Bahasan
ini erat kaitannya dengan darah yang keluar pada wanita hamil, apakah ia
dihukumi darah haidl, darah nifas, atau darah istihaadlah ?. Jika ia merupakan
darah haidl atau nifas, maka tidak wajib shalat[1].
Namun jika ia merupakan darah istihaadlah, maka tetap wajib shalat[2].
Melalui artikel ini, akan dituliskan bahasan ringkasnya semoga dapat menjadi pemahaman bagi kita bersama.
Darah
haidl, secara bahasa Al-Maawardiy rahimahullah menjelaskan :
وَسُمِّيَ حَيْضًا لِسَيَلَانِهِ مِنْ رَحِمِ
الْمَرْأَةِ ، مَأْخُوذٌ مِنْ قَوْلِهِ : حَاضَ السَّبِيلُ ، وَفَاضَ إِذَا
سَالَ..... الشَّرْعُ لَهُ بِسِتَّةِ أَسْمَاءٍ : الْحَيْضُ وَالطَّمْثُ
وَالْعَرْكُ وَالضَّحِكُ وَالْإِكْبَارُ وَالْإِعْصَارُ
“Darah
haidl dinamakan haidl, karena
darah itu mengalir dari rahim wanita. Pengertian ini diambil dari perkataan : ‘haadlas-sailu idzaa faadla’ (banjir
meluap)”…… Dan syara’ mempunyai enam
nama untuk darah haidl, yaitu : al-haidlu,
ath-thamtsu, al-‘arku, adl-dlahiku, al-ikbaaru, dan al-i’shaaru”.[3]
Adapun
secara terminologis, Al-Kasaaniy rahimahullah
berkata :
اسم لدم خارج من الرحم لا يعقب الولادة مقدر بقدر
معلوم في وقت معلوم
“Nama
bagi darah yang keluar dari rahim wanita yang bukan disebabkan karena
melahirkan, dengan dibatasi ukuran/lama dan waktu tertentu”.[4]
Ibnu
‘Utsaimin rahimahullah berkata :
سيلان دم طبيعي يعتاد الأنثى في أوقات معلومة عند
بلوغها وقابليتها للحمل
“Darah
thabi’iy yang mengalir (dari rahim)
yang biasa dialami wanita pada waktu tertentu pada masa balighnya, sebagai
tanda kesanggupan untuk hamil”.[5]
Jadi,
darah haidl itu adalah darah yang keluar dari rahim pada waktu tertentu dan
dengan batas waktu tertentu. Sifatnya periodik.
Darah
istihadlah, secara bahasa Al-Jauhariy rahimahullah menjelaskan :
واستُحيضَت المرأة، أي استمر بها الدم بعد أيامها،
فهي مستحاضة
“Wanita
yang mengalami istihadlah, yaitu darahnya terus keluar setelah hari-hari
haidlnya, dan ia disebut mustahaadlah”.[6]
Al-Fairuuz
Abaadiy rahimahullah berkata :
والمستحاضة من يسيل دمها لا من الحيض بل من عِرق العاذل
“Al-mustahaadlah
adalah wanita yang darahnya mengalir bukan dari (sebab) haidl, namun
dari urat yang terputus”.[7]
Adapun
secara terminologis, Abu Bakr Al-Husainiy rahimahullah berkata :
الدم الخارج في غير أيام الحيض والنفاس
“Darah
yang keluar di luar hari-hari haidl dan nifas”.[8]
Darah
nifas, secara bahasa dikatakan :
ولادة المرأة إذا وضعت، فهي نفساء، والنفس : الدم
“Perempuan
ketika ia melahirkan disebut nufasaa’. Dan an-nafs artinya darah”.[9]
Adapun
secara terminologi, definisi nifas adalah :
إسم للدم الخارج عقب الولادة، مشتق من تنفس الرحم به
“Kata
bagi darah yang keluar mengikuti proses kelahiran, musytaq dari tanaffasa
ar-rahmu bihi (rahim mengeluarkan darah)”.[10]
Kembali pada bahasan di judul…..
Melihat definisi yang
disebutkan di atas, darah yang keluar menjelang proses kelahiran tidak tepat
jika disebut darah haidl, karena tidak memenuhi aspek lama dan waktu
tertentu sebagai satu siklus yang bisa diperkirakan.[11] Para ulama berselisih
pendapat apakah darah tersebut termasuk katagori darah nifas ataukah bukan.
Ulama dari kalangan madzhab Syaafi’iyyah
dan Hanaabilah mengkatagorikannya sebagai darah nifas. Ini juga merupakan
pendapat Ishaaq, Ibraahiim An-Nakhaa’iy, dan penduduk Madiinah. Hanya saja
menurut pendapat Maalikiyyah, darah tersebut dikatagorikan darah haidl
(dan ini tidak tepat sebagaimana disinggung sebelumnya).[12] Alasan mereka : apabila
darah tersebut keluar karena akan terjadi proses melahirkan/persalinan, maka
termasuk katagori darah nifas, sebagaimana darah yang keluar pasca melahirkan.
Apalagi ditandai dengan gejala-gejala rasa sakit, mulas, dan yang semisalnya.
Ulama dari kalangan madzhab
Hanafiyyah berpendapat bahwa darah yang keluar sebelum proses keluarnya anak
bukanlah darah nifas, akan tetapi termasuk katagori darah istihaadlah.[13] Darah tersebut keluar
karena pecahnya pembuluh darah. Tidak ada bedanya antara sehari dua hari atau
sebelum dua bulan sebelum melahirkan.
Yang kuat di antara dua
pendapat tersebut adalah pendapat Hanaafiyyah, karena hakekat darah nifas
adalah akibat proses kelahiran sebagai bagian dari proses pengembalian fungsi
rahim/sistem reproduksi wanita pada keadaan semula. Jika belum terjadi
kelahiran, tidak ada darah nifas. Selain itu dikuatkan juga oleh batas maksimal
darah nifas selama 40 hari, dimana waktu tersebut dihitung mulai waktu kelahiran, bukan sebelum (terjadinya) kelahiran.
Dengan demikian, keluarnya
darah sehari atau dua hara menjelang kelahiran tidaklah menggugurkan kewajiban shalat,
puasa, dan ibadah-ibadah yang lain bagi seorang wanita.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga yang sedikit ini ada
manfaatnya.
Bahan bacaan : Ahkaamul-Mar’atil-Haamil
oleh ‘Abdurrahmaan bin Yahyaa Al-Khathiib, Min Ahkaamil Mar’atil-Haamil fil-Fiqhil-Islaamiy
oleh Dr. Muhammad Nabhaan Al-Haitiy, dan Al-Haidl wan-Nifaas Riwaayatan
wa Diraayatan oleh Dibyaan bin Muhammad Dibyaan].
[abul-jauzaa’ – perum ciomas
permai, ciapus, ciomas, bogor – 27012013 – 22:44].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ رُمْحِ بْنِ الْمُهَاجِرِ الْمِصْرِيُّ، أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ، عَنِ ابْنِ الْهَادِ،
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، عَنِ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: .......أَمَّا نُقْصَانُ الْعَقْلِ،
فَشَهَادَةُ امْرَأَتَيْنِ تَعْدِلُ شَهَادَةَ رَجُلٍ، فَهَذَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ،
وَتَمْكُثُ اللَّيَالِي، مَا تُصَلِّي، وَتُفْطِرُ فِي رَمَضَانَ، فَهَذَا نُقْصَانُ
الدِّينِ "
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Rumh bin Muhaajir Al-Mishriy : Telah
mengkhabarkan kepada kami Al-Laits, dari Ibnul-Haad, dari ‘Abdullah bin
Diinaar, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda : “…..Maksud kekurangan akal adalah, persaksian dua
orang wanita setara dengan persaksian seorang laki-laki. Inilah (maksud) kekurangan
akal. Begitu juga wanita tidak mengerjakan shalat di malam-malam yang ia lalui
dan berbuka (di siang hari) bulan ramadlaan (karena haidl). Inilah maksud kekurangan agama (bagi mereka)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 79].
حَدَّثَنَا مُوسَى
بْنُ إِسْمَاعِيلَ، قَالَ: حَدَّثَنَا هَمَّامٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا قَتَادَةُ،
قَالَ: حَدَّثَتْنِي مُعَاذَةُ، أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ لِعَائِشَةَ: "
أَتَجْزِي إِحْدَانَا صَلَاتَهَا إِذَا طَهُرَتْ؟ فَقَالَتْ: أَحَرُورِيَّةٌ
أَنْتِ، كُنَّا نَحِيضُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَا
يَأْمُرُنَا بِهِ أَوْ قَالَتْ فَلَا نَفْعَلُهُ "
Telah
menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Hammaam, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Qataadah, ia
berkata : Telah menceritakan kepadaku Mu’aadzah : Bahwasannya ada seorang
wanita yang bertanya kepada ‘Aisyah : “Apakah kita (wanita) mengganti shalat
setelah suci (dari haidl) ?”. ‘Aisyah berkata : “Apakah engkau seorang
haruriyyah/khawarij ? Kami mengalami haidl di masa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, namun beliau tidak menyuruh kami
mengganti shalat – atau tidak pernah mengerjakannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy
no. 321].
Ibnul-Mundzir rahimahullah berkata :
أجمع أهل العلم لا اختلاف
بينهم على إسقاط فرض الصلاة عن الحائض في أيام حيضها
“Para
ulama telah sepakat tanpa ada perselisihan di antara mereka tentang gugurnya
kewajiban shalat atas wanita yang sedang haidl pada hari-hari haidlnya” [Al-Ausath, 2/202].
Adapun dalil wanita nifas tidak mengerjakan shalat :
حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ
عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ، حَدَّثَنَا شُجَاعُ بْنُ الْوَلِيدِ أَبُو بَدْرٍ، عَنْ عَلِيِّ
بْنِ عَبْدِ الْأَعْلَى، عَنْ أَبِي سَهْلٍ، عَنْ مُسَّةَ الْأَزْدِيَّةِ، عَنْ أُمِّ
سَلَمَةَ قَالَتْ: " كَانَتِ النُّفَسَاءُ تَجْلِسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعِينَ يَوْمًا، .... "
Telah
menceritakan kepada kami Nashr bin ‘Aliy Al-Jahdlamiy : Telah menceritakan
kepada kami Syujaa’ bin Al-Waliid Abu Badr, dari ‘Aliy bin ‘Abdil-A’laa, dari
Abu Sahl, dari Mussah Al-Azdiyyah, dari Ummu Samalah, ia berkata : “Dulu para
wanita yang mengalami nifas duduk (tidak mengerjakan shalat) selama empat puluh
hari di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam…..”
[Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 139 dengan sanad lemah dengan sebab Mussah Al-Azdiyyah, seorang yang majhuul al-haal. Akan
tetapi Asy-Syaikh Al-Albaaniy menghasankannya dalam Irwaaul-Ghaliil,
1/222-223 no. 201 dengan adanya syaahid dari Anas bin Malik radliyallaahu
‘anhu].
أَخْبَرَنَا أَبُو نُعَيْمٍ،
حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ أَبِي بِشْرٍ، عَنْ يُوسُفَ بْنِ مَاهَكَ، عَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: " النُّفَسَاءُ تَجْلِسُ نَحْوًا مِنْ
أَرْبَعِينَ يَوْمًا "
Telah
mengkhabarkan kepada kami Abu Nu’aim : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah,
dari Abu Bisyr, dari Yuusuf bin Maahak, dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa,
ia berkata : “Wanita yang sedang mengalami nifas duduk (tidak shalat) selama
kurang lebih 40 hari” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 997 dengan sanad
shahih].
At-Tirmidziy
rahimahullah berkata :
وَقَدْ أَجْمَعَ أَهْلُ
الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالتَّابِعِينَ
وَمَنْ بَعْدَهُمْ عَلَى أَنَّ النُّفَسَاءَ تَدَعُ الصَّلَاةَ أَرْبَعِينَ يَوْمًا،
إِلَّا أَنْ تَرَى الطُّهْرَ قَبْلَ ذَلِكَ فَإِنَّهَا تَغْتَسِلُ وَتُصَلِّي
“Para
ulama dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, taabi’iin,
dan generasi setelah mereka telah bersepakat bahwa wanita yang sedang mengalami
nifas meninggalkan (tidak mengerjakan) shalat selama 40 hari, kecuali ia melihat
dirinya telah suci (nifasnya berhenti) sebelum itu. Maka ia wajib mandi lalu mengerjakan shalat” [Jaami’
At-Tirmidziy, 1/181].
وحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ رُمْحٍ، أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ. ح وحَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا
لَيْثٌ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ جَعْفَرٍ، عَنْ عِرَاكٍ، عَنْ عُرْوَةَ،
عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّهَا قَالَتْ: " إِنَّ أَمَّ حَبِيبَةَ، سَأَلَتْ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الدَّمِ، فَقَالَتْ عَائِشَةُ: رَأَيْتُ
مِرْكَنَهَا مَلآنَ دَمًا، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
امْكُثِي قَدْرَ مَا كَانَتْ تَحْبِسُكِ حَيْضَتُكِ، ثُمَّ اغْتَسِلِي وَصَلِّي
"
Dan
telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rumh : Telah mengkhabarkan kepada
kami Al-Laits (ح). Dan telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah
menceritakan kepada kami Laits, dari Yaziid bin Abi Habiib, dari Ja’far, dari ‘Iraak,
dari ‘Urwah, dari ‘Aaisyah, bahwasannya ia berkata : “Sesungguhnya Ummu
Habiibah pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang
darah (yang keluar darinya)”. ‘Aaisyah berkata : “Aku melihat tempat cuciannya
dipenuhi darah. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
kepadanya : ‘Tetapilah seukuran waktu, lalu mandilah, dan kerjakan shalat”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 334].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ،
قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ،
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: جَاءَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي حُبَيْشٍ إِلَى النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي امْرَأَةٌ
أُسْتَحَاضُ فَلَا أَطْهُرُ، أَفَأَدَعُ الصَّلَاةَ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَا، إِنَّمَا ذَلِكِ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِحَيْضٍ،
فَإِذَا أَقْبَلَتْ حَيْضَتُكِ فَدَعِي الصَّلَاةَ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي
عَنْكِ الدَّمَ ثُمَّ صَلِّي "
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami
Abu Mu’aawiyyah : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin ‘Urwah, dari
ayahnya, dari ‘Aaisyah, ia berkata : Faathimah bintu Abu Hubaisy pernah
mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata : “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku adalah seorang wanita yang sering mengalami istihadlah
dan tidak pernah suci. Apakah
aku mesti meninggalkan shalat ?”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : “Tidak. Ia hanyalah darah yang berasal dari urat,
bukan haidl. Apabila haidlmu telah datang, berhentilah shalat. Namun jik atelah
selesai, maka bersihkanlah darahmu, lalu mandilah” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 228].
[5] Tanbiihul-Afhaam Syarh ‘Umdatil-Ahkaam
oleh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimin, 1/123 – dicetak bersama Taisirul-‘Alaam.
[9] Lisaanul-‘Arab
oleh Ibnul-Mandhuur 6/228 dan Al-Qaamus Al-Muhiith oleh
Al-Fairuuz Abaadiy 2/255.
[11] Sebenarnya, para ulama berbeda pendapat mengenai darah yang
keluar selama masa kehamilan. Ada dua pendapat dalam hal ini :
a.
Darah yang muncul saat masa kehamilan dihukumi
sebagai darah haidl yang mewajibkan untuk meninggalkan shalat.
Ini merupakan pendapat madzhab Malikiyyah dan
Asy-Syafi’iy dalam al-qaulul-jadiid,
bahkan ini yang mu’tamad dalam
madzhabnya. Telah diriwayatkan dari Az-Zuhriy, Qatadah, Al-Laits, dan Ishaaq.
Ibnu Qudamah menegaskan bahwa pendapat ini sebagai pendapat yang shahih dari
‘Aisyah. Ini juga merupakan pendapat Yahya bin Sa’iid, Rabi’ah bin Abi
‘Abdirrahman, dan Ibnu Abi Salamah.
b.
Darah yang muncul di masa kehamilan bukanlah darah
haidl, namun ia hanyalah darah rusak, sehingga wanita tersebut tidak boleh
meninggalkan shalat.
Ini merupakan pendapat madzhab Hanafiyyah dan
Hanabilah. Telah diriwayatkan dari ‘Aisyah, Ibnu ‘Abbas, Tsaubaan; dan hal itu
merupakan perkataan jumhur tabi’in, diantaranya : Sa’id bin Al-Musayyib,
‘Atha’, Al-Hasan, Jaabir bin Zaid, ‘Ikrimah, Muhammad bin Al-Munkadir,
Asy-Sya’biy, Mak-huul, Hammaad, Ats-Tsauriy, Al-Auza’iy, Abu Tsaur, Sulaiman
bin Yasaar, dan ‘Ubaidillah bin Al-Hasan.
Yang rajih dari dua pendapat di atas adalah pendapat yang kedua, dengan
dalil diantaranya :
·
Hadits Abu Sa’id Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَا تُوطَأُ حَامِلٌ
حَتَّى تَضَعَ، وَلَا غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً
“Wanita hamil tidak boleh dikumpuli/digauli hingga
ia melahirkan; dan tidak pula wanita yang tidak hamil hingga dia haidl sekali” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2157,
Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa 9/124, Ad-Daarimiy
no. 2341, dan yang lainnya; shahih lighairihi].
Adanya haidl menjadi indikasi atas bersihnya rahim
dimana semua itu menunjukkan bahwa kehamilan tidak bisa bersatu dengan haidl.
·
Hadits Salim dari bapaknya, bahwa bapaknya (Ibnu ‘Umar) telah menceraikan
istrinya dalam keadaan haidl. Lalu ‘Umar bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan
beliau bersabda :
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا،
ثُمَّ لِيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا أَوْ حَامِلًا
“Perintahkanlah
ia untuk merujuknya, kemudian agar ia menceraikannya dalam keadaan suci atau
hamil” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1471 dan Ahmad 2/58].
Hamil telah dijadikan indikasi atas tidak adanya
haidl, sebagaimana suci dijadikan indikasi haidl. Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata :
فأقام الطهر مقام
الحمل". والله عز وجل يقول: ﴿ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ ﴾ [الطلاق: من
الآية : 1]. أي بالطهر في غير جماع
“Kedudukan suci menempati kedudukan kehamilan.
Allah ‘azza wa jalla telah berfirman
: ‘Maka hendaklah kalian menceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddah-nya (yang wajar)’ (QS.
Ath-Thalaq : 1). Yaitu : dalam keadaan suci sebelum dicampuri” [lihat Tafsiir
Ath-Thabari, 23/432].
[12] Mughnil-Muhtaj
oleh Asy-Syarbiiniy 1/293, Kasysyaaful-Qinaa’ oleh Al-Bahuutiy 1/202, Al-Mughniy
oleh Ibnu Qudaamah 1/362, Hasyiyyah Al-‘Adawiy Ma’a Haasyiyyah
Al-Khurasyiy 1/209.
Comments
Bagaimana kl beberapa jam sebelum lahir, apakah msuk juga dlm hal ini?
Syukran.
Ya
Ustadz saya ingin sekali memperdlm pemahamn bhsa arab brhbg mmpljrinya wajib apkh ustadz bsa mrkmndsikn saya untk bljr kpda spa? Mnimalnya saya bsa mmbca dan mntrjmhkn nash2 berbhsa arab
Ustadz disebutkan di atas bahwa seorang wanita tidak menqadha shalat yang tertinggal karena haid. Bagaimana dengan kasus berikut;
Saya pernah menjumpai ibu-ibu setiap selesai shalat, ia shalat dua rakaat (termasuk shalat subuh dan ashar). Setelah ditanya, jawabannya adalah ini untuk mengqadha shalat yang dulu ditinggalkannya di waktu-waktu yang telah lalu. Apa hal ini ada dasarnya? Semoga antum bisa membahasnya di suatu kesempatan. Barakallahu fiikum.
istri saya terus menerus mengeluarkan darah beberapa jam sebelum proses kelahiran, tidak bisa berdiri dan kontraksi yang berkesinambungan.. karena rasa sakit serta darah yg keluar istri saya tidak sanggup melaksanakan shalat.. apakah sudah terhitung darah nifas..? jika bukan, apakah shalat yg tertinggal tsb harus di qadha..?
Assalamu'alaikum,
Tp ustadz, kebanyakan yg berlaku di Indonesia adalah madzhab Syafi'i yg menganggap darah kehamilan adalah bagian dari darah haidh sehingga wanita diwajibkan meninggalkan shalat. Dan kalo kita mengikuti madzhab Hanbali, niscaya kita akan disalahkan karena dianggap menyempal.
@Anomim 28 Januari 2013 00.02, kalau antum ada di Jabodetabek dan sekitarnya, silakan antum berkonsultasi dengan Radio Rodja (Masjid Al-Barkah).
----
@Anonim 29 Januari 2013 13.57,... belum. Pada asalnya, seseorang tetap wajib melaksanakan shalat pada waktunya sesuai dengan kesanggupannya. Ya, mesti diqadla'.
Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh
Afwan ustadz, barakallahu fiik, ana ada 3 pertanyaan, karena ini menyangkut profesi ana
1. Ustadz apakah darah yang dimaksud ini pada fase penipisan rahim sebelum kelahiran atau pembukaan rahim (bukaan 1 - 10) yang sering disebut "bloody show" ?
Karena keluarnya darah pada waktu ini bukan kelainan dan memang bagian dari persalinan - seperti pendapat syafi'iyyah dan hanabilah diatas -. Sedangkan keluarnya darah sebelum itu adalah kelainan.. (dalam hal ini ana cenderung pada mdzhb syafi'i dan hanbali)
2. Jika perdarahan ketika hamil -taruh misalkan kehamilan bulan ketujuh- diketahui bukan karena proses melahirkan / persalinan bagaimana posisi ketiga madzhab selain hanafiyyah tsb ? apakah menganggap istihaadlah juga ? (dalam hal ini ana cenderung pada mdzhb hanafiy)
3. Perdarahan selama masa persalinan bayi apakah dimasukkan nifas atau istihaadlah ?
Contohnya jika seseorang masa persalinannya selama waktu maghrib sehingga ia tidak bisa mengerjakannya apakah harus diqadha nantinya sholat maghrib tsb ? (dalam hal ini ana cenderung pada mdzhb syafi'i dan hanbali)
Jazakallahu khairul jazaa atas ilmu antum selama ini. Abul Hasan
Wa'alaikumus-salaam warahmatullaahi wabarakatuh.
'Afwan,... di atas antum mmebuat pertanyaan dan kemudian menjawabnya sendiri atau bagaimana ?. Atau ingin mengkroscek pendapat yang selama ini dengan tulisan di atas ?. Atau ingin menuliskan pendapat yang antum pegang ? Ketiganya tidak mengapa. Hanya saja, saya agak 'kesulitan' dalam menyusun bahasa responnya.
Akan tetapi memperhatikan apa yang antum tanyakan, maka saya berusaha menjawab sesuai kadar yang saya pahami saat ini :
1. Ya, termasuk bloody show dalam proses bukaan, karena saat itu bayi memang belum lahir atau belum dalam proses persalinan yang sebenarnya.
Jika kita mengikuti istinbath para ulama terdahulu atas keberadaan darah, apakah mereka mengenal istilah bloody show ?. Tidak. Mereka hanya melihat dhahir keluarnya darah dari rahim saja. Mereka tidak membedakan antara darah kelainan dan bloody show tersebut. Dan pendarahan, wanita jaman dulu pun mengalami. Pendarahan itu bisa terjadi selama masa kehamilan, dan bisa terus menerus hingga proses persalinan. Dalam ilmu kebidanan pun hal ini telah dikenal. Kasus pendarahan ini banyak menyebabkan kelahiran bayi prematur. Dulu di jaman 'Umar dan 'Utsmaan menjabat khilafah, ada bayi yang keluar dari rahim ibunya dalam usia 6 bulan kehamilan dimana ibunya dibebaskan dari tuduhan zina. Bagaimana dengan kasus semacam ini ?. Apakah darah tersebut akan dihukumi sebagai darah nifas ?. Ingat, kita mesti menyesuaikan gambaran ulama terdahulu atas realita yang terjadi dalam menyusun definisi dan pemahaman. Bagaimana mereka membedakan antara darah kelainan dan bloody show jika pendarahan itu bersambung hingga proses persalinan - seandainya sekarang kita membedakannya ?.
Oleh karena itu, yang saya pahami hingga saat ini adalah selama darah itu tidak keluar dalam proses persalinan yang sebenarnya, maka dihukumi darah istihdlah. Inilah yang menurut saya lebih hati-hati. Wallaahu a'lam.
2. Termasuk istihadlah.
3. Darah pada proses persalinan termasuk darah nifas.
afwan ustadz sudah membuat bingung..
Niat ana mau mengkros cek pemahaman ana setelah membaca artikel ini ustadz..
dan tadinya ana mau menanyakan 1 pertanyaan lagi yaitu : bagaimana kalo ada orang yang memegang pendapat seperti kecenderungan ana (yang dalem kurung tersebut) ? Apakah ia berarti sesuai dgn madzhab syafi'i & hanbali ??
Lalu ana hapus lagi, tapi belum menghapus yang dikurung.. afwan
Sebenarnya letak kebingungan ana adalah pada kalimat "Alasan mereka : apabila darah tersebut keluar karena akan terjadi proses melahirkan/persalinan, maka termasuk katagori darah nifas,..." Jadi ana pikir mereka -mungkin- membedakan darah waktu fase pembukaan rahim normal (ie bloody show) dengan yang bukan karena ini ie perdarahan abnormal.. InshaAllah ana paham penjelasannya ustadz.. jazakallahu khairan
semoga memberikan banyak manfaat untuk pengunjung blog pak ustad..
Dari Agus Tiady
Assalamu`alaikum
Maaf ustadz melenceng dari tema,begini isteri saya baru melahirkan puteri kami yang ketiga dengan operasi caesar(mohon untuk diketahui pada kelahiran puteri kami yang pertama dan kedua juga dioperaso caesar)kemudian oleh dokter disarakan agar isteri saya dijahit rahimnya atau tubektomi karena ada kemungkinan resiko besar membahayakan isteri saya bila melahirkan lagi,karena saya khawatir jadi ikutin saja saran sang dokter. Nah bagaimana pandangan Islam tentang kasus ini,mengingat setahu saya haramnya membatasi anak dan apakah saya berdosa karena ikut menyetujuinya ya karena namanya saya saat itu sedang khawatir dan panik mendengar itu? Mohon penjelasan ustadz kepada saya ini maaf pendidikan saya tak terlalu tinggi. Jazakallah khair
Wa'alaikumus-salaam.
Pendidikan saya juga tidak terlalu tinggi, namun di sini saya hanya akan menyampaikan sebatas yang saya ketahui saja. Ada kaedah fiqhiyyah sebagai berikut :
الضَرُوْرَاتُ تُبِيْحُ اْلمَحْظُوْرَاْتِ
"Darurat itu dapat memperbolehkan sesuatu yang asalnya dilarang".
Misalnya, ketika ada orang yang kehabisan bekal di gurun pasir dan ketika itu tidak ada minuman selain khamr, maka pada saat itu ia boleh minum khamr sebatas untuk mempertahankan hidup. Kondisi ini adalah kondisi darurat yang membolehkan minum khamr yang jika ia diminum di luar kondisi tersebut diharamkan.
Begitu juga dengan kasus bapak. Jika yang dikatakan dokter tersebut benar dilandasi alasan-alasan medis yang ilmiah, maka boleh ketika itu istri bapak melakukan sterilisasi. Tapi sebaiknya, jika memungkinkan, bapak konsultasikan dulu pada dokter yang lain sebagai pembanding. Dan jika memang terpaksa dilakukan tubektomi, maka sebaiknya yang sementara saja (diikat), jangan dipotong.
Wallaahu a'lam.
Salam Alaykum..
Afwan ustadz, barangkali penerapan Qaedah yang ustad contohkan diatas perlu di lihat kembali..
"
الضَرُوْرَاتُ تُبِيْحُ اْلمَحْظُوْرَاْتِ"
sepengetahuan saya, Alkohol itu sifatnya bukan untuk menghilangkan dahaga, tapi memabukkan.
Artinya,untuk menghilangkan rasa dahaga yang kita alami tatkala berada di tengah gurun pasir, tidak bisa kita mengkonsumsi alkohol dengan anggapan bahwa hal tersebut dapat menghilangkan rasa dahaga kita,sebab sifatnya memabukkan.Bukan menghilangkan dahaga kita.
barangkali ustadz perlu berikan contoh yang tepat dalam penerapan qaedah yang ustad bawakan.
afwan tadz kalau ana salah.
# dufal
Contoh di atas sudah tepat, karena saya bawakan dari penjelasan ulama. Bahkan contoh masalah khamr itu sudah ma'ruuf. Silakan antum baca-baca lagi.
Assalamuaalaikum ustaz..
1) Bagaimana pendapat antum dengan darah yang keluar disebabkan keguguran pada umur janin sebelum mencapai empat puluh hari dan di atas 40 hari. Apakah termasuk darah nifas atau bukan?
2) Apakah wanita melahirkan melalui cara operasi, sama seperti wanita yang melahirkan secara normal? yakni menunggu sehingga 40 hari habis darah nifas.
Abu Munawwarah.
Wa'alaikumus-salaam.
1. Bukan.
2. Ya, sama.
Darah nifas tidaklah harus menunggu sampai 40 hari. Batas 40 hari adalah batas waktu maksimal. Jika telah berhenti sebelum waktu itu, maka ia wajib mandi dan mengerjakan shalat.
wallaahu a'lam.
Terkait dengan yang antum tanyakan, maka jawaban dari apa yang saya ketahui telah saya tuliskan di atas.
wallaahu a'lam.
Posting Komentar