٥ - وَتَرْكُ الْخُصُومَاتِ وَالْجُلُوسِ مَعَ أَصْحَابِ
الْأَهْوَاءِ
5.
Meninggalkan berbantah-bantahan dan
bermajelis dengan para pengikut hawa nafsu.
Penjelasan:
Para
ulama telah menjelaskan klasifikasi golongan manusia yang diberikan kecintaan
dan kebencian dalam Islam:
1.
Golongan yang
diberikan kecintaan/loyalitas secara murni tanpa ada kebencian; yaitu para nabi,
para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang
yang shaalih. Allah ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ
فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ
وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu
akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu:
Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shaalih.
Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya” [QS. An-Nisaa’ : 69].
Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang terdepan yang mesti diberikan
kecintaan melebihi kecintaan terhadap diri sendiri, anak, orang tua, dan
manusia seluruhnya.
عَنْ عَبْد اللَّهِ بْنَ هِشَامٍ، قَالَ: كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ آخِذٌ بِيَدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، فَقَالَ
لَهُ عُمَرُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ
إِلَّا مِنْ نَفْسِي، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "
لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ
"، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: فَإِنَّهُ الْآنَ وَاللَّهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ
إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "
الْآنَ يَا عُمَرُ "
Dari ‘Abdullah bin Hisyaam, ia berkata : Kami pernah
bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan ketika itu beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam memegang tangan ‘Umar bin Al-Khaththaab. ‘Umar berkata
kepada beliau : “Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala
sesuatu kecuali diriku sendiri”. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: “Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, hingga aku lebih engkau cintai
daripada dirimu sendiri”. Kemudian ‘Umar berkata kepada beliau :
“Sesungguhnya sejak saat ini, engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri”.
Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sekarang (baru
benar) wahai ‘Umar” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6632].
عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ
وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Dari Anas, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam : “Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman
hingga aku lebih dicintai olehnya daripada orang tuanya, anaknya, dan seluruh
manusia” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 15].
2. Golongan yang diberikan kebencian secara
murni tanpa ada kecintaan/loyalitas; yaitu orang-orang kafir, orang-orang musyrik,
dan orang-orang munafik yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya. Allah ta’ala berfirman:
لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ
مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ
أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Engkau tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada
Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang
menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau
anak-anak, atau saudara-saudara, atau keluarga mereka
sendiri” [QS. Al-Mujadilah : 22].
3.
Golongan yang diberikan
kecintaan dari satu sisi dan diberikan kebencian dari sisi lain; yaitu kaum muslimin
yang melakukan kemaksiatan. Mereka dicintai karena keimanan dan ketaatan
mereka, serta dibenci karena kedurhakaan dan kemaksiatan mereka.
Pengikut hawa nafsu ada yang termasuk
golongan kedua jika kemaksiatan mereka telah melewati batas kekafiran (baca :
kufur akbar), dan ada pula yang termasuk golongan ketiga jika kemaksiatan
mereka belum melewati batas kekafiran. Diantara wujud kecintaan terhadap mereka
– jika termasuk golongan ketiga – adalah memberikan nasihat dan pengingkaran
atas kemaksiatan yang mereka lakukan agar rujuk kepada kebenaran. Dan diantara
wujud kebencian terhadap mereka tidak berbicara dan tidak bermajelis dengan
mereka.
Allah
ta’ala berfirman:
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا
سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلا تَقْعُدُوا
مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ
“Dan sungguh Allah telah menurunkan
kepada kamu di dalam Al-Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah
diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu
duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena
sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka” [QS. An-Nisaa’ : 140].
Telah berkata Asy-Syaikh Rasyiid Ridlaa rahimahullah dalam Al-Manaar (5/463)
:
يدخل
في هذه الآية كل محدث في الدين، وكل مبتدع
“Masuk
dalam ayat ini semua pembuat perkara-perkara baru dan mubtadi’ “ [lihat Tanbiih
Ulil-Abshaar, hal. 76].
Al-Qurthubiy rahimahullah menjelaskan:
فدل بهذا على وجوب اجتناب أصحاب المعاصي إذا ظهر
منهم منكر ؛ لأن من لم يجتنبهم فقد رضي فعلهم، والرضا بالكفر
كفر، قال الله عز وجل: ﴿إنَّكُمْ إذًا مِّثْلُهُمْ﴾ فكل من جلس في مجلس معصية ولم
ينكر عليهم يكون معهم في الوزر سواء، وينبغي أن ينكر عليهم إذا تكلموا بالمعصية
وعملوا بها، فإن لم يقدر على النكير عليهم فينبغي أن يقوم عنهم حتى لا يكون من أهل
هذه الآية. وإذا ثبت تجنب أصحاب المعاصي كما بينا فتجنب أهل البدع والأهواء
أولى
”Ayat tersebut menunjukkan wajibnya menjauhi para pelaku
kemaksiatan apabila nampak pada diri mereka kemunkaran, karena orang yang tidak
menjauhi mereka berarti meridlai perbuatan mereka. Sedangkan ridla terhadap kekufuran merupakan kekufuran. Allah ’azza wa jalla berfirman : ”Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat
demikian) tentulah kamu serupa dengan mereka”. Maka setiap orang yang
berada di dalam majelis kemaksiatan sedangkan ia tidak mengingkari perbuatan mereka, maka ia akan
menanggung dosa yang sama bersama mereka. Jadi seharusnya ia mengingkari
perbuatan mereka ketika mereka berbicara dan melakukan kemaksiatan. Apabila ia
tidak sanggup mengingkarinya, hendaknya ia meninggalkan mereka sehingga ia tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang
disebutkan dalam ayat ini. Apabila ditetapkan dalam syari’at
Islam sikap menjauhi para pelaku maksiat sebagaimana telah kami jelaskan, maka
menjauhi ahlul-bida’ dan ahlul-ahwaa’ lebih layak lagi” [Tafsir Al-Qurthubi 5/418].
Allah ta’ala berfirman:
وإذَا رَأَيْتَ الَذِينَ يَخُوضُونَ في آيَاتِنَا
فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا في حَدِيثٍ غَيْرِهِ وإمَّا يُنسِيَنَّكَ
الشَّيْطَانُ فَلا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ القَوْمِ الظَّالِمِينَ
”Dan apabila kamu melihat orang-orang
memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka
membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan
larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang lalim itu
sesudah teringat (akan larangan itu)” [QS. Al-An’aam : 68].
Ayat ini terkandung hukum
larangan duduk-duduk bersama ahlul-bida’, pengikut hawa nafsu, serta pelaku
dosa besar dan maksiat. Asy-Syaukaniy
rahimahullah berkata:
وفى هذه الآية موعظة لمن يتسمح بمجالسة المبتدعة
الذين يحرفون. كلام الله، ويتلاعبون بكتاب وسنة رسوله، ويردون ذلك إلى أهوائهم
المضلة وبدعهم الفاسدة، فإنه إذا لم ينكر عليهم ويغير ما هم فيه فأقل الأحوال أن
يترك مجالستهم، وذلك يسير عليه غير عسير، وقد يجعلون حضوره معهم مع تنزهه عما
يتلبسون، به شبهة يشبهون بها على العامة، فيكون في حضوره مفسدة زائدة على مجرد
سماع المنكر. وقد شاهدنا من هذه المجالسة الملعونة ما لا يأتي عليه الحصر، وقمنا
في نصرة الحق ودفع الباطل بما قدرنا عليه، وبلغت إليه طاقتنا، ومن عرف هذه الشريعة
المطهرة حق معرفتها: علم أن مجالسة أهل البدع المضلة فيها من المفسدة أضاف أضعاف
ما في مجالسة من يعصي الله بفعل شيء من المحرمات، ولا سيما لمن كان غير راسخ القدم
في علم الكتاب والسنة، فإنه ربما ينفق عليه من كذباتهم وهذيانهم ما هو من البطلان
بأوضح، مكان فينقدح في قلبه ما يصعب علاجه ويعسر دفعه، فيعمل بذلك مدة عمره، ويلقى
الله به معتقدًا أنه من الحق، وهو من أبطل الباطل وأنكر المنكر
”Dalam ayat ini terdapat
nasihat yang sangat berharga bagi orang yang mentolerir duduk-duduk bersama ahlul-bida’
yang mengubah-ubah Kalamullah, mempermainkan Kitabullah dan
Sunnah Rasul-Nya. Mereka mengembalikan semua itu kepada hawa nafsu mereka yang
menyesatkan dan kebid’ahan mereka yang rusak. Sehingga bila tidak ada
pengingkaran terhadap kemunkaran mereka dan tidak ada upaya untuk mengubahnya,
maka solusi terakhirnya adalah tidak duduk-duduk bersama mereka. Ini merupakan
sikap yang paling mudah dan tidak sulit. Dan terkadang mereka hadir dalam
majelis mereka, meskipun ia tidak sependapat dengan bid’ah mutalaabisaat (kerancuan) yang ada pada mereka. Namun hal itu bagi
orang awam menimbulkan kesan mendukung dan menyetujuinya sehingga kehadirannya
tersebut menimbulkan mafsadah (kerusakan) yang lebih besar daripada
hanya sekedar mendengarkan kemunkaran.
Sungguh kami menyaksikan
(banyak efek negatif yang ditimbulkan) dari majelis terlaknat ini yang tidak
terbatas jumlahnya, sehingga kami pun bangkit membela al-haq (kebenaran) dan
menghancurkan kebathilan sekuat tenaga kami. Orang yang mengenal syari’at suci
ini dengan baik akan mengetahui bahwa duduk-duduk dengan ahlul-bida’ yang sesat
akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda daripada duduk-duduk dengan
orang yang bermaksiat kepada Allah ta’ala denganmelakukan sesuatu yang haram.
Terlebih lagi, orang yang duduk bersama ahli bida’ tersebut adalah orang yang
tidak dalam ilmunya terhadap Kitabullah dan As-Sunnah, sehingga boleh jadi
ahlul-bida’ tersebut akan mempengaruhinya dengan kedustaan-kedustaan dan
kerusakan-kerusakan pikirannya berupa segala jenis kebathilan dengan
sejelas-jelasnya sehingga menghunjam ke dalam relung hatinya, sehingga sangat
sukar untuk diobati dan dihindari. Itu semua terjadi sepanjang hidupnya hingga
ia bertemu dengan Rabb-nya dalam keadaan meyakini bahwa (bid’ahnya) itu adalah
kebenaran, padahal ia sebenarnya adalah kebathilan yang paling besar dan
kemunkaran yang paling berat” [Lihat Fathul-Qadiir
2/122].
Dalam
sebuah hadits shahih, bahwasannya Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ سَمِعَ بِالدَّجَّالِ
فَلْيَنْأَ عَنْهُ مَا اسْتَطَاعَ فَإِنَّ الرَّجُلَ يَأْتِيهِ وَهُوَ يَحْسِبُ
أَنَّهُ مُؤْمِنٌ فَمَا يُزَالُ بِهِ حَتَّى يتبعهُ لِمَا يَرَى مَعَهُ مِنَ
الشُّبُهَات [رواه الإمام أحمد وأبو داود وغيرهما - انظر صحيح الجامع : ٦٣٠١].
“Barangsiapa yang mendengar
tentang Dajjal, hendaklah ia menjauh darinya
semampunya.
Sesungguhnya kelak ada seorang laki-laki yang menyangka dirinya dalam keadaan
beriman – dan keadaannya terus demikian – hingga kemudian ia mengikuti Dajjal
dikarenakan berbagai syubhat yang ia temui pada dirinya (Dajjal)”
[Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud, dan yang lainnya – lihat Shahihul-Jaami’ no. 6301].
Ibnu
Baththah rahimahullah berkata ketika
mengomentari hadits di atas:
هذا قول الرسول صلى الله عليه وسلم، فالله الله يا
معشر المسلمين لا يحملن أحدًا منكم حسنُ ظنِّه بنفسه وما عهد من معرفته بصحة مذهبه
على المخاطرة بدينه في مجالسة بعض أهل هذه الأهواء فيقول أداخله لأناظره، أو
لأستخرج منه مذهبه، فإنهم أشد فتنة من الدجال، وكلامهم ألصق من الجرب، وأحرق
للقلوب من اللهب، ولقد رأيت جماعة من الناس كانوا يلعنونهم، ويسبونهم في مجالسهم
على سبيل الإنكار والرد عليهم، فما زالت بهم مباسطة، وخفي المكر، ودقيق الكفر، حتى
صَبَوْا إليهم
“Sabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
ini, maka bertaqwalah
kepada Allah wahai sekalian kaum muslimin ! Janganlah ada seorangpun di antara
kalian yang berprasangka baik pada dirinya sendiri dan pengetahuan tentang
kebenaran madzhabnya sehingga ia mempertaruhkan agamanya untuk
bermajelis/duduk-duduk bersama sebagian pengekor hawa nafsu. Ia melakukannya
dengan alasan : ‘Aku masuk kepada mereka
untuk mendebatnya’ atau ‘aku akan
keluarkan mereka dari madzhabnya yang bathil’. Karena sesungguhnya mereka
(para pengekor hawa nafsu/mubtadi’)
ini lebih hebat fitnahnya daripada Dajjal. Perkataan mereka lebih gampang
menempel pada jiwa dibanding penyakit kudis dan lebih dapat membakar hati
dibanding api. Sungguh aku pernah melihat sekelompok manusia yang dulunya melaknat
dan mencaci-maki mereka pada majelis-majelis mereka dalam rangka pengingkaran
dan bantahan kepada mereka. Dan ketika mereka senantiasa senang bermajelis
dengan pengekor hawa nafsu/mubtadi’
seperti itu, akhirnya timbullah kecenderungan dan kecintaan kepada mereka,
karena samarnya makar dan lembutnya kekufuran mereka” [Al-Ibaanah, 3/470].
Alangkah tragis nasib ‘Imraan
bin Hiththaan. Dulu ia seorang Ahlus-Sunnah. Namun ketika terfitnah oleh wanita
Khawaarij yang cantik dan berprasangka baik akan keadaan dirinya sendiri, ia
menikahinya dengan niat ingin mengambalikannya kepada pemahaman Ahlus-Sunnah.
Apa yang terjadi ? Setelah menikahinya, justru ia lah yang berhasil diubah termakan
syubhat si wanita.
Ibnu
Katsiir rahimahullah berkata:
عمران بن حطان الخارجي، كان أولا من أهل السنة
والجماعة فتزوج امرأة من الخوارج حسنة جميلة جدا فأحبها. وكان هو دميم الشكل، فأراد
أن يردها إلى السنة فأبت فارتد معها إلى مذهبها
“’Imraan
bin Hiththaan Al-Khaarijiy. Awalnya ia termasuk Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Ia
menikahi seorang wanita Khawaarij cantik jelita, lalu ia pun jatuh cinta
kepadanya – padahal ia (‘Imraan) seorang yang cebol lagi buruk rupa. ‘Imraan
(menikahinya karena) hendak mengembalikannya kepada sunnah, namun wanita itu
enggan dan malah ‘Imraan murtad (dari sunnah) bersama wanita itu kepada madzhabnya
(Khawaarij)” [Al-Bidaayah wan-Nihaayah, 9/64].
Bahkan
‘Imraan bin Hiththaan memuji Ibnu Muljam, pembunuh ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu
‘anhu.
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata:
أن القلوب ضعيفة، والشبه خطافة
“Hati-hati
itu lemah, sedangkan syubhat senantiasa menyambar” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’,
7/261].
Banyak atsar salaf yang berisi
nasihat dan sikap mereka menjauhi ahlul-bida’ dan ahlul-ahwaa’.
وعن أنس، وقد
جاءه رجل فقال له : يا أبا حمزة، لقيت قومًا يكذبون بالشفاعة، وبعذاب القبر، فقال
: "أولئك الكذابون فلا تجالسهم".
Dari
Anas radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya
ia pernah didatangi seseorang. Ia pun berkata kepada Anas : “Wahai Abu Hamzah,
aku pernah menemui satu kaum yang mendustakan syafa’at dan ‘adzab kubur”. Anas
berkata : “Mereka itu adalah para pendusta. Janganlah engkau bermajelis dengan
mereka !!” [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah 2/448 – dengan sanad laa ba’sa bihi].
Diantara firqah masa
kini yang mendustakan adzab kubur adalah Hizbut-Tahriir (HT).
وعن ابن عباس
رضي الله عنهما أنه قال : "لا تجالس أهل الأهواء، فإن مجالستهم ممرضة
للقلوب".
Dari
Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma,
bahwasannya ia pernah berkata : “Janganlah kalian bermajelis dengan para pengekor
hawa nafsu (ahlul-ahwaa’), karena
bermajelis dengan mereka itu menjadi sebab sakitnya hati" [Sanadnya shahih
– Asy-Syari’ah, atsar no. 55. Dikeluarkan oleh Ibnu Baththah
no. 619 dari jalan Al-Aajurriy].
Telah
berkata Abu Al-Jauzaa’, Aus bin ‘Abdillah rahimahumallah – ia merupakan
salah seorang pembesar
kalangan tabi’in – :
لأن يجاورني
قردة وخنازير أحب إليّ من أن يجاورني أحد منهم - يعني : أصحاب الأهواء - .
“Sungguh,
seandainya aku bertetangga dengan monyet-monyet dan babi-babi itu lebih aku
sukai dibanding aku bertetangga dengan mereka – yaitu para pengekor hawa nafsu
– “ [Al-Laalikaaiy no. 231, dengan sanad laa
ba’sa bihi].
Al-Fudlail
bin ‘Iyaadl rahimahullah berkata:
لا تجلس مع صاحب
البدعة، فإني أخاف أن تنزل عليك اللعنة
“Janganlah
engkau bermajelis dengan ahli bid’ah. Sesungguhnya aku takut jika turun
kepadamu laknat (dari Allah)”.
Pernah
ada dua orang laki-laki dari kalangan pengekor hawa nafsu yang masuk menemui
Muhammad bin Siiriin. Mereka berdua berkata : “Wahai Abu Bakr, kami akan membacakan
kepadamu sebuah hadits”. Muhammad bin Sirin menjawab : “Tidak !!”. Mereka kembali
berkata : “Kalau begitu, kami akan membacakan kepadamu satu ayat dari
Kitabullah”. Muhammad bin Sirin kembali menjawab : “Tidak ! Kalian berdua pergi
dariku atau aku yang akan pergi ?!”. mendengar itu mereka pun pergi. (Setelah
itu), beberapa orang bertanya kepadanya : Wahai Abu Bakr, mengapa engkau tidak
mau dibacakan satu ayat dari Al-Qur’an (oleh mereka) ?”. Ia pun menjawab :
إني خشيت أن
يقرآ عليّ آية فيحرفانها فيقرذلك في قلبي
“Aku
takut mereka membacakan satu ayat kepadaku, lalu mereka men-tahrif (menyelewengkan)-nya yang
kemudian itu menetap di hatiku” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 397 dan
Al-Laalikaaiy, dengan sanad shahih].
Dari
‘Abdurrazzaq, ia pernah berkata : Telah berkata kepadaku Ibrahim bin Abi Yahya
: “Aku melihat banyak orang Mu’tazillah di sisimu”. Akupun berkata : “Benar,
mereka menyangka bahwasannya dirimu merupakan bagian dari mereka”. Ia bertanya
: “Tidakkah engkau bersamaku ke dalam warung/kedai sehingga aku dapat
berbincang denganmu ?”. Aku berkata : “Tidak”. Ia kembali bertanya : “Mengapa ?”.
Aku pun menjawab :
لأن القلب ضعيف،
والدين ليس لمن غلب
“Karena
hati itu lemah, dan urusan agama bukanlah milik orang yang menang (dalam
perdebatan)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah no. 401 dan Al-Laalikaaiy no. 249, dengan sanad shahih].
Dari
Mubasysyir bin Isma’il Al-Halabiy, ia berkata :
قيل للأوزاعي :
إن رجلا يقول : أنا أجالس أهل السنة، وأهل البدعة؟. فقال الأوزاعي : هذا رجل يريد
أن يساوي بين الحق والباطل.
“Dikatakan
kepada Al-Auza’iy : ‘Sesungguhnya ada seseorang yang mengatakan : Kami akan
bermajelis dengan Ahlus-Sunnah dan Ahlul-Bid’ah ?’. Maka Al-Auza’iy berkata :
‘Sesungguhnya orang tersebut hendak menyamakan kebenaran dan kebathilan’ “ [Al-Ibaanah 2/456].
Bersambung, insya Allah.
[Perum Ciomas Indah
Bukit Asri, Sabtu, 04-04-2015 – Abul-Jauzaa’ - Ushuulus-Sunnah lil-Imaam
Ahmad, syarh dan tahqiiq Al-Waliid bin Muhammad Nabiih, hal. 30-33,
Maktabah Ibni Taimiyyah, Cet. 1/1416, Kairo, dengan beberapa referensi lain
sebagai tambahan penjelasan].
Silakan
baca pembahasan sebelumnya :
Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (4) – Bid’ah
Comments
Assalamualaikum ustadz,saya ingin bertanya bagaimana jika saya bermajelis dengan ustadz yg pada dirinya terdapat kebid'ahan? Saya bingung jika tiba-tiba tak ikut pengajian karena saya baru mengetahui larangan ini,sedangkan saya sudah cukup lama mengikuti pengajian,dan lagi di tempat saya yg baru saya tahu hanya ada satu kajian sunnah,itupun sangat jarang kajianya mungkin hanya 1 bulan sekali
Wa'alaikumus-salaam.
Sesuai dengan pertanyaan, maka pada prinsipnya menuntut ilmu hanya kepada orang (ustadz) yang benar aqidah dan manhajnya. Maka tidak diperbolehkan untuk menuntut ilmu dari kalangan orang-orang yang menyimpang, karena syubhat dalam agama itu sangat berbahaya. Adapun jika ada seorang ustadz yang pada prinsipnya berada di atas 'aqidah salaf (Ahlus-Sunnah) namun dalam satu atau dua hal mempunyai kekeliruan yang tidak prinsip, tidak mengapa mengaji kepadanya. wallaahu a'lam.
Lalu apakah masalah maulid dan shalawat yg tidak diajarkan rasulullah termasuk prisipkah ustadz? Karena ustadz disini lebih memilih pada yg melakukan hal itu,meskipun saya memilih pada yg tidak melakukan
Posting Komentar