Telah berkata Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah :
حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ حَدَّثَنَا صَفْوَانُ حَدَّثَنِي شُرَيْحُ بْنُ عُبَيْدٍ الْحَضْرَمِيُّ وَغَيْرُهُ قَالَ جَلَدَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ صَاحِبَ دَارِيَا حِينَ فُتِحَتْ فَأَغْلَظَ لَهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ الْقَوْلَ حَتَّى غَضِبَ عِيَاضٌ ثُمَّ مَكَثَ لَيَالِيَ فَأَتَاهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ فَاعْتَذَرَ إِلَيْهِ ثُمَّ قَالَ هِشَامٌ لِعِيَاضٍ أَلَمْ تَسْمَعْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا أَشَدَّهُمْ عَذَابًا فِي الدُّنْيَا لِلنَّاسِ فَقَالَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ يَا هِشَامُ بْنَ حَكِيمٍ قَدْ سَمِعْنَا مَا سَمِعْتَ وَرَأَيْنَا مَا رَأَيْتَ أَوَلَمْ تَسْمَعْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ وَإِنَّكَ يَا هِشَامُ لَأَنْتَ الْجَرِيءُ إِذْ تَجْتَرِئُ عَلَى سُلْطَانِ اللَّهِ فَهَلَّا خَشِيتَ أَنْ يَقْتُلَكَ السُّلْطَانُ فَتَكُونَ قَتِيلَ سُلْطَانِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
Telah menceritakan kepada kami Abul-Mughiirah : Telah menceritakan kepada kami Shafwaan : Telah menceritakan kepadaku Syuraih bin ‘Ubaid Al-Hadlramiy dan yang lainnya, ia berkata : 'Iyaadl bin Ghanm pernah mencambuk orang Dariya ketika ditaklukkan. Hisyaam bin Hakiim meninggikan suaranya kepadanya untuk menegur sehingga 'Iyaadl marah. Kemudian 'Iyaadl radliyallaahu ‘anhu tinggal beberapa malam, lalu Hisyaam bin Hakiim mendatanginya untuk memberikan alasan (apa yang telah ia perbuat sebelumnya kepada ‘Iyadl). Hisyaam berkata kepada 'Iyaadl : “Tidakkah engkau mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ’Orang yang paling keras siksaannya adalah orang-orang yang paling keras menyiksa manusia di dunia?’. 'Iyaadl bin Ghanm berkata : “Wahai Hisyaam bin Hakiim, kami pernah mendengar apa yang kau dengar dan kami juga melihat apa yang kau lihat. Namun tidakkah engkau mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : ‘Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa dalam suatu perkara, maka jangan dilakukan dengan terang-terangan. Akan tetapi gandenglah tangannya dan menyepilah berdua. Jika diterima, memang itulah yang diharapkan; namun jika tidak, maka orang tersebut telah melaksakan kewajibannya’. Engkau wahai Hisyaam, kamu sungguh orang yang lancang karena engkau berani melawan penguasa Allah. Tidakkah engkau takut jika penguasa itu membunuhmu lalu jadilah engkau orang yang dibunuh penguasa Allah tabaaraka wa ta'ala?” [Musnad Al-Imam Ahmad, 3/403-404].
Takhrij :
Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 1096 dari jalan Baqiyyah bin Al-Waliid dan Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 4/1393 dari jalan Shadaqah bin ‘Abdillah Ad-Dimasyqiy; keduanya dari Shafwaan bin ‘Amru, selanjutnya seperti sanad di atas.
Keterangan ringkas perawi yang meriwayatkan hadits di atas :
1. ‘Iyaadl bin Ghanm; ia adalah Ibnu Zuhair bin Abi Syaddaad bin Rabii’ah Al-Fihriy, seorang shahabat mulia yang ikut menyaksikan perjanjian Hudaibiyyah. Wafat pada tahun 20 H di Syaam [lihat Tajriid Asmaaush-Shahabah 1/431 no. 4669, Usudul-Ghaabah 4/315-317 no. 4161, dan Al-Ishaabah 5/50-51 no. 6135].
2. Hisyaam bin Hakiim; ia adalah Ibnu Hizaam bin Khuwailid bin Asad Al-Qurasyiy Al-Asadiy, seorang shahabat mulia yang sangat bersemangat dalam amar ma’ruf nahi munkar. Beliau masuk Islam pada saat Fathu Makkah [Tajriidu Asmaaish-Shahaabah 2/120 no. 1362, Tahdziibul-Kamaal, 30/194-198 no. 6573, dan Al-Ishaabah 6/285 no. 8964].
3. Syuraih bin ‘Ubaid Al-Hadlramiy. Al-‘Ijliy berkata : “Seorang tabi’iy dari Syaam yang tsiqah”. Duhaim berkata : “Tsiqah”. An-Nasaa’iy berkata : “Tsiqah” [Tahdziibul-Kamaal, 12/446-448 no. 2726]. Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah, akan tetapi banyak memursalkan hadits. Wafat setelah tahun 100 H” [Taqriibut-Tahdziib – bersama At-Tahriir 2/111 no. 2775].
4. Shafwaan; ia adalah Ibnu ‘Amru bin Harim As-Saksakiy, Abu ‘Amr Al-Himshiy. Ahmad bin Hanbal berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Abu Haatim mengatakan bahwa Yahyaa bin Ma’iin memujinya. ‘Amru bin ‘Aliy berkata : “Tsabt dalam hadits”. Al-‘Ijliy, Duhaim, Abu Haatim, An-Nasaa’iy, Ibnul-Mubaarak, dan yang lainnya mentsiqahkannya. [lihat : Tahdziibut-Tahdziib, 13/201-207 no. 2888]. Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah” [Taqriibut-Tahdziib – bersama At-Tahriir 2/142 no. 2938].
5. Abul-Mughiirah; ia adalah ‘Abdul-Qudduus bin Al-Hajjaaj Al-Khaulaaniy, Abul-Mughiirah Asy-Syaamiy Al-Himshiy. Ia seorang perawi tsiqah yang dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Al-Mughniy fii Ma’rifati Rijaal Ash-Shahiihain hal. 158 no. 1347].
Sanad hadits ini adalah lemah, karena keterputusan antara Syuraih dengan ‘Iyaadl dan Hisyaam.
Akan tetapi lafadh : “’Orang yang paling keras siksaannya adalah orang-orang yang paling keras menyiksa manusia di dunia’ adalah shahih. Al-Imam Ahmad membawakan hadits dari jalan lain sebagai berikut :
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ هِشَامَ بْنَ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ وَجَدَ عِيَاضَ بْنَ غَنْمٍ وَهُوَ عَلَى حِمْصَ يُشَمِّسُ نَاسًا مِنْ النَّبَطِ فِي أَدَاءِ الْجِزْيَةِ فَقَالَ لَهُ هِشَامٌ مَا هَذَا يَا عِيَاضُ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يُعَذِّبُ الَّذِينَ يُعَذِّبُونَ النَّاسَ فِي الدُّنْيَا
Telah menceritakan kepada kami Abul-Yamaan : Telah menceritakan kepada kami Syu’aib, dari Az-Zuhriy : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Urwah bin Az-Zubair : Bahwasannya Hisyaam bin Hakiim bin Hizaam mendapatkan 'Iyaadl bin Ghanm di Himsh menjemur rakyat jelata dalam masalah pembayaran jizyah. Lalu Hisyaam berkata kepadanya : “Wahai 'Iyaadl, sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Allah tabaaraka wa ta’ala menyiksa orang yang menyiksa manusia di dunia’ [Al-Musnad, 3/404].
Sanad hadits ini shahih sesuai dengan persyaratan Muslim.
Al-Imam Muslim juga membawakan hadits semakna sebagai berikut :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ هِشَامِ بْنِ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ قَالَ مَرَّ بِالشَّامِ عَلَى أُنَاسٍ وَقَدْ أُقِيمُوا فِي الشَّمْسِ وَصُبَّ عَلَى رُءُوسِهِمْ الزَّيْتُ فَقَالَ مَا هَذَا قِيلَ يُعَذَّبُونَ فِي الْخَرَاجِ فَقَالَ أَمَا إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ يُعَذِّبُ الَّذِينَ يُعَذِّبُونَ فِي الدُّنْيَا
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyaats, dari Hisyaam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari Hisyaam bin Hakiim bin Hizaam, ia berkata : Aku pernah melewati beberapa orang di Syam yang dijemur di bawah terik matahari sedangkan kepala mereka dituangi minyak. Kemudian Hisyam bertanya : “Mengapa mereka ini dihukum ?”. Dikatakan : “Mereka disiksa karena masalah pajak (kharaj)”. Hisyaam berkata : “Sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : 'Sesungguhnya Allah akan menyiksa orang-orang yang menyiksa orang lain di dunia" [Shahih Muslim no. 2613].
Sedangkan lafadh hadits : ‘Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa dalam suatu perkara, maka jangan dilakukan dengan terang-terangan. Akan tetapi gandenglah tangannya dan menyepilah berdua. Jika diterima, memang itulah yang diharapkan; namun jika tidak, maka orang tersebut telah melaksakan kewajibannya’ ; maka ia mempunyai beberapa penguat sebagai berikut :
1. Al-Imam Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah (no. 1097) berkata :
حدثنا محمد بن عوف حدثنا محمد بن اسماعيل ثنا أبي عن ضمضم بن زرعة عن شريح بن عبيد قال قال جبير بن نفير قال قال عياض بن غنم لهشام بن حكيم أو لم تسمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : .....(الحديث)....
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Auf : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ismaa’iil : Telah menceritakan ayahku, dari Dlamdlam bin Zur’ah, dari Syuraih bin ‘Ubaid, ia berkata : Telah berkata Jubair bin Nufair, ia berkata : Telah berkata ‘Iyaadl bin Ghanm kepada Hisyaam bin Hakiim : “Tidakkah engkau pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘….(al-hadits)….”.
Muhammad bin ‘Auf adalah seorang tsiqah lagi haafidh. Muhammad bin Ismaa’iil bin ‘Ayyaasy, ia seorang perawi yang lemah. Abu Haatim mengkritiknya bahwa ia tidak pernah mendengar riwayat dari ayahnya. Sedangkan ayahnya (Ismaa’iil bin ‘Ayyaasy) adalah perawi tsiqah dan haditsnya shahih jika ia meriwayatkan dari orang-orang Syaam atau penduduk negerinya. Jika ia meriwayatkan dari selain itu, maka dla’iif. Di sini, ia meriwayatkan hadits dari Dlamdlam bin Zur’ah, satu negeri dengan Ismaa’iil. Dlamdlam bin Zur’ah adalah perawi yang di-tautsiq Ibnu Ma’iin, Ahmad bin Muhammad bin ‘Iisaa, Ibnu Hibbaan, dan Ibnu Numair. Namun Abu Haatim mendla’ifkannya. Perkataan yang benar, ia adalah perawi tsiqah. Adapun jarh Abu Haatim adalah jenis jarh mubham (tidak dijelaskan sebabnya), sehingga tidak diterima jika telah tetap pen-tautsiq-annya. Syuraih bin ‘Ubaid Al-Hadlramiy, ia adalah perawi tsiqah – namun disifati banyak memursalkan hadits. Jubair bin Nufair, ia perawi tsiqah lagi jaliil. Dikatakan, ia mendapati masa kepemerintahan Al-Waliid bin ‘Abdil-Malik (86 H). Antara Syuraih dan Jubair adalah semasa (mu’asharah), sehingga riwayat Syuraih ini dihukumi bersambung.
Kesimpulannya, riwayat ini lemah dari faktor Muhammad bin Ismaa’iil bin ‘Ayyaasy.
Muhammad bin Ismaa’iil mempunyai mutaba’ah dari ‘Abdul-Wahhaab bin Adl-Dlahhaak; sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush-Shahaabah hal. 2162 no. 5425 dari Muhammad bin ‘Aliy : Telah menceritakan kepada kami Al-Husain bin Muhammad bin Hammaad : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Wahhaab bin Adl-Dlahhaak : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin ‘Ayyaasy, selanjutnya seperti sanad di atas.
Namun sayangnya ‘Abdul-Wahhaab bin Adl-Dlahhaak adalah perawi matruuk [At-Taqriib – bersama At-Tahriir 2/397 no. 4257].
2. Al-Imam Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah (1098) berkata :
حدثنا محمد بن عوف ثنا عبد الحميد بن إبراهيم عن عبدالله بن سالم عن الزبيدي عن الفضيل بن فضالة يرده إلى ابن عائذ برده ابن عائذ إلى جبير بن نفير عن عياض بن غنم قال لهشام بن حكيم : ...........(الحديث).....
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Auf : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Hamiid bin Ibraahiim, dari ‘Abdullah bin Saalim, dari Az-Zubaidiy, dari Al-Fudlail bin Fadlaalah, ia mengembalikannya kepada Ibnu ‘Aaidz, dan Ibnu ‘Aaidz mengembalikannya kepada Jubair bin Nufair, dari ‘Iyaadl bin Ghanm, ia berkata kepada Hisyaam bin Al-Hakiim : “…..(al-hadits)….”.
‘Abdul-Hamiid bin Ibraahiim adalah perawi lemah. Hapalannya tercampur setelah kitab-kitabnya hilang. ‘Abdullah bin Saalim Al-Asy’ariy, ia seorang perawi yang tsiqah. Az-Zubaidiy, ia adalah Muhammad bin Al-Waliid Az-Zubaidiy; seorang perawi tsiqah. Ibnu ‘Aaidz, ia adalah ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaidz Al-Azdiy; seorang perawi tsiqah.
Kesimpulannya, riwayat ini lemah dari faktor ‘Abdul-Hamiid bin Ibraahiim.
‘Abdul-Hamiid bin Ibraahiim mempunyai mutaba’ah dari ‘Amru bin Al-Haarits Al-Himshiy. Diriwayatkan pula oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 17/367 no. 1007, Al-Haakim 3/290, dan Al-Bukhaariy dalam At-Taariikh Al-Kabiir 7/18-19 dari jalan Ishaaq bin Ibraahiim bin Zibriiq, dari ‘Amru bin Al-Haarits Al-Himshiy, dari ‘Abdullah bin Saalim, selanjutnya seperti sanad di atas.
Mengenai Ishaaq bin Ibraahiim bin Zibriiq, Abu Haatim berkata : “Syaikh”. Ibnu Ma’iin memujinya dengan berkata : “Tidak mengapa dengannya (laa ba’sa bihi)” [Al-Jarh wat-Ta’diil 2/209 no. 711]. An-Nasaa’iy – sebagaimana dinukil Al-Mizziy – mengatakan : “Tidak tsiqah”. Namun dalam riwayat Ibnu ‘Asaakir sebagaimana yang dibawakan oleh Ibnu Badraan dalam At-Tahdziib (2/407), An-Nasaa’iy berkata : “Tidak tsiqah, jika ia meriwayatkan dari ‘Amru bin Al-Haarits”. Jadi ketidaktsiqahan ini di-taqyid dalam periwayatan dari ‘Amru. Muhammad bin ‘Auf memutlakkan kedustaan terhadapnya. Abu Dawud mengikuti Muhammad bin ‘Auf dengan perkataannya : “Tidak ada apa-apanya”. Namun perkataan keduanya ini perlu ditinjau kembali, sebab Al-Bukhaariy (dalam Shahih-nya dengan periwayatan mu’allaq), Abu Haatim, Al-Fasaawiy, dan yang lainnya membawakan riwayatnya dimana tidak ada keraguan bahwa mereka tidaklah meriwayatkan dari para pendusta yang dikenal kedustaaannya. Al-Haakim (Al-Mustadrak 3/290) dan Ibnu Hibbaan (Ats-Tsiqaat 8/113) men-tautsiq-nya. Perkataan yang benar di sini adalah bahwa Ishaaq bin Ibraahiim bin Zibriiq adalah shaduuq; riwayatnya lemah jika berasal dari ‘Amr bin Al-Haarits.
Adapun ‘Amr bin Al-Haarits; Ibnu Hibbaan berkata : “Mustaqiimul-hadiits” [Ats-Tsiqaat, 8/480]. Jika Ibnu Hibbaan telah men-jazm-kan satu penta’dilan dalam Ats-Tsiqaat, maka ta’dil tersebut diakui. Adz-Dzahabiy mentsiqahkannya (Al-Kaasyif 2/73 no. 4136), sedangkan Ibnu Hajar mengatakan : “Maqbuul” [At-Taqriib – bersama At-Tahriir 3/89 no. 5001].
Hadits ini dengan keseluruhan jalannya adalah shahih li-ghairihi.
[Takhrij bahasan banyak mengambil faedah dari takhrij Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Dhilaalul-Jannah 2/521-523, Dr. Baasim bin Faishal Al-Jawaabirah dalam As-Sunnah hal. 737-738, Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth dalam Takhrij Musnad Al-Imam Ahmad 24/49-50, dan Dr. ‘Abdus-Salaam bin Barjaas dalam Mu’aamalatul-Hukkaam hal. 116-123].
Faedah :
Nasihat dalam Islam menduduki tempat yang sangat penting, karena nasihat merupakan inti syari’at Allah yang diturunkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabdanya :
عَنْ تَميمٍ الدَّاريِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : أنَّ النَّبيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال : (( الدِّينُ النَّصيحَةُ ثلاثاً )) ، قُلْنا : لِمَنْ يا رَسُولَ اللهِ ؟ قالَ : (( للهِ ولِكتابِهِ ولِرَسولِهِ ولأئمَّةِ المُسلِمِينَ وعامَّتِهم
Dari Tamiim Ad-Daariy radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Agama itu nasihat” – tiga kali – . Kami (para shahabat) bertanya : “Kepada siapa wahai Rasulullah ?”. Beliau bersabda : “(Nasihat) kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin, dan seluruh kaum muslimin” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 55, Al-Humaidiy no. 837, Ahmad 4/102, An-Nasaa’iy 7/156-157, Ibnu Hibbaan no. 4575, Abu ‘Awaanah 1/36-37, Ath-Thabaraaniy no. 1260 & 1263, Al-Baghawiy no. 3514, dan yang lainnya].
Hampir semua sisi Islam tersentuh dalam hadits nasihat di atas, termasuk dalam hal ini nasihat kepada penguasa kaum muslimin dan rakyatnya.
Al-Haafidh Ibnu Rajab rahimahullah berkata :
وأما النصيحة لأئمة المسلمين فحب صلاحهم ورشدهم وعدلهم وحب اجتماع الأمة عليهم وكراهة افتراق الأمة عليهم والتدين بطاعتهم في طاعة الله عز وجل والبغض لمن رأى الخروج عليهم وحب إعزازهم في طاعة الله عز وجل
“Adapun nasihat untuk para pemimpin kaum muslimin adalah dalam bentuk cinta kebaikan, petunjuk, dan keadilan mereka; cinta persatuan umat kepada mereka, benci perpecahan umat kepada mereka, mentaati mereka dalam taat kepada Allah ‘azza wa jalla, marah kepada orang yang keluar dari ketaatan terhadap mereka, dan cinta keperkasaan (kemauan keras) mereka dalam taat kepada Allah ‘azza wa jalla” [Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam, 1/232].
Al-Haafidh Ibnu Shalah rahimahullah berkata :
والنصيحة لأئمة المسلمين : معاونتُهم على الحق ، وطاعتُهم فيه ، وتذكيرهم به ، وتنبيههم في رفق ولطف ، ومجانبة الوثوب عليهم ، والدعاء لهم بالتوفيق وحث الأغيار على ذلك
“Nasihat untuk para pemimpin kaum muslimin adalah membantu mereka di atas kebenaran, taat kepada mereka dalam hal tersebut, mengingatkan mereka kepada hal tersebut, menasihati/mengingatkan mereka dengan santun dan lemah lembut, tidak menyerang mereka, mendoakan kebaikan untuk mereka, dan lain-lain” [Lihat : Shiyaanatu Shahiih Muslim, hal. 223-224 – melalui perantaraan Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam, 1/233].
Inti nasihat kepada pemimpin kaum muslimin (dan juga kaum muslimin seluruhnya) adalah ajakan berbuat baik dan pelarangan dari perbuatan munkar. Ketika Allah dan Rasul-Nya memerintahkan manusia untuk berbuat sesuatu, tentu akan turun pula petunjuk bagaimana melaksanakan sesuatu itu. Sungguh mustahil jika perkara yang besar tersebut tidak diatur oleh Syaari’; sedangkan dalam buang air kecil saja, Islam telah menerangkan adab-adabnya.
Al-Haafidh Ibnu Rajab rahimahullah berkata saat menerangkan aturan umum Islam dalam menasihati kaum muslimin :
وكان السَّلفُ إذا أرادوا نصيحةَ أحدٍ ، وعظوه سراً حتّى قال بعضهم : مَنْ وعظ أخاه فيما بينه وبينَه فهي نصيحة، ومن وعظه على رؤوس الناس فإنَّما وبخه
“Adalah generasi salaf jika ingin menasihat seseorang, mereka menasihatinya secara rahasia, hingga salah seorang dari mereka berkata : ‘Barangsiapa menasihati saudaranya secara empat mata, itulah nasihat. Barangsiapa yang menasihatinya di depan manusia, sungguh ia sedang menjelek-jelekkannya” [Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam, 1/236, tahqiq : Dr. Muhammad Al-Ahmadiy Abun-Nuur; Daarus-Salaam, Cet. 2/1424 H, Kairo].
Al-Imam Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata :
من وعظ أخاه سراً فقد نصحه وزانه ، ومن وعظه علانية فقد فضحه وخانه
“Barangsiapa yang menasihat saudaranya secara sembunyi-sembunyi, sungguh ia telah menasihatinya sekaligus mempercantiknya. Namun, barangsiapa yang menasihati saudaranya secara terang-terangan (di hadapan orang banyak), sungguh ia telah membuka aibnya dan juga mengkhianatinya” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’, 9/140].
Jika ini prinsip dasar dalam nasihat kepada kaum muslimin, lantas bagaimana halnya dengan pemimpin mereka yang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentangnya :
السُّلْطَانُ ظِلُّ اللهِ فِي الْأَرْضِ، فَمَنْ أَكْرَمَهُ أَكْرَمَهُ اللهُ، وَمَنْ أَهَانَهُ أَهَانَهُ اللهُ.
“Sulthan (pemimpin kaum muslimin) adalah naungan Allah di muka bumi. Barangsiapa yang memuliakannya, maka Allah akan muliakan pula ia. Dan barangsiapa yang menghinakannya, maka Allah akan hinakan pula ia” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim no. 1024; hasan lighairihi. Lihat Dhilaalul-Jannah hal. 492; Al-Maktab Al-Islaamiy, Cet. 1/1400] ?
Tentu saja apa yang dianjurkan untuk dilakukan kepada kaum muslimin lebih ditekankan lagi kepada pemimpin mereka.
Islam telah memberikan syari’at yang penuh hikmah dalam kaifiyah menasihati penguasa muslim. Satu syari’at yang menjadi ciri Ahlus-Sunnah dalam meredam fitnah dan menginginkan kebaikan yang luas bagi kaum muslimin.
عَنْ أَبِي وَائِلٍ قَالَ قِيلَ لِأُسَامَةَ لَوْ أَتَيْتَ فُلَانًا فَكَلَّمْتَهُ قَالَ إِنَّكُمْ لَتُرَوْنَ أَنِّي لَا أُكَلِّمُهُ إِلَّا أُسْمِعُكُمْ إِنِّي أُكَلِّمُهُ فِي السِّرِّ دُونَ أَنْ أَفْتَحَ بَابًا لَا أَكُونُ أَوَّلَ مَنْ فَتَحَهُ
Dari Abu Waail ia berkata : Dikatakan kepada Usaamah (bin Zaid) : “Seandainya engkau temui Fulan (yaitu 'Utsmaan bin 'Affaan radliyallaahu 'anhu) lalu kamu berbicara dengannya". Usaamah berkata : "Sesungguhnya kalian telah memandang bahwa aku tidak berbicara dengannya kecuali aku perdengarkan kepada kalian semua. Sungguh aku sudah berbicara kepadanya secara rahasia, sedangkan aku tidak ingin membuka satu pintu (fitnah) dimana aku menjadi orang yang pertama membukanya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. dan Muslim no. 2989].
Usaamah bin Zaid radliyallaahu ‘anhu tidak ingin menjadi sumber fitnah baru di kala banyak kaum muslimin terfitnah oleh dusta yang dihembuskan kaum munafikin pada masa pemerintahan Khalifah ‘Utsmaan bin ‘Affaan radliyallaahu ‘anhu, dimana beliau dan para pejabat yang mendampinginya dituduh telah banyak melakukan penyelewengan (dan sungguh jauh sangkaan mereka itu – Abu Al-Jauzaa’).
Sebagian kaum muslimin menyangka bahwa nasihat yang diberikan kepada penguasa secara sembunyi-sembunyi (rahasia) adalah jika kesalahan penguasa tersebut juga dilakukan sembunyi-sembunyi. Jika tidak, maka boleh menasihatinya secara terang-terangan – bahkan mencelanya – berdasarkan hadits :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنْ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Setiap umatku dimaafkan (dosanya) kecuali orang-orang yang menampak-nampakkannya. Dan sesungguhnya diantara menampak-nampakkan (dosa) adalah seorang hamba yang melakukan amalan di waktu malam sementara Allah telah menutupinya kemudian di waktu pagi dia berkata : 'Wahai fulan semalam aku telah melakukan ini dan itu, ' padahal pada malam harinya (dosanya) telah ditutupi oleh Rabb-nya. Ia pun bermalam dalam keadaan (dosanya) telah ditutupi oleh Rabb-nya dan di pagi harinya ia menyingkap apa yang telah ditutupi oleh Allah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6069 dan Muslim no. 2990].
Ini keliru, bertentangan dengan apa yang dipahami para shahabat radliyallaahu ‘anhum. Hadits Abu Hurairah di atas adalah hukum umum, sedangkan hadits ‘Iyaadl bin Ghanm telah men-takhshish-nya. Bukankah kekeliruan ‘Iyaadl bin Ghanm yang diingkari Hisyaam bin Hakiim jenis kekeliruan yang nampak lagi tidak tersembunyi ? Setelah menyadari kekeliruannya akibat pengingkaran Hisyaam tersebut, ‘Iyaadl pun mengingkari kaifiyah pengingkaran (nasihat) tersebut karena ia anggap bertentangan dengan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang perintah untuk menasihati penguasa secara sembunyi-sembunyi (rahasia). Setelah itu, Hisyaam bin Hakiim pun tunduk dan menerima hadits yang disampaikan ‘Iyaadl sebagai wujud taslim-nya kepada sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” [QS. Al-Ahzaab : 36].
Perhatikan pula riwayat berikut :
عن سعيد بن جبير قال قلت لابن عباس آمر إمامي بالمعروف قال إن خشيت أن يقتلك فلا فإن كنت فاعلا ففيما بينك وبينه
Dari Sa’iid bin Jubair ia berkata : Aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbaas : “Apakah aku perlu mengajak pemimpinku kepada kebaikan ?”. Ibnu ‘Abbaas menjawab : “Jika engkau takut ia akan membunuhmu, maka tidak usah. Namun jika kamu memang harus melakukannya, maka lakukanlah (ajakan/nasihat tersebut) hanya antara engkau dan ia saja” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan no. 7186, Ibnu Abi Syaibah 15/75, dan Ibnu Abid-Dunyaa dalam Al-Amru bil-Ma’ruuf wan-Nahyi ‘anil-Munkar hal. 113; shahih].
Perhatikan pula riwayat berikut :
عَنْ سَعِيدُ بْنُ جُمْهَانَ قَالَ لَقِيتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أَوْفَى وَهُوَ مَحْجُوبُ الْبَصَرِ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ قَالَ لِي مَنْ أَنْتَ فَقُلْتُ أَنَا سَعِيدُ بْنُ جُمْهَانَ قَالَ فَمَا فَعَلَ وَالِدُكَ قَالَ قُلْتُ قَتَلَتْهُ الْأَزَارِقَةُ قَالَ لَعَنَ اللَّهُ الْأَزَارِقَةَ لَعَنَ اللَّهُ الْأَزَارِقَةَ حَدَّثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ كِلَابُ النَّارِ قَالَ قُلْتُ الْأَزَارِقَةُ وَحْدَهُمْ أَمْ الْخَوَارِجُ كُلُّهَا قَالَ بَلَى الْخَوَارِجُ كُلُّهَا قَالَ قُلْتُ فَإِنَّ السُّلْطَانَ يَظْلِمُ النَّاسَ وَيَفْعَلُ بِهِمْ قَالَ فَتَنَاوَلَ يَدِي فَغَمَزَهَا بِيَدِهِ غَمْزَةً شَدِيدَةً ثُمَّ قَالَ وَيْحَكَ يَا ابْنَ جُمْهَانَ عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ إِنْ كَانَ السُّلْطَانُ يَسْمَعُ مِنْكَ فَأْتِهِ فِي بَيْتِهِ فَأَخْبِرْهُ بِمَا تَعْلَمُ فَإِنْ قَبِلَ مِنْكَ وَإِلَّا فَدَعْهُ فَإِنَّكَ لَسْتَ بِأَعْلَمَ مِنْهُ
Dari Sa'iid bin Jumhaan ia berkata : Aku menemui Abdullah bin Abi Aufaa, ketika itu ia tidak bisa melihat. Kemudian aku mengucapkan salam atasnya. Ia bertanya : "Siapakah engkau?". Aku menjawab : "Aku adalah Sa'iid bin Jumhaan." Ia bertanya lagi : "Apakah yang dilakukan oleh ayahmu?". Aku menjawab : "Ia telah dibunuh oleh kelompok Al-Azariqah." Ia pun berkata, "Semoga Allah melaknati kelompok Al-Azariqah. Semoga Allah melaknati kelompok Al-Azariqah. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah menceritakan kepada kami, bahwa mereka itu adalah anjing-anjingnya neraka". Aku bertanya : "Apakah hanya kelompok Al-Azariqah saja, ataukah semua kaum Khawarij?". Ia ia menjawab : "Ya, benar. Semua kaum Khawarij". Aku berkata : "Sesungguhnya para penguasa tengah mendhalimi rakyat dan berbuat tidak adil kepada mereka". Akhirnya Abdullah bin Abi Aufa menggandeng tanganku dan menggenggamnya dengan sangat erat, kemudian berkata : "Duhai celaka kamu wahai Ibnu Jumhaan. Hendaklah kamu selalu bersama As-Sawaadul-A'dham, hendaklah kamu selalu bersama As-Sawaadul-A'dham. Jika engkau ingin penguasa itu mendengar nasihatmu, maka datangilah rumahnya dan beritahulah dia apa-apa yang kamu ketahui hingga ia menerimanya. Jika tidak, maka tinggalkanlah, karena kamu tidak lebih tahu daripada dia” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/382-383; hasan].
Inilah yang seharusnya diamalkan oleh kaum muslimin dalam muamalahnya terhadap penguasa muslim.
Al-Haafidh Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :
وقوله ومناصحة أئمة المسلمين هذا ايضا مناف للغل والغش فإن النصيحة لا تجامع الغل إذ هي ضده فمن نصح الأئمة والأمة فقد برئ من الغل وقوله ولزوم جماعتهم هذا ايضا مما يطهر القلب من الغل والغش فإن صاحبه للزومه جماعة المسلمين يحب لهم ما يحب لنفسه ويكره لهم ما يكره لها ويسوؤه ما يسؤوهم ويسره ما يسرهم وهذا بخلاف من انجاز عنهم واشتغل بالطعن عليهم والعيب والذم لهم كفعل الرافضة والخوارج والمعتزلة وغيرهم فإن قلوبهم ممتلئة نحلا وغشا ولهذا تجد الرافضة ابعد الناس من الاخلاص اغشهم للائمة والامة واشدهم بعدا عن جماعة المسلمين
“Dan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘dan nasihat kepada para pemimpin kaum muslimin’; hadits ini mengandung pengertian menghilangkan sifat iri dan dengki, karena nasihat tidak mungkin bersatu dengan kedengkian, bahkan ia (nasihat) adalah lawannya. Oleh karena itu, barangsiapa yang menegakkan nasihat kepada para imam dan rakyat biasa, berarti dia telah terlepas dari sifat dengki. Adapun sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘dan tetap berpegang kepada al-jama’ah mereka’; ini juga termasuk satu hal yang bisa membersihkan hati dari sifat iri dan dengki. Karena pelakunya, dengan menetapi jama’ah kaum muslimin, berarti dia mencintai mereka sebagaimana cintanya kepada diri sendiri. Dan akan menyakitkannya apa yang membuat mereka sakit. Akan membuatnya mudah (lapang) apa yang memudahkan mereka. Hal ini berbeda jauh dengan keadaan orang yang menentang (membelot) dari imam dan menyibukkan diri dengan celaan-celaan kepada mereka, serta (membeberkan) aib dan menghinakan mereka, seperti tindakan Rafidlah, Khawarij, Mu’tazillah, dan yang sejenis dengan mereka; karena hati mereka telah dipenuhi dengan rasa dengki. Oleh karena itu kamu akan dapati bahwa Rafidlah adalah sejauh-jauh manusia dari rasa ikhlash dan sedengki-dengki manusia terhadap para penguasa dan rakyat jelata, serta sejauh-jauh manusia dari jama’ah kaum muslimin….” [Miftah Daaris-Sa’adah, 1/72-73; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah].
Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata saat menjelaskan hadits Usaamah radliyallaahu ‘anhumaa:
قال المهلّب : أرادوا من أسامة أن يكلم عثمان، وكان من خاصته، وممن يختلف عليه في شأن الوليد بن عقبة، لأنه كان ظهر عليه ريح نبيذ، وشهر أمره، وكان أخا عثمان لأمه، وكان يستعمله، فقال أسامة : (قد كلمته سراً دون أن أفتح بابًا) أي : باب الإنكار على الأئمة علانية، خشية أن تفترق الكلمة .
وقال عياض : مراد أسامة : أنه لا يفتح باب المجاهرة بالنكير على الإمام؛ لما يخشى من عاقبة ذلك، بل يتلطّف به، وينصحه سرًا، فذلك أجدر بالقبول
“Telah berkata Muhallab : ‘Mereka menginginkan agar Usaamah berbicara dengan ‘Utsmaan karena Usaamah termasuk orang yang dekat dengan ‘Utsmaan, dan berselisih dengannya dalam perkara Al-Waliid bin ‘Uqbah karena tercium darinya bau khamr, dan telah masyhur perkara tersebut. Ia (al-Waliid) juga merupakan saudara seibu ‘Utsmaan dan ‘Utsmaan mengangkatnya sebagai salah satu pegawainya. Usamah berkata : ‘Sungguh aku telah mengajaknya berbicara akan tetapi aku tidak mau membuka sebuah pintu’. Artinya pintu pengingkaran kepada penguasa secara terang-terangan karena khawatir akan memecah-belah persatuan.
‘Iyaadl berkata : ‘Maksud Usaamah adalah ia tidak mau membuka pintu terang-terangan dalam mengingkari seorang pemimpin karena khawatir akibat buruk yang ditimbulkanya. Akan tetapi ia bersikap lemah-lembut kepadanya (‘Utsmaan) dan menasihatinya secara diam-diam. Yang demikian tentu lebih dapat diterima” [Fathul-Baariy, 13/52].
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata :
ولكنه ينبغي لمن ظهر له غلط الإمام في بعض المسائل أن يناصحه ولا يظهر الشناعة عليه على رؤوس الأشهاد بل كما ورد في الحديث أنه يأخذ بيده ويخلو به ويبذل له النصيحة ولا يذل سلطان الله وقد قدمنا في أول كتاب السير هذا أنه لا يجوز الخروج على الأئمة وإن بغوا في الظلم أي مبلغ ما أقاموا الصلاة ولم يظهر منهم الكفر البواح والأحاديث الواردة في هذا المعنى متواترة ولكن على المأموم أن يطيع الإمام في طاعة الله ويعصيه في معصية الله فإنه لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق.
“Akan tetapi, barangsiapa yang mengetahui kesalahan seorang imam (penguasa) dalam sebagian permasalahan, sudah selayaknya menasihati tanpa mempermalukannya di hadapan khalayak umum. Namun caranya adalah sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadits : “Hendaklah ia mengambil tangan penguasa itu dan mengajak berduaan dengannya, mencurahkan nasihat kepadanya, dan tidak menghinakan penguasa Allah”. Telah kami paparkan diawal buku As-Siyar bahwa tidak boleh memberontak kepada imam-imam (pemerintah) kaum muslimin walaupun mereka sampai berbuat kedhaliman apapun selama mereka menegakkan shalat dan tidak nampak kekufuran yang nyata dari mereka. Hadits-hadits yang diriwayatkan dengan makna seperti ini adalah mutawatir. Namun wajib bagi orang yang dipimpin untuk mentaati imam dalam ketaatan kepada Allah dan mendurhakainya bila ia mengajak bermaksiat kepada Allah. Sebab tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq” [As-Sailul-Jarar, hal. 965; Daar Ibni Hazm, Cet. 1].
Ibnun-Nahhaas rahimahullaah berkata :
وَيَخْتَارُ الْكَلَامَ مَعَ السُّلْطَانِ فِي الْخَلْوَةِ عَلَى الْكَلَامِ مَعَهُ عَلَى رُؤُوسِ الْأَشْهَادِ، بَلْ يَوَدُّ لَوْ كَلَّمَهُ سِرًَّا، وَنَصَحَهُ خُفْيَةً مِنْ غَيْرِ ثَالِثٍ لَهُمَا.
“Dan hendaknya (seseorang) memilih pembicaraan (dalam rangka nasihat) kepada penguasa di tempat yang bebas/jauh dari khalayak. Bahkan lebih disukai kalau ucapan itu disampaikan secara sembunyi-sembunyi dan menasihatinya dengan diam-diam tanpa orang ketiga antara keduanya” [Tanbiihul-Ghaafiliin, hal. 64].
Asy-Syaikh ‘Abdul-‘Aziiz bin Baaz rahimahullah berkata :
لَيْسَ مِنْ مَنْهَجِ السَّلَفِ التَّشْهِيْرُ بِعُيُوبِ الْوُلاةِ وَذِكْرُ ذَلِكَ عَلَى الْمَنَابِرِ، لِأَنَّ ذَلِكَ يُفْضِي إِلَى الْفَوْضَى، وَعَدَمِ السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْمَعْرُوفِ، وَيُفْضِي إِلَى الخَوْضِ الَّذِيْ يَضُرُّ وَلَا يَنْفَعُ.
وَلَكِنَّ الطَّرِيْقَةَ الْمُتَّبَعَةَ عِنْدَ السَّلَفِ : النَّصِيْحَةُ فِيمَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ السُّلْطانِ، وَالْكِتَابَةُ إِلَيْهِ، أَوِ الاتِّصَالُ بالْعُلَمَاءِ الَّذِينَ يَتَّصِلُونَ بِهِ حَتَّى يُوَجّهَ إِلَى الْخَيْرِ.
وَإِنْكَارُ الْمُنْكَرِ يَكُونُ مِنْ دونِ ذِكْرِ الْفَاعِلِ، فَيُنْكَرُ الزِّنَى، وَيُنْكَرُ الْخَمْرُ، وَيُنْكَرُ الرِّبَا، مِنْ دُونِ ذِكْرِ مَنْ فَعَلَهُ، وَيَكْفِي إِنْكَارُ الْمَعَاصِي وَالتَّحْذِيْرُ مِنْهَا مِنْ غَيْرِ ذِكْرِ أَنَّ فُلَانًايَفْعَلُهَا، لَا حَاكِمٌ وَلَا غَيْرُ حَاكِمٍ. وَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتنَةُ فِي عَهْدِ عُثْمَانَ، قَالَ بَعضُ النَّاسِ لِأُسَامَةَ ابْنِ زَيْدٍ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - : أَلَا تُنكِرُ عَلَى عُثْمَانَ ؟
قَالَ : أَأُنْكِرُ عَلَيْهِ عِنْدَ النَّاسِ ؟ لَكِنْ أُنْكِرُ عَلَيْهِ بَيْنِي وَبَيْنَهُ، وَلَا أَفْتَحُ بَابَ شَرٍّ عَلَى النَّاسِ.
وَلَمَّا فَتَحُوا الشَّرّ فِي زَمَنِ عُثْمَانَ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - ، وَأَنْكَرُوا عَلَى عُثمَانَ جَهْرَةً تَمَّتِ الْفِتْنَةُ وَالْقِتَالُ وَالْفَسَادُ الَّذِيْ لا يَزَالُ النَاسُ فِي آثَارِهِ إِلَى الْيَوْمِ، حَتَّى حَصَلَتِ الْفِتْنَةُ بَيْنَ عَلِيٍّ وَمَعَاوِيَةَ، وَقُتِلَ عُثْمَانُ وَعَلِيٌُّ بِأَسْبَابِ ذَلِكَ، وَقُتِلَ جَمٌُّ كَثِيْرٌ مِنَ الصَّحَابَةِ وَغَيْرْهِمْ بِأَسْبَابِ الْإِنْكَارِ الْعَلَنِيِّ وَذِكْرِ الْعُيُوْبِ عَلَنًا، حَتَّى أَبْغَضَ النَّاسُ وَلِيَّ أَمْرِهِمْ، وَحَتَّى قَتَلُوهُ. نَسْأَلُ اللهَ العَافِيَةَ.
وَلَكِنَّ الطَّرِيْقَةَ الْمُتَّبَعَةَ عِنْدَ السَّلَفِ : النَّصِيْحَةُ فِيمَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ السُّلْطانِ، وَالْكِتَابَةُ إِلَيْهِ، أَوِ الاتِّصَالُ بالْعُلَمَاءِ الَّذِينَ يَتَّصِلُونَ بِهِ حَتَّى يُوَجّهَ إِلَى الْخَيْرِ.
وَإِنْكَارُ الْمُنْكَرِ يَكُونُ مِنْ دونِ ذِكْرِ الْفَاعِلِ، فَيُنْكَرُ الزِّنَى، وَيُنْكَرُ الْخَمْرُ، وَيُنْكَرُ الرِّبَا، مِنْ دُونِ ذِكْرِ مَنْ فَعَلَهُ، وَيَكْفِي إِنْكَارُ الْمَعَاصِي وَالتَّحْذِيْرُ مِنْهَا مِنْ غَيْرِ ذِكْرِ أَنَّ فُلَانًايَفْعَلُهَا، لَا حَاكِمٌ وَلَا غَيْرُ حَاكِمٍ. وَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتنَةُ فِي عَهْدِ عُثْمَانَ، قَالَ بَعضُ النَّاسِ لِأُسَامَةَ ابْنِ زَيْدٍ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - : أَلَا تُنكِرُ عَلَى عُثْمَانَ ؟
قَالَ : أَأُنْكِرُ عَلَيْهِ عِنْدَ النَّاسِ ؟ لَكِنْ أُنْكِرُ عَلَيْهِ بَيْنِي وَبَيْنَهُ، وَلَا أَفْتَحُ بَابَ شَرٍّ عَلَى النَّاسِ.
وَلَمَّا فَتَحُوا الشَّرّ فِي زَمَنِ عُثْمَانَ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - ، وَأَنْكَرُوا عَلَى عُثمَانَ جَهْرَةً تَمَّتِ الْفِتْنَةُ وَالْقِتَالُ وَالْفَسَادُ الَّذِيْ لا يَزَالُ النَاسُ فِي آثَارِهِ إِلَى الْيَوْمِ، حَتَّى حَصَلَتِ الْفِتْنَةُ بَيْنَ عَلِيٍّ وَمَعَاوِيَةَ، وَقُتِلَ عُثْمَانُ وَعَلِيٌُّ بِأَسْبَابِ ذَلِكَ، وَقُتِلَ جَمٌُّ كَثِيْرٌ مِنَ الصَّحَابَةِ وَغَيْرْهِمْ بِأَسْبَابِ الْإِنْكَارِ الْعَلَنِيِّ وَذِكْرِ الْعُيُوْبِ عَلَنًا، حَتَّى أَبْغَضَ النَّاسُ وَلِيَّ أَمْرِهِمْ، وَحَتَّى قَتَلُوهُ. نَسْأَلُ اللهَ العَافِيَةَ.
“Bukan termasuk manhaj salaf perbuatan menyebarkan aib-aib penguasa dan menyebutkanya di atas mimbar-mimbar, karena hal itu akan membawa kepada kekacauan serta melenyapkan sikap mendengar dan taat kepada penguasa dalam perkara yang ma’ruf. Bahkan tindakan ini dapat mengarah kepada pemberontakan yang hanya menghasilkan kerugian tanpa manfaat.
Dan yang termasuk jalan mengikuti generasi salaf atas permasalahan yang terjadi di antara mereka adalah : Menasihatinya, menulis surat kepadanya, atau menyampaikannya lewat ulama yang berhubungan dengannya hingga kemudian ia diarahkan kepada kebaikan.
Pencegahan kemunkaran seharusnya dilakukan tanpa menyebutkan jati diri pelakunya, seperti halnya diingkarinya minuman keras, zina, dan riba tanpa menyebutkan pelakunya. Cukuplah mengingkari kemaksiatan dan memperingatkan jeleknya perbuatan itu tanpa menyebutkan bahwa Fulan telah melakukannya; baik pelakunya penguasa atau bukan.
Ketika terjadi fitnah di jaman ‘Utsmaan, maka berkatalah sebagian orang kepada Usaamah bin Zaid – radliyallaahu ‘anhu - : ‘Apakah engkau tidak mengingkari ‘Utsmaan ?’. Ia (Usaamah) berkata : ‘Apakah aku akan mengingkarinya di hadapan orang-orang ?. (Tidak), akan tetapi aku mengingkarinya secara empat mata, sebab aku tidak akan membuka pintu kejelekan di hadapan manusia’.
Ketika mereka membuka (pintu) kejelekan di jaman ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhu, dan mereka pun mengingkari ‘Utsmaan secara terang-terangan, terjadilah fitnah, peperangan, dan kerusakan yang pengaruhnya masih tetap ada hingga hari ini. Dan meletuslah fitnah antara ‘Aliy dan Mu’aawiyyah dimana ‘Aliy, ‘Utsmaan, dan sejumlah shahabat serta selain mereka terbunuh dengan sebab pengingkaran kemunkaran dan penyebutan aib-aib secara terang-terangan. Sampai-sampai ada sebagian manusia membenci pemimpin mereka sendiri hingga akhirnya mereka pun membunuhnya. Kita memohon keselamatan kepada Allah” [Huquuqur-Raa’iy war-Ra’iyyah oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin – di bagian akhir risalah – hal. 27-28].
Semoga yang sedikit ini ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – 1431 H]. bersambung ke : sini.
Comments
Tiga postingan yang bermanfaat ( Batasan Tasyabuh yang diharamkan , beberapa kaidah yang berkaitan dengan kepemimpinan & yang ini )cukup jelas dipahami , semoga dibaca dan dipahami juga oleh saudara kita yang masih suka dengan gaya-gaya kufar.
Sangat sedih hati ini ketika melihat orang yang menisbatkan kepada Islam , namun justru berbangga dengan apa-apa yang datangnya bukan dari Islam dan lebih parahnya lagi Islam dijadikan kendaraan politiknya.
Ya Allah , selamatkanlah bangsa ini dari fitnah yang senantiasa Engkau berikan , jadikanlah hati saudara kami lembut dan santun .
Jazakallah khair atas tulisannya.
ustad,
ternyata ada dalilnya tentang orang2 yg menentang penguasa muslim yg dzalim, secara terang2-an di muka umum (demontrasi), diulas secara detail dan terperinci oleh ust. farid nu'man di situs-nya kader tarbiyyah pks ini : http://www.islamedia.web.id/2011/02/bagaimana-hukum-menggulingkan.html
bahkan menurut syaikh yusuf qardhawi, yg meninggal karena demo di mesir adalah syahid : http://hidayatullah.com/read/15165/05/02/2011/al-qaradhawi:-korban-tewas-demonstrasi-mesir-itu-syahid-.html
apakah ada bantahan khusus ustad ?
makasih atas jawabannya.
Tentang bantahan khusus, untuk sementara ini saya belum berpikir demikian. Adapun untuk tulisan beliau (Ust. Farid Nu'man Hasan), maka beliau menukil beberapa riwayat lemah untuk hujjah. Dan seterusnya.... Adapun perkataan Dr. Al-Qaraadlawiy, maka ketidakbenarannya lebih terang dari siang hari. Wallaahul-Musta'aan....
Riwayat yg melalui jalan Abdul Hamid bin Ibrahim apakh bisa dikuatkan oleh riwayat Ibnu Zibriq?
Kalau kita perhatikan dalam kitab Al Jarh wa At-Ta'dil 6/8 kita dapati bahwa saking tercampurnya hafalan Abdul Hamid ini maka kita dapati dia ditalqini kitab Ibnu Zibriq, sehingga sebenarnya hadits yg diriwayatkan dari Abdullah bin Salim itu adalah hadits Ibnu Zibriq yg ditalqinkan kepadanya.
Abu Htim berkata,
وقالوا عرض عليه كتاب ابن زبريق ولقنوه فحدثهم بهذا وليس هذا عندي بشئ رجل لا يحفظ وليس عنده كتب
Ini menunjukkan bahwa dia ditalqini dan haditsnya itu sebenarnya hadits Ibnu Zibriq.
Sedangkan kalau kita baca biografi Ibnu Zibriq dia dipastikan oleh Abu Daud sebagai pendusta dan ini mufassar, juga oleh Muhammad bin Auf, sehingga Adz Dzahabi menganggapnya "waah" itu artinya lemah sekali, bagaimana bisa menjadi penguat riwayat Muhammad bin Ismail bin Ayyasy?
Sedangkan Muhammad bin Ismail sendiri dikatakan oleh Al Hafizh dalam Al Ishabah "dhaif jiddan".
Belum lagi ditambah kejanggalan tambahan ini tidak ada dalam riwayat yg shahih sebagaimana yg disinggung oleh Syek Muqbil.
Jadi, jalan paling baik hanyalah dari Syuraih yg munqathi'.
1. Tentang 'Abdul-Hamiid, sebagaimana telah disebutkan bahwa ia seorang yang lemah hapalan. Akan tetapi jika Anda memastikan bahwa hadits 'Abdul-Hamiid itu adalah riwayat Ibnu Zibriiiq yang ditalqinkan kepadanya, maka ini adalah kemungkinan saja. Karena, tidak semua riwayat 'Abdul-Hamiid merupakan hasil talqinan Ibnu Zibriiq. Ia menjadi kacau setelah kitabnya hilang.
2. Mengenai Ishaaq bin Ibraahiim bin Zibriiq, Abu Haatim berkata : “Syaikh”. Ibnu Ma’iin memujinya dengan berkata : “Tidak mengapa dengannya (laa ba’sa bihi)” [Al-Jarh wat-Ta’diil 2/209 no. 711]. An-Nasaa’iy – sebagaimana dinukil Al-Mizziy – mengatakan : “Tidak tsiqah”. Namun dalam riwayat Ibnu ‘Asaakir sebagaimana yang dibawakan oleh Ibnu Badraan dalam At-Tahdziib (2/407), An-Nasaa’iy berkata : “Tidak tsiqah, jika ia meriwayatkan dari ‘Amru bin Al-Haarits”. Jadi ketidaktsiqahan ini di-taqyid dalam periwayatan dari ‘Amru. Muhammad bin ‘Auf memutlakkan kedustaan terhadapnya. Abu Dawud mengikuti Muhammad bin ‘Auf dengan perkataannya : “Tidak ada apa-apanya”. Namun perkataan keduanya ini perlu ditinjau kembali, sebab Al-Bukhaariy (dalam Shahih-nya dengan periwayatan mu’allaq), Abu Haatim, Al-Fasaawiy, dan yang lainnya membawakan riwayatnya dimana tidak ada keraguan bahwa mereka tidaklah meriwayatkan dari para pendusta yang dikenal kedustaaannya. Abu Ishaaq Al-Huwainiy dalam Natsnun-Nabaal (hal. 176-177 no. 276) membawakan bahwa Maslamah bin Al-Qaasim mentsiqahkannya. Al-Haakim (Al-Mustadrak 3/290) dan Ibnu Hibbaan (Ats-Tsiqaat 8/113) men-tautsiq-nya. Perkataan yang benar di sini adalah bahwa Ishaaq bin Ibraahiim bin Zibriiq adalah shaduuq; riwayatnya lemah jika berasal dari ‘Amr bin Al-Haarits.
3. Tentang Muhammad bin Ismaa'iil, maka Ibnu Hajar tidak menyebutkan apa alasan bahwa ia seorang yang sangat lemah (dla'iif jiddan), sedangkan ulama mutaqaddimiin hanya menyebutkan dla'iif saja, tanpa jiddan [lihat Tahriirut-Taqriib, 3/214 no. 5735].
Oleh karena itu, saya masih condong bahwa riwayat tersebut bisa saling menguatkan.
[maaf, bari kali ini ditanggapi, ada yang terlewat].
Assalamu alaikum akhil karim, izinkan saya menanggapi beberapa hal berikut:
1- Kalau antum perhatikan lagi dalam biografi Abdul Hamid bin Ibrahim jelas dia sendiri menyatakan bahwa dirinya tidak hafal, itu pula kesimpulan Abu Hatim dan Muhammad bin Auf. Kalau antum katakan itu hanya kemungkinan saja bahwa riwayatnya adalah hasil talqinan dari Ibnu Zibriq ya betapa semua hadits mengandung kemungkinan seperti itu. Orang yg hafalannya lemah, ada kemungkinan suatu saat hafalannya bagus, mengapa tidak kita katakan saja bahwa sebuah hadits tertentu dgn orang yg sama kita katakan hadits ini kemungkinan dia riwayatkan dalam keadaan hafalannya bagus.
Pernyataan antum mgkn bisa diterima kalau saja tidak ada indikasi kuat bahwa riwayatnya kali ini adalah hasil talqinan dari riwayat Ibnu Zibriq, tapi di sini ada indikasi kuat ke sana yaitu bahwa dia meriwayatkannya dari Ibnu Salim dan memang hanya riwayat dari Ibnu Salim itulah yg ditalqini orang. Lalu di saat bersamaan Ibnu Zibriq juga meriwayatkan hal yg sama melalui jalur Ibnu Salim Az-Zubaidi. Kalau yg begini masih ditolak lantaran masih kemungkinan, maka tidak bergunalah apa yg disebutkan dalam kitab Al Jarh wa Ta'dil itu.
Tidak hanya itu, Abdul Hamid ini kalau kita kaji pernyataan para ulama seperti Muhammad bin Auf, Abu Hatim dan Abu Zur'ah jelas dia termasuk orang yg dhaif jiddan. Lihat bagaimana kecewanya Abu Zur'ah ketika disampaikan oleh Al-Bardza'i bahwa Muhammad bin Auf meriwayatkan dari Abdul Hamid ini, padahal dia yg melarang Abu Zur'ah mendekat ke Abdul Hamid.
Antum katakan, banyak pula riwayatnya yg bukan hasil talqinan dari riwayat Ibnu Zibriq. Itu betul kalau dia meriwayatkannya dari Ismail bin Ayyasy, Salamah bin Kultsum dan lain-lain, tapi di sini dia jelas meriwayatkan dari Ibnu Salim dan itulah yg menjadi tuhmahnya sebagai hasil talqinan dari riwayat Ibnu Zibriq.
2- Di sini saya sempat menulis di sini: http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=250659
Lagi pula mgkn antum mengikuti Syekh Syuaib Al Arnauth sehingga memahami bahwa pernyataan An-Nasaiy bahwa Ibnu Zibriq hanya tidak tsiqah kalau meriayatkan dari Amr bin Harits, kalau bukan dari Amr maka dia shaduq, pertanyaannya di sini dia meriwayatkan dari siapa?
Betul bahwa Al Bukhari, Al Fasawi dan lain-lain tidak meriwayatkan dari orang yg dikenal kedustaannya, tapi bagaimana dgn pernyataan Muhammad bin Auf yg mengatakan, "Aku tidak ragu bahwa Ibnu Zibriq itu berdusta" padahal dia yg paling tahu ttg hadits penduduk negerinya. Jadi dalam kasus diri Ibnu Zibriq dia lebih tahu daripada Al Bukhari dan Al Fasawi, bisa dilihat dalam tulisan saya di thread di atas.
3- Sebenarnya kalau antum mau cari alasan mengapa Muhammad bin Ismail bin Ayyasy itu dhaif jiddan bisa saja yaitu bahwa dia dipersoalkan karena berani meriwayatkan dari ayahnya padahal tak pernah bertemu. Bahkan Syekh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah sempat mengatakan, "Kaanahu yakdzib" bagaimana tidak? dia tidak mendengar langsung dari ayahnya tapi kok berani meriwayatkan darinya. Bahkan setahu saya dia tidak punya riwayat lain selain dari ayahnya itu.
Tapi mari kita abaikan itu, anggaplah Muhammad bin Ismail itu tsiqah, apakah riwayat Dhamdham bin Zur'ah bin bisa menguatkan riwayat Shafwan bin Amr, ataukah riwayat Shafwan justru membuat riwayat Dhamdham ini malah menjadi syadz, dan kita tentu sudah tahukan kemana harus membuang riwayat yg syadz?
Terima kasih atas kritikannya yang bermanfaat. Mohon maaf, bila baru kali ini saya publish dan saya komentari, karena beberapa kesibukan.
1. Saya tidak pernah mengatakan bahwa 'Abdul-Hamiid itu mempunyai kemungkinan hapal, sehingga antum perlu menegaskan bahawa 'Abdul-Hamiid itu tidak hapal. Yang saya maksud adalah bagian di komentar antum sebelumnya yang secara jazm mengatakan hadits Ibnu Salim itu merupakan hadits Ibnu Zibriq yang ditalqinkan kepada 'Abdul-Hamiid. Inilah yang saya kurang sepakat. Mengapa ? Karena sudah dimaklumi bahwa 'Abdul-Hamiid ini meriwayatkan dari kitab Ibnu Saalim dari Az-Zubaidiy. Inilah yang ditegaskan oleh Ibnu Abi Haatim dalam Al-Jarh wat-Ta'dil (6/8). Dan itu dibuktikan oleh riwayat Ibnu Abi 'Aashim no. 1098.
Masalahnya kemudian, ketika kitabnya hilang, ia jadi kacau, dan kemudian ditalqini kitab Ibnu Zibriiq. Pertanyaan saya sederhana : Apakah ketika ia meriwayatkan dari 'Abdullah bin Saalim, maka itu harus ekuivalen dengan riwayat Ibnu Zibriiq yang ditalqinkan kepadanya ?. Maaf, sampai saat ini saya masih merasa kesulitan dalam memahami jalan logika yang antum bangun tersebut.
Oleh karena itu, maksud saya 'kemungkinan' dalam komentar di sebelumnya adalah penjazman antum tersebut hanyalah sekedar kemungkinan saja. Seandainya memang riwayat 'Abdul-Hamiid dari 'Abdullah bin Saalim itu hakekatnya merupakan hasil talqinan riwayat Ibnu Zibriiq; apa faedahnya Muhammad bin 'Auf meriwayatkan dan menulis haditsnya sedangkan ia sendiri mendustakan Ibnu Zibriiq ?.
Dalam hal ini saya merasa tidak mengesampingkan keterangan yang disebutkan Ibnu Abi Haatim dalam Al-Jarh wat-Ta'diil.
[NB : Ada pertanyaan (= bukan pernyataan) menggelitik yang muncul di benak saya ketika membaca kitab Al-Jarh. Yaitu perkataan Muhammad bin 'Auf ketika meriwayatkan dari 'Abdul-Hamiid :
وجدت في كتاب ابن سالم ثنا به أبو تقى
"Aku dapati dalam kitab Ibnu Saalim - telah menceritakan kepada kami dengannya Abu Taqiy" [selesai].
Dapatkan itu dianggap sebagai thariqah periwayatan secara wijadah dari Muhammad bin 'Auf dari 'Abdullah bin Saalim ? dimana thariqah periwayatan ini bagi sebagian ulama adalah shahih ?].
2. Tentang Ishaaq bin Ibraahiim bin Zibriiq, terima kasih atas uraian antum dalam ahlalhdeeth tersebut, walau mungkin saat ini saya belum bisa menyepakatinya. Baarakallaahu fiik.
Antum mengatakan bahwa perkataan An-Nasaa'iy : "Laisa bi-tsiqah 'an Muhammad bin 'Amru" (tidak tsiqah dari Muhammad bin 'Amru) bukan merupakan taqyiid. Namun saya pribadi cenderung pada pentaqyidan tersebut.
Ibnu Hajar dan Adz-Dzahabiy dalam pemutlakan ketidaktsiqahan adalah mengikuti Al-Miziiy. Dan penukilan Al-Mizziy tersebut bersumber dari Taariikh Ibni 'Asaakir. Perkataan An-Nasaa'iy tersebut jelas menghendaki adanya pentaqyidan, yaitu tidak tsiqah dalam riwayat Muhammad bin 'Amru. Itulah yang dikatakan oleh Ibnu Badraan; dan kemudian dinyatakan oleh Syaikh Syu'aib Al-Arna'uth, Dr. Basyaar 'Awwaad, dan Dr. 'Abdus-Salaam bin Barjaas. Dr. Al-Fakhl pun mentaqrir kesimpulan Al-Arna'uth dan Basyar 'Awwaad.
[NB : Dalam penyimpulan perkataan An-Nasaa'iy ini saya sebenarnya pertama kali mengetahui dari penjelasan Dr. 'Abdus-Salaam bin Barjas, bukan dari Al-Arna'uth].
Itu pertama.
Kedua, yang menguatkan hal itu - sebagaimana penjelasan Dr. Basyar 'Awwaad - An-Nasaa'iy tidak menyebutkannya dalam kitab Adl-Dlu'afaa'-nya.
Sebagaimana kita tahu bahwa An-Nasaa'iy ini termasuk ulama yang mutasyaddid dalam menjarh perawi, sehingga perkataannya tersebut tetap harus ditimbang dengan perkataan ulama lain.
Perkataan Abu Daawud adalah mengikuti perkataan Muhammad bin 'Auf sebagaimana riwayat Al-Aajurriy. Perkataan Muhammad bin 'Auf adalah mendustakan Ibnu Zibriiq. Benar bahwa ia adalah orang yang paling tahu hadits penduduk negerinya, dan itu merupakan salah satu pertimbangan dalam pertarjihan. Akan tetapi bukankah antum pun tahu bahwa bukan hanya itu saja pertimbangan pertarjihan. Di antara pertimbangan pertarjihan bahwa perkataan seorang murid terhadap syaikhnya lebih diutamakan daripada selainnya. Antum telah mengakui bahwa Al-Bukhaariy, Al-Fasaawiy, dan lain-lain tidak meriwayatkan dari orang yang telah dikenal tentang kedustaannya; sedangkan antum tahu mereka termasuk ulama mu'addil dalam jarh dan ta'dil terhadap perawi - dan mereka mengambil riwayat darinya.
Pendek kata, jarh Muhammad bin 'Auf, An-Nasaa'iy, dan Abu Daawud tetap harus mempertimbangkan perkataan ulama lain yang menta'dilnya seperti Ibnu Ma'iin, Abu Haatim, Maslamah bin Al-Qaasim,Ibnu Hibbaan, dan Al-Haakim. Oleh karena itu, tidak terlalu salah jika Ibnu Hajar mengatakan : Jujur, akan tetapi banyak ragunya (shaduuq, yahimu katsiiran). Adapun saya pribadi, lebih cenderung pada apa yang telah dituliskan di atas mengacu pada penjelasan Syu'aib Al-Arna'uth dan Basyaar 'Awwaad, yang kemudian ditaqriir oleh Maahir bin Yaasin Al-Fakhl.
3. Saya tidak pernah menyimpulkan bahwa Muhammad bin Ismaa'iil itu tsiqah, sehingga antum tidak perlu membuat pengandaian demikian. Seandainya seorang perawi yang meriwayatkan dari orang yang tidak pernah ia dengar bisa langsung dianggap berdusta,... duhai,..... betapa banyak perawi yang akan tertuduh berdusta ?.
Riwayat Ismaa'iil dari Dlamdlam ini jika tidak ada penguatnya memang syaadz. Namun di sini ia mempunyai penguat, sehingga tambahan perawi Jubair bin Nufair ini dapat dipertimbangkan.
Wallaahu a'lam.
Untuk point pertama, kita menilai sebuah hadits adalah dgn indikasi kuat yg ada di hadapan kita. Indikasi bahwa hadits ini sebenarnya satu sumber tapi terlhat secara zahir dari berbagai sumber sehingga seolah saling meguatkan, itu banyak bisa antum cari di kitab Al Irsyad fii Taqwiyatil Ahadits bi asyh-syawahid wal mutab'at.
Intinya adalah, indikasi dan tuhmah berlaku untuk menilai sebuah riwayat. Tuhmahnya adalah Abdul Hamid meriwayatkan dari Ibnu Salim dan sedangkan pentalqinan dilakukan justru dari riwayatnya dari Abdullah bin Salim itu. Di saat bersamaan riwayat yg sama juga diperoleh dari Ibnu Zibriq, makin kuatlah tuhmah bahwa riwayat ini sebenarnya riwayat Ibnu Zibriq hasil talqinan itu. Kalau tidak begitu, maka tidak ada satupun riwayat Abdul Hamid yg boleh dianggap hasil talqinan dari riwayat Ibnu Zibriq, karena hanya itulah jalan untuk bisa membedakan mana riwayat hasil talqinan mana yg bukan.
Mengapa Muhammad bin Auf meriwayatkan darinya? dia sendiri sudah menjawab, "syhawatal hadits" hanya pengan mendapatkan hadits semata, secara praktik dia melarang orang (Abu Zur'ah) mendengar hadis darinya, sehingga sebenarnya dari komentar Ibnu Auf sendiri jelas bahwa dia tidak terlalu menghiraukan Abdul Hamid ini. Orang kitabnya hilang, lalu dia sendiri mengaku tidak hafal, kemudian menerima talqinan orang itu merupakan sifat orang yg dhaif jiddan. Plus riwayatnya dari Ibnu Salim punya cacat tambahan.
point kedua ketiga menyusul insya Allah.
Terima kasih komentarnya. Saya kira di atas hanyalah pengulangan saja. Tidak ada tambahan dari saya. Dan saya masih sulit memahami bahwa Muhammad bin 'Auf ketika hadir di majelis 'Abdul-Hamiid saat ia meriwayatkan dari Ibnu Saalim; riwayatnya itu merupakan hasil talqinan Ibnu Zibriiq. Baarakallaahu fiik.
NB : Tentang kitab Al-Irsyaad, ya saya telah membaca sebagiannya.
untuk point kedua, dalil antum terlalu dipaksakan karena akibatnya adalah membuang semua jarh mufassar dari Muhammad bin Auf yg paling tahu hadits penduduk negerinya. jarh mufassar lebih didahulukan daripada ta'dil yg masih umum, seperti ta'dil Ibnu Ma'in. Al Bukhari dan Al Fasawi tidak menta'dil hanya meriwayatkan jadi itu lebih lemah dibanding jarh mufassar Ibnu Auf. Makanya para muhaqqiqin seperti Adz-Dzahabi dan Al-Albani dalam banyak tempat di Adh-dhaifah menganggap Ishaq ini dhaif jiddan.
Dan jangan lupakan keadaan Amr bin Harits dimana Adz-Dzahabi dan Al-Albani juga menganggapnya majhul dan sepertinya mereka mengabaikan pernyataan Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqaat maupun Shahihnya. Lagi pula betapa banyak riwayat Amr bin Harits ini dari Ibnu Salim yg tidak ada dalam riwayat murid-murid Ibnu salim yg lain dan ini cukup mencurigakan.
Sehingga dalam kasus Ibnu ZIbriq ini saya katakan, ta'dil Ibnu Ma'in dan Abu Hatim dan Muhammad bin Maslamah lalu pengeluaran Al Bukhari dan Al Fasawi tetap harus mempertimbangkan jarh mufassar dari Ibnu Auf, kesimpulan Abu Daud yg membenarkan Ibnu Auf dan jarh dari An-Nasa`iy yg jelas berlaku di sini karena meriwayatkan dari Amr bin Harits serta penilaian Adz-Dzahabi dan Al-Albani.
Untuk point ketiga, tak perlu panjang lebar saya hanya ingin katakan, sejak kapan riwayat syadz bisa dikuatkan riwayat orang lain?? Yang namanya syadz ya sudah langsung masuk kotak, sebab kalau dia bisa dikuatkan bukan syadz namanya. Lalu yg menguatkannya itu riwayat yg mana? riwayat Ibnu Zibriq? siapa yg menguatkan Dhamdham di sini? Apakah Ibnu 'Aidz? bukankah jalur ke Ibnu Aidz itu sendiri tidak shahih, lalu bagaimana bisa menguatkan?
Afwan ketika mengetik komentar pertama ana shalat Zuhur dulu, setelah itu memberi tanggapan untuk point kedua dan ketiga, sudah sampai atau belum? Kalau belum biar saya ketik ulang.
Terima kasih. Saya kira bukan terlalu memaksakan, karena saya melihat dan mempertimbangkan jarh dan ta'dil yang diberikan para imam, dan inilah thariqah yang ditempuh beberapa peneliti/muhaqqiqiin yang telah saya sebutkan di atas. Sejak kapan pertimbangan murid terhadap gurunya tidak diperhatikan ya ?. Adalah hal yang aneh ketika antum mengakui bahwa Al-Bukhaariy dan yang lainnya itu tidak akan mengambil riwayat perawi yang masyhur kedustaannya, maka periwayatan Al-Bukhaariy dan yang lainnya dari Ibnu Zibriiq tidak menjadi pertimbangan apakah penilaian dusta Ibnu 'Auf itu tepat ataukah tidak. Bahkan kalau kita memperhatikan ta'dil Ibnu Ma'iin, maka tidak menutup kemungkinan bahwa ta'dil-nya ini dikatakan bersamaan dengan pengetahuannya akan jarh yang ditimpakan kepada Ibnu Zibriiq. Bukankah Ibnu Ma'iin berkata : "Akan tetapi mereka hasad kepadanya" ?. Oleh karena itu Ahmad Syaakir menafikkan sama sekali jarh yang dialamatkan kepada Ibnu Zibriiq hingga ia (Ahmad Syaakir) berkata : "Tsiqah". Namun menurut saya, ini terlalu berlebihan.
Alhamdulillah saya tidak melupakan 'Amru bin Al-Haarits (karena saya telah membahasnya). Ya benar, Adz-Dzahabiy dan Al-Albaaniy menghukumi sebagaimana antum katakan. Dan itu telah saya ketahui sebelum antum menuliskan komentar di atas. Akan tetapi saya lebih cenderung pada penilaian Ibnu Hibbaan yang mengatakan mustaqiimul-hadiits (makanya Adz-Dzahabiy berkata dalam Al-Kaasyif (2/73 no. 4136) : “Telah ditsiqahkan”). Ibnu Hibbaan memang dikenal tasaahul dalam mentautsiq perawi majhul. Akan tetapi jika ia memberikan ta'dil dengan kata-kata yang sharih, maka ta'dil nya itu diterima, sebagaimana penjelasan Mu'allimi Al-Yamaaniy.
Tentang komentar ringkas antum di paragraf terakhir, maka benar, bahwa riwayat syaadz itu merupakan kelemahan yang syadiid. Akan tetapi komentar itu bukan pada tempatnya, karena saya hanya mengikuti kalimat antum di komentar sebelumnya. Yang saya maksud adalah, riwayat Dlamdlam ini syaadz terhadap riwayat mursal yang saya bawakan di awal bahasan.
Yang jadi point kritis kan adanya riwayat mursal, dan kemudian datang riwayat maushul yang menyambungkannya. Riwayat mursalnya shahih, dan riwayat maushulnya tidak shahih dilihat dari masing-masing jalurnya. Riwayat mausul ini ada dua jalur yang saling menguatkan. Jadi maksud 'menguatkan' ini adalah jalur maushul-nya. Apakah jalur maushul itu bisa saling menguatkan, maka ini tempatnya ijtihad para ulama. Dan seandainya bisa saling menguatkan, apakah riwayat maushul ini dapat 'memperbaiki' riwayat mursal ? ini pun tempat ijtihadnya para ulama. Adapun selanjutnya tidak perlu saya bahas, karena hanya akan mengulang apa yang telah dituliskan saja.
Namun demikian, saya ucapkan terima kasih atas komentar antum yang bermanfaat di atas. Setidaknya, dapat dilihat sebagai satu pembanding dari apa yang telah dituliskan.
Masalah Ibnu Zibriq sebenarnya saya sudah mempertimbangkan ta'dil orang lain. Kalau dikatakan Al Bukhari tidak pernah meriwayatkan dari orang yg terkenal kedustannya itu betul, karena memang Ibnu Zibriq yg tahu bahwa dia berdusta hanya Muhammad bin Auf yg merupakan orang yg paling tahu keadaan penduduk negerinya dan tentu lebih tahu dari Al Bukhari dan Ibnu Ma'in. Atas pertimbangan itulah makanya Adz-Dzahabi berkesimpulan dia WAAH (sangat lemah) demikian pula Al-Albani dan tidak menyatakannya pemalsu hadits tapi termasuk orang yg sangat dhaif. Tambahan lagi saya membuktikan sendiri dgn manual bahwa dia banyak bersendirian dalam riwayat dan itu cukup membuat dia munkarul hadits dan itu sangat lemah tidak bisa menguatkan riwayat orang lain. Apalagi riwayatnya itu bukan riwayat yg sejalur dengannya, sehingga jalurnya tetap disebut jalur munkar karena jalur sampai ke Ibnu 'Aidz hanya diperoleh darinya.
Sedangkan riwayat Abdul Hamid saya nafikan karena alasa talqin dan kelemahan yg parah pada diri Abdul Hamid sendiri.
Lalu Jalur Dhamdham juga dianggap terhenti pada Syuraih dan penyebtan Jubair bin Nufair adalah syadz. Sehingga kesimpulan saya jalur itu hanya dua, yg mursal shahih. Tapi mursal tetap hadits dhaif. dan jalur yg dhaif jiddan yg sebenarnya bermuara hanya pada Ibnu Zibriq.
Tambahan lagi, tambahan riwayat Iyadh bin Ghanm ini datang dari jalur yg tidak selevel dgn riwayat Urwah yg ada dalam shahih Muslim dan itu pertanda kemunkaran sebagaimana yg diisyaratkan oleh Syekh Muqbil yg dinukil Ust Aris Munandar di atas.
Hanya tambahan penjelasan atas kemusykilan saya terhadap point pertama yang dikemukakan al-akh Anshari Taslim :
Muhammad bin 'Auf adalah tsiqah. Sementara itu, ia (Muhammad bin 'Auf) sendiri yang membawakan dan mentalqini 'Abdul-Hamiid kitab Ibnu Saalim. Ketika ia meriwayatkan dari 'Abdul-Hamiid, ia berkata : "Aku dapati dalam kitab Ibnu Saalim, telah menceritakan kepadaku Abu Taqiy". Di sini ia tidak menyinggung sama sekali kitab Ibnu Zibriiq.
Perkataan Muhammad bin 'Auf :
وكنا نكتب من نسخه الذي كان عند إسحاق ابن زبريق لابن سالم
"Kami menulis dari tulisannya ('Abdul-Hamiid) yang ada di sisi Ishaaq bin Zibriiq, dari riwayat Ibnu Saalim"
maka yang saya pahami di sini adalah bahwa riwayat itu benar-benar merupakan riwayat 'Abdul-Hamiid yang ia catat dari Ibnu Saalim. Atau dengan kata lain, 'Abdul-Hamiid memang benar-benar mempunyai riwayat Ibnu Saalim yang kemudian ia catat. Jadi posisi Ibnu Zibriiq itu hanyalah orang yang menyimpan catatan 'Abdul-Hamiid.
Apakah riwayat 'Abdul-Hamiid dari Ibnu Saalim sama dengan riwayat Ibnu Zibriiq dari Ibnu Saalim ?.
Ini pertanyaan kritisnya.
Dapat kita lihat dari perkataan Muhammad bin 'Auf, bahwa periwayatannya itu berasal dari 'Abdul-Hamiid dari 'Abdullah bin Saalim. Ibnu 'Auf bukan seorang mudallis, sehingga kita tidak perlu khawatir ia menggugurkan Ibnu Zibriiq dalam periwayatan tersebut.
Itu dilihat dari sisi 'Abdul-Hamiid.
Kemudian dilihat dari sisi Ishaaq bin Zibriiq :
Mari kita lihat potongan sanad riwayat Ibnu Zibriiq dalam Al-Kabiir (7/18-19) :
قال إسحاق بن إبراهيم بن العلاء أنا عمرو بن الحارث عن عبد الله بن سالم
"Telah berkata Ishaaq bin Ibraahiim bin Al-'Alaa' : Telah memberitakan kepada kami 'Amru bin Al-Haarits, dari 'Abdullah bin Saalim..." [selesai].
Perhatikan sanad di atas. Seandainya riwayat 'Abdul-Hamiid di atas sama dengan riwayat Ibnu Zibriiq ini, niscaya akan disebutkan 'Amru bin Al-Haarits sebagaimana sanad riwayat Ibnu Zibriiq ini. Tapi kenyataannya tidak. Ini merupakan qarinah yang cukup jelas bahwa riwayat 'Abdul-Hamiid itu berbeda dengan riwayat Ibnu Zibriiq. Apa yang dikatakan al-akh Anshari Taslim bahwa tuhmah-nya ada pada Ibnu Saalim, maka ini tidak tepat melihat dhahir sanad Ibnu Zibriiq sendiri. Dan ingat, Ibnu Zibriiq memang dikenal para ulama mempunyai riwayat yang berasal dari 'Amru bin Al-Haarits.
*****
Dan menyambung pertanyaan menggelitik saya di atas tentang perkataan Muhammad bin 'Auf ketika meriwayatkan dari 'Abdul-Hamiid, maka di situ sangat jelas bahwa Muhammad bin 'Auf membaca kitab Ibnu Saalim sendiri (yang kemudian ia talqinkan kepada 'Abdul-Hamiid). Makanya ia mengatakan :
وجدت في كتاب ابن سالم
"Aku dapati dalam kitab Ibnu Saalim".
Jika demikian adanya, maka keberadaan 'Abdul-Hamiid dalam riwayat ini sebenarnya dapat 'diabaikan'. Lain halnya jika Muhammad bin 'Auf hanya berposisi sebagai pendengar hasil talqinan orang lain.
Dan seandainya ini benar, maka riwayat Muhammad bin 'Auf dari 'Abdul-Hamiid dari 'Abdullah bin Saalim ini, sebenarnya dapat diringkas : Muhammad bin 'Auf dari 'Abdullah bin Saalim melalui perantaraan kitab. Ini setara dengan periwayatan wijadah yang dihukumi muttashil menurut pendapat yang raajih. Dan seandainya benar, maka sanad riwayat adalah muttashil dan shahih.
Secara pribadi, ini menambahkan keyakinan saya akan keshahihan riwayat 'Iyaadl bin Ghunm.
Wallaahu a'lam.
afwan dalam paragraf terakhir antum sepertinya akan mencampur aduk kebiasaan Ibnu Auf kalau meriwayatkan dari Abdul Hamid dgn hadits Iyadh di atas.
Dalam kasus riwayat Abdul Hamid untuk hadits Iyadh bin Ghanm di atas Ibnu Auf tidak mengatakan, وجدت في كتاب ابن سالم melainkan diceritakan kepada kami oleh Abdul Hamid, supaya tidak terkensan boleh mengabaikan keberadaan Abdul Hamid di sini yg berdasarkan penilaian resmi Ibnu Auf adalah tak terpakai dan dia tidak menyinggung masalah kitab itu. Sebab kalau dia tahu Abdul Hamid punya kitab shahih tentu sudah disampaikannya kepada Ibnu Abi Hatim.
Apalagi kita tahu bahwa penilaian yg terpakai dalam jarh wa ta'dil dari seorang alim kepada rawi adalah berdasarkan pendapatnya terhaap rawi tersebut, bukan berdasarkan bahwa dia meriwayatkan dari rawi tersebut. Seperti Al Hakim meriwayatkan dari Ibnu Abi Darim, padahal Al Hakim sendiri menganggapnya tidak tsiqah, rafidhi khabits, maka penilaian Al Hakim itulah yg kita pakai bukan riwayatnya dari Ibnu Abi Darim yg dipertahankan mati-matian oleh Second Prince.
Ibnu Abi Hatim hanya menyebutkan bahwa kalau Ibnu Auf meriwayatkan kitabnya Ibnu Salim maka dia mengatakan yg menceritakan kepada kami ttg kitab ini adalah Abdul Hamid (yg mengaku tidak hafal dan kitabnya hilang itu-pen) supaya ada ketersambungan antara dia dgn Ibnu Salim, karena mereka tidak semasa. Wallahu a'lam.
Pointnya adalah pernyataan dari Muhammad bin 'Auf sendiri dalam Al-Jarh wat-Ta'dil, bahwa periwayatannya dari 'Abdul-Hamiid dari Ibnu Saalim, adalah melalui perantaraan talqin kitab Ibnu Saalim. Jadi makna perkataan Ibnu 'Auf dalam riwayat 'Abdul-Hamiid dari Ibnu Saalim : haddatsanaa 'Abdul-Hamiid; maksudnya adalah kalimat tersebut. Muhammad bin 'Auf sendiri yang menyatakan bahwa ia mentalqini 'Abdul-Hamiid kitab Ibnu Saalim. Otomatis, ia membaca kitab Ibnu Saalim. Bukankah itu semua ada di catatan Ibnu Abi Haatim dalam Al-Jarh wat-Ta'dil ?. Seandainya Muhammad bin 'Auf tidak mengatakan وجدت في كتاب ابن سالم , maka itu pun mengubah hakekatnya bahwa periwayatannya dari 'Abdul-Hamiid melalui perantaraan kitab Ibnu Saalim (yang ia baca).
[Pembaca dapat melihat kutipan terjemahan lengkap perkataan Ibnu 'Auf dalam Al-Jarh wat-Ta'dil dalam tulisan al-akh Anshari Taslim]
Saya kira, ini tidak ada hubungannya dengan bahasan :
penilaian yg terpakai dalam jarh wa ta'dil dari seorang alim kepada rawi adalah berdasarkan pendapatnya terhaap rawi tersebut, bukan berdasarkan bahwa dia meriwayatkan dari rawi tersebut.
Afwan, ana baru nemu link pembahasan hadits di atas dari Ustadz Anshari taslim setelah beliau membaca artikel antum. http://alponti.multiply.com/journal/item/93/KELEMAHAN-HADITS-IYADH-BIN-GHANM-TENTANG-MENASEHATI-PENGUASA
Agak ragu-ragu juga, namun sementara ana setuju hadits tersebut shahih (setidaknya hasan) karena banyak disampaikan oleh ulama/asatidz ahlus sunnah
Bahkan itulah dikusi yang berlangsung antara saya dengan akh Anshari pada komentar di atas antum.
Adapun saya, setelah berjalannya dikusi, justru semakin yakin akan keshahihan hadits 'Iyaadl bin Ghunm radliyallaahu 'anhu,
wallaahu a'lam.
numpang tanya tadz bagaimana dengan atsar Ibnu abbas yg mengkritisi kebijakan Ali bin Abu Thalib yg membakar para murtadin :
لو كنت أنا لقتلتهم لقول رسول الله صلى الله عليه وسلم من بدل دينه فاقتلوه ولم أكن لأحرقهم لقول رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تعذبوا بعذاب الله
apakah ini bs menjadi landasan untuk bolehnya mengkritisi penguasa di depan Umum?
Abu Khansa
Asal dari kritikan kepada penguasa adalah empat mata langsung kepada si penguasa. Sekali lagi ini hukum asalnya. Dan hukum asal ini lebih ditekankan untuk dilakukan mengingat ada hadits khusus terkait itu, kedudukan si penguasa, dan mafsadat yang (diperkirakan) timbul apabila kritikan dilakukan secara terang-terangan.
Namun apabila maslahat kritikan tidak dapat dicapai kecuali dengan kritikan terbuka atau tidak di hadapan penguasa, maka boleh dilakukan. Tentu saja, ini mesti dikonsultasikan kepada orang berilmu sehingga menutup peluang orang bodoh menggunakannya untuk membikin kekacauan di masyarakat.
Link dari ust Anshari Taslim yang ini
http://alponti.multiply.com/journal/item/93/KELEMAHAN-HADITS-IYADH-BIN-GHANM-TENTANG-MENASEHATI-PENGUASA
sudah gak bisa di buka yaaa.....
Posting Komentar