“Eh,
Fulanah itu belum genap sembilan bulan menikah kok sudah melahirkan.
Jangan-jangan dulu dia MBA (married by accident).... jangan-jangan suaminya
sudah curi start duluan....”. Begitulah kira-kira sebagian kasak-kusuk
yang mungkin pernah kita dengar di masyarakat. Sebagai umat Islam yang baik,
tentu kita tidak ingin ber-kasak-kusuk seperti itu. Memangnya tidak
mungkin seorang wanita hamil kurang dari sembilan bulan dari masa pernikahannya
?. Jawabnya : Mungkin sekali, karena kemungkinan itu telah disebutkan nash yang
menetapkan minimal masa kehamilan.
Allah
ta’ala berfirman :
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ
أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
“Para
ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan” [QS. Al-Baqarah : 233].
Allah
ta’ala juga berfirman :
وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ
ثَلاثُونَ شَهْرًا
“Mengandungnya
sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan” [QS. Al-Ahqaaf : 15].
Para
ulama mengambil satu kesimpulan hukum dari dua ayat di atas bahwa apabila masa
mengandung dan menyapihnya adalah 30 bulan, sementara masa menyusui anak
sendiri adalah 24 bulan, maka minimal masa kehamilan adalah 6 bulan.
Kejadian
para wanita yang melahirkan dengan masa kandungan 6 bulan telah ada di jaman para
shahabat radliyallaahu ‘anhum. Simak beberapa riwayat berikut :
أَخْبَرَنَا أَبُو نَصْرِ
بْنُ قَتَادَةَ، أنا أَبُو مَنْصُورٍ الْعَبَّاسُ بْنُ الْفَضْلِ النَّضْرَوِيُّ،
نا أَحْمَدُ بْنُ نَجْدَةَ، نا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ، نا هُشَيْمٌ، أنا دَاوُدُ
بْنُ أَبِي هِنْدٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا، أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: " إِذَا وَلَدَتِ الْمَرْأَةُ لَتِسْعَةِ
أَشْهُرٍ كَفَاهَا مِنَ الرَّضَاعِ أَحَدٌ وَعِشْرِينَ شَهْرًا، وَإِذَا وَضَعَتْ
لَسَبْعَةِ أَشْهُرٍ كَفَاهَا مِنَ الرَّضَاعِ ثَلاثَةٌ وَعِشْرُونَ شَهْرًا
وَإِذَا وَضَعَتْ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ كَفَاهَا مِنَ الرَّضَاعِ أَرْبَعَةٌ
وَعِشْرُونَ شَهْرًا كَمَا قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَعْنِي قَوْلَهُ:
وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا "
Telah
mengkhabarkan kepada kami Abu Nashr bin Qataadah[1]
: Telah memberitakan kepada kami Abu Manshuur Al-‘Abbaas bin Al-Fadhl An-Nadlrawiy[2]
: Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Najdah[3]
: Telah mengkhabarkan kepada kami Sa’iid bin Manshuur[4]
: Telah mengkhabarkan kepada kami Husyaim[5]
: Telah mengkhabarkan kepada kami Daawud bin Abi Hind[6],
dari ‘Ikrimah[7],
dari Ibnu ‘Abbaas[8] radliyallaahu
‘anhumaa, bahwasannya ia pernah berkata : “Apabila seorang wanita
mengandung selama 9 bulan, hendaklah ia cukupkan penyusuannya selama 21 bulan.
Apabila ia mengandung selama 7 bulan, hendaklah ia cukipkan penyusuannya selama
23 bulan. Dan apabila ia mengandung selama 6 bulan, hendaklah ia cukupkan
penyusuannya selama 24 bulan sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘Mengandungnya
sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan’ (QS. Al-Ahqaaf : 15)”
[Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy, 7/442 (7/727) no. 15548; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ
يَحْيَى، قَالَ: أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ،
عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَبِي عُبَيْدٍ، قَالَ: رُفِعَ إِلَى عُثْمَانَ امْرَأَةً
وَلَدَتْ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ، فَقَالَ: إِنَّهَا رُفِعَتْ إِلَيَّ امْرَأَةٌ لا
أُرَاهَا إِلا قَدْ جَاءَتْ بِشَرٍّ، أَوْ نَحْوَ هَذَا، وَلَدَتْ لِسِتَّةِ
أَشْهُرٍ. فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: " إِذَا أَتَمَّتِ الرَّضَاعَ كَانَ
الْحَمْلُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ، قَالَ: وَتَلا ابْنُ عَبَّاسٍ: وَحَمْلُهُ
وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا، فَإِذَا أَتَمَّتِ الرَّضَاعَ كَانَ الْحَمْلُ
لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ "، فَخَلَّى عُثْمَانُ سَبِيلَهَا
Telah
menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Yahyaa, ia berkata : Telah mengkhabarkan
kepada kami ‘Abdurrazzaaq[9],
ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar[10],
dari Az-Zuhriy[11],
dari Abu ‘Ubaid[12],
ia berkata : Pernah ada dihadapkan kepada ‘Utsmaan[13]
(bin ‘Affaan) seorang wanita yang melahirkan dengan usia kandungan 6 bulan. Lalu
‘Utsmaan berkata : “Sesungguhnya telah dihadapkan kepadaku seorang wanita yang
tidaklah aku memandangnya kecuali ia telah melakukan perbuatan buruk (zina)
atau yang semisalnya yang melahirkan dengan usia kandungan 6 bulan”. Maka Ibnu
‘Abbaas berkata : “Allah berfirman : ‘Mengandungnya sampai menyapihnya
adalah tiga puluh bulan’ (QS. Al-Ahqaaf : 15). Apabila wanita
menyempurnakan penyusuannya, maka usia kehamilannya adalah 6 bulan”. (Mendengar
penjelasan tersebut), ‘Utsmaan pun membebaskannya [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy
dalam Tafsiir-nya, 5/34 no. 4952; sanadnya hasan].
أَخْبَرَنَا أَبِي، ثنا
أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، أنبأ أَبُي عَدِيٍّ، عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ
قَتَادَةَ، عَنْ أَبِي حَرْبٍ يَعْنِي ابْنَ أَبِي الأَسْوَدِ الدِّيَلِيِّ، عَنْ
أَبِيهِ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رُفِعَتْ إِلَيْهِ امْرَأَةٌ وَلَدَتْ
لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ، فَهَمَّ بِرَجْمِهَا، فَبَلَغَ ذَلِكَ عَلِيًا، فَقَالَ:
" لَيْسَ عَلَيْهَا رَجَمٌ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: وَالْوَالِدَاتُ
يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ وَسِتَّةَ أَشْهُرٍ، فَذَلِكَ
ثَلاثُونَ شَهْرًا "
Telah
mengkhabarkan kepada kami ayahku[14]
: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyaar[15]
: Telah memberitakan Ibnu ‘Adiy[16],
dari Sa’iid[17],
dari Qataadah[18],
dari Abu Harb bin Abil-Aswad Ad-Diiliy[19],
dari ayahnya[20] :
Bahwasannya pernah dihadapkan kepada ‘Umar bin Al-Khaththaab[21]
seorang wanita yang melahirkan denga masa kehamilan selama 6 bulan, lalu ia pun
hendak merajamnya (karena prasangka bahwa wanita tersebut telah melakukan
zina). Hal tersebut sampailah kepada ‘Aliy (bin Abi Thaalib), kemudian ia
berkata : “Wanita itu tidak berhak untuk dirajam. Allah ta’ala berfirman
: ‘Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh’
(QS. Al-Baqarah : 233), dan kemudian ditambah 6 bulan, dan itu genap 30 bulan
(sesuai QS. Al-Ahqaaf : 15)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dalam Tafsiir-nya,
hal. 428 no. 2264; sanadnya shahih].
Dalam
lafadh ‘Abdurrazzaaq (no. 13444), setelah mendengar penjelasan ‘Aliy, maka
‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa pun membebaskan wanita tersebut.
Telah
terjadi ijmaa’ di kalangan shahabat radliyallaahu ‘anhum dalam
permasalahan minimal masa kehamilan adalah 6 bulan.
Kembali
ke permasalahan awal,...
Hendaknya
kita jauhkan dalam benak-benak kita dari berbagai tuduhan dan prasangka negatif
terhadap pasangan suami istri – meski kita lihat dhahir kelakuannya tidak baik
– jika si istri melahirkan kurang dari sembilan bulan dari waktu pernikahannya,
kecuali jika kita mempunyai bukti kuat atas hal itu.
Allah
ta’ala berfirman :
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ
الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ
ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ
الْفَاسِقُونَ
“Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh
itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik” [QS. An-Nuur :
4].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya
sebagian prasangka itu adalah dosa” [QS. Al-Hujuraat : 12].
لَوْ يُعْطَى النَّاسُ
بِدَعْواهُم ، لادَّعى رِجالٌ أموالَ قَومٍ ودِماءهُم ولكن البَيِّنَةُ على
المُدَّعي واليَمينُ على مَنْ أَنْكر
“Andai
saja manusia selalu diberikan (dikabulkan) segala sesuatu yang mereka dakwakan,
sungguh ada saja orang yang akan mendakwa harta dan darah orang lain. Akan
tetapi, Bukti (al-bayyinah) wajib atas orang yang mendakwa (menuduh) dan sumpah
wajib bagi orang yang mengingkarinya (tertuduh)” [lihat : Al-Arba’uun
An-Nawawiyyah no. 33; dihasankan oleh An-Nawawiy[22]].
Itu
saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu
a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’
– perum ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 24012013 – 22:18].
[1] ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz bin ‘Umar bin Qataadah,
Abu Nashr An-Naisaabuuriy Al-Anshaariy An-Nu’maaniy Al-Basyiiriy; seorang yang tsiqah
[lihat : Ittihaaful-Murtaqiy bi-Taraajimi Syuyuukh Al-Baihaqiy, hal.
365-369 no. 126].
[2] ‘Abbaas bin Al-Fadhl bin Zakariyyaa Al-Harawiy, Abu
Manshuur An-Nadlruuyiy; seorang yang tsiqah lagi masyhuur. Termasuk thabaqah
ke-12, dan wafat tahun 372 H [Taqriibut-Tahdziib, hal. 488 no.
3201].
[3] Ahmad bin Najdah bin Al-Ghuryaan,
Abul-Fadhl Al-Harawiy; seorang yang tsiqah.
Wafat tahun 296 H [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 13/571 no. 294].
[4] Sa’iid bin
Manshuur bin Syu’bah Al-Khurasaaniy Abu ‘Utsmaan Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah mushannif. Termasuk thabaqah ke-10,
dan wafat tahun 126/127/128/129 H. Dipakai
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 389 no. 2412].
[5] Husyaim bin Basyiir bin Al-Qaasim bin Diinaar
As-Sulamiy Abu Mu’aawiyyah bin Abi Khaazim Al-Waasithiy; seorang yang tsiqah lagi tsabt, namun banyak melakukan tadlis dan irsal khafiy. Termasuk thabaqahke-7, lahir tahun 104/105 H, dan wafat tahun 183 H. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 1023 no. 7362].
[6] Daawud bin Abi Hind Diinaar bin ‘Adzaafir
Al-Qusyairiy, Abu Bakr/Muhammad Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi mutqin,
namun sering ragu di akhir usianya. Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat
tahun 140 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Muslim, Abu
Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 309 no. 1826].
Namun perkataan : ‘sering
ragu di akhir usianya’ ini tidaklah tepat [lihat : Tahriirut-Taqriib,
1/378 no. 1817].
[7] ‘Ikrimah Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy, Abu ‘Abdillah
Al-Madaniy maulaa ‘Abdillah bin ‘Abbaas; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi faqiih. Termasuk thabaqah ke-3, wafat tahun 104 H, atau dikatakan setelah
itu, di Madinah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 687-688 no. 4707].
[8] ‘Abdullah bin
‘Abbaas bin ‘Abdil-Muthallib bin Haasyim bin ‘Abdi Manaaf Al-Qurasyiy
Al-Haasyimiy, Abul-‘Abbaas Al-Madaniy; salah seorang shahabat yang
mulia.Termasuk thabaqah ke-1, dan wafat tahun 68 H. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 518 no. 3431].
[9] ‘Abdurrazzaaq bin Hammaam bin Naafi’ Al-Humairiy Al-Yamaaniy, Abu
Bakr Ash-Shan’aaniy; seorang tsiqah, haafidh, penulis terkenal,
namun kemudian mengalami kebutaan sehingga berubah hapalannya di akhir umurnya.
Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 126, dan wafat tahun 211 H. Dipakai
oleh Al-Bukhaariy, Muslim, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 607 no. 4092].
[10] Ma’mar bin Raasyid Al-Azdiy, Abu ‘Urwah Al-Bashriy;
seorang yang tsiqah, tsabat, lagi faadlil. Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 154 H.
Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan
Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 961 no. 6857].
[11] Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin
Syihaab bin ‘Abdillah Al-Qurasyiy Az-Zuhriy, Abu Bakr Al-Madaniy; seorang yang tsiqah, faqiih, hafiidh, lagi mutqin. Termasuk thabaqah ke-4, wafat tahun 125 H,
atau dikatakan sebelumnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 896 no. 6336].
[12] Sa’d bin ‘Ubaid Az-Zuhriy, Abu ‘Ubaid Al-Madaniy
maulaa ‘Abdirrahmaan bin Az-har; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah
ke-2. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 370 no. 2261].
[13] ‘Utsmaan bin ‘Affaan bin Abil-‘Aash bin Umayyah
Al-Qurasyiy Al-Umawiy, Abu ‘Amru/Abu ‘Abdillah/Abu Lailaa; salah seorang
di antara Al-Khulafaaur-Raasyidiin yang mulia. Termasuk thabaqah ke-1,
dan wafat tahun 35 H di Madiinah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu
Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 667 no. 4535].
[14] Muhammad bin Idriis bin Al-Mundzir bin
Daawud bin Mihraan Al-Handhaliy, Abu Haatim Ar-Raaziy Al-Haafidh; salah seorang
huffaadh. Termasuk thabaqah ke-11, lahir tahun 195 H, dan wafat
tahun 277 H. Dipakai oleh Abu Daawud, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 824 no. 5755].
[15] Muhammad bin Basysyaar bin ‘Utsmaan Al-‘Abdiy
Abu Bakr Al-Bashriy yang terkenal dengan sebutan Bundaar;
seorang perawi yang tsiqah.
Termasuk thabaqah ke-10,
lahir tahun 167 H, dan wafat tahun 252 H. Dipakai
oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu
Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 828 no. 5791].
[16] Muhammad bin Ibraahiim bin Abi ‘Adiy Ibraahiim
As-Sulamiy, Abu ‘Amru Al-Bashriy; seorang yang tsiqah.Termasuk thabaqah
ke-9, dan wafat tahun 194 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 820
no. 5733].
[17] Sa’iid bin Abi ‘Aruubah Mihraan Al-‘Adawiy, Abun-Nadlr
Al-Yasykuriy Al-Bashriy; seorang yang tsiqah haafidh, mempunyai banyak tulisan, akan tetapi banyak melakukan
tadliis dan tercampur hapalannya (di akhir usianya). Ia orang yang
paling tsabt dalam periwayatan hadits Qataadah. Termasuk thabaqah ke-6,
dan wafat tahun 156 H/157 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 384 no. 2378 dan Ar-Ruwaatuts-Tsiqaat
Al-Mutakallamu fiihim bimaa Laa Yuujibu Raddahum oleh Adz-Dzahabiy, hal. 97 no. 37].
Ibnu Hajar memasukkannya dalam thabaqah kedua
perawi mudallis [Thabaqaatul-Mudallisiin, no. 50].
[18] Qataadah bin Di’aamah bin Qataadah As-Saduusiy,
Abul-Khaththaab Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-4, lahir tahun 60 H/61
H, dan wafat tahun 117 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib hal. 798 no. 5553].
[19] Abu Harb bin Abil-Aswad Ad-Diiliy Al-Bashriy;
seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 108
H. Dipakai oleh Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah
[Taqriibut-Tahdziib, hal. 1132 no. 8100].
[20] Abul-Aswad Ad-Diiliy/Ad-Dulaiy Al-Bashriy; seorang
yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-2, dan wafat tahun 69 H.
Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan
Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1108 no. 7997].
[21] ‘Umar bin Al-Khaththaab bin Nufail bin
‘Abdil-‘Uzzaa bin Riyaah bin ‘Abdillah bin Qarth bin Razaah bin ‘Adiy
Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy, Abu Hafsh; salah seorang di antara Al-Khulafaaur-Raasyidiin
yang mulia. Termasuk thabaqah ke-1, dan wafat tahun 23 H. Dipakai
oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu
Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 717 no. 4922].
[22] Silakan baca takhrij Ibnu Rajab
Al-Hanbaliy dalam Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam hal. 684-687 (tahqiq &
takhriij : Dr. Maahir Al-Fakhl).
Comments
Assalamu`alaikum
Dari Bima di Jakarta
Begini Ustadz,saya memiliki seorang sepupu yang pernah hamil di luar nikah,kemudian si pacarnya yang menzinahinya menikahi sepupu saya kala sedang hamil beberapa bulan. Namun beberapa tahun setelah itu mereka bercerai karena sang suami selingkuh dan dalam persidangan itu dua puteri mereka jatuh dalam asuhan si ayahh dalam pengadilan. Nah pertanyaan saya adalah:
1.Apakah si mantan suami sepupu saya berhak menjadi wali nikah puteri sulung(hasil zina mereka berdua)?
2.Saat ini Puteri Sulung (hasil zina) mereka sebentar lagi nikah nah si mantan suami sepupu saya akan bertindak sebagai wali nikahnya mengingat dalam hukum Indonesia itu semua anak lahir setelah ayah dan ibu mereka menikah maka bisa dinasabkan ke ayah mereka terlepas apakah kehamilannya hasil zina atau pernikahan yang sah. Pertanyaannya
apakah pernikahan si puteri sulung (hasil zina) ini sah?
Mohon penjelasan ustadz.
klo di desa, biasanya untuk kasus seperti pertanyaan diatas, dilihat tanggal lahir anak dan tanggal pernikahan.
kan ketahuan tuh, MBA ato ga. Klo MBA, maka yang menikahkan adalah wali hakim.
nah, klo ada pernikahan pake wali hakim sementara ayah 'kandung'nya ada, berarti ortunya dlu itu MBA. sampe sekarang itu masih dipelihara di desa kami. selain sebagai pembeda, juga menimbulkan hukuman berupa rasa malu bagi si ortu di masyarakat.
tapi begitu baca artikel ini bahwa minimal kehamilan itu 6 bulan, jadi bimbang juga. apakah cara yang digunakan di desa itu sudah benar ato tidak. karena sependek pengetahuan saya, di desa menggunakan periode kehamilan normal (9 bulan)
alhamdulillah , ustad artikelnya membuka hati untuk tidak senantiasa berprasangka buruk dengan mencari-cari keburukan saudaranya.
semoga allah senantiasa meneguhkan kita dalam iman dan menjauhkan kita semua dari perbuatan maksiat yang bisa menjerumuskan kita.
masalah perwalian yang ditanyakan anonim diatas , sepertinya ada khilaf diantara ulama , tanpa membenarkan sedikitpun prilaku jelek tersebut ( MBA ).
dari dalil2 serta berprasangka baik - maka cukupkanlah dengan apa yang diputuskan oleh MUI , semoga para pelaku MBA bertobat dan diampuni Allah.
ada diantara teman ana yang mempunyai sejarah tidak baik namun allah menuntunnya dengan ilmu dan alhamdulillah mereka jauh lebih baik dari sebelumnya.
anang dwicahyo
aslm,ww. Ustad, saya mau nany,. saya bingung nih dg permasalahan tante saya. Tante saya mempunyai suami dan 3 orang anak, dg suami yg bekerja di luar pulau. Suami tante saya biasa pulang 6bulan atau jika libur panjang, namun mengirim uang tiap bulan. Setelah kelahiran anak ke3,yg skarang tlh bumur 2 tahun, Suami tante saya menuduh bahwa anak ketiga tsb bukan anakny. Padahal tante saya berkeyakinan bahwa anak tersebut merupakan hsl hbngn dg suaminy,(tante saya memang beberapa kali berhubungan sexual dg laki-laki lain tp hal tersebut karena keterpaksaan karna jauh dg suami dan tidak dg sembarang laki-laki, sekedar melampiaskan kebutuhan, dan menurut tante saya, suaminy mengetahui hal tsb n tdk mprmasalahkan), mskpn hal tersebut kemudian memudar dan kehidupan normal kembali, dg suami tante saya mkirim uang tiap bulan n bekerja d luar pulau kembali. Kejadian tdk d sangka pd waktu liburan panjang kmarin, ktika banyk kluarga suami tante saya blibur ke rumah tante, pada suatu waktu tante saya terpergok (maaf), sdng bhbngn sex dg laki-laki lain,. hal tsbt menimbulkan kemarahan kluarga suami tante., dan bahkan bebuat kasar dg tante.. Sejak saat itu suami tante saya mengajukan cerai yg proses sampai skarang, dg alasan yg bmacam2(tante slingkuh dll). tante saya menerima mau cerai, namun tdk mau dtdh slingkuh, dll, karena hal tsbt karena kbutuhan biologis tdk ddpt dr suami n sudah diketahui suami.. Belakangan ada keinginan dr suami tante n kluargany utk mmnta harta materi tante(mobil, rumah,dll) dg dalih pemberian suami tante, namun hal tsbt d tolak tante karena banyk yg hsl dr tante sendiri n semua atas nama tante. Dlm prkembangnny skarang suami tante mnarik ggutan cerai n mengajak hdp bsma tp tante yg ngotot cerai. Pertanyaanny;
1. Bagaimana harta bersama, harta materi, yg beratasnama tante saya ketika bercerai, dptkah d minta suami tante dg dalih pemperian suami,.?
2. Bagaimana dg tante saya yg bbrapa kali berhubungan sex dg bukan suami, namun hal tersebut karena terpaksa n diketahui suami.
3.Bagaimana agar hak asuh anak jatuh ke tangan suami tante, karena pada awalny suami tante ingin hak asuh anak n tante tidak berkeberatan namun skarang suami tante meragukan bahwa anak tente mrupakan benihny,.
4. Bagaimana saya yg brada d pihak tante saya menegtahui keburukan tante namun tidak bs mngingatkan,?
1. Harta suami adalah harta suami dan harta istri adalah harta istri. Jika suami telah memberi sesuatu kepada istri, maka sesuatu itu menjadi hak milik istri. Tapi untuk lebih jauh, silakan berkonsultasi kepada kantor agama terkait karena itu terkait saling klaim, yang kebenaran klaim masing-masing membutuhkan bukti.
2. Berhubungan sex hanya sah dilakukan oleh orang yang mempunyai ikatakan pernikahan. Di luar itu adalah haram dan dosa besar. Allah ta'ala berfirman :
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا
"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk" [QS. Al-Israa' : 32].
Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
لا يحل دم امرئ مسلم يشهد أن لا إله إلا الله وأني رسول الله إلا بإحدى ثلاث النفس بالنفس والثيب الزاني والمفارق لدينه التارك للجماعة
”Tidaklah halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwasannya tidak ada ilah yang berhak untuk diibadahi dengan benar melainkan Allah dan juga berskasi bahwasannya aku adalah utusan Allah, kecuali dengan salah satu dari tiga sebab : jiwa dengan jiwa, orang yang sudah berkeluarga yang berzina, dan orang yang meninggalkan agamanya, memisahkan diri dari jama’ah” [HR. Al-Bukhari no. 6878 dan Muslim no. 1676].
Perzinahan mutlak diharamkan dengan alasan apapun.
3. Silakan dikonsultasikan kepada di pengadilan agama.
4. Sangat dianjurkan bagi antum menasihatinya untuk bertaubat. Zina yang ia lakukan - jika benar apa yang antum katakan - disebabkan karena jauhnya dari Allah, sedikitnya rasa iman kepada-Nya dan kepada hari akhir. Seandainya antum tidak berkesanggupan untuk menasihatinya karena adanya hambatan komunikasi, antum dapat meminta bantuan kepada orang-orang yang dianggap dekat dan selevel dengan tante antum dalam menyampaikan nasihat tersebut.
Semoga Allah senantiasa menjaga kita dari dosa-dosa yang membinasakan.
Baca cerita dari Anonim 30 Januari 2013 16.00...
Ana hanya bisa mengucapkan;
Astaghfirullah, Allahu Akbar, Lailaahaillallah...
Maka benarlah perkataan para Ustadz di kajian;
Yg penting adalah Ilmu Agama, Dunia beserta isinya adalah kecil lagi hina...!
@Ustadz Abul Jauzaa...
Jadzakallahu Khoiron Katsir...
Dari Abu Unaisah..
Posting Komentar