Istighaatsah An-Naabighah Al-Ja’diy ?



Ketika membaca tulisan Ustadz Musmulyadi Lukman, Lc. yang mengkritik tulisan Ustadz Muhammad Idrus Ramli - yang kemudian direpro oleh Ustadz Firanda, MA. dalam websitenya[1] - , saya sempatkan untuk mencari sumber tulisan asli Ustadz Muhammad itu di Fans Page Facebook-nya. Ada sesuatu yang menggelitik saya saat membaca tulisannya yang berisi ‘bantahan balik’[2], yaitu ulasannya tentang beberapa riwayat yang dianggap sebagai dalil istighatsah dari kalangan salaf. Diantaranya ia (Ustadz Muhammad Idrus Ramli) menuliskan :
Kedua) beristighatsah dengan orang yang sudah wafat telah berlangsung sejak generasi sahabat, tanpa ada orang yang menganggapnya syirik. Al-Hafizh al-Baihaqi meriwayatkan dalam Syu’ab al-Iman:
أخبرنا أبو عبد الله الحافظ أخبرني أبو محمد بن زياد نا محمد بن إسحاق الثقفي قال : سمعت أبا إسحاق القرشي يقول : كان عندنا رجل بالمدينة إذا رأى منكرا لا يمكنه أن يغيره أتى القبر فقال : 
(
أَيَا قَبْرَ النَّبِيِّ وَ صَاحِبَيْهِ ... أَلاَ يَا غَوْثَنَا لَوْ تَعْلَمُوْنَا )
“Abu Ishaq al-Qurasyi berkata: “Ada seorang laki-laki di Madinah di dekat kami, apabila melihat kemungkaran yang tidak mungkin ia berantas, maka ia mendatangi makam Nabi SAW lalu berkata:
Wahai makam Nabi SAW dan kedua temannya
Wahai penolong kami seandainya kamu mengetahu”
(Atsar di atas diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman juz 3 hal. 495, terbitan Dar al-Kutub al-Ilmiyah tahqiq Zaghlul, atau juz 6 hal. 60 terbitan Wahabi Maktabah al-Rusyd Riyadh tahqiq Mukhtar al-Nadwi.)
Abu Ishaq al-Qurasyi tersebut adalah maula Abdullah bin al-Harits bin Naufal al-Hasyimi, dan meriwayatkan hadits dari sahabat Abu Hurairah, sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh al-Mizzi dalam Tahdzib al-Kamal, juz 8 hal. 230.
Syair yang diucapkan oleh Abu Ishaq al-Qurasyi tersebut, adalah Syair nya seorang sahabat Nabi SAW yang agung yaitu Nabighah al-Ja’di. Beliau mengucapkan syair tersebut, setelah dipukul oleh Sayyidina Abu Musa al-Asy’ari beberapa cambuk, sebagaimana disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Abdil Barr dalam al-Isti’ab, juz 3 hal. 586 (hamisy al-Ishabah).
[selesai kutipan]
Begitulah katanya..... dan itu keliru !!
Saya (Abul-Jauzaa’) berkata :
Atsar itu memang benar diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan 6/60 no. 3879; Maktabah Ar-Rusyd, Cet. 1/1423 H sebagai berikut :
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، أَخْبَرَنِي أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ زِيَادٍ، نا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ الثَّقَفِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا إِسْحَاقَ الْقُرَشِيَّ، يَقُولُ: كَانَ عِنْدَنَا رَجُلٌ بِالْمَدِينَةِ إِذَا رَأَى مُنْكَرًا لا يُمْكِنُهُ أَنْ يُغَيِّرَهُ أَتَى الْقَبْرَ، فَقَالَ:
 أَيَا قَبْرَ النَّبِيِّ وَصَاحِبَيْهِ         أَلا يَا غَوْثَنَا لَوْ تَعْلَمُونَا
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh : Telah mengkhabarkan kepadaku Abu Muhammad bin Ziyaad : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Ishaaq Ats-Tsaqafiy, ia berkata : Aku mendengar Abu Ishaaq Al-Qurasyiy berkata : Dulu di sisi kami ada seorang laki-laki di Madiinah apabila ia melihat kemunkaran yang tidak bisa dirubahnya, ia mendatangi kubur (Nabi) seraya berkata : ‘wahai kubur Nabi dan dua shahabatnya (Abu Bakr dan ‘Umar), wahai penolong kami seandainya engkau mengetahui kami”.
Mari kita lihat perawinya :
1.     Abu ‘Abdillah Al-Haafidh, ia adalah Al-Haakim An-Naisaabuuriy, penulis kitab Al-Mustadrak yang nama lengkapnya : Muhammad bin ‘Abdillah bin Muhammad bin Hamdawaih bin Nu’aim bin Al-Hakam Adl-Dlabbiy Ath-Thuhmaaniy An-Naisaabuuriy, Al-Haafidh Abu ‘Abdillah Al-Haakim; seorang imam, tsiqah, pemilik banyak tulisan. Lahir tahun 321 H dan wafat tahun 405 H [lihat : Ittihaaful-Murtaqiy bi-Taraajimi Syuyuukh Al-Baihaqiy, hal. 460-462 no. 161].
2.     Abu Muhammad bin Ziyaad, ia adalah : ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aliy bin Ziyaad As-Sammadziy Al-‘Adl, Abu Muhammad; seorang mujtahid, tsiqah, lagi diridlai. Lahir tahun 281 H dan wafat tahun 366 H [Al-Irsyaad fii Ma’rifati ‘Ulamaa’ Al-Hadiits hal. 370 no. 81 dan Rijaal Al-Haakim fil-Mustadrak 1/58 no. 80].
3.     Muhammad bin Ishaaq Ats-Tsaqafiy, ia adalah : Muhammad bin Ishaaq bin Ibraahiim bin Mihraan bin ‘Abdillah, Abul-‘Abbaas As-Sarraaj Ats-Tsaqafiy; seorang yang haafidh, tsiqah, lagi mutqin. Lahir tahun 218 H, dan wafat pada usia 95/96/97 tahun [lihat : Zawaaid Rijaal Shahiih Ibni Hibbaan oleh Yahyaa bin ‘Abdillah Asy-Syahriy, hal. 1117-1124 no. 520, desertasi Univ. Ummul-Qurra’].
4.     Abu Ishaaq Al-Qurasyiy, seorang yang majhuul [lihat : Hilyatul-Auliyaa’, 10/141].
Walhaasil, riwayat ini lemah. Apalagi ditambah laki-laki mubham (tidak disebut namanya) – seandainya kita ingin berhujjah dengan perbuatan dan syair yang diucapkannya, semakin menambah kelemahannya.
Jadi perkataan Muhammad Idrus Ramli yang menisbatkan Abu Ishaaq Al-Qurasyiy pada maulaa ‘Abdullah bin Al-Haarits bin Naufal Al-Haasyimiy, murid Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, adalah keliru. Tidakkah ia (Ustadz Muhammad Idrus Ramli) sedikit saja membaca (dan memahami) jalan sanad riwayat yang ia bawakan ?. Apakah mungkin Abul-‘Abbaas As-Sarraaj (Muhammad bin Ishaaq Ats-Tsaqafiy) yang baru lahir tahun 218 H mendengar riwayat dari generasi taabi’iin semisal Abu Ishaaq Al-Qurasyiy maulaa ‘Abdullah bin Al-Haarits bin Naufal Al-Haasyimiy ?.
Klaimnya bahwa syair yang diucapkan laki-laki tak dikenal[3] dalam riwayat di atas adalah syair Nabiighah Al-Ja’diy adalah klaim kosong lagi memaksakan diri.
Pertama, kalau kita mencermati riwayat yang dibawakan Al-Baihaqiy, maka dhahir syair itu diucapkan oleh laki-laki tak dikenal yang semasa dengan Abu Ishaaq Al-Qurasyiy. Jelas, laki-laki itu bukan An-Naabighah atau orang dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang lainnya.
Kedua, sumber yang dipakai Ustadz Muhammad Idrus Ramli untuk menyatakan syair yang diucapkan laki-laki itu adalah syair yang pernah diucapkan oleh An-Naabighah radliyallaahu ‘anhu adalah kitab Al-Isti’aab karangan Ibnu ‘Abdil-Barr[4]. Riwayat yang dibawakan Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah tersebut berasal dari Al-Haitsam bin ‘Adiy, seorang yang tertuduh melakukan kedustaan lagi matruuk [lihat : Ta’riifu Ahlit-Taqdiis/Thabaqaatul-Mudallisiin oleh Ibnu Hajar hal. 146 no. 151]. Dan tidak mungkin Al-Haitsam bin ‘Adiy melihat An-Naabighah dan Abu Muusaa Al-Asy’ariy, karena ia terpaut jaman yang cukup jauh dengan generasi para shahabat. Al-Haitsam wafat tahun 207 H. Kesimpulan riwayatnya ?. Jawab : Sangat lemah.
Jadi,... rajut-merajut kisah ala Muhammad Idrus Ramli di atas batal dari awal hingga akhir, kekeliruan di atas kekeliruan.
Perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat kemunkaran yang tidak sanggup diubah adalah jelas, yaitu melalui sabdanya :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
“Barangsiapa yang melihat kemunkaran, hendaknya ia rubah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ia rubah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 49, At-Tirmidziy no. 2172, Abu Daawud no. 1140 & 4340, An-Nasaa’iy no. 5008-5009, Ibnu Maajah no. 1275 & 4013, dan yang lainnya dari shahabat Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu].
Tak ada dalam sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam perintah mendatangi kubur beliau atau kubur orang shaalih sepeninggal beliau untuk meminta tolong dan berkeluh-kesah.
Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor - 16071434/25052013 – 22:09].



[2]      Menurut saya, ‘bantahan balik’ Ustadz Muhammad Idrus Ramli itu tidak lebih seperti orang yang sedang kalap, mengais apa saja yang mungkin dapat membantu pendapatnya tanpa mampu dan berusaha memahami hujjah yang disebutkan lawannya.
Apalagi kebenciannya terhadap nama Ibnu Taimiyyah yang mengakibatkan dirinya perlu mengarang kalimat :
SUNNI: “Pernyataan saya bukan menelan kembali ucapan saya secara samar-samar, tetapi ingin menjelaskan kepada public bahwa Ibnu Taimiyah adalah sosok controversial dalam banyak persoalan. Di sini bilang A, nanti di tempat lain akan bilang B. Ini akibat dari cara belajar Ibnu Taimiyah yang tanpa guru, sehingga ilmunya tidak sistimatis dan sering controversial.
[selesai kutipan].
Miskin sekali Ustadz Muhammad Idrus Ramli ya, semiskin ulasannya yang dibahas pada artikel di atas. Tapi tak mengapa, karena mungkin niatnya hanyalah melucu dan mencari sensasi. Atau barangkali yang dimaksudkan dengan Ibnu Taimiyyah bukan Ahmad bin ‘Abdil-Haliim bin ‘Abdis-Salaam bin ‘Abdillah bin Muhammad bin Al-Khidlr bin Muhammad bin Al-Khidlr bin ‘Aliy bin ‘Abdillah An-Numairiy Al-Harraaniy Ad-Dimasyqiy Al-Hanbaliy. Sebab, Ibnu Taimiyyah yang bernama Ahmad bin ‘Abdil-Haliim jelas mempunyai banyak guru, di antaranya : ayahnya (‘Abdul-Haliim bin Taimiyyah Al-Hanbaliy), Majduddiin bin ‘Asaakir, Ibnu ‘Abdil-Daayim, Yahyaa bin Ash-Shairafiy, dan banyak yang lain [silakan baca : Dzail Thabaqaatul-Hanaabilah oleh Ibnu Rajab]. Al-Haafidh Al-Mizziy pernah berkata tentang Ibnu Taimiyyah rahimahumallah yang ini :
ما رأيت مثله ولا رأى هو مثل نفسه وما رأيت أحدا أعلم بكتاب الله وسنة رسول الله ولا أتبع لهما منه
“Aku tidak pernah melihat orang semisalnya dan ia pun tidak pernah melihat orang yang semisal dirinya. Aku tidak pernah melihat orang yang lebih mengetahui tentang Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam serta orang yang lebih ittibaa’ (mengikuti) keduanya dibandingkan dirinya” [Asy-Syahaadatuz-Zakiyyah, hal. 45].
Dan masih sangat banyak pujian para ulama terhadap Ibnu Taimiyyah Ahmad bin ‘Abdil-Haliim rahimahullah.
Jadi sekali lagi, ada kemungkinan yang dimaksudkan Muhammad Idrus Ramli dengan Ibnu Taimiyyah yang bodoh lagi tak punya guru adalah Ibnu Taimiyyah kolega atau saingan dakwahnya di kampung halaman.
[3]      Bukan syair Abu Ishaaq Al-Qurasyiy seperti kata Muhammad Idrus Ramli !
[4]      Diriwayatkan Ibnul-Jauziy Abul-Faraj Al-Ashbahaaniy (hasil koreksi dari Muhammad Idrus Ramli, jazaakallaahu khairan) dalam Al-Aghaaniy no. 127 lengkap dengan sanadnya sebagai berikut :
أَخْبَرَنِي أَبُو الْحَسَنِ الأَسَدِيُّ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ صَالِحٍ، وَهَاشِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْخُزَاعِيُّ أَبُو دُلَفَ، قَالا: حَدَّثَنَا الرِّيَاشِيُّ، قَالَ: قَالَ أَبُو سُلَيْمَانَ عَنِ الْهَيْثَمِ بْنِ عَدِيٍّ، قَالَ: " رَعَتْ بَنُو عَامِرٍ بِالْبَصْرَةِ فِي الزَرْعِ، فَبَعَثَ أَبُو مُوسَى الأَشْعَرِيُّ فِي طَلَبِهِمْ، فَتَصَارَخُوا يَا آلَ عَامِرٍ يَا آلَ عَامِرٍ، فَخَرَجَ النَّابِغَةُ الْجَعْدِيُّ وَمَعَهُ عُصْبَةٌ لَهُ، فَأُتِيَ بِهِ إِلَى أَبِي مُوسَى الأَشْعَرِيِّ، فَقَالَ لَهُ: مَا أَخْرَجَكَ؟ قَالَ: سَمِعْتُ دَاعِيَةَ قَوْمِي، قَالَ: فَضَرَبَهُ أَسْوَاطًا، فَقَالَ النَّابِغَةُ:
 رَأَيْتُ الْبَكْرَ بَكْرَ بَنِي ثَمُودٍ         وَأَنْتَ أَرَاكَ بَكْرَ الأَشْعَرِينَا
 فَإِنْ يَكُنِ ابْنُ عَفَّانَ أَمِينَا         فَلَمْ يَبْعَثْ بِكَ الْبَرَّ الأَمِينَا
 فَيَا قَبْرَ النَّبِيِّ وَصَاحِبَيْهِ         أَلا يَا غَوْثَنَا لَوْ تَسْمُعَونَا
 أَلا صَلَّى إِلَهَكُمْ عَلَيْكُمْ         وَلا صَلَّى عَلَى الأُمَرَاءِ فِينَا "

Comments

toko online kelanis mengatakan...

saya melihat justru para perawi yang meriwayatkan bahkan Imam Baihaqy yang memasukkannya riwayat ini dalam kitabnya tidak mengharamkan dan melarang hal ini.... saya rasa hal ini jauh lebih penting.

karena kenyataan yg ada, walaupun bisa jadi para ahli hadist dan para ulama berbeda pendapat soal kesahihan hadist2 tawasul, mereka semua sepakat untuk tidak melarang apalagi memusyrikkannya kecuali ibnu tamiyah dan pengikutnya.

ini yang dipahami dan dijelaskan secara jujur.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Kalau Anda paham, meriwayatkan tidak selalu punya konsekuensi berhujjah. Tapi kalau tidak paham, maka Anda akan mengatakan apa yang telah Anda katakan di atas.

Musamulyadi Luqman B.A. mengatakan...

Assalamualaikum, Roa'akallah wahadakallah, Jazakallahu khaira..

apakah antum sudah benar-benar yakin bahwa Abu Abdillah Al-Hafidz adalah Imam Hakim penulis Almustadrak?

Sepertinya Abu Abdillah Al-Hafizh yg dimaksud di sini adalah Alhulaimiyy 334 - 403 H. seperti diketahui bahwa Imam Al-Baihaqi banyak merujuk kepada Alhulaimiyy dalam menuliskan hadits di kitab Syu'abul Iman, sebgaimana hal ini telah disebutkan sendiri oleh Imam Albaihaqi di Muqaddimah kitabnya, demikian juga dengan Imam Adz-dzahabi di Siyarnya, menjelaskan hal yg serupa, yakni Imam Baihaqi banyak mengambil dari Alhulaimiyy ketika menulis Syu'abul Iman.

Faedah: "Takhrij hadits tidak dianggap sempurna dan baik tanpa Insti'aab atas Aqwaal Ulama terdahulu tentang status Hukum Rawi ataupun Hadits itu sendiri."

saya (musmulyadi) sengaja tidak membahas Takhrij Hadits dalam membantah M.Ramli sebab khawatir akan menjadi panjang sedangkan waktu saya sangatlah terbatas. namun semoga Allah menerima Juhud antum.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Wa'alaikumus-salaam.

Ya, sampai saat ini begitu. Al-Baihaqiy ketika saat menyebutkan Abu 'Abdillah Al-Haafidh dalam beberapa sanadnya, sering menyebutkan dengan tambahan keterangan Muhammad bin 'ABdillah Al-Haafidh atau Abu 'Abdillah Muhammad bin 'Abdillah Al-Haafidh. Nama itu tentu merujuk pada Al-Haakim An-Naisaabuuriy. Atau silakan baca di hadits no. 1 kitab Syu'abul-Iimaan dimana Al-Baihaqiy berkata : Akhbaranaa Abu 'Abdillah Muhammad bin 'Abdillah bin Muhammad bin Hamdawaih rahimahullahu ta'ala..dst. Jadi, pemutlakan Abu 'Abdillah Al-Haafidh di sini merujuk kepada Al-Haakim. Selain itu, telah dikenal dalam kitab-kitab biografi bahwasannya Abu 'Abdillah Al-Haakim merupakan salah satu syaikh Al-Baihaqiy yang utama. Pentahqiq kitab Al-Jaami' li-Syu'abil-Iimaan, yaitu Dr. 'Abdil-'Aliy bin 'Abdil-Hamiid ketika menyebutkan beberapa syuyuukh Al-Baihaqiy, menempatkan Abu 'ABdillah Al-Haakim dalam nomor urut 1.

Adapun Al-Hulaimiy, maka namanya adalah Abu 'Abdillah Al-Husain bin Al-Hasan Al-Hulaimiy rahimahullah. Ia satu thabaqah dengan Al-Haakim An-Naisaabuuriy, dan Al-Haakim banyak mengambil riwayat darinya. Al-Baihaqiy banyak menukil kitab Al-Hulaimiy yang mempunyai judul sama dengan kitab Al-Baihaqiy : Syu'abul-Iimaan.Al-Hulaimiy menjadi salah satu sebab kenapa Al-Baihaqiy menulis kitab Syu'abul-Iimaan. Al-Hulaimiy lahir tahun 338 H dan wafat tahun 403 H.

Coba antum periksa lagi [diantaranya silakan baca As-Siyar 17/231-234 atau penjelasan pentahqiq kitab Syu'abul-Iimaan di awal kitab].

Wallaahu a'lam.

Baarakallaahu fiik.

Anonim mengatakan...

Assalamualaikum, bagaimana dngn riwayat ini?

عليه وسلم، وَكُنَّا عَلَى حَالَةٍ وَأَثَّرَ فِيْنَا الْجُوْعُ وَوَاصَلْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ، فَلَمَّا كَانَ وَقْتُ الْعِشَاءِ حَضَرْتُ قَبْرَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ الْجُوْعَ الْجُوْعَ، وَانْصَرَفْتُ. فَقَالَ لِيْ أَبُو الْقَاسِمِ: اِجْلِسْ إِمَّا أَنْ يَكُوْنَ الرِّزْقُ أَوْ الْمَوْتُ، قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ: فَنِمْتُ أَنَا وَأَبُو الشَّيْخِ وَالطَّبَرَانِيُّ جَالِسٌ يَنْظُرُ فِيْ شَيْءٍ فَحَضَرَ فِي الْبَابِ عَلَوِيٌّ فَدَقَّ فَفَتَحْنَا لَهُ فَإِذًا مَعَهُ غُلاَمَانِ مَعَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا زَنْبِيْلٌ فِيْ شَيْءٍ كَثِيْرٍ، فَجَلَسْنَا وَأَكَلْنَا، قَالَ الْعَلَوِيُّ: يَا قَوْمُ أَشَكَوْتُمْ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَإِنِّيْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْمَنَامِ فَأَمَرَنِيْ أَنْ أَحْمِلَ بِشَيْءٍ إِلَيْكُمْ. رواه الحافظ ابن الجوزي في الوفا بأحوال المصطفى (ص/818)، والحافظ الذهبي في تذكرة الحفاظ (3/973) وتاريخ الإسلام (ص/2808

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Silakan baca : Kisah Ath-Thabaraaniy, Ibnul-Muqri’, dan Abusy-Syaikh Beristighatsah kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Anonim mengatakan...

tulisan ustad abul jauzaa diatas sudah ditanggapi oleh ustad idrus ramli disini


https://www.facebook.com/photo.php?fbid=163667267141854&set=a.122857684556146.24725.117807148394533&type=1&theater

alhamdulillah hujjah ustad idrus begitu kuat

Anonim mengatakan...

Assalamualaikum

Ada tulisan bantahannya udah baca tadz : http://www.facebook.com/kitabfathulmuin/posts/10151390734656447

Imron mengatakan...

Ini yang tulisan nya lebih rapi

http://aliyfaizal.blogspot.com/2013/05/ustadz-idrus-ramli-menjawab-abul-jauzaa-kami-penyembah-kuburan-atau-wahabi-pengagum-abu-jahal-dan-abu-lahab.html

Mudah-mudahan Ust.Abul Jauza diberi kemudahan untuk menjelaskan nya kembali

amin

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Terima kasih atas informasinya dan terima kasih pula terhadap Ustadz Muhammad Idrus Ramli atas respon baliknya. Saya hanya akan menanggapi komentar baliknya yang terkait inti artikel saja. Adapun beberapa perkataannya yang melebar ke beberapa hal, saya tidak akan komentari karena membutuhkan ruang tersendiri. Secara ringkas saya katakan :

1. Perkataannya tentang Abu Ishaaq Al-Qurasyiy.

Saya tidak tahu apakah Ustadz Muhammad Idrus Ramli pernah belajar ilmu hadits ataukah tidak, karena saya ragu apakah beliau ini paham tentang istilah perawi majhul ?. Jelas sekali Abu Ishaaq Al-Quraisyiy itu adalah perawi yang tidak mendapatkan mendapatkan ta’dil dari siapapun. Selain itu, riwayatnya sangat sedikit dan sangat sedikit pula perawi yang meriwayatkan darinya. Tidak ada perawi tsiqaat yang terkenal teliti dan selektif dalam penerimaan riwayat yang meriwayatkan hadits darinya. Apakah ini tidak dinamakan majhuul ?. Atau, apakah saya perlu bertanya apa definisi perawi majhuul menurut Ustadz Muhammad Idrus Ramli ini ?. Kalau beliau mau bersandar pada perkataan Al-Baihaqiy di awal kitab Syu’abul-Iimaan, maka ini terlalu tasaahul. Pernyataan itu tidaklah serta merta mengindikasikan semua riwayat yang ada di dalam Syu’abul-Iimaan adalah shahih dan semua perawi yang ada di dalamnya tsiqaat. Apalagi tidak ada tashriih dari Al-Baihaqiy tentang status Abu Ishaaq Al-Qurasyiy ini.

Apalagi bersandar dengan perkataan Mukhtar An-Nadwiy yang notabene dari kalangan orang-orang belakangan... Ini aneh sekali. Justru perkataan Mukhtar bahwa sanadnya jayyid itu perlu diteliti. Ia berkata :


إسناده جيد، أبو إسحاق القرشي لعله ابراهيم بن محمد بن العباس الشافعي المكي عم الامام الشافعي

“Sanad atsar tersebut jayyid (istimewa/istilah lain dari shahih). Abu Ishaq al-Qurasyi, barangkali Ibrahim bin Muhammad bin al-‘Abbas al-Syafi’i al-Makki, paman al-Imam al-Syafi’i.”
.

Kalau misalnya Ustadz Muhammad Idrus Ramli ingin berdalil dengan perkataan ini, maka ini adalah ketaqlidan yang sangat akut yang sedang menjangkitinya. Pertama, Ibraahiim bin Muhammad bin Al-‘Abbaas Asy-Syaafi’iy itu bukan paman dari Al-Imaam Asy-Syaafi’iy, akan tetapi anak paman (sepupu) dari Asy-Syaafi’iy. Kedua, Ibraahiim bin Muhammad bin Al-‘Abbaas, terkenal dengan kunyah : Abu Ishaaq Asy-Syaafi’iy Al-Makkiy, bukan Abu Ishaaq Al-Qurasyiy. Ketiga, Ibraahiim bin Muhammad bin Al-‘Abbaas tidak dikenal sebagai syaikh dari As-Sarraaj.

Apapun itu, mengklaim Abu Ishaaq Al-Qurasyiy sebagai Ibraahiim bin Muhammad bin Al-‘Abbaas, anak paman Asy-Syaafi’iy, tidaklah kuat. Apalagi Ustadz Muhammad Idrus Ramli sendiri mengatakan dalam tulisannya :

laki-laki mubham/tak dikenal dalam atsar di atas, tidak menjadi soal dalam substansi dan nilai atsar tersebut, karena para ulama Madinah, termasuk Abu Ishaq al-Qurasyi, membiarkan dan tidak menganggapnya syirik atau penyembah kuburan, sebagaimana dalam madzhab Wahabi yang Anda ikuti.

[selesai kutipan]

Padahal, Ibraahiim bin Muhammad sepupu Al-Imaam Asy-Syaafi’iy itu ulama Makkah, bukan Madiinah.

[NB : Perhatikan, dalam tulisannya, Muhammad Idrus Ramli yang malah berpayah-payah membahas Mukhtar An-Nadwiy dan lantas menghubung-hubungkan dengan tulisan saya. Ini adalah analisis yang sedikit kurang cerdas. Maaf, itu tidak banyak menolong Anda].

Bagi rekan-rekan untuk memperkaya apa itu perawi majhuul, silakan baca :

Perawi Majhuul.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

2. Perkataannya tentang Al-Haitsam bin ‘Adiy.

Ini lebih para dari sebelumnya. Ia mengaku sudah membuka kitab Lisaanul-Miizaan, tapi yang ia sebutkan hanyalah pernyataan bahwa Al-Haitsam adalah seorang yang ‘alim dalam bidang sejarah, tanpa menyebutkan yang lainnya :

sedangkan pernyataan Anda, bahwa “sumber riwayat syair tersebut yang berasal dari al-Haitsam bin Adi, yang bernilai seorang yang tertuduh melakukan kedustaan lagi matruuk”, agaknya ini membuktikan bahwa Anda masih kurang banyak membaca kitab-kitab rijal al-hadits dan sejarah. Mengapa demikian?

1) Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata tentang al-Haitsam bin Adi:

قلت كان أخباريا علامة روى عن هشام بن عروة وعبد الله بن عياش المنتوف ومجالد قال ابن عدي ما أقل ماله من المسند إنما هو صاحب أخبار

“Aku berkata: al-Haitsam bin Adi seorang pakar sejarah dan sangat alim. Ia meriwayatkan dari Hisyam bin Urwah, Abdullah bin Ayyasy al-Mantuf dan Mujalid. Sedikit sekali hadits nya yang musnad. Beliau hanya ahli sejarah.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Lisan al-Mizan, juz 6 hal. 209, terbitan India).


[selesai nukilan dari Muhammad Idrus Ramli].

Membaca perkataannya di atas membuat saya semakin yakin bahwa ulama kita Muhammad Idrus Ramli adalah seorang mudallis, sama seperti Al-Haitsam bin ‘Adiy yang ia bela. Kenapa hanya menukil kalimat pendek itu pak Ustadz, sedangkan Anda meninggalkan uraian panjang Ibnu Hajar yang lain yang menukil perkataan para ulama mutaqaddimiin ?. Aha,... tentu saja ia tidak punya nyali untuk itu. Karena jika dituliskan, akan menjatuhkan perkataannya. Dalam Lisaanul-Miizaan (punya saya terbitan Maktabah Al-Mathbuu’aat Al-Islaamiyyah) dikutip beberapa perkataan ulama mengenai Al-Haitsam bin ‘Adiy ini di antaranya : Al-Bukhaariy dan Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Tidak tsiqah, sering berdusta”. Abu Daawud berkata : “Pendusta”. An-Nasaa’iy berkata : “Munkarul-hadiits”. Dan yang lainnya, saya persilakan dengan senang hati Ustadz Muhammad Idrus Ramli meneruskannya. Dan apakah Anda tidak baca kitab Thabaqaatul-Mudallisiin yang saya isyaratkan bahwa di situ Ibnu Hajar menguatkan penyimpulan bahwa ia seorang yang dituduh berdusta :

الهيثم بن عدي الطائي اتهمه بالكذب البخاري وتركه النسائي وغيره وقال أحمد كان صاحب أخبار وتدليس

“Al-Haitsam bin ‘Adiy Ath-Thaaiy, dituduh melakukan kedustaan oleh Al-Bukhaariy. An-Nasaa’iy dan yang lainnya meninggalkan haditsnya. Ahmad berkata : “Ia seorang shaahibul-akhbaar dan mudallis”.

Cobalah Anda berlaku jujur, karena jujur itu nikmat.

Dan…… apakah seorang ahli sejarah itu riwayatnya mesti shahih ?. Kalau Anda menjawab pasti shahih, saya katakan : Sungguh miskin Anda wahai Muhammad Idrus Ramli… Muhammad bin ‘Umar Al-Waaqidiy adalah perawi matruuk, meskipun ia seorang yang ‘alim dan gudang ilmu. Dan anehnya, Muhammad Idrus Ramli malah berdalih bahwa Wahabiy membela Saif bin ‘Umar dan Al-Waaqidiy. Inilah dalih ala ASWAJA ketika sedang bingung. Di atas saya tidak membahas Saif bin ‘Umar dan Al-Waaqidiy. Kalau mau membahas keduanya, simpan dulu uneg-unegnya di artikel lain yang pas, agar tidak terkesan ‘asal bantah’.
Ustadz Muhammad Idrus Ramli berdalih bahwa yang diriwayatkan oleh Al-Haitsam ini bukan hadits Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam (sehingga bisa diterima) :

Kisah tentang sahabat an-Nabighah al-Ja’di, yang ber-istighatsah dengan Nabi SAW, adalah kisah sejarah sahabat, bukan hadits Nabi SAW. Oleh karena itu, para ulama selevel al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, masih toleran dan menerima riwayat dari al-Haitsam bin Adi.

[selesai]

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Bukan masalah kisahnya, tapi ini mengenai rantai riwayat yang mengantarkan kita pada kisah.Valid atau tidak valid ? Kedudukan Al-Haitsam tidak lebih tinggi Muhammad bin Ishaaq, seorang pakar sejarah. Tapi sudah jamak diketahui bahwa riwayat sejarah yang dibawakan Ibnu Ihsaaq ini ada yang shahih, hasan, dan dla’iif. Jika demikian, apalagi Al-Haitsam yang dikatakan pendusta ini ?. Dan ingat, Ibnu ‘Abdil-Barr tidak mensyaratkan semua riwayat dalam kitab Al-Isti’aab itu shahih semua. Beliau rahimahullah seringkali hanya menukil beberapa riwayat yang terkait dengan shahabat yang hendak ia ceritakan. Ini kembali ke pemahaman Muhammad Idrus Ramli – sebagaimana umumnya pemahaman ASWAJA - : Membawakan riwayat ekuivalen dengan berhujjah. Membawakan riwayat ekuivalen dengan membenarkan.

Dan seandainya pun Ibnu ‘Abdil-Barr menshahihkan riwayat Al-Haitsam, tetap saja itu mesti dikembalikan pada keadaan diri Al-Haitsam sendiri – sesuai dengan ilmu rwayat yang telah ma’ruf. Kecuali jika memang ilmu ini tidak ma’ruf bagi Ustadz Muhammad Idrus Ramli.

Jadi, menurut Muhammad Idrus Ramli, riwayat orang lemah dan bahkan pendusta pun bisa dipakai asalkan bukan riwayat itu bukan hadits Nabi. Satu lagi sebenarnya syarat tambahan yang ia pakai namun tidak ia katakan : Asal mendukung pemahamannya.
I have no more comment !

3. Kengeyelannya berhujjah dengan perbuatan dan perkataan orang yang tidak dikenal.

Sebenarnya, sikap ngeyelnya ini karena ia sudah terlanjur menganggap Abu Ishaaq Al-Qurasyiy adalah seorang taabi'iy : Abu Ishaaq Al-Qurasyiy maulaa ‘Abdullah bin Al-Haarits bin Naufal Al-Haasyimiy (sebagaimana tulisannya sebelumnya). Kemudian, ia menyangka bahwa kemungkinan laki-laki mubham itu adalah An-Naabighah atau minimal seseorang dari kalangan kalangan shahabat atau kibaarut-taabi'iin.

Kemudian,.... Anda dapat lihat bagaimana ngeyelnya ulama lokal kita ini untuk mempertahankan berhujjah dengan perbuatan orang yang tak dikenal yang tak disebutkan namanya ini.

Anehnya Ustadz Muhammad Idrus Ramli berkata :

laki-laki mubham/tak dikenal dalam atsar di atas, tidak menjadi soal dalam substansi dan nilai atsar tersebut, karena para ulama Madinah, termasuk Abu Ishaq al-Qurasyi, membiarkan dan tidak menganggapnya syirik atau penyembah kuburan, sebagaimana dalam madzhab Wahabi yang Anda ikuti.

Ini adalah penyimpulan yang terlalu memaksakan diri dan menunjukkan penulisnya kurang memahami bahasa secara baik. Abu Ishaaq Al-Qurasyiy hanyalah menceritakan riwayat tanpa menyimpulkan apa-apa. Ini hasil terjemahan Ustadz Muhammad Idrus Ramli :

“Abu Ishaq al-Qurasyi berkata: “Ada seorang laki-laki di Madinah di dekat kami, apabila melihat kemungkaran yang tidak mungkin ia berantas, maka ia mendatangi makam Nabi SAW lalu berkata:

Wahai makam Nabi SAW dan kedua temannya

Wahai penolong kami seandainya kamu mengetahu”


[selesai].

Jadi Anda akan mengetahui Pembaca budiman, bahwa madzhab pemahaman Muhammad Idrus Ramli – sebagaimana para ASWAJA lainnya – bahwa meriwayatkan itu ekuivalen dengan berhujjah. Menceritakan suatu kejadian ekuivalen dengan berhujjah. Silakan nilai sendiri….

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

4. Kritikannya terkait kitab Al-Aghaaniy.

Kali ini dengan tulus ikhlash saya ucapkan terima kasih saya kepada Ustadz Muhammad Idrus Ramli akan koreksiannya. Dan itu benar. Saya memang tidak punya kitab tersebut sehingga saya tidak mengulasnya panjang dan meletakkannya di badan tulisan. Dan saya juga masih asing sebenarnya dengan kitab Al-Aghaaniy sehingga Abu-Faraj itu saya kira Ibnul-Jauziy. Tapi, itupun tidak merubah inti tulisan. Seandainya saya hilangkan pun, tidak merusak atau merubah inti tulisan. Sekali lagi, dengan senang hati saya terima kritikannya dan itu menambah pengetahuan bagi saya. Dan mohon diizinkan saya ralat di content artikel dengan menyebutkan nama Anda (Muhammad Idrus Ramli).

Kalau masalah sumber riwayat dalam Al-Aghaaniy itu dari internet, memangnya kenapa ?. Apakah muhaddits kita ini juga tidak menggunakan alat yang sama dalam sumber tulisannya ?. Bagi yang sering membaca beberapa artikel berbahasa Arab yang ditulis ASWAJA versi Timur Tengah dan mencocokkannya dengan tulisan Ustadz Muhammad Idrus Ramli, niscaya tidak akan asing lah. Hanya saja, ada yang ngaku dan ada yang tidak ngaku. Itu saja. Lalu, dulu-duluan nuduh biar tidak dituduh. Taktik kuno ASWAJA yang biasa mencela sesuatu yang biasa ia lakukan sendiri.

Wahasil, saya hanya mengutip sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ ؛ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ

“Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.’”

Unknown mengatakan...

Buat Abul Jauzaa' Al Wahhabi... >>>> http://aliyfaizal.blogspot.com/2013/05/ustadz-idrus-ramli-menjawab-abul-jauzaa-kami-penyembah-kuburan-atau-wahabi-pengagum-abu-jahal-dan-abu-lahab.html

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Di atas (dalam komentar di atas Anda) sudah saya jawab, semoga Anda membacanya.

Abu Yahyaa mengatakan...

Muhammad Idrus Ramli ini memang ustadz ASWAJA, ASli WArisan keJAwen.

Anonim mengatakan...

Bukan ASli WArisan keJAwen, Ustadz Abu Yahyaa, tapi ASal WAni JAwab yang lebih pas..

Ibnu Abi Irfan mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Ibnu Abi Irfan mengatakan...

sebetulnya ana sangat bingung dan tidak faham dengan judul tulisan Ustadz Muhammad Idrus Ramli yang mambantah tulisan Ustadz Abul Jauzaa. judul tulisannya sangat provokatif. "KAMI PENYEMBAH KUBURAN, ATAU MEREKA (WAHABI) PENGAGUM ABU JAHAL DAN LAHAB?"

apa hubungannya antara wahabi dengan Abu Jahal dan Abu Lahab?

apa hubungannya antara melemahkan riwayat dengan mengaguni Abu Jahal dan Abu Lahab?

Abu Yahyaa mengatakan...

Si Muhammad Idrus Ramli ini harusnya banyak baca siroh. Umumnya di masa awal kehidupan Quroisy, khususnya si Abu Jahal dan Abu Lahab. Si Abu Jahal dan Abu Lahab ini justru tawasul-an, tabaruk-an & istighotsah-an sama alLata, alUzza dan alManat. Siapa 3 berhala ini kalo bukan orang sholih yang sudah meninggal & kuburannya disucikan sama orang Quroisy dulu?

Aneh, justru ASWAJA versi Muhammad Idrus Ramli inilah yang mengikuti sunnah-nya Abu Jahal & Abu Lahab.

Ibnu Abi Irfan mengatakan...

ada seorang ASWAJA menjawab pertanyaan saya. katanya, hal itu karena wahabi menganggap Abu Jahal dan Abu Lahab mempunyai keimanan, yaitu bertauhid rubbubiyah pada Alloh.

abu abu mengatakan...

monggo mas abu abu di tanggapi lg artikel di bwah ini
https://www.facebook.com/MuhammadIdrusRamli?ref=ts&fref=ts..
.
sebagai orng awam ane bingung
mas abu abu apa ustd idrus,,??
tp sayang bahtahan ustad idrus jauh lebih ilmiah dan lebih fokus,,,
klo msh ada nyali ayow bantah lg kang abu abu..
buktikan klo salafi memang pantes di sebut pengikut ahlul hadis

abu abu mengatakan...

ada kabar baik mas abu, komentar antum di tanggapi oleh ustad idrus kyaknya tulisan bliau lbh akurat,,
skrag saatnya antum unjuk gigi biar ane yakin salafi pengikut setia ahlul hadist,,
maen2 ksni
https://www.facebook.com/MuhammadIdrusRamli?ref=ts&fref=ts

Anonim mengatakan...

assalaamu 'alaikum

ini tanggapan balik dr ust Ramli

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=165369133638334&set=a.122857684556146.24725.117807148394533&type=1&relevant_count=1

Anonim mengatakan...

bagaimana menyikapinya bg kami yg awam ini ust, jk terjadi perselisihan spt ini jk anda hanya bilang spt itu?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Tak ada komentar tambahan dari saya, selain mengatakan :

1. Ustadz Muhammad Idrus Ramli perlu belajar ilmu hadits dan mushthalah hadits, khususnya untuk memahami apa itu maksud perawi majhuul dan macam-macam riwayat yang dapat digunakan sebagai sandaran.

2. Ustadz Muhammad Idrus Ramli perlu banyak belajar ilmu rijaal.

NB : Sangat nampak dari tulisannya terkesan sangat instan.

3. Ustadz Muhammad Idrus Ramli sangat pandai mengarang cerita bahwa saya bersandar pada Mukhtar An-Nadwi. Tidak ada kamusnya saya mengikuti secara penuh pentakhrij kitab Syu'abul-Iimaan tersebut. Bukankah di atas telah saya sebutkan kritikan saya atas muhaqqiq kitab Syu'abul-Iimaan ?. Anda mengkritik tulisan/komentar saya atau tahqiqan Mukhtar An-Nadwiy ?.

Lain kali, kalau mau mengkritik, sesuaikan dengan apa yang dikritik.

4. Inti tulisan Ustadz Muhammad Idrus Ramli adalah ingin berhujjah dengan kisah Abu Ishaaq Al-Qurasyiy dan An-Naabighah. Alasannya : Ini cuma cerita sejarah saja, tidak shahih tidak apa-apa. Padahal, ia ingin berhujjah dengan 2 riwayat tidak shahih tersebut untuk masalah istighatsah yang notabene masuk ke wilayah ahkam dan 'aqiidah, membela keyakinannya. Ambigu dan paradoks yang jelas !.

NB : Sejarah yang diriwayatkan oleh perawi pendusta tidak apa menurut Muhammad Idrus Ramli. Oleh karena itu di sini Anda akan mengetahui, bagaimana silsilah pemahaman sejarah di kalangan ASWAJA ini kacau karena tidak bisa membedakan mana emas mana kotoran. Mana riwayat shahih, mana riwayat dla'iif.

Adapun riwayat dla'iif yang boleh digunakan dalam sejarah itu adalah riwayat yang punya ashl-nya dari riwayat shahih, dan juga kualitasnya tidak keterlaluan dla'iif. Itu semua tidak terpenuhi dalam pembelaan Ustadz Muhammad Idrus Ramli.

terakhir,.... saya ucapkan : Silakan bergembira dalam kebodohan. Hanya orang yang tahu yang dapat memahami keluguan Anda.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

@Anonim 2 Juni 2013 23.21,.... mendiskusikan hal itu dengan Ustadz Muhammad Idrus Ramli, mau tidak mau harus mundur terlalu jauh ke belakang, karena beliau sepertinya kurang akrab dengan ilmu hadits dan mushthalah hadits, aneka perkataan perkataan ulama di dalamnya, dan bagaimana penerapannya. Dapat kita lihat - tentu saja bagi yang paham - bahwa beliau menukil perkataan ulama dan meletakkan tidak pada tempatnya. Misalnya, bagaimana kita membaca penjelasannya yang sangat lucu tentang ihwal perawi majhuul. Bagaimana penjelasannya yang lucu bagaimana ia terpaksa melakukan pembelaan atas perawi pendusta dalam masalah yang ia klaim sebatas riwayat 'sejarah'. Bagaimana penjelasannya yang ganjil tentang berhujjah dengan hadits dla'iif, dan yang lainnya. Ini perlu pemahaman. Kalau kita cuma sekedar searching di internet atau di maktabah syamilah, ya hasilnya seperti yang kita lihat. Coba kita ke basic dulu,... apa sebenarnya makna riwayat dla'iif itu ?. Dan apa konsekuensi dari riwayat dla'iif itu ?. Jika yang bersangkutan memahami bahwa riwayat dla'iif itu mengandung 'prasangka yang lemah' (adh-dhannul-marjuh), maka ia tidak akan membela matia-matian riwayat dla'iif itu demi keyakinannya. Prasangka yang lemah itu mengkonsekuensikan bahwa bahwa riwayat yang diceritakan lebih condong pada ketidakbenaran. Apalagi jika riwayatnya sangat lemah atau bahkan palsu !!

So, terlalu lelah jika saya terlalu mundur ke belakang, karena akan menyinggung sesuatu yang sifatnya sangat basic.

Anonim mengatakan...

ustadz, tolong donk jelasin siapa sebenarnya ishaaq al qurasyi, lalu bgmn pula penilaian para ulama muhadditsiin ttg beliau

jazaakalloohu khoiro ats jwbnnya sblmnya

Abdurrahman Al Amiry mengatakan...

Jazakumullah khoiran ustadz.. tampak jelaslah kebenaran dan hancurlah kebathilan. Ana hanya bisa berdoa untuk muhammad ramli idrus, hadaahullah.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Dalam kitab-kitab biografi, tidak ada penjelasan detail siapakah Abu Ishaaq Al-Qurasyiy yang dimaksudkan dalam riwayat di atas (yaitu dalam artikel). Nama kunyah Abu Ishaaq Al-Qurasyiy ini ada beberapa (yang kemungkinan sejaman dengan As-Sarraaj - baik satu thabaqah atau di bawah atau di atas As-Sarraaj). Ada yang tsiqah ada pula yang tidak tsiqah.

As-Sarraaj ini adalah ulama di jamannya, salah satu bintangnya. Guru-gurunya jelas. Dan sependek bacaan saya, tidak ada yang menyebutkan guru As-Sarraaj ini adalah Abu Ishaaq Al-Qurasyiy, selain dari riwayat di atas. Seandainya Abu Ishaaq Al-Qurasyiy ini adalah seorang yang ma'ruuf di jamannya, tentu riwayatnya dikenal dan dikenal pula komentar ulama tentangnya. Namun sayangnya, kita dapatkan riwayat Abu Ishaaq Al-Qurasyiy ini sangatlah sedikit. Kita tidak dapat memastikan siapakah sebenarnya Abu Ishaaq Al-Qurasyiy ini. Inilah salah satu indikasi jahaalah Abu Ishaaq Al-Qurasyiy guru As-Sarraaj.

Adapun upaya Ustadz Muhammad Idrus Ramli yang merekayasa agar Abu Ishaaq Al-Qurasyiy ini ma'ruuf, hanyalah berdasarkan teori kemungkinan. Apalagi rekayasa beliau untuk membuat satu penta'dilan kepada Abu Ishaaq Al-Qurasyiy. Mulai dari alasan pemakaian nama kunyah hingga pertanyaan yang disampaikan Abu Ishaaq kepada As-Sarraaj. Sungguh sangat-sangat menyedihkan bagi seorang ustadz panutan seperti Ustadz Muhammad Idrus Ramli ini. Saya sarankan kepada beliau agar banyak-banyak membaca kitab hadits, kitab mushthalah, kitab rijaal, dan kitab-kitab lain yang terkait dengan ilmu hadits sehingga beliau bisa mengetahui lafadh-lafadh ta'dil mu'tabar di kalangan para imam.

wallaahul-musta'aan.....

Anonim mengatakan...

Bahkan dalilnya Walisongo boleh dipakai oleh mereka, dan bisa jadi perkataan Gusdur dan habib Munzir pun juga akan dipakai oleh keturunan mereka kelak. Wallahu'alam

greatnews mengatakan...

jadi selama ini mereka yang mengaku ASWAJA beramal dulu baru kemudian mencari2 dalil2 atas amalan mereka ya Ustadz Abul Jauzaa?

Anonim mengatakan...

Alasan dia bahwa penyebutan dengan nama kunyah adalah sebagai bentuk pengagungan menunjukkan betapa miskinnya dia dalam 'Ilmu Hadits.

Bila kita melihat kepada perawi yang dijarh oleh para 'Ulama, misalnya adalah Abu Mikhnaf, dia di jarh oleh para 'Ulama sebagai pendusta, pun para 'Ulama menyebut dengan nama kunyahnya.

Hanya orang-orang yang miskin terhadap 'Ilmu Hadits yang kagum terhadap Idrus Ramli sebagaimana dia sendiri adalah seorang yang sangat tidak tahu apa-apa tentang 'Ilmu Hadits.

Anonim mengatakan...

bagaimana komentar anda ttg ucapan ust Idrus yg membicarakan Ibnu Taimiyah ini :

Ibnu Taimiyah sendiri ketika disidang oleh para ulama tentang istighatsah, ternyata dia tidak melarang istihgatsah dengan makna di atas, akan tetapi melarang istighatsah dengan makna ibadah. Dalam hal ini al-Hafizh Ibnu Katsir, murid Ibnu Taimiyah kebanggaan kaum Wahabi, dan al-Hafizh Ibnu Rajab bercerita:

في شوال من السنة المذكورة: اجتمع جماعة كثيرة من الصوفية، وشكواه الشيخ إلى الحاكم الشافعي، وعقد له مجلس لكلامه من ابن عربي وغيره، وادعى عليه ابن عطاء بأشياء، ولم يثبت منها شيئاً، لكنه اعترف أنه قال: لا يستغاث بالنبي صلى الله عليه وسلم، استغاثة بمعنى العبادة، ولكن يتوسل به، فبعض الحاضرين قال: ليس في هذا شيء. ورأى الحاكم ابن جماعة: أن هذا إساءة أدب، وعنفه على ذلك، فحضرت رسالة إلى القاضي: أن يعمل معه ما تقتضيه الشريعة في ذلك، فقال القاضي: قد قلت له ما يقال لمثله. ثم إن الدولة خيروه بين أشياء، وهي الإِقامة بدمشق، أو بالإسكندرية، بشروط، أو الحبس، فاختار الحبس

“Pada bulan Syawal tahun tersebut banyak kelompok dari kaum Shufi berkumpul dan mengadukan Ibnu Taimiyah kepada Qadhi (Hakim) bermadzhab al-Syafi’i. Lalu dibuatlah majlis untuk menyidang Ibnu Taimiyah, karena perkataannya tentang Ibnu ‘Arabi dan lainnya. Ibnu ‘Atha’ mendakwanya dengan beberapa persoalan, ternyata tak satupun darinya yang terbukti. Akan tetapi Ibnu Taimiyah mengaku bahwa dia berpendapat, tidak boleh ber-istighatsah dengan Nabi SAW dengan makna beribadah kepada Nabi SAW, akan tetapi boleh beristighatsah dengan makna bertawasul. Maka sebagian orang yang hadir berkata: “Pendapat Ibnu Taimiyah yang ini tidak bisa dituntut. Dan Hakim Ibnu Jama’ah berkata: “Bahwa pernyataan Ibnu Taimiyah tersebut merupakan etika yang buruk kepada Rasulullah SAW,” dan beliau menegurnya atas hal tersebut. Lalu datang surat kepada Qadhi, agar Ibnu Taimiyah ditindak sesuai dengan tuntutan syari’at mengenai etikanya yang buruk itu. Lalu Qadhi berkata: “Aku telah berkata kepadanya, apa yang dikatakan kepada yang sesamanya. Kemudian negara memberinya pilihan, yaitu tinggal di Damaskus, atau di Iskandariyah dengan beberapa syarat, atau masuk penjara. Lalu Ibnu Taimiyah memilih masuk penjara.” (Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 14, hal 51, dan Ibnu Rajab al-Hanbali, al-Dzail ‘ala Thabaqat al-Hanabilah, juz 2 hal. 329).

Dalam fakta sejarah di atas, jelas sekali bahwa di hadapan persidangan para ulama, Ibnu Taimiyah hanya melarang beristighatsah dengan Nabi SAW dalam arti beribadah kepada beliau, bukan dalam arti bertawasul, sebagaimana kami jelaskan. Kemudian meskipun perkataan Ibnu Taimiyah tersebut tidak bisa diajukan sebagai dakwaan, tetapi para ulama menganggapnya sebagai etika yang buruk (su’ul adab) kepada Rasulullah SAW, dan dia harus mendekam di penjara. Tampaknya, dalam persidangan tersebut, Ibnu Taimiyah berusaha mengelak dari pendapatnya dalam kitab-kitabnya yang kemudian diusung oleh kaum Wahabi. Hal ini dilakukan oleh Ibnu Taimiyah, adakalanya karena ia merasa tidak punya hujjah untuk mempertahankannya, atau memang merasa bersalah dengan pendapatnya. Atau ia sadar akan kesalahannya, tetapi masih diikuti oleh kaum Wahabi.

syukroan ats jawabannya

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Kita perlu memisahkan antara perkataan Ibnu Katsiir dan Ibnu Rajab, dengan komentar Muhammad Idrus Ramli di bawahnya. Komentar Muhammad Idrus Ramli berasal dari kantongnya sendiri dan silakan dinikmati sendiri.

Adapun mengenai Ibnu Taimiyyah, silakan dibaca sendiri apa yang dikisahkan Ibnu Rajab - dan jangan toleh perkataan Muhammad Idrus Ramli - . Jelas di situ bahwasannya Ibnu Taimiyyah melarang beristighatsah, namun membolehkan bertawassul dengan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Dan memang pendapat Ibnu Taimiyyah rahimahullah seperti itu. Tapi bertawassul seperti apa yang dibolehkan Ibnu Taimiyyah rahimahullah ?. Tentu saja kita mesti menengok penjelasan beliau sendiri, bukan pada penjelasan Muhammad Idrus Ramli. Diantaranya Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

أَمَّا التَّوَسُّلُ بِالْإِيمَانِ بِهِ وَمَحَبَّتِهِ وَطَاعَتِهِ وَالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَيْهِ وَبِدُعَائِهِ وَشَفَاعَتِهِ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِمَّا هُوَ مِنْ أَفْعَالِهِ وَأَفْعَالِ الْعِبَادِ الْمَأْمُورِ بِهَا فِي حَقِّهِ . فَهُوَ مَشْرُوعٌ بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ وَكَانَ الصَّحَابَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ يَتَوَسَّلُونَ بِهِ فِي حَيَاتِهِ وَتَوَسَّلُوا بَعْدَ مَوْتِهِ بِالْعَبَّاسِ عَمِّهِ كَمَا كَانُوا يَتَوَسَّلُونَ بِهِ

“Adapun bertawassul dengan beriman kepadanya (Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam), mencintainya, mentaatinya, pengucapan shalawat dan salam kepadanya, dengan doanya, syafa'atnya, dan yang lainnya, baik bertawassul dengan perbuatannya, dan perbuatan manusia yang diperintahkan sesuai haknya. Maka, hal itu disyari'atkan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Dulu para shahabat pernah bertawassul dengannya pada masa hidupnya, dan bertawassul kepada Al-'Abbaas, pamannya, setelah kematiannya, sebagaimana mereka dahulu bertawassul dengannya (sewaktu hidup)” [Majmuu' Al-Fataawaa, 1/140].

Wallaahu a'lam.

A.JML mengatakan...

Pak idrus Ramli itu sepertinya sama kayak yg lainnya.
Sok keren doang dihadapan jamaahnya.

Unknown mengatakan...

Memang begitulah sikap Muhammad Idrus Ramli dan kelompoknya, hanya karena suatu masalah yg diamalkan oleh kelompok mereka tercantum di kitab2 para Ulama salaf serta merta mereka bergembira, dengan tidak mau tahu bagaimana derajat riwayat tsb yg penting sdh tercantum di kitab2 Ulama salaf berarti sdh dilegitimasi.

Anonim mengatakan...

Ustadz, bagaimana derajat atsar berikut:

عبد الله بن أحمد بن حنبل قال سمعت أبي يقول حججت خمس حجج اثنتين راكب وثلاث ماشي أو ثلاث راكب واثنتين ماشي فضللت الطريق في حجة وكنت ماشيا فجعلت أقول يا عباد الله دلوني على الطريق قال فلم أزل أقول ذلك حتى وقفت على الطريق أو كما قال أبي

Terjemahan: Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (hura) berkata: aku mendengar ayahku (Imam Ahmad - Rahimuhullah) mengatakan: Saya melakukan haji 5 kali, tiga kali dgn jalan kaki dan dua kali dgn naik tunggangan atau katanya tiga kali naik ktunggangan dan dua kali berjalan kaki, suatu ketika Aku kehilangan arah jalan [tersesat di jalan], maka saya berseru ini: wahai hamba2 Allah tunjukkanlah jalan padaku (يا عباد الله دلوني على الطريق ), Saya terus mengulanginya sampai aku menemukan arah jalan kembali .

[Imam Baihaqi Shu'ayb ul Iman, Volume 6, Halaman 128, Hadis Nomor 7697]

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Shahih.

Anonim mengatakan...

Trus, gimana fiqh haditsny stadz? Diatas, imam ahmad jelas-jelas 'meminta' kepada orang-orang shalih. Tidak meminta langsung kepada Allah.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Betul, Imam Ahmad meminta tolong kepada orang-orang shaalih, yaitu orang-orang shaalih dalam rombongan haji, untuk menunjukkan jalan. Tentu saja ini diperbolehkan.

Anonim mengatakan...

Oh, kuburiyun memahami atsar diatas, kalau beliau memintanya kepada 'hamba shalih yang udah wafat' hehe... hampir saja tertipu...

bussinessman mengatakan...

Alhamdulillah ustadz hampir saja penjelasan ust.m.idrus ramli membuat kita mengambil kesimpulan yg salah, nanti beliau tentunya akan menanggung semua tulisannya diakherat bila tidak bertobat, smoga al ustadz abu al-jauzi terus membuat pencerahan atas tulisan ust.m.idrusramli yang kacau pemahamannya. Aamiin

Anonim mengatakan...

Tolong ustadz , PERJELAS, apa yang hendak ana tuliskan di bawah ini, ya …?
10 Kesalahan Aswaja dalam pengamalan bid’ah dan pemikiran
(ketika mereka “aswaja” mencoba membantah tulisan para asatidz salaf)
1. Berdalil dengan hadist, tapi hadistnya dhoif bahkan palsu
2. Berdalil dengan hadist shahih, tapi salah penerapan. Karena, mereka beramal dulu, baru mencari pendalilan.
3. Berdalil dengan atsar salaf, tapi atsarnya lemah. Mereka (aswaja) melandaskan perkataannya yang penting ada di kitab – kitab salaf, tanpa mau melihat status perowi. Karena panutan aswaja, tidak ada yang ahli hadist.
4. Berdalil dengan atsar salaf dengan atsar shahih, tapi atsar tersebut bertentangan dengan hadist shahih
5. Kesalahan menerjemahkan perkataan salaf
6. Memahami perkataan salaf dalam 1 kitab dengan tanpa melihat perkataan salaf tersebut di kitab yang lain, sehingga terjadi kesalahan dalam memahami
7. Memenggal perkataan salaf sepotong – potong sehingga terjadi kesalahan takwil
8. Berdusta atas nama salaf.
9. Jika sudah terpojok bahwa tahu itu tidak ada dalilnya, maka berdalil dengan waqi’ (kenyataan), misalnya dari pada “nongkrong” lebih baik “yasinan”, dll.
10. Jika sudah sangat terpojok lagi, maka akan berpikir keduniaan. Misal : jika saya meninggalkan “tahlilan”, maka saya tidak akan mendapat uang (amplop).

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Lo, kok tanya ke saya tentang apa yang antum tuliskan ?. Mestinya yang nulis itu yang menjelaskan.

Anonim mengatakan...

udah jelas kok ustadz, g perlu dijelaskan