Semenjak
kemunculan paham agama Islam Nusantara, ‘aqidah Islam terancam dirusak dari
dalam. Permisivisme terhadap praktek-praktek non-syari’at dengan dalih
mengakomodasi kultur/budaya lokal mulai gencar dilakukan. Seperti misal
pembelaan praktek pemberian sesajen ala Hindu dan animisme, ritual mapag
Dewi Sri, nyadran, dan yang lainnya dari praktek-praktek bermuatan kesyirikan[1].
Sekat-sekat yang membatasi muslim dan kafir secara sistematis ingin di-uninstall.
Dikatakan, semua agama mempunyai kesempatan masuk surga. Dalam kesempatan lain,
istilah kafir harus dihilangkan dalam lisan warga muslim Indonesia dan
digantikan dengan ‘warga negara non-muslim’; sebagaimana terkutip dalam (inti) hasil
pertemuan naas sebuah ormas beberapa waktu lalu. (Herannya), dibela pula oleh
tokoh agama lulusan S3 Timur Tengah yang namanya pernah tersebut dalam kasus dugaan
korupsi pertambangan yang ditangani KPK. Bak gayung bersambut, assist
‘fatwa’ yang diberikan ormas tersebut disambut gembira ria banyak oknum yang
dikenal anti-syari’at Islam.
Diantara
celoteh mereka dari kalangan partisan : “….Kafir
adalah terminologi Qurani, namun siapa yg kafir, tersesat, siapa yg paling
beriman, ini yg paling tahu hanya Tuhan, yg bisa kita lakukan melawan
pengkafiran di ruang publik…… Dorong saja aturan klau pengkafiran itu masuk dlm
ujaran kebencian (hate speech), saya akan berjuang unt ini”.
Siap-siap saja orang yang mengatakan ‘kafir’ akan dituntut masuk bui. Sudah ada
pihak yang berkeinginan mewujudkannya. Tidak cukup itu. Orang PGI yang tidak paham
syari’at Islam urun bicara. Mereka merasa senang dan memberi dukungan. Ada pula
pihak yang siap meneror secara psikis. Kalau ada yang bilang kafir lagi, dapat
ganjaran tempeleng tangan. Lengkap sudah perangkatnya. Ada juru fatwanya, ada
intelektual agama pembelanya, ada (persiapan) perangkat politiknya, dan ada
tukang pukulnya.
Lantas,
apa sih sebenarnya makna kafir itu ? Siapa saja yang termasuk orang
kafir ? Dan apakah orang kafir selamat masuk surga ?
Kafir
dalam Kamus Bahasa Indonesia terdefinisi sebagai berikut:
kafir : n tidak
percaya kpd Allah dan Rasul-Nya
[Kamus
Bahasa Indonesia, hal. 657; Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Cet.
Thn. 2008].[2]
Kafir
(كافر) adalah isim faa’il dari kata kafara
(كَفَرَ) – kafara, yakfuru, kufran wa kufraanan.
Jamaknya kuffaar (كُفَّارٌ). Kata kafara secara bahasa artinya
‘menutupi’. Petani disebut kaafir (dengan bentuk jamak kuffaar)
karena ia menggali benih di tanah lalu menutupinya, sebagaimana terdapat dalam
firman Allah ﷻ:
كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ
نَبَاتُهُ
“Seperti
hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani” [QS. Al-Hadiid : 20].
Adapun
secara istilah, Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan:
والكفر هو عدم الايمان سواء
كان معه تكذيب أو إستكبار أو إباء أو إعراض فمن لم يحصل فى قلبه التصديق والانقياد
فهو كافر
“Kufur
adalah ketiadaan iman kepada Allah dan Rasul-Nya, baik dengan pendustaan,
kesombongan, penolakan, atau berpaling[3].
Maka barangsiapa yang tidak didapatkan dalam hatinya tashdiiq
(pembenaran) dan inqiyaad (ketundukan), maka ia kafir” [Majmuu’
Al-Fataawaa, 7/639].
Begitu
pula Ibnu Hazm rahimahullah yang berkata:
الجحد لشيء مما صح البرهان أنه
لا إيمان إلا بتصديقه كفرٌ ، والنطق بشيء من كل ما قام البرهان أن النطق به كفرٌ
كفر ، والعمل بشيء مما قام البرهان بأنه كفرٌ كفر
“Mengingkari
sesuatu yang telah shahih petunjuk/dalilnya bahwa tidak ada keimanan melainkan
dengan membenarkannya; adalah kekufuran. Mengucapkan sesuatu yang telah ada
petunjuk/dalil bahwa mengucapkannya merupakan kekufuran; adalah kekufuran.
Mengamalkan sesuatu yang telah ada petunjuk/dalil bahwa mengamalkannya
merupakan kekufuran; adalah kekufuran” [Al-Fash, 3/256].
Kekufuran
adalah lawan dari keimanan. As-Suyuuthiy rahimahullah berkata:
ما كان تركه كفرا ، ففعله
إيمان ، وما لا فلا
“Segala
sesuatu yang dengan meninggalkannya disebut kekufuran, maka mengerjakannya
adalah keimanan. Dan apa saja yang tidak demikian, maka tidak pula demikian” [Al-Asybah
wan-Nadhaair].
So, di
sini jelas. Dalam konteks agama Islam secara global, barangsiapa yang tidak
beriman dengan pokok-pokok syari’at Islam, maka kafir hukumnya. Karena itu, dalam
Al-Qur’an disebutkan beberapa golongan orang-orang kafir, diantaranya:
1.
Orang Musyrik
Penyembah Berhala
Allah ﷻ berfirman:
فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ كَذَّبَ
بِآيَاتِهِ أُولَئِكَ يَنَالُهُمْ نَصِيبُهُمْ مِنَ الْكِتَابِ حَتَّى إِذَا
جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا يَتَوَفَّوْنَهُمْ قَالُوا أَيْنَ مَا كُنْتُمْ تَدْعُونَ
مِنْ دُونِ اللَّهِ قَالُوا ضَلُّوا عَنَّا وَشَهِدُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ
أَنَّهُمْ كَانُوا كَافِرِينَ
"Maka
siapakah yang lebih dhalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap
Allah atau mendustakan ayat-ayat-Nya? Orang-orang itu akan memperoleh bahagian
yang telah ditentukan untuknya dalam Kitab (Lauh Mahfudh); hingga bila datang
kepada mereka utusan-utusan Kami (malaikat) untuk mengambil nyawanya, (di waktu
itu) utusan Kami bertanya: "Di mana (berhala-berhala) yang biasa kamu
sembah selain Allah?" Orang-orang musyrik itu menjawab:
"Berhala-berhala itu semuanya telah lenyap dari kami," dan mereka
mengakui terhadap diri mereka bahwa mereka adalah ORANG-ORANG YANG KAFIR"
[QS. Al-A'raaf : 37].
لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِّ وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ لا
يَسْتَجِيبُونَ لَهُمْ بِشَيْءٍ إِلا كَبَاسِطِ كَفَّيْهِ إِلَى الْمَاءِ
لِيَبْلُغَ فَاهُ وَمَا هُوَ بِبَالِغِهِ وَمَا دُعَاءُ الْكَافِرِينَ إِلا فِي
ضَلالٍ
“Hanya bagi
Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka
sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatu pun bagi mereka,
melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air
supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya.
Dan doa (ibadah) ORANG-ORANG KAFIR itu, hanyalah sia-sia belaka” [QS.
Ar-Ra’d : 14].
ثُمَّ قِيلَ لَهُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ تُشْرِكُونَ * مِنْ دُونِ
اللَّهِ قَالُوا ضَلُّوا عَنَّا بَلْ لَمْ نَكُنْ نَدْعُو مِنْ قَبْلُ شَيْئًا
كَذَلِكَ يُضِلُّ اللَّهُ الْكَافِرِينَ
“Kemudian
dikatakan kepada mereka: "Manakah berhala-berhala yang selalu kamu
persekutukan (yang kamu sembah) selain Allah?" Mereka menjawab:
"Mereka telah hilang lenyap dari kami, bahkan kami dahulu tiada pernah
menyembah sesuatu". Seperti demikianlah Allah menyesatkan ORANG-ORANG
KAFIR” [QS. Al-Mu’min : 73-74].
Dikarenakan kekafiran
mereka, maka tempat kembalinya adalah neraka, sebagaimana perkataan Ibraahiim ‘alaihis-salaam
terhadap kaumnya:
وَقَالَ إِنَّمَا اتَّخَذْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْثَانًا
مَوَدَّةَ بَيْنِكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ثُمَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
يَكْفُرُ بَعْضُكُمْ بِبَعْضٍ وَيَلْعَنُ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَمَأْوَاكُمُ
النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ نَاصِرِينَ
“Dan berkata
Ibrahim: "Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah
adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan
dunia ini kemudian di hari kiamat sebahagian kamu mengingkari sebahagian (yang
lain) dan sebahagian kamu mela'nati sebahagian (yang lain); dan tempat
kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolongpun” [QS.
Al-Ankabuut : 25].
2.
Orang Kristen
(Nasrani)
Allah ﷻ berfirman:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ
ابْنُ مَرْيَمَ
"Sesungguhnya
telah KAFIRLAH orang-orang yang berkata : 'Sesungguhnya Allah itu ialah Al
Masih putra Maryam" [QS. Al-Maaidah : 17].
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلاثَةٍ
وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ
لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
"Sesungguhnya
KAFIRLAH orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah satu dari
yang tiga[4]",
padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang
Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti
orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih"
[QS. Al-Maaidah : 73].
قَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا سُبْحَانَهُ هُوَ الْغَنِيُّ لَهُ
مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ إِنْ عِنْدَكُمْ مِنْ سُلْطَانٍ بِهَذَا
أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ * قُلْ إِنَّ الَّذِينَ
يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لا يُفْلِحُونَ * مَتَاعٌ فِي الدُّنْيَا
ثُمَّ إِلَيْنَا مَرْجِعُهُمْ ثُمَّ نُذِيقُهُمُ الْعَذَابَ الشَّدِيدَ بِمَا
كَانُوا يَكْفُرُونَ
"Mereka
(orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: "Allah mempunyai anak".
Maha Suci Allah; Dia-lah Yang Maha Kaya; kepunyaan-Nya apa yang ada di langit
dan apa yang ada di bumi. Kamu tidak mempunyai hujah tentang ini. Pantaskah
kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?. Katakanlah:
"Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah
tidak beruntung". (Bagi mereka) kesenangan (sementara) di dunia, kemudian
kepada Kami-lah mereka kembali, kemudian Kami rasakan kepada mereka siksa yang
berat, disebabkan KEKAFIRAN mereka" [QS. Yuunus : 68-70].
وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا * لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا
إِدًّا * تَكَادُ السَّمَوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ
وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا * أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا * وَمَا
يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا * إِنْ كُلُّ مَنْ فِي
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آَتِي الرَّحْمَنِ عَبْدًا
"Dan mereka
berkata: "Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak".
Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang SANGAT MUNGKAR, hampir-hampir
langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung
runtuh, karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan
tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada
seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha
Pemurah selaku seorang hamba" [QS. Maryam: 88-93].
Kemana tempat kembali
mereka ?. Jawab : Neraka. Allah ﷻ berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ
فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
"Sesungguhnya
orang-orang KAFIR yakni AHLI KITAB dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke
neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk
makhluk" [QS. Al-Bayyinah : 6].
Ahli kitab adalah
orang-orang Nasrani dan Yahudi[5].
3.
Orang (Beragama)
Yahudi
Allah ﷻ berfirman:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ لا يَحْزُنْكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي
الْكُفْرِ مِنَ الَّذِينَ قَالُوا آمَنَّا بِأَفْوَاهِهِمْ وَلَمْ تُؤْمِنْ
قُلُوبُهُمْ وَمِنَ الَّذِينَ هَادُوا سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ سَمَّاعُونَ
لِقَوْمٍ آخَرِينَ لَمْ يَأْتُوكَ يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ مِنْ بَعْدِ مَوَاضِعِهِ
يَقُولُونَ إِنْ أُوتِيتُمْ هَذَا فَخُذُوهُ وَإِنْ لَمْ تُؤْتَوْهُ فَاحْذَرُوا
"Hai Rasul,
janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera
(memperlihatkan) KEKAFIRANNYA, yaitu di antara orang-orang yang mengatakan
dengan mulut mereka: "Kami telah beriman", padahal hati mereka belum
beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi. (Orang-orang Yahudi itu) amat
suka mendengar (berita-berita) bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan
orang lain yang belum pernah datang kepadamu; mereka mengubah
perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya. Mereka mengatakan:
"Jika diberikan ini (yang sudah diubah-ubah oleh mereka) kepada kamu, maka
terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini, maka hati-hatilah"
[QS. Al-Maaidah : 41].
مِنَ الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ
وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ وَرَاعِنَا لَيًّا
بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِي الدِّينِ وَلَوْ أَنَّهُمْ قَالُوا سَمِعْنَا
وَأَطَعْنَا وَاسْمَعْ وَانْظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَقْوَمَ وَلَكِنْ
لَعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَلا يُؤْمِنُونَ إِلا قَلِيلا
"Yaitu
orang-orang Yahudi, mereka merubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka
berkata: "Kami mendengar", tetapi kami tidak mau menurutinya. Dan
(mereka mengatakan pula): "Dengarlah" sedang kamu sebenarnya tidak
mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan): "Raa`ina", dengan
memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan: "Kami
mendengar dan patuh, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami", tentulah itu
lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka,
karena KEKAFIRAN mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis"
[QS. An-Nisaa' : 46].
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى
الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ
الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
"Orang-orang
Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang Nasrani berkata:
"Al Masih itu putera Allah". Demikian itulah ucapan mereka dengan
mulut mereka, mereka meniru perkataan ORANG-ORANG KAFIR yang terdahulu. DILAKNATI
Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?" [QS At-Taubah :
30].
قَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا سُبْحَانَهُ هُوَ الْغَنِيُّ لَهُ
مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ إِنْ عِنْدَكُمْ مِنْ سُلْطَانٍ بِهَذَا
أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
“Mereka
(orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: "Allah mempunyai anak".
Maha Suci Allah; Dia-lah Yang Maha Kaya; kepunyaan-Nya apa yang ada di langit
dan apa yang ada di bumi. Kamu tidak mempunyai hujah tentang ini. Pantaskah
kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” [QS. Yuunus :
68].
هُوَ الَّذِي أَخْرَجَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ
مِنْ دِيَارِهِمْ لأوَّلِ الْحَشْرِ مَا ظَنَنْتُمْ أَنْ يَخْرُجُوا وَظَنُّوا
أَنَّهُمْ مَانِعَتُهُمْ حُصُونُهُمْ مِنَ اللَّهِ فَأَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ
حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ يُخْرِبُونَ
بُيُوتَهُمْ بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي
الأبْصَارِ
“Dia-lah yang
mengeluarkan ORANG-ORANG KAFIR di antara Ahli Kitab dari kampung-kampung mereka
pada saat pengusiran kali yang pertama. Kamu tiada menyangka, bahwa mereka akan
keluar dan mereka pun yakin, bahwa benteng-benteng mereka akan dapat
mempertahankan mereka dari (siksaan) Allah; maka Allah mendatangkan kepada
mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah
mencampakkan ketakutan ke dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah
mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman. Maka
ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai
pandangan” [QS. Al-Hasyr : 2].
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ نَافَقُوا يَقُولُونَ لإخْوَانِهِمُ
الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَئِنْ أُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ
مَعَكُمْ وَلا نُطِيعُ فِيكُمْ أَحَدًا أَبَدًا وَإِنْ قُوتِلْتُمْ
لَنَنْصُرَنَّكُمْ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
“Apakah kamu tiada
memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka
yang KAFIR dari kalangan Ahli Kitab: ‘Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya
kami pun akan keluar bersama kamu; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh
kepada siapa pun untuk (menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti kami
akan membantu kamu’. Dan Allah menyaksikan, bahwa sesungguhnya mereka
benar-benar pendusta” [QS. Al-Hasyr : 11].
Sama nasibnya dengan orang
Nasrani dan orang kafir lainnya, orang Yahudi masuk neraka. Dalilnya QS.
Al-Bayyinah ayat 6 yang telah disebutkan di atas.
Jelas
sekali penunjukkan ayat-ayat di atas akan kekafiran orang penyembah berhala,
Nasrani (Kristen), dan Yahudi.
Kita
harus meyakini satu-satunya agama yang benar adalah Islam. Selain Islam,
pasti kafir. Barangsiapa yang memilih agama selain Islam, maka termasuk
orang yang merugi di akhirat. Siapa yang bilang ?. Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ. Saya hanya menukil dan mengimaninya (karena
pasti benar).
Allah
ﷻ berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ
الإسْلامُ
“Sesungguhnya
agama (yang diridlai) di sisi Allah hanyalah Islam” [QS. Aali ‘Imraan :
19].
Qataadah
bin Di’aamah rahimahumallah ketika menjelaskan ayat tersebut berkata:
وَالإِسْلامُ: شَهَادَةُ أَنَّ
لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَالإِقْرَارُ بِمَا جَاءَ بِهِ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ،
وَهُوَ دِينُ اللَّهِ الَّذِي شَرَّعَ لِنَفْسِهِ، وَبَعَثَ بِهِ رُسُلَهُ،
وَدَلَّ عَلَيْهِ أَوْلِيَاءَهُ، لا يَقْبَلُ غَيْرَهُ وَلا يَجْزِي إِلا بِهِ
“Dan
Islam itu adalah persaksian bahwasannya tidak ada tuhan yang berhak diibadahi
selain Allah ﷻ
dan menetapkan syari’at yang datang dari sisi Allah ﷻ. Itulah agama Allah ﷻ yang disyari’atkan oleh diri-Nya, yang
Allah ﷻ utus dengannya para Rasul-Nya, dan Allah
memberikan petunjuk dengannya para kekasih-Nya. Allah tidak menerima agama
selain Islam dan tidak memberikan pahala melainkan dengannya” [Diriwayatkan
oleh Ath-Thabariy 5/281-282; shahih].
Allah
ﷻ berfirman:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ
الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa
mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”
[QS. Aali ‘Imraan : 85].
Rasulullah
ﷺ bersabda:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ
بِيَدِهِ، لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِيٌّ، وَلَا
نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا
كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi
Dzat yang jiwa Muhammad berada di Tangan-Nya. Tidaklah ada seorang pun dari
umat ini yang mendengar tentangku, baik Yahudi maupun Nasrani, kemudian ia
meninggal dalam keadaan tidak beriman kepada apa yang aku diutus dengannya,
kecuali ia termasuk penduduk neraka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 153].
Apa
nggak capek tangan Anda nempeleng jutaan orang yang mengatakan
kafir dan orang-orang kafir pasti masuk neraka dengan membaca ayat-ayat
dan riwayat di atas dalam ceramah dan nasihat/taushiyyah mereka ?. Apa
itu nggak ekuivalen dengan rasa kesal karena firman Allah ﷻ dan sabda Rasulullah ﷺ ?. Apa nggak takut dosa karena rasa
marah dan kesal terhadap firman Allah ﷻ dan sabda Rasulullah ﷺ ?.
Kemudian,……
ada seseorang yang kasih ceramah beberapa waktu lalu dengan potongan transkrip
sebagai berikut:
"….Istilah kafir berlaku ketika Nabi Muhammad di Mekkah, yaitu
untuk memberi, menyebut nama orang-orang penyembah berhala, paganis, yang tidak
memiliki kitab suci, tidak memiliki agama yang benar. Animism boleh dikata.
Agnostik. Klenik. Tapi setelah Nabi Muhammad hijrah ke Kota Madinah, tidak ada
istilah kafir untuk warga negara Madinah yang non muslim. Ada tiga suku non
muslim, (yaitu) suku Bani Qainuqa', Bani Quraidlah, wan-Nadhiir...disebut
non-muslim. Tidak disebut kafir. Ini harus kita jelaskan secara
ilmiah...."
[selesai
kutipan]
Ditambah
lagi halusinasi seseorang yang berkata:
“Maka, saat hijrah,
Rasul Shallallahu Alayhi Wasallam menyepakati piagam bernegara bersama seluruh
komponen di Madinah.
Dalam piagam itu ada
hak dan kewajiban yang sama. Kata kafir tidak digunakan dalam piagam itu untuk
menyebut kelompok-kelompok Yahudi yang ikut dalam kesepakatan itu. Karena
piagam Madinah bukan tentang prinsip akidah tapi tentang membangun ruang
bersama untuk semua….”
[selesai
kutipan]
Omongan
ndabul alias dusta.
Ayat-ayat
di atas sebagai bantahannya. QS. An-Nisaa', Al-Maaidah, At-Taubah, Al-Hasyr, dan
Al-Bayyinah termasuk Madaniyyah (turun di Madinah), sehingga dipahami bahwa
konteks KEKAFIRAN Yahudi dan Nasrani (Kristen) di situ mencakup Yahudi dan
Nasrani penduduk Madinah. Selain itu, kekafiran tidak disebabkan faktor
geografis, akan tetapi disebabkan ‘aqidah dan amalan kekafiran yang dimiliki pelakunya.
Bagaimana
tidak dikatakan KAFIR kepada orang yang tidak beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya serta syari’at yang beliau ﷺ bawa[6],
tidak beriman kepada Al-Qur’an[7],
merubah ayat-ayat Allah, berbuat kesyirikan, dan mengakui Allah ﷻ mempunyai anak ?.
Tentang
QS. Aali ‘Imraan ayat 12:
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا
سَتُغْلَبُونَ وَتُحْشَرُونَ إِلَى جَهَنَّمَ وَبِئْسَ الْمِهَادُ
“'Katakanlah
kepada orang-orang yang KAFIR: Kamu pasti akan dikalahkan (di dunia ini) dan
akan digiring ke dalam neraka Jahanam. Dan itulah tempat yang seburuk-buruknya”
maka
‘Aashim bin ‘Umar bin Qataadah rahimahullah (w. 126/127 H) – ulama taabi’iin
yang sangat menguasai ilmu maghaaziy – menjelaskan:
لَمَّا أَصَابَ اللَّهُ
قُرَيْشًا يَوْمَ بَدْرٍ، جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَهُودَ فِي سُوقِ بَنِي
قَيْنُقَاعَ، ثُمَّ قَدِمَ الْمَدِينَةَ، فَقَالَ: " يَا مَعْشَرَ يَهُودٍ
أَسْلِمُوا قَبْلَ أَنْ يُصِيبَكُمُ اللَّهُ بِمِثْلِ مَا أَصَابَ بِهِ قُرَيْشًا،
قَالُوا لَهُ: يَا مُحَمَّدُ لا يَغُرَّنَّكَ مِنْ نَفْسِكَ أَنْ قَتَلْتَ نَفَرًا
مِنْ قُرَيْشٍ كَانُوا أَعْمَارًا لا يَعْرِفُونَ الْقِتَالَ، إِنَّكَ وَاللَّهِ
لَوْ قَاتَلْتَنَا لَعَرَفْتَ أَنَّا نَحْنُ النَّاسَ، وَأَنَّكَ لَمْ تَلْقَ
مِثْلَنَا، فَأَنْزَلَ اللَّهُ ﷻ فِي ذَلِكَ مِنْ قَوْلِهِمْ قُلْ لِلَّذِينَ
كَفَرُوا سَتُغْلَبُونَ وَتُحْشَرُونَ إِلَى جَهَنَّمَ وَبِئْسَ الْمِهَادُ إِلَى
قَوْلِهِ: لَعِبْرَةً لأُولِي الأَبْصَارِ "
“Ketika
Allah ﷻ memberikan kekalahan kepada kaum Quraisy
pada perang Badr, Rasulullah ﷺ (memerintahkan untuk) mengumpulkan
orang-orang Yahudi di pasar Bani Qainuqaa’. Kemudian beliau tiba di Madinah lalu
bersabda : ‘Wahai orang-orang Yahudi, masuklah ke agama Islam sebelum Allah
menimpakan kepada kalian kekalahan semisal yang menimpa orang-orang Quraisy’.
Mereka berkata kepada beliau ﷺ : ‘Wahai Muhammad, janganlah tertipu dengan
dirimu sendiri karena engkau telah membunuh sekelompok orang-orang Quraisy.
Mereka adalah orang-orang yang tidak berpengalaman lagi tidak mengerti tentang
peperangan. Sesungguhnya jika engkau memerangi kami – demi Allah –, niscaya
engkau akan tahu bahwa kami adalah ahlinya, dan engkau pun akan tahu bahwa engkau
belum pernah menemui orang sehebat kami (di medan perang)’. Maka Allah ﷻ
menurunkan ayat terkait perkataan mereka : 'Katakanlah kepada orang-orang
yang KAFIR: Kamu pasti akan dikalahkan (di dunia ini) dan akan digiring ke
dalam neraka Jahanam. Dan itulah tempat yang seburuk-buruknya. Sesungguhnya
telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur).
Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang
dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali jumlah
mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang
mempunyai mata hati’ (QS. Aali 'Imraan : 12)” [Diriwayatkan oleh
Ibnu Abi Haatim dalam Tafsiir-nya no. 3234; sanadnya hasan hingga
‘Aashim[8]].
Ibnu
Ishaaq rahimahullah – ulama ahli sejarah – menetapkannya juga
sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnul-Mundzir dalam Tafsiir-nya no. 272
dengan sanad hasan.
Intinya, QS.
Aali 'Imraan ayat 12 berbicara kepada orang-orang KAFIR dari kalangan Yahudi
Madinah.
Juga
tentang ayat:
هُوَ الَّذِي أَخْرَجَ
الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مِنْ دِيَارِهِمْ لأوَّلِ الْحَشْرِ
“Dia-lah
yang mengeluarkan ORANG-ORANG KAFIR di antara ahli Kitab dari kampung-kampung
mereka pada saat pengusiran kali yang pertama” [QS. Al-Hasyr : 2]
Mujaahid
bin Jabr Al-Makkiy dan Qataadah bin Di’aamah rahimahumallah menjelaskan
ayat tersebut berkenaan dengan Yahudi Bani Nadliir [Diriwayatkan oleh
Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 22/497; sanadnya shahih dari
perkataan Mujaahid dan Qataadah]. Inilah yang dikuatkan oleh Ath-Thabariy rahimahullah
[idem, 22/496-497].
Tentang
piagam Madinah, ada statement yang menetapkan eksistensi kata “kafir” di
dalamnya.
Muhammad
bin Musim bin Syihaab Az-Zuhriy rahimahullah meriwayatkan sebagian butir
kesepakatan dalamn Piagam Madinah itu sebagai berikut:
لا يَقْتُلُ مُؤْمِنٌ
مُؤْمِنًا فِي كَافِرٍ، وَلا يَنْصُرُ كَافِرًا عَلَى مُؤْمِنٍ
“Seorang
mukmin tidak boleh membunuh mukmin yang lain karena pembunuhan terhadap ORANG
KAFIR, dan tidak boleh menolong ORANG KAFIR untuk membunuh orang mukmin….”
[Diriwayatkan oleh Al-Qaasim bin Sallaam dalam Al-Amwaal no. 518 dan
Ibnu Zanjuuyah dalam Al-Amwaal no. 750 dengan sanad shahih sampai
Az-Zuhriy].
Ibnu
Ishaaq rahimahullah juga meriwayatkannya sebagaimana disebutkan dalam ‘Uyuunul-Atsar
oleh Ibnu Sayyidin-Naas Al-Ya’muriy, 1/318.
So,
Yahudi dan Nasrani dalam perspektif syari’at dinamakan KAFIR, baik sebelum atau
setelah Nabi ﷺ
hijrah ke Madinah, sampai hari ini dan sampai hari kiamat.
Ibnu
Hazm rahimahullah berkata:
واتفقوا على تسمية اليهود
والنصارى كفارًا
"Para
ulama sepakat dalam penamaan Yahudi dan Nasrani (Kristen) sebagai orang-orang
kafir” [Maraatibul-Ijmaa’, hal. 119 – melalui perantaraan Muhammad
‘Imaarah fii Miizaani Ahlis-Sunnah wal-Jamaa’ah hal. 377].
Al-Ghazaaliy
rahimahullah berkata:
اليهود والنصارى وأهل الملل كلهم
من المجوس وعبدة الأوثان وغيرهم، فتكفيرهم منصوص عليه في الكتاب ومجمع عليه بين الأمة
“Yahudi,
Nasrani (Kristen), serta semua penganut agama lain dari kalangan Majusi,
penyembah berhala, dan yang lainnya; maka pengkafiran terhadap mereka termaktub
dalam nash-nash Al-Qur’an dan disepakati oleh umat Islam” [Al-Iqtishaad
fil-I’tiqaad – melalui perantaraan As-Sabiilu fii Ushuulil-Fiqh,
1/77].
Syaikhul-Islaam
Ibnu Taimiyyyah rahimahullah berkata:
فإن اليهود والنصارى كفار كفرا
معلوما بالإضطرار من دين الإسلام
“Sesungguhnya
Yahudi dan Nasrani (Kristen) adalah orang-orang kafir, dengan kekufuran yang
diketahui secara pasti dalam agama Islam” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 35/201].
Sekali
lagi : Statusnya kafir, dinamakan kafir, dan wajib dikafirkan; berlaku semenjak zaman Nabi ﷺ
hingga hari kiamat kelak. Tidak akan pernah berubah.
Lantas
ada sebagian orang tergopoh-gopoh bikin 'noise' bahwa pembelaan fatwa/rekomendasi
(nyleneh) tersebut untuk menghindari konflik dalam pergaulan sosial akibat
panggilan seorang muslim kepada temannya yang Kristen, Katolik, Hindu, Budha,
dan Konghucu: “Hai kafir !!”.
Ini
adalah halusinasi yang terlalu berlebihan. Adakah kita dalam keseharian memanggil
saudara kita (jika ada)[9],
kolega/rekan kita, atasan-bawahan kita yang beragama bukan Islam dengan : “Hai
kafir, saya mau kasih kamu sesuatu. Hai kafir, ke sini dong. Hai kafir, saya
mau pergi….dst”. Mereka memanggil dengan namanya, atau dengan awalan “Bapak,
Ibu, Mas, Mbak, Teteh, Akang, Koh, Bli, Mbok,… dan yang lainnya. Ini
realitas umum yang tidak dikarang-karang.
Saya
belum pernah menemukan ustadz atau ulama yang mengajarkan untuk memanggil dalam
pergaulan sehari-hari dengan ‘hai kafir’, walaupun ‘aqidah/keimanan mereka memang kafir. Kalaupun ada, sudah pasti ini outlier
yang tidak boleh dijadikan sarana generalisasi. Disamping menegaskan KEKAFIRAN
orang yang beragama selain Islam (dan kita memang harus meyakini dan
mengikrarkannya), Al-Qur’an dan hadits tak luput menjelaskan bagaimana cara
berinteraksi dengan orang-orang kafir non-Islam. Akan saya contohkan….
Tahu
Fir’aun kan ?. Itu,…. orang yang mengaku tuhan dan berbuat kerusakan di muka
bumi.
Allah
ﷻ berfirman:
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا
أَيُّهَا الْمَلأ مَا عَلِمْتُ لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرِي
“Dan
berkata Firaun: ‘Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain
aku” [QS. Al-Qashshash : 38].
إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلا فِي
الأرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا شِيَعًا يَسْتَضْعِفُ طَائِفَةً مِنْهُمْ يُذَبِّحُ
أَبْنَاءَهُمْ وَيَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ إِنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ
“Sesungguhnya
Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya
berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak
laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya
Firaun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan” [QS. Al-Qashshash : 4].
Tapi
apa yang diperintahkan Allah ﷻ
kepada Musa ‘alaihis-salaam saat Ia memerintahkannya untuk berkomunikasi
dengannya dalam rangka meluruskan dan mendakwahinya ?. Allah ﷻ berfirman (kepada Musa ‘alaihis-salaam):
اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ
إِنَّهُ طَغَى * فَقُولا لَهُ قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
“Pergilah
kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka
berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut,
mudah-mudahan ia ingat atau takut” [QS. Thaha : 43-44].
Allah
ﷻ juga
menceritakan kisah Nuuh ‘alaihis-salaam ketika memanggil anaknya yang
tidak menyambut seruan dakwahnya untuk naik ke atas kapal:
وَهِيَ تَجْرِي بِهِمْ فِي
مَوْجٍ كَالْجِبَالِ وَنَادَى نُوحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَا بُنَيَّ
ارْكَبْ مَعَنَا وَلا تَكُنْ مَعَ الْكَافِرِينَ
“Dan
bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh
memanggil anaknya sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: "Wahai
anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama
orang-orang yang kafir” [QS. Huud : 42].
Nuuh
‘alaihis-salaam tetap memanggil anaknya dengan seruan kasih sayang : yaa
bunayya (wahai anaku), bukan “hai kafir, naiklah ke atas kapal”.
Begitu
pula dengan cara berkomunikasi Ibraahiim ‘alaihis-salaam kepada ayahnya,
Azhar, yang menyembah berhala. Allah ta’ala berfirman:
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ
إِبْرَاهِيمَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا * إِذْ قَالَ لأبِيهِ يَا أَبَتِ
لِمَ تَعْبُدُ مَا لا يَسْمَعُ وَلا يُبْصِرُ وَلا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا * يَا
أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي
أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا * يَا أَبَتِ لا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ إِنَّ
الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَنِ عَصِيًّا * يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ
يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِنَ الرَّحْمَنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا
“Ceritakanlah
(Hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al-Kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia
adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi. Ingatlah ketika ia
berkata kepada bapaknya: ‘Wahai bapakku, mengapa engkau menyembah
sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolongmu
sedikitpun. Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian
ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku
akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah
kamu menyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha
Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan
ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan”
[QS. Maryam: 41-42].
Ibraahiim
tidak menyebut ‘Wahai kafir’, akan tetapi panggilan penuh adab yaitu yaa
abati (wahai ayahku). Bersamaan dengan itu, Ibraahiim tetap menganggap ayahnya
adalah orang yang sesat, sebagaimana firman Allah ﷻ tentang doa Ibraahiim ‘alaihis-salaam:
وَاغْفِرْ لأبِي إِنَّهُ كَانَ
مِنَ الضَّالِّينَ
“Dan
ampunilah bapakku[10],
karena sesungguhnya ia adalah termasuk golongan orang-orang yang sesat”
[QS. Asy-Syu’araa’ : 86].
Tentu
ini berbeda konsep dengan Islam Liberal dan agama Islam Nusantara yang hendak berdalih
dengan masalah komunikasi untuk mengeliminasi pengakuan kekafiran dalam lisan
seorang muslim terhadap penganut agama lain. Hendak membungkam lisan kita untuk
menyatakan kekafiran orang yang beragama selain Islam.
Kalaupun
ada sebagian orang yang dalam kesehariannya memanggil temannya yang tidak
beragama Islam dengan “Hai kafir, ke sini” dan yang semisal dengan
perkataan ini; saya yakin sedikit jumlahnya. Dan kebanyakan dari yang sedikit
itu justru ditimbulkan akibat konflik sosial lain sehingga memanas (timbul
kemarahan, emosi) bermuara pada sentimen keagamaan. Juga debat-debat di dunia
maya antar umat beragama saling caci-maki yang mayoritasnya menggunakan
akun anonim.
Kalaupun
mau mengatur, aturlah masalah ketertiban umum dan kerukunan bersama di luar
masalah yang telah diatur/ditetapkan oleh agama. Tidak usah sok-sokan menjadi
pahlawan ingin merubah aturan agama dengan dalih menjaga toleransi kebhinekaan.
Allah ﷻ yang menciptakan manusia (jauh) lebih tahu
kemaslahatan ciptaan-Nya. Dan kenyataannya, dari semenjak zaman Nabi ﷺ, para sahabat, taabi’iin, atbaa’ut-taabi’iin,
imam yang empat, para ulama Ahlus-Sunnah setelahnya, dan masyarakat Islam secara
umum tidak ada masalah dengan kata ‘kafir’ tersebut. Aman-aman saja. Mereka
tetap hidup damai menjauhi kedhaliman terhadap orang lain walaupun berstatus kafir.
Sebaliknya,
kaum muslimin sama sekali tidak merasa keberatan dianggap sebagai domba sesat,
kafir, golongan yang tidak selamat, akan disiksa para dewa, atau semisal yang
saya pribadi tidak tahu secara persis peristilahan setiap agama. Kita tetap
menghormati mereka, tidak mendhalimi mereka meskipun mereka meyakini hal-hal
tersebut kepada kita (kaum muslimin). Dan memang itu telah berjalan selama ini.
Jadi apa masalahnya ?. Saya tahu, banyak Anda menjadi ompong giginya saat
berhadapan dengan orang non-Islam.
Saya
tidak mengingkari kalau ada seorang muslim menyebut temannya yang tidak
beragama Islam dengan kata ‘non-muslim’. Tidak masalah[11].
Dan memang ini cukup elegan kita terapkan dalam pergaulan sehari-hari. Tapi
bukan berarti kita pensiun mengatakan kafir terhadap non-muslim. Tidak. Tetap
kita katakan secara ‘internal’, karena memang harus dikatakan sebagai bagian
dari ‘aqidah yang harus ada pada setiap muslim.
Dengan
mengatakan non-muslim bukan berarti kita tidak mengamalkan ayat:
لا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ
الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ
فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً
وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah
orang-orang mukmin mengambil ORANG-ORANG KAFIR menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya
lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari
sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri
(siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)” [QS. Aali ‘Imraan : 28].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ
أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ
اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil ORANG-ORANG YAHUDI DAN
NASRANI menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah
pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka
menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dhalim”
[QS. Al-Maaidah : 55].
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ
حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ
أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ
مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى
النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ
وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Dan
janganlah kamu nikahi WANITA-WANITA MUSYRIK, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari WANITA MUSYRIK, walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan ORANG-ORANG MUSYRIK (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari ORANG MUSYRIK walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran” [QS. Al-Baqarah : 221].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ
أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلا
تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ
لَهُنَّ
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan
yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui
tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka
(benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami
mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi ORANG-ORANG KAFIR itu
dan ORANG-ORANG KAFIR itu tidak halal pula bagi mereka” [QS.
Al-Mumtahanah : 10].
Dan
ayat-ayat lain yang berbicara tentang orang kafir dari kalangan musyrik,
Yahudi, Nasrani, dan yang lainnya.
Ayat-ayat
di atas tetap kita imani, amalkan, dan berlaku pada mereka (orang kafir). Non-muslim
tetap kafir.
Jangan
khawatir wahai bapak-bapak yang terhormat – presiden, menteri, gubernur,
bupati/walikota, dan pemangku jabatan lainnya – bahwa dengan ‘aqidah ini kami
akan menghancurkan bangsa ini, meneror penduduk non-muslim (kafir), membuat bom dan
meledakkannya di gereja, pura, dan vihara. Kami insyaAllah akan tetap
taat aturan – selama itu ma’ruuf – , menjaga keamanan dan ketertiban,
serta tidak melakukan pemberontakan terhadap penguasa yang sah[12].
Karena Allah ﷻ
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil-amri
di antara kamu” [QS. An-Nisaa’ : 59].
Rasulullah
ﷺ bersabda:
اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا، وَإِنِ
اسْتُعْمِلَ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ
“Dengar
dan taatlah, meskipun yang memerintahkan kalian adalah seorang budak Habsyiy
yang kepalanya seperti kismis” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 693
& 696 & 7142, Ibnu Maajah no. 2860, dan yang lainnya].
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ
بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Wajib
atas seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa/umaraa’) pada
apa-apa yang ia sukai atau ia benci, kecuali apabila ia diperintah untuk
berbuat kemaksiatan. Apabila penguasa itu menyuruh untuk berbuat maksiat, maka
tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat” [Diriwayatkan oleh Muslim no.
1839].
Inilah
yang diajarkan guru-guru kami saat mengajarkan prinsip-prinsip Ahlus-Sunnah
yang diantaranya berbunyi:
وَلا نَرَى الْخُرُوجَ عَلَى
الأَئِمَّةِ وَلا الْقِتَالَ فِي الْفِتْنَةِ، وَنَسْمَعُ وَنُطِيعُ لِمَنْ وَلاهُ
اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَمْرَنَا وَلا نَنْزِعُ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ، وَنَتَّبِعُ
السُّنَّةَ وَالْجَمَاعَةَ، وَنَجْتَنِبُ الشُّذُوذَ وَالْخِلافَ وَالْفُرْقَةَ
“Dan
kami memandang tidak bolehnya keluar ketaatan (memberontak) kepada para
pemimpin (kaum muslimin) dan mengobarkan peperangan di masa fitnah. Kami
senantiasa mendengar dan taat kepada orang yang Allah ‘azza wa jalla berikan
kekuasaan untuk mengatur urusan kami. Kami tidak akan melepaskan tangan kami
dari ketaatan. Kami mengikuti sunnah dan jama’ah, serta menjauhkan diri dari
keganjilan, penyelisihan, dan perpecahan”[13]
[Syarh Ushuuli I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah oleh Al-Laalikaa’iy,
1/176-180 no. 321-322].
Sebagaimana
kami menolak perkataan para propagandis pluralisme dan liberalisme agama karena
Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka kami pun mentaati kalian – wahai pemimpin kami –
juga karena Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sebagaimana
kami menolak dengan tegas paham takfiriy yang bermudah-mudah dalam mengkafirkan
sesama muslim, maka kami pun menolak dengan tegas paham Murji’ah yang tidak mau
mengkafirkan golongan yang ditetapkan secara jelas sebagai orang kafir oleh Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ sebagaimana di atas.
Kami
berdoa kepada Allah ﷻ agar para pemimpin negara ini senantiasa diberikan
petunjuk dapat menjalankan amanahnya dengan baik dalam mengurus rakyat serta
dijauhkan dari ulama-ulama suu’ dan pembisik jahat yang akan membawa
musibah bagi negeri tercinta dan umat Islam.
Kami
mencintai negeri kami dan menginginkan kebaikan bagi negeri kami[14].
Wallaahu
a’lam bish-shawwaab.
Semoga
ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’
– 09032019].
[2] Semoga tidak ada re-definisi untuk
mengakomodasi pemahaman agama Islam Nusantara.
Smartphone
kita
juga dapat diinstal aplikasi KBBI :
Sia-sia
punya HP berlabel ‘smart (phone)’, jika pemiliknya stupid hanya
dipakai buat nge-game dan chatting.
[3] Rincian macam-macam kekufuran (akbar) dapat
dibaca dalam artikel : Macam-macam
Kekufuran Akbar. Adapun pembagian kekafiran secara global,
silakan dibaca artikel yang ditulis oleh guru kami, Ustadzunaa Yaziid Jawwas hafidhahullah
: Prinsip
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Terhadap Masalah Kufur Dan Takfir (Pengkafiran).
[4] Ajaran Trinitas, konsep pokok teologi
Kristen.
[5] Rincian lebih lanjut tentang siapa saja yang
termasuk Ahli Kitab, silakan baca artikel : Siapakah
Ahlul-Kitaab ?.
[6] Qataadah bin Di’aamah rahimahullah (w.
117 H) ketika menjelaskan ayat:
وَلَمَّا
جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ
يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا
كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ
“Dan setelah datang
kepada mereka Al-Qur'an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka,
padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat
kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang
telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas
orang-orang yang ingkar itu” [QS. Al-Baqarah : 89]
ia berkata:
كَانَتِ
الْيَهُودُ تَسْتَفْتِحُ بِمُحَمَّدٍ ﷺ عَلَى كُفَّارِ الْعَرَبِ مِنْ قَبْلُ،
وَقَالُوا: اللَّهُمَّ ابْعَثْ هَذَا النَّبِيَّ الَّذِي نَجِدُهُ مكتوبا فِي
التَّوْرَاةِ يُعَذِّبُهُمْ وَيَقْتُلُهُمْ، فَلَمَّا بَعَثَ اللَّهُ نبيه
مُحَمَّدًا ﷺ فَرَأَوْا أَنَّهُ بُعِثَ مِنْ غَيْرِهِمْ كَفَرُوا بِهِ حَسَدًا
لِلْعَرَبِ، وَهُمْ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ رَسُولُ، يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا
عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ، فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ
فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ
“Dulu orang-orang
Yahudi biasa memohon kedatangan Muhammad ﷺ untuk
mendapatkan kemenangan atas orang-orang kafir bangsa ‘Arab. Mereka berdoa : ‘Ya
Allah, utuslah Nabi yang kami dapati tertulis dalam Taurat ini yang akan
mengadzab dan membunuh mereka’. Namun ketika Allah ﷻ
mengutus Nabi-Nya – Muhammad - ﷺ lalu
mereka (Yahudi) melihatnya diutus dari kalangan selain mereka, mereka
mengingkarinya karena hasad terhadap bangsa ‘Arab. Padahal mereka mengetahui
beliau ﷺ adalah Rasul yang mereka dapati tertulis dalam Taurat di sisi
mereka. ‘Maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui,
mereka lalu ingkar kepadanya’ (QS. Al-Baqarah : 89)” [Diriwayatkan oleh
Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan 2/239; shahih].
Inilah
kelakuan orang-orang Yahudi Madinah dari kalangan Bani Qainuqaa’, Bani
Quraidhah, dan Bani Nadliir menyikapi Nabi ﷺ dan
risalah yang beliau bawa.
Mush’ab bin Sa’d rahimahumallah
(w. 103 H) berkata:
سَأَلْتُ
أَبِي قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأَخْسَرِينَ أَعْمَالا هُمْ الْحَرُورِيَّةُ؟
قَالَ: لَا، هُمْ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى، أَمَّا الْيَهُودُ فَكَذَّبُوا
مُحَمَّدًا ﷺ وَأَمَّا النَّصَارَى فَكَفَرُوا بِالْجَنَّةِ، وَقَالُوا: لَا
طَعَامَ فِيهَا وَلَا شَرَابَ، وَالْحَرُورِيَّةُ الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ
اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ، وَكَانَ سَعْدٌ يُسَمِّيهِمُ الْفَاسِقِينَ
"
Aku pernah bertanya
kepada ayahku (yaitu Sa’d bin Abi Waqqaash radliyallaahu ‘anhu) tentang ayat : Katakanlah:
‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?’
(QS. Al-Kahfi : 103), apakah mereka itu orang-orang Haruuriyyah (Khawaarij) ?.
Ia menjawab : “Tidak, mereka itu orang-orang Yahudi dan Nasrani. Adapun Yahudi,
mereka mendustakan Muhammad ﷺ, sedangkan Nasrani mengingkari Jannah (surga). Mereka (Nasrani)
berkata : ‘Tidak ada makanan dan minuman di dalamnya’. Haruuriyyah, maka mereka
itu ‘orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu
teguh’ (QS. Al-Baqarah : 27)”. Sa’d menamakan mereka (Haruuriyyah)
orang-orang fasiq [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4728].
Inilah penilaian
sahabat Nabi ﷺ tentang keadaan Yahudi dan Nasrani.
[7] ‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu
saat menjelaskan ayat:
كَمَا
أَنْزَلْنَا عَلَى الْمُقْتَسِمِينَ
“Sebagaimana
(Kami telah memberi peringatan), Kami telah menurunkan (adzab) kepada
orang-orang yang membagi-bagi (Kitab Allah)” [QS. Al-Hijr : 90]
ia
berkata:
آمَنُوا
بِبَعْضٍ، وَكَفَرُوا بِبَعْضٍ، الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى
“Mereka
beriman kepada sebagian ayat dan mengingkari sebagian yang lain. Mereka itu
adalah Yahudi dan Nasrani” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4705].
[8] Ada riwayat marfuu’ dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu
‘anhumaa, ia berkata:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: لَمَّا أَصَابَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ قُرَيْشًا يَوْمَ بَدْرٍ
وَقَدِمَ الْمَدِينَةَ جَمَعَ الْيَهُودَ فِي سُوقِ بَنِي قَيْنُقَاعَ، فَقَالَ:
" يَا مَعْشَرَ يَهُودَ أَسْلِمُوا قَبْلَ أَنْ يُصِيبَكُمْ مِثْلُ مَا
أَصَابَ قُرَيْشًا "، قَالُوا: يَا مُحَمَّدُ لَا يَغُرَّنَّكَ مِنْ نَفْسِكَ
أَنَّكَ قَتَلْتَ نَفَرًا مِنْ قُرَيْشٍ كَانُوا أَغْمَارًا لَا يَعْرِفُونَ
الْقِتَالَ إِنَّكَ لَوْ قَاتَلْتَنَا لَعَرَفْتَ أَنَّا نَحْنُ النَّاسُ
وَأَنَّكَ لَمْ تَلْقَ مِثْلَنَا، فَأَنْزَلَ اللَّهُ ﷻ فِي ذَلِكَ: قُلْ
لِلَّذِينَ كَفَرُوا سَتُغْلَبُونَ......
Dari Ibnu 'Abbaas :
Ketika Rasulullah ﷺ tiba di Madinah pasca beliau mengalahkan orang-orang Quraisy
pada perang Badr, orang-orang Yahudi berkumpul di pasar Bani Qainuqa’. (Lalu
datanglah) Nabi ﷺ dan bersabda (kepada mereka) : "Wahai orang-orang Yahudi,
masuklah ke agama Islam sebelum kalian ditimpa hal yang menimpa orang-orang
Quraisy". Mereka berkata : "Wahai Muhammad, janganlah tertipu dengan
dirimu sendiri karena engkau telah membunuh sekelompok orang-orang Quraisy.
Mereka adalah orang-orang dungu yang tidak mengerti tentang peperangan.
Seandainya engkau memerangi kami, niscaya engkau akan tahu bahwa engkau belum
pernah menemui orang sehebat kami (di medan perang). Maka Allah ﷻ menurunkan ayat terkat hal itu : 'Katakanlah kepada
orang-orang yang KAFIR: Kamu pasti akan dikalahkan (di dunia ini) dan akan
digiring ke dalam neraka Jahanam. Dan itulah tempat yang seburuk-buruknya'
(QS. Aali 'Imraan : 12)....." [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3001].
Hanya saja sanadnya dla’iif.
[9] Saudara berdasarkan nasab.
Pembahasan
hukum memanggil orang kafir dengan sebutan ‘saudara’ dapat dibaca dalam artikel
: Hukum
Memanggil Non-Muslim Sebagai Saudara.
[10] Namun setelah mengetahui ayahnya mati dalam
keadaan kafir/musyrik, maka ia tidak lagi mendoakan memintakan ampunan
kepadanya. Allah ﷻ berfirman:
مَا
كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ
وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ
أَصْحَابُ الْجَحِيمِ * وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا
عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ
لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ
“Tiadalah
sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada
Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum
kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu,
adalah penghuni neraka Jahanam. Permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah)
untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya
kepada bapaknya itu. Maka, ketika jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh
Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya” [QS. At-Taubah: 114].
[12] Dalam Blog ini telah banyak artikel yang mengulas
tema ini, diantaranya:
m.
dan lain-lain.
[13] Selengkapnya bisa dibaca dalam artikel ‘Aqiidah
Abu Haatim Ar-Raaziy dan Abu Zur’ah Ar-Raaziy rahimahumallah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar