu Mohammad bin 'Ayyasy adalah dla'ifu al-hadits (dla'if haditsnya). Di dalam Kitab Al-Jarh wa al-Ta'diil, Abu Hatim berkata, "Dia tidak mendengar apapun dari bapaknya". Al Hafidz Ibnu Hajar dalam At-Taqriib berkata, "Mereka mencela dirinya karena ia menuturkan dari bapaknya tanpa pernah mendengarnya". Dalam hadits ini tidak boleh dinyatakan bahwa ia dengan sharih menuturkan dari bapaknya (dengan lafadz haddatsanaa); sebab dia adalah dla'if, tidak tsiqqah".
Ketiga, jalur dari Amru bin Ishaq bin Zuraiq haddatsana abii (H) haddatsana ‘Imarah bin Wutsaimah Al Mishri dan Abdurrahman bin Mu’awiyah Al ‘Utabi keduanya berkata: Haddatsana Ishaq bin Zuraiq, haddatsana ‘Amru bin Al Harits dari Abdullah bin Salim dari Az Zubaidi haddatsna Al Fadl bin fadlalah mengembalikannya kepada ‘Aidz mengembalikannya kepada Jubair bin Nufair bahwa ‘Iyadl bin Ghanam..dst.
Ibnu Zuraiq adalah waah. Imam Adz Dzahabiy berkata, "Ibnu Zuraiq adalah waah (lemah)". Ishaq adalah ayah dari Amru, dan tentang dia, Al Hafidz berkata, "Shaduq yahammu katsiira (shaduq tapi banyak lemahnya), dan Mohammad bin 'Aud menyebutkan bahwa dia itu berdusta". Abu Hatim juga berkata tentang dia, "Syaikh la ba'sa bihi, hanya saja mereka mencelanya. Saya mendengar Yahya bin Ma'in memujinya dengan baik". Dalam Tarikh Ibnu 'Asaakir dan juga Tahdzibnya Ibnu Badran, disebutkan bahwa An Nasaaiy berkata, "Ishaq tidak tsiqqah jika meriwayatkan dari 'Amru bin Harits". Sedangkan hadits di atas Ishaq meriwayatkan dari 'Amru bin Harits!!! Sedangkan Amru bin Harits, Ibnu Hibban dalam Tsiqahnya berkata, "Ia adalah mustaqim al-hadits". Namun, Imam Adz Dzahabiy membantahnya dalam Al-Mizan, "Tafarrada bi ar-riwayah 'anhu Ishaq bin Ibrahim bin Zuraiq dan maulanya, yang namanya 'Ulwah, dan dia tidak tidak diketahui keadilannya". Dengan demikian, yang meriwayatkan hadits dari dari Amru bin Harits hanyalah Ishaq dan maulanya Amru bin Harits yang majhul. Sedangkan Ishaq adalah waah (lemah) [lihat di atas]. Sedangkan Amru bin Ishaq bin Zuraiq al-Himshiy termasuk syaikhnya Imam Thabaraniy. Sayangnya tidak ada biografi atas dirinya, alias majhul.
Dengan demikian hadits dari jalur ini jelas-jelas lemah dan banyak 'illatnya, yakni; (1) majhulnya Amru bin Ishaq bin Zuraiq al-Himshiy, syaikhnya Imam Thabaraniy, (2) dla'ifnya Ishaq bin Ibrahim bin Zuraiq yang sangat parah, (3) lemahnya (layyin) 'Amru bin Harits, (3) lemahnya (layyin) al-Fadlil bin Fudlalah, (4) keterputusan (inqitha') antara al-Fadlil dengan Ibnu 'Aidz, (5) terputusnya Ibnu 'Aidz dengan Jubair bin Nufair, (6) terputusnya Jubair bin Nufair dengan semua orang yang meriwayatkan dari 'Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim radliyallahu 'anhumaa. Dengan demikian, jalur inipun gugur secara menyakinkan.
Adapun komentar Imam Al-Haitsamiy dalam Majma' az Zawaid, "Rijaaluhu tsiqat wa isnaduhu muttashil", maka harus dinyatakan bahwa komentar beliau ini tidak tepat dikarenakan alasan-alasan di atas.
Keempat, permasalahan yang sebenarnya hendak dibuktikan adalah sanad dari Syuraih bin 'Ubaid atau Jubair bin Nufair ra. Dan telah dijelaskan bahwa Syuraih bin 'Ubaid atau Jubair bin Nufair meriwayatkan dengan ta'liq (menggugurkan perawi atasnya). Tidak ada satupun lafadz yang menunjukkan kehadiran keduanya dalam kisah itu, atau mendengar diskusi antara Hisyam bin Hakim dan 'Iyadl bin Ghanm; atau mendengar langsung dari orang yang menyaksikan atau mendengar dari Hisyam bin Hakim dan 'Iyadl bin Ghanm. Oleh karena itu, riwayat tersebut dihukumi munqathi' (terputus).
Semua riwayat dari Jubair bin Nufair dan Syuraih bin 'Ubaid diketahui mursal dari qudama` ash-shahahat (shahabat-shahabat terkemuka), bahkan Syuraih meriwayatkan hadits secara mursal dari seluruh shahabat. Atas dasar itu, semua riwayat yang berasal darinya dihukumi inqitha' (terputus).
Adapun riwayat mu'an'anah dari 'Iyadl bin Ghanm, maka sudah dimaklumi bahwa 'Iyadl bin Ghanm meninggal tahun 20 H pada masa kekhilafahan Umar bin Khaththab ra, dan Jubair bin Nufair tidak pernah mendengar dari 'Iyadl bin Ghanm, sebagaimana disebutkan dalam biografinya di Kitab Tahdziib al-Kamaal karya Al-Maziy, dan at-Tadzkirah karya Husainiy. Selain itu, Jubair bin Nufair juga dikenal meriwayatkan secara mursal dari shahabat-shahabat besar. Dengan demikian, riwayat ini juga terputus (inqitha').
Selain itu, ada cacat lain dari hadits tersebut dari sisi matan. Hadits-hadits lain justru menyakinkan kepada kita bahwa Hisyam bin Hakim tetap mengoreksi 'Iyadl bin Ghanm dengan terang-terangan ketika berada di Himsh. Imam Thabaraniy meriwayatkan sebuah hadits dari 'Urwah bin az-Zubair bahwasanya Hisyam bin Hakim mendapati 'Iyadl bin Ghanm , pada saat itu ia berada di Himsh, menjemur manusia dari al-Nabth di bawah terik matahari, dalam masalah penyerangan jizyah. Hisyam bin Hakim berkata, "Apa ini wahai 'Iyadl bin Ghanm! Saya mendengar Nabi saw bersabda, "Sesungguhnya Allah akan menyiksa orang-orang yang menyiksa manusia di dunia". Hadits ini adalah hasan lidzatihi dikarenakan dikarenakan banyaknya hadits-hadits mutabi'ahnya. Selain itu, riwayat-riwayat lain juga menunjukkan bahwa Hisyam bin Hakim juga mengoreksi dengan terang-terangan, sebagaimana ia mengingkari penguasa Himsh yang tidak disebutkan namanya, atau terhadap ;Umair bin Sa'ad pada saat ia berada di Palestina atau di Himsh. Peristiwa ini terjadi setelah terjadinya diskusi antara dirinya dengan 'Iyadl bin Ghanm pada saat penaklukkan Dariya., Ini bisa diketahui dari kronologi sejarah penaklukkan jazirah Syam. Seandainya peristiwa diskusi antara Hisyam bin Hakim dengan Iyadl bin Ghanm tentang "koreksi sembunyi-sembunyi" merupakan hukum asal mengapa shahabat jalil Hisyam bin Hakim tetap mengoreksi penguasa dengan terang-terangan!?
Walhasil, hadits-hadits yang antum ketengahkan itu seluruhnya gugur baik karena perawinya yang lemah (Mohammad bin 'Iyasy), maupun terputusnya Jubair bin Nufair dengan 'Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim.


[1]      Dalam riwayat Ibnu Abi ‘Aashim (no. 1097-1098), Jubair bin Nufair menggunakan lafadh periwayatan : ‘qaala ‘Iyaadl bin Ghanm’ (telah berkata ‘Iyaadl bin Ghanm) dan ‘an ‘Iyaadl bin Ghanm’ (dari ‘Iyaadl bin Ghanm).
[2]      Apalagi sampai mengatakan Jubair telah menggugurkan perawi antaranya dengan ‘Iyaadl dan Hisyaam. Atas dasar dan bukti apa ?

Comments

Anonim mengatakan...

Ijin copas pak Ustadz. Syukran.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

silakan, walau sebenarnya akan ada revisi berupa tambahan keterangan atas ketidakvalidan bapak Syamsuddin Ramadlaan dalam menurunkan penghukuman rawi dan penyimpulan hukumnya....

Anonim mengatakan...

Ustadz, ana ijin copas-nya dari sekarang untuk versi yang lengkapnya nanti menurut antum. Sementara ana ikut nyimak saja dulu.

Barokallahu fiik
Abu Yazid Jaktim

aris munandar mengatakan...

Sekedar sharing info, Muhaddits Yaman Syaikh Muqbil menilai hadits 'Iyadh bin Ghanam sebagai hadits yang dhaif karena syadz di Tuhfatul Mujib hal 170, cetakan pertama terbitan Darul Haramain Kairo.
Di sana beliau mengatakan,
وثبت عن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم أنه قال: ((أفضل الجهاد كلمة عدل عند سلطان جائر)). والعندية لا تقتضي السرية وأن يكون مع السلطان وحده.
وأما حديث: أن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم قال: ((من كانت لديه نصيحة لذي سلطان فلينصحه سرًّا)). فهذا الحديث أصله في "صحيح مسلم" ولم تذكر هذه الزيادة ولفظ الحديث: ((إنّ الله يعذّب الّذين يعذّبون النّاس في الدّنيا)) ولم تذكر هذه الزيادة، فلا بد من نظر في هذه الزيادة، فإذا كانت الذي رواها مماثلاً لمن لم يزدها فهي زيادة مقبولة، أو من رواها أرجح ممن لم يزدها فهي زيادة مقبولة، أما إذا كانت زيادة مرجوحة فحينئذ تعتبر شاذة، وهذه اللفظة تعتبر شاذة.
وفرق بين أن تقوم وتنكر على المنبر أعمال الحاكم المخالفة للكتاب والسنة، وبين أن تستثير الناس على الخروج عليه، فالاستثارة لا تجوز إلا أن نرى كفرًا بواحًا،
"Terdapat hadits yang shahih dari Nabi, beliau bersabda, "Jihad yang paling afdhol adalah mengucapkan kebenaran di sisi penguasa yang zalim". kata-kata "di sisi" tidaklah mesti bermakna empat mata.
sedangkan hadits yang mengatakan, "Siapa yang ingin menasehati penguasa maka hendaknya dia memberikan nasehat secara empat mata", hadits ini asalnya ada di Shahih Muslim tanpa tambahan tersebut. redaksi hadits tersebut yang ada di Shahih Muslim adalah "Sesungguhnya Allah akan menyiksa orang yang menyiksa manusia di dunia" tanpa ada tambahan di atas.
Menyikapi tambahan ini, kita perlu mengadakan pentelaahan. jika para perawi yang meriwayatkan tambahan itu semisal dengan para perawi yang para perawi yang tidak membawakan tambahan maka tambahan tersebut adalah tambahan yang bisa diterima (baca:shahih). Demikian pula, jika perawi yang membawakan tambahan itu punya nilai lebih dari pada perawi yang tidak membawakan tambahan maka tambahan tersebut adalah juga tambahan yang diterima (baca:shahih).
namun jika tambahan tersebut adalah tambahan yang kurang kuat maka status tambahan tersebut adalah tambahan yang syadz (baca:lemah). Kesimpulannya, redaksi di atas adalah tambahan yang syadz (baca:dhaif).
patut dibedakan antara mengingkari kebijakan-kebijakan pemerintah yang menyelisihi al Qur'an dan sunnah di atas podium dengan melakukan agitasi agar rakyat memberontak terhadap pemerintah. Agitasi untuk memberontak itu tidak diperbolehkan kecuali jika kita melihat pemerintah memiliki kekafiran yang nyata".
Nampaknya, mungkin bisa kita simpulkan bahwa perbedaan pendapat tentang status hadits 'Iyadh bin Ghanam, dhaif ataukah shahih adalah perbedaan pendapat yang masih ada dalam ranah ijtihadiyyah di antara para ulama ahli sunnah.
Bukankan demikian, al Ustadz Abul Jauzaa'?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Terima kasih tambahan faedahnya.

Memang ada perbedaan penyikapan tentang 'ziyadah' hadits antara Syaikh Muqbil dan murid2nya dengan Syaikh Al-Albani, Syaikh Al-Arna'uth, dan yang lainnya. Khilaf penyikapan ini telah didahului oleh para muhaditsin sebagaimana ada dalam buku2 ilmu hadits. Jika dilihat secara sendiri2, ziyadah itu memang lemah. Namun jika dikumpulkan jalan2nya, maka tambahan itu kuat. Ada yang menghukumi hasan, ada yang menghukumi shahih. Selama ziyadah itu tidak bertentangan dengan riwayat induk, maka diterima menurut sebagian ahli hadits, namun ditolak oleh sebagian yang lain.

Apapun itu, penghukuman status hadits memang masuk ranah ijtihadiyyah.

Wallähu a'lam

Anonim mengatakan...

giliran orang salafy ada yg beda pendapat lalu dikatakan "masuk ranah ijtihadiyyah", kalo yg beda pendapat orang luar salafy dikatakan sesat
... dasar muka dua ...
apapun pendapat/keyakinan ente silakan dilaksanakan, kalo yakin harus nasehati pemerintah diam-diam ya semoga ente jangan omong doang, tapi lakukan, bertamu ke rumah presiden, jelaskan soal tauhid, jelaskan soal thagut
... baru habis itu ente jelasin tuh soal sujud harus lutut atau tangan dulu, sholat pake qunut kagak, dst ...

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Biasakan komentarnya yang sedikit cerdas,.... sedikit saja, gak usah banyak-banyak kalau memang tidak mampu [atau Anda biasa berkomentar 'di bawah standar' ?].

Apakah saya salah mengatakan bahwa penshahihan dan pendla'ifan hadits adalah perkara ijtihadiyyah ?. Tentu saja jika yang berselisih itu adalah dua orang ulama yang diakui kredibilitasnya.

Bukan termasuk 'perselisihan pendapat' yang diakui jika yang berselisih itu antara Asy-Syaikh Al-Albaaniy dengan si Jono preman pasar. Bukan termasuk 'perselisihan pendapat' yang diakui jika yang berselisih pendapat itu adalah Al-Imaam Al-Bukhaariy dengan saya. Anyway, siapapun boleh mengkritik pihak lain (tidak terkecuali para ulama) asalkan dengan ilmu; karena betapapun ketinggian kedudukan para ulama, mereka tidaklah ma'shum.

Kalau kemudian komentar Anda itu berkaitan dengan pembelaan Anda kepada bapak Syamsuddiin Ramadlan, maka sungguh miskin...... Beliau ini - dengan segala hormat saya - banyak melakukan kekeliruan dalam penilaian dan analisa. Meskipun mungkin hasil akhirnya beliau ini sama dengan Syaikh Muqbil atau ulama yang lainnya; namun thariqah pembahasan pak Syamsuddiin Ramadlan ini bukan thariqah ahlul-hadits atau muhaqqiq.

Menurut Anda nasihat secara diam-diam itu salah ya ?. Jika hadits itu shahih, menurut Anda saya salah membela hadits itu dari otak-atik orang-orang seperti Anda yang sepertinya ingin mengesampingkannya, semoga saya salah.

Al-Imaam Ibnu Abi 'Aashim pun telah membuat bab dalam kitabnya, As-Sunnah, dengan judul :

كيف نصيحة الرعية للولاة

"bagaimana nasihat rakyat yang dilakukan kepada imam".

kemudian beliau membawakan hadits ini.

Kalau Anda anti terhadap salafiy, gak usahlah Anda anti terhadap hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam - walau mungkin itu tidak sesuai dengan selera Anda. Karena agama ini memang tidak ditentukan oleh selera orang, termasuk Anda dan saya.

Adapun nasihat secara terang-terangan, maka itu boleh dalam kondisi tertentu sebagaimana dilakukan oleh sebagian salaf. Akan tetapi ini adalah satu keadaan yang berubah dari hukum asalnya.

Makanya itu bung, setiap bahasan para ulama itu mayoritas dibahas dan ditekankan pada hukum asal/hukum umum. Ada keadaan-keadaan khusus yang membolehkan keluar dari hukum asal. Mau contoh dalam Shahih Al-Bukhaariy ? Ini contohnya :

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ، عَنْ عِيَاضِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي سَرْحٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: " كَانَ رَسُولُ اللَّهِ K يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى، فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةُ، ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوصِيهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ، فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ، ثُمَّ يَنْصَرِفُ "، قَالَ أَبُو سَعِيدٍ: فَلَمْ يَزَلِ النَّاسُ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى خَرَجْتُ مَعَ مَرْوَانَ وَهُوَ أَمِيرُ الْمَدِينَةِ فِي أَضْحًى أَوْ فِطْرٍ، فَلَمَّا أَتَيْنَا الْمُصَلَّى إِذَا مِنْبَرٌ بَنَاهُ كَثِيرُ بْنُ الصَّلْتِ، فَإِذَا مَرْوَانُ يُرِيدُ أَنْ يَرْتَقِيَهُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَجَبَذْتُ بِثَوْبِهِ فَجَبَذَنِي، فَارْتَفَعَ فَخَطَبَ قَبْلَ الصَّلَاةِ، فَقُلْتُ لَهُ: غَيَّرْتُمْ وَاللَّهِ، فَقَالَ أَبَا سَعِيدٍ: قَدْ ذَهَبَ مَا تَعْلَمُ، فَقُلْتُ: مَا أَعْلَمُ وَاللَّهِ خَيْرٌ مِمَّا لَا أَعْلَمُ، فَقَالَ: إِنَّ النَّاسَ لَمْ يَكُونُوا يَجْلِسُونَ لَنَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَجَعَلْتُهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ

ini ada dalam Shahih Al-Bukhaariy no. 956.

Maaf, saya tidak menterjemahkan lengkap. Tapi point yang ada di situ adalah bahwa Marwan yang saat itu menjabat amir Madinah melakukan khutbah dulu sebelum 'Ied, dan ia orang yang pertama kali menyelisihi sunnah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam hal itu. Maka Abu Sa'iid Al-Khudriy mengingkari apa yang dilakukan Marwan tersebut. Bahkan ia sempat menarik bajunya ketika akan berdiri. Tidak lain ini ia lakukan karena memang pada saat itu tidak bisa ditunda karena kekhawatiran bahwa yang dilakukan Marwan menjadi sunnah menggantikan sunnah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Waktu itu semua kaum muslimin di seluruh penjuru Madinah berkumpul di tempat itu. Lantas, apa jadinya jika tidak ada satu pun orang yang mengingkari perbuatan Marwaan ?.

Adapun kalimat yang Anda tulis di bagian akhir, sangat tidak level saya menanggapinya. Maaf, saya tidak mau terlarut dengan 'ketidaktahuan' (kalau tidak mau dikatakan : kebodohan) Anda.

Semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita semua.

Anonim mengatakan...

sudah nasehati pemerintah secara empat mata belum? kan banyak waktu luang tuh pemimpin ente, daripada dia ngurusi pencitraan mulu, mending main empat mata sama ente, tak dukung :D

Haryo Ksatrio Utomo mengatakan...

perkara menasihati pemimpin..jelas para ustadz salafy sudah melakukannya..secara tersembunyi..dan para ustadz tdklah perlu mengekspos proses menasihati ini via media terbuka..untuk apa ? Dakwah thd ulil amry tdklah dng demo dsb..ulil amry menyediakan media sms, email, web site, dsb utk berkomunikasi dng ummah.

Anonim mengatakan...

Kalau misalnya perbuatan Abu Sa'id terhadap Marwan memang tidak bisa ditunda bukankah perbuatan Hisyam kepada Iyadh pun juga tidak bisa ditunda, karena penyiksaan itu sedang berlangsung, sehingga Hisyam terpaksa menegur Iyadh.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Tentang Hisyaam,....

Seperti itulah yang semula dipahami Hisyaam, namun kemudian disampaikan kepadanya hadits Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, dan kemudian ia menerimanya. Apa artinya ? Artinya, Hisyaam kemudian memahami dan membenarkan apa yang dikatakan 'Iyaadl. Ini point pokoknya. 'Alaa kulli haal, sikap penerimaan Hisyaam itu menolak equalisasi yang antum sampaikan.

Kalau antum cermati, dua hal itu sangat berbeda. Coba antum perhatikan baik-baik...

Juga, amar ma'ruf nahi munkar dari kalangan salaf kepada penguasa bukanlah hanya dilakukan oleh Abu Sa'iid saja. Perhatikan pula riwayat berikut :

عَنْ سَعِيدُ بْنُ جُمْهَانَ قَالَ لَقِيتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أَوْفَى وَهُوَ مَحْجُوبُ الْبَصَرِ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ قَالَ لِي مَنْ أَنْتَ فَقُلْتُ أَنَا سَعِيدُ بْنُ جُمْهَانَ قَالَ فَمَا فَعَلَ وَالِدُكَ قَالَ قُلْتُ قَتَلَتْهُ الْأَزَارِقَةُ قَالَ لَعَنَ اللَّهُ الْأَزَارِقَةَ لَعَنَ اللَّهُ الْأَزَارِقَةَ حَدَّثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ كِلَابُ النَّارِ قَالَ قُلْتُ الْأَزَارِقَةُ وَحْدَهُمْ أَمْ الْخَوَارِجُ كُلُّهَا قَالَ بَلَى الْخَوَارِجُ كُلُّهَا قَالَ قُلْتُ فَإِنَّ السُّلْطَانَ يَظْلِمُ النَّاسَ وَيَفْعَلُ بِهِمْ قَالَ فَتَنَاوَلَ يَدِي فَغَمَزَهَا بِيَدِهِ غَمْزَةً شَدِيدَةً ثُمَّ قَالَ وَيْحَكَ يَا ابْنَ جُمْهَانَ عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ إِنْ كَانَ السُّلْطَانُ يَسْمَعُ مِنْكَ فَأْتِهِ فِي بَيْتِهِ فَأَخْبِرْهُ بِمَا تَعْلَمُ فَإِنْ قَبِلَ مِنْكَ وَإِلَّا فَدَعْهُ فَإِنَّكَ لَسْتَ بِأَعْلَمَ مِنْهُ

Dari Sa'iid bin Jumhaan ia berkata : Aku menemui Abdullah bin Abi Aufaa, ketika itu ia tidak bisa melihat. Kemudian aku mengucapkan salam atasnya. Ia bertanya : "Siapakah engkau?". Aku menjawab : "Aku adalah Sa'iid bin Jumhaan." Ia bertanya lagi : "Apakah yang dilakukan oleh ayahmu?". Aku menjawab : "Ia telah dibunuh oleh kelompok Al-Azariqah." Ia pun berkata, "Semoga Allah melaknati kelompok Al-Azariqah. Semoga Allah melaknati kelompok Al-Azariqah. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah menceritakan kepada kami, bahwa mereka itu adalah anjing-anjingnya neraka". Aku bertanya : "Apakah hanya kelompok Al-Azariqah saja, ataukah semua kaum Khawarij?". Ia ia menjawab : "Ya, benar. Semua kaum Khawarij". Aku berkata : "Sesungguhnya para penguasa tengah mendhalimi rakyat dan berbuat tidak adil kepada mereka". Akhirnya Abdullah bin Abi Aufa menggandeng tanganku dan menggenggamnya dengan sangat erat, kemudian berkata : "Duhai celaka kamu wahai Ibnu Jumhaan. Hendaklah kamu selalu bersama As-Sawaadul-A'dham, hendaklah kamu selalu bersama As-Sawaadul-A'dham. Jika engkau ingin penguasa itu mendengar nasihatmu, maka datangilah rumahnya dan beritahulah dia apa-apa yang kamu ketahui hingga ia menerimanya. Jika tidak, maka tinggalkanlah, karena kamu tidak lebih tahu daripada dia” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/382-383; hasan].

Nasihat 'Abdullah bin Abi Aufaa ini selaras dengan hadits yang dilakukan oleh 'Iyaadl.

Apa komentar antum tentang hal ini ?

Anonim mengatakan...

Sebenarnya kalau diperhatikan dgn cermat ada kejanggalan dalam hadits Iyadh itu (andai tambahannya bisa diterima dan bukan syadz) mengapa Iyadh yg diingatkan oleh Hisyam bukan berterimakasih malah marah.
Adapun masalah mengingatkan penguasa konteksnya betul yaitu menyampaikan langsung kepada orangnya sebisa mgkn empat mata. Dan apa yg dilakukan Abu Sa'id itu tidak menyalahi pendapat Ibnu Abi Aufa karena setelah dia mengingatkan dan Marwan tidak mau terima ya sudah Abu Sa'id juga tidak angkat senjata memberontak kepada Marwan gara-gara itu.
Karena yg penting adalah menyampaikan kebenaran itu kepada penguasa, dan bila perbuatan penguasa itu dilihat banyak orang sehingga dikuatirkan menjadi acuan tentulah harus dijelaskan ke orang banyak ttg kebatilannya.
Yang menjelaskan kesalahan perbuatan seorang amir itu bukan hanya Abu Sa'id tapi juga Ubadah bin Shamit terhadap kesalahan Mu'awiyah ttg riba dalam Shahih Muslim, no. 1587, bukannya berbicara empat mata kepaa Mu'awiyah malah Ubadah mengumumkan di hadapan orang akan kesalahan tindakan Mu'awiyah.
Lalu bagaimana pula hukumnya menulis ttg orang yg bekerja di kantor pajak, padahal itukan keputusan pemerintah, mengapa tidak langsung empat mata kepada pemerintah malah menulis di blog yg bisa dibaca banyak orang?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

'Menjanggalkan' sebuah hadits shahih (dan antum telah mengatakan : 'seandainya bisa diterima') bukan sikap ahli hadits. Komentar antum itu adalah malah di luar konteks dari hadits itu sendiri, jika kita mencoba memahaminya. Kecuali kalau sikap antum dari awal adalah bukan mencoba untuk memahaminya, maka saya sangat maklum jika kemudian antum 'menjanggalkan' hadits shahih tersebut.

'Iyaadl marah ada kemungkinan merupakan sifat kemanusiawiaannya. Bukankah Imam Asy-Syaafi'iy diriwayatkan pernah berkata :

من وعظ أخاه سراً فقد نصحه وزانه ، ومن وعظه علانية فقد فضحه وخانه

“Barangsiapa yang menasihat saudaranya secara sembunyi-sembunyi, sungguh ia telah menasihatinya sekaligus mempercantiknya. Namun, barangsiapa yang menasihati saudaranya secara terang-terangan (di hadapan orang banyak), sungguh ia telah membuka aibnya dan juga mengkhianatinya” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’, 9/140].

Adapun kemudian ia menyampaikan hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, karena ia juga melihat apa yang dilakukan Hisyaam itu tidak benar dalam hal kaifiyat menasihati kepada penguasa.

Perkataan antum mengenai pembandingan sikap Abu Sa'iid dengan Ibnu Abi 'Aufaa', sangat jauh, dan terlalu 'memaksakan'. Kok bisa-bisanya nyambung ke : Mengangkat senjata (memberontak). What's the context ?

Bukankah Ibnu Abi 'Aufaa' mengatakan :

Jika engkau ingin penguasa itu mendengar nasihatmu, maka datangilah rumahnya dan beritahulah dia apa-apa yang kamu ketahui hingga ia menerimanya. Jika tidak, maka tinggalkanlah, karena kamu tidak lebih tahu daripada dia.

Apakah kurang jelas ?.

Adapun yang dilakukan Marwaan, maka 'illat nya telah saya sebutkan.

Tentang hadits 'Ubaadah,.... semoga antum telah membaca kelengkapan haditsnya. Dalam hadits tersebut, kemunkaran baru akan atau baru mulai terjadi. Maka di sini ada hajat untuk menyampaikan hadits Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam yang ia ketahui kepada Mu'aawiyyah. Dan jika ia tunda, maka praktek riba itu akan terjadi dan mungkin akan menyubur. Karena kenyataannya kemudian, Mu'aawiyyah bin Abi Sufyaan mengingkari apa yang dikatakan oleh 'Ubaadah dengan perkataannya :

ألا ما بال رجال يتحدثون عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أحاديث قد كنا نشهده ونصحبه فلم نسمعها منه

Kenapa dengan beberapa orang laki-laki yang menyampaikan beberapa hadits dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, padahal kami menyaksikan beliau dan bershahabat dengan beliau, namun kami tidak mendengar hadits-hadits tersebut dari beliau".

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ini mengindikasikan bahwa Mu'aawiyyah tidak mengetahui hadits yang disampaikan 'Ubaadah. Sebagaimana diketahui, hujjah itu ada pada pemilik hadits, bukan pada orang yang tidak memilikinya. Jika 'Ubaadah tidak menyampaikan hadits tersebut saat pengingkaran Mu'aawiyyah, maka dikhawatirkan akan terjadi pembatalan terhadap hadits Nabi yang didengar 'Ubaadah oleh orang-orang yang mendengar khutbah Mu'aawiyyah. Maka, 'Ubaadah pun berkata :

لنحدثن بما سمعنا من رسول الله صلى الله عليه وسلم وإن كره معاوية

"Sungguh, kami tetap akan menyampaikan apa yang kami dengar dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, meskipun Mu'aawiyyah tidak menyukainya".

Jika kita baca kisah itu secara lengkap, tentu kita paham kondisinya.

Asas nasihat secara sembunyi-sembunyi kepada penguasa mempunyai 'illat untuk mencegah atau meredam fitnah. Sebagaimana mungkin antum juga ketahui, hukum itu berputar pada 'illat nya. Seandainya kita melihat jika kita menyampaikan nasihat kepada penguasa secara terang-terangan tidak menimbulkan fitnah (yang lebih besar), maka boleh dilakukan.

Dan satu hal yang perlu digaris-bawahi bahwa ketika sebagian salaf melakukan pengingkaran kepada penguasa secara terang-terangan, maka mereka tidak melakukan tindakan-tindakan provokatif, mengajak orang membenci penguasa baik secara tersurat atau tersirat. Mereka melakukannya dengan tetap menjunjung asas penghormatan kepada penguasa tanpa menjelek-jelekkan. Dan lain sebagainya.

Sangat kontras keadaannya dengan orang-orang belakangan.

Adapun kalimat terakhir yang antum tulis, maka sebaiknya antum belajar dulu kitab-kitab fiqh. Apakah seandainya pemerintah membolehkan perbankan riba, lantas kita tidak boleh membahasnya ?. Apakah seandainya di sebagian instansi pemerintah memerintahkan upacara bendera, kita tidak boleh menjelaskan bahwa itu dilarang ?. Apakah seandainya pemerintah masih mewadahi beroperasinya sebagian praktek prostitusi, kita juga tidak boleh membahasnya ?. Subhaanallaah,.... dari sini kelihatan bahwa sepertinya antum memang tidak memahami hakekat permasalahan yang dibahas para ulama.

Anonim mengatakan...

Sebetulnya jawaban antum membedakan kasus Hisyam dgn Abu Sa'id atau Ubadah bin Shamit terkesan dipaksakan, para ulama kontemporer yg mambahas masalah ini sebenarnya punya jawaban yg intinya antum sendiri sudah sebutkan dalam jawaban itu, yaitu bahwa kalau memang menasehati penguasa itu lebih maslahat terang-terangan maka boleh dilakukan, itu pula yg dibahas oleh Syekh Al Utsaimin dalam Liqa bab maftuh 62 / 10:

هذا السؤال مهم، وجوابه أهم منه في الواقع، ولا شك أن إنكار المنكر واجب على كل قادر عليه، لقول الله تبارك وتعالى: { وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ * وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ } [آل عمران:104-105] واللام في قوله: (ولتكن) لام الأمر، وقال النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم: ( لتأمرن بالمعروف ولتنهون عن المنكر، ولتأخذن على يدي السفيه، ولتأطرنه على الحق أطراً أو ليضربن الله قلوب بعضكم على بعض، ثم يلعنكم كما لعنهم ) أي: كما لعن بني إسرائيل الذين قال الله عنهم: { لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرائيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ * كَانُوا لا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ } [المائدة:78-79].
ولكن يجب أن نعلم أن الأوامر الشرعية في مثل هذه الأمور لها مجال، ولا بد من استعمال الحكمة، فإذا رأينا أن الإنكار علناً يزول به المنكر ويحصل به الخير فلننكر علناً، وإذا رأينا أن الإنكار علناً لا يزول به الشر، ولا يحصل به الخير بل يزداد ضغط الولاة على المنكرين وأهل الخير، فإن الخير أن ننكر سراً، وبهذا تجتمع الأدلة، فتكون الأدلة الدالة على أن الإنكار يكون علناً فيما إذا كنا نتوقع فيه المصلحة، وهي حصول الخير وزوال الشر، والنصوص الدالة على أن الإنكار يكون سراً فيما إذا كان إعلان الإنكار يزداد به الشر ولا يحصل به الخير.

Anonim mengatakan...

Ingat Ka'b bin Ujrah malah pernah lebih sadis lagi mengingkari penguasa baca dalam shahih Muslim no. 864:
Adapun masalah Ubadah, apa susahnya Ubadah datang dulu ke Mu'awiyah mengabarkan hal itu, toh mereka dalam satu rombongan pasukan.?
Lalu apa bedanya kasus Abu Sa'id dgn Hisyam? Hisyam melihat orang-orang dijemur, kalau dia tidak segera menegur Iyadh, bisa mati itu orang. DIa juga bawakan hadits yg jelas artinya nilainya sama dgn nilai hadits haramnya riba yg dibawakan oleh Ubadah, dan kondisinya juga tidak beda dgn kondisi Abu Sa'id atau Ka'b bin Ujrah??
Masalah pajak, apakah sudah antum pastikan bahwa kasus yg antum tulis itu sama kuatnya dgn masalh riba? atau masih ada perbedaan pendapat di kalangan ulama? Apakah benar pajak mutlak haram sehingga yg bekerja di sana terancam?

Anonim mengatakan...

Satu hal lagi, Muawiyah tidak tahu akan haramnya riba dia ma'dzur karena jahil, bagaimana dgn Iyadh? Dia sudah tahu perbuatannya salah, tahu tapi diingatkan malah marah, ini salah satu indikasi lemahnya tambahan riwayat ini. Lagi pula kan Hisyam mengingatkan langsung kepada dia, bukan pidato di hadapan orang ttg keburukan Iyadh?
Atsar Ibnu Abi Aufa itu jelas dalam konteks khawarij, pemberontak, makanya dia sampaikan agar jangan seperti mereka itu.
Intinya di sini adalah andai benar hadits Iyadh bin Ghanm itu hasan tidaklah kemudian dia satu-satunya yg menjdi patokan dgn mengesampingkan hadits lain. Begitulah yg dijelaskan oleh Syekh Al Utsaimin.
Adapun maksud antum orang-rang belakangan maka harus diperjelas dulu siapa yg antum maksud? HTI kah, atau siapa? Sudah seberapa besar kerusakan akibat seminar yg dilakukan HTI ttg kegagalan pemerintah? sudah berapa korban yg jatuh karena itu?
Kalau bukan lalu siapa? MMI kah misalnya? Salahkah mereka menjelaskan kepada umat akan kesalahan pemerintah yg tidak mau berhukum dgn hukum Allah? Kalau bukan juga lalu siapa?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Lah, saya sendiri jug amengambil ibrah dari Syaikh Ibnu 'Utsaimin dimana beliau beberapa kali menyatakan boleh hukumnya mengingkari kemunkaran penguasa dengan pertimbangan maslahat dan mafsadat. Ya memang seperti itulah prinsip-prinsip pokok dalam amar ma'ruf nahi munkar sebagaimana yang dijelaskan Ibnul-Qayyim dan gurunya, Ibnu Taimiyyah.

Dari mana letak pemaksaannya 'pemahaman' dalam kasus Hisyaam ?. Bukankah saya telah katakan bahwa ketika antum hendak menyamakan kasus Abu Sa'iid, maka dhahir hadits Hisyaam dan 'Iyaadl itu menolaknya ?. Hisyaam diam dan menerima apa yang dikatakan oleh ‘Iyaadl sebagai wujud konsekuensinya atas kepatuhan terhadap sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Adapun kasus Abu Sa'iid, tidak ternukil shahabat lain yang menyaksikan perbuatannya mengingkari.

Kita memahami hadits harus disertai sikap husnudhdhan dengan kepada shahabat, jika memang hal itu masih dimungkinkan.

Perkataan antum tentang atsar Ibnu Abi 'Aufaa bahwa itu dalam konteks khawarij dan pemberontak, tetap saja saya mengatakan bahwa antum salah sambung.

Dari Sa'iid bin Jumhaan ia berkata : Aku menemui Abdullah bin Abi Aufaa, ketika itu ia tidak bisa melihat. Kemudian aku mengucapkan salam atasnya. Ia bertanya : "Siapakah engkau?". Aku menjawab : "Aku adalah Sa'iid bin Jumhaan." Ia bertanya lagi : "Apakah yang dilakukan oleh ayahmu?". Aku menjawab : "Ia telah dibunuh oleh kelompok Al-Azariqah." Ia pun berkata, "Semoga Allah melaknati kelompok Al-Azariqah. Semoga Allah melaknati kelompok Al-Azariqah. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah menceritakan kepada kami, bahwa mereka itu adalah anjing-anjingnya neraka". Aku bertanya : "Apakah hanya kelompok Al-Azariqah saja, ataukah semua kaum Khawarij?". Ia ia menjawab : "Ya, benar. Semua kaum Khawarij". Aku berkata : "Sesungguhnya para penguasa tengah mendhalimi rakyat dan berbuat tidak adil kepada mereka". Akhirnya Abdullah bin Abi Aufa menggandeng tanganku dan menggenggamnya dengan sangat erat, kemudian berkata : "Duhai celaka kamu wahai Ibnu Jumhaan. Hendaklah kamu selalu bersama As-Sawaadul-A'dham, hendaklah kamu selalu bersama As-Sawaadul-A'dham. Jika engkau ingin penguasa itu mendengar nasihatmu, maka datangilah rumahnya dan beritahulah dia apa-apa yang kamu ketahui hingga ia menerimanya. Jika tidak, maka tinggalkanlah, karena kamu tidak lebih tahu daripada dia” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/382-383; hasan].

Apa maksud bahwa perkataan Ibnu Abi 'Aufaa adalah dalam konteks khawarij ?. Memang benar, awal perkataan beliau adalah berkenaan dengan Khawarij. Tapi perkataan yang saya garis tebal tersebut adalah tidak berkaitan dengan Khawarij. Maksudnya, perkataan itu muncul ketika Sa'iid bin Jumhaan menceritakan para penguasa mendhalimi rakyatnya. Apakah antum ingin mengatakan tentang 'konteks Khawarij' bahwa penguasa dhalim yang ditanyakan itu adalah kelompok Khawarij ?. Atau, bagaimana ?. Atau,... jawaban Ibnu Abi 'Aufaa itu terkait dengan kemaslahatan asal bahwa cara menasihati penguasa adalah secara rahasia ?. Please read the sentences....

Dengan saya membawakan hadits Abu Sa'iid (dan itu bukan pembatasan), maka dengan itu pun saya mengakui bahwa metode salaf dalam menasihati penguasa bukan hanya secara sembunyi-sembunyi. So please, jangan membuat kesan bahwa sepertinya saya sedang mempertahankan pendapat bahwa itu hanya satu-satunya cara. Masih ada cara lain untuk memperpanjang kalimat.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Namun saya mengatakan asal cara menasihati penguasa adalah secara sembunyi-sembunyi. Ini terlihat dari hadits 'Iyaadl :

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً

= "Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa dalam suatu perkara, maka jangan dilakukan dengan terang-terangan..."

Ini adalah jenis kalimat umum sebagaimana dikenal dalam ilmu ushul (karena didahului oleh kata 'man'). Inilah asas dalam menjaga tersebarnya/merebaknya fitnah.

[Konteks pengingkaran 'Iyaadl kepada Hisyaam ini adalah berdasarkan keumuman hadits ini].

Atau menurut antum, konteks hadits yang disampaikan 'Iyaadl itu bukan merupakan keumuman. Perkataan Barangsiapa yang hendak menasihati penguasa...dst adalah dalam konteks khusus. Kalau ada yang mengatakan ini, maka menurut saya itu menyalahi kaedah ushul.

Dan,... ia bisa berubah dalam kondisi tertentu dengan pertimbangan maslahat dan mafsadat. Jika ada maslahat lebih besar, maka ia menjadi masyru' dilakukan.

Tentang siapanya.... saya kira antum tidak perlu memaksa saya untuk menyebutkannya. Telinga dan mata saya sudah menjadi saksi apa yang saya sebutkan berupa orasi-orasi yang menjelek-jelekkan penguasa.

Dan sungguh lucu perkataan antum :

Sudah seberapa besar kerusakan akibat seminar yg dilakukan HTI ttg kegagalan pemerintah? sudah berapa korban yg jatuh karena itu?.

Bagi orang yang memang tahu, tentu akan tahu. Jatuh korban itu bukan hanya sekedar memberontak mengangkat senjata. Tapi, akibat orasi-orasi itu, beberapa teman saya menjadi sangat benci dengan penguasa, dan kemudian terlontar kata-kata yang saya kira jika ada orang yang mengatakan kepadanya, tidak akan menyukainya.

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata :

ولكنه ينبغي لمن ظهر له غلط الإمام في بعض المسائل أن يناصحه ولا يظهر الشناعة عليه على رؤوس الأشهاد بل كما ورد في الحديث أنه يأخذ بيده ويخلو به ويبذل له النصيحة ولا يذل سلطان الله

“Akan tetapi, barangsiapa yang mengetahui kesalahan seorang imam (penguasa) dalam sebagian permasalahan, sudah selayaknya menasihati tanpa mempermalukannya di hadapan khalayak umum. Namun caranya adalah sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadits : “Hendaklah ia mengambil tangan penguasa itu dan mengajak berduaan dengannya, mencurahkan nasihat kepadanya, dan tidak menghinakan penguasa Allah”. ” [As-Sailul-Jarar, hal. 965; Daar Ibni Hazm, Cet. 1].

Anonim mengatakan...

salafy ini memang patut dicurigai mau mengimpotenkan potensi umat, gambaran kondisi pemerintahan yang ideal bagi mereka mungkin kira-kira seperti rezim suharto, gak ada demo, tapi thagut garuda pancasila dan uud 45 didoktrinkan secara sistematis ke umat.

kalau memang ulama salafy sudah menyampaikan tauhid ke pemerintah, dan pemerintah toh ternyata tetap mengingkari syariat dan lebih memilih memakai hukum thagut, bukankah seharusnya semakin jelas di mata mereka bahwa pemerintah melakukan kekafiran yang nyata.

salafy gak segan-segan menyebut khawarij, bahkan anjing-anjing neraka, kepada orang-orang yang menyeru penerapan syariat, tapi giliran melihat kekafiran pemerintah mereka diam dan berdalih harus sembunyi-sembunyi. memang kaki tangan thagut mereka ini.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Begitu ya....

Anonim mengatakan...

Kalau memang ujung-ujungnya bependapat boleh saja menasehati penguasa di depan umum, lalu apa bedanya antum dgn Hizbut Tahrir?
http://ibnufatih.wordpress.com/2011/03/10/tanggapan-balik-atas-tanggapan-rapuh-tanggapan-balik-ust-syamsuddin-ramadhan-hti-atas-tulisan-ust-abu-yahya-salafy-part-i/

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Saya tidak akan menjustifikasi perbedaan saya dengan Hizbut-Tahriir. Namun kalau antum cermat, tentu 'bisa membedakan'.

Fredy mengatakan...

Anonim berkata...
@ 26 Mei 2011 00:27

Assalamu'alaykum.

Quote :
"..Apakah benar pajak mutlak haram sehingga yg bekerja di sana terancam?"

--------------------------------------------------------------------------------

hukum asal pajak adalah HARAM, karena merupakan bentuk kedzhaliman, mengambil harta orang tanpa haq, tanpa ada kerelaan dari yang bersangkutan.

Kecuali antum punya penjelasan seterang matahari di siang bolong tentang ke-HALAL-an pajak di bumi Indonesia yang gemah ripah loh jinawi,
kaya akan berbagai macam sumber daya alam yang seharusnya bisa memakmurkan rakyatnya.

Kalo antum seorang pegawai atau karyawan swasta tentu akan paham bagaimana masygul-nya ketika THP di potong pajak,
tetapi kalo antum seorang PNS yang ppH-nya di tanggung pemerintah, maka saya maklum adanya,
apalagi PNS di departemen tertentu yang mendapat remunerasi full, tanpa potongan pajak (DTP).

Saya pribadi seorang pegawai swasta, walopun begitu saya tetap menunaikan apa yang sudah di wajibkan atas diri saya (zakat),
dan saya hadapi semua potongan2 pajak penghasilan dengan kesabaran, tanpa caci maki kepada pemerintah.

Tetapi saya pasti akan menuntut semua individu yang berkaitan dengan ini kelak, pada yaummul akhir,
karena semuanya di ambil tanpa adanya kerelaan hati. =)

SABAR it's a MUST ! RELA it's an OPTION
DEMO ? NO WAY !

Semoga Allahu ta'ala menunjukkan kita ke jalan yang lurus.

Fredy mengatakan...

Kepada Yth :
Anonim berkata...
@ 26 Mei 2011 15:50

Assalamu'alaykum.

Kalo begitu logika antum, berarti generasi salafusshalih yang menyerukan agar menasihati penguasa dengan sembunyi-sembunyi,
termasuk golongan yang "mengimpotenkan potensi umat" (??)

Lebih baik mengikuti salafusshalih -yang kata antum mengimpotenkan potensi umat-,
daripada ikut sebuah kelompok di dalam Islam, yang mempunyai manhaj ANEH tapi NYATA :

Jangankan Indonesia yang berhukum thagut, lha wong Saudi yang masih menjalankan hukum al-Qur'an dan as-Sunnah saja di kafirkan (?)

Jangankan kafe dugem tempat segala maksiyat, lha wong Rumah Sakit tempat kemanusiaan saja di BOM (??)

Semoga Allahu Ta'ala menunjukkan kita ke jalan yang lurus.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

O iya, ada yang kelewatan :

Masalah pajak, apakah sudah antum pastikan bahwa kasus yg antum tulis itu sama kuatnya dgn masalh riba? atau masih ada perbedaan pendapat di kalangan ulama? Apakah benar pajak mutlak haram sehingga yg bekerja di sana terancam?.

Tentang yang 'membolehkan' pajak, saya sudah menuliskan di sini :

Pendapat Yang ‘Membolehkan’ Pajak.

Dan seorang teman telah menterjemahkan salah satu fatwa Syaikh Al-Firkuuz :

Pajak islami.

Semoga ada manfaatnya.

Anonim mengatakan...

Mau nambahin akhi Fredy :

Jangankan kafe dugem tempat segala maksiyat, lha wong masjid tempat org sholat saja kena BOM gitu lohhh (??)

Ustadz Abul Jauzaa, antum sudah menyampaikan hujjah kepada mereka. Skrg berpulang pd mereka, klo mereka mau menerima Alhamdulillah, klo menolak, antum sudah menunaikan kewajiban antum. Klo mereka berkata salafi mengimpotenkan potensi umat (ini klo saya baca artinya adalah membuat umat jadi pengecut), yah biarkan sajalah mereka berpendapat begitu. Toh salafi memang sudah biasa kok dicap oleh kalian sebagai agen zionis yg memecah belah umat. Yg penting kita tetap dengan dakwah amar ma'ruf nahi munkar yg diajarkan salafussholih.

Fredy mengatakan...

Assalamu'alaykum.

Just sharing,

Kalau penerapan pajak di sebuah negara kondisinya seperti yang di sebutkan di dalam dua artikel rujukan diatas,
perasaan masygul -insyaAllah- bisa berubah menjadi ikhlas, karena ekses yang di timbulkan akan positif untuk eksistensi sebuah negara. -insyaAllah-

Akan tetapi penerapan pajak di sebuah negara yang di anugerahi SDA yang melimpah, baik di darat maupun di laut,
tentu akan menimbulkan banyak pertanyaan.

Kemana hasil dari SDA yang ada ?
Apa benar SDA yang ada ndak cukup untuk membiayai kebutuhan negara ?
Kenapa SDA yang ada di kelola oleh pihak asing ?
Kenapa tidak di kelola sndiri ?

dan sebagainya..

Eniwei, selama di belahan bumi Indonesia yang kaya ini masih ada manusia yang meninggal karena kelaparan dan gizi buruk,
sementara di belahan bumi yang lain ada manusia dari kalangan elit yang masih menuntut kesejahteraan* lebih dan lebih, ini dan itu.

*ironisnya kesejahteraan mereka berasal dari alokasi anggaran yang sebagian besar dari kutipan pajak.

maka sungguh tepat apa yang di katakan Imam Dzahabiy -rahimahullah-
"..bahkan dia merupakan kezhaliman itu sendiri, karena dia mengambil sesuatu yang bukan haknya dan memberikan kepada orang yang tidak berhak."

Segala puji bagi Rabb Semesta Alam, yang meneguhkan hati untuk menahan diri dari segala bentuk kedzhaliman

SABAR it's a MUST ! RELA it's an OPTION
DEMO ? NO WAY !

hadaniyallahu wa iyyakum

Fredy mengatakan...

@ Ust. Abul Jauzaa

Assalamu'alaykum.

ada yang mengganjal di dalam artikel
http://ikhwanmuslim.com/fikih/pajak-islami

disitu disebutkan perihal Amirul Mukminin 'Umar yang menerapkan pajak 2,5% untuk pedagang muslim.

shahih-kah riwayat tersebut?
apakah harta baitul mal kurang, sehingga Amirul Mukminin harus mengutip pajak dari kaum muslimin?

karena yang saya pahami, pada zaman Khalifah 'Umar justeru isi baitul mal sedang banyak-banyaknya, karena penyebaran islam yang ekspansif pada waktu itu.

Jazakallahu khayr atas perhatiannya.

NB : kalau menurut antum koment/pertanyaan saya menimbulkan syubhat bagi kaum muslimin, besar harapan saya agar tidak di tampilkan

kalau ada waktu bisa di kirim ke
hayoop@yahoo.com

Anonim mengatakan...

Pajak itu keputusan pemerintah dan kalau memang dianggap salah maka harus menyampaikan empat mata kepada pemerintah bukan menulisnya di blog. Apa bedanya antum dgn Hisyam yg telah menyampaikan hadits Rasulullah kepada Iyadh bin Ghanm (radhiyallahu anhuma) tapi Iyadh tetap menyalahkan Hisyam dgn haditsnya. KAlau memang sudah menyampaikan empat mata kepada pemerintah dan pemerintah tentu punya pertimbangan lain maka jangan disebarkan ke rakyat karena yg ada malah akan terjadi pemberontakan rakyat untuk tidak mau membayar pajak, meski antum sudah mengatakan tetap wajib bayar, tapi dgn adanya artikel itu akan membuat orang semangat untuk memberontak.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

oo sama ya.... ilmu baru bagi saya kalau begitu.

Sebab, para ulama yang menjelaskan masyru'-nya menasihati empat mata, tidak seperti itu pemahamannya tuh.

Mungkin bukan hanya tema pajak saja yang tercantum dalam Blog ini. Banyak sekali tugas saya untuk menyampaikan empat mata kalau begitu :

Hukuman Bagi Pencuri.

Belajar dan Bekerja Sebagai Akuntan.

Ini merupakan jurusan formal dari sekolah STAN yang notabene milik negara.

Komponen Riba Fadhl

Riba ini masih resmi diperbolehkan oleh pemerintah.

jadi nanti semua artikel tentang agama tidak boleh dipublikasikan kecuali melalui prosedur empat mata. Ini tidak pernah dikatakan satu pun ulama sependek pengetahuan saya......

Ilustrasi mudahnya begini,...ketika orang tua Anda salah (misal : kerja di Bank Riba - ini misalnya saja). Kira-kira cara menasihatinya apakah ketika ada orang banyak (misal ada kolega-koleganya) Anda kemudian berkata :

"Wahai bapak, pekerjaan kamu itu salah. Haram hukumnya. Itu perbuatan riba. Kalau bapak makan satu dirham hasil riba, maka itu dosanya lebih berat dari menzinahi nenek (ibu bapak)"..

Atau ketika bapak Anda tidak ada, Anda berkata kepada rekan-rekan Anda dan tetangga-tetangga Anda :

Bapakku telah memakan harta haram, yaitu riba. Jangan Anda semua meniru perbuatannya ya..

Atau..... Anda bicara secara pribadi kepada bapak Anda :

Wahai bapak, perkerjaanmu adalah haram...dst.... (dengan lemah lembut).

Mana kira-kira yang akan Anda pilih ketika Anda bertujuan agar Bapak Anda kembali kepada jalan al-haq ?.

Nah,....kemudian terkait dengan yang Anda tanyakan,.... kira-kira boleh tidak misalnya Anda menasihati adik-adik Anda, tetangga-tetangga Anda bahwa riba itu haram, haram pula bekerja di bank ?. Padahal, bapak Anda sendiri bekerja di bank.

Ini adalah orang tua yang tanggung jawabnya hanyalah kepada Anda dan anggota keluarga bapak Anda.

Nah, lantas, bagaimana dengan pemimpin yang dia di tangannya digenggam urusan umat. Yang Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan ketaatan secara khusus yang tidak dipunyai oleh orang selainnya ?.

Saya harap, ilustrasi sederhana saya dapat memberi sedikit gambaran bagi kita tentang apa yang Anda tanyakan.