Artikel
ini merupakan sambungan dari artikel di Blog ini yang berjudul : Memerangi
Penguasa yang Fasiq atau Dhalim.
Para
ulama telah mengambil dhahir hadits maa aqaamuu fiikumush-shalah atau maa
shalluu sebagai dalil diperbolehkannya untuk keluar dari ketaatan
pemimpin/penguasa jika ia tidak menegakkan shalat.
Al-Qadli
’Iyadl rahimahullah berkata :
أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد
لكافر ، وعلى أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل . قال : وكذا لو ترك إقامة الصلوات
والدعاء إليها
”Para
ulama telah bersepakat bahwasannya imamah tidak bisa diserahkan kepada orang
kafir, apabila secara tiba-tiba kekufuran (yang nyata) terjadi padanya, maka ia
diberhentikan (sebagai imam)”. Dan ia berkata pula : ”Begitu pula apabila ia
meninggalkan penegakan shalat dan seruan kepadanya (untuk melaksanakan shalat)”
[Syarh Shahih Muslim juz 12 hal. 229].
Abul-’Abbas
Al-Qurthubi (guru dari mufassir Abu ’Abdillah Al-Qurthubi) berkata tentang
makna maa aqaamu fiikumush-shalah :
ظاهره : ما حافظوا على الصلوات المعهودة
بحدودها ، وأحكامها ، وداموا على ذلك ، وأظهروه . وقيل معناه : ما داموا على كلمة
الاسلام ؛ كما قد عبَّر بالمصلين عن المسلمين ؛ كما قال ـ صلى الله عليه وسلم ـ :
(( نهيتُ عن قتل المصلين )) ؛ أي : المسلمين . والأوَّل أظهر
Dhahir
maknanya adalah : selama mereka (penguasa) menjaga shalat-shalat yang
diwajibkan dengan segala ketentuan dan hukum-hukumnya, senantiasa melakukannya,
dan menampakkannya (di tengah masyarakat). Ada pula yang mengatakan maknanya
adalah : selama mereka melangsungkan kalimat Islam (secara luas) sebagaimana al-mushalliin
ditafsirkan sebagai al-muslimin, sebagaimana sabda Nabi shallallaahu
’alaihi wasallam : ”Aku melarang kalian untuk membunuh al-mushalliin
(orang-orang yang melakukan shalat)” , yaitu : al-muslimin
(orang-orang muslim). Akan tetapi, makna yang pertamalah yang lebih terang
(pada kebenaran)” [Al-Mufhim limaa Asykala min Talkhiishi Kitaabi Muslim
juz 3 hal. 287-288; Maktabah Al-Misykah].
Al-Hafidh
Ibnu Rajab Al-Hanbaly rahimahullah berkata :
ويستدل أيضا على القتال على ترك الصلاة بما
في صحيح مسلم عن أم سلمة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال يستعمل عليكم أمراء
فتعرفون وتنكرون فمن أنكر فقد برئ ومن كره فقد سلم ولكن من رضي وتابع فقالوا يا
رسول الله ألا نقاتلهم قال لا ما صلوا
”Dalil
lain tentang dibolehkannya memerangi orang-orang yang meninggalkan shalat
adalah hadits dalam Shahih Muslim dari Ummu Salamah radliyallaahu
’anhu, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam yang bersabda : ”Akan
diangkat penguasa untuk kalian. Lalu engkau mengenalinya dan kemudian engkau
ingkari. Barangsiapa yang mengingkarinya, ia telah berlepas tangan. Barangsiapa
yang benci, sungguh ia telah selamat. Akan tetapi, lain halnya dengan orang
yang ridla dan patuh terhadap pemimpin tersebut”. Para shahabat bertanya :
”Wahai Rasulullah, apakah kami boleh memeranginya ?”. Beliau menjawab : ”Tidak,
selama mereka mengerjakan shalat” [selesai – Jami’ul-’Ulum wal-Hikaam
hal. 112; Cet. 1424 H; Daarul-Hadits, Mesir].
Perhatikan,
di sini Ibnu Rajab memaknai hadits tersebut dengan makna dhahir (yaitu
mengerjakan/menegakkan shalat) dimana beliau menjadikannya sebagai tolok ukur
kebolehan keluar dari ketaatan dari penguasa jika ia meninggalkan shalat.
Al-’Allamah
’Ali Al-Qary Al-Hanafy Al-Makky rahimahullah berkata ketika menjelaskan
hadits di tersebut :
إقامتهم الصلاة فيما بينكم لأنها علامة
اجتماع الكلمة في الأمة قال الطيبي فيه إشعار بتعظيم أمر الصلاة وإن تركها موجب
لنزع اليد عن الطاعة
”Mereka
menegakkan shalat di antara kalian, karena hal itu merupakan tanda persatuan
kalimat bagi ummat. Telah berkata Ath-Thiibi : ’Di hadits tersebut terdapat
pemberitahuan tentang pengagungan perkara shalat yang apabila ditinggalkan
mempunyai konsekuensi pelepasan tangan dari ketaatan.” [Mirqaatul-Mafaatih
Syarh Misykaatil-Mashaabih juz 4 hal. 112; Maktabah Al-Misykah].
Asy-Syaukani
rahimahullah berkata ketika menjelaskan hadits laa maa aqaamu
fiikumush-shalah :
فيه دليل على أنه لا يجوز منابذة الأئمة
بالسيف مهما كانوا مقيمين للصلاة ويدل ذلك بمفهومه على جواز المنابذة عند تركهم
للصلاة
”Di
dalamnya terdapat dalil tentang tidak bolehnya menentang/memerangi pemimpin
dengan menggunakan pedang selama mereka masih menegakkan shalat. Dan hadits itu
juga menunjukkan dengan mafhumnya atas bolehnya menentang/memerangi bila mereka
meninggalkan shalat” [Nailul-Authaar juz 7 hal. 197].
Syamsul-Haq
Al-’Adhim ’Abadi rahimahullah berkata ketika menafsirkan hadits afalaa
nuqaatiluuhum ? Qaala : Laa maa shalluu :
أي ما داموا يصلون
”Yaitu
: selama mereka senantiasa melaksanakan shalat” [’Aunul-Ma’bud Syarh Sunan
Abi Dawud Kitaabus-Sunnah, Bab Fii Qatlil-Khawaarij syarah hadits
no. 4760].
Al-Mubarakfury
(Muhammad bin ’Abdirrahman Al-Mubarakfury) rahimahullah berkata ketika
menafsirkan hadits afalaa nuqaatiluuhum ? Qaala : Laa maa shalluu :
إنما منع عن مقاتلتهم ما داموا يقيمون
الصلاة التي هي عنوان الإسلام حذراً من هيج الفتن
”Hanya
saja hal itu terlarang untuk memerangi mereka selama mereka senantiasa
menegakkan shalat dimana hal itu merupakan simbol/nama Islam, dan juga sebagai
peringatan atas munculnya api fitnah (karena menentang penguasa)” [Tuhfatul-Ahwadzi
Syarh Sunan At-Tirmidzi juz 6 hal. 413 no. 2302; Maktabah Al-Misykah].
Para
ulama Ahlus-Sunnah telah menjelaskan bahwa makna shalat bagi pemimpin/penguasa
di sini adalah sebagaimana dhahirnya, yaitu menegakkan shalat bagi dirinya dan
juga kepada rakyatnya. Ia menampakkan syi’ar-syi’ar shalat di tengah rakyatnya
dan tidak melarangnya. Hal itu disebabkan karena penekanan dalam hadits adalah dzat
penegakan shalatnya itu sendiri yang dilakukan oleh pemimpin/penguasa yang
dengan itu ia masih berstatus sebagai seorang muslim. Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam bersabda :
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِرْكِ
وَالكُفرِ تَرْكَ الصَّلاة
“Sesungguhnya
batas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan
shalat” [HR. Muslim nomor 82].
Dari
Abdullah bin Syaqiq Al-‘Uqaili, ia berkata :
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه
وسلم لا يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ اْلأَعْمَالِ تَرْكَهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاة
“Dahulu
para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak melihat sesuatu
amal yang jika ditinggalkan menyebabkan kufur kecuali shalat” [HR. At-Tirmidzi
nomor 2622; shahih].
Jikalau
pemimpin/penguasa tersebut meninggalkan shalat, maka ia dianggap kafir (menurut
sebagian pendapat berdasarkan dua hadits di atas), atau hampir terjerumus pada
kekafiran (menurut pendapat lain).
Melaksanakan
seruan shalat tidak harus terimplementasi dalam wujud undang-undang. Adanya
lembaga, haiah, atau orang khusus yang ditunjuk oleh pemimpin/penguasa yang
mengatur dalam pelaksanaan shalat sudah merupakan bentuk pelaksanaan penegakan
pelaksanaan shalat di tengah umat. Apalagi dengan bebas terdengarnya adzan yang
berkumandang dimana-mana dalam setiap waktu shalat (dan pemimpin/penguasa tidak
melarangnya – bahkan mendukungnya), maka hal itu sudah merupakan wujud
pelaksanaan tanggung jawab dalam pelaksanaan seruan shalat kepada rakyatnya.
عن مالك بن الحويرث قال قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم ........فإذا حضرت الصلاة فليؤذن لكم
Dari
Malik bin Al-Huwairits radliyallaahu ’anhu ia berkata : Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : ”....Apabila waktu shalat
telah tiba, hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan” [HR.
Muslim no. 674].
Hadits
di atas menunjukkan bahwasannya adzan merupakan alat seruan untuk pelaksanaan
shalat.
عن أنس بن مالك قال كان رسول الله صلى الله
عليه وسلم يغير إذا طلع الفجر وكان يستمع الأذان فإن سمع أذانا أمسك وإلا أغار
Dari
Anas bin Malik radliyallaahu ’anhu ia berkata : ”Adalah Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam apabila hendak menyerang satu daerah ketika terbit fajar.
Beliau menunggu suara adzan, jika beliau mendengar suara adzan maka beliau
menahan diri. Namun jika beliau tidak mendengar, maka beliau menyerang” [HR.
Muslim no. 382].
Hadits
di atas menunjukkan bahwasannya adzan merupakan faktor penghalang tidak
diserangnya sebuah negeri/penduduk. Hal itu dikarenakan bahwa negeri tersebut
adalah negeri muslim yang ditegakkan shalat berjama’ah di dalamnya. Jika ada
faktor pencegah untuk menyerang satu negeri/penduduk (yaitu terdengar dan
dikumandangkannya adzan), maka hal itu berlaku pula untuk menahan serangan
kepada penguasanya yang menegakkan syi’ar-syi’ar adzan dan shalat. Sudah
merupakan konsekunsi logis dalam syari’at. Dan itulah makna penegakan shalat
yang mencegah diangkatnya senjata dalam bahasan ini.
Jika
kemudian ada sebagian orang/kelompok menginginkan makna maa aqaamuu
fiikumush-shalah adalah penegakan hukum secara keseluruhan (karena dianggap
sebagai kinayah), maka ini jelas pendapat yang sangat lemah dan tidak
berdasar. Cabang bahasan kinayah adalah cabang bahasan majaz[1].
Sesuai dengan kaidah yang ada, satu lafadh pada asalnya harus dibawa kepada makna
hakikat/dhahir (al-ashlu fil-kalaami al-haqiiqatu). Ibnul-Qayyim telah
menjelaskan bahwa makna majaz dan ta’wil tidak termasuk dalam al-manshush,
akan tetapi masuk ke dalam lafadh yang dhahir muhtamal (mengandung
kemungkinan/ambignuitas). Selagi satu lafadh masih bisa dibawa kepada makna
hakikat/dhahir, maka tidak boleh dibawa kepada makna majaz, kecuali setelah
memenuhi beberapa persyaratan yang dikenal dalam ilmu Ushul Fiqh.
Jika
ada orang yang beralasan : Lafadh ”Kitabullah” dalam hadits : “Seandainya
yang memerintah kalian seorang budak Habsyi berdasarkan Kitabullah, maka dengar
dan taatilah” [HR. Muslim no. 1838] menunjukkan makna induk dari lafadh
”shalat”.
Kita
jawab : Pertama, sesuai dengan kaidah sebelumnya, satu lafadh
harus kita pahami sesuai dengan hakikatnya. Kedua, Lafadh “Kitabulah”
dalam hadits tersebut adalah lafadh yang muthlaq (yaitu lafadh yang mengandung
pengertian umum pada jenisnya). Menegakkan Kitabullah itu secara dhahir
mengandung makna menegakkan seluruh dari apa yang termaktub di dalamnya baik
dalam masalah aqidah, hukum, akhlaq, dan yang lainnya. Dan hal ini tidaklah
mungkin ada/terlaksana secara sempurna kecuali pada diri Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam dan era Khulafaur-Rasyidin. Adapun setelah itu, maka hukum
Islam tidaklah ditegakkan secara sempurna sampai dengan hari ini. Dan memang,
bukanlah makna ini yang dimaui oleh syari’at. Makna menegakkan Kitabullah
itu di-taqyid (dibatasi pengertiannya) dengan kata “shalat” (Taqyid
Munfashil). Jika ada dalil muthlaq dan muqayyad tentang satu
hal yang mempunyai kesamaan sebab dan hukum, maka dalil muthlaq harus
dibawa kepada dalil muqayyad (hamlul-muthlaq ‘alal-muqayyad wajibun)
[silakan lihat kaidah ini dalam kitab Irsyaadul-Fuhuul oleh Imam
Asy-Syaukani hal. 213-214; Maktabah Sahab].
Bersambung
insya Allah............
[1] Yaitu jenis majaz mursal juz’iyyah
(menyebut sebagian, namun yang dimaksudkan adalah seluruh bagian).
Comments
Posting Komentar