Suwaid
bin Ghafalah pernah berkata :
قَالَ لِي عُمَرُ: " يَا أَبَا
أُمَيَّةَ، إنِّي لَا أَدْرِي لَعَلِّي أَنْ لَا أَلْقَاكَ بَعْدَ عَامِي هَذَا،
فَاسْمَعْ وَأَطِعْ وَإِنْ أُمِّرَ عَلَيْكَ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ، إنْ
ضَرَبَكَ فَاصْبِرْ، وَإِنْ حَرَمَكَ فَاصْبِرْ، وَإِنْ أَرَادَ أَمْرًا يَنْتَقِصُ
دِينَكَ، فَقُلْ: سَمْعٌ وَطَاعَةٌ، دَمِي دُونَ دِينِي، فَلَا تُفَارِقِ
الْجَمَاعَةَ".
‘Umar
(bin Al-Khaththaab) pernah berkata kepadaku : “Wahai Abu Umayyah, sesungguhnya
aku tidak tahu apakah aku masih bisa bertemu denganmu setelah tahun ini. Maka,
mendengar dan taatlah, meskipun yang memerintahmu seorang budah Habsyiy yang
terpotong hidungnya. Meskipun ia memukulmu, bersabarlah. Meskipun ia menahan
hakmu, bersabarlah. Meskipun ia menghendaki sesuatu yang mengecilkan/meremehkan
agamamu, maka katakanlah : ‘Aku tetap mendengar dan taat (dengan pengorbanan)
darahku, namun tidak agamaku’. Janganlah engkau memisahkan diri dari
Al-Jamaa’ah”.
Atsar
ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 6/544, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa
8/159, Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 54, Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah
1/161 no. 74, Ad-Daaniy dalam As-Sunanul-Waridah no. 143, Ibnu Abi
Zamaniin dalam Ushuulus-Sunnah no. 237, Ibnu Zanjuyah dalam Al-Amwaal
no. 30, At-Tibriziy dalam An-Nashiihah no. 53, Nu’aim bin Hammaad dalam Al-Fitan
no. 388; dari beberapa jalan semuanya dari Ibraahiim bin ‘Abdil-A’laa, dari
Suwaid bin Ghafalah.
Sanad
atsar ini SHAHIH, para perawinya tsiqah, sanadnya bersambung, tanpa ada ‘illat
maupun syudzuudz.
Sebagian
kecil orang belakangan mengatakan riwayat ini lemah karena tafarrud Ibraahiim
bin ‘Abdil-A’laa (sebagaimana dikatakan Khaalid Al-Haayik, yang kemudian
diikuti orang yang ingin mengikutinya), sehingga dihukumi munkar. Pelemahan ini
terlalu mengada-ada, karena:
1.
Ibraahiim bin
‘Abdil-A’laa adalah perawi tsiqah tanpa ternukil – sependek pengetahuan
saya – ada ulama yang menjarhnya. Ahmad bin Hanbal, An-Nasaa’iy, Al-‘Ijliy,
Ibnu Hibbaan, Adz-Dzahabiy, dan Ibnu Hajar mentsiqahkannya. Al-Fasawiy
mengatakan : “Tidak mengapa dengannya”. Hal serupa dikatakan oleh Ibnu Ma’iin
(sebagaimana diketahui bahwa laisa bihi ba’s yang dikatakan Ibnu Ma’iin
setara dengan tsiqah).
Syu’bah meriwayatkan
darinya, dimana secara umum periwayat Syu’bah ini dapat dianggap sebagai tautsiq.
‘Abdurrahmaan bin Mahdi berkata dari Israaiil, bahwa ia menuliskan surat kepada
Syu’bah yang isinya : ‘Tulislah kepadaku hadits Ibraahiim bin ‘Abdil-A’laa
dengan tulisan tanganmu’. Maka Syu’bah mengutus utusan untuk menyerahkan
tulisan itu kepadanya (Israaiil)”.
‘Abdullah bin Ahmad
berkata : Ayahku (Ahmad bin Hanbal) berkata : Ibnu Mahdiy berkata : “Aku
mendengar Sufyaan berkata : ‘Abdul-A’laa dari Ibnul-Hanafiyyah’. Ia (Ibnu
Mahdiy) berkata : ‘Kami berpendapat bahwa riwayat itu merupakan kitab Ibraahiim
bin ‘Abdil-A’laa, tsiqah”. Ayahku berkata : “Syu’bah meriwayatkan hadits
dari Ibnu ‘Abdil-A’laa” [Al-‘Ilal no. 1514].
2.
Ibraahiim adalah perawi yang menerima riwayat langsung dari Suwaid yang mengalami cerita. Muslim mengambil riwayat Ibraahiim
dari Suwaid bin Ghafalah dalam kitab Shahih-nya sebagai mutaba’ah
tentang hadits mencium hajar aswad.
Dalam kasus hadits
mencium hajar aswad, Al-Hayik mengambil sampel pelemahan tafarud Ibraahim dalam
hadits mencium hajar aswad pada lafadh (رَأَيْتُ
رَسُولَ اللَّهِ ﷺ بِكَ حَفِيًّا). Kemudian Al-Hayik berhujjah dengan
komentar Al-Bazzaar setelah membawakan riwayat ini : “Lafadh ini tidak kami
ketahui diketahui dari ‘Umar kecuali dari hadits Suwaid bin Ghafalah dari
‘Umar”. Al-Hayik memahaminya sebagai bentuk pelemahan dan kemudian
menganalogkan dengan kasus atsar di atas.
Ini tidak benar.
Al-Bazzaar sendiri hanya menyebutkan tafarrud-nya saja, tidak lebih; dan
sebagaimana diketahui tidak semua riwayat yang rawinya bertafarrud itu lemah. An-Nasaa’iy
telah memilih riwayat hadits mencium hajar aswad Ibraahim dari Suwaid dalam Al-Mujtabaa
setelah membawakannya dalam Al-Kubraa.
Dalam kasus atsar
yang lain terkait tafarrud Ibraahiim dari Suwaid dibawakan Al-Khallaal
dalam As-Sunnah no. 179 :
أَخْبَرَنِي
عَبْدُ الْمَلِكِ، وَحَدَّثَنِي ابْنُ حَنْبَلٍ، عَنِ ابْنِ مَهْدِيٍّ، عَنْ
سُفْيَانَ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ الأَعْلَى، عَنْ سُوَيْدِ بْنِ غَفَلَةَ
فِي قَوْلِ عُمَرَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: وَلُّوهُمْ بَيْعَهَا ؛ الْخَمْرَ،
وَالْخِنْزِيرَ، نُعَشِّرُهَا.
قلت:
كيف إسناده؟ قَالَ: إسناد جيد
Telah mengkhabarkan
kepadaku ‘Abdul-Malik; dan telah menceritakan kepadaku Ibnu Hanbal, dari
Ibnul-Mahdiy, dari Sufyaan, dari Ibraahiim bin ‘Abdil-A’laa, dari Suwaid bin Ghafalah
tentang perkataan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu : ‘Biarkanlah mereka (orang
Yahudi dan Nashrani) memperjualbelikan khamr dan babi, dan kita pungut pajaknya’.
Aku (Al-Khallaal)
berkata : “Bagaimana sanadnya ?”. Ia (Ahmad) berkata : “Sanad yang jayyid (bagus)”
[selesai].
Artinya, Ahmad bin
Hanbal menshahihkan sanad atsar ini dimana Ibraahiim bin 'Abdil-A'laa
bertafarrud dalam periwayatan dari Suwaid, dari 'Umar. Jika ada ‘illat
atau syadz yang menjatuhkan riwayat tersebut, tentu ia (Ahmad) akan
menyebutkannya.
Ini hukum asal
riwayat Ibraahiim dari Suwaid.
Walhasil,
atsar ‘Umar ini shahih dan menjadi hujjah bagi Ahlis-Sunnah.
Atsar
ini menunjukkan bagaimana pemahaman ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu
dalam hal ketaatan terhadap pemimpin (muslim) yang dhalim. Sangat berkesesuaian
dengan pemahaman Ahlus-Sunnah yang tertulis dalam banyak kutub ‘aqiidah.
Berkesesuaian juga dengan hadits yang dibawakan oleh Muslim dalam Shahiih-nya:
يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ
بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ
قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ، قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ
أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟، قَالَ: تَسْمَعُ
وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ
وَأَطِعْ
“Akan
ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan
tidak mengambil sunnah dengan sunnahku. Akan muncul pula di tengah-tengah
kalian orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan dalam wujud manusia”. Aku
(Hudzaifah) bertanya : “Apa yang harus aku lakukan jika aku mendapatkannya?”.
Beliau menjawab : “(Hendaknya) kalian mendengar dan taat kepada amir, meskipun
punggungmu dipukul dan hartamu dirampas, tetaplah mendengar dan taat[1]”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 1847].
Catatan
: Meski sebagian ulama melemahkan sanad hadits ini, namun maknanya shahih.
Inilah
manhaj ketaatan ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu terhadap waliyul-amri
muslim yang banyak diremehkan, ditertawakan, dan dijadikan bahan lelucon para
pahlawan tanpa tanda jasa.
Wallaahu
a'lam.
[Abul-Jauzaa’
– dari status FB tanggal 19 Desember 2016].
[1] Silakan baca artikel berjudul Shahih Hadits : “Meskipun Ia
Memukul Punggungmu dan Merampas Hartamu ….dst”.
Comments
Posting Komentar