Hadits Seseorang yang Menikahi Istri Ayahnya



An-Nasaa’iy rahimahullah berkata :
أَخْبَرَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ مُحَمَّدٍ الدُّورِيُّ، قَالَ: ثنا يُوسُفُ بْنُ مُنَازِلٍ، قَالَ: ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ، قَالَ: ثنا خَالِدُ بْنُ أَبِي كَرِيمَةَ، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ قُرَّةَ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ أَبَاهُ، جَدَّ مُعَاوِيَةَ، إِلَى رَجُلٍ عَرَّسَ بِامْرَأَةِ أَبِيهِ، فَضَرَبَ عُنُقَهُ، وَخَمَّسَ مَالَهُ
Telah mengkhabarkan kepada kami Al-‘Abbaas bin Muhammad Ad-Duuriy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yuusuf bin Munaazil, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Idriis, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Khaalid bin Abi Kariimah, dari Mu’aawiyyah bin Qurrah, dari ayahnya : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus ayahnya - kakek Mu’aawiyyah – pada seseorang yang menikahi istri ayahnya. Maka ia membunuhnya dan membagi hartanya menjadi lima bagian (untuk diambil) [As-Sunan Al-Kubraa no. 7186; sanadnya hasan sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar dalam Al-Ishaabah 1/314].
Tidak diragukan lagi bahwa menikahi istri ayah merupakan perbuatan zina yang masuk katagori dosa besar. Allah ta’ala berfirman :
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” [QS. Al-Israa’ : 32].
وَلا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلا
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)” [QS. An-Nisaa’ : 22].
Artikel kali ini tidak akan membahas perincian hukum orang yang menikahi atau berzina dengan istri ayahnya atau dengan mahramnya. Bahasan artikel ini lebih fokus pada sebagian fiqh hadits terhadap status orang yang dibunuh dalam hadits di atas.
Stright to the point :
Pembagian harta orang yang dibunuh menjadi lima menunjukkan bahwa harta tersebut terhitung sebagai harta fai’.[1] Harta fai’ sendiri definisinya adalah : semua harta yang diambil dari orang kafir tanpa melalui jalan peperangan[2]. Dari sini dapat diketahui bahwa orang yang dibunuh di atas dihukumi sebagai orang kafir/murtad.
Timbul sedikit kemusykilan. Mengapa orang itu dihukumi kafir oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?. Apakah ia dikafirkan hanya dengan sebab perbuatan menikahi istri ayahnya, atau ada sebab lain ?.
Jawab : Orang itu dikafirkan bukan sekedar karena perbuatan maksiat yang dilakukannya, namun karena adanya pengetahuan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adanya istihlaal atas perbuatannya. Yang menunjukkan hal itu adalah :
1.     Para ulama berbeda pendapat tentang hukum orang yang menikahi mahramnya.
Pendapat pertama mengatakan bahwa barangsiapa yang yang menikahi ibunya, anak perempuannya, atau mahram (wanita)-nya; atau berzina dengan salah satu diantara mereka, hukumnya sama yaitu dijatuhi hadd zina. Ia adalah pendapat yang dipegang Al-Hasan Al-Bashriy, madzhab Maalikiyyah, satu riwayat dari madzhab Al-Imaam Ahmad, serta Abu Yuusuf dan Muhammad bin Al-Hasan dari kalangan Hanafiyyah rahimahumullah.
Pendapat kedua mengatakan barangsiapa yang mendatangi (menjima’i) mahramnya, maka ia dihukum bunuh secara mutlak. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh Ahmad dalam salah satu riwayat darinya, Ishaaq, Abu Ayyuub, Ibnu Abi Khaitsamah, dan sekelompok ulama salaf dan khalaf rahimahumullah.[3]
Pendapat ketiga mengatakan bahwa barangsiapa yang mendatangi (menjima’i) mahramnya dengan adanya akad pernikahan yang diketahui oleh ulil-amri, maka ia dihukum ta’ziir dengan keras. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh Sufyaan Ats-Tsauriy dan Abu Haniifah rahimahumallah.
Namun,.... tidak ada satupun ulama mengatakan hukum bunuh yang dijatuhkan atas orang yang menikahi atau menjimai mahramnya merupakan hukum bunuh yang disebabkan atas kekafirannya. Atau dengan kata lain, tidak ada satupun ulama yang memperhitungkan perbuatan menikahi atau menzinahi mahram sebagai perbuatan yang mengeluarkan seseorang dari Islam (murtad).
2.     Beberapa ulama menjelaskan bahwa orang yang dibunuh dalam hadits di atas telah melakukan penghalalan (istihlaal) atas perbuatan maksiat yang dilakukannya.
Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata : “Kami berpendapat – wallaahu a’lam – bahwasannya perbuatan tersebut darinya didasari atas istihlaal” [Masaailul-Imaam Ahmad bi-Riwaayati ‘Abdillah, hal. 309 no. 1295].
Ath-Thahawiy rahimahullah berkata : “Bahwasannya orang yang menikah tersebut telah melakukan perbuatannya didasarkan atas istihlaal sebagaimana yang dilakukan orang-orang di jaman Jaahiliyyah. Ia pun menjadi kafir dengan sebab itu. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar ia diperlakukan seperti perlakuan untuk orang murtad” [Syarh Ma’aanil-Aatsaar, 3/149].
Al-Maawardiy rahimahullah berkata : “Karena orang tersebut menghalalkannya, hingga ia pun menjadi murtad. Hartanya menjadi harta fai’ dengan sebab kemurtadannya. Dan jika ia tidak menghalalkannya, hadits itu dibawa pada pengertian bahwa pembunuhan yang dilakukan padanya terhitung sebagai hadd dan pengambilan hartanya yang kemudian membaginya menjadi lima merupakan hukuman (tambahan)” [Al-Haawiy Al-Kabiir, 11/287].
As-Sindiy rahimahullah berkata : “Maka orang tersebut telah menempuh jalan orang-orang Jahiliyyah dalam penghalalan perbuatan tersebut[4], hingga ia pun murtad. Ia dibunuh dengan sebab itu. Ini adalah ta’wil hadits menurut orang yang tidak berkata menurut dhahirnya” [Syarh Sunan An-Nasaa’iy, di atas hadits no. 3332].
Istihlaal menurut ulama Ahlus-Sunnah adalah meyakini kehalalan sesuatu yang diharamkan Allah ta’ala. Istihlaal tidaklah dapat dijatuhkan hanya sekedar seseorang melakukan atau terus menerus melakukan perbuatan yang diharamkan Allah ta’ala. Silakan baca penjelasan lebih lanjut mengenai istihlaal ini dalam artikel :
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, 12122012, 00:12].



[1]      Ahkaamul-Qur’aan oleh Al-Jashshaash, 3/40.
[2]      Allah ta’ala berfirman :
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِنْ كُنْتُمْ آمَنْتُمْ بِاللَّهِ وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnusabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” [QS. Al-Anfal : 41].
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu” [QS. Al-Hasyr : 7].
[3]      Ibnu ‘Abbaas, ‘Abdullah bin Mutharrif, Abu Burdah, Ibnul-Musayyib, Abusy-Sya’tsaa’, dan yang lainnya.
[4]      Termasuk adat yang berlaku di kalangan orang-orang Jahiliyyah dahulu adalah mereka menghalalkan menikahi istri dari ayah-ayah mereka setelah meninggal, dengan menganggapnya sebagai bagian harta warisan. Oleh karena itu Allah ta’ala mengkhususkan penyebutan larangan melalui firman-Nya :
وَلا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلا
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)” [QS. An-Nisaa’ : 22].

Comments

Anonim mengatakan...

Yang benar "strike to the point" atau "straight to the point" stadz?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

strike

Anonim mengatakan...

afwan ust, yg bener keknya 'straight to the point'

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ya, terima kasih. Barusan buka lagi kamus online, dan memang benar apa yang antum kata. It means :

"to be concise in your speaking, to say exactly what you mean, plainly".

Akan saya edit.

Anonim mengatakan...

assalamualaikum
ustadz..antara kawin dg zina kan jelas sekali bedanya , mungkin klw pengertiannya dibawa kearah zina tnp akad akan cocok perkataan bhw hukum bunuh tsb adalah had dan perampasan harta adalah hukum"Tambahan", krn telah diketahui dg adanya nikah merupakan suatu bentuk penghalalan diakui atau tidaknya oleh pelaku mk hal ini punya konsekuensi otomatis bhw perbuatan menikah tsb adalah bentuk penghalalan sehingga hukumnya adalah bunuh dan perampasan harta dikarenakan dia telah kafir/murtad....begitu ya tadz??