Para ulama telah sepakat bahwa ketaatan gugur
ketika penguasa tertimpa kekafiran, karena imamah tidak boleh diserahkan
kepada orang kafir.
Ibnul-Mundzir rahimahullah berkata :
أجمع كل من يحفظ عنه من أهل العلم أن الكافر
لا ولاية له على مسلم بحال
“Para ulama telah bersepakat bahwa orang kafir
tidak boleh diserahi kekuasaan atas muslim dalam keadaan apapun” [Dinukil oleh
Ibnul-Qayyim dalam Ahkaamu Ahlidh-Dhimmah, hal. 237].
Al-Qaadliy Abu Ya’laa rahimahullah berkata
:
إن كفر بعد إيمانه فقد خرج عن الإمامة وهذا
لا إشكال فيه، لأنه قد خرج عن الملة، ووجب قتله
“Apabila pemimpin menjadi kufur setelah keimanannya, sungguh ia mesti keluar dari
kepemimpinan/imaamah (kaum muslimin). Tidak ada berarti dia harus diturunkan dari tampuk
kepemimpinannya. Tidak ada perbedaan pendapat tentang masalah ini, karena ia
telah keluar dari agama (murtad), dan bahkan ia mesti dibunuh” [Al-Mu’tamad
fii Ushuuliddiin hal. 243].
Ibnu Hajar berkata :
انه ينعزل بالكفر إجماعا فيجب على كل مسلم
القيام في ذلك فمن قوي على ذلك فله الثواب ومن داهن فعليه الإثم ومن عجز وجبت عليه
الهجرة من تلك الأرض
”Bahwasannya mencopot (seorang pemimpin)
karena kekufuran merupakan ijma’. Maka wajib bagi setiap muslim untuk melakukan
hal tersebut. Barangsiapa yang mampu melakukanya, maka ia mendapatkan pahala.
Barangsiapa yang tidak mau melakukannya (padahal dia mampu), maka ia
mendapatkan dosa. Dan barangsiapa yang lemah (tidak memiliki kemampuan), maka
ia harus berhijrah meninggalkan negeri tersebut” [Fathul-Bari juz
13 syarah hadits no. 6725].
Akan tetapi para ulama
berbeda pendapat[1] tentang kebolehan
keluar ketaatan dari penguasa yang dhaalim yang melakukan pelanggaran terhadap
hukum-hukum Allah ta’ala.
Abul-Hasan Al-Asy’ary rahimahullah meringkas perbedaan pendapat tersebut sebagai berikut :
واختلف الناس في السيف على أربعة أقاويل: فقالت
المعتزلة والزيدية والخوارج وكثير من المرجئة: ذلك أوجب إذا أمكننا أن نزيل
بالسيف أهل البغي ونقيم الحق واعتلوا بقول الله عز وجل: {وَتَعَاوَنُوا عَلَى
الْبِرِّ وَالتَّقْوَى}. وبقوله : {فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ
إِلَى أَمْرِ اللَّهِ}. واعتلوا بقول الله عز وجل : {قَالَ لا يَنَالُ عَهْدِي
الظَّالِمِينَ}. وقالت الروافض بإبطال السيف ولو قتلت حتى يظهر الإمام فيأمر
بذلك. وقال أبو بكر الأصم ومن قال بقوله: السيف إذا اجتمع على إمام عادل
يخرجون معه فيزيل أهل البغي. وقال
قائلون: السيف باطل ولو قتلت الرجال وسبيت الذرية وأن الإمام قد يكون عادلاً ويكون
غير عادل وليس لنا إزالته وإن كان فاسقاً وأنكروا الخروج على السلطان ولم يروه
وهذا قول واخلفوا في إنكار المنكر والأمر بالمعروف بغير السيف: فقال قائلون:
تغير بقلبك فإن أمكنك فبلسانك فإن أمكنك فبيدك وأما السيف فلا يجوز وقال قائلون:
يجوز تغيير ذلك باللسان والقلب فأما باليد فلا.
”Manusia telah berselisih
pendapat dalam masalah (mengangkat) pedang menjadi empat pendapat, yaitu :
1.
Telah berkata Mu’tazillah,
Zaidiyyah[2],
Khawaarij, dan kebanyakan dari orang-orang Murji’ah : ”Hal itu
menjadi wajib apabila dengan pedang tersebut kita bisa menyingkirkan orang yang
berbuat aniaya/lalim (ahlul-baghy)
serta menegakkan kebenaran”. Mereka beralasan dengan firman Allah ’azza wa
jalla : ”Dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa” [QS. Al-Maaidah : 2]. ”Maka perangilah golongan yang berbuat
aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah” [QS.
Al-Hujuraat : 9]. Allah berfirman :
"Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang lalim" [QS.
Al-Baqarah : 124].
2.
Telah berkata Raafidlah (Syi’ah) untuk menggugurkan (mengangkat) pedang
sekalipun harus terbunuh hingga munculnya imam yang menyuruhnya (untuk
mengangkat pedang).
3.
Telah berkata Abu Bakr bin
Al-Asham dan orang-orang yang sependapat dengannya : Bahwasannya (mengangkat)
pedang diperbolehkan apabila orang-orang berkumpul bersama imam yang ’adil
dan keluar bersamanya untuk menyingkirkan orang yang berbuat aniaya/lalim (ahlul-baghyi).
4.
Telah berkata beberapa
golongan yang lain : ”(Mengangkat) pedang adalah bathil meskipun ada beberapa
orang yang terbunuh. Imam itu bisa jadi seorang yang adil atau tidak adil, dan
tidak boleh bagi kita untuk menyingkirkannya walaupun ia seorang yang fasiq”.
Mereka mengingkari tindakan keluar/memberontak kepada sulthan; dan mereka tidak
berpendapat dengan pendapat tersebut (mengangkat pedang kepada
sulthan/penguasa). Pendapat ini menyatakan, mengganti (cara-cara seperti itu)
dalam hal mengingkari kemungkaran dan ajakan kepada yang ma’ruf adalah
dengan (cara-cara) tanpa menggunakan pedang. Sebagian orang berkata : ”Ubahlah
(maksudnya : ingkarilah) dengan hatimu. Jika keadaan memungkinkan, maka ubahlah
dengan lisanmu. Dan jika keadaan lebih memungkinkan lagi, maka ubahlah dengan
tanganmu. Adapun dengan pedang (yang dengan itu terjadi penumpahan darah), maka
tidak diperbolehkan. Sebagian lain mengatakan : ”Diperbolehkan untuk mengubah
hal itu dengan lisan dan hati. Namun jika dengan tangan, maka tidak
diperbolehkan ” [selesai – Maqaalatul-Islamiyyin
hal. 139; Maktabah Al-Misykah].
Ibnu Hajar rahimahullah menambahkan keterangan :
وَقَالَ الطَّبَرِيُّ : اِخْتَلَفَ السَّلَف فِي
الْأَمْر بِالْمَعْرُوفِ ، فَقَالَتْ طَائِفَة يَجِب مُطْلَقًا وَاحْتَجُّوا
بِحَدِيثِ طَارِق بْن شِهَاب رَفَعَهُ " أَفْضَل الْجِهَاد كَلِمَة حَقّ
عِنْدَ سُلْطَان جَائِر " وَبِعُمُومِ قَوْله " مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا
فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ " الْحَدِيث . وَقَالَ بَعْضهمْ : يَجِب إِنْكَار
الْمُنْكَر ، لَكِنَّ شَرْطه أَنْ لَا يَلْحَق الْمُنْكِر بَلَاء لَا قِبَلَ لَهُ
بِهِ مِنْ قَتْلٍ وَنَحْوه . وَقَالَ آخَرُونَ : يُنْكِر بِقَلْبِهِ لِحَدِيثِ
أُمّ سَلَمَة مَرْفُوعًا " يُسْتَعْمَل عَلَيْكُمْ أُمَرَاء بَعْدِي ، فَمَنْ
كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ
وَتَابَعَ " الْحَدِيث
”Telah berkata Ath-Thabari :
’Orang-orang salaf saling berbeda pendapat dalam perkara menyuruh perbuatan
yang baik (al-amru bil-ma’ruf).
Sebagian orang berkata : Wajib secara mutlak, dengan dasar hadits dari jalan
Ibnu Syihab secara marfu’ : ”Seutama-utama
jihad adalah kalimat yang haq di sisi sulthan/penguasa yang jahat”. Dan
juga dari keumuman hadits : Barangsiapa diantara kalian yang melihat kemunkaran,
maka ubahlah dengan tanganmu (al-hadits). Sebagian yang lain berkata : Wajib
mengingkari kemungkaran, tapi dengan syarat bahwa orang tersebut tidak
menimbulkan kekacauan, seperti munculnya tindakan pembunuhan atau yang semisal.
Dan berkata sebagian yang lain lagi : Ia ingkari dengan hatinya berdasarkan
hadits Ummu Salamah secara marfu’ : Akan
diangkat penguasa untuk kalian setelahku. Barangsiapa yang membencinya, maka ia
telah berlepas diri. Dan barangsiapa yang mengingkarinya, maka ia telah
selamat. Akan tetapi, lain halnya dengan orang yang ridla dan patuh terhadap
pemimpin tersebut (al-hadits)” [Fathul-Baariy, 13/53].
Melalui tulisan ini, saya hanya akan menuliskan
sisi perajihan pendapat jumhur ulama yang menetapkan kewajiban mendengar dan
taat, serta haramnya keluar ketaatan dari seorang pemimpin (muslim), meski ia
dhalim lagi fajir.[3]
Dalil yang melandasi pendapat ini antara lain
adalah :
a.
Hadits ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit radliyallaahu ‘anhumaa.
حَدَّثَنَا
إِسْمَاعِيلُ، حَدَّثَنِي ابْنُ وَهْبٍ، عَنْ عَمْرٍو، عَنْ بُكَيْرٍ، عَنْ بُسْرِ
بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ، قَالَ: " دَخَلْنَا
عَلَى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ وَهُوَ مَرِيضٌ، قُلْنَا: أَصْلَحَكَ اللَّهُ،
حَدِّثْ بِحَدِيثٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهِ سَمِعْتَهُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَبَايَعْنَاهُ، فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا: أَنْ بَايَعَنَا عَلَى
السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا،
وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ
تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ "
Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil : Telah menceritakan kepadaku
Ibnu Wahb, dari ‘Amru, dari Bukair, dari Busr bin Sa’iid, dari Junaadah bin Abi
Umayyah, ia berkata : “Aku pernah masuk menemui ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit yang
wakti itu sedang sakit. Kami berkata : “Semoga Allah memperbaiki keadaanmu.
Ceritakanlah kepada kami satu hadits yang Allah telah memberikan manfaat
kepadamu dengannya yang engkau dengar dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Ia (‘Ubaadah) berkata : “Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyeru
kami, dan kami pun berbaiat kepada beliau. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda dalam hal yang beliau ambil perjanjian dari kami yaitu
kami bersumpah setia untuk mendengar dan taat baik dalam keadaan kami agar kami berbaiat untuk senantiasa mendengar
dan taat baik dalam keadaan senang ataupun benci, dalam keadaan kami sulit dan
dalam keadaan mudah, ketika kesewenang-wenangan menimpa kami; dan juga agar
kami tidak mencabut perkara (kekuasaan) dari ahlinya (yaitu penguasa). Lalu
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Kecuali bila kalian
melihat kekufuran yang jelas/nyata berdasarkan keterangan dari Allah”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7056].
Ibnu ‘Abdil-Barr setelah menyebutkan pendapat sebagian salaf yang
mengatakan bahwa hadits ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit itu hanya berlaku pada
penguasa yang ‘adil, baik, lagi kuat dalam memegang agama; berkata :
وأما جماعة أهل
السنة وأئمتهم فقالوا هذا هو الاختيار أن يكون الإمام فاضلا عالما عدلا محسنا قويا
على القيام كما يلزمه في الإمامة فإن لم يكن فالصبر على طاعة الإمام الجائر أولى
من الخروج عليه لأن في منازعته والخروج عليه استبدال الأمن بالخوف وإراقة الدماء
وانطلاق أيدي الدهماء وتبييت الغارات على المسلمين والفساد في الأرض وهذا أعظم من
الصبر على جور الجائر
“Adapun jama’ah Ahlus-Sunnah dan para imam mereka mengatakan bahwa hal
ini merupakan ikhtiyaar bahwa imam mesti terpuji/mempunyai keutamaan,
‘alim, ‘adil, baik, mampu melaksanakan mandat kepemimpinan sebagaimana
diwajibkan dalam perkara imaamah. Namun apabila tidak terwujud, maka
bersabar untuk mentaatinya lebih utama daripada keluar ketaatan terhadapnya,
karena dalam upaya penentangan/konfrontasi serta keluar ketaatan darinya
menyebabkan pergantian rasa aman menjadi ketakutan, pertumpahan darah, campur
tangan orang-orang awam, huru-hara, dan kerusakan di muka bumi. Semuanya ini
lebih besar (mafsadatnya) daripada bersabar atau kedhaliman penguasa” [Al-Istidzkaar,
5/15].
Al-Qurthubiy mengatakan perkataan yang semisal dengan Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahumallah
dalam Tafsiir-nya [2/109].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah
mengomentari hadits ini dengan perkataannya :
فأمرهم بالطاعة
ونهاهم عن منازعة الأمر أهله وأمرهم بالقيام بالحق
“Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka
untuk taat dan melarang mereka untuk melepaskan perkara dari ahlinya (mencopot)
serta memerintahkannya untuk selalu bertindak dalam kebenaran” [Al-Istiqaamah,
1/41].
Al-Kirmaaniy rahimahullah berkata :
فِي الْحَدِيث
حُجَّة فِي تَرْك الْخُرُوج عَلَى السُّلْطَان وَلَوْ جَارَ ، وَقَدْ أَجْمَعَ
الْفُقَهَاء عَلَى وُجُوب طَاعَة السُّلْطَان الْمُتَغَلِّب وَالْجِهَاد مَعَهُ
وَأَنَّ طَاعَته خَيْر مِنْ الْخُرُوج عَلَيْهِ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنْ حَقْن
الدِّمَاء وَتَسْكِين الدَّهْمَاء ، ...... ، وَلَمْ يَسْتَثْنُوا مِنْ ذَلِكَ
إِلَّا إِذَا وَقَعَ مِنْ السُّلْطَان الْكُفْر الصَّرِيح فَلَا تَجُوز طَاعَته
فِي ذَلِكَ بَلْ تَجِب مُجَاهَدَته لِمَنْ قَدَرَ عَلَيْهَا
“Di dalam hadits ini merupakan hujjah adanya larangan meluar ketaatan
memberontak terhadap sulthaan (penguasa), meskipun ia seorang yang dhalim. Dan
para fuqahaa’ telah bersepakat wajibnya taat kepada sulthaan yang
berkuasa dan jihad bersamanya, dan bahwasannya ketaatan kepadanya adalah
kebaikan dibandingkan keluar ketaatan terhadapnya, karena yang demikian itu
dapat melindungi (pertumpahan) darah dan menenangkan orang banyak…. Dan mereka
tidak membuat perkecualian dari hal tersebut kecuali terjadi kekufuran yang
jelas pada diri sulthaan, sehingga tidak diperbolehkan taat kepadanya dalam hal
itu, bahkan wajib berjihad melawannya bagi orang yang mempunyai kemampuan” [Fathul-Baariy,
13/7].
Al-Kirmaaniy rahimahullah dan fuqahaa’ yang ia maksudkan
hanya membuat perkecualian bolehnya keluar ketaatan dikarenakan faktor kekufuran
dari imam/sulthaan/penguasa. Selama ia tidak terjatuh dalam kekufuran, meskipun
ia berbuat maksiat maka tetap wajib mendengar dan taat – demi menghindari
mafsadat yang lebih besar.
An-Nawawiy rahimahullah
berkata :
وَمَعْنَى
الْحَدِيث : لَا تُنَازِعُوا وُلَاة الْأُمُور فِي وِلَايَتهمْ ، وَلَا
تَعْتَرِضُوا عَلَيْهِمْ إِلَّا أَنْ تَرَوْا مِنْهُمْ مُنْكَرًا مُحَقَّقًا
تَعْلَمُونَهُ مِنْ قَوَاعِد الْإِسْلَام ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ
فَأَنْكِرُوهُ عَلَيْهِمْ ، وَقُولُوا بِالْحَقِّ حَيْثُ مَا كُنْتُمْ ، وَأَمَّا
الْخُرُوج عَلَيْهِمْ وَقِتَالهمْ فَحَرَام بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ ، وَإِنْ
كَانُوا فَسَقَة ظَالِمِينَ
“Makna hadits ini adalah janganlah kalian menentang penguasa dalam
kekuasaan mereka. Dan jangan pula melawan mereka, kecuali kalian melihat dari
mereka kemungkaran yang nyata yang kalian ketahui dari kaedah-kaedah Islam.
Jika kalian melihat hal itu, ingkarilah mereka (dengan cara menasihatinya), dan
katakanlah kebenaran di manapun kalian berada. Adapun keluar ketaatan dan
memerangi mereka, maka haram hukumnya berdasarkan ijmaa’ kaum muslimin,
meskipun mereka berbuat kefasiqan lagi dhalim” [Syarh Shahiih Muslim, 12/229].
وَقَالَ جَمَاهِير
أَهْل السُّنَّة مِنْ الْفُقَهَاء وَالْمُحَدِّثِينَ وَالْمُتَكَلِّمِينَ : لَا
يَنْعَزِل بِالْفِسْقِ وَالظُّلْم وَتَعْطِيل الْحُقُوق ، وَلَا يُخْلَع وَلَا
يَجُوز الْخُرُوج عَلَيْهِ بِذَلِكَ ، بَلْ يَجِب وَعْظه وَتَخْوِيفه ؛
لِلْأَحَادِيثِ الْوَارِدَة فِي ذَلِكَ قَالَ الْقَاضِي : وَقَدْ اِدَّعَى أَبُو
بَكْر بْن مُجَاهِد فِي هَذَا الْإِجْمَاع ، وَقَدْ رَدَّ عَلَيْهِ بَعْضهمْ هَذَا
بِقِيَامِ الْحَسَن وَابْن الزُّبَيْر وَأَهْل الْمَدِينَة عَلَى بَنِي أُمَيَّة ،
وَبِقِيَامِ جَمَاعَة عَظْمِيَّة مِنْ التَّابِعِينَ وَالصَّدْر الْأَوَّل عَلَى
الْحَجَّاج مَعَ اِبْن الْأَشْعَث ، وَتَأَوَّلَ هَذَا الْقَائِل قَوْله : أَلَّا
نُنَازِع الْأَمْر أَهْله فِي أَئِمَّة الْعَدْل ، وَحُجَّة الْجُمْهُور أَنَّ
قِيَامهمْ عَلَى الْحَجَّاج لَيْسَ بِمُجَرَّدِ الْفِسْق ، بَلْ لَمَّا غَيَّرَ
مِنْ الشَّرْع وَظَاهَرَ مِنْ الْكُفْر ، قَالَ الْقَاضِي : وَقِيلَ : إِنَّ هَذَا
الْخِلَاف كَانَ أَوَّلًا ثُمَّ حَصَلَ الْإِجْمَاع عَلَى مَنْع الْخُرُوج
عَلَيْهِمْ . وَاَللَّه أَعْلَم
“Jumhur Ahlus-Sunnah dari kalangan fuqahaa', muhadditsiin,
dan ahli kalaam berkata : Seorang pemimpin tidak boleh diturunkan dengan
sebab kefasiqan, kedhaliman, peniadaan pelaksanaan hak-hak (kaum muslimin). Ia tidak boleh dicopot,
tidak boleh keluar ketaatan darinya dengan sebab hal tersebut. Bahkan wajib bagi
kaum muslimin untuk menasihatnya dan mengingatkannya agar takut kepada Allah -
berdasarkan hadits-hadits yang berkaitan dengan hal tersebut. Al-Qaadliy
berkata : 'Abu Bakr bin Mujaahid bahkan telah mengklaim adanya ijma' dalam
permasalahan ini’. Sebagian ulama membantah klaim ijmaa’ ini dengan
bukti perbuatan Al-Hasan, Ibnuz-Zubair, dan penduduk Madiinah yang keluar
ketaatan dari Bani Umayyah[4].
Dan juga dengan perbuatan sekelompok besar taabi’iin dan generasi awal
bersama Ibnul-Asy’ats terhadap Al-Hajjaaj (bin Yuusuf Ats-Tsaqafiy). Ulama yang
memegang pendapat ini (yang membolehkan keluar ketaatan) mena’wilkan perkataan
‘Ubaadah; ‘agar kami tidak mencabut
perkara (kekuasaan) dari ahlinya (yaitu penguasa)’; yaitu untuk para
pemimpin yang ‘adil. Sedangkan hujjah jumhur ulama bahwasanyya perbuatan mereka
keluar ketaatan dari Al-Hajjaaj bukanlah karena kefasiqan saja, akan tetapi
karena ia merubah syari’at dan menampakkan kekufuran. Al-Qaadliy berkata :
‘Sesungguhnya khilaaf (perbedaan pendapat) ini terjadi di waktu awal,
namun kemudian terjadi kesepakatan (ijmaa’) adanya larangan keluar
ketaatan terhadap mereka (penguasa yang dhalim)’. Wallaahu a’lam” [idem].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
قَالَ النَّوَوِيّ
: الْمُرَاد بِالْكُفْرِ هُنَا الْمَعْصِيَة ، وَمَعْنَى الْحَدِيث لَا
تُنَازِعُوا وُلَاة الْأُمُور فِي وِلَايَتهمْ وَلَا تَعْتَرِضُوا عَلَيْهِمْ
إِلَّا أَنْ تَرَوْا مِنْهُمْ مُنْكَرًا مُحَقَّقًا تَعْلَمُونَهُ مِنْ قَوَاعِد
الْإِسْلَام ؛ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَأَنْكِرُوا عَلَيْهِمْ وَقُولُوا
بِالْحَقِّ حَيْثُمَا كُنْتُمْ اِنْتَهَى . وَقَالَ غَيْره : الْمُرَاد
بِالْإِثْمِ هُنَا الْمَعْصِيَة وَالْكُفْر ، فَلَا يُعْتَرَض عَلَى السُّلْطَان
إِلَّا إِذَا وَقَعَ فِي الْكُفْر الظَّاهِر ، وَاَلَّذِي يَظْهَر حَمْل رِوَايَة
الْكُفْر عَلَى مَا إِذَا كَانَتْ الْمُنَازَعَة فِي الْوِلَايَة فَلَا يُنَازِعهُ
بِمَا يَقْدَح فِي الْوِلَايَة إِلَّا إِذَا اِرْتَكَبَ الْكُفْر ، وَحَمْل
رِوَايَة الْمَعْصِيَة عَلَى مَا إِذَا كَانَتْ الْمُنَازَعَة فِيمَا عَدَا الْوِلَايَة
، فَإِذَا لَمْ يَقْدَح فِي الْوِلَايَة نَازَعَهُ فِي الْمَعْصِيَة بِأَنْ
يُنْكِر عَلَيْهِ بِرِفْقٍ وَيَتَوَصَّل إِلَى تَثْبِيت الْحَقّ لَهُ بِغَيْرِ
عُنْف ، وَمَحَلّ ذَلِكَ إِذَا كَانَ قَادِرًا وَاَللَّه أَعْلَم . وَنَقَلَ اِبْن
التِّين عَنْ الدَّاوُدِيِّ قَالَ : الَّذِي عَلَيْهِ الْعُلَمَاء فِي أُمَرَاء
الْجَوْر أَنَّهُ إِنْ قَدَرَ عَلَى خَلْعه بِغَيْرِ فِتْنَة وَلَا ظُلْم وَجَبَ ،
وَإِلَّا فَالْوَاجِب الصَّبْر . وَعَنْ بَعْضهمْ لَا يَجُوز عَقْد الْوِلَايَة
لِفَاسِقٍ اِبْتِدَاء ، فَإِنْ أَحْدَثَ جَوْرًا بَعْدَ أَنْ كَانَ عَدْلًا
فَاخْتَلَفُوا فِي جَوَاز الْخُرُوج عَلَيْهِ ، وَالصَّحِيح الْمَنْع إِلَّا أَنْ
يُكَفِّر فَيُجِبْ الْخُرُوج عَلَيْهِ .
“Telah berkata An-Nawawi : Yang dimaksudkan dengan kufur di sini adalah
kemaksiatan. Jadi makna hadits adalah : Jangan kalian menentang ulil-amri
(pemimpin/penguasa) dalam kekuasaan mereka dan janganlah kalian membangkang
kecuali apabila kalian melihat kemungkaran yang nyata dari mereka, yang kalian
ketahui bahwa hal itu termasuk kaedah-kaedah Islam (min qawaa’idil-Islaam).
Apabila kalian melihat yang demikian itu, maka ingkarilah dan sampaikanlah yang
benar dimanapun kalian berada” – selesai –. (Ibnu Hajar melanjutkan : ) Dan
berkata ulama selain beliau (An-Nawawi) : ”Bahwasannya yang dimaksudkan dengan
dosa adalah kemaksiatan dan kekufuran. Maka dari itu, tidak diperbolehkan
melakukan penyerangan kepada sulthan kecuali bila ia telah terjatuh dalam
kekufuran yang nyata”.
Dan yang jelas adalah membawa riwayat (yang menyatakan tentang)
kekafiran dalam konteks bolehnya merebut kekuasaan, sehingga tidak boleh
direbut semata karena adanya faktor yang menodai kekuasaannya tersebut, kecuali
jika ia melakukan kekufuran. Dan membawa riwayat (yang menyatakan tentang)
kemaksiatan untuk merebut urusan di luar kekuasaan. Apabila kekuasannya tidak
ternoda (dengan satu kekufuran), namun di sisi lain ia terkena satu
kemaksiatan, maka cara menghilangkannya adalah dengan pengingkaran yang
lemah-lembut dan mengantarkannya pada kebenaran tanpa kekerasan. Itu jika ia
mampu. Wallaahu a’lam. Dan dinukil dari Ibnut-Tiin dari Ad-Dawudi bahwasannya
ia berkata : ”Yang menjadi kewajiban ulama kepada para pemimpin yang
dhalim/jahat yaitu jika ia mampu untuk menurunkannya dari jabatannya tanpa
menimbulkan fitnah dan kedhaliman, maka ia wajib melakukannya. Sebaliknya, jika
ia tidak mampu, maka wajib untuk bersabar”. Dan dari selainnya : “Pada asalnya,
tidak diperbolehkan untuk memberikan kekuasaan kepada orang yang fasiq. Apabila
ia melakukan kedhaliman setelah sebelumnya ia seorang yang ‘adil, maka mereka
(para ulama) berbeda pendapat tentang kebolehan keluar dari ketaatan darinya.
Dan yang benar adalah larangan untuk keluar dari ketaatan darinya (memberontak)
kecuali bila ia telah kafir. Maka dalam hal ini wajib untuk keluar dari
ketaatan kepadanya” [Fathul-Baariy, 13/8].
b.
Hadits Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa.
وحَدَّثَنِي أَبُو
غَسَّانَ الْمِسْمَعِيُّ، وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ جميعا، عَنْ مُعَاذٍ
وَاللَّفْظُ لِأَبِي غَسَّانَ، حَدَّثَنَا مُعَاذٌ وَهُوَ ابْنُ هِشَامٍ
الدَّسْتَوَائِيُّ، حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ قَتَادَةَ، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ، عَنْ
ضَبَّةَ بْنِ مِحْصَنٍ الْعَنَزِيِّ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّهُ قَالَ: " إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ
وَتُنْكِرُونَ، فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ، وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ،
وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا
نُقَاتِلُهُمْ، قَالَ: لَا مَا صَلَّوْا، أَيْ مَنْ كَرِهَ بِقَلْبِهِ وَأَنْكَرَ
بِقَلْبِهِ "
Dan telah menceritakan kepadaku Abu Ghassaan Al-Misma’iy dan Muhammad
bin Basysyaar, keduanya dari Mu’aadz – dan lafadhnya milik Abu Ghassaan - :
Telah menceritakan kepada kami Mu’aadz bin Hisyaam Ad-Dastawaaiy : telah
menceritakan kepadaku ayahku, dari Qataadah : Telah menceritakan kepada kami
Al-Hasan, dari Dlabbah bin Mihshan Al-‘Anaziy, dari Ummu Salamah istri Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Akan diangkat para penguasa untuk
kalian. Lalu kalian mengenalinya dan kemudian kalian mengingkarinya (karena ia
telah berbuat maksiat). Barangsiapa yang benci, maka ia telah berlepas tangan.
Barangsiapa yang mengingkarinya, sungguh ia telah selamat. Akan tetapi, lain
halnya dengan orang yang ridla dan patuh terhadap pemimpin tersebut”. Para
shahabat bertanya : ”Wahai Rasulullah, apakah kami boleh memeranginya ?”.
Beliau menjawab : ”Tidak, selama mereka mengerjakan shalat, yaitu
barangsiapa yang membenci dan mengingkari dengan hatinya” [HR. Muslim no.
1854]
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
وَأَمَّا قَوْله :
( أَفَلَا نُقَاتِلهُمْ ؟ قَالَ : لَا ، مَا صَلَّوْا ) فَفِيهِ مَعْنَى مَا
سَبَقَ أَنَّهُ لَا يَجُوز الْخُرُوج عَلَى الْخُلَفَاء بِمُجَرَّدِ الظُّلْم أَوْ
الْفِسْق مَا لَمْ يُغَيِّرُوا شَيْئًا مِنْ قَوَاعِد الْإِسْلَام
”Dan hadits : ‘[Tidakkah kami boleh memerangi mereka ?’. Beliau bersabda :
‘Tidak, selama mereka masih shalat’], maka di dalamnya terkandung makna
yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu peniadaan kebolehan keluar ketaatan
penguasa dengan sebab kedhaliman atau kefasiqan semata, selama mereka
(penguasa) tidak mengubah sesuatupun dari kaedah-kaedah Islam” [Syarah
Shahih Muslim, 12/244].
Kaedah-kaedah Islam yang dimaksudkan oleh An-Nawawiy ini maksudnya
adalah shalat, karena ia merupakan kewajiban amal lahiriyyah yang paling besar.
Orang yang meninggalkannya adalah kafir (menurut ulama yang berpendapat kafir),
atau mendekati ambang kekafiran (menurut ulama yang berpendapat tidak kafir
selama masih meyakini kewajibannya).
حَدَّثَنَا يَحْيَى
بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ، وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ كلاهما، عَنْ
جَرِيرٍ، قَالَ يَحْيَى: أَخْبَرَنَا جَرِيرٌ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي
سُفْيَانَ، قَالَ: سَمِعْتُ جَابِرًا، يَقُولُ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ: " إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ، وَبَيْنَ الشِّرْكِ
وَالْكُفْرِ، تَرْكَ الصَّلَاةِ "
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Yahyaa At-Tamiimiy dan
‘Utsmaan bin Abi Syaibah, keduanya dari Jariir – Yahyaa berkata : Telah
mengkhabarkan kepada kami Jariir - , dari Al-A’masy, dari Abu Sufyaan, ia
berkata : Aku mendengar Jaabir berkata : Aku mendengar Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya batas
antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 82].
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ، عَنِ
الْجُرَيْرِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ الْعُقَيْلِيِّ، قَالَ: كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرَوْنَ شَيْئًا
مِنَ الْأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلَاةِ
Telah menceritakan
kepada kami Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Al-Mufadldlal,
dari Al-Jurairiy, dari ‘Abdullah bin Syaqiiq Al-‘Uqailiy, ia berkata : “Para
shahabat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melihat
satu amalan dari amalan-amalan yang jika ditinggalkan menyebabkan kekafiran
selain dari shalat” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy, no. 2622].
c.
Hadits ‘Auf bin Maalik radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا
إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْحَنْظَلِيُّ، أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ،
حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، عَنْ
رُزَيْقِ بْنِ حَيَّانَ، عَنْ مُسْلِمِ بْنِ قَرَظَةَ، عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ،
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " خِيَارُ
أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ، وَيُصَلُّونَ
عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ
تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ، وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ، قِيلَ:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ، فَقَالَ: لَا، مَا
أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا
تَكْرَهُونَهُ، فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ "
Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim Al-Handhaliy :
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Iisaa bin Yuunus : Telah menceritakan kepada
kami Al-Auzaa’iy, dari Yaziid bin Yaziid bin Jaabir, dari Zuraiq bin Hayyaan,
dari Muslim bin Qaradhah, dari ‘Auf bin Maalik, dari Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Sebaik-baik pemimpin kamu adalah
pemimpin yang kamu cintai dan ia pun mencintaimu. Kamu mendoakannya, dan ia pun
mendoakanmu. Adapun seburuk-buruk pemimpin kamu adalah pemimpin yang kamu benci
dan ia pun membencimu. Kamu melaknatnya dan ia pun melaknatmu”. Kami (para
shahabat) bertanya : ”Wahai Rasulullah, apakah kami boleh melawan mereka dengan
pedang (memberontak) atas hal itu ?”. Beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam
pun menjawab : ”Jangan, selama
ia masih menegakkan shalat bersamamu” (dua kali). Ketahuilah, barangsiapa yang
dipimpin oleh seorang pemimpin, kemudian ia melihat pemimpin tersebut melakukan
kemaksiatan kepada Allah, maka bencilah kemaksiatan tersebut, dan jangan
melepaskan tangan dari ketaatan kepadanya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1855].
Asy-Syaukaaniy rahimahullah
berkata :
قوله " لا ما
أقاموا فيكم الصلاة " فيه دليل على أنه لا يجوز منابذة الأئمة بالسيف مهما
كانوا مقيمين للصلاة ويدل ذلك بمفهومه على جواز المنابذة تركهم للصلاة . وحديث
عبادة بن الصامت المذكور فيه دليل على أنها لا تجوز المنابذة إلا عند ظهور الكفر
البواح
“Sabda beliau : ‘Jangan, selama ia masih menegakkan shalat bersamamu; pada terdapat dalil
tidak diperbolehkannya memerangi para pemimpin dengan pedang bilamana mereka
masih mendirikan shalat. Dan hadits itu sekaligus menunjukkan mafhum-nya
bahwa diperbolehkan memerangi karena mereka meninggalkan shalat. Dan hadits
‘Ubaadah bin Ash-Shaamit yang disebutkan sebelumnya terdapat dalil tidak
diperbolehkannya memerangi (para pemimpin) kecuali jika nampak kekufuran yang
nyata/jelas” [Nailul-Authaar, 7/197].
‘Aliy Al-Qaariy rahimahullah
berkata :
إقامتهم الصلاة
فيما بينكم لأنها علامة اجتماع الكلمة في الأمة قال الطيبي فيه إشعار بتعظيم أمر
الصلاة وإن تركها موجب لنزع اليد عن الطاعة كالكفر على ما سبق في حديث عبادة إلا
أن تروا كفرا بواحا الحديث ولذلك كرره وقال لا ما أقاموا فيكم الصلاة وفيه إيماء
إلى أن الصلاة عماد الدين
“Penegakan shalat mereka
di antara kalian, karena hal itu merupakan tanda persatuan kalimat bagi ummat.
Telah berkata Ath-Thiibiy : ’Di hadits tersebut terdapat pemberitahuan tentang
pengagungan perkara shalat yang apabila ditinggalkan mempunyai konsekuensi pelepasan
tangan dari ketaatan, seperti halnya kekufuran yang terdapat dalam hadits
‘Ubaadah bin Ash-Shaamir sebelumnya : ‘Kecuali jika kalian melihat kekufuran
yang nyata’ – al-hadits - . Oleh
karenanya, beliau mengulangi ucapannya. Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : ‘Jangan,
selama ia masih
menegakkan shalat’ ; di dalamnya terdapat isyarat bahwa shalat adalah
tiang agama” [Mirqatul-Mafaatih, 11/307].
d.
Hadits Hudzaifah bin Yamaan radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا يَحْيَى
بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ، قَالَ: حَدَّثَنِي ابْنُ جَابِرٍ، قَالَ:
حَدَّثَنِي بُسْرُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ الْحَضْرَمِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبُو
إِدْرِيسَ الْخَوْلَانِيُّ، أَنَّهُ سَمِعَ حُذَيْفَةَ بْنَ الْيَمَانِ، يَقُولُ: كَانَ
النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ
الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي،
فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ فَجَاءَنَا
اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ، قَالَ:
نَعَمْ، قُلْتُ: وَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ، قَالَ: نَعَمْ
وَفِيهِ دَخَنٌ، قُلْتُ: وَمَا دَخَنُهُ، قَالَ: قَوْمٌ يَهْدُونَ بِغَيْرِ
هَدْيِي تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ، قُلْتُ: فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ
مِنْ شَرٍّ، قَالَ: نَعَمْ دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ
إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا،
فَقَالَ: هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا، قُلْتُ: فَمَا
تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ، قَالَ: تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ
وَإِمَامَهُمْ، قُلْتُ: فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ،
قَالَ: فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ
شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ "
Telah menceritakan kepada kami yahyaa bin Muusaa : Telah menceritakan
kepada kami Al-Waliid, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Ibnu Jaabir, ia
berkata : Telah menceritakan kepadaku Busr bin ‘Ubaidillah Al-Hadlramiy, ia
berkata : Telah menceritakan kepadaku Abu Idriis Al-Khaulaaniy, bahwasannya ia
pernah mendengar Hudzaifah bin Al-Yamaan berkata : Orang-orang biasa bertanya
kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan
sementara aku biasa bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir
aku terkena keburukan itu. Maka aku bertanya : “Wahai Rasulullah, dahulu kami
dalam masa jahiliah dan keburukan, lantas Allah datang dengan membawa kebaikan
ini, maka apakah setelah kebaikan ini akan ada keburukan ?”. Beliau menjawab : “Ya”.
Aku
bertanya : “Apakah sesudah keburukan
itu akan ada kebaikan lagi?”. Beliau
menjawab : “Ya, akan tetapi padanya terdapat kabut”. Aku bertanya : “Apakah maksud kabut yang ada padanya?”. Beliau
menjawab : “Adanya suatu kaum yang
mengambil petunjuk selain petunjukku. Engkau mengenali mereka, dan engkau pun
mengingkarinya”. Aku bertanya : “Apakah setelah
kebaikan itu ada keburukan lagi?”. Beliau menjawab : “Ya, dengan adanya dai-dai yang menyeru pada pintu-pintu Jahannam.
Barangsiapa yang menyambut seruan
mereka, niscaya mereka akan menghempaskannya ke dalamnya.” Aku bertanya : “Wahai Rasulullah, beritahukan kepada kami
tentang sifat-sifat”. Beliau bersabda :
“Mereka memiliki kulit seperti kulit kita, juga berbicara dengan bahasa kita”. Aku bertanya :
“Apa
yang engkau perintahkan kepadaku apabila aku mendapatkan masa itu?”.
Beliau
menjawab : “Hendaklah
kamu selalu berpegang pada
jamaah kaum muslimin dan imam (pemimpin) mereka”. Aku
bertanya : “Apabila waktu itu tidak
ada jama’ah kaum muslimin dan imamnya bagaimana?”. Beliau menjawab : “Hendaklah engkau jauhi seluruh firqah (kelompok-kelompok) itu,
sekalipun engkau menggigit akar-akar pohon
hingga kematian merenggutmu dalam keadaan kamu tetap seperti itu” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 3606].
Ibnu Baththaal rahimahullah berkata :
فِيهِ حُجَّة
لِجَمَاعَةِ الْفُقَهَاء فِي وُجُوب لُزُوم جَمَاعَة الْمُسْلِمِينَ وَتَرْك
الْخُرُوج عَلَى أَئِمَّة الْجَوْر ، لِأَنَّهُ وَصَفَ الطَّائِفَة الْأَخِيرَة
بِأَنَّهُمْ " دُعَاة عَلَى أَبْوَاب جَهَنَّم " وَلَمْ يَقُلْ فِيهِمْ
" تَعْرِف وَتُنْكِر " كَمَا قَالَ فِي الْأَوَّلِينَ ، وَهُمْ لَا
يَكُونُونَ كَذَلِكَ إِلَّا وَهُمْ عَلَى غَيْر حَقّ ، وَأَمَرَ مَعَ ذَلِكَ
بِلُزُومِ الْجَمَاعَة
“Dalam hadits tersebut terdapat hujjah bagi sekelompok fuqahaa’
tentang wajibnya mengikuti jama’ah kaum muslimin dan meninggalkan keluar
ketaatan dari imam-imam yang jahat/dhalim. Hal itu dikarenakan beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam mensifatikelompok yang terakhir bahwa mereka itu ‘dai-dai
yang menyeru pada pintu-pintu Jahannam’. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam tidak mengatakan tentang kelompok tersebut : ‘Engkau mengenali
mereka, dan engkau pun mengingkarinya – sebagaimana yang beliau katakan
terhadap kelompok yang pertama. Mereka tidaklah seperti itu kecuali mereka itu
tidak berada di atas kebenaran, namun ternyata beliau shallallaahu ‘alaihi
wa sallam tetap memerintahkan untuk mengikuti jama’ah (tidak keluar
ketaatan)” [Fathul-Baariy, 13/37].
Ini selaras dengan lafadh yang dibawakan oleh Muslim :
يَكُونُ بَعْدِي
أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ
فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ، قَالَ:
قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟، قَالَ:
تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ
فَاسْمَعْ وَأَطِعْ "
“Akan ada sepeninggalku
nanti para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnah
dengan sunnahku. Akan muncul pula di tengah-tengah kalian orang-orang yang
hatinya adalah hati syaithan dalam wujud manusia”. Aku (Hudzaifah) bertanya
: “Apa yang harus aku lakukan jika aku mendapatkannya?”. Beliau menjawab : “(Hendaknya)
kalian mendengar dan taat kepada amir, meskipun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas, tetaplah mendengar dan
taat”[5]
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 1847].
e.
Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا مُوسَى
بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ يَحْيَى بْنِ سَعِيدِ بْنِ عَمْرِو
بْنِ سَعِيدٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي جَدِّي، قَالَ: " كُنْتُ جَالِسًا مَعَ
أَبِي هُرَيْرَةَ فِي مَسْجِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِالْمَدِينَةِ وَمَعَنَا مَرْوَانُ، قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: سَمِعْتُ الصَّادِقَ
الْمَصْدُوقَ، يَقُولُ: " هَلَكَةُ أُمَّتِي عَلَى يَدَيْ غِلْمَةٍ مِنْ
قُرَيْشٍ "، فَقَالَ مَرْوَانُ: لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ غِلْمَةً،
فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: لَوْ شِئْتُ أَنْ أَقُولَ بَنِي فُلَانٍ وَبَنِي
فُلَانٍ لَفَعَلْتُ.......
Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil : Telah
menceritakan kepada kami ‘Amru bin Yahyaa bin Sa’iid bin ‘Amru bin Sa’iid, ia
berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku kakekku, ia berkata : Aku pernah duduk
bersama Abu Hurairah di Masjid Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam di
Madiinah. Saat itu Marwaan ada bersama kami. Abu Hurairah berkata : Aku pernah
mendengar Ash-Shaadiqul-Mashduuq (Rasulullah) shallallaahu 'alaihi wa
sallam bersabda : "Kebinasaan umatku ada di tangan para pemuda
Quraisy". Marwaan berkata : "Laknat Allah atas mereka, para
pemuda itu". Abu Hurairah berkata : "Seandainya aku ingin, aku akan
sebut Bani Fulaan dan Bani Fulaan, niscaya aku lakukan..........."
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7058].
Ibnu Baththaal rahimahullah berkata :
وَفِي هَذَا
الْحَدِيث أَيْضًا حُجَّة لِمَا تَقَدَّمَ مِنْ تَرْك الْقِيَام عَلَى السُّلْطَان
وَلَوْ جَارَ ، لِأَنَّهُ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْلَمَ أَبَا
هُرَيْرَة بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ وَأَسْمَاء آبَائِهِمْ وَلَمْ يَأْمُرهُمْ
بِالْخُرُوجِ عَلَيْهِمْ مَعَ إِخْبَاره أَنَّ هَلَاك الْأُمَّة عَلَى أَيْدِيهمْ
لِكَوْنِ الْخُرُوج أَشَدّ فِي الْهَلَاك وَأَقْرَب إِلَى الِاسْتِئْصَال مِنْ
طَاعَتهمْ ، فَاخْتَارَ أَخَفّ الْمَفْسَدَتَيْنِ وَأَيْسَر الْأَمْرَيْنِ
“Dan hadits ini juga
terdapat hujjah seperti yang telah disebutkan sebelumnya tentang larangan
memerangi sulthaan/penguasa, meskipun ia dhalim. Hal itu dikarenakan beliau shallallaahu
'alaihi wa sallam memberitahukan kepada Abu Hurairah tentang nama-nama mereka
beserta nama-nama bapak mereka, namun tidak memerintahkannya untuk keluar
ketaatan melawan mereka; padahal beliau memberitahukan bahwa kebinasaan umat
lewat tangan-tangan mereka. Karena, keluar ketaatan melawan mereka lebih
menimbulkan kebinasaan/kehancuran dan perpecahan daripada ketaatan kepada
mereka, sehingga beliau memilih hal yang paling ringan dari dua kerusakan, dan
memilih yang paling mudah di antara dua perkara" [Fathul-Baariy,
13/11].
f.
Hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa.
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا لَيْثٌ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ
نَافِعٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّهُ قَالَ: " عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا
أَحَبَّ وَكَرِهَ، إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ
فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ "
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan
kepada kami Laits, dari ‘Ubaidullah, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Wajib
atas seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa/umaraa’) pada
apa-apa yang ia sukai atau ia benci, kecuali apabila ia diperintah untuk
berbuat kemaksiatan. Apabila penguasa itu menyuruh untuk berbuat maksiat, maka
tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1839].
Al-Mubaarakfuriy rahimahullah berkata :
وَفِيهِ أَنَّ
الْإِمَامَ إِذَا أَمَرَ بِمَنْدُوبٍ أَوْ مُبَاحٍ وَجَبَ . قَالَ الْمُظْهِرُ :
يَعْنِي سَمَاعُ كَلَامِ الْحَاكِمِ وَطَاعَتُهُ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
سَوَاءٌ أَمَرَهُ بِمَا يُوَافِقُ طَبْعَهُ أَوْ لَمْ يُوَافِقْهُ بِشَرْطِ أَنْ
لَا يَأْمُرَهُ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِنْ أَمَرَهُ بِهَا فَلَا تَجُوزُ طَاعَتُهُ ،
وَلَكِنْ لَا يَجُوزُ لَهُ مُحَارَبَةُ الْإِمَامِ
“Dalam hadits ini terkandung tuntutan bahwa jika imam/pemimpin itu
memerintahkan untuk mengerjakan amalan sunnah atau mubah, maka wajib untuk
melaksanakannya. Al-Muthahhar berkata : ‘Yaitu bahwa mendengar ucapan penguasa
dan mentaatinya adalah perkara wajib bagi setiap muslim, baik dia memerintah
kepada apa yang sesuai dengan tabiat muslim tersebut atau tidak. Syaratnya
adalah penguasa tersebut tidak memerintahkannya untuk berbuat maksiat. Jika
penguasa memerintahkan berbuat maksiat, maka tidak boleh mentaatinya (dalam
perkara maksiat tersebut), namun juga tidak boleh membangkang/memerangi
penguasa tersebut” [Tuhfatul-Ahwadziy, 5/298].
g.
Hadits ‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa.
حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ، عَنِ الْجَعْدِ، عَنْ أَبِي رَجَاءٍ،
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
" مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ
مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً "
Telah menceritakan kepada kami Musaddad : Telah menceritakan kepada
kami ‘Abdul-Waarits, dari Al-Ja’d, dari Abur-Rajaa’, dari Ibnul-‘Abbaas, dari
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Barangsiapa yang
membenci sesuatu dari pemimpinnya, hendaklah ia bersabar. Sesungguhnya barangsiapa
yang keluar dari dari sulthaan sejengkal saja, lalu mati, maka matinya seperti
kematian jahiliyyah[6]”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7053].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
قَالَ اِبْن أَبِي
جَمْرَة : الْمُرَاد بِالْمُفَارَقَةِ السَّعْي فِي حَلّ عَقْد الْبَيْعَة الَّتِي
حَصَلَتْ لِذَلِكَ الْأَمِير وَلَوْ بِأَدْنَى شَيْء ، فَكُنِّيَ عَنْهَا
بِمِقْدَارِ الشِّبْر ، لِأَنَّ الْأَخْذ فِي ذَلِكَ يَئُولُ إِلَى سَفْك
الدِّمَاء بِغَيْرِ حَقٍّ
“Ibnu Abi Jamrah berkata : ‘Yang dimaksud dengan al-mufaaraqah adalah
usaha untuk menghentikan perjanjian bai’at yang berlaku pada penguasa/amir
tersebut, dengan upaya sekecil apapun. Oleh karenanya, beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam mengkiaskannya dengan kata ‘sejengkal’, karena mengambil
tindakan tersebut mengakibatkan tertumpahnya darah tanpa hak” [Fathul-Baariy,
13/7].
h.
Hadits ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ، أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ، عَنْ الْأَعْمَشِ، عَنْ زَيْدِ
بْنِ وَهْبٍ، عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: " سَتَكُونُ أَثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا، قَالُوا: يَا رَسُولَ
اللَّهِ فَمَا تَأْمُرُنَا، قَالَ: تُؤَدُّونَ الْحَقَّ الَّذِي عَلَيْكُمْ
وَتَسْأَلُونَ اللَّهَ الَّذِي لَكُمْ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsiir : Telah
mengkhabarkan kepada kami Sufyaan, dari Al-A’masy, dari Zaid bin Wahb, dari
Ibnu Mas’uud, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda
: “Akan ada sepeninggalku nanti ‘atsarah’ dan perkara-perkara yang kalian
ingkari”. Para shahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, apa yang engkau
perintahkan kepada kami (jika kami yang menemuinya) ?”. Beliau menjawab : “Tunaikan
hak (mereka) yang dibebankan/diwajibkan atas kalian, dan mintalah hak kalian
kepada Allah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3603].
An-Nawawiy rahimahullah berkata
:
وَفِيهِ : الْحَثّ
عَلَى السَّمْع وَالطَّاعَة ، وَإِنْ كَانَ الْمُتَوَلِّي ظَالِمًا عَسُوفًا ،
فَيُعْطَى حَقّه مِنْ الطَّاعَة ، وَلَا يُخْرَج عَلَيْهِ وَلَا يُخْلَع ؛ بَلْ
يُتَضَرَّع إِلَى اللَّه تَعَالَى فِي كَشْف أَذَاهُ ، وَدَفْع شَرّه وَإِصْلَاحه
، وَتَقَدَّمَ قَرِيبًا ذِكْر اللُّغَات الثَّلَاث فِي الْأَثَرَة ، وَتَفْسِيرهَا
، وَالْمُرَاد بِهَا هُنَا : اِسْتِئْثَار الْأُمَرَاء بِأَمْوَالِ بَيْت الْمَال
. وَاَللَّه أَعْلَم
“Di dalam (hadits) ini
terdapat anjuran untuk mendengar dan taat kepada penguasa, walaupun ia seorang
yang dhalim dan sewenang-wenang. Maka berikan haknya (sebagai pemimpin) yaitu
berupa ketaatan, tidak keluar ketaatan darinya, dan tidak menggulingkannya.
Bahkan (perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim adalah) dengan
sungguh-sungguh lebih mendekatkan diri kepada Allah ta’ala supaya Dia menyingkirkan gangguan/siksaan darinya, menolak
kejahatannya, dan agar Allah memperbaikinya (kembali taat kepada Allah
meninggalkan kedhalimannya)” [Syarh
Shahih Muslim lin-Nawawi, 12/232].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
فأمر مع ذكره
لظلمهم بالصبر وإعطاء حقوقهم وطلب المظلوم حقه من الله ولم يأذن للمظلوم المبغى
عليه بقتال الباغي في مثل هذه الصور التي يكون القتال فيها فتنة
“Meskipun beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan
kedhaliman mereka, beliau tetap memerintahkan untuk bersabar, memenuhi
hak-hak-hak mereka, dan agar orang yang didhalimi meminta haknya kapada Allah. Beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam tidak mengizinkan orang yang didhalimi tersebut
memberontak kepadanya serta memeranginya. Hal itu dikarenakan peperangan yang
dikobarkannya itu dapat menimbulkan fitnah [Al-Istiqaamah, 1/35].
Ibnu ‘Allaan rahimahullah berkata :
فيه الصبر على المقدور،
والرضى بالقضاء حلوه ومره، والتسليم لمراد الرب العليم الحكيم
“Hadits ini terdapat perintah untuk bersabar terhadap sesuatu yang
telah ditaqdirkan, ridlaa terhadap qadlaa-Nya baik yang manis ataupun
yang pahit, serta tunduk kepada kehendak Rabb yang Maha Mengetahui dan Maha
Bijaksana” [Daliilul-Faalihiin, 1/197].
i.
Atsar ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ إبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ الْأَعْلَى،
عَنْ سُوَيْدِ بْنِ غَفَلَةَ، قَالَ: قَالَ لِي عُمَرُ: " يَا أَبَا
أُمَيَّةَ، إنِّي لَا أَدْرِي لَعَلِّي أَنْ لَا أَلْقَاكَ بَعْدَ عَامِي هَذَا،
فَاسْمَعْ وَأَطِعْ وَإِنْ أُمِّرَ عَلَيْكَ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ، إنْ ضَرَبَكَ
فَاصْبِرْ، وَإِنْ حَرَمَكَ فَاصْبِرْ، وَإِنْ أَرَادَ أَمْرًا يَنْتَقِصُ
دِينَكَ، فَقُلْ: سَمْعٌ وَطَاعَةٌ، دَمِي دُونَ دِينِي، فَلَا تُفَارِقِ
الْجَمَاعَةَ "
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Sufyaan, dari Ibraahiim bin ‘Abdil-A’laa, dari Suwaid bin Ghafalah,
ia berkata : Telah berkata ‘Umar : “Wahai Abu Umayyah, sesungguhnya aku tidak
tahu barangkali setelah tahun ini aku tidak menjumpaimu lagi. Dengar dan
taatlah, meskipun yang memerintahkanmu seorang budak habsyiy yang
terpotong hidungnya. Seandainya ia memukul punggungmu, maka sabarlah. Seandainya
ia mengharamkan (tidak memenuhi) hak-hakmu, maka sabarlah. Dan seandainya
menghendaki satu perkara yang akan mengurangi agamamu, maka katakanlah : ‘Aku tetap
mendengar dan taat (dengan pengorbanan) darahku, namun tidak agamaku. Janganlah
engkau memisahkan diri dari jama’ah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 12/455;
shahih].
Masih banyak dalil dan riwayat yang memerintahkan
kaum muslimin untuk tetap mendengar dan taat kepada penguasa yang dhalim, dan larangan
untuk keluar ketaatan selama ia (penguasa) masih berstatus muslim dan
menegakkan shalat. Keluar ketaatan dan memberontak kepada penguasa (muslim) akan menimbulkan fitnah, huru-hara, pertumpahan darah, dan mafsadat-mafsadat lain
yang lebih besar daripada mafsadat yang ditimbulkan saat melazimi ketaatan.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
ولهذا استقر أمر أهل السنة على ترك القتال في
الفتنة للأحاديث الصحيحة الثابته عن النبي صلى الله عليه و سلم وصاروا يذكرون هذا
في عقائدهم ويأمرون بالصبر على جور الأئمة وترك قتالهم وإن كان قد قاتل في الفتنة
خلق كثير من أهل العلم والدين
“Oleh karena itu, tetaplah perkara Ahlus-Sunnah
untuk meninggalkan perang dalam masa fitnah berdasarkan hadits-hadits shahih
dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, hingga kemudian mereka
menyebutkan masalah ini dalam ‘aqidah-‘aqidah mereka; dan mereka (Ahlus-Sunnah)
memerintahkan bersabar atas kedhaliman para imam (pemimpin) dan tidak
memeranginya, meskipun dalam masa fitnah tersebut telah melibatkan banyak ahli
ilmu dan ulama” [Minhajus-Sunnah, 4/529-530].
ولهذا حرم الخروج على ولاة الأمر بالسيف لأجل
الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر لأن ما يحصل بذلك من فعل المحرمات وترك واجب أعظم
مما يحصل بفعلهم المنكر والذنوب...... فالمنهي عنه إذا زاد شره بالنهي وكان النهي
مصلحة راجحة كان حسنا وأما إذا زاد شره وعظم وليس فى مقابلته خير يفوته لم يشرع
إلا أن يكون فى مقابلته مصلحه زائدة ....
“Dan karena itulah diharamkan keluar ketaatan
terhadap wulaatul-amri dengan pedang karena alasan amar ma’ruuf dan
nahi munkar. Akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut dari
perbuatan-perbuatan yang diharamkan dan meninggalkan hal-hal yang diwajibkan,
lebih besar daripada akibat yang ditimbulkan dari perbuatan munkar dan dosa
yang dilakukannya….. Maka apabila kejelekan yang ditimbulkan oleh orang yang
tersebut bisa dihentikan dengan larangan, dan larangan tersebut terkandung maslahat
yang kuat; maka larang tersebut baik (disyari’atkan). Namun apabila
kejelekan malah bertambah dan membesar, serta tidak seimbang dengan kebaikan
yang dicapai; hal itu tidak disyari’atkan – kecuali jika ada perimbangan
maslahat yang lebih banyak….” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 14/472-473].
أن ما أمر به النبي صلى الله عليه و سلم من الصبر
على جور الأئمة وترك قتلاهم والخروج عليهم هو أصلح الأمور للعباد في المعاش
والمعاد وأن من خالف ذلك متعمدا أو مخطئا لم يحصل بفعله صلاح بل فساد
“Bahwasannya yang diperintahkan oleh Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam untuk bersabar terhadap kedhaliman para pemimpin, dan
tidak memerangi mereka dan keluar ketaatan terhadap mereka. Perbuatan itu
merupakan perkara yang paling baik bagi hamba Allah di dunia dan akhirat. Dan
bahwasannya orang yang menyelisihi perintah beliau baik dengan sengaja atau
tidak sengaja, maka perbuatannya itu tidak akan mendatangkan kebaikan, namun malah
kerusakan” [Minhajus-Sunnah, 4/531].
ولعله لا يكاد يعرف طائفة خرجت على ذي سلطان إلا وكان
في خروجها من الفساد ما هو أعظم من الفساد الذي أزالته
"Hampir
tidak pernah diketahui ada sekelompok orang yang keluar ketaatan memerangi
sulthaan, kecuali perbuatan mereka malah menimbulkan kerusakan yang lebih besar
daripada kerusakan yang hendak ia hilangkan" [Minhajus-Sunnah,
1/391]
Ibnu
Abil-‘Azz Al-Hanafiy rahimahullah berkata :
وأما لزوم طاعتهم
وإن جاروا ، فلأنه يترتب على الخروج من طاعتهم من المفاسد أضعاف ما يحصل من جورهم
، بل في الصبرعلى جورهم تكفير السيئات ومضاعفة الأجور ، فإن الله تعالى ما سلطهم
علينا إلا لفساد أعمالنا ، والجزاء من جنس العمل ، فعلينا الإجتهاد في الإستغفار
والتوبة وإصلاح العمل . قال تعالى : وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا
كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ. وقال تعالى : أَوَلَمَّا
أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ
هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ. وقال تعالى : مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ
اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ. وقال تعالى : وَكَذَلِكَ
نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ. فإذا أراد
الرعية أن يتخلصوا من ظلم الأمير الظالم ، فليتركوا الظلم.
“Adalah menjadi kewajiban bagi kita untuk
mentaati mereka (yaitu para penguasa) walaupun mereka jahat/dhalim. Hal itu
dikarenakan kerusakan yang ditimbulkan akibat keluar dari ketaatan kepada
mereka lebih besar daripada kerusakan yang terjadi karena kejahatan mereka.
Bahkan, kesabaran dalam menghadapi kejahatan mereka akan menghapus berbagai
kejelekan dan melipatgandakan pahala. Sesungguhnya Allah tidak menjadikan
mereka berkuasa atas kita (dengan segala kejahatan/kedhalimannya) meliankan
karena kerusakan amal-amal kita. Balasan yang diberikan itu tergantung dari
jenis amal yang diperbuat. Maka, yang menjadi kewajiban bagi kita adalah
bersungguh-sungguh dalam memohon ampun, bertaubat, dan memperbaiki amal. Allah
ta’ala telah berfirman : ‘Dan apa musibah
yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan
Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)’ (QS. Asy-Syuuraa : 30). ‘Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari
Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu
sendiri’ (QS. An-Nisaa’ : 79). ‘Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian
orang-orang yang lalim itu menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa
yang mereka usahakan’ (QS. Al-An’aam :
129). Maka, apabila rakyat ingin
mengakhiri/melepaskan diri dari kedhaliman pemimpin yang dhalim, hendaklah
mereka meninggalkan kedhaliman juga” [Syarh Al-’Aqidah
Ath-Thahawiyyah, hal. 543].
Ibnu
Hajar rahimahullah berkata saat mengkritik Al-Hasan bin Shaalih bin Hay
:
وقال أبو نعيم دخل الثوري يوم الجمعة فإذا الحسن
بن صالح يصلي فقال نعوذ بالله من خشوع النفاق وأخذ نعليه فتحول وقال أيضا عن
الثوري ذاك رجل يرى السيف على الأمة ......... وقال بشر بن الحارث كان زائدة يجلس
في المسجد يحذر الناس من بن حي وأصحابه قال وكانوا يرون ........وقال خلف بن تميم
كان زائدة يستتيب من الحسن بن حي وقال علي بن الجعد حدثت رائدة بحديث عن الحسن
فغضب وقال لا حدثتك أبدا
”Berkata Abu Nu’aim :
Ats-Tsauriy (yaitu Sufyaan Ats-Tsauri – seorang dimana umat bersepakat tentang
keimaman beliau) masuk (ke masjid) pada hari Jum’at, ternyata Al-Hasan bin
Shalih sedang shalat di dalamnya. Maka ia berkata : “Na’uudzubillah min khusyuu’in-nifaaq (aku berlindung kepada Allah
dari khusyu’ nifaq) !!”. Kemudian ia bergegas mengambil sandalnya dan pindah
(ke masjid lain). Abu Nu’aim meriwayatkan dari Sufyaan Ats-Tsauriy bahwa ia
berkata : ”Ia (Al-Hasan bin Shaalih) adalah seorang laki-laki yang berpendapat
bolehnya mengangkat pedang terhadap umat”......................... Bisyr bin
Al-Harits berkata : ”Zaidah bin Qudaamah[7]
duduk di masjid untuk memperingatkan manusia dari Ibnu Hay (Al-Hasan bin
Shalih) dan teman-temannya. Zaaidah berkata : ’Mereka adalah orang yang
mempunyai pendapat tentang bolehnya mengangkat pedang (atas umat)”. Khalaf bin
Tamim berkata : ”Dulu Zaidah meminta siapa saja yang pernah datang menemui
Al-Hasan bin Shalih bin Hay untuk bertaubat. Pernah satu ketika ’Ali bin Ja’d
menyampaikan hadits kepada Zaidah dari Al-Hasan (bin Shaalih bin Hay), maka ia
pun marah dan berkata : ”Aku tidak akan memberimu hadits selamanya” [Tahdziibut-Tahdziib, 2/285-286].
Dan akhirnya Ibnu Hajar
memberikan sebuah kesimpulan mengenai pandangan Al-Hasan bin Shaalih dan
orang-orang yang sependapat dengannya dalam sebuah perkataan yang sangat bagus
:
كان يرى السيف يعني كان يرى الخروج بالسيف على
أئمة الجور وهذا مذهب للسلف قديم لكن أستقر الأمر على ترك ذلك لما رأوه قد أفضى
إلى أشد منه ففي وقعة الحرة ووقعة بن الأشعث وغيرهما عظة لمن تدبر
”Pendapat mereka menyatakan
bolehnya keluar mengangkat pedang/senjata terhadap para pemimpin yang
jahat/dhalim. Maka, ini adalah madzhab (sebagian) orang-orang salaf dahulu
(sebagaian shahabat dan tabi’in). Akan tetapi kemudian ada sebuah ketetapan
untuk meninggalkan hal itu, karena justru menimbulkan dampak yang lebih fatal.
Apa yang terjadi dalam peristiwa Al-Harrah dan Ibnul-Asy’ats menjadi pelajaran
yang baik bagi orang yang mau mengambil pelajaran” [idem, 2/288].
Permasalahan :
Sebagian orang ada yang berdalil bahwa ketaatan
kepada pemimpin itu dengan syarat jika ia menegakkan Kitabullah, sebagaimana
riwayat :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى،
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ يَحْيَي بْنِ
حُصَيْنٍ، قَالَ: سَمِعْتُ جَدَّتِي تُحَدِّثُ: أَنَّهَا سَمِعَتِ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ وَهُوَ، يَقُولُ:
" وَلَوِ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ،
فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Al-Mutsannaa : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far : Telah
menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Yahyaa bin Hushain, ia berkata : Aku
mendengar nenekku menceritakan : Bahwasannya ai pernah mendengar Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam berkhuthbah pada saat haji wada’. Beliau bersabda
: “Seandainya yang memerintah kalian seorang budak yang menuntun kalian berdasarkan
Kitabullah, maka dengar dan taatilah” [HR. Muslim no. 1838].
Di sebagian riwayat disebutkan dengan lafadh :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَاسْمَعُوا
وَأَطِيعُوا وَإِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ مَا أَقَامَ فِيكُمْ
كِتَابَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Wahai sekalian manusia, bertaqwalah kepada
Allah dan taatlah meskipun yang memerintah kalian seorang bidak Habsyiy yang
terpotong hidungnya selama ia menegakkan Kitabullah ‘azza wa jalla atas kalian”.
Jika pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya
itu tidak menegakkan Kitabullah, maka ketaatan kepadanya gugur, boleh
diberontak.
Dijawab :
Seandainya benar apa yang mereka katakan, ada
beberapa kemusykilan yang timbul, antara lain :
a.
Apa yang mereka maksud dengan menegakkan Kitabullah ?. Apakah
menegakkan seluruh hukum-hukum dalam Kitabullah ?. Seandainya ini yang dimaksud,
maka berikan satu contoh saja pemimpin setelah Al-Khulafaaur-Raasyidiin yang
menegakkan seluruh hukum yang ada di Kitabullah !. Niscaya tidak akan ada,
karena dalam perkembangan sejaran pemerintahan Islam, hukum Islam itu pasti ada
yang gugur – sedikit atau banyak – sesuai kadar agama, pengetahuan, dan
kekuatan pemimpin tersebut.
Jika dikatakan menegakkan Kitabullah ini adalah menempatkannya secara
formal dalam hukum dasar negara, maka bagaimana hukumnya seseorang yang menetapkan
syari’at Islam sebagai hukum negara dengan mengadopsi pemikiran-pemikiran Islam
liberal, karena ia menganggap Islam liberal itu adalah syari’at Islam yang
sebenarnya ?. Tentu tidak bukan, karena sesuatu itu dinilai dari hakekatnya,
bukan sekedar namanya.
b.
Pemahaman itu bertentangan dengan riwayat-riwayat beserta penjelasan
para ulama di atas yang menyatakan tetap wajibnya mendengar dan taat kepada
pemimpin yang dhalim lagi fajir. Bukankah seorang pemimpin yang berlaku dhalim
itu hakekatnya tidak sedang menegakkan hukum Allah ?. Bukankah sejarah
Islam telah mencatat bahwa para pemimpin Islam di masa dulu sering menguji dan
membunuh orang yang menyelisihinya baik dalam hal politik ataupun
pemahaman/agama ?. Bukankah itu artinya tidak menegakkan hukum Allah ?. Apalagi
ketika kekufuran akbar saat merebaknya paham Khalqul-Qur’an di
masa Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Apakah mereka itu dipahami sedang menegakkan
hukum Allah – padahal saat itu para imam kaum muslimin tidak ada yang menyatakan
mengangkat pedang terhadap khalifah atas perbuatan kufur yang dilakukannya.
Dalam hadits Hudzaifah radliyallaahu ‘anhu telah disebutkan
sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
قَوْمٌ يَهْدُونَ
بِغَيْرِ هَدْيِي
“Suatu kaum yang mengambil petunjuk selain
petunjukku”.
يَكُونُ بَعْدِي
أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ
فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ
“Akan ada sepeninggalku
nanti para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnah
dengan sunnahku. Akan muncul pula di tengah-tengah kalian orang-orang yang
hatinya adalah hati syaithan dalam wujud manusia”.
Hadits ini secara jelas menunjukkan akan adanya pemimpin yang
menyimpang dari petunjuk Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan
petunjuk beliau itu tidak lain Kitabullah dan Sunnahnya.
Bertentangan pula dengan dhahir hadits tetapnya ketaatan dan larangan
mengangkat pedang (kudeta) selama belum terjatuh dalam kekafiran yang nyata dan
meninggalkan shalat. Dua hal ini adalah limit akhir ketaatan terhadap seorang
pemimpin.
Bertentangan pula dengan hadits :
حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ , حَدَّثَنِي عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ , أَنَّ سُلَيْمَانَ بْنَ حَبِيبٍ حَدَّثَهُمْ , عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ , عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : " لتُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ , عُرْوَةً عُرْوَةً , فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ , تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا , وَأَوَّلُهُنّ نَقْضًا الْحُكْمُ , وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ "
Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid bin Muslim ; Telah menceritakan kepadaku 'Abdul-'Aziiz bin Ismaa'iil boin 'Abdillah : Bahwasannya Sulaimaan bin Habiib pernah menceritakan kepada merela, dari Abu Umaamah Al-Baahiliy, dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Sungguh akan
lepas tali Islam seutas demi seutas. Maka setiap kali terlepas seutas, diikuti oleh
manusia. Dan yang pertama kali terlepas adalah hukum dan yang terakhir sekali
adalah shalat”
[Diriwayatkan oleh Ahmad; shahih].
Hadits ini memberikan pemahaman
bahwa akan sulit atau jarang ditemui adanya pemimpin yang benar-benar menjalan/menegakkan
hukum yang terdapat Kitabullah dan Sunnahnya, karena (hampir) pasti akan ada hukum yang tergugurkan sebagaimana telah dikatakan sebelumnya.
Yang dimaksud oleh hadits itu sebenarnya adalah bahwa
kaum muslimin tetap diwajibkan mendengar dan taat meski yang mereka dipimpin
oleh seorang budak, selama apa yang diperintahkan itu selaras dengan
Kitabullah. Atau dengan kata lain, hadits itu berisi kewajiban taat pada
pemimpin pada hal-hal yang ma’ruf yang selaras dengan Kitabullah. Jika ia
(pemimpin) memerintahkan kemunkaran, maka tidak boleh mendengar dan taat pada
perintah maksiat tersebut. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Abu Bakr
Al-Atsram – salah satu ashhaab Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahumallah
– sebagai berikut :
وروى حرب بن شداد عن يحيى بن أبي كثير عن عمرو بن
زينب عن أنس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "لا طاعة لمن عصى الله عز وجل".
فاختلفت هذه الأحاديث في ظاهرها، فتأول فيها أهل البدع.
فأما أهل السنة: فقد وضعوها مواضعها، ومعانيها كلها متقاربة عندهم.
فأما أهل البدع: فتأولوا في بعض هذه الأحاديث مفارقة الأئمة والخروج عليهم.
والوجه فيها أن هذه الأحاديث يفسر بعضها بعضاً، ويصدق بعضها بعضاً.
...........
وأما حديث عبد الله بن عمرو فإنه قد قال فيه: فليطعه ما استطاع. فقد جعل له فيه ثنيا، وإنما يريد الطاعة في المعروف.
وحديث أم الحصين قد اشترط فيه يقودكم بكتاب الله.
وحديث علي رضي الله عنه قد فسره حين قال: إنما الطاعة في المعروف.
وحديث ابن عمر أيضاً مفسر أنه إنما أوجب الطاعة ما لم يؤمر بمعصية.
وكذلك حديث أبي سعيد.
وأما حديث ابن مسعود، وأنس فهما اللذان تأولهما أهل البدع فقالوا: ألا تراه يقول لا طاعة لمن عصى الله عز وجل، فإذا عصى الله لم يطع في شيء، وإن دعا إلى طاعة. وإنما يرد المتشابه إلى المفسر، فما جعل هذا على ظاهره أولى بالاتباع من تلك الأحاديث بل إنما يرد هذا إلى ما بيّن معناه فقوله: "لا طاعة لمن عصى الله "، إنما يريد أنه لا يطاع في معصية. كسائر الأحاديث.
فاختلفت هذه الأحاديث في ظاهرها، فتأول فيها أهل البدع.
فأما أهل السنة: فقد وضعوها مواضعها، ومعانيها كلها متقاربة عندهم.
فأما أهل البدع: فتأولوا في بعض هذه الأحاديث مفارقة الأئمة والخروج عليهم.
والوجه فيها أن هذه الأحاديث يفسر بعضها بعضاً، ويصدق بعضها بعضاً.
...........
وأما حديث عبد الله بن عمرو فإنه قد قال فيه: فليطعه ما استطاع. فقد جعل له فيه ثنيا، وإنما يريد الطاعة في المعروف.
وحديث أم الحصين قد اشترط فيه يقودكم بكتاب الله.
وحديث علي رضي الله عنه قد فسره حين قال: إنما الطاعة في المعروف.
وحديث ابن عمر أيضاً مفسر أنه إنما أوجب الطاعة ما لم يؤمر بمعصية.
وكذلك حديث أبي سعيد.
وأما حديث ابن مسعود، وأنس فهما اللذان تأولهما أهل البدع فقالوا: ألا تراه يقول لا طاعة لمن عصى الله عز وجل، فإذا عصى الله لم يطع في شيء، وإن دعا إلى طاعة. وإنما يرد المتشابه إلى المفسر، فما جعل هذا على ظاهره أولى بالاتباع من تلك الأحاديث بل إنما يرد هذا إلى ما بيّن معناه فقوله: "لا طاعة لمن عصى الله "، إنما يريد أنه لا يطاع في معصية. كسائر الأحاديث.
“Dan diriwayatkan oleh Harb bin Syaddaad, dari
Yahyaa bin Abi Katsiir, dari ‘Amru bin Zainab, dari Anas, dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : ‘Tidak ada ketaatan pada orang yang
bermaksiat/durhaka kepada Allah’.
Dhahir
hadits-hadits ini nampak berselisihan sehingga ahlul-bida’ berusaha menta’wilkannya.
Adapun Ahlus-Sunnah : Maka mereka meletakkanya semua hadits-hadits itu sesuai
tempat, sedangkan maknanya – menurut mereka (Ahlus-Sunnah) – adalah berdekatan.
Adapun ahlul-bid’ah, mereka menta’wilkannya sebagian hadits-hadits ini dalam
rangka mufaaraqah terhadap para pemimpin dan keluar ketaatan terhadap
mereka. Dan yang benar, bahwasannya hadits-hadits tersebut menafsirkan
sebagiannya terhadap sebagian yang lain, serta membenarkan sebagiannya terhadap
sebagian yang lain………..
Dan
hadits Ummul-Hushain yang mensyaratkan padanya (yaitu ketaatan) : ‘menuntun
kalian dengan Kitabullah’; hadits ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu yang telah
ditafsirkan ketika beliau bersabda : ‘Ketaatan itu hanyalah dalam hal yang
ma’ruf saja’; dan hadits Ibnu ‘Umar yang telah juga ditafsirkan
bahwasasnnya : ‘diwajibkan taat selama tidak diperintah kemaksiatan’. Begitu
pula dengan hadits Abu Sa’iid.
Adapun
hadits Ibnu Mas’uud dan Anas yang keduanya dita’wilkan oleh ahlul-bid’ah.
Mereka (Ahlul-Bida’) berkata : “Tidakkah kalian melihat beliau shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda : ‘tidak ada ketaatan terhadap orang yang bermaksiat
kepada Allah ‘azza wa jalla”. Jika pemimpin itu bermaksiat, maka tidak ada
boleh ditaati sedikitpun meskipun ia mengajak pada ketaatan. Maka, hadits yang
samar harus dikembalikan pada yang mufassar (jelas). Maka tidak boleh
menjadikan dhahir hadits ini (yang samar) untuk lebih diikuti daripada
hadits-hadits tersebut (yang jelas). Bahkan yang benar mesti mengembalikannya
pada hadits-hadits yang jelas maknanya, sehingga sabda beliau : ‘tidak ada
ketaatan terhadap orang yang bermaksiat kepada Allah’, itu maksudnya
bahwasannya tidak boleh taat dalam kemaksiatan, seperti keseluruhan
hadits-hadits lainnya” [Naasikhul-Hadiits wa Mansuukhuhu, hal 249].[8]
As-Sindiy
rahimahullah berkata :
قَوْله ( يَقُودكُمْ بِكِتَابِ اللَّه ) فِيهِ
إِشَارَة إِلَى أَنَّهُ لَا طَاعَةَ لَهُ فِيمَا يُخَالِفُ حُكْم اللَّه تَعَالَى
وَاَللَّه تَعَالَى أَعْلَم
“Sabda beliau : ‘menuntun kalian dengan
Kitabullah’; padanya terdapat isyarat bahwasannya tidak ada ketaatan padanya
pemimpin terhadap apa saja yang menyelisihi hukum Allah ta’ala, wallaahu
ta’ala a’lam” [Haasyiyyah Sunan An-Nasaa’iy, 7/154].
Shiddiiq
Hasan Khaan rahimahullah berkata :
طاعة الأئمة واجبة إلا في معصية الله باتفاق السلف
الصالح لقوله تعالى : { أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم } وللأحاديث
المتواترة في وجوب طاعة الأئمة منها : ما أخرجه البخاري من حديث أنس مرفوعا [
اسمعوا وأطيعوا وإن استعمل عليكم عبد حبشي كأن رأسه زبيبة ما أقام فيكم كتاب الله
]
“Ketaatan
terhadap para pemimpin/imam adalah wajib, kecuali dalam hal kemaksiatan kepada
Allah berdasarkan kesepakatan as-salafush-shaalih. Dalilnya adalah
firman Allah ta’ala : ‘Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kalian’ (QS. An-Nisaa’ : 59). Dan juga hadits-hadits mutawatir
tentang wajibnya taat kepada para pemimpin, di antaranya yang diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy dari hadits Anas secara marfuu’ : ‘Dengar dan taatlah
meskipun yang memerintah kalian adalah seorang budak Habsyiy yang seakan-akan
kepalanya seperti kismis (keriting), selama ia menegakkan Kitabullah atas
kalian[9]….”
[Ar-Raudlatun-Nadiyyah, 2/359].
حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ
، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ الْقَوَارِيرِيُّ ، حَدَّثَنَا ابْنُ مَهْدِيٍّ
، عَنْ سُفْيَانَ ، عَنْ زُبَيْدٍ ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ ، عَنْ أَبِي عَبْدِ
الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ ، عَنْ عَلِيٍّ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ، قَالَ : " لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ"
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah : Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah
bin ‘Umar Al-Qawaariiriy : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Mahdiy, dari
Sufyaan, dari Zubaid, dari Sa’d bin ‘Ubaidah, dari Abu ‘Abdirrahmaan
As-Sulamiy, dari ‘Aliy, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda : “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah
‘azza wa jalla” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 1/131; shahih].
Wallaahu
a’lam.
Ini
saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’
– perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 19101434/26082013 – 00:30 –
banyak mengambil faedah dari buku Al-Ghulluw fid-Diin fii Hayaatil-Muslimiin
Al-Mu’aashirah karya ‘Abdurrahmaan Al-Luwaihiq, hal. 405-436, Muassasah
Ar-Risaalah, Cet. 1/1412; dan Mu’aamalatul-Hukkaam fii Dlauil-Kitaab
was-Sunnah karya Dr. ‘Abdus-Salaam bin Barjaas, hal. 133-144, Maktabah
Ar-Rusyd, Cet. 7/1427 H].
وأعظم خلاف بين
الأمة خلاف الإمامة، إذ ما سل سيف في الإسلام على قاعدة دينية مثل ما سل على الإمامة
في كل زمان
“Dan khilaf (perbedaan pendapat) yang paling besar di
tengah umat adalah khilaaf tentang imaamah, karena pedang
tidaklah terhunus dalam agama Islam berdasarkan kaedah diiniyyah semisal
terhunusnya pedang karena masalah imamam pada setiap jaman” [Al-Milal
wan-Nihal, 1/21-22].
[3] Saya telah menyebutkan pendalilan sekaligus
pembahasan (ringkas) pendapat yang membolehkan keluar ketaatan dari penguasa
dhalim pada artikel : Memerangi Penguasa yang Fasiq atau Dhalim.
Para
ulama yang membolehkan secara garis besar mengambil dalil-dalil umum yang
berisi amar ma’ruf nahi munkar dan perbuatan sebagian salaf. Dan ini
adalah pendapat yang lemah, karena banyak dalil yang shahih lagi sharih yang
menyelisihi apa yang mereka tetapkan tersebut. Sebagiannya telah disebutkan
dalam artikel ini.
[4] Akan tetapi
perbuatan Ibnuz-Zubair dan yang lainnya ini sangat diingkari oleh para shahabat
lainnya, di antaranya Ibnu ‘Umar radliyallaahu maa.
حَدَّثَنَا
عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ الْعَنْبَرِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا
عَاصِمٌ وَهُوَ ابْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ
نَافِعٍ، قَالَ: " جَاءَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ مُطِيعٍ، حِينَ كَانَ مِنْ أَمْرِ الْحَرَّةِ مَا كَانَ زَمَنَ يَزِيدَ بْنِ
مُعَاوِيَةَ، فَقَالَ: اطْرَحُوا لِأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ وِسَادَةً، فَقَالَ:
إِنِّي لَمْ آتِكَ لِأَجْلِسَ أَتَيْتُكَ لِأُحَدِّثَكَ حَدِيثًا سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يَقُولُهُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يَقُولُ: مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللَّهَ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ
بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً "
Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin Mu’aadz
Al-‘Anbariy : Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada
kami ‘Aashim bin Muhammad bin Zaid, dari Zaid bin Muhammad, dari Naafi’, ia
berkata : ‘Abdullah bin ’Umar radliyallaahu ’anhumaa datang kepada
Abdullah bin Muthii’ radliyallaahu ’anhu ketika telah terjadi peristiwa
Al-Harrah di jaman Yaziid bin Mu’aawiyyah. Abdullah bin Muthii’ berkata : ”Berikan bantal kepada Abu ’Abdirrahman
(yaitu Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma)”. Kemudian Ibnu ’Umar berkata : ”Aku tidak datang kepadamu untuk duduk. Akan tetapi aku
datang kepadamu untuk menyampaikan sebuah hadits yang aku dengan dari
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam, yaitu beliau bersabda : ’Barangsiapa
yang melepaskan tangan dari ketaatan (kepada penguasa), maka dia akan menjumpai
Allah pada hari kiamat dalam keadaan tidak mempunyai hujjah (alasan) untuk
membela diri. Dan barangsiapa yang mati, sedangkan tidak ada (ikatan) baiat di
lehernya, maka ia mati seperti mati dalam keadaan jahiliyyah” [Diriwayatkan
oleh Muslim no. 1851].
Kita perlu ingat bahwa ketaatan Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhu ini tetap eksis bahkan semenjak pasca peristiwa terbunuhnya Al-Husain bin
‘Aliy radliyallaahu ‘anhumaa dan ahlul-bait Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam yang lain di Karbalaa’ di masa pemerintahan Yaziid bin
Mu’aawiyyah !!!.
[5] Silakan baca
pembahasan jalan riwayat yang dibawakan Al-Imaam Muslim ini pada artikel : Shahih Hadits : “Meskipun Ia Memukul Punggungmu dan
Merampas Hartamu…..dst.”.
[6]
Pembahasan makna jahiliyyah dalam
hadits ini dan hadits yang semisal, silakan baca artikel : Jaahil
dan Jaahiliyyah.
[7] Zaidah bin Qudaamah Ats-Tsaqafiy dari negeri Kuffah. Ia adalah
seorang tsiqah, tsabit, shaahibus-sunnah.
[8]
Dan saya mendapatkan keterangan perkataan Abu Bakr Al-Atsram ini pertama kali dari Al-Ustadz
Aris Munandar hafidhahullah.
[9]
Hadits Anad yang diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy tidak memuat lafadh : ‘selama ia menegakkan Kitabullah atas kalian’. Kemungkinan penulis keliru dengan menggabungkan
lafadh hadits Anas bin Maalik dan Ummul-Hushain radliyallaahu ‘anhumaa. Wallaahu
a’lam.
Comments
---Telah berkata Abu Bakr bin Al-Asham dan orang-orang yang sependapat dengannya : Bahwasannya (mengangkat) pedang diperbolehkan apabila orang-orang berkumpul bersama imam yang ’adil dan keluar bersamanya untuk menyingkirkan orang yang berbuat aniaya/lalim (ahlul-baghyi).----
Ustaz adlah yang dimaksudkan Abu Bakr Al-Atsram? kerana awalnya saya menyangka ianya orang lain
Abu Bakr Al-Asham.
وقال أبو بكر الأصم ومن قال بقوله: السيف
Assalamu'alaykum Ustadz... Mohon pencerahannya tentang apa yang terjadi di Mesir. Apakah sebagian saudara2 kita yang berusaha (dengan demonstrasi) menuntut kursi ke presidenan dikembalikan kepada Mursi termasuk dalam kategori tidak taat (memberontak) kepada penguasa?
Wassalam
Anonim#3
Kesimpulan tulisan ini apa ya? panjang sekali.
لَيُنْقَضَنَّ الْإِسْلَامُ عُرْوَةً عُرْوَةً، كَمَا يُنْقَضُ الْحَبْلُ قُوَّةً قُوَّةً "
Telah menceritakan kepada kami Haitsam bin Khaarijah : Telah mengkhabarkan kepada kami Dlamrah, dari Yahyaa bin Abi ‘Amru, dari Ibnu Fairuuz Ad-Dailamiy, dari ayahnya, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sungguh akan lepas tali Islam seutas demi seutas.
=================
Kayaknya terpotong pak tulisan arabnya antum.
bagian ini
Maka setiap kali terlepas seutas, diikuti oleh manusia. Dan yang pertama kali terlepas adalah hukum dan yang terakhir sekali adalah shalat.
ga ada arabnya
Anonim 28 Agustus 2013 14.28,... kesimpulannya ada di judul.
----
Anonim 28 Agustus 2013 14.33,.... antum betul. Saya salah mengambil/copi paste teks Arabicnya. Sudah saya perbaiki.
Jazaakallaahu khairan.
Jazaakallaahu khairan
Posting Komentar