Ada beberapa riwayat yang terkait dengan pembahasan ini,
di antaranya :
1.
Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ الْمُصَفَّى، وَعُمَرُ بْنُ حَفْصٍ الْوَصَّابِيُّ الْمَعْنَى،
قَالَا: حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ الْمُغِيرَةِ
الضَّبِّيِّ، عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ رُفَيْعٍ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ
قَالَ: " قَدِ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ، فَمَنْ شَاءَ
أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ، وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mushaffaa
dan ‘Umar bin Hafsh Al-Washaabiy secara makna, mereka berdua berkata : Telah
menceritakan kepada kami Baqiyyah : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah,
dari Al-Mughiirah Adl-Dlabbiy, dari ‘Abdul-‘Aziiz bin Rufai’, dari Abu Shaalih,
dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda : “Pada hari ini telah berkumpul dua hari raya pada kalian.
Maka barangsiapa yang ingin, maka tidak ada kewajiban Jum’at baginya. Karena
sesungguhnya kita telah dikumpulkan” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no.
1073].
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Maajah no. 1311, Al-Haakim
1/288, Al-Baihaqiy 3/318 no. 6288, Ibnul-Jaarud dalam Al-Muntaqaa 1/260 no.
302, Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar 3/190 no. 1155, Al-Faryaabiy
dalam Ahkaamul-‘Iedain hal. 211 no. 150, Al-Baihaqiy 3/318, dan yang
lainnya; semuanya dari jalan Baqiyyah bin Al-Waliid yang selanjutnya seperti
riwayat di atas.
Sanad riwayat ini adalah lemah, karena ‘an’anah
Al-Mughiirah bin Miqsam Adl-Dlabbiy. Meskipun tsiqah, ia termasuk mudallis
pada martabat ketiga [Thabaqaatul-Mudallisiin hal. 112 no. 107].
Al-Mughiirah dalam periwayatan dari ‘Abdul-‘Aziiz bin
Rufai’ mempunyai mutaabi’ dari :
a.
Ziyaad bin ‘Abdillah Al-Bakaa’iy.
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 4/140
dan dari jalannya Al-Baihaqiy 3/318 no. 6287 : Telah menceritakan kepada kami
Ishaaq bin Ibraahiim bin Yuunus : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Abi Samiinah : Telah menceritakan kepada kami Ziyaad bin ‘Abdillah, dari
‘Abdul-‘Aziiz bin Rufai’, dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah secara marfuu’.
Sanad riwayat ini layyin, dengan sebab Ziyaad bin
‘Abdillah. Ia tsabt dalam riwayat Ibnu Ishaaq, dan lain dalam riwayat
selainnya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 346 no. 2096].
b.
Abu Bakr bin ‘Ayyaasy.
Diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy dalam Al-Afraad
(أ/322) dari jalan Abu Bilaal
Al-Asy’ariy, dari Abu Bakr bin ‘Ayyaasy, dari ‘Abdul-‘Aziiz bin Rufai’,
selanjutnya seperti di atas.[1]
Sanad riwayat ini lemah dengan sebab kelemahan Abu Bilaal
Al-Asy’ariy [Lisaanul-Miizaan, 8/26-27 no. 7647].
Diriwayatkan secara mursal oleh ‘Abdurrazzaaq no.
5728, Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar 3/191 no. 1156, dan Al-Baihaqiy
3/318 no. 6289; semuanya dari jalan Ats-Tsauriy, dari ‘Abdul-‘Aziiz bin Rufai’,
dari Abu Shaalih secara mursal.
Sanad riwayat ini mursal shahih.
Sebagian ulama ada yang merajihkan riwayat mursal
ini daripada yang maushuul, seperti Ad-Daaruquthniy rahimahullah.
Ia (Ad-Daaruquthniy) mengatakan bahwa selain Ats-Tsauriy, ada beberapa perawi
lain yang meriwayatkan dari ‘Abdul-‘Aziiz bin Rufai’ dari Abu Shaalih secara mursal;
di antaranya : Abu ‘Awaanah, Zaaidah (bin Qudaamah), Syariik, Jariir bin
‘Abdil-Hamiid, dan Abu Hamzah As-Sukriy [Al-‘Ilal, 10/215-217 no. 1984].
Al-Khathiib meriwayatkan dengan sanadnya dari Ahmad bin
Hanbal rahimahumallah bahwa ia mengingkari riwayat Baqiyyah bin
Al-Waliid dari Syu’bah di atas, dan mengisyaratkan tarjiih-nya atas
riwayat mursal [Taariikh Baghdaad, 4/218].
Yang raajih dari riwayat ini – wallaahu a’lam
– adalah mursal.[2]
2.
Hadits Zaid bin Arqaam radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ، أَخْبَرَنَا إِسْرَائِيلُ، حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ
الْمُغِيرَةِ، عَنْ إِيَاسِ بْنِ
أَبِي رَمْلَةَ الشَّامِيِّ،
قَالَ: شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَهُوَ يَسْأَلُ زَيْدَ بْنَ
أَرْقَمَ، قَالَ: أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَكَيْفَ صَنَعَ؟ قَالَ:
صَلَّى الْعِيدَ، ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: " مَنْ شَاءَ أَنْ
يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsiir :
Telah mengkhabarkan kepada kami Israaiil : Telah menceritakan kepada kami
‘Utsmaan bin Al-Mughiirah, dari Iyaas bin Abi Ramlah Asy-Syaamiy, ia berkata :
Aku pernah menyaksikan Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan bertanya kepada Zaid bin
Arqam. Ia (Mu’aawiyyah) berkata : “Apakah engkau pernah meyaksikan dua hari
raya berkumpul dalam satu hari bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam ?”. Zaid menjawab : “Ya”. Mu’aawiyyah berkata : “Apa yang beliau
perbuat ?”. Zaid berkata : “Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
shalat, kemudian memberikan keringanan (rukhshah) dalam shalat Jum’at.
Beliau bersabda : ‘Barangsiapa yang ingin shalat, hendaklah ia shalat”
[Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1070].
Diriwayatkan juga oleh An-Nasaa’iy no. 1591 dan dalam Al-Kubraa
no. 1804, Ibnu Maajah no. 1310, Ibnu Abi Syaibah 2/188 (4/244-245) no.
5896, Ad-Daarimiy no. 1654, Ahmad 4/372 (32/68) no. 19318, Ibnu Khuzaimah no. 1464,
Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar 3/186 no. 1153, Al-Haakim
1/288, Al-Baihaqiy 3/317 no. 6286, dan yang lainnya; semuanya dari jalan
Israaiil, selanjutnya seperti hadits di atas.
Sanad hadits ini lemah dikarenakan kemajhulan Iyaas bin
Abi Ramlah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 156 no. 592].
3.
Atsar ‘Abdullah bin Az-Zubair radliyallaahu ‘anhu.
Ada dua jalan periwayatan darinya :
a.
Wahb bin Kaisaan rahimahullah.
أَخْبَرَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، قال: حَدَّثَنَا يَحْيَى، قال: حَدَّثَنَا عَبْدُ
الْحَمِيدِ بْنُ جَعْفَرٍ، قال: حَدَّثَنِي وَهْبُ بْنُ كَيْسَانَ، قال: " اجْتَمَعَ
عِيدَانِ عَلَى عَهْدِ ابْنِ الزُّبَيْرِ فَأَخَّرَ الْخُرُوجَ حَتَّى تَعَالَى
النَّهَارُ ثُمَّ خَرَجَ فَخَطَبَ فَأَطَالَ الْخُطْبَةَ، ثُمَّ نَزَلَ فَصَلَّى
وَلَمْ يُصَلِّ لِلنَّاسِ يَوْمَئِذٍ الْجُمُعَةَ، فَذُكِرَ ذَلِكَ لِابْنِ
عَبَّاسٍ، فَقَالَ: أَصَابَ السُّنَّةَ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Basysyaar,
ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdul-Hamiid bin Ja’far, ia berkata : Telah
menceritakan kepadaku Wahb bin Kaisaan, ia berkata : “Telah berkumpul dua hari
raya di jaman Ibnuz-Zubair, lalu ia mengakhirkan keluar (untuk mengimami
manusia) hingga hari meninggi. Lalu ia keluar dan berkhuthbah dengan
memanjangkan khuthbahnya. Kemudian ia turun (dari mimbar) lalu melaksanakan
shalat. Pada waktu itu, orang-orang tidak melaksanakan shalat Jum’at. Lalu hal itu
disebutkan kepada Ibnu ‘Abbaas, dan ia berkata : “Ia telah melakukan sesuai
dengan sunnah” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 1580].
Diriwayatkan juga oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no.
1807, Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath no. 2181, Ibnu Khuzaimah 2/359-360
no. 1465, Al-Faakihiy dalam Akhbaar Makkah no. 1779, dan Al-Haakim
1/296; semuanya dari jalan ‘Abdul-Hamiid bin Ja’far, selanjutnya seperti
riwayat di atas.
Sanad riwayat ini shahih.
Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah dibawakan dengan lafadh :
.....
فَخَطَبَ وَأَطَالَ، ثُمَّ صَلَّى
رَكْعَتَيْنِ، وَلَمْ يُصَلِّ الْجُمُعَةَ فَعَابَ عَلَيْهِ نَاسٌ مِنْ بَنِي
أُمَيَّةَ ابْنِ عَبْدِ شَمْسٍ، فَبَلَغَ ذَلِكَ ابْنَ عَبَّاسٍ، فَقَالَ: أَصَابَ
ابْنُ الزُّبَيْرِ السُّنَّةَ، وَبَلَغَ ابْنَ الزُّبَيْرِ، فَقَالَ: "
رَأَيْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِي اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ إِذَا اجْتَمَعَ
عِيدَانِ صَنَعَ مِثْلَ هَذَا
“...... Lalu ia (Ibnuz-Zubair) berkhuthbah dan
memanjangkan khuthbahnya itu. Kemudian shalat dua raka’at (‘Ied) tanpa
mengerjakan shalat Jum’at (setelahnya). Orang-orang dari kalangan Bani Umayyah
bin ‘Abdi Syams pun mencelanya. Sampailah hal itu kepada Ibnu ‘Abbaas, lalu ia
berkata : ‘Ibnu Zubair telah melakukan sesuai dengan sunnah’. Dan sampailah hal
itu juga kepada Ibnuz-Zubair, lalu ia berkata : “Aku telah melihat ‘Umar bin
Al-Khaththaab radliyallaahu ta’ala ‘anhu apabila berkumpul dua hari
raya, melakukan semisal dengan ini” [selesai].
Ibnu Khuzaimah rahimahullah kemudian berkata :
قَوْلُ
ابْنِ عَبَّاسٍ أَصَابَ ابْنُ الزُّبَيْرِ السُّنَّةَ، يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ
أَرَادَ سُنَّةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَائِزٌ أَنْ
يَكُونَ أَرَادَ سُنَّةَ أَبِي بَكْرٍ، أَوْ عُمَرَ، أَوْ عُثْمَانَ، أَوْ
عَلِيٍّ، وَلا أَخَالُ أَنَّهُ أَرَادَ بِهِ أَصَابَ السُّنَّةَ فِي تَقْدِيمِهِ
الْخُطْبَةَ قَبْلَ صَلاةِ الْعِيدِ، لأَنَّ هَذَا الْفِعْلَ خِلافُ سُنَّةِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَإِنَّمَا
أَرَادَ تَرْكَهُ أَنْ يَجْمَعَ بِهِمْ بَعْدَمَا قَدْ صَلَّى بِهِمْ صَلاةَ
الْعِيدِ فَقَطْ دُونَ تَقْدِيمِ الْخُطْبَةِ قَبْلَ صَلاةِ الْعِيد
“Perkataan Ibnu ‘Abbaas : ‘Ibnuz-Zubair telah
melakukan sesuai sunnah’, dibawa pada maksud sunnah Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Dan boleh juga dibawa bahwa maksudnya adalah sunnah Abu
Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, atau ‘Aliy. Namun tidak boleh disangkakan bahwa yang
dimaksudkan dengannya (dari perkataan Ibnu ‘Abbaas) adalah sesuai dengan sunnah
dalam mendahulukan khuthbah sebelum shalat ‘Ied, karena perbuatan ini
menyelisihi sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, dan
‘Umar. Yang dimaksud dengan sunnah oleh Ibnu ‘Abbaas hanyalah perbuatan
Ibnuz-Zubair meninggalkan mengumpulkan manusia setelah ia shalat bersama
(mengimami) mereka untuk shalat ‘Ied saja, bukan dalam permasalahan
mendahulukan khuthbah sebelum shalat ‘Ied” [Shahiih Ibni Khuzaimah
2/360].
Apa yang dikatakan Ibnu Khuzaimah rahimahullah adalah
benar, karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mendahulukan
khuthbah sebelum shalat.
Perkataan Ibnuz-Zubair yang menyatakan ia pernah melihat
‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhum melakukan semisal yang ia
lakukan, adalah terkait dengan pengguguran shalat Jum’at dengan berkumpulnya
dua hari raya, bukan dalam mendahulukan khuthbah sebelum shalat. Hal itu
dikarenakan pelaksanaan ‘Ied oleh ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu
‘anhu adalah mendahulukan shalat sebelum khuthbah sebagaimana riwayat :
عَنْ
ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ أَبِي عُبَيْدٍ مَوْلَى ابْنِ أَزْهَرَ، قَالَ: شَهِدْتُ
الْعِيدَ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَصَلَّى، ثُمَّ انْصَرَفَ فَخَطَبَ
النَّاسَ، فَقَالَ: إِنَّ هَذَيْنِ يَوْمَانِ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صِيَامِهِمَا يَوْمُ فِطْرِكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ، وَالْآخَرُ
يَوْمٌ تَأْكُلُونَ فِيهِ مِنْ نُسُكِكُمْ. قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ: ثُمَّ شَهِدْتُ
الْعِيدَ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَجَاءَ فَصَلَّى ثُمَّ انْصَرَفَ فَخَطَبَ
وَقَالَ: إِنَّهُ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ
أَحَبَّ مِنْ أَهْلِ الْعَالِيَةِ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ، فَلْيَنْتَظِرْهَا
وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ، قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ: ثُمَّ
شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، وَعُثْمَانُ مَحْصُورٌ
فَجَاءَ فَصَلَّى ثُمَّ انْصَرَفَ فَخَطَبَ
Dari Ibnu Syihaab, dari Abu ‘Ubaid maulaa Ibni Az-har, ia
berkata : Aku pernah menghadiri ‘Ied bersama ‘Umar bin Al-Khaththaab, lalu ia
shalat. Setelah itu ia berpaling, lalu berkhuthbah kepada manusia dan berkata :
“Sesungguhnya dua hari ini telah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam larang
untuk berpuasa padanya. Yang pertama adalah hari dimana kalian berbuka dari
puasa kalian (‘Iedul-Fithri), dan yang lain adalah hari dimana kalian
makan sembelihan kalian”. Abu ‘Ubaid berkata : “Kemudian aku menghadiri ‘Ied
bersama ‘Utsmaan bin ‘Affaan. Ia pun datang, lalu melaksanakan shalat. Setelah
selesai, ia berpaling lalu berkhuthbah. Ia berkata : “Sungguh Pada hari ini
telah berkumpul dua hari raya pada kalian. Barangsiapa dari kalangan
orang-orang yang jauh tempat tinggalnya ingin menunggu shalat Jum’at, hendaknya
ia menunggu. Dan barangsiapa ingin pulang, maka aku izinkan baginya”. Abu
‘Ubaid berkata : “Kemudian aku juga pernah menghadiri ‘Ied bersama ‘Aliy bin
Abi Thaalib ketika ‘Utsmaan dikepung (oleh kawanan pemberontak). Ia (‘Aliy)
datang, lalu shalat. Setelah selesai, ia berpaling lalu berkhuthbah”
[Diriwayatkan oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’ (tahqiiq : Al-Hilaaliy)
2/87-89 no. 471-473; shahih].
Kembali ke riwayat Ibnuz-Zubair sebelumnya......
‘Abdul-Hamiid bin Ja’far dalam periwayatan dari Wahb bin
Kaisaan diselisihi oleh Hisyaam bin ‘Urwah :
حَدَّثَنَا
أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ وَهْبِ بْنِ كَيْسَانَ، قَالَ:
" اجْتَمَعَ عِيدَانِ فِي يَوْمٍ، فَخَرَجَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ
فَصَلَّى الْعِيدَ بَعْدَمَا ارْتَفَعَ النَّهَارُ، ثُمَّ دَخَلَ، فَلَمْ يَخْرُجْ
حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ "، قَالَ هِشَامٌ: فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِنَافِعٍ،
أَوْ ذُكِرَ لَهُ فَقَالَ: ذُكِرَ ذَلِكَ لِابْنِ عُمَرَ فَلَمْ يُنْكِرْهُ
Telah menceritakan kepada kami Abu Usaamah, dari Hisyaam
bin ‘Urwah, dari Wahb bin Kaisaan, ia berkata : “Telah berkumpul dua hari raya
dalam satu hari. Lalu ‘Abdullah bin Az-Zubair melakukan shalat ‘Ied setelah
hari beranjak siang. Kemudian ia masuk rumah, dan ia tidak lagi keluar hingga
shalat ‘Ashar”. Hisyaam berkata : “Lalu aku menyebutkan hal itu kepada Naafi –
atau disebutkan hal itu kepadanya - , maka ia berkata : “Disebutkan hal itu
kepada Ibnu ‘Umar, dan ia tidak mengingkarinya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah 2/187 (4/243) no. 5891].
Sanad riwayat ini shahih. Hisyaam bin ‘Urwah lebih tsiqah
daripada ‘Abdul-Hamiid, dan ia (Hisyaam) termasuk keluarga Ibnuz-Zubair,
pemilik kisah.
Riwayat ini tidak menyebutkan Ibnuz-Zubair radliyallaahu
‘anhu mendahulukan khuthbah sebelum shalat.
Yang nampak – wallaahu a’lam – riwayat inilah yang
benar (mahfuudh). Dikuatkan lagi oleh riwayat :
b.
‘Athaa’ bin Abi Rabbah rahimahullah.
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ طَرِيفٍ الْبَجَلِيُّ، حَدَّثَنَا أَسْبَاطٌ، عَنْ الْأَعْمَشِ،
عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ، قَالَ: صَلَّى بِنَا ابْنُ الزُّبَيْرِ فِي
يَوْمِ عِيدٍ فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ أَوَّلَ النَّهَارِ، ثُمَّ رُحْنَا إِلَى
الْجُمُعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا فَصَلَّيْنَا وُحْدَانًا " وَكَانَ
ابْنُ عَبَّاسٍ بِالطَّائِفِ، فَلَمَّا قَدِمَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ:
أَصَابَ السُّنَّةَ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Thariif
Al-Bajaliy : Telah menceritakan kepada kami Asbaath, dari Al-A’masy, dari
‘Athaa’ bin Abi Rabbaah, ia berkata : “Ibnuz-Zubair shalat bersama kami pada
hari ‘Ied yang bertepatan dengan hari Jum’at di awal siang. Kemudian kami berangkat
untuk shalat Jum’at, namun ternyata ia tidak keluar untuk mengimami kami. Lalu
kami pun shalat sendiri. Waktu itu, Ibnu ‘Abbaas berada di Thaaif. Ketika
pulang (ke Madiinah), kami menyebutkan hal itu kepadanya, lalu ia berkata : ‘Ia
telah melakukan sesuai dengan sunnah” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1071].
Riwayat ini menguatkan pernyataan sebelumnya bahwa
perkataan Ibnu ‘Abbaas tentang perbuatan Ibnuz-Zubair sesuai dengan sunnah,
adalah terkait pengguguran shalat Jum’at. Tidak disebutkan Ibnuz-Zubair radliyallaahu
‘anhumaa mendahulukan khuthbah sebelum shalat.
Sanad riwayat ini lemah dengan sebab ‘an’anah
Al-A’masy, karena ia seorang mudallis.[3] Akan tetapi riwayat ini shahih
dengan jalur riwayat Wahb bin Kaisaan di atas, dan dikuatkan juga oleh riwayat :
ثنا
عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ، ثنا أَبُو عَاصِمٍ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ عَطَاءٍ،
قَالَ: اجْتَمَعَ يَوْمُ فِطْرٍ وَيَوْمُ جُمُعَةٍ زَمَنَ ابْنِ زُبَيْرٍ فَصَلَّى
رَكْعَتَيْنِ، فَذُكِرَ ذَلِكَ لابْنِ عَبَّاسٍ فَقَالَ: أَصَابَ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin ‘Aliy : Telah
menceritakan kepada kami Abu ‘Aashim, dari Ibnu Juraij, dari ‘Athaa’, ia berkata
: “Telah berkumpul hari ‘Iedul-Fithr dan hari Jum’at di jaman Ibnu Zubair. Lalu
ia shalat dua raka’at. Kemudian, disebutkanlah hal itu kepada Ibnu ‘Abbaas dan
ia berkata : “Ia telah benar” [Diriwayatkan oleh Al-Faryaabiy dalam Ahkaamul-‘Iedain
hal. 219 no. 153; shahih].
Diriwayatkan juga oleh Abu Daawud no. 1072 dari jalan
Yahyaa bin Khalaf, dari Abu ‘Aashim dengan lafadh :
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ خَلَفٍ، حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ، عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ:
قَالَ عَطَاءٌ: اجْتَمَعَ يَوْمُ جُمُعَةٍ وَيَوْمُ فِطْرٍ عَلَى عَهْدِ ابْنِ
الزُّبَيْرِ، فَقَالَ: عِيدَانِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ، فَجَمَعَهُمَا
جَمِيعًا فَصَلَّاهُمَا رَكْعَتَيْنِ بُكْرَةً لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا حَتَّى
صَلَّى الْعَصْرَ
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Khalaf : Telah menceritakan
kepada kami Abu ‘Aashim, dari Ibnu Juraij, ia berkata : Telah berkata ‘Athaa’ :
“Telah berkumpul hari Jum’at dan hari ‘Iedul-Fithri di jaman Ibnuz-Zubair. Ia
(Ibnuz-Zubair) berkata : ‘Dua hari raya telah berkumpul dalam satu hari’. Lalu
ia ia pun menjamaknya dengan melakukan shalat dua raka’at di waktu pagi. Ia
tidak menambahnya hingga ia mengerjakan shalat ‘Ashar” [Diriwayatkan oleh Abu
Daawud no. 1072; shahih].
Diriwayatkan juga oleh ‘Abdurrazzaaq 3/303 no. 5725 tanpa
tambahan perkataan dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa seperti
riwayat Abu Daawud di atas.
Diriwayatkan juga ‘Abdurrazzaaq 3/303-304 no. 5726 dari
jalan Ibnu Juraij (dari Abuz-Zubair, dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu
‘anhumaa) dengan sanad shahih dengan tambahan perkataan Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu
‘anhumaa.
Kesimpulan hukum yang dapat ditarik dari atsar
Ibnuz-Zubair radliyallaahu ‘anhu :
·
Meskipun sanadnya mauquuf, namun secara hukum ia
adalah marfuu’ berdasarkan perkataan Ibnu ‘Abbaas bahwa perbuatan Ibnuz-Zubair
radliyallaahu ‘anhum sesuai dengan sunnah.
·
Tidak benar Ibnuz-Zubair radliyallaahu ‘anhumaa
mendahulukan khuthbah sebelum shalat, karena ini berasal dari kekeliruan
periwayatan ‘Abdul-Hamiid bin Ja’far rahimahullah sebagaimana
jalan-jalan riwayat yang telah disebutkan di atas. Selain itu, juga
bertentangan dengan riwayat :
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ ح و
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ كِلَاهُمَا عَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ طَارِقِ بْنِ
شِهَابٍ وَهَذَا حَدِيثُ أَبِي بَكْرٍ قَالَ أَوَّلُ مَنْ بَدَأَ بِالْخُطْبَةِ
يَوْمَ الْعِيدِ قَبْلَ الصَّلَاةِ مَرْوَانُ فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ
الصَّلَاةُ قَبْلَ الْخُطْبَةِ فَقَالَ قَدْ تُرِكَ مَا هُنَالِكَ فَقَالَ أَبُو
سَعِيدٍ أَمَّا هَذَا فَقَدْ قَضَى مَا عَلَيْهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا
فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah :
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Sufyaan. Dan telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa : Telah menceritakan kepada kami Muhammad
bin Ja’far : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah; keduanya (Sufyaan dan
Syu’bah) dari Qais bin Muslim, dari Thaariq bin Syihaab – dan ini adalah hadits
Abu Bakr - , ia (Thaariq) berkata : Orang pertama yang berkhutbah pada hari
raya (‘Ied) sebelum shalat didirikan adalah Marwan. Lalu seorang lelaki
berdiri dan berkata kepadanya : "Shalat (‘Ied) hendaklah dilakukan sebelum
membaca khutbah". Marwan menjawab : "Sungguh, khutbah ini telah
ditinggalkan". Kemudian Abu Sa’iid berkata : "Adapun orang ini telah
menunaikan kewajibannya. Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam bersabda : ‘Barangsiapa di antara kalian
melihat kemungkaran, hendaklah ia cegah dengan tangannya. Jika tidak mampu,
maka dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itulah
selemah-lemah iman" [Diriwayatkan oleh Muslim no. 49].
·
Kewajiban shalat Jum’at gugur apabila dua hari raya (‘Ied
dan Jum’at) bertemu. Seseorang diberikan rukhshah untuk tidak
melaksanakan shalat Jum’at apabila telah melaksanakan shalat ‘Ied pada hari
itu.
·
Boleh bagi seorang imam untuk meninggalkan shalat Jum’at
jika sebelumnya telah dilaksanakan shalat ‘Ied. Hal itu dilakukan dengan
pertimbangan memberitahukan manusia satu sunnah bahwa kewajiban shalat Jum’at
telah gugur dengan dilaksanakannya shalat ‘Ied.
Namun pada asalnya, tetap dianjurkan bagi imam untuk
menegakkan shalat Jum’at untuk memfasilitasi orang-orang yang hendak
menunaikannya, karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dulu pun
tetap menegakkan shalat Jum’at ketika dua hari raya tersebut bertemu,
sebagaimana riwayat :
4.
Hadits An-Nu’maan bin Basyiir radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَإسحاق، جميعا، عَنْ
جَرِيرٍ، قَالَ يَحْيَى: أَخْبَرَنَا جَرِيرٌ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُحَمَّدِ
بْنِ الْمُنْتَشِرِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ حَبِيبِ بْنِ سَالِمٍ مَوْلَى
النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ، عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ، قَالَ: " كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْعِيدَيْنِ وَفِي
الْجُمُعَةِ بِ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ
الْغَاشِيَةِ، قَالَ: وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِي يَوْمٍ
وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِي الصَّلَاتَيْنِ ".
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Yahyaa, Abu
Bakr bin Abi Syaibah, dan Ishaaq, semuanya dari Jariir – Yahyaa berkata : Telah
mengkhabarkan kepada kami Jariir - , dari Ibraahiim bin Muhammad bin
Al-Muntasyir, dari ayahnya, dari Habiib bin Saalim maulaa An-Nu’maan bin
Basyiir, dari An-Nu’maan bin Basyiir, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam biasa membaca ketika shalat ‘Iedain dan shalat
Jum’at surat sabbihisma rabbikal-a’laa (QS. Al-A’laa) dan hal ataaka
hadiitsul-ghaasyiyyah (QS. Al-Ghaasyiyyah)”. An-Nu’maan berkata : “Apabila
berkumpul ‘Ied dan Jum’at dalam satu hari, maka beliau membaca kedua surat
tersebut dalam dua shalat (yaitu : shalat ‘Ied dan shalat Jum’at –
Abul-Jauzaa’)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 878].
Hadits ini menunjukkan bahwa beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam tetap menegakkan shalat Jum’at ketika dua hari raya
berkumpul dalam satu hari.
Penegakan shalat Jum’at oleh imam juga dilakukan oleh
khalifah sepeningal beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana riwayat
‘Utsmaan yang dibawakan oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’ 2/87-89 no.
471-473 di atas. Juga riwayat dari ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu :
5.
Atsar ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu.
عَنِ
الثَّوْرِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ،
عَنْ عَلِيٍّ، قَالَ: اجْتَمَعَ عِيدَانِ فِي يَوْمٍ، فَقَالَ: " مَنْ
أَرَادَ أَنْ يُجَمِّعَ فَلْيُجَمِّعْ، وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَجْلِسَ فَلْيَجْلِسْ
"، قَالَ سُفْيَانُ: يَعْنِي يَجْلِسُ فِي بَيْتِهِ
Dari Ats-Tsauriy, dari ‘Abdullah (bin Syubrumah), dari
Abu ‘Abdirrahmaan As-Sulamiy, dari ‘Aliy, ia berkata : “Telah berkumpul dua
hari raya dalam satu hari”. ‘Aliy melanjutkan : “Barangsiapa yang hendak
mengumpulkannya (dengan mengerjakan shalat ‘Ied dan shalat Jum’at), silakan
melakukannya. Dan barangsiapa yang ingin duduk, silakan untuk duduk”. Sufyaan
berkata : “Yaitu : duduk di rumahnya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 5731;
shahih].
حَدَّثَنَا
أَبُو الْأَحْوَصِ، عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ،
قَالَ: " اجْتَمَعَ عِيدَانِ عَلَى عَهْدِ
عَلِيٍّ فَصَلَّى بِالنَّاسِ،
ثُمَّ خَطَبَ عَلَى رَاحِلَتِهِ قَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، مَنْ شَهِدَ
مِنْكُمُ الْعِيدَ، فَقَدْ قَضَى جُمُعَتَهُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ "
Telah menceritakan kepada kami Abul-Ahwash, dari
‘Abdul-A’laa, dari Abu ‘Abdirrahmaan, ia berkata : “Telah berkumpul dua hari
raya di jaman ‘Aliy, lalu ia shalat bersama orang-orang. Kemudian ia
berkhuthbah di atas ontanya. Ia berkata : ‘Wahai sekalian manusia, barangsiapa
di antara kalian menyaksikan ‘Ied, sungguh ia telah melaksanakan shalat
Jum’atnya, insya Allah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/187
(4/242) no. 5888].
Riwayat ini lemah dengan sebab ‘Abdul-A’laa bin ‘Aamir
Al-Kuufiy. Akan tetapi ia dikuatkan oleh riwayat sebelumnya.
Tersisa satu pertanyaan :
“Seandainya shalat ‘Ied telah menggugurkan shalat
Jum’atnya, apakah ia masih harus mengerjakan shalat Dhuhur ?”.
Jawab :
Para ulama berbeda pendapat. Sebagian mereka berpendapat
bahwa shalat ‘Ied otomatis juga menggugurkan shalat Dhuhurnya. Di antara ulama
yang dikatakan berpendapat demikian adalah ‘Athaa’ bin Abi Rabbaah rahimahullah
berdasarkan riwayat yang telah disebutkan di atas bahwa Ibnuz-Zubair radliyallaahu
‘anhu tidak menambahkan shalat (setelah pelaksanaan ‘Ied) hingga shalat ‘Ashar.
Alasan lain, kewajiban pokok pada hari Jum’at adalah shalat Jum’at, dan shalat
Dhuhur adalah penggantinya (bagi yang tidak melaksanakan shalat Jum’at). Jika
yang pokok telah gugur, maka penggantinya pun otomatis gugur.
Ulama lain berpendapat bahwa kewajiban yang gugur
hanyalah shalat Jum’atnya saja, dan ia tetap harus mengerjakan shalat Dhuhur
(jika tidak mengerjakan shalat Jum’at). Pendapat inilah yang raajih.
Dalil mereka dan sekaligus jawaban terhadap pendapat pertama adalah sebagai
berikut :
Pertama : Firman Allah ta’ala :
أَقِمِ الصَّلاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ
إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ
مَشْهُودًا
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir
sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) shubuh. Sesungguhnya salat
shubuh itu disaksikan (oleh malaikat)” [QS. Al-Israa’ : 78].
Ayat di atas telah menjelaskan waktu-waktu shalat secara
global. Firman Allah ta’ala {لِدُلُوكِ
الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ} ‘dari sesudah matahari
tergelincir sampai gelap malam’; mengandung empat macam waktu
shalat, yaitu Dhuhur, ‘Ashar, Maghrib, dan ‘Isya’. Dan kemudian ditambah satu
lagi dengan kelanjutannya : {وَقُرْآنَ الْفَجْرِ} ‘dan
Qur’aanal-Fajr’ – yaitu waktu Fajar/Shubuh.
Oleh karena itu, yang menjadi asal/pokok kewajiban adalah
shalat Dhuhur. Barangsiapa yang luput mengerjakan shalat Jum’at, ia tetap wajib
mengerjakan shalat Dhuhur. Shalat ‘Ied sendiri hukumnya hanyalah sunnah
muakkadah saja menurut pendapat yang shahih. Jika demikian, bagaimana shalat
sunnah dapat menggugurkan shalat wajib (shalat Jum’at dan Dhuhur sekaligus) ?.
Kedua : Dalil-dalil yang berbicara tentang berkumpulnya dua
hari raya di atas hanyalah menyatakan penguguran kewajiban menghadiri shalat
Jum’at saja. Tidak ada satu pun yang menyatakan adanya pengguguran kewajiban
shalat Dhuhur.
Ketiga : Tidak ada riwayat
shahih dan sharih dari salaf yang menyatakan adanya pengguguran shalat Dhuhur
dan shalat Jum’at sekaligus ketika telah dilakukan shalat ‘Ied. Bahkan ‘Athaa’ sendiri mengerjakan shalat Dhuhur :
عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ، قَالَ:
صَلَّى بِنَا ابْنُ الزُّبَيْرِ فِي يَوْمِ عِيدٍ فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ أَوَّلَ
النَّهَارِ، ثُمَّ رُحْنَا إِلَى الْجُمُعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا
فَصَلَّيْنَا وُحْدَانًا " وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِالطَّائِفِ، فَلَمَّا
قَدِمَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ: أَصَابَ السُّنَّةَ
Dari ‘Athaa’ bin Abi Rabbaah, ia berkata : “Ibnuz-Zubair
shalat bersama kami pada hari ‘Ied yang bertepatan dengan hari Jum’at di awal
siang. Kemudian kami berangkat untuk shalat Jum’at, namun ternyata ia tidak
keluar untuk mengimami kami. Lalu kami pun shalat sendiri. Waktu itu, Ibnu
‘Abbaas berada di Thaaif. Ketika pulang (ke Madiinah), kami menyebutkan hal itu
kepadanya, lalu ia berkata : ‘Ia telah melakukan sesuai dengan sunnah”
[Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1071].
Perkataan ‘kami pun shalat sendiri’ menunjukkan ia
tetap mengerjakan shalat Dhuhur, karena pada waktu itu, shalat Jum’at tidak
didirikan.
Keempat :
Pernyataan bahwa Ibnuz-Zubair radliyallaahu ‘anhumaa tidak menambahkan
shalat hingga shalat ‘Ashar didasarkan fakta bahwa ‘Athaa’ tidak melihat
Ibnuz-Zubair keluar rumah mengimami manusia, sebagaimana terdapat dalam riwayat
Ibnu Abi Syaibah 2/187 (4/243) no. 5891 di atas. Namun, menyimpulkan fakta ini sebagai dalil Ibnuz-Zubair tidak mengerjakan shalat Dhuhur terlalu lemah, karena bukan mustahil Ibnuz-Zubair mengerjakan shalat Dhuhur di rumah sehingga tidak diketahui 'Athaa' rahimahullah.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullah ketika
ditanya apakah ‘Ied juga otomatis menggugurkan shalat Dhuhur, beliau menjawab :
الصواب في ذلك أنه يجب عليه إما صلاة الجمعة
مع الإمام، لأن الإمام سوف يقيم الجمعة، وإما صلاة الظهر؛ لأن عموم قوله تعالى: {أقم
الصّلوٰة لدلوك الشّمس إلىٰ غسق الّيل وقرءان الفجر إنّ قرءان الفجر كان مشهوداً}
(يعني لزوالها)، {إلىٰ غسق الّيل وقرءان الفجر إنّ قرءان الفجر كان مشهوداً} يتناول
يوم العيد الذي وافق يوم الجمعة.
وعلى هذا فيجب على المرء إذا صلى مع الإمام
يوم العيد الذي وافق يوم الجمعة، يجب عليه إما أن يحضر إلى الجمعة التي يقيمها الإمام،
وإما أن يصلي صلاة الظهر، إذ لا دليل على سقوط صلاة الظهر، والله تعالى يقول: {أقم
الصّلوٰة لدلوك الشّمس إلىٰ غسق الّيل وقرءان الفجر إنّ قرءان الفجر كان مشهوداً}،
والظهر فرض الوقت وقد قال النبي صلى الله عليه وسلم: "وقت الظهر إذا زالت الشمس".
“Yang benar tentang hal tersebut, tetap wajib
baginya, apakah ia mengerjakan shalat Jum’at bersama imam karena imam akan
menegakkan shalat Jum’at; atau ia mengerjakan shalat Dhuhur, karena keumuman
firman-Nya ta’ala : ‘Dirikanlah
shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah
pula shalat) shubuh. Sesungguhnya shalat shubuh itu disaksikan (oleh malaikat)’ (QS. Al-Israa’ : 78), yaitu : setelah
tergelincirnya matahari. ‘Sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat)
shubuh. Sesungguhnya shalat shubuh itu disaksikan (oleh malaikat)’; mencakup
hari ‘Ied yang bertepatan dengan hari Jum’at.
Oleh karena itu, wajib bagi
seseorang pada hari ‘Ied yang bertepatan dengan hari Jum’at, wajib baginya
apakah ia menghadiri shalat Jum’at yang ditegakkan oleh imam, ataukah
mengerjakan shalat Dhuhur karena tidak ada dalil yang menyatakan gugurnya
shalat Dhuhur. Dan Allah ta’ala berfirman : ‘Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir
sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) shubuh. Sesungguhnya salat
shubuh itu disaksikan (oleh malaikat)’ (QS. Al-Israa’ : 78). Dhuhur adalah waktu yang wajib (untuk shalat).
Dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : ‘Waktu
Dhuhur adalah ketika matahari mulai tergelincir” [sumber : http://ar.islamway.com/fatwa/18682].
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – ciomas permai, 21102012. Bahan bacaan : Tanwiirul-‘Ainain
oleh Abul-Hasan Al-Ma’ribiy, Subulus-Salaam oleh Ash-Shan’aniy, dan yang
lainnya].
Comments
terus kesimpulannay gmn tadz?
Ustadz, sbenarnya topik ini sangat bagus. namun ada baiknya ditarik kesimpulan dg bahasa yg dpt dipahami oleh org2 spt sy yg msh awam ini. jd, bahasa bahasa istilah boleh tp minta tlg diartikan sekalian ustadz. terimaksih ustadz abul jauza..
@El-Haqiqy dan @Anonim,....
Bukankah di atas telah saya sebutkan sebagian kandungan hukumnya. Silakan baca di bagian "Kesimpulan hukum yang dapat ditarik dari atsar Ibnuz-Zubair radliyallaahu ‘anhu. Silakan terus baca ke bawah....
Jd kesimpulannya bila sudah sholat ied, mw keluar utk sholat Jumat boleh, atau sholat zhuhur sendiri boleh. Yg ga boleh meninggalkan keduanya. Apa betul ust?
Tul !
saya insya allah - jum'at mendatang sehabis sholat 'id merencanakan safar dengan jarak -/+ 200 km saja.
lebih utama mana - sholat jum'at atau sholat dhuhur lengkap atau di qosor.
karena pakai kendaraan pribadi saya tidak kesulitan untuk berhenti sholat jum;at - demikian juga kalaupun harus sholat dhuhur tanpa harus mengqosor-nya.
terimakasih ustad
Ustadz mohon berkenan membahas tentang sholat dhuhur di hari jumat, karena selama ini saya berpemahaman bahwa tidak ada sholat dhuhur di hari jumat. Mengapa sholat jumat dianggap sebagai pengganti sholat dhuhur? Barokallofikum.
Terimakasih uraiannya mas.
Yang penting kita tidak meninggalkan kewajiban solat yang 5 waktu itu.
Apakah solat i'd itu wajib?
Para ulama banyak yang berpendapat tentang hal itu.
Yang sudah jelas wajibnya ya itu tadi salat lima waktu termasuk salat jum'at.
Kalaupun meninggalkan solat jum'at berarti meniadakan kewjiaban yang sudah benar-benar wajib hukumnya.
Keternagan lebih jelas lihat di kitab Fathul Bari Ibnu Rajab.
Salam kenal mas, kunjung balik ya..
Ustadz, mohon artikel tersendiri tentang hal berikut:
"Shalat ‘Ied sendiri hukumnya hanyalah sunnah muakkadah saja menurut pendapat yang shahih"
Karena sangat jarangnya kami mendapatkan penjelasan ilmiyyah (yang lebih detail) dari pendapat ini...
Jazaakumullaahu khayran
@ Abbas: Assalamu'alaykum ustadz, utk pengerjaan sholat dluhur itu sendiri d masjid atau d rumah? apakah berjma'ah? Syukron
@Anonim 23 Oktober 2012 08:46,... pertanyaan antum masuk ranah bahasan hukum shalat Jum'at bagi musafir. Silakan baca artikel : Hukum Shalat Jum'at Bagi Musafir.
=====
@Anonim 25 Oktober 2012 07:23,.... Jika shalat Jum'at ditegakkan, lebih baik ikut shalat Jum'at karena akan mendapatkan kebaikan dari pahala shalat berjama'ah dan mendengarkan taushiyyah (ketika khuthbah). Jika shalat Jum'at tidak ditegakkan namun shalat Dhuhur ditegakkan di masjid, lebih baik mengikuti shalat Dhuhur berjama'ah di masjid.
wallaahu a'lam.
By: Mas Yudith Yang Sedang Belajar
Assalamu`alaikum maaf bagaimana dengan artikel berikut ini mohon penjelasan ustadz:
Tetap Wajib Shalat Jumat
Ibnu Abdil Barr al Maliki mengatakan, “Sungguh telah jelas dalam riwayat yang ada bahwa Rasulullah tetap shalat Jumat bersama banyak orang saat hari Jumat bertepatan dengan hari raya. Hal ini adalah dalil bahwa kewajiban shalat Jumat atau shalat Zhuhur tetap ada pada hari itu, tidak gugur. Sedangkan keringanan untuk tidak shalat Jumat itu berlaku untuk orang orang badui [yang posisi tempat tinggalnya jauh dari kota Madinah] yang ikut melaksanakan shalat Ied. Mereka ini pada dasarnya tidak berkewajiban untuk mengerjakan shalat Jumat. Penjelasan semacam inilah yang ditopang oleh berbagai kaedah syariat dan didukung oleh banyak dalil. Sedangkan penjelasan selainnya itu tidak memiliki dalil tidak pula hujjah” [at Tamhid 10/274-Syamilah-].
Ibnu Rusyd al Maliki mengatakan, “Ulama yang berpegang dengan perkataan Utsman itu menilai bahwa pernyataan Utsman semacam ini itu tidak murni berasal dari beliau namun berdasarkan petunjuk Nabi dan pendapat ini tidaklah menyimpang dari kaedah kaedah syariat. Sedangkan menggugurkan kewajiban shalat Zhuhur dan Jumat padahal shalat Jumat itu pengganti Zhuhur gara gara mengerjakan shalat hari raya maka pendapat ini sangat jauh menyimpang dari kaedah syariat kecuali jika memang ada dalil tegas dari syariat yang menyatakan demikian maka kita wajib mengacu dalil” [Bidayatul Mujtahid 1/175].
Wal hasil pendapat yang terkuat dalam masalah ini adalah pendapat Imam Syafii yang menggugurkan kewajiban shalat Jumat bagi orang yang karena jarak tempat tinggalnya dengan masjid shalat Jumat itu kesulitan untuk menghadiri shalat Jumat mengingat perkataan Ustman yang merupakan shalat satu khulafaur rasyidin yang Nabi perintahkan kita untuk mengikutinya tanpa ada satu pun shahabat yang menyalahkannya. Sehingga orang yang akses ke masjid itu mudah wajib untuk tetap shalat Jumat meski sudah mengerjakan shalat hari raya.
Pendapat Utsman yang beliau fatwakan di hadapan para shahabat itu lebih layak untuk diikuti dibandingkan pendapat pribadi selainnya. Orang yang akses ke masjid itu mudah baginya tidaklah kerepotan untuk harus pergi ke masjid dan hal itu tidaklah mengganggu suasana hari raya bagi mereka.
Permasalahannya ada riwayat dari Ibnu Zubair radliyallaahu 'anhumaa yang disebutkan di atas. Meskipun sanadnya mauquf, tapi dihukumi marfuu' karena ada statement bahwa yang dikerjakan Ibnuz-Zubair sesuai dengan sunnah. Ibnuz-Zubair waktu itu berposisi sebagai amir, dan ia tidak menyelenggarakan shalat Jum'at. Jika demikian, maka gugurnya kewajiban shalat Jum'at itu tidak disyaratkan bagi yang jauh tempatnya saja. Ditambah lagi beberapa dua riwayat lemah yang disebutkan sebelumnya sebagai syahid perbuatan Ibnuz-Zubair radliyallaahu 'anhumaa. Juga ada atsar dari 'Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu 'anhu.
wallaahu a'lam.
Karena sesungguhnya kita telah dikumpulkan”
potongan hadits ini sering kali diterjemahkan 'akan tetapi kami tetap melaksanakan shalat Jumat'.
yang benar yang mana ust dan apa alasannya?
ustadz, jika ada yang tidak melaksanakan shalat jumat dan shalat zuhur bagaimana hukumnya... dia berpegang pada pendapat ulama dari riwayat ibnu zubair yang menggugurkan shalat jum'at dan shalat zuhur..
mohon dijawab ustadz..
Posting Komentar