Ibnu
Hibbaan rahimahullah berkata:
أَخْبَرَنَا عِمْرَانُ بْنُ مُوسَى بْنِ
مُجَاشِعٍ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذْ بْنِ مُعَاذْ، حَدَّثَنَا
أَبِي، حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَامِرِ بْنِ السِّمْطِ، عَنْ
مُعَاوِيَةَ بْنِ إِسْحَاقَ بْنِ طَلْحَةَ، قَالَ: حَدَّثَنِي ثُمَّ
اسْتَكْتَمَنِي أَنْ أُحَدِّثَ بِهِ مَا عَاشَ مُعَاوِيَةُ، فَذَكَرَ عَامِرٌ،
قَالَ: سَمِعْتُهُ وَهُوَ يَقُولُ: حَدَّثَنِي عَطَاءُ بْنُ يَسَارٍ، وَهُوَ
قَاضِي الْمَدِينَةِ، قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ مَسْعُودٍ وَهُوَ يَقُولُ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: " سَيَكُونُ أُمَرَاءُ مِنْ بَعْدي يَقُولُونَ مَا لا
يَفْعَلُونَ، وَيَفْعَلُونَ مَا لا يَأْمُرُونَ، فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ
فَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ
بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ
مُؤْمِنٌ، لا إِيمَانَ بَعْدَهُ "
قَالَ عَطَاءٌ: فَحِينَ سَمِعْتُ
الْحَدِيثَ مِنْهُ انْطَلَقْتُ بِهِ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ
فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ: أَنْتَ سَمِعْتَ ابْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ هَذَا؟
كَالْمُدْخَلِ عَلَيْهِ فِي حَدِيثِهِ، قَالَ عَطَاءٌ: فَقُلْتُ: هُوَ مَرِيضٌ
فَمَا يَمْنَعُكَ أَنْ تَعُودَهُ؟، قَالَ: فَانْطَلِقْ بِنَا إِلَيْهِ،
فَانْطَلَقَ وَانْطَلَقْتُ مَعَهُ، فَسَأَلَهُ عَنْ شَكْوَاهُ، ثُمَّ سَأَلَهُ
عَنِ الْحَدِيثِ، قَالَ: فَخَرَجَ ابْنُ عُمَرَ وَهُوَ يُقَلِّبُ كَفَّهُ وَهُوَ
يَقُولُ: مَا كَانَ ابْنُ أُمِّ عَبْدٍ يَكْذِبُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ
Telah
mengkhabarkan kepada kami ‘Imraan bin Muusaa bin Mujaasyi’ : Telah
mengkhabarkan kepada kami ‘Ubaidullah bin Mu’aadz bin Mu’aadz : Telah
menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami ‘Aashim bin
Muhammad, dari ‘Aamir bin As-Simth, dari Mu’aawiyyah bin Ishaaq bin Thalhah, ia
berkata : Telah menceritakan kepadaku – kemudian ia memintaku untuk menyimpannya selama
Mu’aawiyyah (bin Ishaaq) masih hidup - . Lalu ‘Aamir menyebutkan, ia berkata :
Aku mendengarnya (Mu’aawiyyah) berkata :
Telah menceritakan kepadaku ‘Athaa’ bin Yasaar – dan ia seorang qaadliy di
Madiinah – berkata : Aku mendengar Ibnu Mas’uud berkata : Telah bersabda
Rasulullah ﷺ
: “Kelak akan ada para pemimpin setelahku yang mengatakan apa yang tidak
mereka lakukan dan melakukan apa yang tidak diperintahkan. Barangsiapa yang berjihad
melawan mereka dengan tangannya, maka ia seorang mukmin. Barangsiapa yang berjihad
melawan mereka dengan lisannya, maka ia seorang mukmin. Dan barangsiapa yang
melawan mereka dengan hatinya, maka ia pun seorang mukmin. Tidak ada keimanan setelah
hal itu”.
‘Athaa’
(bin Yasaar) berkata : “Ketika aku mendengar hadits tersebut darinya, maka aku
pergi dengan riwayat tersebut menemui ‘Abdullah bin ‘Umar, lalu aku khabarkan
tentangnya. Ia (Ibnu ‘Umar) berkata : “Engkau mendengar Ibnu Mas’uud mengatakan
ini?”. (Kemudian ia menyampaikan) seperti pengantar terhadapnya dalam haditsnya. Setelah itu ‘Athaa’ berkata : “Ia
(Ibnu Mas’uud) sedang sakit. Apa yang menghalangimu untuk menjenguknya ?”. Ibnu
‘Umar berkata : “Pergilah bersamaku kepadanya”. Maka ia pergi dan akupun pergi
bersamanya. (Ketika sampai), ia (Ibnu ‘Umar) bertanya tentang keluhan
sakitnya, kemudian ia bertanya tentang hadits tersebut. Lalu Ibnu ‘Umar keluar
seraya membolak-balik telapak tangannya dan berkata : “Ibnu Ummi ‘Abd (yaitu
Ibnu Mas’uud – Abul-Jauzaa’) tidak mungkin berdusta atas nama
Rasulullah ﷺ”
[Shahiih Ibni Hibbaan, 1/403-404 no. 177].
Hadits
ini diriwayatkan juga oleh Ahmad secara ringkas[1]
(7/374) dari jalan ‘Aamir bin As-Simth, dan Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no.
3308 dari jalan Al-Hasan bin ‘Amru Al-Fuqaimiy; keduanya dari Mu’aawiyyah bin
Ishaaq, dari ‘Athaa’ bin Yasaar, dari Ibnu Mas’uud.
Al-Bazzaar
rahimahullah berkata:
وَهَذَا الْحَدِيثُ لا نَعْلَمُهُ يُرْوَى
بِهَذَا اللَّفْظِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ إِلا بِهَذَا الإِسْنَادِ، وَلا نَعْلَمُ
رَوَى عَطَاءُ بْنُ يَسَارٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ غَيْرَ هَذَا الْحَدِيثِ، وَلا
نَعْلَمُهُ سَمِعَ مِنْهُ وَإِنْ كَانَ قَدِيمًا، وَلا نَعْلَمُ أَسْنَدَ
الْحَسَنُ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ إِسْحَاقَ إِلا هَذَا الْحَدِيثَ
“Hadits
ini tidak kami ketahui diriwayatkan dengan lafadh ini dari ‘Abdullah (bin
Mas’uud) kecuali dengan sanad ini. Kami tidak mengetahui ‘Athaa’ bin Yasaar
meriwayatkan dari ‘Abdullah kecuali hadits ini, dan kami tidak mengetahuinya
(‘Athaa’) mendengar hadits darinya (Ibnu Mas’uud), meskipun ia (‘Athaa’)
termasuk perawi yang terdahulu[2].
Dan kami tidak mengetahui Al-Hasan bin ‘Amru membawakan sanad dari Mu’aawiyyah
bin Ishaaq kecuali hadits ini” [selesai].
Penyimakan
hadits ‘Athaa’ bin Yasaar dari Ibnu Mas’uud diperselisihkan para ulama.
Sebagian ulama ada yang menafikkan – sebagaimana isyarat perkataan Al-Bazzaar
di atas - , sebagian yang lain menetapkannya.
Ibnu
Abi Haatim rahimahullah berkata:
سَأَلْتُ أَبِي عَنْ حَدِيثٍ رَوَاهُ
عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي
مُعَاوِيَةُ بْنُ إِسْحَاق، عَنْ عَطَاءَ بْنِ يَسَارٍ، قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ
مَسْعُودٍ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: " سَيَكُونُ بَعْدِي أُمَرَاءٌ
يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ فَمَنْ
جَاهَدَهُمْ "، الْحَدِيثَ، قَالَ أَبِي: " هَذَا خَطَأٌ، قَوْلُهُ
سَمِعْتُ ابْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ فَإِنَّ عَطَاءَ لَمْ يَسْمَعْ مِنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ وَكَذَا هُوَ عِنْدِي لَمْ يَسْمَعْ مِنَ ابْنِ مَسْعُودٍ
"
“Aku
bertanya kepada ayahku tentang hadits yang diriwayatkan ‘Abdul-Waahid bin
Ziyaad, dari ‘Aashim bin Muhammad, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku
Mu’aawiyyah bin Ishaaq, dari ‘Athaa’ bin Yasaar, ia berkata : Aku mendengar
Ibnu Mas’uud berkata : Telah bersabda Rasulullah ﷺ : ‘Kelak akan ada para pemimpin
setelahku yang mengatakan apa yang tidak mereka lakukan dan melakukan apa yang
tidak diperintahkan. Barangsiapa yang berjihad melawan mereka…’, al-hadits.
Ayahku berkata : ‘Ini keliru, yaitu perkataannya ‘aku mendengar Ibnu Mas’uud
berkata’. Karena, ‘Athaa’ tidak pernah mendengar hadits dari ‘Abdullah bin
Mas’uud. Demikianlah menurutku, ia tidak mendengar riwayat dari Ibnu Mas’uud” [Al-Maraasiil
no. 572].
Al-‘Alaaiy
rahimahullah berkata : “Telah berkata Abu Haatim : ‘’Athaa’ tidak
mendengar riwayat dari Ibnu Mas’uud’, dan ia menyalahkan orang yang mengatakan
darinya (‘Athaa’) : Aku mendengar Ibnu Mas’uud’. Al-Bukhaariy menyelisihinya,
dan ia menetapkan penyimakan riwayatnya dari Ibnu Mas’uud, wallaahu a’lam”
[Jaam’ut-Tahshiil, hal. 238 no. 524].
Selain Al-Bukhaariy, Ibnu Sa’d (Ath-Thabaqaat, 5/173)
dan Abu Daawud (As-Siyar, 4/449) juga menetapkan penyimakan riwayat ‘Athaa’ dari Ibnu
Mas’uud.
Ad-Daaraquthniy setelah membawakan beberapa perselisihan, ia
menguatkan periwayatan ‘Athaa’ (bin Yasaar), dari Abu Waaqid Al-Laitsiy, dari
Ibnu Mas’uud lebih shahih [Al-‘Ilal Al-Waaridah, 5/341-342 no. 936].
‘Athaa’ bin Yasaar mempunyai mutaba’ah dari Abu Raafi’
Al-Qibthiy yang diriwayatkan oleh:
1.
Muslim no. 50, Ahmad
7/378, Abu ‘Awaanah 1/43 no. 100, Abu Nu’aim dalam Al-Mustakhraj 1/137,
Ibnu Mandah dalam Al-Iimaan 1/345 no. 183, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa
10/90 & Syu’abul-Iimaan 6/68, 85 & Al-I’tiqaad hal. 326,
dan Ibnu ‘Asaakir dalam Taariikh Dimasyq 35/430 dari jalan Shaalih bin Kaisaan;
2.
Abu ‘Awaanah 1/43 no.
98, Ibnu Hibbaan 14/71 no. 6193, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 10/13
no. 9784, dan Abu Nu’aim dalam Al-Mustakhraj 1/137 no. 177 dari jalan
‘Abdul-‘Aziiz bin Muhammad Ad-Daraawardiy;
3.
Ahmad 7/411, Ibnu
Mandah dalam Al-Iimaan 1/346 no. 184, Abu ‘Awaanah 1/43 no. 99, dan Ibnu
Baththah dalam Al-Ibaanah 1/212 no. 54 dari jalan ‘Abdullah bin Ja’far
Al-Makhzuumiy;
Ketiganya
dari jalan Al-Haarits bin Fudlail, dari Ja’far bin ‘Abdillah bin Al-Hakam, dari
‘Abdurrahmaan bin Al-Miswar, dari Abu Raafi’, dari ‘Abdullah bin Mas’uud :
Bahwasannya Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِي
أُمَّةٍ قَبْلِي، إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ، وَأَصْحَابٌ
يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ، ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ
بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ، يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ، وَيَفْعَلُونَ مَا لَا
يُؤْمَرُونَ، فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ
بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ،
وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ الإِيمَانِ، حَبَّةُ خَرْدَلٍ "،
قَالَ أَبُو رَافِعٍ: فَحَدَّثْتُهُ عَبْدَ
اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، فَأَنْكَرَهُ عَلَيَّ، فَقَدِمَ ابْنُ مَسْعُودٍ، فَنَزَلَ
بِقَنَاةَ، فَاسْتَتْبَعَنِي إِلَيْهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ يَعُودُهُ،
فَانْطَلَقْتُ مَعَهُ، فَلَمَّا جَلَسْنَا سَأَلْتُ ابْنَ مَسْعُودٍ عَنْ هَذَا
الْحَدِيثِ، حَدَّثَنِيهِ كَمَا حَدَّثْتُهُ ابْنَ عُمَرَ
“Tidak
ada seorang Nabi pun yang diutus Allah sebelumku, melainkan ia mempunyai
murid-murid setia (hawariyyun) dan para shahabat yang mengambil sunnahnya dan
mengikuti perintahnya. Kemudian setelah mereka, muncul para penerus yang
mengatakan apa yang tidak mereka lakukan dan melakukan apa yang tidak
diperintahkan. Barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan tangannya, maka
ia seorang mukmin. Barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan lisannya,
maka ia seorang mukmin. Dan barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan
hatinya, maka ia pun seorang mukmin. Tidak ada keimanan setelah hal itu, walau
seberat biji sawi”.
Abu
Raafi’ berkata : Lalu aku menceritakan riwayat ini kepada ‘Abdullah bin ‘Umar,
namun ia mengingkariku. Ketika Ibnu Mas'uud datang dan singgah di Qanaah, ‘Abdullah
bin ‘Umar mengajakku untuk mengikutinya mengunjungi Ibnu Mas'uud. Aku pun pergi
bersamanya. Ketika kami duduk, aku bertanya kepada Ibnu Mas'uud tentang hadits
ini,. Lalu ia menceritakan hadits tersebut kepadaku sebagaimana aku
menceritakannya kepada Ibnu ‘Umar” [lafadh dari Muslim].
Ibnu
Hibbaan menggunakan lafadh aqwaam (kaum-kaum) sebagai ganti umaraa’
atau khuluuf.
Dua
jalan hadits tersebut (‘Athaa’ bin Yasaar dan Abu Raafi’) sama-sama
menceritakan pengingkaran Ibnu ‘Umar setelah disampaikan hadits oleh perawi
kepadanya, dan juga kepergiannya menemui Ibnu Mas’uud dalam rangka check and
re-check. Besar kemungkinan, peristiwa tersebut hakekatnya satu (sekali) karena
tidak mungkin terjadi dua kali pengingkaran Ibnu ‘Umar jika masalahnya telah clear
pada pertemuannya dengan Ibnu Mas’uud yang pertama. Sementara itu, dua jalan
periwayatan ini (‘Athaa’ bin Yasaar dan Abu Raafi’) masing-masing ada kritikan
dari para ulama mutaqaddimiin.
Riwayat
‘Athaa’ bin Yasaar dikritik ulama dari sisi penyimakan dirinya dari Ibnu
Mas’uud sebagaimana ditegaskan oleh Abu Haatim dan Ad-Daaraquthniy, serta
diisyaratkan oleh Al-Bazzaar. Adapun riwayat Abu Raafi’, Al-Khallaal membawakan
kritikan Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahumullah sebagai berikut:
أَخْبَرَنَا سُلَيْمَانُ ، قَالَ: سَمِعْتُ
أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ذَكَرَ حَدِيثَ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ، عَنِ الْحَارِثِ
بْنِ فُضَيْلٍ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَكَمِ، عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ، عَنْ أَبِي رَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ: " يَكُونُ أُمَرَاءٌ يَقُولُونَ
مَا لا يَفْعَلُونَ، فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ ".
قَالَ أَحْمَدُ: جَعْفَرٌ هَذَا هُوَ أَبُو
عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ جَعْفَرٍ، وَالْحَارِثُ بْنُ فُضَيْلٍ لَيْسَ بِمَحْفُوظِ
الْحَدِيثِ، وَهَذَا الْكَلامُ لا يُشْبِهُ كَلامَ ابْنِ مَسْعُودٍ، ابْنُ
مَسْعُودٍ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: " اصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي
"
Telah
mengkhabarkan kepada kami Sulaimaan, ia berkata : Aku mendengar Abu ‘Abdillah
menyebutkan hadits Shaalih bin Kaisaan, dari Al-Haarits bin Fudlail, dari
Ja’far bin ‘Abdilllah bin Al-Hakam, dari ‘Abdurrahmaan bin Al-Miswar bin
Makhramah, dari Abu Raafi’, dari ‘Abdullah bin Mas’uud, dari Nabi ﷺ : “Kelak akan ada para pemimpin yang
mengatakan apa yang tidak mereka lakukan dan melakukan apa yang tidak
diperintahkan. Barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan tangannya”.
Ahmad
berkata : “Ja’far ini adalah Abu ‘Abdil-Hamiid bin Ja’far, sedangkan Al-Haarits
bin Fudlail haditsnya tidak terjaga. Perkataan ini tidak seperti perkataan Ibnu
Mas’uud. Ibnu Mas’uud berkata : Telah bersabda Rasulullah ﷺ : “Bersabarlah hingga kalian menemuiku
(kelak di haudl)” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam Al-Muntakhab
hal. 169-170 no. 89].
Ahmad bin Hanbal rahimahumallah melemahkan jalur periwayatan ini
dikarenakan Al-Haarits dan adanya penyelisihan dalam matan dengan hadits
masyhur lain dari Ibnu Mas’uud dari Nabi ﷺ tentang perintah untuk bersabar (terhadap
pemimpin yang dhalim). Namun secara keseluruhan, dua jalur ini saling
menguatkan sehingga shahih, dan dimasukkan Muslim dalam kitab Shahiih-nya.
Ini
dari segi pembahasan sanad.
Dari
segi matan, telah lewat perkataan Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah yang
menegaskan bahwa hadits itu tidak seperti hadits Ibnu Mas’uud radliyallaahu
‘anhu. Beliau rahimahullah mengisyaratkan adanya penyelisihan dengan
hadits Ibnu Mas’uud yang lain dari Nabi ﷺ, yaitu hadits:
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً
وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا، قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟،
قَالَ: أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ
“Sesungguhnya
kelak sepeninggalku kalian akan melihat atsarah dan perkara-perkara yang kalian
mengingkarinya”. Para sahabat bertanya : “Lantas apa yang engkau
perintahkan kepada kami wahai Rasulullah ?”. Beliau ﷺ bersabda : “Tunaikan kewajiban yang
dibebankan kepada kalian, dan mintalah hak kalian kepada Allah”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7052 dan Muslim no. 1843].
Penjelasan
beliau ini sama dengan penjelasan muridnya, yaitu Abu Bakr Al-Atsram rahimahumallah
saat mengulas hadits yang sama:
وروى عامر بن السمت عن معاوية بن إسحاق عن
عطاء بن يسار عن ابن مسعود عن النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال :
((سيكون أمراء - فذكر من فعلهم ثم قال - فمن جاهدهم بلسانه فهو مؤمن، ومن جاهدهم
بيده فهو مؤمن، ومن جاهدهم بقلبه فهو مؤمن))
وهذا أيضاً خلاف الأحاديث، وهو إسناد لم
يسمع حديث عن ابن مسعود بهذا الإسناد غيره، وقد جاء الإسناد الواضح عن ابن مسعود
بخلافه.
روى الأعمش عن زيد بن وهب عن ابن مسعود عن
النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال : ((سترون بعدي أثرة وفتناً وأموراً
تنكرونها)) قالوا : فما تأمرنا يا رسول الله؟. قال : ((تؤدون الحق الذي عليكم،
وتسألون الله الذي لكم)).
وهذا عن ابن مسعود، وذاك عن ابن مسعود،
وهذا أثبت الإسنادين، وهو موافق الأحاديث، وذاك لها مخالف، ثم تواترت الأحاديث عن
النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فكثرت عنه، وعن الصحابة والأئمة بعدهم -
رضي الله عنهم - يأمرون بالكف، ويكرهون الخروج وينسبون من خالفهم في ذلك إلى فراق
الجماعة ومذهب الحرورية وترك السنة
“Dan
‘Aamir bin As-Samt meriwayatkan dari Mu’aawiyyah bin Ishaaq, dari ‘Athaa’ bin
Yasaar, dari Ibnu Mas’uud, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda : ‘Kelak akan ada para
pemimpin – kemudian beliau ﷺ menyebutkan perbuatan mereka, lalu berkata
: - Barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan lisannya, maka ia
seorang mukmin. Barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan tangannya, maka
ia seorang mukmin. Dan barangsiapa yang melawan mereka dengan hatinya, maka ia
pun seorang mukmin’.
Ini
juga menyelisihi hadits-hadits. Dan hadits ini tidak didengar dari Ibnu Mas’uud
kecuali dengan sanad ini. Terdapat sanad (lain) yang jelas/gamblang dari Ibnu
Mas’uud menyelisihinya.
Al-A’masy
meriwayatkan dari Zaid bin Wahb, dari Ibnu Mas’uud, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda : “Kelak sepeninggalku
kalian akan melihat atsarah[3],
berbagai fitnah, dan perkara-perkara yang kalian ingkari”. Para shahabat
bertanya : “Lantas apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah ?”.
Beliau ﷺ
bersabda : “Tunaikan kewajiban yang dibebankan kepada kalian, dan mintalah hak
kalian kepada Allah”.
Hadits
ini dari Ibnu Mas’uud, dan itu juga dari Ibnu Mas’uud. Namun sanad hadits ini
(dari jalan Zaid bin Wahb – Abul-Jauzaa’) paling kokoh
dari dua sanad tersebut, dan berkesesuaian dengan hadits-hadits yang lain. Adapun
hadits yang itu (‘Aamir/’Athaa’) mempunyai perselisihan. Kemudian mutawatir hadits-hadits
dari Nabi ﷺ,
sehingga menjadi banyaklah riwayat dari beliau ﷺ, dari para shahabat dan para imam
sepeninggal mereka – radliyallaahu ‘anhum – yang (semuanya) memerintahkan
untuk menahan diri, membenci pemberontakan, dan menisbatkan orang yang
menyelisihi mereka dalam perkara tersebut sebagai pemisahan diri dari jama’ah, (penganut)
madzhab Haruuriyyah (Khawaarij), dan meninggalkan Sunnah” [Naasikhul-Hadiits
wa Mansuukhuh oleh Al-Atsram, hal. 256-257].
Al-Imaam
Ahmad bin Hanbal – imam Ahlis-Sunnah di jamannya – dan muridnya yang terkemuka,
Abu Bakr Al-Atsram rahimahumallah, tidak mengambil dhahir hadits
Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu dalam perkara inkarul-munkar terhadap
penguasa dengan tangan, karena bertentangan dengan hadits-hadits yang lebih
jelas matannya dan lebih kuat sanadnya yang memerintahkan untuk bersabar,
mendengar, dan taat kepada penguasa yang dhalim.
Inilah
yang kemudian menjadi madzhab Ahmad bin Hanbal rahimahullah untuk
senantiasa bersabar, mendengar, dan taat kepada para pemimpin yang adil ataupun
faajir (jahat). Riwayat berikut menguatkannya:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ،
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي التَّيَّاحِ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا زُرْعَةَ،
يُحَدِّثُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: " يُهْلِكُ
أُمَّتِي هَذَا الْحَيُّ مِنْ قُرَيْشٍ "، قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا يَا رَسُولَ
اللَّهِ؟ قَالَ: " لَوْ أَنَّ النَّاسَ اعْتَزَلُوهُمْ ".
قال عبد الله بن أحمد: وقَالَ أَبِي فِي
مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ: اضْرِبْ عَلَى هَذَا الْحَدِيثِ، فَإِنَّهُ خِلَافُ
الْأَحَادِيثِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْنِي قَوْلَهُ:
" اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَاصْبِرُوا "
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far : Telah menceritakan kepada kami
Syu’bah, dari Abut-Tayyaah, ia berkata : Aku mendengar Abu Zur’ah menceritakan
hadits dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: “Umatku akan binasa
oleh sekelompok orang dari Quraisy”. Para shahabat bertanya: “Lantas, apa
yang engkau perintahkan wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Seandainya
orang-orang meninggalkan mereka”.
‘Abdullah
bin Ahmad berkata: Telah berkata ayahku pada waktu sakitnya yang menyebabkan
kematiannya[4]:
‘Tahanlah hadits ini, karena ia bertentangan dengan hadits-hadits Nabi ﷺ, yaitu sabda beliau : ‘Dengar dan
taatilah (pemimpin kalian), serta bersabarlah” [Diriwayatkan oleh Ahmad,
2/301; shahih].
Perkataan beliau rahimahullah bukan bermaksud untuk mencela hadits Nabi ﷺ. Orang yang mengetahui sirah beliau, pembelaan
beliau terhadap hadits Nabi ﷺ, serta celaan beliau terhadap orang yang meremehkan
dan merendahkan hadits Nabi ﷺ; tentu tidak akan memahami demikian. Beliau rahimahullah
mengatakannya karena kehatian-hatiannya dan khawatir umat akan
menggunakannya sebagai wasilah untuk keluar ketaatan dari penguasa sehingga
menyebabkan perpecahan dan kerusakan yang besar [baca penjelasan Asy-Syaikh
Ahmad Syaakir dalam ta’liq-nya terhadap Musnad Al-Imaam Ahmad no.
7992].
Memang
terbukti, sebagian firqah sesat menggunakan hadits Ibnu Mas’uud tersebut untuk melegalkan
penyimpangan mereka. Al-Khallal setelah membawakan hadits ini, menukil
perkataan Al-Marruudziy rahimahumallah:
وقد كنت سمعته يقول : هو حديث رديء، يحتج
به المعتزلة في ترك الجمعة
“Sungguh,
aku telah mendengarnya (Ahmad bin Hanbal) berkata : ‘Itu hadits tidak
baik/jelek, (karena) Mu’tazilah berhujjah dengannya untuk meninggalkan shalat
Jum’at[5]”
[Al-Muntakhab minal-‘Ilal, hal. 163].
Masih
dari hadits ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu yang lain:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، أَنّ
النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: " سَيَلِي أُمُورَكُمْ بَعْدِي رِجَالٌ يُطْفِئُونَ
السُّنَّةَ، وَيَعْمَلُونَ بِالْبِدْعَةِ، وَيُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ
مَوَاقِيتِهَا "، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنْ أَدْرَكْتُهُمْ كَيْفَ
أَفْعَلُ؟، قَالَ: " تَسْأَلُنِي يَا ابْنَ أُمِّ عَبْدٍ، كَيْفَ تَفْعَلُ؟
لَا طَاعَةَ لِمَنْ عَصَى اللَّهَ "
Dari
‘Abdullah bin Mas’uud : Bahwasannya Nabi ﷺ bersabda : “Kelak sepeninggalku akan
mengurusi urusan kalian orang-orang yang memadamkan sunnah, mengerjakan bid’ah,
dan mengakhirkan shalat dari waktu-waktunya”. Aku (Ibnu Mas’uud) berkata : “Wahai
Rasulullah, apabila aku bertemu dengan mereka, apa yang mesti aku lakukan?”.
Beliau ﷺ
bersabda : “Engkau bertanya kepadaku apa yang mesti engkau lakukan, wahai
Ibnu Ummi ‘Abd?. Tidak ada ketaatan terhadap orang yang bermaksiat kepada Allah”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 2865; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Silsilah
Ash-Shahiihah no. 590].
Al-Atsram
rahimahullah menjelaskan hadits ini dengan perkataannya:
وأما حديث ابن مسعود وأنس فهما اللذان
تأولهما أهل البدع فقالوا: ألا تراه يقول لا طاعة لمن عصى الله عز وجل، فإذا عصى
الله لم يطع في شيء، وإن دعا إلى طاعة.
وإنما يرد المتشابه إلى المفسر، فما جعل
هذا على ظاهره أولى بالاتباع من تلك الأحاديث بل إنما يرد هذا إلى ما بيّن معناه
فقوله: "لا طاعة لمن عصى الله "، إنما يريد أنه لا يطاع في معصية. كسائر
الأحاديث.
"Adapun
hadits Ibnu Mas’uud dan Anas yang keduanya dita’wilkan oleh ahlul-bid’ah.
Mereka (Ahlul-Bida’) berkata : “Tidakkah kalian melihat beliau ﷺ bersabda : ‘tidak ada ketaatan terhadap
orang yang bermaksiat kepada Allah ‘azza wa jalla”. Jika pemimpin itu
bermaksiat, maka tidak ada boleh ditaati sedikitpun meskipun ia mengajak pada
ketaatan.
Maka,
hadits yang samar harus dikembalikan pada yang mufassar (jelas). Tidak
boleh menjadikan dhahir hadits ini (yang samar) untuk lebih diikuti
daripada hadits-hadits tersebut (yang jelas). Bahkan yang benar mesti
mengembalikannya pada hadits-hadits yang jelas maknanya, sehingga sabda beliau
: ‘tidak ada ketaatan terhadap orang yang bermaksiat kepada Allah’, itu
maksudnya bahwasannya tidak boleh taat dalam kemaksiatan[6],
seperti keseluruhan hadits-hadits lainnya” [Naasikhul-Hadiits wa Mansuukhuhu,
hal 252].
Point
penting yang hendak disampaikan di sini, Al-Imaam Ahmad bin Hanbal dan murid-muridnya
yang utama rahimahumullah tidak mengambil dhahir hadits Ibnu Mas’uud sebagai
dalil memisahkan diri dari para penguasa muslim (meski dhalim) dan mengangkat senjata memerangi mereka[7].
Pengambilan dhahir hadits tersebut di jaman beliau rahimahullah hanyalah
dilakukan oleh kelompok sesat dari kalangan Haruuriyyah (Khawaarij).
Hadits tersebut harus diselaraskan dengan hadits-hadits lain yang jumlahnya
lebih banyak, lebih kuat, dan lebih jelas penunjukkannya.
Lantas
apa yang dimaksudkan dengan hadits Ibnu Mas’uud dalam bahasan di awal?.
Ada
perbedaan lafadh dari dua jalur riwayat ini. Jalur ‘Athaa’ bin Yasaar dari Ibnu
Mas’uud dibawakan dengan lafadh:
سَيَكُونُ أُمَرَاءُ مِنْ بَعْدي
يَقُولُونَ مَا لا يَفْعَلُون.......
“Kelak
akan ada para pemimpin setelahku yang mengatakan apa yang tidak mereka lakukan……”.
Adapun
mayoritas jalur Abu Raafi’ dari Ibnu Mas’uud dibawakan dengan lafadh:
مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِي
أُمَّةٍ قَبْلِي، إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ، وَأَصْحَابٌ
يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ، ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ
بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ، يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ،.....
“Tidak
ada seorang Nabi pun yang diutus Allah sebelumku, melainkan ia mempunyai
murid-murid setia (hawariyyun) dan para shahabat yang mengambil sunnahnya dan
mengikuti perintahnya. Kemudian setelah mereka, muncul para penerus yang
mengatakan apa yang tidak mereka lakukan…..”
Dua
riwayat ini konteks waktunya berbeda. Yang pertama konteks waktunya adalah
sepeninggal Nabi ﷺ, sedangkan yang kedua konteksnya adalah umat
terdahulu sebelum Nabi ﷺ.
Ibnu
Shalaah rahimahullah berkata:
وما ورد في هذا الحديث من الحث على جهاد
المبطلين باليد واللسان فذلك حيث لا يلزم منه إثارة فتنة على أن لفظ هذا الحديث
مسوق فيمن سبق من الأمم وليس في لفظه ذكر هذه الأمة والله أعلم
“Dan
apa yang terdapat dalam hadits ini adalah anjuran berjihad terhadap para pembela
kebathilan dengan tangan dan lisan. Hal tersebut dilakukan ketika tidak menyebabkan
merebaknya fitnah. Namun demikian, lafadh hadits ini disampaikan terhadap orang
dari kalangan umat-umat terdahulu. Tidak ada penyebutan untuk umat ini dalam
lafadh hadits itu, wallaahu a’lam”.
Kemudian
An-Nawawiy mengomentari perkataan Ibnu Shaalah rahimahumallah di atas:
وهو ظاهر كما قال
“Itulah
yang nampak sebagaimana yang dikatakannya” [Syarh Shahiih Muslim, 2/28].
Ketika
Al-Baihaqiy membawakan hadits Ibnu Mas’uud dari jalan Abu Raafi’ ini dalam
kitab Al-I’tiqaad wal-Hidaayah ilaa Sabiilir-Rasyaad (hal. 326), maka ia
memasukkannya dalam Bab:
بَابُ طَاعَةِ الْوُلاةِ وَلُزُومِ
الْجَمَاعَةِ وَإِنْكَارِ الْمُنْكِرِ بِلِسَانِهِ أَوْ كَرَاهِيَتِهِ بِقَلْبِهِ
قال الله عَزَّ وَجَلَّ: يَأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأَمْرِ
مِنْكُمْ، وقال: وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ
الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا.
“Bab
: Taat terhadap Penguasa, Menetapi Jama’ah, serta Mengingkari Kemunkaran dengan
Lisannya atau Membencinya dengan Hatinya.
Allah
‘azza wa jalla berfirman : ‘Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil-amri di antara kamu’ (QS. An-Nisaa’ : 59).
Allah ‘azza wa jalla juga berfirman : ‘Dan barangsiapa yang menentang
Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu
seburuk-buruk tempat kembali’ (QS. An-Nisaa’ : 115)” [idem, hal.
323].
Al-Baihaqiy
rahimahullah sama sekali tidak mempunyai fiqh pengingkaran terhadap
penguasa dengan tangan dengan penyebutan hadits tersebut dalam kitabnya.
Lafadh
khuluuf (خُلُوْفٌ) merupakan jamak dari khalf (خَلْف)
yang maknanya adalah sekelompok orang yang menggantikan yang lain. Ini umum,
bisa penguasa atau selain penguasa. Adapun penguasa, maka yang diwajibkan
adalah bersabar.
Ibnu
Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah memberikan penjelasan yang bagus:
حديث ابن مسعود الذي فيه: (يخلف من بعدهم
خلوف فمن جاهدهم بيده فهو مؤمن) الحديث. وهذا يدل على جهاد الأمراء باليد، وقد
استنكر الإمام أحمد هذا الحديث في رواية أبي داود وقال: هو خلاف الأحاديث التي أمر
رسول الله -صلى الله عليه وآله وسلم- فيها بالصبر على جور الأئمة، وقد يجاب عن ذلك
بأن التغيير باليد لا يستلزم القتال، وقد نص على ذلك أحمد أيضا في رواية صالح
فقال: التغيير باليد ليس بالسيف والسلاح، فحينئذ جهاد الأمراء باليد أن يزيل بيده
ما فعلوه من المنكرات، مثل: أن يريق خمورهم، أو يكسر آلات اللهو التي لهم، أو نحو
ذلك، أو يبطل بيده ما أمروا به من الظلم إن كان له قدرة على ذلك، وكل ذلك جائز،
وليس هو من باب قتالهم، ولا من الخروج عليهم الذي ورد النهي عنه، ....... وأما
الخروج عليهم بالسيف فيخشى منه الفتن التي تؤدي إلى سفك دماء المسلمين، .....
“Hadits
Ibnu Mas’uud yang di dalamnya terdapat statement : ‘Kemudian setelah mereka,
muncul para penerus/pengganti’ – al-hadits - . Dan ini menunjukkan jihad
terhadap para penguasa dengan tangan. Al-Imam Ahmad mengingkari hadits ini
dalam riwayat Abu Daawud[8].
Ia (Ahmad) berkata : “Hadits tersebut bertentangan dengan hadits-hadits yang
Rasulullah ﷺ
memerintahkan untuk bersabar padanya atas kejahatan para penguasa. Hal tersebut
dijawab bahwasannya mengubah (kemunkaran) dengan tangan tidak selalu
mengkonsekuensikan peperangan. Pernyataan ini telah dinashkan juga oleh Ahmad dalam
riwayat Shaalih[9],
dimana Ahmad berkata : ‘Mengubah (kemunkaran) dengan tangan tidak menggunakan pedang
dan senjata’. Dengan demikian, jihad terhadap para penguasa dengan tangan
adalah dengan menghilangkan kemunkaran yang dilakukan penguasa dengan
tangannya. Misalnya : menumpahkan minuman khamr mereka, menghancurkan alat
musik mereka, atau yang semisalnya. Yang lain : membatalkan kedhaliman yang
mereka perintahkan dengan tangannya apabila ia memiliki kemampuan untuk
melakukannya. Semua hal itu boleh dilakukan, dan ini bukan termasuk bab memerangi
mereka dan keluar ketaatan (memberontak) terhadap mereka yang ada nash larangannya…..
Adapun pemberontakan dengan pedang terhadap penguasa maka dikhawatirkan darinya
muncul fitnah yang berakibat tertumpahnya darah kaum muslimin….” [Jaami’ul-‘Ulum
wal-Hikam, hal. 323].
Kesimpulan
: Hadits Ibnu Mas’uud tidak dipahami para ulama secara dhahirnya untuk melakukan
perlawanan dengan mengangkat senjata (pemberontakan).
Wallaahu
a’lam, semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’
– di malam yang hening – 20032017].
[1] Yaitu:
سَيَكُونُ
أُمَرَاءُ بَعْدِي، يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ، وَيَفْعَلُونَ مَا لَا
يُؤْمَرُونَ
“Kelak
akan ada para pemimpin setelahku yang mengatakan apa yang tidak mereka lakukan
dan melakukan apa yang tidak diperintahkan”.
[3] An-Nawawiy rahimahullah menjelaskan
makna atsarah :
والأثرة
: الاستئثار والاختصاص بأمور الدنيا عليكم. أي : أسمعوا وأطيعوا وأن أختص الأمراء
بالدنيا، ولم يوصلوكم حقكم مما عندهم
“Al-Atsarah
adalah monopoli dan berbuat sewenang-wenang terhadap kalian dalam urusan
dunia. Jadi pengertian hadits itu (yaitu hadits atsarah) adalah : dengar
dan taatilah pemerintah/penguasa tersebut walaupun mereka lebih mengutamakan
urusan dunia dan tidak memenuhi hak kalian di sisi mereka yang wajib ditunaikan
[Syarh Shahiih Muslim, 6/225].
[4] Riwayat ini sebagai bantahan dari desas-desus
yang disebarkan di beberapa tulisan dan pesan berantai media sosial yang
katanya beliau rahimahullah rujuk dari pendapatnya untuk tetap mendengar
dan taat meskipun pada penguasa yang dhalim. Riwayat ini menunjukkan pandangan,
sikap, dan manhaj beliau hingga menjelang kematiannya bagaimana muamalah
terhadap penguasa muslim.
[5] Kelompok sesat di jaman beliau memang banyak
menggunakan ayat dan hadits-hadits shahih, juga sebagian ketergelinciran salaf
sebagai legalitas mereka untuk melakukan penyimpangan. Contohnya adalah riwayat
yang dibawakan oleh Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah dalam Syarh ‘Ilal At-Tirmidziy (2/806-807):
قال
المروذي: مضيت إلى الكرابيسي، وهو إذ ذاك مستور يذب عن السنة، ويظهر نصرة أبي عبد
الله، فقلت له: إن كتاب المدلسين يريدون أن يعرضوه على أبي عبد الله، فأظهر أنك قد
ندمت حتى أخبر أبا عبد الله.
فقال لي: إن أبا عبد الله رجل صالح مثله يوفق لإصابة الحق، وقد رضيت أن يعرض كتابي عليه.
وقال: قد سألني أبو ثور وابن عقيل، وحبيش أن أضرب على هذا الكتاب فأبيت عليهم. وقلت: بل أزيد فيه.
ولج في ذلك وأبى أن يرجع عنه، فجيء بالكتاب إلى أبي عبد الله، وهو لا يدري من وضع الكتاب، وكان في الكتاب الطعن على الأعمش والنصرة للحسن بن صالح، وكان في الكتاب: إن قلتم: إن الحسن بن صالح كان يرى رأي الخوارج فهذا ابن الزبير قد خرج.
فلما قرىء على أبي عبد الله، قال: هذا جمع للمخالفين ما لم يحسنوا أن يحتجوا به، حذروا عن هذا، ونهى عنه.
فقال لي: إن أبا عبد الله رجل صالح مثله يوفق لإصابة الحق، وقد رضيت أن يعرض كتابي عليه.
وقال: قد سألني أبو ثور وابن عقيل، وحبيش أن أضرب على هذا الكتاب فأبيت عليهم. وقلت: بل أزيد فيه.
ولج في ذلك وأبى أن يرجع عنه، فجيء بالكتاب إلى أبي عبد الله، وهو لا يدري من وضع الكتاب، وكان في الكتاب الطعن على الأعمش والنصرة للحسن بن صالح، وكان في الكتاب: إن قلتم: إن الحسن بن صالح كان يرى رأي الخوارج فهذا ابن الزبير قد خرج.
فلما قرىء على أبي عبد الله، قال: هذا جمع للمخالفين ما لم يحسنوا أن يحتجوا به، حذروا عن هذا، ونهى عنه.
Al-Marruudziy
berkata : Aku pernah pergi menemui Al-Karaabiisiy yang waktu itu keadaan dirinya
masih tertutup, karena pembelaannya terhadap sunnah dan pertolongannya kepada
Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal). Aku katakan kepadanya : ‘Tentang kitab Al-Mudallisiin,
sesungguhnya orang-orang ingin memperlihatkannya kepada Abu ‘Abdillah. Maka,
tampakkanlah bahwa engkau menyesal (telah menuliskannya) hingga aku khabarkan
kepada Abu ‘Abdillah. Ia (Al-Karaabiisiy) berkata kepadaku : “Sesungguhnya Abu
‘Abdillah adalah orang yang shalih. Orang semisal dirinya telah diberikan
petunjuk (oleh Allah) kepada kebenaran. Aku ridla jika kitabku tersebut
diperlihatkan kepadanya”. Ia menambahkan : “Abu Tsaur, Ibnu ‘Uaqil, dan Hubaisy
memintaku agar aku menghancurkan kitab ini, namun aku menolaknya. Aku katakan :
‘Bahkan aku akan menambahkannya’”. Al-Karaabiisiy tetap bersikeras dalam hal
tersebut dan menolak untuk rujuk darinya. Maka didatangkanlah kitab itu kepada
Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal), sedangkan ia tidak tahu siapa yang mengarang
kitab tersebut. Kitab tersebut berisi celaan terhadap Al-A’masy dan pembelaan
terhadap Al-Hasan bin Shaalih (tokoh Khawaarij – Abul-Jauzaa’).
Dalam kitab tersebut terdapat statement : ‘Apabila kalian mengatakan :
Sesungguhnya Al-Hasan bin Shaalih memiliki pemikiran Khawaarij (yang
menghalalkan keluar ketaatan/memberontak terhadap penguasa), maka Ibnu Zubair
pun juga telah keluar (ketaatan/memberontak)". Ketika dibacakan kepada
Abu ‘Abdillah, ia berkata: "Buku ini telah disusun oleh orang-orang
menyimpang yang tidak mampu berhujjah dengan baik. Peringatkanlah orang-orang dari
buku ini" - dan beliau (Ahmad bin Hanbal) melarang (orang-orang membaca) buku
tersebut [selesai].
Sungguh,
alangkah samanya hujjah orang-orang menyimpang dulu dan sekarang. Dulu mereka
membela tokoh Khawaarij (Al-Hasan bin Shaalih) dengan dalih perbuatan 'Abdullah
bin Zubair radliyallaahu 'anhumaa. Sekarang pun demikian. Lihat siapa
yang mereka bela, dan dalih yang mereka pakai untuk membenarkan perbuatannya.
Tidaklah
salah jika sekarang para ulama memperingatkan dengan keras umat terhadap
orang-orang yang menyimpang ini sebagaimana dulu Al-Imaam Ahmad rahimahullah
telah memperingatkan umat terhadap orang-orang semisal mereka.....
[6] Yaitu hadits:
عَنْ
عَلِيٍّ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : لَا
طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَ
Dari
‘Aliy, dari Nabi ﷺ,
beliau bersabda : “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan
kepada Allah ‘azza wa jalla” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 1/131; shahih].
عَنْ
ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ:
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ،
إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ
وَلَا طَاعَةَ
Dari
Ibnu ‘Umar, dari Nabi ﷺ,
beliau bersabda : “Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan taat
(kepada penguasa/umaraa’) pada apa-apa yang ia sukai atau ia benci, kecuali
apabila ia diperintah untuk berbuat kemaksiatan. Apabila penguasa itu menyuruh
untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 1839].
Al-Mubaarakfuriy
rahimahullah berkata :
وَفِيهِ
أَنَّ الْإِمَامَ إِذَا أَمَرَ بِمَنْدُوبٍ أَوْ مُبَاحٍ وَجَبَ . قَالَ
الْمُظْهِرُ : يَعْنِي سَمَاعُ كَلَامِ الْحَاكِمِ وَطَاعَتُهُ وَاجِبٌ عَلَى
كُلِّ مُسْلِمٍ سَوَاءٌ أَمَرَهُ بِمَا يُوَافِقُ طَبْعَهُ أَوْ لَمْ يُوَافِقْهُ
بِشَرْطِ أَنْ لَا يَأْمُرَهُ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِنْ أَمَرَهُ بِهَا فَلَا تَجُوزُ
طَاعَتُهُ ، وَلَكِنْ لَا يَجُوزُ لَهُ مُحَارَبَةُ الْإِمَامِ
“Dalam
hadits ini terkandung tuntutan bahwa jika imam/pemimpin itu memerintahkan untuk
mengerjakan amalan sunnah atau mubah, maka wajib untuk melaksanakannya.
Al-Muthahhar berkata : ‘Yaitu bahwa mendengar ucapan penguasa dan mentaatinya
adalah perkara wajib bagi setiap muslim, baik dia memerintah kepada apa yang
sesuai dengan tabiat muslim tersebut atau tidak. Syaratnya adalah penguasa
tersebut tidak memerintahkannya untuk berbuat maksiat. Jika penguasa
memerintahkan berbuat maksiat, maka tidak boleh mentaatinya (dalam perkara
maksiat tersebut), namun juga tidak boleh membangkang/memerangi penguasa
tersebut” [Tuhfatul-Ahwadziy, 5/298].
[7] Al-Khallaal rahimahullah berkata:
وَأَخْبَرَنِي
عَلِيُّ بْنُ عِيسَى، قَالَ: سَمِعْتُ حَنْبَلا، يَقُولُ فِي وِلايَةِ الْوَاثِقِ:
" اجتمع فقهاء بغداد إلى أبي عبد الله، أبو بكر بن عبيد، وإبراهيم بن علي
المطبخي، وفضل بن عاصم، فجاءوا إلى أبي عبد الله، فاستأذنت لهم، فقالوا يا أبا عبد
الله، هذا الأمر قد تفاقم وفشا، يعنون إظهاره لخلق القرآن وغير ذلك، فقال لهم أبو
عبد الله: فَمَا تُرِيدُونَ؟ قَالُوا: أَنْ نُشَاوِرَكَ فِي أَنَّا لَسْنَا
نَرْضَى بِإِمْرَتِهِ، وَلا سُلْطَانِهِ، فَنَاظَرَهُمْ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ
سَاعَةً، وَقَالَ لَهُمْ: عَلَيْكُمْ بِالنَّكِرَةِ بِقُلُوبِكُمْ، وَلا
تَخْلَعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ، وَلا تَشُقُّوا عَصَا الْمُسْلِمِينَ، وَلا
تَسْفِكُوا دِمَاءَكُمْ وَدِمَاءَ الْمُسْلِمِينَ مَعَكُمُ، انْظُرُوا فِي
عَاقِبَةِ أَمْرِكُمْ، وَاصْبِرُوا حَتَّى يَسْتَرِيحَ بَرٌّ، أَوْ يُسْتَرَاحَ
مِنْ فَاجِرٍ، وَدَارَ فِي ذَلِكَ كَلامٌ كَثِيرٌ لَمْ أَحْفَظْهُ وَمَضَوْا،
وَدَخَلْتُ أَنَا وَأَبِي عَلَى أَبِي عَبْدِ اللَّهِ بَعْدَمَا مَضَوْا، فَقَالَ
أَبِي لأَبِي عَبْدِ اللَّهِ: نَسْأَلُ اللَّهَ السَّلامَةَ لَنَا وَلأُمَّةِ
مُحَمَّدٍ، وَمَا أُحِبُّ لأَحَدٍ أَنْ يَفْعَلَ هَذَا، وَقَالَ أَبِي: يَا أَبَا
عَبْدِ اللَّهِ، هَذَا عِنْدَكَ صَوَابٌ، قَالَ: لا، هَذَا خِلافُ الآثَارِ الَّتِي
أُمِرْنَا فِيهَا بِالصَّبِرِ، ثُمَّ ذَكَرَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: قَالَ
النَّبِيُّ ﷺ: إِنْ ضَرَبَكَ فَاصْبِرْ "، وَإِنْ. . .، وَإِنْ فَاصْبِرْ،
فَأَمَرَ بِالصَّبِرِ، قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ: وَذَكَرَ كَلامًا
لَمْ أَحْفَظُهْ
Dan
telah mengkhabarkanku ‘Aliy bin ‘Iisaa, ia berkata : Aku mendengar Hanbal
berkata saat pemerintahan Al-Waatsiq : Para fuqahaa Baghdaad berkumpul untuk
menemui Abu ‘Abdillah, (diantaranya) : Abu Bakr bin ‘Ubaid, Ibraahim bin ‘Aliy
Al-Mathbajiy, dan Fadhl bin ‘Aashim. Maka pergilah mereka menemui Abu ‘Abdillah,
dan aku memintakan izin kepadanya (Abu ‘Abdillah) untuk mereka (agar dapat
bertemu). Mereka berkata : “Wahai Abu ‘Abdillah, sesungguhnya perkara ini menjadi
gawat dan menyebar” – maksudnya fitnah Khalqul-Qur’an dan yang lainnya -
. Abu ‘Abdillah berkata kepada mereka : “Lantas apa yang engkau inginkan ?”. Mereka
berkata : “Kami hendak bermusyawarah denganmu bahwa kami tidak ridla dengan pemerintahan
dan kekuasaannya”. Maka Abu ‘Abdillah mendebat mereka sesaat, lalu berkata kepada
mereka : “Wajib bagi kalian untuk mengingkarinya dengan hati kalian, namun
jangan menarik ketaatan, jangan memecah-belah persatuan kaum muslimin, serta jangan
menumpahkan darah kalian dan darah kaum muslimin bersama kalian. Perhatikanlah
nanti akibat dari urusan kalian. Bersabarlah hingga orang yang baik dapat
beristirahat atau diistirahatkan dari orang yang jahat (faajir)”. Maka
berlangsunglah diskusi yang banyak/panjang dalam masalah itu yang tidak aku
(Hanbal) hapal, dan kemudian mereka pergi. Aku (Hanbal) dan ayahku menemui Abu ‘Abdillah
setelah mereka pergi. Ayahku berkata kepada Abu ‘Abdillah : “Kami memohon
kepada Allah keselamatan bagi kami dan bagi umat Muhammad ﷺ, dan aku tidak suka seorangpun melakukan ini”. Ayahku
melanjutkan : “Wahai Abu ‘Abdillah, apakah ini menurutmu benar ?”. Ia (Abu ‘Abdillah)
berkata : “Tidak. Perbuatan ini menyelisihi atsar-atsar yang kita diperintahkan
untuk bersabar”. Kemudian Abu ‘Abdillah menyebutkan hadits, ia berkata : “Telah
bersabda Nabi ﷺ : ‘Seandainya
ia (pemimpin) memukulmu, maka bersabarlah, apabila….. apabila… maka bersabarlah’.
Nabi ﷺ memerintahkan untuk bersabar. ‘Abdullah bin Mas’uud berkata : -
lalu Abu ‘Abdillah menyebutkan satu perkataan yang tidak aku hapal – “
[Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah 1/133-134 no. 90].
‘Aliy
bin ‘Iisaa mempunyai mutaba’ah dari ‘Utsmaan bin Ahmad, sebagaimana diriwayatkan
oleh Al-Qaadliy Ibnu Abi Ya’laa dalam Thabaqaatul-Hanaabilah 1/387.
Hadits
yang dimaksudkan oleh Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal rahimahullah di
atas adalah:
قَالَ
حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ: " قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا كُنَّا
بِشَرٍّ فَجَاءَ اللَّهُ بِخَيْرٍ فَنَحْنُ فِيهِ، فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا
الْخَيْرِ شَرٌّ؟، قَالَ: نَعَمْ، قُلْتُ: هَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الشَّرِّ خَيْرٌ؟،
قَالَ: نَعَمْ، قُلْتُ: فَهَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الْخَيْرِ شَرٌّ؟، قَالَ: نَعَمْ،
قُلْتُ: كَيْفَ؟، قَالَ: يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ،
وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ
الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ، قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟، قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ
ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
Telah
berkata Hudzaifah bin Al-Yamaan : Aku berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya
kami dahulu berada dalam kejelekan, lalu Allah mendatangkan kebaikan, lalu kami
berada di dalamnya. Apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan?”. Beliau
menjawab : “Ya”. Aku berkata : “Apakah setelah kejelekan itu ada
kebaikan ?”. Beliau menjawab : “Ya”. Aku berkata : “Apakah setelah kebaikan
itu ada kejelekan ?”. Beliau menjawab : “Ya”. Aku berkata : “Bagaimana
itu ?”. Beliau ﷺ bersabda
: “Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak mengambil
petunjukku, dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku. Akan muncul pula di
tengah-tengah kalian orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan dalam wujud
manusia”. Aku (Hudzaifah) bertanya : “Apa yang harus aku lakukan jika aku
mendapatkannya?”. Beliau menjawab : “(Hendaknya) kalian mendengar dan taat
kepada amir, meskipun ia memukul punggungmu dan merampas hartamu, tetaplah
mendengar dan taat” [Shahih Muslim no. 1847 (52)].
Adapun
perkataan Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu yang dinukil beliau
kemungkinan adalah riwayat-riwayat yang memerintahkan untuk sabar, mendengar,
dan taat sebagaimana disebutkan dalam artikel ini dari Ahmad bin Hanbal rahimahumallah.
NB : Ahmad
bin Hanbal rahimahullah berhujjah dengan riwayat Hudzaifah radliyallaahu
‘anhu.
[8] Masaailu Ahmad li-Abi Daawud
As-Sijistaaniy no. 1950.
[9] Riwayatnya:
وَأَخْبَرَنِي
مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ، قَالَ: حَدَّثَنَا صَالِحٌ، أَنَّ أَبَاهُ، قَالَ: "
التَّغْيِيرُ بِالْيَدِ لَيْسَ بِالسَّيْفِ وَالسِّلاحِ "
Dan
telah mengkhabarkan kepadaku Muhammad bin ‘Aliy, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami Shaalih, bahwasannya ayahnya (Ahmad bin Hanbal)
berkata : “Mengubah (kemunkaran) dengan tangan tidak menggunakan pedang dan
senjata” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam Al-Amru bil-Ma’ruuf wan-Nahyu ‘anil-Munkar
hal. 33].
Comments
jadi kedua hadits tersebut shahih li ghairihi, sehingga Imam Muslim memasukkannya dalam kitab As-Shahihah.
lalu bagaimana dengan fiqih Imam Muslim sendiri ustadz?
Posting Komentar