Allah
ﷻ berfirman:
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ
بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Dan
demikianlah Kami jadikan sebagian orang yang dhalim sebagai pemimpin bagi
sebagian yang lain disebabkan amal yang mereka lakukan” [QS. Al-An’aam:
129].
Dalam
ayat ini Allah ﷻ
menjelaskan tentang sebab dan akibat. Yaitu bahwa diberikannya pemimpin yang
dhalim kepada satu kaum adalah disebabkan karena kedhaliman yang mereka
lakukan.
Qataadah
rahimahullah (w. 117 H) berkata
ketika menafsirkan ayat di atas:
وَإِنَّمَا يُوَلِّي اللَّهُ بَيْنَ
النَّاسِ بِأَعْمَالِهِمْ، فَالْمُؤْمِنُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِ، أَيْنَ كَانَ،
وَحَيْثُ كَانَ، وَالْكَافِرُ وَلِيُّ الْكَافِرِ، أَيْنَمَا كَانَ، وَحَيْثُمَا
كَانَ، لَيْسَ الإِيمَانُ بِالتَّمَنِّي وَلا بِالتَّحَلِّي
"Allah
hanyalah menjadikan wali diantara manusia berdasarkan amal perbuatan mereka.
Maka, orang mukmin adalah wali (pemimpin) bagi orang mukmin dimanapun juga.
Begitu juga orang kafir adalah wali bagi orang kafir dimanapun juga. Keimanan
bukanlah dengan angan-angan dan berhias (akan tetapi dengan keyakinan, ucapan,
dan perbuatan anggota badan)" [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan,
12/119 dan Ibnu Abi Haatim dalam Tafsiir-nya hal. 1388-1389 no. 7899-7900;
shahih].
Penafsiran
Qataadah ini dikuatkan oleh Ibnu Jariir Ath-Thabariy rahimahumallah (w.
310 H) [Jaami’ul-Bayaan, 9/559].
Maalik
bin Diinaar rahimahullah (w. 130 H) berkata:
قَرَأْتُ فِي الزَّبُورِ: إِنِّي أَنْتَقِمُ
مِنَ الْمُنَافِقِ بِالْمُنَافِقِ، ثُمَّ أَنْتَقِمُ مِنَ الْمُنَافِقِينَ
جَمِيعًا، وَذَلِكَ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَوْلُ اللَّهِ: وَكَذَلِكَ نُوَلِّي
بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ"
“Aku
membaca di Zabuur : Sesungguhnya Aku (Allah) memberikan hukuman orang munafik dengan
orang munafik. Kemudian setelah itu Aku berikan hukuman kepada orang-orang munafik
semuanya. Dan hal tersebut terdapat dalam Kitabullah, yaitu firman Allah : ‘Dan
demikianlah Kami jadikan sebagian orang yang dhalim sebagai pemimpin bagi
sebagian yang lain disebabkan amal yang mereka lakukan’ (QS. Al-An’aam: 129)”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dalam Tafsiir-nya hal. 1389 no. 7901;
shahih].
Muhammad
bin Al-Munkadir rahimahullah (w. 130 H) berkata:
كَانَ يُقَالُ: إِذَا أَرَادَ اللَّهُ
بِقَوْمٍ شَرًّا أَمَّرَ عَلَيْهِمْ شِرَارَهُمْ، وَجَعَلَ أَرْزَاقَهُمْ
بِأَيْدِي بخلائهم
“Dulu
dikatakan : Apabila Allah menghendaki kejelekan pada satu kaum, akan dijadikan
pemimpin atas mereka orang yang paling jelek diantara mereka, dan Allah jadikan
rizki-rizki mereka di tangan orang-orang kikir di kalangan mereka”
[Diriwayatkan oleh Al-Kharaaithiy dalam Masaawiul-Akhlaaq hal. 165 no.
351; sanadnya hasan].
Senada
dengan Ibnul-Munkadir, Manshuur bin Abil-Aswad rahimahumullah berkata:
سَأَلْتُ الأَعْمَشَ عَنْ قَوْلِهِ
تَعَالَى: وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا
يَكْسِبُونَ مَا سَمِعْتَهُمْ يَقُولُونَ فِيهِ؟ قَالَ: " سَمِعْتُهُمْ
يَقُولُونَ إِذَا فَسَدَ النَّاسُ أُمِّرَ عَلَيْهِمْ شِرَارُهُمْ "
Aku
pernah bertanya kepada Al-A’masy (w. 147/148 H) tentang firman-Nya ﷻ : ‘Dan demikianlah Kami jadikan
sebagian orang yang dhalim sebagai pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan
amal yang mereka lakukan’ (QS. Al-An’aam: 129). Apa yang engkau dengar dari
mereka tentang ayat ini ?. Ia menjawab : “Aku mendengar mereka berkata :
‘Apabila manusia telah rusak, akan dijadikan pemimpin atas mereka orang yang
paling jelek diantara mereka” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’,
5/50; sanadnya hasan].
‘Mereka’
yang dimaksudkan dalam perkataan Al-A’masy (Sulaimaan bin Mihraan) adalah sebagian
taabi’iin dan shahabat Nabi ﷺ yang ditemui Al-A’masy rahimahumullah,
karena dirinya seorang taabi’iy.
Ibnu
Katsiir rahimahullah (w. 774 H) berkata:
ومعنى الآية الكريمة: كما ولينا هؤلاء
الخاسرين من الإنس تلك الطائفة التي أغْوَتهم من الجن، كذلك نفعل بالظالمين، نسلط
بعضهم على بعض، ونهلك بعضهم ببعض، وننتقم من بعضهم ببعض، جزاء على ظلمهم وبغيهم.
“Makna
ayat yang mulia ini adalah : Sebagaimana Kami jadikan bagi orang-orang yang
merugi dari kalangan manusia, wali dari golongan jin yang menyesatkan mereka
(manusia). Dan begitu juga yang Kami lakukan terhadap orang-orang yang dhalim,
(yaitu) Kami kuasakan sebagian mereka terhadap sebagian yang lain, Kami
binasakan sebagian mereka melalui sebagian yang lain, Kami timpakan hukuman
sebagian mereka dengan sebagian yang lain; sebagai balasan atas kedhaliman dan
kejahatan mereka” [Tafsiir Al-Qur’aanil-‘Adhiim, 6/175 – Muassasah
Al-Qurthubah, Cet. 1/1421].
Al-Baghawiy
rahimahullah berkata:
{ وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ
بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ } [قيل: أي] كما خذلنا عصاة الجن والإنس حتى
استمتع بعضهم ببعض نولي بعض الظالمين بعضا، أي: نسلط بعضهم على بعض، فنأخذ من
الظالم بالظالم، كما جاء: "من أعان ظالما سلطه الله عليه" .
وقال قتادة: نجعل بعضهم أولياء بعض،
فالمؤمن ولي المؤمن [أين كان] والكافر ولي الكافر حيث كان. وروي عن معمر عن قتادة:
نتبع بعضهم بعضا في النار، من الموالاة، وقيل: معناه نولي ظلمة الإنس ظلمة الجن،
ونولي ظلمة الجن ظلمة الإنس، أي: نكل بعضهم إلى بعض، كقوله تعالى:(نوله ما
تولى)(النساء، 115)، وروى الكلبي عن أبي صالح عن ابن عباس رضي الله عنهما في
تفسيرها هو: أن الله تعالى إذا أراد بقوم خيرا ولّى أمرهم خيارهم، وإذا أراد بقوم
شرا ولى أمرهم شرارهم.
“Firman
Allah ﷻ : ‘Dan demikianlah Kami jadikan
sebagian orang yang dhalim sebagai wali/pemimpin bagi sebagian yang lain
disebabkan amal yang mereka lakukan’ (QS. Al-An’aam: 129), dikatakan
maknanya : Sebagaimana Kami biarkan golongan jin dan manusia yang durhaka
hingga sebagian mereka merasa senang dengan sebagian yang lain. ‘Kami jadikan
sebagian orang yang dhalim sebagai wali/pemimpin sebagian yang lain’, yaitu
: Kami berikan kuasa sebagian mereka atas sebagian yang lain, lalu Kami ambil (sesuatu)
dari orang yang dhalim tersebut melalui orang dhalim yang lain, sebagaimana
riwayat : ‘Barangsiapa yang menolong orang dhalim, niscaya Allah akan kuasakan
orang dhalim tersebut atas dirinya’.
Qataadah
berkata : Kami jadikan sebagian mereka sebagai wali sebagian yang lain. Orang
mukmin adalah wali/pemimpin bagi orang mukmin lainnya dimanapun berada, dan orang
kafir adalah wali/pemimpin bagi orang kafir lainnya dimanapun berada. Diriwayatkan
dari Ma’mar, dari Qataadah : Kami jadikan sebagian mereka mengikuti sebagian
lainnya di neraka. Dikatakan, maknanya adalah : Kami jadikan manusia dhalim
sebagai wali jin yang dhalim, dan jin yang dhalim sebagai wali manusia yang
dhalim; yaitu : Kami kuasakan sebagian mereka kepada sebagian yang lain
sebagaimana firman-Nya : ‘Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang
telah dikuasainya itu’ (QS. An-Nisaa’ : 115). Al-Kalbiy meriwayatkan dari
Abu Shaalih, dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa terkait tafsir
ayat tersebut : ‘Apabila Allah ﷻ menghendaki kebaikan pada satu kaum, maka
Ia akan jadikan orang terbaik di kalangan mereka yang mengurus urusan mereka.
Sebaliknya, apabila Allah ﷻ
menghendaki kejelekan pada satu kaum, maka Ia akan jadikan orang terjelek di
kalangan mereka yang mengurus urusan mereka” [Ma’aalimut-Tanziil, 3/189
– Daar Thayyibah, Cet. 1/1409].
Pemimpin
adalah cerminan dari (mayoritas) rakyatnya. Seekor monyet hanya menjadi
pemimpin bagi kawanannya di pepohonan. Ia tidak akan pernah menjadi pemimpin
bagi kawanan singa di rimba belantara. Masyhur dikatakan:
كَمَا تَكُونُوا يُوَلَّى عَلَيْكُمْ
“Sebagaimana
keadaan kalian, maka seperti itulah kalian akan mendapatkan pemimpin”.
Ibnul-Qayyim
rahimahullah berkata:
وتأمل حكمته تعالى في ان جعل ملوك العباد
وأمراءهم وولاتهم من جنس اعمالهم بل كأن أعمالهم ظهرت في صور ولاتهم وملوكهم فإن
استقاموا استقامت ملوكهم وإن عدلوا عدلت عليهم وإن جاروا جارت ملوكهم وولاتهم وإن
ظهر فيهم المكر والخديعة فولاتهم كذلك وإن منعوا حقوق الله لديهم وبخلوا بها منعت
ملوكهم وولاتهم ما لهم عندهم من الحق ونحلوا بها عليهم وإن اخذوا ممن يستضعفونه ما
لا يستحقونه في معاملتهم اخذت منهم الملوك ما لا يستحقونه وضربت عليهم المكوس
والوظائف وكلما يستخرجونه من الضعيف يستخرجه الملوك منهم بالقوة فعمالهم ظهرت في
صور اعمالهم
“Dan
perhatikanlah hikmah Allah ﷻ
menjadikan raja dan pemimpin hamba-hamba-Nya berdasarkan jenis amal perbuatan
mereka. Bahkan seakan-akan amal perbuatan mereka nampak dalam bentuk pemimpin
dan raja yang memerintah mereka. Apabila mereka (rakyat) istiqamah, maka istiqamah
pula raja-raja mereka. Apabila mereka adil, maka akan adil pula raja yang memerintah
mereka. Apabila mereka dhalim, maka akan dhalim pula raja dan pemimpin mereka.
Apabila nampak/merebak perbuatan makar dan tipu daya pada mereka, maka pemimpin
mereka pun akan berbuat demikian. Apabila mereka menahan hak-hak Allah di
tangan mereka lagi kikir/bakhil, maka raja dan pemimpin mereka akan menahan apa
yang menjadi hak mereka (rakyat). Apabila mereka (rakyat) mengambil sesuatu yang
bukan haknya dari orang-orang yang lemah dalam muamalah, maka para raja akan
mengambil sesuatu yang bukan haknya dan menetapkan pajak dan wadhifah atas
mereka. Dan, setiap kali mereka (rakyat) memeras orang yang lemah, maka para raja
akan mengambilnya lagi dari mereka secara paksa. Jadi, para penguasa mereka
muncul sesuai amal perbuatan mereka (rakyat)” [Miftaah Daaris-Sa’aadah, hal.
253].
Abu
Bakr radliyallaahu ‘anhu terangkat menjadi khalifah bagi rakyatnya,
yaitu para manusia teladan dari kalangan shahabat dan pembesar taabi’iin,
yang mereka ini sebaik-baik umat[1].
Begitu juga para khalifah setelahnya seperti ‘Umar, ‘Utsmaan, dan ‘Aliy radliyallaahu
‘anhum. Tauhid dan sunnah mengalami puncak kejayaan di tengah kaum
muslimin.
Berbeda
halnya ketika zaman Al-Ma’muun, Al-Mu’tashim, dan Al-Watsiiq; trio khalifah Dinasti ‘Abbaasiyyah. Di masa mereka, bid’ah Mu’tazilah-Jahmiyyah mengalami era
keemasan. Begitu juga cabang-cabang bid’ah ushuliyyah lain seperti Raafidlah,
Khawaarij, Qadariyyah, Jabriyyah, dan Murji’ah. Hasilnya? Sunnah dimusuhi dan
orang-orangnya (Ahlus-Sunnah) diperangi. Muhammad bin Nuuh Al-‘Ijliy, Nu’aim
bin Hammaad Al-Khuzaa’iy, Abu Ya’quub Al-Buwaithiy, Ahmad bin Nashr Al-Khuzaa’iy
rahimahumullah adalah sedikit contoh ulama yang meninggal akibat fitnah
di zaman mereka.
Melompat
beberapa abad berikutnya. Ketika kesyirikan dan bid’ah (semakin) menyebar,
pemimpin-pemimpin lemah bermunculan. Mereka mengangkat para pejabat dari
kalangan rusak. Hasilnya?. Baghdad jatuh tahun 656 H.
Korea
Utara yang mayoritas rakyatnya tak beragama mendapatkan pimpinan gila Kim
Jong-un. Jepang dan Korea Selatan yang mayoritas rakyatnya penghamba dunia,
mendapatkan pemimpin yang sesuai selera rakyatnya. Masyarakat Mesir yang demen
demonstrasi dan mengadopsi budaya asing mendapatkan pemimpin As-Siisiy. Dan
seterusnya.
Bukankah
Allah ta’ala berfirman:
وَمَآ أَصَابَكُمْ مّن مّصِيبَةٍ فَبِمَا
كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُواْ عَن كَثِيرٍ
“Dan
apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan
tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu)” [QS. Asy-Syuuraa : 30].
أَلَمْ يَرَوْا كَمْ أَهْلَكْنَا مِنْ
قَبْلِهِمْ مِنْ قَرْنٍ مَكَّنَّاهُمْ فِي الأرْضِ مَا لَمْ نُمَكِّنْ لَكُمْ
وَأَرْسَلْنَا السَّمَاءَ عَلَيْهِمْ مِدْرَارًا وَجَعَلْنَا الأنْهَارَ تَجْرِي
مِنْ تَحْتِهِمْ فَأَهْلَكْنَاهُمْ بِذُنُوبِهِمْ وَأَنْشَأْنَا مِنْ بَعْدِهِمْ
قَرْنًا آخَرِينَ
“Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyaknya
generasi-generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi
itu), telah Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang
belum pernah Kami berikan kepadamu, dan Kami curahkan hujan yang lebat atas
mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka, kemudian Kami
binasakan mereka karena dosa mereka sendiri, dan kami ciptakan sesudah
mereka generasi yang lain” [QS. Al-An’aam : 6].
Bukankah
Nabi ﷺ bersabda:
وَلمَ ْيَنْقُصُوْا اْلمِكْيَالَ
وَاْلمِيْزَانَ إِلَّا أَخَذُوْا بِالسِّنِيْنَ وَشِدَّةِ اْلمَئُوْنَةِ وَجُوْرِ
السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ
"Dan
tidaklah mereka mereka mengurangi takaran dan timbangan, kecuali akan
ditimpakan kepada mereka paceklik dan, kesusahan hidup, dan kedhaliman para
penguasa atas mereka" [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 4019;
dihasankan oleh Al-Albaaniy rahimahullah dalam Silsilah Ash-Shahiihah
no. 4009].
مَا تَوَادَّ اثْنَانِ فِي اللَّهِ جَلَّ وَعَزَّ
أَوْ فِي الإِسْلامِ، فَيُفَرِّقُ بَيْنَهُمَا إِلا بِذَنْبٍ يُحْدِثُهُ
أَحَدُهُمَا
“Tidaklah
dua orang yang saling mengasihi karena Allah ‘azza wa jalla atau karena Islam
lalu keduanya berpisah, melainkan disebabkan dosa yang dilakukan salah seorang
dari keduanya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no.
401 dan dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah no.
637].
وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ
بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ
“Dan
sesungguhnya seseorang diharamkan mendapatkan rizki karena dosa yang ia lakukan”
[Diriwayatkan oleh Ahmad 5/277 & 5/280 & 5/282, Ibnu Maajah no. 90
& 4022, serta Ibnu Hibbaan no. 872 dan ia menshahihkannya].
Beberapa
shahabat ‘Imraan bin Hushain radliyallaahu ‘anhu (w. 52 H) pernah menengoknya yang sedang tertimpa musibah di badannya. Sebagian mereka berkata :
“Sesungguhnya kami bersedih hati dikarenakan apa yang sedang menimpamu”. Ia (‘Imraan)
berkata:
فَلا تَبْتَئِسْ لِمَا تَرَى، فَإِنَّمَا
نَزَلَ بِذَنْبٍ وَمَا يَعْفُو اللَّهُ عَنْهُ أَكْثَرُ، قَالَ: ثُمَّ تَلا
عِمْرَانُ هَذِهِ الآيَةَ، وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ
أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ " إِلَى آخِرِ الآيَةِ
“Jangan
kalian bersedih hati terhadap apa yang kalian lihat, karena ini hanyalah menimpa dengan
sebab dosa, sedangkan apa yang dimaafkan Allah darinya lebih banyak”. Kemudian ‘Imraan
membaca ayat : ‘Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan
oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu)” (QS. Asy-Syuuraa : 30) [Diriwayatjan oleh Haakim
2/445-446 dan ia berkata : “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya”].
Adl-Dlahhaak
bin Muzaahim rahimahullah (w. setelah tahun 100 H) berkata:
مَا تَعَلَّمَ رَجُلٌ الْقُرْآنَ ثُمَّ
نَسِيَهُ إِلَّا بِذَنْبٍ ثُمَّ قَرَأَ الضَّحَّاكُ وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ
مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
“Tidaklah seseorang mempelajari Al-Qur’an kemudian
dirinya melupakannya kecuali disebabkan oleh dosa (yang ia perbuat)”. Kemudian
Adl-Dlahhaak membaca ayat ‘Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka
adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri‘ (QS. Asy-Syuuraa : 30)”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 7/162 no. 30496; sanadnya hasan].
Begitu
juga Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy rahimahullah (w. 204 H) berkata
dalam baitnya yang terkenal:
شكــوت إلى وكيـع سـوء حفظــي
فأرشــدني
إلى تـــرك المعــــاصي
“Aku
mengadu kepada Wakii’ (salah satu guru beliau) tentang jeleknya hafalanku,
lalu ia menunjukkan
kepadaku agar meninggalkan kemaksiatan”.
Jika
(sebagian) kita menganggap diantara musibah yang menimpa bangsa kita saat ini
adalah karena berkuasanya para pemimpin yang jauh dari agama, lemah, dan tidak
kompeten, seharusnya kita mengaca diri bagaimana keadaan (mayoritas) bangsa
kita. Apakah kondisi (mayoritas) bangsa kita benar-benar mengenal
dan mengamalkan ketauhidan dan sunnah serta menjauhi bid’ah dan kesyirikan ?
Apakah persatuan kaum muslimin bangsa kita terikat kuat di atas landasan yang
haq ?.[2]
Apakah kita yang sering berbicara
profesionalisme, kompetensi, dan integritas untuk orang lain sudah merasa memiliki
ketiga hal itu ?.
Kita
– mohon maaf bagi yang tidak merasa – adalah orang yang sangat susah merasa (ikut)
bersalah dan paling senang menimpakan kekeliruan pada orang lain. “Itu bukan
salahku, bukan dosaku !!”.
Kita
mendambakan seorang pemimpin yang sopan dan beretika. Ironis, di lapangan kita
berperang julukan Cebong dan Kampret.
Tahun
2019 kita bercita-cita terpilih pemimpin yang melek agama dan beraqidah kuat.
Naasnya, banyak diantara kita malah ‘masuk angin’ dalam mendakwahkan sunnah dan
ketauhidan karena segerbong dengan para pelaku kesyirikan dan hobbyist
bid’ah[3].
Bersatu badan karena kesamaan kepentingan memperjuangkan tagar politik #2019GantiPresiden.
Kemarin
sebagian diantara kita mentertawakan pernyataan tokoh pro-Pemerintah yang menegasikan
faktor internal/salah kebijakan sebagai faktor pelemahan nilai rupiah dan (terkesan)
mengkambinghitamkan faktor eksternal seperti krisis Argentina, komentar pejabat
dunia, normalisasi kebijakan Bank Sentral AS, perang dagang AS-Tiongkok, dll.
Hingga besarnya jumlah jama’ah haji dan ‘umrah pun dijadikan alasan. Ya itulah
kita. Fenomena ini bukan baru muncul empat tahun belakangan, tapi sudah lama,
kronis. Penyakit umumnya bangsa Indonesia yang gengsi mengakui kekeliruan. Yang
berkomentar sama seperti yang dikomentari, hanya berbeda tema dan posisi.
Kita
harus senantiasa beristighfar, bertaubat, introspeksi, memperbaiki diri, dan
ambil bagian dalam memperbaiki umat. Bukan adu tagar di tengah pemimpin yang sah masih menjalankan pemerintahannya.
Setelah
menjelaskan kewajiban taat kepada penguasa muslim yang dhalim, Ibnu Abil-‘Izz
Al-Hanafiy rahimahullah berkata:
فَإِنَّ الله تعالى مَا سَلَّطَهُمْ
عَلَيْنَا إِلَّا لِفَسَادِ أَعْمَالِنَا ، وَالْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ ،
فَعَلَيْنَا الِاجْتِهَادُ بالِاسْتِغْفَارِ وَالتَّوْبَة وَإِصْلَاحِ الْعَمَلِ .
قَالَ تعالى : { وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ } وَقَالَ تعالى : { أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ
قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ
أَنْفُسِكُمْ } وَقَالَ تعالى : { مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ
وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ }. { وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ
الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ } (4) . فَإِذَا أَرَادَ
الرَّعِيَّة أَنْ يَتَخَلَّصُوا مِنْ ظُلْمِ الْأَمِيرِ الظَّالِمِ .
فَلْيَتْرُكُوا الظُّلْمَ .
“Sesungguhnya
Allah ﷻ tidak
menjadikan mereka berkuasa atas kita (dengan segala kejahatan/kedhalimannya) melainkan
karena kerusakan amal-amal kita. Balasan yang diberikan itu tergantung dari
jenis amal yang diperbuat. Maka, yang menjadi kewajiban bagi kita adalah
bersungguh-sungguh dalam memohon ampun, bertaubat, dan memperbaiki amal. Allah ﷻ berfirman : ‘Dan apa
musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu
sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)’
(QS. Asy-Syuuraa : 30). ‘Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari
Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu
sendiri’ (QS. An-Nisaa’ : 79). ‘Dan demikianlah Kami jadikan sebagian
orang yang dhalim sebagai pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan amal yang
mereka lakukan’ (QS. Al-An’aam : 129). Maka, apabila rakyat ingin
mengakhiri/melepaskan diri dari kedhaliman pemimpin yang dhalim, hendaklah
mereka meninggalkan kedhaliman juga” [Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah,
hal. 543].
Ini
semua adalah firman Allah ﷻ dan sabda Nabi ﷺ yang PASTI benar. Kita
mengimaninya tanpa ada keberatan dan keterpaksaan, karena Al-Qur'an bukan
seperti kata RG, fiksi. Allah ﷻ
tidak pernah dan tidak akan pernah dhalim kepada hamba-Nya sedikitpun[4].
So,
jangan malu berefleksi diri. Stop tebar opini:
'Rakyat
jangan disalahkan terus, musibah ini hanyalah kesalahan pemimpin. Saya tidak
merasa turut andil dalam musibah ini’.
Ingat firman Allah ﷻ
:
وَاتّقُواْ فِتْنَةً لاّ تُصِيبَنّ
الّذِينَ ظَلَمُواْ مِنكُمْ خَآصّةً
“Dan
peliharalah dirimu daripada siksaan (fitnah) yang tidak khusus menimpa
orang-orang dhalim saja di antara kamu” [QS. Al-Anfaal : 25].
Terakhir,
mari kita memohon ampun dan bertaubat - termasuk bagi Anda yang tidak merasa
punya dosa terhadap musibah yang menimpa negeri Anda - dalam rangka
melaksanakan perintah Allah ﷻ
:
وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا
إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ
ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ ۖ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ
يَوْمٍ كَبِيرٍ
"Dan
hendaklah kamu memohon ampunan kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya, niscaya
Dia akan memberi kenikmatan yang baik kepadamu sampai waktu yang telah
ditentukan. Dan Dia akan memberikan karunia-Nya kepada setiap orang yang
berbuat baik. Dan jika kamu berpaling, maka sungguh aku takut kamu akan ditimpa
azab pada hari yang besar (Kiamat)" [QS. Huud : 3].
Al-Muzanniy
rahimahullah berkata:
والتوبة إلى الله عز وجل كيما يعطف بهم على
رعيتهم
“Dan
hendaknya bertaubat kepada Allah 'azza wa jalla agar supaya pemimpin
berkasih-sayang kepada rakyatnya" [Syarhus-Sunnah lil-Muzanniy,
hal. 85, tahqiiq : Jamaal ‘Azzuun].
Wallaahu
a’lam.
[abul-jauzaa’
– rnn – 2 Muharram 1440 H].
خَيْرُ
أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
"Sebaik-baik
ummatku adalah yang orang-orang hidup pada jamanku (generasiku) kemudian orang-orang
yang datang setelah mereka kemudian orang-orang yang datang setelah mereka"
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3650, Muslim no. 2535, An-Nasaa’iy 7/17,
Ahmad 4/426-427, dan Abu Dawud no. 4657].
[2] Silakan baca artikel di Blog ini berjudul Persatuan
dan Persatuan
(Lagi).
[3] Baik bid’ah i’tiqadiy (Jahmiyyah,
Asy’ariyyah, Qadariyyah, Haruuriyyah, dll.) maupun ‘amaliy.
إِنَّ
اللَّهَ لا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا
وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun
sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan
melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar” [QS. An-Nisaa’ : 40].
Comments
Syukron Ustadz, mencerdaskan dan jauh lebih memberikan manfaat serta ilmiah.
Jika dibandingkan dengan tulisan seorang yg mengaku "ulama" tingkat doktor yg bisanya cuma "saya benar, kamu salah", lalu cari dalil untuk menguatkan. Sepertinya beliau beras paling pintar agama di negeri ini... he.he (Maaf, curhat, gundah banget liatnya).
Teruslah berkarya Ustadz, agar kami dapat lebih paham akan agama ini. Semoga Allah senantiasa menjaga antum.
Assalamuallaikum
Assalamu'alaikum ustadz bagaimana hukumnya jika suatu daerah atau negara dipimpinnya oleh seorang wanita.
Bagaimana hukumnya di dalam syari'at Islam.
Mohon penjelasan nya
Posting Komentar