Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang norma/kaedah dalam permasalahan penghalalan (istihlaal) yang mewajibkan pengkafiran bagi pelakunya; maka beliau menjawab :
الاستحلال هو أن يعتقد حلّ ما حرّمه الله أما الاستحلال الفعليّ فينظر : إن كان هذا الاستحلال مما يكفِّر فهو كافر مرتدّ ، فمثلاً : لو أنّ الإنسان تعامل بالرِّبا ، لا يعتقد أنّه حلال لكنّه يصرُّ عليه ، فإنه لا يكفر ؛ لأنّه لا يستحلّه ، ولكن لو قال : إنَّ الرِّبا حلال ويعني بذلك الرِّبا الذي حرَّمه الله ، فإنه يكفر ، لأنّه مكذِّب لله و رسوله صلى الله عليه وسلم.
الاستحلال إذن : استحلال فعليّ ، واستحلال عقديّ بقلبه ، فالاستحلال الفعليّ ينظر فيه للفعل نفسه ، هل يكفِّر أم لا ؟ و معلوم أن أكل الرِّبا لا يكفر به الإنسان ، لكنّه من كبائر الذُّنوب ، أما لو سجد لصنم فهذا يكفر لماذا ؟ لأن الفعل يكفِّر ؛ هذا هو الضابط لكن لابد من شرط آخر وهو ألا يكون هذا المستحلُّ معذوراً بجهله، فإن كان معذوراً بجهله فإنه لا يكفر
“Penghalalan (istihlaal) adalah meyakini kehalalan apa-apa yang telah diharamkan oleh Allah. Adapun penghalalan (istihlaal) dalam amal perbuatan, maka itu dilihat : Apabila penghalalan (istihlaal) tersebut termasuk hal yang menjadikan pelakunya kafir, maka ia pun kafir lagi murtad. Misalnya : Apabila ada seseorang yang bermuamalah dengan riba, namun ia tidak berkeyakinan hal tersebut halal walaupun ia terus-menerus melakukannya, maka ia tidak dikafirkan – karena ia tidak menghalalkannya. Namun bila ia berkata : ‘Sesungguhnya riba itu halal’ – yaitu riba yang diharamkan Allah - , maka ia dikafirkan karena ia telah mendustakan Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karena itu, penghalalan (istihlaal) itu ada dua macam : penghalalan dalam amal perbuatan (istihlaal fi’liy) dan penghalalan dengan keyakinan di hatinya (istihlaal ‘aqdiy). (Tentang permasalahan) penghalalan dalam amal perbuatan, maka itu dilihat dari amal perbuatan itu sendiri, apakah ia menyebabkan pengkafiran atau tidak ? Telah diketahui bahwasannya memakan harta riba tidak menyebabkan pengkafiran seseorang, namun ia termasuk dosa besar. Seandainya ia sujud kepada berhala, maka ia pun dikafirkan. Kenapa ? Karena perbuatan itu merupakan jenis perbuatan yang dapat mengkafirkan. Inilah norma/kaedahnya. Akan tetapi, wajib diperhatikan adanya persyaratan yang lain, yaitu orang yang menghalalkan tersebut tidak memiliki udzur karena ketidaktahuannya. Seandainya ia mempunyai udzur karena ketidaktahuannya, maka ia tidak dikafirkan”.
[Liqaa’ul-Baabil-Maftuuh/Pertemuan Terbuka, no. 1200 oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah – http://abul-jauzaa.blogspot.com]. - lanjut bacanya ke sini.
Comments
assalamualaikum ustadz yg mulia
Bagaimana perkataan yg mengatakan bhw amal dzahirah itu tdk bisa bikin kafir dikarenakan dia merupakan cakupan kamalul iman, sehingga perlu juhud dan istihlal buat menjadikan kafir??
Apakah yg begini disebut jahmiyah/murjiah?
bagaiman pula amalan yg bisa mengkafirkan seperti sujud pd berhala dll yg tdk perlu istihlal buat mengkafirkannya?? apakah ini bisa disebut masuk cakupan ashlul kufr??
jazakallahu khairan
Antum sudah bertanya di sini; dan telah saya jawab di situ.
afwan..ustad, ana baru bertanya ya disini ini, dan g ada tanya ditempat lain...mungkin temanya aja sama, tp yg antum tunjukkan kok malah bingung ana nyarinya..dan untuk afdolnya silakan antum jawab aja dg singkat biar penjelasan tambahan ana cari lagi di link yg antum tunjukkan
Jazakallahu khairan
Di link yang saya tunjukkan, terdapat pertanyaan yang sama dan dikirimkan dalam waktu yang hampir bersamaan. Mohon maaf jika beda orang, tapi akan saya kopi pastekan apa yang telah saya jawab :
"Perkataan Anda mengandung ambiguitas, karena tidak membedakan antara bahasan meninggalkan sesuatu dan melakukan sesuatu.
Dalam bahasan meninggalkan sesuatu (at-tark), maka sesuatu yang ditinggalkan dari macam kewajiban amal dhahir tidaklah mengkonsekuensikan kekafiran jika tidak disertai istihlaal. Namun sebagian ulama ada yang tetap mengkafirkan tanpa syarat disertai istihlal jika meninggalkan salah satu atau lebih amal perbuatan yang empat (selain syahadat) dalam rukun Islam - sebagaimana dijelaskan Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmuu' Al-Fataawaa-nya. Mengapa ? Karena sebagian ulama ada yang berpendapat sebagian amal dhahir dalam rukun Islam yang empat itu masuk dalam cakupan ashlul-iman.
Namun dalam bahasan melakukan sesuatu (al-fi'l), maka kekafiran tetap dapat jatuh melalui amal dhahir walau tanpa disertai istihlaal, seperti mencaci-maki Allah dan Rasul-Nya, sujud kepada berhala, membuang mushhaf ke tempat yang hina, dan yang semisal itu" [selesai].
Jadi,.... perkataan antum tentang amal dhaahirah itu mesti dibedakan antara bahasan meninggalkan sesuatu dan melakukan sesuatu.
bagaimana perkataan ttg bahasan al fi'l spt menyembah patung?? apa ini merupakan ashlul kufr sehingga yg melakukan dijamin kafier tnpa dilihat juhud dan istihlaalnya??
jazakallahu khairan
Bagaimana dg kisah seseorang sahabat yang di utus oleh Rosululloh untuk membunuh seseorang yang menikahi ibu tirinya ?. kenapa tidak ditanyakan "apakah kamu menghalalkannya?", tapi kenapa langsung dibunuh ?
Para ulama telah menjelaskan hal itu.
Perintah membunuh itu karena Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam telah mengetahui bahwasannya laki-laki tersebut telah menghalalkan perbuatan yang ia lakukan, bukan sekedar alasan perbuatan yang dilakukannya saja.
Termasuk kebiasaan orang Jahiliyyah dahulu adalah bahwa mereka menghalalkan menikahi istri dari ayah mereka, dimana hal itu terhitung sebagai warisan. As-Sindiy rahimahullah menjelaskan hadits tersebut berkata : "... Orang tersebut telah menempuh jalan orang Jaahiliyyah dalam penghalaln perbuatan tersebut, sehingga ia pun menjadi murtad. Ia pun dibunuh dengan sebab itu" [Syarh Sunan An-Nasaa'iy, di atas hadits no. 3332].
Begitu juga Imam Ahmad yang berkata : "Kami memandang bahwa - wallaahu a'lam - perbuatan tersebut darinya dilakukan atas dasar penghalalan (istihlaal)" [Masaail Al-Imaam Ahmad bi-riwaayati 'Abdillah, 3/1085/1498].
Hal yang sama dikatakan Ath-Thahawiy [Syarh Ma'aanil-Aatsaar, 3/149] dan Asy-Syaukaaniy [Nailul-Authaar, 7/131].
Silakan baca :
Hadits Seseorang yang Menikahi Istri Ayahnya.
pak ustadz, afwan saya masih belum paham. yang ana tanyakan apakah orang yang menikahi ibu tirinya itu mengatakan "halalnya" menikahi ibu tirinya atau orang tersebut tidak mengatakan seperti itu tapi perbuatannya itulah sbg bentuk penghalalan ?. mohon dicantumkan "kronoligs" terjadinya kejadian tersebut tadz.
dan gimana kaitannya jika ada org mengaku muslim tapi dia menyembah kuburan dan patung tapi "dihatinya " dia tidak menghalalkannya ?
Saya belum menemukan kronologis yang shahih yang mengawali atau menghantarkan hadits tersebut. Akan tetapi memahami satu hadits perlu merujuk pada pemahaman ulama. Tidak boleh keluar dari pemahaman yang telah disepakati oleh mereka.
Hadits tersebut tidaklah dipahami secara dhahirnya, bahwa hukum orang yang berzina dengan ibunya adalah kafir. Tidak ada ulama yang memahami itu. Oleh karena itu, para ulama memahami bahwa konteks pembunuhan dan kekafiran orang yang menzinahi ibunya itu dikarenakan adanya penghalalan (dalam hati), bukan sekedar penghukuman perbuatannya.
Menyembah kubur atau patung atau matahri atau yang sejenisnya adalah amal perbuatan yang dapat menyebabkan kekufuran tanpa perlu adanya istihlaal qalibiy (penghalalan hati). Namun bukan berarti ketika kita melihat seseorang melakukan perbuatan tersebut langsung dapat kita vonis kafir. Syaikhul-Islaam rahimahullah berkata :
وليس لأحد أن يكفر أحدًا من المسلمين ـ وإن أخطأ وغلط ـ حتي تقام عليه الحجة، وتبين له المحَجَّة، ومن ثبت إسلامه بيقين لم يزل ذلك عنه بالشك، بل لا يزول إلا بعد إقامة الحجة، وإزالة الشبهة.
“Dan tidak boleh bagi seorangpun untuk mengkafirkan orang lain dari kaum muslimin – walau ia bersalah dan keliru – sampai ditegakkan padanya hujjah dan dijelaskan kepadanya bukti dan alasan. Barangsiapa yang telah tetap ke-Islam-an padanya dengan yakin, maka tidaklah hilang darinya hanya karena sebuah keraguan. Bahkan tidak hilang kecuali setelah ditegakkan kepadanya hujjah dan dihilangkan darinya syubhat” [Majmuu’ Al-Fataawaa oleh Ibnu Taimiyyah, 12/466].
Maka tetap harus dilakukan iqaamatul-hujjah, barangkali yang bersangkutan melakukannya karena terpaksa atau kebodohan.
Baca juga : 'Udzur Atas Kejahilan dalam Permasalahan 'Aqiidah.
antum menjelaskan (seperti perkataan ibnu taimiyah) bhw orang yang "mengaku" islam lalu ia meminta-minta kekuburan kita tdk boleh serta merta mengkafirkannya. dalam hal ini ana sepakat, tapi yang jadi pertanyaan apakah ia tetap disebut muslim atau ia disebut musyrik karena belum iqomatul hujjah ?.
Kalo kita tetap menyebut ia muslim kok terasa aneh karena definisi muslim itu tidak mungkin orang yang berbuat syirik. gimana pak ustad ?
Kalau tidak muslim, lantas mau disebut apa ?. Selama belum hilang status keislamannya dan beralih kepada kekafiran, ya muslim namanya.
Syaikh Hamd ibnu ‘Athiq rahimahullah mengatakan:
“Ulama ijma (sepakat), bahwa orang yang memalingkan satu macam dari dua do’a kepada selain Allah, maka dia telah musyrik walaupun mengucapkan Laa ilaaha illallaah, dia shalat dan zakat serta mengaku muslim”.
(Ibthalut Tandid Bikhtishar Syarh Kitab Tauhid, hal: 67)
Al Imam Su’ud Ibnu ‘Abdil Aziz Ibnu Muhammad Ibnu Su’ud rahimahullah berkata :
“Siapa yang memalingkan sebagian dari (ibadah-ibadah) itu kepada selain Allah, maka dia itu musyrik, sama saja dia itu ahli ibadah atau orang fasiq dan sama saja tujuannya itu baik ataupun buruk.” [Ad Durar As Saniyyah : 9/270]
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata :
“Sesungguhnya orang yang melakukan Syirik itu telah meninggalkan tauhid, karena sesungguhnya keduanya (syirik dan tauhid) itu adalah dua hal yang kontradiksi yang tidak bisa bersatu, sehingga kapan saja syirik itu ada maka tauhid hilang.” [Syarah Ashli Dien Al Islam dalam Al-Jami Al Farid : 380]
Beliau berkata juga :
“Siapa yang memalingkan sebagiannya kepada selain Allah maka dia musyrik.” [Ad Durar As Saniyyah : 2/161, cetakan pertama]
Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya Islam dan Syirik adalah dua hal yang berseberangan yang tidak bisa bersatu kedua-duanya dan tidak bisa hilang kedua-duanya.” [Minhaj At Ta’sis : 12]
Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata :
“Siapa yang beribadah kepada selain Allah, menjadikan tandingan bagi Rabbnya dan menyamakan antara-Nya dengan yang lainnya dalam hak khusus-Nya, maka pantas dikatakan atasnya bahwa dia itu musyrik yang sesat bukan muslim, meskipun dia itu memakmurkan masjid dan mengumandangkan seruan adzan, karena dia itu tidak komitmen dengannya. Sedangkan sumbangan harta dan berlomba-lomba atas amalan yang nampak bila disertai dengan meninggalkan hakikatnya (yaitu tauhid) maka hal itu tidaklah menunjukan akan Islam.” [Mishbah Adh Dhalam : 17]
Syaikh Abdullah Ibnu Abdurrahman Aba Buthain rahimahullah berkata :
“Dan orang yang mengucapkan Laa Ilaha Illallah namun dia suka melakukan syirik akbar, seperti meminta kepada mayit atau yang ghaib, memohon kepada mereka pemenuhan kebutuhan dan diselamatkan dari bencana, taqarrub kepada mereka dengan nadzar dan sembelihan, maka dia itu musyrik, mau tidak mau.” [risalah makna kalimat At Tauhid yang diterbitkan bersama dengan Al Kalimaat An Nafi’ah : 106]
Syaikh Abdullah Aba Buthain yang sebagai mufti negeri Nejed rahimahullah berkata juga :
“Orang pelaku syirik adalah musyrik, mau tidak mau, sebagaimana sesungguhnya pemakan riba itu adalah muraabi mau tidak mau, meskipun dia tidak menamakan apa yang dilakukannya riba, dan peminum khamar itu adalah peminum khamar meskipun dia menamakannya dengan nama lain.” [Risalah Al Intishar Lihizbillahil Muwahidin War Raddu ‘Alal Mujadil ‘Anil Musyrikin : 12 digabung dengan Aqidatul Muwahhidin]
Silakan baca artikel:
Madzhab Kibaar Ulama dalam ‘Udzur Kejahilan pada Permasalahan Kufur dan Syirik.
Apakah istihlaal ini (dalam bentuk keyakinan atau perbuatan) bisa juga berlaku dalam hukum pemerintah?
Contoh: Yang menganggap naik motor jika dekat atau tdk ketahuan polisi tidak masalah. Atau yang mengatakan hal seperti itu boleh
Posting Komentar