Istihlaal


Allah ta’ala berfirman :
وَلا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لا يُفْلِحُونَ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung” [QS. An-Nahl : 116].

Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :
ويدخل في هذا كل من ابتدع بدعة ليس [له] فيها مستند شرعي، أو حلل شيئا مما حرم الله، أو حرم شيئا مما أباح الله، بمجرد رأيه وتشهِّيه
“Dan yang termasuk dalam hal ini adalah setiap orang yang melakukan bid’ah yang tidak didasarkan pada sandaran syari’at, atau orang yang menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, atau mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah yang hanya didasarkan oleh pendapat dan hawa nafsunya semata” [Tafsir Al-Qur’aanil-‘Adhiim, 4/609].
Menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram merupakan tuntutan dari syari’at. Sebaliknya, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, terlarang dalam syari'at dan dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam (murtad) berdasarkan kesepakatan ulama.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
والإنسان متى حلّل الحرام المجمع عليه ، أو حرم الحلال المجمع عليه ، أو بدَّل الشرع المجمع عليه : كان كافراً مرتدّاً باتفاق الفقهاء ، وفي مثل هذا نزل قوله تعالى – على أحد القولين (وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ) [ المائدة 44 ] ، أي : هو المستحل للحكم بغير ما أنزل الله
“Dan seseorang ketika menghalalkan yang haram yang telah disepakati keharamannya, atau mengharamkan yang halal yang telah disepakati kehalalannya, atau mengganti syari’at yang telah disepakati[1] : maka ia kafir lagi murtad dengan kesepakatan fuqahaa’. Dan yang semisal dengan ini adalah tentang firman Allah ta’ala – menurut salah satu dari dua pendapat - : ‘Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir’ (QS. Al-Maaidah : 44), yaitu orang yang menghalalkan untuk berhukum dengan selain yang diturunkan Allah” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 3/267].
Namun,..... banyak orang salah paham dalam permasalahan istihlaal ini, sehingga mengkonsekuensikan penerapan dan penghukuman yang tidak tepat.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
والاستِحلالُ : اعتِقادُ أنها حلالٌ له
Istihlaal adalah i’tiqaad (keyakinan) bahwasannya sesuatu itu halal baginya” [Ash-Shaarimul-Masluul, 3/971].
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :
فإنَّ المُستحلَّ للشيء هو : الذي يفعله مُعتقِداً حِلَّه
“Karena sesungguhnya orang yang menghalalkan sesuatu adalah orang yang melakukannya dengan keyakinan akan kehalalannya” [Ighaatsutul-Lahfaan, 1/382].
Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullah berkata :
الاستحلال هو : أن يعتقد الإنسان حلّ ما حرّمه الله ... وأما الاستحلال الفعلي فيُنظر : لو أن الإنسان تعامل بالربا , لا يعتقد أنه حلال لكنه يُصرُّ عليه ؛ فإنه لا يُكفَّر ؛ لأنه لا يستحلّه
Istihlaal adalah seseorang yang meyakini kehalalan apa-apa yang diharamkan Allah….. Adapun istihlaal dalam perbuatan (fi’liy), maka dilihat : Seandainya seseorang yang bermuamalah dengan riba tanpa berkeyakinan bahwasannya ia halal, akan tetapi ia terus-menerus melakukannya; maka ia tidak dikafirkan, karena ia tidak menghalalkannya” [Al-Baabul-Maftuuh, 3/97, pertemuan ke-50, soal no. 1198].[2]
Dari sini dapat kita ketahui bahwa istihlaal adalah masalah hati, karena hakekatnya merupakan i’tiqaad (keyakinan) akan halalnya sesuatu. Dikarenakan masalah hati, maka ia tidak diketahui kecuali dengan adanya kejelasan yang berasal dari pelakunya.
Sebagian orang mengatakan bahwa istihlaal dapat diketahui dengan adanya qarinah terus-menerus melakukan perbuatan dosa. Ini keliru, dan dapat dijawab dari empat sisi :
a.      Tidak ada satu pun ulama dari kalangan Ahlus-Sunnah mutaqaddimiin yang mengatakannya (yaitu, istihlaal yang mengkonsekuensikan kekafiran dapat dilihat dari perbuatannya). Seandainya hal itu benar, niscaya mereka (salaf) telah mendahului kita dalam hal ini.
b.      Kelaziman tersebut bertentangan dengan dua ijmaa’. Pertama, ijmaa’ peniadaan kekafiran atas orang yang yang melakukan dosa besar. Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :
اتَّفق أهل السنة والجماعة – وهم أهل الفقه والأثر – على أنَّ أحداً لا يُخرجه ذنبُه – وإن عظُمَ – من الإسلام
“Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah – dan mereka adalah ahlul-fiqh wal-atsar - telah bersepakat bahwasannya seseorang tidaklah dikeluarkan dari wilayah Islam akibat dosa yang dilakukannya – meskipun itu dosa besar – “ [At-Tamhiid, 16/315].
Kedua, ijmaa’ tentang kafirnya orang yang menghalalkan perbuatan dosa. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
مَن فعل المحارم مستحلاً لها فهو كافر بالاتفاق
“Barangsiapa yang melakukan hal yang diharamkan dengan menghalalkannya, maka ia kafir berdasarkan kesepakatan ulama” [Ash-Shaarimul-Masluul, 3/971].
Pemutlakan mereka (para ulama) atas ijmaa’ peniadaan kekafiran pelaku dosa besar bersamaan dengan ijmaa’ mereka atas kafirnya orang yang menghalalkan perbuatan dosa; sebagai dalil penafikan terus-menerus melakukan satu perbuatan dosa sebagai satu penghalalan (istihlaal).
c.      Anggapan terus-menerus melakukan perbuatan dosa sebagai satu penghalalan (istihlaal), akan mengkonsekuensikan pengkafiran para pelaku dosa. Padahal, ijmaa’ Ahlus-Sunnah berseberangan dengan hal tersebut.
d.      Hakekat istihlaal adalah i’tiqaad (keyakinan) akan halalnya sesuatu, maka hal itu tidak mungkin diketahui - dengan pengetahuan yang yakin[3] - kecuali dengan adanya pengakuan atau ucapan dari orang yang mempunyai i’tiqaad tersebut.
Termasuk cabang dari bahasan ini adalah : Tidak ada bedanya antara seseorang yang melakukan perbuatan dosa sekali, atau dua kali, atau puluhan kali selama ia tidak menghalalkannya perbuatan tersebut, maka ia tidak dikafirkan. Sebaliknya, seseorang yang menghalalkan perbuatan dosa walau hanya sekali melakukannya, atau bahkan tidak melakukannya sama sekali (namun ia berkeyakinan kehalalannya), ia dikafirkan berdasarkan ijmaa’.
Inilah sedikit penjelasan mengenai istihlaal (yang mengkonsekuensikan kekufuran), semoga ada manfaatnya.[4]
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 29 Ramadlaan 1432 H; banyak mengambil faedah dari kitab Al-Hukmu bi-Ghairi Maa Anzalallaah karya Bundar bin Naayif Al-‘Utaibiy, taqdiim : Muhammad bin Hasan Aalusy-Syaikh (anggota Lajnah Daaimah & Haiah Kibaaril-‘Ulamaa), hal. 12-15; Cet. 2/1429 H].


[1]      Perkataan Syaikhul-Islaam rahimahullah : ‘atau mengganti syari’at yang telah disepakati’, harus dipahami sesuai dengan orang yang mengatakannya (yaitu, Syaikhul-Islaam). Dalam tempat lain, beliau telah menjelaskan apa yang dimaksud dengan mengganti syari’at yang mengkonsekuensikan kekafiran berdasarkan ijmaa’ :
الشرعُ المبدَّلُ : وهو الكذبُ على الله ورسوله ، أو على الناس بشهادات الزور ونحوها والظلم البيِّن ، فمن قال : ( إن هذا مِن شرع الله ) فقد كفر بلا نزاع
“Syari’at yang diganti : ia merupakan kedustaan terhadap Allah dan Rasul-Nya, atau terhdap manusia dengan persaksian-persaksian palsu dan yang semisalnya, dan merupakan kedhaliman yang nyata. Barangsiapa yang berkata : ‘Sesungguhnya ini termasuk syari’at Allah’, sungguh ia telah kafir tanpa ada perselisihan” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 3/268].
Perkataan Ibnu Taimiyyah ini senada dengan perkataan Ibnul-‘Arabiy rahimahumallah :
وهذا يختلف: إن حكم بما عنده على أنه من عند الله فهو تبديل له يوجب الكفر. وإن حكم به هوى و معصية فهو ذنب تدركه المغفرة على أصل أهل السنة في الغفران للمذنبين
"Dan ini berbeda : Jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri dengan anggapan bahwa ia dari Allah maka ia adalah tabdiil (mengganti) yang mewajibkan kekufuran baginya. Dan jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri karena hawa nafsu dan maksiat, maka ia adalah dosa yang masih bisa diampuni sesuai dengan pokok Ahlus-Sunnah tentang ampunan bagi orang-orang yang berdosa" [lihat : Ahkaamul-Qur’an, 2/624].
[3]      Dikarenakan kekafiran harus berdasarkan keyakinan tanpa ada keraguan sedikitpun. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وليس لأحد أن يكفر أحدًا من المسلمين ـ وإن أخطأ وغلط ـ حتي تقام عليه الحجة، وتبين له المحَجَّة، ومن ثبت إسلامه بيقين لم يزل ذلك عنه بالشك، بل لا يزول إلا بعد إقامة الحجة، وإزالة الشبهة‏.‏
“Dan tidak boleh bagi seorangpun untuk mengkafirkan orang lain dari kaum muslimin – walau ia bersalah dan keliru – sampai ditegakkan padanya hujjah dan dijelaskan kepadanya bukti dan alasan. Barangsiapa yang telah tetap ke-Islam-an padanya dengan yakin, maka tidaklah hilang darinya hanya karena sebuah keraguan. Bahkan tidak hilang kecuali setelah ditegakkan kepadanya hujjah dan dihilangkan darinya syubhat” [Majmuu’ Al-Fataawaa oleh Ibnu Taimiyyah, 12/466].
[4]      Catatan penting : Tulisan ini tidak bermaksud membatasi kekafiran hanya karena istihlaal saja.

Comments

Anonim mengatakan...

Ustadz saya mau bertanya, mengapa ketika orang menghalalkan apa yang diharamkan oleh alloh atau sebaliknya maka ia kafir. Sementara ketika orang menta'til dan mentahrif sifat-sifat Alloh seperti mu'tazillah dan asyairoh tidak mencapai derajat kekafiran?

Hukum adalah ketetapan Alloh sementara Asma wa sifat adalah terkait dengan dzat Alloh. Tentunya Dzat Alloh lebih mulia dari selainnya. Mengapa orang yang mulhid dari firqoh2 sesat tidak lebih layak dikafirkan dari orang yang menghalalkan apa yang diharamkan?

Padahal jelas2 firqoh2 sesat tersebut menafikan sifat2 alloh. Memalikkan makna yang sesungguhnya dari sifat Alloh? Membatasi sifat2 Alloh menjadi sifat wajib 20 dsb... ini jelas ilhad, tapi para ulama tidak mengkafirkan mereka mengapa?

Jika kita fahami bahwa hukum adalah perwujudan dari kemuliaan sifat2 alloh itu sendiri dalam ketetapan syari maupun kauni?
Artinya sifat2 Alloh lebih pokok dari hukumnya karenanya syirik merupakan penyelewengan terhadap sifat ke esaan alloh yang pelakunya di ancam kekal dineraka.

mohon penjelasan

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Menta'thil seperti ta'thil nya Jahmiyyah adalah kafir. Adapun masalah ta'wil (tahrif) - seperti yang dilakukan oleh Asyaa'irah, maka ini merupakan salah satu penghalang kekafiran, walau ini tidak bersifat mutlak.

Dan ingat, pemaafan dalam perkara-perkara yang rumit lebih diutamakan daripada pemaafan atas perkara-perkara yang telah jelas. Pemaafan atas kekeliruan orang yang hidup di negeri dimana bid'ah tersebar dan sedikit ulama juga lebih diutamakan daripada orang yang hidup di negeri dimana sunnah hidup dan sangat nampak, serta para ulama melimpah.

dan yang lainnya.

Dan satu lagi yang penting bahwa,.... seseorang tidaklah dikafirkan baik dari segi i'tiqadnya, ucapannya, atau perbuatannya sebelum ditegakkan padanya hujjah dan hilang penghalang-penghalang kekafiran.

wallaahu a'lam.

Anonim mengatakan...

Oh gitu ya tadz
Memang apa bedanya ta'thil jahmiyah kok layak dikafirkan sementara asya'ariyah dapet udzur untuk tidak dikafirkan? memang bedanya apa...bukankah tahrif pada dasarnya juga ta'thil pada sifat yang sesungguhnya. dan merobah ke sifat yang bukan di maksud dalil?

mohon penjelasan tadz

Hmm apakah perkara Asma wa sifat itu perkara rumit? Asma wa sifat adalah perkara yang jelas dan gamblang tentu bagi orang-orang yang taslim. Makna nash-nash tersebut jelas dan mudah untuk difahami. Hanya Kaifiyahnya saja yang tidak bisa di ketahui...
Sebetulnya dari sisi kerumitan tidak ada udzur bagi mu'athilah, mulhid dan mufawwidah.

Dan Asya'ri, Mu'tazillah dan firqoh2 yang beredar dalam masalah asma wa sifat penyimpangannya. Hidup dizaman adanya para ulama-ulama besar hidup. Dan mereka hidup bersama dengan masyarakat kaum muslimin bahkan pendiri mu'tazillah adalah murid dari ulama besar hasan Al-Basri. Apa ada udzur dari sisi ini bagi mereka?

Tentang menegakkan hujjah saya rasa bahkan orang yang menghalalkan yang haram atau sebaliknya pun tetap wajib ditegakkan hujjah jika takfirnya muayyan begitu prosedurnya. Tentu kita bicara dalam tataran takfir mut'lak.

Tapi apakah ta'wil dan tahrif itu hukumnya kufur akbar secara mutlak, atau ia hanya dosa besar saja.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ta'thil Jahmiyyah itu beri'tiqad bahwa Allah ta'ala tidak mempunyai sifat, dan tidak layak mempunyai sifat; karena sifat hanya layak bagi makhluk. Ini kafir. Kaum Asy'ariyyah secara umum tidak beri'tiqad seperti ini. Oleh karena itu, Asy'ariyyah - menurut para ulama - mempunyai keserupaan dengan Jahmiyyah di satu sisi, namun tidak di sisi yang lain.

Rumit dan tidaknya perkara al-asmaa' wash-shifaat adalah nisbi. Bahkan mungkin bagi mereka yang berkeinginan memegang teguh manhaj salaf (baca : Salafiyyuun), dalam beberapa permasalahan. Lebih khusus lagi, dalam pemahaman nash-nash. Permasalahan al-asmaa' wash-shifaat itu bercabang-cabang. Ada nash yang menimbulkan sudah sedemikian jelas yang barangsiapa yang mengatakan kebalikannya adalah kafir. Misalnya sifat Hidup, sifat Al-'Ulluw, dan yang lainnya. Ada pula nash yang agak 'rumit' sehingga melahirkan interpretasi berbeda di kalangan ulama. Misalnya masalah apakah Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah melihat Rabb nya di dunia. Semua ini adalah permasalahan sifat Allah.

Sesat atau kafirnya pendapat-pendapat yang menyelisihi kebenaran dalam permasalahan al-asmaa' wash-shifaat harus dikembalikan pada setiap cabang permasalahan dan dalilnya. Juga, bagaimana komentar ulama mengenainya. Tidak bisa diglobalkan sebagaimana yang antum (ingin) pahami. Oleh karena itu di atas saya katakan bahwa, ta'wil itu dapat menghalangi kekafiran, namun tidak mutlak. Maksudnya, ada ta'wil yang diterima sebagai udzur, ada pula yang tidak.

Satu fakta saja bahwa, banyak di antara ulama-ulama Ahlus-Sunnah jatuh dalam kekeliruan pada permasalahan al-asmaa' wash-shifaat. Ada di antara mereka Al-Baihaqiy, Al-Qurthubiy, An-Nawawiy, dan yang lainnya. Tentu saja beda halnya dengan permasalahan haramnya khamr, zina, dan yang semisalnya.

wallaahu a'lam bish-shawwaab.

Semoga yang komentar ini dapat memperjelas komentar sebelumnya.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Sebagai tambahan tentang masalah ta'wil shifaat, maka ini ada 3 keadaan sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah :

1. Orang yang menta'wil karena ijtihad dan baiknya niat, maka ia tidak berdosa. Dan bahkan dapat memperoleh 1 pahala.

2. Orang yang menta'wil karena hawa nafsu atau ta'ashub madzhab, namun ta'wilnya ini mempunyai sandaran dalam bahasa 'Arab; maka jenis orang ini adalah fasiq, tidak dikafirkan.

3. Orang yang menta'wil karena hawa nafsu atau ta'ashub madzhab, dan ta'wilnya ini tidak mempunyai sandaran dalam bahasa 'Arab, maka ia dikafirkan (setelah ditegakkan hujjah dan syarat-syarat pengkafiran).

Fatwa selengkapnya :

الأوَّل: أن يكونَ صادراً عن اجتهادٍ وحسنٍ نيَّةٍ ؛ بحيثُ إذا تبيَّن له الحقُّ رجع عن تأويلِه، فهذا معفوٌّ عنه ؛ لأنَّ هذا منتهى وسعِهِ ، وقدْ قالَ اللهُ تعالى :
(لا يكلف الله نفساً إلا وسعها((1) .
الثاني: أن يكونَ صادراً عن هوى وتعصب ، وله وجهٌ في اللغة العربية ؛ فهو فسقٌ وليس بكفرٍ إلا أن يتضمنَ نقصاً أو عيباً في حقِّ الله فيكون كفراً.
الثالث: أن يكون صادراً عن هوى وتعصبٍ ، وليس له وجهٌ في اللغة العربية، فهذا كفرٌ لأن حقيقتَهُ التكذيبُ ؛ حيثُ لا وجهَ له.

Anonim mengatakan...

Na'am syukron ustadz atas jawaban. Afwan izinkan saya sedikit merespon dan bertanya lagi.

Saya rasa keliru jika dikatakan bahwa bahwa masalah asma wa sifat adalah rumit dan Nisbi tingkat kerumitannya. Saya fahami bahwa Masalah Aqidah dan Asma wa Shifat adalah Mudah jelas dan gamblang, Ushul dari Tauhid asma Wa shifat adalah mudah. Karenanya para sahabat tidak berselisih dalam perkara ushul Tauhid Asma wa sifat. Masalah Asma wa sifat tidak lah rumit pada asalnya. Yang membuat rumit adalah ketika masuknya ilmu Kalam dan filsafat yang di gunakan untuk memahami masalah asma wa sifat. Karena mustahil Poros dari AQidah Islamiyah yakni Asma Wa sifat itu rumit dan nisbi kerumitannya. Karena masalah ini poros dan dasar agama. Justru letak ke istimewaan manhaj salaf dalam memahami Aqidah Asma wa sifat adalah dari sisi kemudahan dan ke simpelannya.
Dan sekali lagi ia rumit jika masuk pada tataran mempersoalkan kaifiyah sifat. Dan sikap yang melebar-lebarkan dan tidak taslim dan mencukupkan diri pada khobar shahih yang datang kepadanya.

Tentang masalah khilaf sahabat itu masalah furu' dan tidak terlalu terkait dengan masalah tauhid asma wa sifat. Dan yang terpenting ushulnya adalah mereka sepakat bahwa Alloh dapat dilihat kelak di akhirat.

Tentang ulama yang tergelincir dari sisi asma wa sifat penjelasan antum agak beda dengan penjelasan para ustadz ya? Kalau mereka hanya menjelaskan bahwa para ulama hidup dizaman yang mahzab asya'irah dominan dan di ajarkan di madrasah2 mereka sejak kecil sehingga mereka selayaknya manusia terpengaruh. Dan sisi kerumitan masalah Asma wa sifat dahulu adalah karena pada waktu itu ilmu kalam merasuk dalam banyak bidang ilmu2 islam termasuk ushul fiqh dan tentunya Aqidah asma wa sifat.

Dan tentang fatwa syaikh ustaimin mungkin menimbulkan sedikit pertanyaan. Boleh kan tadz kita kritis sedikit. Jika dikatakan ta'wil yang berasal dari Ijtihad, maka pertanyaannya dalam masalah Aqidah dan asma wa sifat apakah masuk medan Ijtihad? bukankah kita tau dari penjelasan ulama bahwa aqidah tidak dimasuki medan ijtihad karenanya bersifat tawqifiyah. Hanya bersandar pada dalil2 shohih yang datang. Dan pertanyaan terakhir dimana posisi para ulama tersebut? di antara 3 keadaan orang yang menta'wil sifat? jika di posisi ijtihad, jelas aneh karena asma wa sifat kita i'tiba saja kan? dan yang ke 2 dan ke 3 tidak benar di tujukan kepada mereka?

afwan mohon mencerahran dari ustadz

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Secara umum syari'at Islam (bukan hanya dalam masalah al-asmaa' wash-shifaat) itu mudah, baik dalam hal pemahamannya ataupun pengamalannya. Sifat mudah itu salah satunya timbul dari kejelasannya. Inilah ushul agama sebagaimana yang antum katakan. Dan saya sangat-sangat sepakat dengan yang antum katakan.

Namun jika itu kita hukumkan pada individu pada setiap cabang permasalahan, kejelasan itu bisa jadi nisbi. Makanya, para ulama ketika menjelaskan shifat mutasyaabih dalam satu ayat, adakalahnya ia bersifat nisbi. Bisa jadi itu mutasyabih bagi satu individu, namun tidak bagi yang lain. Saya kira ini sudah sedemikian ma'lum [silakan baca dalam Ushulut-Tafsiir karya Ibnu 'Utsaimin rahimahullah]. Sangat masuk diakal, karena setiap orang berbeda kadar pemahamannya, dan juga latar belakang pemikirannya. Apakah antum mengingkari hal ini ?.

Tidak terkecuali dalam pembahasan al-asmaa' wash-shifaat. Betapa banyak thullabul-'ilmi yang menanyakan pemahaman beberapa nash ayat-ayat shifat kepada ulama ?. Apalagi rekan-rekan salafiy dalam negeri yang notabene hanya bergantung pada penjelasan seorang ustadz atau buku yang ia baca. Betapa banyak mereka sering menanyakan hal-hal yang serupa ?. Atau,... kita tanya kepada pada diri sendiri, apakah kita memang telah benar-benar menguasai dan memahamai nash-nash yang berkaitan dengan shifat ?.

Atau,... jika saya tanya kepada antum atau rekan-rekan Pembaca, apa makna shifat 'nisyaan'(النسيان), sebagaimana terdapat dalam firman-Nya dalam QS. At-Taubah ayat 67 : نَسُوا اللهَ فَنَسِيَهُمْ ???.

Jika antum mengatakan bahwa : yang penting shahabat sepakat bahwa Allah kelak dapat dilihat di akhirat; maka secara tidak langsung antum mengakui apa yang saya nyatakan bahwa mereka berbeda pendapat mengenai Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah melihat Allah saat Mi'raj. Dan secara tidak langsung pun antum mengakui (walau tidak terkatakan) bahwa ada di antara cabang permasalahan al-asmaa' wash-shifaat membuka ruang perbedaan pendapat dikarenakan adanya beberapa nash yang menimbulkan pemahaman yang berlainan.

Contoh lain, hadits :

“Sesungguhnya Allah berfirman kelak di hari kiamat : ‘Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena ke-Agungan-Ku pada hari yang akan Aku naungi mereka di bawah naungan-Ku, yaitu hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Ku ?” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2566].

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Bolehkan saya bertanya, apa pemahaman ulama ahlus-sunnah tentang naungan dalam hadits tersebut ?. Perlu antum ketahui bahwa mereka berbeda pendapat dalam hal ini. Seandainya perkaranya adalah jelas dan gamblang (sejelas dan segamblang wajibnya shalat 5 waktu, haramnya khamr, atau yang semisal), niscaya mereka tidak berbeda pendapat.

Masih banyak contoh lain yang dapat dibawakan....

Mengulang apa yang saya tuliskan sebelumnya, agama ini bertingkat-tingkat atau bercabang-cabang. Ada nash yang sudah sedemikian jelas sehingga barangsiapa yang mengatakan kebalikannya adalah kafir. Ada pula nash yang samar sehingga melahirkan interpretasi/pemahaman berbeda di kalangan ulama.

Seandainya antum mengatakan bahwa semua nash (tanpa terkecuali) yang berbicara tentang al-asmaa' wash-shifaat adalah sangat jelas yang tidak boleh ada kelonggaran perbedaan pendapat dalam pemahamannya - karena dianggap semuanya merupakan masalah ijma', sehingga barangsiapa yang menyelisihinya dihukumi kafir (karena ia masalah ushul); maka saya belum pernah membaca/mendengar hal ini dari siapapun kecuali dari antum.

Adapun masalah ulama yang tergelincir dalam kekeliruan, maka garis merahnya adalah masalah pemahaman nash yang berbeda-beda dari setiap individu manusia dalam beberapa permasalahan agama. Coba antum pahami dulu apa yang saya tuliskan sebelumnya sehingga tidak menimbulkan logical fallacy.

Adapun tentang masalah penjelasan Ibnu 'Utsaimin rahimahullah, maka beliau benar. Tidak ada musykil dalam penjelasan beliau. Karena ijtihad tersebut adalah ijtihad dalam hal pemahaman nash. Bukan ijtihad sebagaimana yang antum pahami di atas.

wallahu a'lam

Anonim mengatakan...

Baik saya sudah membaca ustadz.
Jika boleh saya kembalikan kepada konteks permasalahan awal. Bahwa yang menjadi pemicu pertanyaan saya adalah tahrif, ta'wil dan ta'thil dari ahlu bid'ah yakni mu'tazillah, asya'irah dll. Mereka mengubah makna dari nash-nash tentang sifat seperti wajah, tangan, sifat kalam dll. Yang ahlussunah tidak berselisih didalamnya jadi bukan pada perkara-perkara yang diperselisihkan Ahlussunnah.

Nash-nash tentang sifat tangan, wajah Apakah rumit?
sehingga berlaku apa yang antum katakan

"pemaafan dalam perkara-perkara yang rumit lebih diutamakan daripada pemaafan atas perkara-perkara yang telah jelas."

Jelas nash-nash itu tidak menimbulkan kerumitan kecuali bagi orang yang sudah terkena syubhat. Dimana letak kerumitan untuk menetapkan sifat wajah dan tangan bagi Alloh sesuai dengan kemulian dan kebesarannya tanpa tahrif, ta'thil, tasbih dan takyif.

Bahkan Imam Ahmad mengatakan Kafir orang yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah Mahluk (walau penerapannya tidak secara ta'yin tidak langsung dikafirkan oleh Imam Ahmad)karena jelas bahwa Al-Quran adalah Kalamullah dan Alloh memiliki sifat Kalam.

Jadi saya tetap melihat ustadz keliru. Bahwa letak kerumitannya bukan terdapat pada pokok Aqidah Asma wa sifat itu sendiri, namun terletak pada metode yang salah yang digunakan dalam memahami nash asma wa sifat. Jika metode ilmu kalam jelas membuat persoalan itu menjadi sulit.

Saya tidak mengingkari bahwa sebagian masalah Asma wa sifat itu ada yang rumit, tapi itu furuiyahnya. Tapi pokok-pokok aqidah Asma wa sifat adalah mudah dan manhaj salaf mudah dalam menyikapi nash-nash tersebut.

Seperti memahami Alloh di atas langit. Itu pokok dan mudah memahami bahwa alloh bersifat uluw, tapi jika di perdalam apakah itu menunjukkan tempat? itu bermakna di naungi oleh langit dsb..itu menjadi rumit tapi itu furu..yang pokok dan wajib mengimani bahwa alloh ada di atas langit. Yang memunculkan kerumitan adalah pemikiran dan syubhat Ahlu bid'ah dan menjawab syubhat tersebut yang rumit.

Tapi pada asalnya jika tidak mempersoalkan syubhat tentu aqidah tauhid asma wa sifat itu mudah.

Mohon maaf jika ustadz tidak senang saya menyelisihi pendapat ustadz bahwa aqidah asma wa sifat itu perkara relatif rumit. Bagi saya harus dipisahkan antara pembahasan aqidah itu sendiri dan ketika pembahasan melebar pada persoalan bantahan terhadap syubhat. Atau pada perselisihan furu'iyah dalam masalah aqidah Asma wa sifat.

Dan pemahaman dalam pokok-pokok nash asma wa sifat (ingat bukan yang furu') Adalah yang memang ahlussunnah tidak berselisih tentu dikembalikan kepada sikap i'tiba kepada manhaj salaf bukan kepada relativitas pemahaman individu. Kecuali dalam tafsir diluar nash-nash asma wa sifat secara umum memang pemahaman orang berbeda-beda.

Jadi konteks awal diskusi ini tolong di fahami kembali, mengingat saya yang memulai wacana diskusi ini. Jadi perlu bagi saya memperjelas dan menjelaskan ulang konteks awal yang saya maksud.

Maaf kalau ada kekeliruan

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Adalah hak antum mengelirukan saya atau menyimpulkan 'pengandaian' saya tidak senang dengan penyelisihan antum.

Saya tidak pernah berkata bahwa pokok 'aqidah al-asmaa' wash-shifaat adalah rumit sebagaimana yang antum katakan. Kalau memang saya pernah mengatakan, tolong saya dibantu di kalimat mana saya pernah mengatakannya.

Yang saya katakan adalah :

"Rumit dan tidaknya perkara al-asmaa' wash-shifaat adalah nisbi".

Ini saya katakan ketika antum berkata :

Hmm apakah perkara Asma wa sifat itu perkara rumit? Asma wa sifat adalah perkara yang jelas dan gamblang tentu bagi orang-orang yang taslim. Makna nash-nash tersebut jelas dan mudah untuk difahami. Hanya Kaifiyahnya saja yang tidak bisa di ketahui....

Atau,..... antum lupa pernah menuliskannya ?. Jadi, pahami konteks pembicaraannya.

Oleh karena itu saya ulangi penekanannya di komentar selanjutnya :

Secara umum syari'at Islam (bukan hanya dalam masalah al-asmaa' wash-shifaat) itu mudah, baik dalam hal pemahamannya ataupun pengamalannya. Sifat mudah itu salah satunya timbul dari kejelasannya. Inilah ushul agama sebagaimana yang antum katakan. Dan saya sangat-sangat sepakat dengan yang antum katakan.

Namun jika itu kita hukumkan pada individu pada setiap cabang permasalahan, kejelasan itu bisa jadi nisbi. Makanya, para ulama ketika menjelaskan shifat mutasyaabih dalam satu ayat, adakalahnya ia bersifat nisbi. Bisa jadi itu mutasyabih bagi satu individu, namun tidak bagi yang lain. Saya kira ini sudah sedemikian ma'lum [silakan baca dalam Ushulut-Tafsiir karya Ibnu 'Utsaimin rahimahullah]. Sangat masuk diakal, karena setiap orang berbeda kadar pemahamannya, dan juga latar belakang pemikirannya. Apakah antum mengingkari hal ini ?.
.

-----

Kemudian,..... sedikit 'melenceng' dari perkataan antum di awal (walau antum mengatakan : 'mengembalikannya pada konteks permasalahan awal'); dengan mencontohkan sifat yadd dan wajh.

Saya justru ingin mengatakan pada antum hal yang lebih mendasar, yaitu (dan itu telah dua kali saya katakan) : Ada perkara-perkara dalam nash-nash shifat yang sifatnya jelas dan sudah ternukil ijma' pemahamannya, ada pula nash-nash yang samar yang menimbulkan pemahaman berbeda di kalangan ulama.

Saya sepakat bahwa barangsiapa yang mengatakan Al-Qur'an adalah makhluk itu kafir. Barangsiapa yang mengatakan Allah itu dimana-mana itu kafir. Namun sebaliknya, saya tidak sepakat dengan orang yang mengatakan bahwa Allah mempunyai tangan kiri itu kafir, karena sebagian salaf telah mengatakannya. Saya juga tidak sepakat jika ada orang yang mengatakan bahwa makna istiwaa' dengan juluus (duduk) itu kafir, karena sebagian salaf kita ada yang mengatakannya.

Maka, perkara ta'wil itu dalam penghukumannya adalah sebagaimana yang dikatakan Ibnu 'Utsaimin, terlepas antum setuju ataukah tidak, namun yang jelas, saya menyetujui apa yang dikatakan Ibnu 'Utsaimin tersebut karena selaras juga dengan penjelasan Ibnu Taimiyyah rahimahumallah.

Kalau antum mengatakan ada ushul dan furu', boleh saya tahu apa yang antum maksudkan dengan ushul dan furu' tersebut ?. Apakah yang antum maksudkan dengan ushul itu adalah contoh-contoh shifat Allah seperti Al-'Ulluw, al-yadd, an-nuzuul, al-istiwaa', dan yang semisal (sebagaimana eksplisit terambil dari perkataan antum) ?. Jika memang ini, maka bisakah antum memberikan contoh hal yang furu'-nya dengan penjelasan ulama tentunya ?. lalu, apa dalil pembedaan dua hal tersebut (bahwa yang ini ushul, yang ini furu') ?.


Atau,... ada definisi lain tentang ushul dan furu' ini ?.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Antum di atas akhirnya mengatakan :

"Jika boleh saya kembalikan kepada konteks permasalahan awal. Bahwa yang menjadi pemicu pertanyaan saya adalah tahrif, ta'wil dan ta'thil dari ahlu bid'ah yakni mu'tazillah, asya'irah dll. Mereka mengubah makna dari nash-nash tentang sifat seperti wajah, tangan, sifat kalam dll. Yang ahlussunah tidak berselisih didalamnya jadi bukan pada perkara-perkara yang diperselisihkan Ahlussunnah".

Khusus yang saya bold.

Seandainya antum memperhatikan apa yang telah saya tulis, niscaya pembicaraan ini tidak melebar kemana-mana mempermasalahkan 'kejelasan nash'.

Terakhir saya ingin mengulangi apa yang telah saya tuliskan :

"Kafirnya tidaknya pendapat-pendapat yang menyelisihi kebenaran dalam permasalahan al-asmaa' wash-shifaat harus dikembalikan pada setiap cabang permasalahan dan dalilnya. Juga, bagaimana komentar ulama mengenainya. Tidak bisa diglobalkan sebagaimana yang antum (ingin) pahami".

NB : Pada komentar sebelumnya saya menulis : Sesat atau kafirnya pendapat-pendapat yang menyelisihi kebenaran....... Ini saya koreksi dengan kalimat di atas.

Anonim mengatakan...

wah afwan baru bisa coment lagi ustadz karena sulit mencari waktu buat main-main internet.

Maaf saya tidak lenceng dari konteks awal, jika ustadz membaca dengan hati yang bijak dan sabar dari tulisan awal, tentu tidak sulit untuk memahami konteks permasalahan. Karena saya yang bertanya dan saya lebih tau maksud dan arah pertanyaan saya, bukan saya yang di dikte bahwa maksud antum ini dan antum melenceng. Maaf. Karena dari awal saya sudah mengatakan dan memberi contoh ta'wil dari mu'tazillah dan asyairoh..bukan antar ahlussunnah dan tentu yang masyhur dari mereka adalah diantaranya adalah masalah ta'wil dan tahrif ma'na tangan dan wajah ma'lum hal itu tidak musykil.

Tentang ushul dan furu' saya rasa bisa antum cari tulisan para ulama dan cukup mudah saya rasa...dan cukup jelas. Apa yang pokok dan apa yang di bangun diatas pokok tersebut cabang-cabang i'tiqod.


Maaf nampaknya tidak ada titik temu, dan agak sulit saat2 ini bagi saya main internet. Dari pada berpanjang2 namun tidak ada titik temu pemahaman. Maka saya mohon maaf, saya cukupkan.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Terima kasih atas partisipasi komentarnya. Satu perkataan memang harus dikembalikan pada maksud yang mengucapkannya. Tidak terkecuali antum dan saya. Namun, perlu diperhatikan bahwa, ketika kita ingin menyampaikan sesuatu, apakah perkataan kita itu tepat untuk mengakomodasi maksud yang hendak kita sampaikan ? Begitu juga dengan fokus pembicaraan.

Sebenarnya terkait ta'wil Asyaa'irah ataupun Mu'tazilah, telah terjawab dalam komentar di atas, sebagaimana penjelasan Ibnu 'Utsaimin rahimahullah. Karena, memang itulah yang ditanyakan. Tapi entah kenapa, antum tidak membahas yang ini, malah membahas tentang 'nisbi'. Mungkin antum telah punya jawaban tersendiri sebelum bertanya....

Adapun tentang pemahaman ushul dan furu', sangat wajar saya tanyakan, karena dalam komentar antum di atas antum tidak memahami beberapa hakekat permasalahan. Misalnya tentang perbedaan hakekat ta'thil Jahmiyyah dan hakekat ta'thil Asyaa'irah dalam ta'wil yang mereka lakukan. Begitu pula cara pemahaman antum tentang ijtihaad ulama sebagaimana penjelasan Syaikh Ibnu 'Utsaimin. Jangan-jangan, dalam masalah pemahaman ushul dan furu' 'aqidah, pemahaman antara saya dan antum tidak terkonek. Akibatnya, bisa jadi, antum ngomong ke sana, saya ngomong ke sini. Padahal saya sangat berharap, jika memang sama-sama ingin bertukar faedah, antum tulis saja pemahaman tentang ushul dan furu' sehingga tidak ada kesalahpahaman dalam memahami perkataan orang.

gendhul mengatakan...

Assalamualaikum,
Ustadz bagaimana dengan hadits Adi bin Hathim mengenai rahib2 orang Nasrani? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang kaum nasrani dan yahudi,

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah” (QS. At Taubah : 31)

Ayat ini ditafsirkan dengan hadits Adi bin Hatim Ath Thoo-i radhiyallahu ‘anhu dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat tersebut kepada beliau. Kemudian beliau berkata : “Wahai Rasulullah, kami tidaklah beribadah kepada mereka”. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Bukankah mereka menghalalkan untuk kalian apa yang Allah haramkan sehingga kalianpun menghalalkannya, dan mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan sehingga kalian mengharamkannya?”. Beliau (Adi bin Hatim) berkata : “Benar”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

“Itulah (yang dimaksud) beribadah kepada mereka” (Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan mengatakan : "Diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi dan beliau menilainya hasan, ‘Abd bin Humaid, Ibnu Abi Hatim, dan Ath Thabrani dari banyak jalur”. Lihat Fathul Majid hal. 109, Daarus Salam)

Rahib-rahib Nasrani menetapkan suatu hukum yang bertentangan dengan hukum ALLOH (mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram) kemudian orang Nashoro mengikutinya maka orang-orang Nashoro dikafirkan oleh ALLOH karena dianggap menyembah rahib-rahib tersebut.

Rasululloh tidak menyebut istihlal dalam hadits tersebut.

Esensinya jika ada sesorang/kelompok menetapkan suatu hukum yang bertentangan dengan hukum ALLOH (menghalalkan yang haram, mengharamkan yang halal) maka ia mengambil hak ALLOH yaitu hak menetapkan Undang-undang atau hukum. maka hal ini seperti rahib2 orang Nashoro. Hal ini berbeda dengan dengan orang yang berbuat maksiat yang tidak mukafirrah (misal zina, mencuri, judi, khmer)dan orang-orang seperti ini hanya dihukumi dosa/had di dunia selama ia tidak menghalalkannya, jika mereka menghalalkannya maka ia dikafirkan.

tentu sungguh terdapat perbedaan yang nyata antara orang yang menetapkan hukum dengan pelanggar hukum...

(hukum yang saya maksud mengenai darah, harta dan kehormatan, yang ada di Al Quran dan As Sunnah)

Allohu alam bisowwab...

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Dalam kutipan antum tertulis :

"Bukankah mereka menghalalkan untuk kalian apa yang Allah haramkan sehingga kalianpun menghalalkannya, dan mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan sehingga kalian mengharamkannya?".

Kalau menurut antum ini bukan istihlaal, lalu apa kira-kira maksudnya ?.

Baca juga :

http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/10/syubhat-qs-at-taubah-ayat-31.html.

Juga :

http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/06/qs-nisaa-ayat-65-sebagai-dalil.html.

wallaahu a'lam bish-shawwaab.

gendhul mengatakan...

Ustadz, dari kutipan ustadz : "Dari sini dapat kita ketahui bahwa istihlaal adalah masalah hati"...

sedangkan rahib-rahib Nasrani tidak dijelaskan secara rinci apakah ia menghalalkan yang haram, mengharamkan yang halal dengan keyakinan hatinya... namun ALLOH langsung menuduh bahwa rahib-rahib Nasrani adalah sesembahan mereka... bisa jadi rahib2 Nasrani menetapkan halal haram namun tidak sesuai hatinya...misal liwath, di negara2 tertentu rahib-rahib Nasrani menghalalkannya karena tuntutan sebagian umatnya yang homo seksual dan liberal, dan mungkin saja di dalam keyakinan hati rahib2 tersebut bahwa hal itu haram...

terus apa bedanya pula perbuatan yang dilakukan oleh Negara ini?? melegalkan zina/pelacuran, melegalkan minuman keras. Bukankah hal ini sama dengan perbuatan rahib-rahib Nasrani?

Ustadz, di sini saya tidak menyinggung orang yang mentaati, namun orang yang menetapkan halal haram...

Jazakallohu khair

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Menghalalkan yang haram itu namanya istihlaal menurut para ulama. Dan istihlaal itu sendiri adalah masalah hati.

Adapun pemahaman Ahlus-Sunnah terhadap ayat telah saya sebutkan.


Syaikhul-Islaam menyebutkan dua keadaan tersebut ada dasarnya, terutama keadaan yang mengkafirkan. Yaitu ketika ada orang Yahudi datang kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam untuk mengadukan perkara zina muhshan. Ketika Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam menanyakan hukum zina dalam Taurat, maka si Yahudi itu menutupi ayat rajam dengan tangannya, dan mengatakan bahwa hukum zina adalah dengan dihitamkan mukanya dan diarak keliling kota (dipermalukan) dimana ia menisbatkan itu pada Taurat. Inilah tabdiil yang dimaksudkan akan kekafirannya berdasarkan ijmaa' oleh Syaikhul-Islaam. Inilah kondisi orang-orang Yahudi dan rahib-rahib mereka yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

Syaikhul-Islaam menyinggung 'illat kekafiran rahib Yahudi dan juga sekaligus orang yang mentaati mereka.

Pahami dulu penafsiran dan pemahaman ulama Ahlus-Sunnah dalam permasalahan ini. Jangan memahaminya berdasarkan pemikiran sendiri.

wallaahul-musta'aan.

gendhul mengatakan...

Ustadz seperti yang antum tulis mengenai orang yahudi yang bertanya mengenai zina muhshan, bukankah orang Yahudi sudah mengetahui bahwa hukum zina ini dengan rajam, kemudian ia merubah dengan mengatakan pelaku zina itu dihitamkan dan diarak keliling kota... berarti orang Yahudi ini berlainan keyakinan hatinya dengan perkataannya namun ia tetap dikafirkan...

sedang ustadz telah mengudzur pemerintah yang mengganti hukum ALLOH dengan hukum buatan manusia... Pemerintah ini tahu bahwa zina muhshan itu dirajam hukumnya, namun dalam UU yang dibuat pemerintah tidak dihukumi apapun kecuali ada delik aduan dari istri ato suaminya, kemudian dijatuhi dengan hukuman penjara... bukankah ini tabdiil ya ustadz? bukankah perbuatan ini sama dengan orang yahudi itu? mengganti hukum ALLOH dengan hukum buatan manusia... bukankah perbuatan ini bisa menyebabkan pelakunya dihukumi kafir... dan pemerintah ini bukan Yahudi, bukan Nashoro, dan tidak berusaha mencari kebenaran melainkan menjauhkan diri dan ummatnya dari kebenaran...

Allahu alam bisowwab...

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Anda tidak cermat dalam memahami perkataan. Yang saya katakan tentang tabdiil adalah menisbatkan hal itu kepada syari'at, sebagaimana orang Yahudi menisbatkan hukuman non-rajam itu pada Taurat.

Ini perkataan Ibnu Taimiyyah tentang tabdiil :

و الكذبُ على الله ورسوله ، أو على الناس بشهادات الزور ونحوها والظلم البيِّن ، فمن قال : ( إن هذا مِن شرع الله ) فقد كفر بلا نزاع

“Syari’at yang diganti : ia merupakan kedustaan terhadap Allah dan Rasul-Nya, atau terhdap manusia dengan persaksian-persaksian palsu dan yang semisalnya, dan merupakan kedhaliman yang nyata. Barangsiapa yang berkata : ‘Sesungguhnya ini termasuk syari’at Allah’, sungguh ia telah kafir tanpa ada perselisihan” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 3/268].

Perkataan Ibnul-‘Arabiy rahimahullah :

وهذا يختلف: إن حكم بما عنده على أنه من عند الله فهو تبديل له يوجب الكفر. وإن حكم به هوى و معصية فهو ذنب تدركه المغفرة على أصل أهل السنة في الغفران للمذنبين

"Dan ini berbeda : Jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri dengan anggapan bahwa ia dari Allah maka ia adalah tabdiil (mengganti) yang mewajibkan kekufuran baginya. Dan jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri karena hawa nafsu dan maksiat, maka ia adalah dosa yang masih bisa diampuni sesuai dengan pokok Ahlus-Sunnah tentang ampunan bagi orang-orang yang berdosa" [lihat : Ahkaamul-Qur’an, 2/624].

Pertanyaan saya pada Anda adalah : Adakah pernyataan-pernyataan Anda di atas memenuhi syarat tabdiil yang dikemukakan Ibnu Taimiyyah dan Ibnul-'Arabiy rahimahumallah ?.

Terkait dengan istihlaal yang saya singgung bahwa ia merupakan masalah hati yang tidak dapat diketahui kecuali dinyatakan sendiri oleh pelakunya akan kehalalalannya (sesuatu yang haram); maka sama halnya dengan kondisi si Yahudi tentang pengikrarannya bahwa hukum zina menurut Taurat adalah diarak dst. Inilah istihlaal dalam perkataan (baca : Penghalalan (Istihlaal) dalam Amal Perbuatan yang Mengkonsekuensikan Kekafiran).

Aman mengatakan...

Ikut nimbrung sedikit.

Soal kerumitan yang menjadi diskusi Anonim dengan Abu Jauza menurut saya karena tidak tepat melihat konteks. Ini persoalan yang umum, saya lihat, dalam banyak pembahasan.

Anonim tidak merasa itu adalah hal yang rumit karena ia beranjak dari sudut pandang tauhid. Sementara, apa yang disebut Abu Jauza rumit, karena berpijak pada sudut pandang ILMU Tauhid.

Hal-hal seperti itu dalam bidang lain pun sama. Jika Anda melihat kehidupan para Sahabat, tidak ada kerumitan dalam masalah fiqih. Sekarang coba Anda tengok beratus-ratus jilid Ilmu Fiqih, jelas rumit. Apalagi, kalaupun ada yang musykil, tinggal datang kepada Nabi bertanya. Ya Toh!

Catatan kedua:
soal istihlal. Saya sepakat itu masalah hati.

Catatan saya:
1. halal yang dimaksud di sini adalah hukum pokok atau hukum dasar.

2. Halal yang dimaksud adalah hukum yang ditegaskan oleh syariat. Bukan halal dalam arti netral, yaitu apa yang tidak disebutkan oleh nash; yang disebut ma yaskutu 'anhu al-syaari', sebagai suatu keleluasaan; yang di dalam ushul fiqih dirumuskan dengan al-Aslu fil al-Asya'i al-ibahah illa ma dalla al-dalil ala tahrimihi.

tambaham: saya pengikut mazhab Asy'ari. :)

Anonim mengatakan...

@Abu Al-Jauzaa'

Perkataan Ibnu Taimiyyah dan Ibnul- 'Arabiy perihal tabdiil tidaklah sampai pada tingkatan ijma', dimana hal tsb tidak bisa membatasi apalagi menafikan akan kafirnya perbuatan para penguasa yg menetapkan hukum dan menyelisihi hukum2 yg telah qot'i di dalam syari'at walau pun mereka tidak menisbatkan produk hukum tersebut sebagai hukum yg berasal dari Allah.
Inilah yg juga dijelaskan oleh Syeikh Shalih Al-Fauzan (Anggota Hai’ah Kibaril ‘Ulama) tatkala membantah kitab Hazimah Al-Fikri At-Takfiri Karya Khalid Al- Anbari. Kalau ada yg bersikeras mengatakan hal ini adalah ijma' sekaligus sebagai pembatas akan makna tabdiil, maka saya katakan alangkah bodohnya orang sekelas Syeikh Shalih Al-Fauzan yg tidak mengetahui adanya ijma' dlm hal ini.
Oleh karenanya tak ada relevansinya pengertian "istihlal" untuk dikemukakan dalam masalah ini ( perihal tabdiil), toh telah jelas bahwa "menetapkan hukum" yg menyelisihi hal-hal yg qot'i didalam syariat merupakan perbuatan kufur akbar yg mengkafirkan para pelakunya baik terdapat istihlal atau tidak dalam i'tiqod mereka.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Coba Anda simak kembali artikel di atas, baca pelan-pelan.

Yang saya katakan bahwasannya tabdill (yang mengkafirkan) menurut Ibnul-'Arabiy dan Ibnu Taimiyyah adalah sebagaimana yang dituliskan di atas. Setahu saya, para ulama terdahulu menggunakan istilah tabdiil adalah dengan maksud menggantikan hukum Allah dengan hukum selainnya, dan kemudian menisbatkan hukum pengganti tersebut sebagai syari'at Allah. Kalau Anda nemu kalimat ulama terdahulu yang menggunakan istilah tabdiil selain yang saya sebutkan(seperti yang dikatakan Syaikh Al-Fauzaan hafidhahullah), sangat dipersilakan untuk menyebutkannya di sini.

Kemudian,.... sangat aneh Anda kemudian mengkonsekuensikan apa yang saya tuliskan di atas dengan perkataan :

"Alangkah bodohnya orang sekelas Syaikh Shalih Al-Fauzaan...." [selesai].

Seandainya Anda memegang pendapat Syaikh Shaalih Al-Fauzaan dalam kitab Hazimah Al-Fikri At-Takfiri Karya Khalid Al- Anbari; saya pun bisa berpikir dan berkomentar yang serupa :

"Alangkah bodohnya orang sekelas Dr. Khaalid Al-'Anbariy kalau tidak mengetahui inti hal yang dikatakan oleh Syaikh Shaalih Al-Fauzaan...".

Atau guru Dr. Khaalid Al-'Anbariy, yaitu : Syaikh Al-Albaaniy, Syaikh Ibnu 'Utsaimiin, dan Syaikh Shaalih As-Sadlaan yang membaca dan merekomendasikan kitab Al-Hukmu bi-Ghairi Maa Anzalallaah nya Dr. Khaalid (baca : di sini) :

"Alangkah bodohnya Syaikh Al-Albaniy, Syaikh Ibnu 'Utsaimiin, dan Syaikh As-Sadlaan membenarkan hujjah Dr Khaalid dan tidak tahu inti perkataan Syaikh Al-Fauzaan....".

Ini logika saya mengutip logika Anda.

Yang jadi pemutus adalah : Adakah perkataan ulama terdahulu yang mengatakan makna tabdiil selain yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah dan Ibnul-'Arabiy ?.

Kafirnya orang yang berhukum dengan hukum selain hukum Allah memang bukan dibatasi dengan tabdiil yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah dan Ibnul-'Arabiy. Tapi ada hal yang lain seperti istihlaal, atau dengan mengatakan hukum selain Allah itu sama, lebih baik, atau boleh memilih dst. yang saya yakin Anda telah mengetahuinya.

Anonim mengatakan...

@Abu Al-Jauzaa'

Pertama, intinya perkataan Ibnu Taimiyyah dan Ibnul- 'Arabiy sebagai ijma' apalagi sebagai pembatas atas pengertian tabdiil itu tidak ada.

Kedua, perkataan antum :

"..Yang jadi pemutus adalah : Adakah perkataan ulama terdahulu yang mengatakan makna tabdiil selain yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah dan Ibnul-'Arabiy ?."...sangat tidak tepat dalam hai ini.

Kalimat yg saya rasa lebih tepat untuk dikemukakan adalah :

Justru yang seharusnya menjadi pemutus adalah : Adakah Ibnu Taimiyyah dan Ibnul-'Arabiy "mengklaim" bahwa pendapat mereka tentang makna tabdiil merupakan ijma' dari orang-orang terdahulu sebelum mereka sekaligus sebagai "pembatas" akan makna tabdiil bagi ulama-ulama setelah mereka ?

Kalau antum tidak bisa menjawabnya, maka itulah yg mungkin dapat menjelaskan mengapa seorang sekelas Syeikh Shalih Al-Fauzan memiliki pendapat yg berbeda dengan keduanya.

Inilah logika saya mengutip logika Anda.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Saya mencium bau apologi yang tidak sehat.

Pertama, tidak ada satu kalimat pun dari saya yang tertulis ijma'. Anehnya, Anda nyambung-nyambungin ke ijma'.

Kedua, saya hanya menukilkan perkataan ulama terdahulu (yaitu Ibnu Taimiyyah dan Ibnul-'Arabiy) tentang apa makna tabdiil hukum.

Ketiga, terkait dengan nomor dua, Anda mengklaim itu bukan ijma'. Lantas saya tanya (padahal saya tidak menyebut ijma') : Adakah perkataan ulama terdahulu yang menyatakan definisi tabdiil itu selain yang dikatakan Ibnu Taimiyyah dan Ibnul-'Arabiy yang saya kutip ?.

JAWAB :

NIHIL....... Anda tidak membawakannya. Atau memang tidak bisa membawakannya kecuali dari perkataan Syaikh Al-Fauzaan ?.

NB : Coba Anda belajar berapologi yang lebih baik lagi. Seandainya saya menyebutkan ijma' dan istiqra' perkataan ulama (IBnu Taimiyyah dan Ibnul-'Arabiy), lantas Anda tidak sepakat dengan ijma' ini.... maka sudah sepatutnya - bagi golongan yang cerdas - membuktikan adanya penyelisihan dari perkataan Ibnu Taimiyyah dan Ibnul-'Arabiy atas makna tabdiil. Ada atau gak ada ?.

Ada, jawab Anda. Saya tanya : Siapakah itu ?. Jawab Anda : Syaikh Al-Fauzaan dan yang sepakat dengan beliau.

Jawaban Anda sudah cukup bagi saya.

Anonim mengatakan...

Ustadz...

misalkan ada yang berkata: "tidak berjilbab itu tidak apa-apa", atau perkataan semisalnya...

apakah PERKATAAN ini tergolong kufur akbar? (karena menghalalkan apa yang diharamkan Allaah)?