Tampilkan postingan dengan label Keluarga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Keluarga. Tampilkan semua postingan

Penyelesaian Konflik Rumah Tangga Nabi ﷺ

0 komentar


Dari Anas radliyallaahu ‘anhu, ia berkata:
بَلَغَ صَفِيَّةَ أَنَّ حَفْصَةَ، قَالَتْ: ابْنَةُ يَهُودِيٍّ، فَبَكَتْ، فَدَخَلَ عَلَيْهَا النَّبِيُّ ﷺ وَهِيَ تَبْكِي، فَقَالَ: " مَا شَأْنُكِ؟ "، فَقَالَتْ: قَالَتْ لِي حَفْصَةُ: إِنِّي ابْنَةُ يَهُودِيٍّ !، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: " إِنَّكِ ابْنَةُ نَبِيٍّ، وَإِنَّ عَمَّكِ لَنَبِيٌّ، وَإِنَّكِ لَتَحْتَ نَبِيٍّ، فَفِيمَ تَفْخَرُ عَلَيْكِ؟، فَقَالَ: اتَّقِي اللَّهَ يَا حَفْصَةُ "
“(Satu ketika), sampai kabar kepada Shafiyyah bahwa Hafshah radliyallaahu ‘anhumaa berkata (tentangnya) : ‘Ia adalah anak Yahudi’. Maka ia pun menangis. Lalu Nabi masuk menemuinya yang ketika itu ia masih menangis. Beliau bersabda : ‘Apa yang membuatmu menangis?’. Shafiyyah menjawab : ‘Hafshah berkata kepadaku bahwa aku adalah anak Yahudi’. Maka Nabi bersabda : ‘Sesungguhnya engkau adalah anak seorang nabi, pamanmu seorang nabi, dan suamimu pun juga seorang nabi. Lalu dengan apa ia menyombongkan diri kepadamu?’. Lalu Nabi bersabda : ‘Bertaqwalah (takutlah) kepada Allah wahai Hafshah!” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3894, Ahmad 3/135, Ibnu Hibbaan 16/193-194 no. 7211, dan yang lainnya; At-Tirmidziy berkata : ‘Ini adalah hadits shahih ghariib’].

Bolehkah Seorang Suami yang Menjalankan Poligami Menjimai Istri di Luar Jatah Harinya?

0 komentar

Untuk menjawab ini, perlu diketahui beberapa hal sebagai berikut:
1.     Tidak diwajibkan bagi seorang suami menyamakan kadar dan/atau frekwensi jima’ di antara istri-istrinya[1].
Allah ta’ala berfirman :
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri-(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung” [QS. Aali ‘Imraan : 129].
Ibnu Hajar Al-’Asqalaniy rahimahullah berkata :

Minyak Wangi (Parfum) Wanita

5 komentar

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ، وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ، كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ، لَا يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ، إِمَّا تَشْتَرِيهِ أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ، أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
“Perumpamaan teman duduk yang shaalih dengan teman duduk yang buruk adalah seperti penjual misk dan tukang pandai besi. Pasti ada sesuatu yang engkau dapatkan dari penjual minyak wangi, apakah engkau membeli minyak misk-nya atau sekedar mendapatkan bau wanginya. Adapun pandai besi, bisa jadi ia membakar badanmu atau pakaianmu; atau minimal engkau mendapatkan bau yang tidak enak darinya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2101].

Solusi Ketika Melihat Wanita Cantik (Tanpa Sengaja)

5 komentar

Al-Imaam Muslim bin Al-Hajjaaj rahimahullah berkata:
حدثنا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ، حدثنا عَبْدُ الْأَعْلَى، حدثنا هِشَامُ بْنُ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ: أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى امْرَأَةً، فَأَتَى امْرَأَتَهُ زَيْنَبَ، وَهِيَ تَمْعَسُ مَنِيئَةً لَهَا، فَقَضَى حَاجَتَهُ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى أَصْحَابِهِ، فقَالَ: " إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ، وَتُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ، فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ، فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِي نَفْسِهِ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin ‘Aliy : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-A’laa : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin Abi ‘Abdillah, dari Abuz-Zubair, dari Jaabir : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat seorang wanita. Kemudian beliau masuk kepada isterinya, Zainab, yang waktu itu sedang menyamak kulit miliknya. Maka beliau memenuhi hajatnya (menjimainya). Setelah itu beliau keluar kepada para sahabat dan bersabda : “Sesungguhnya wanita itu datang dalam rupa setan dan pergi dalam rupa setan. Karena itu jika seseorang dari kalian melihat wanita (tanpa sengaja, kemudian syahwatnya berkobar) hendaklah ia mendatangi isterinya (menyetubuhinya). Karena hal itu bisa menghilangkan (syahwat menggelora) yang ada dalam dirinya” [Shahiih Muslim no. 1403].

Tidak Wajib Menyamakan Jima’ dalam Poligami

3 komentar

Ada satu kesalahpahaman yang beredar bahwa jika seseorang ingin berpoligami, ia mesti punya kemampuan berjima’ dalam sehari sejumlah istri yang ia punyai untuk melaksanakan ‘keadilan’ terhadap istri-istrinya tersebut. Atau, ia mesti menggilir jima’ keempat istrinya tersebut secara merata dan sama. Jika satu istri ia jimai sekali, maka yang lain mesti sekali. Jika dua kali, maka yang lain mesti dua kali juga.
Ini keliru, karena jima’ itu mengikuti cinta, dan manusia tidak dibebani kewajiban berbuat ‘adil dalam masalah cinta. Allah ta’ala berfirman :
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri-(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung” [QS. Aali ‘Imraan : 129].

Membangunkan Keluarga untuk Shalat Malam

4 komentar

Sangat dianjurkan membangunkan keluarga untuk mengerjakan shalat malam, sebagaimana dicontohkan oleh teladan terbaik kita, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi sallam.
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي منَ اللَّيْلِ، فَإِذَا أَوْتَرَ، قَالَ: قُومِي فَأَوْتِرِي يَا عَائِشَةُ
Dari ‘Aaisyah, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat di waktu malam. Apabila beliau hendak mengerjakan shalat witir, beliau bersabda : ‘Bangunlah dan kerjakan shalat witir wahai ‘Aaisyah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 786].

Ingin Menikah, Tapi Calon Suami Belum Punya Nafkah

77 komentar

SOAL :
Bismillah. Afwan Ustadz, saya mau tanya. Saya akhwat bercadar (19 th) yang siap nikah. Orang tua saya sudah lanjut usia dan ingin melihat saya menikah secepatnya. Sudah banyak ikhwan yang datang ke rumah saya untuk ta’aruf, tapi gagal terus karena hati saya tidak ada kecenderungan sedikitpun dengan ikhwan-ikhwan tersebut. Sebab sejak lama saya telah mencintai seorang ikhwan yang baik agamanya. Sekarang dia di pesantren untuk belajar dan dua bulan lagi lulus. Apakah boleh saya menunggunya ?. Kami sama-sama ada perasaan. Tapi sayangnya, ikhwan tersebut belum diberi kemampuan dalam ma’isyah (nafkah). Bagaimana sebaiknya, Ustadz ?. Syukran.
(Fulanah, Bumi Allah, +628522732xxxx)

Haruskah Anakku Rangking 1 ?

3 komentar

Di kelasnya terdapat 50 orang murid, setiap kali ujian, anak perempuanku tetap mendapat ranking ke-23. Lambat laun membuat dia mendapatkan nama panggilan dengan nomor ini, dia juga menjadi murid kualitas menengah yang sesungguhnya. Sebagai orangtua, kami merasa nama panggilan ini kurang enak didengar,namun ternyata anak kami  menerimanya dengan senang hati.
Suamiku mengeluhkan ke padaku, setiap kali ada kegiatan di perusahaannya atau pertemuan alumni sekolahnya, setiap orang selalu memuji-muji “Superman cilik” di rumah masing-masing, sedangkan dia hanya bisa menjadi pendengar saja. Anak keluarga orang, bukan saja memiliki nilai sekolah yang menonjol, juga memiliki banyak keahlian khusus. Sedangkan anak kami rangking nomor 23 dan tidak memiliki sesuatu pun untuk ditonjolkan. Dari itu, setiap kali suamiku menonton penampilan anak-anak berbakat luar biasa dalam acara televisi, timbul keirian dalam hatinya sampai matanya begitu bersinar-sinar.

Bolehkah Suami Bercampur dengan Istri Jika Ia Belum Menyerahkan Maharnya ?

0 komentar


Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata :
لَمَّا تَزَوَّجَ عَلِيٌّ فَاطِمَةَ، قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَعْطِهَا شَيْئًا "، قَالَ: مَا عِنْدِي شَيْءٌ، قَالَ: " أَيْنَ دِرْعُكَ الْحُطَمِيَّةُ "
“Ketika ‘Aliy menikahi Faathimah, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya : ‘Berilah ia sesuatu (untuk mahar)’. ‘Aliy berkata : ‘Aku tidak memiliki apa-apa’. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Dimanakah baju besi khuthamiyyah-mu ?”.[1]
Hadits tersebut pada kitab Sunan Abi Daawud berada di bawah Baab : Fir-Rajuli Yadkhulu bi-Imra-atihi Qabla An-Yunqaduhaa (Bab : Tentang Laki-Laki yang Mencampuri Istrinya Sebelum Memberikan Mahar Kepadanya).

Gak Level.....

6 komentar

Dalam satu pernikahan, dibolehkan bagi seorang wanita menolak pinangan seorang laki-laki dengan alasan ‘gak level’. Syari’at membahasakan hal itu dengan istilah kafaa’ah (كفاءة). Lantas apa yang disebut kafaa’ah itu ?

Cantik

3 komentar

Dalam kitab madzhab Hambali Syarah Muntaha Al-Iraadaat (2/621 ) :
ويسن أيضا تَخَيُّرُ الجميلة ، لأنه أسكن لنفسه ، وأغض لبصره ، وأكمل لمودته ؛ ولذلك شرع النظر قبل النكاح
“Adalah juga sunnah untuk memilih wanita yang cantik, karena hal tersebut dapat melahirkan rasa ketenangan yang lebih besar dan lebih membantu dia untuk menundukkan pandangan dan cinta yang lebih. Oleh karenanya disyari’atkan “nadhar” sebelum menikah”.

Tidak Boleh Seorang Ayah Menikahkan Anak Wanitanya Kecuali Setelah Diminta Persetujuannya

3 komentar

Ini bukan jaman Siti Nurbaya…… begitu kata sebagian orang. Maksudnya, jaman sekarang ini bukan lagi jaman jodoh-jodohan dan paksa-paksaan dalam pernikahan. Tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya, sebenarnya. Celoteh sebagian pemuda-pemudi itu memang ada benarnya jika ditilik dari sisi syari’at. Syari’at Islam telah memberikan keluasan bagi seorang wanita untuk menikah dengan orang yang disenanginya. Syari’at tidak mendukung ‘jaman Siti Nurbaya’ yang penuh gambaran feodalistik. Akan tetapi ia mempunyai rambu-rambu yang sempurna yang menjamin keselamatan bagi setiap orang yang memperhatikannya.
Sebagai awal, ada satu kisah menarik yang pernah dialami shahabat besar ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa sebagai berikut :

Rebutan Hak Asuh Anak

1 komentar

Sering kita dengar di sekitar kita kejadian/kasus ‘rebutan’ hak pengasuhan anak antara seorang laki-laki dan wanita pasca perceraian yang mereka lakukan. Tidak jarang kasus ini sampai diajukan ke meja pengadilan sehingga menyulut permusuhan tersendiri antara mantan suami istri tersebut.
Islam mengistilahkan hak pengasuhan tersebut dengan hidlaanah (حِضَانَةٌ). Hidlaanah menurut definisi syar’iy maksudnya adalah :
حفظ من لا يستقل بأمره، وتربيته عما يهلكه، أو يضره.
“Penjagaan/pemeliharaan anak yang belum mampu mandiri untuk mengurusi dirinya sendiri, pendidikannya, serta (pemeliharaan) dari segala sesuatu yang dapat membinasakannya atau membahayakannya”.

Impotensi (#@#$****?>

08.57 6 komentar

Al-Imam Muslim berkata dalam Shahih-nya :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَاللَّفْظُ لِعَمْرٍو قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ جَاءَتْ امْرَأَةُ رِفَاعَةَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ كُنْتُ عِنْدَ رِفَاعَةَ فَطَلَّقَنِي فَبَتَّ طَلَاقِي فَتَزَوَّجْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزَّبِيرِ وَإِنَّ مَا مَعَهُ مِثْلُ هُدْبَةِ الثَّوْبِ فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَتُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ لَا حَتَّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ..........
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Amru An-Naaqid dengan lafadh dari ‘Amru, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Az-Zuhriy, dari ‘Urwah, dari ‘Aaisyah, ia berkata : Suatu ketika istri Rifaa'ah menemui Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Ia berkata : “Aku adalah istri Rifaa'ah, kemudian ia menceraikanku dengan talak tiga. Setelah itu aku menikah dengan ‘Abdurrahman bin Az-Zubair, akan tetapi sesuatu yang ada padanya seperti hudbatuts-tsaub (ujung kain)”.  Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tersenyum mendengarnya, lantas beliau bersabda : "Apakah kamu ingin kembali kepada Rifaa'ah ? Tidak bisa, sebelum kamu merasakan madunya dan ia pun merasakan madumu….” [Shahih Muslim no. 1433].

Fiqh Dhihar Ringkas

3 komentar

Allah ta’ala berfirman :
الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلا اللائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ
“Orang-orang yang mendhihar istrinya di antara kamu, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang munkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun” [Al-Mujaadilah : 2].

Anak Zina Tidak Akan Masuk Surga

18 komentar

Pertanyaan :
نسمع أن ولد الزنا لا يدخل الجنة , فهل هذا صحيح ؟ وما ذنبه هو ؟
“Kami pernah mendengar bahwa anak zina tidak akan masuk surga. Apakah hal ini benar ? Apa dosa yang dimilikinya (sehingga ia tidak masuk surga) ?

Ketika Butuh Pembantu…..

1 komentar

Keberadaan seorang pembantu di tengah rumah tangga pasangan suami istri bukan lah sesuatu hal aneh, langka, atau menakjubkan. Banyak di antara mereka dihadirkan karena kebutuhan, walau tidak dipungkiri sebagiannya karena budaya maupun kedudukan (baca : gengsi).

Lantas, bagaimana jika kita diminta oleh istri tercinta agar menghadirkan seorang (atau lebih) pembantu yang dapat membantunya menyelesaikan sebagian urusan rumah tangganya ?
Para ulama telah menjelaskan bahwa pembantu (khaadim) termasuk bagian dari nafkah yang disyari’atkan bagi suami untuk memenuhinya. Bahkan telah dinukil ijma’ akan kewajiban pemenuhan ini bagi para suami yang mempunyai kelapangan (mampu).[1] Mereka (ulama) berdalil dengan firman Allah ta’ala :
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut” [QS. An-Nisaa’ : 19].

Jika Wanita Berobat...........

4 komentar

عن جابر؛ أن أم سلمة استأذنت رسول الله صلى الله عليه وسلم في الحجامة. فأمر النبي صلى الله عليه وسلم أبا طبية أن يحجمها.
قال: حسبت أنه قال: كان أخاها من الرضاعة، أو غلاما لم يحتلم.
Dari Jaabir : Bahwasannya Ummu Salamah meminta ijin kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk berbekam (hijaamah). Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abu Thayyibah untuk membekamnya. 
Perawi berkata : Aku (Jaabir) menyangka bahwa beliau bersabda : “Ia (Abu Thayyibah) adalah saudara sepersusuannya atau anak yang belum ihtilam (belum baligh)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2206, Abu Dawud no. 4105, Ibnu Maajah no. 3480, Ahmad 3/350, Ibnu Hibbaan no. 5602, Al-Baihaqiy 7/96, dan Abu Ya’laa no. 2267].

Rujuk dalam Thalaq Raj’iy (Thalaq Satu dan Dua)

3 komentar

Thalaq raj’iy adalah thalaq yang masih memberikan kebolehan bagi suami untuk merujuk kembali istrinya pada masa ‘iddah-nya tanpa melalui akad baru, meskipun tanpa keridlaan dari sang istri.[1]
Dalil masyru’-nya thalaq raj’iy adalah firman Allah ta’ala :
الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik” [QS. Al-Baqarah : 229].
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ
”Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah” [QS. Al-Baqarah : 230].
Ibnu Katsir rahimahullah berkata :

Haram Hukumnya Suami Menggauli Salah Satu Istrinya Sedangkan Istrinya Yang Lainnya Menyaksikannya

0 komentar

Diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Abi Syaibah rahimahullah (9/448 no. 17839, tahqiq : Muhammad ‘Awwaamah – Syirkah Daaril-Qiblah, Cet. 1/1428, Jeddah) :

حدثنا عباد بن العوام عن غالب قال : سألت الحسن - أو سئل - عن رجل تكون له امرأتان في بيت قال : كانوا يكرهون الوجس وهو أن يطأ إحداهما والاخرى تنظر أو تسمع .

Telah menceritakan kepada kami ‘Abbaad bin Al-‘Awwaam, dari Ghaalib, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Al-Hasan (Al-Bashri) – Al-Hasan (Al-Bashri) pernah ditanya – tentang seorang laki-laki yang mempunyai dua orang istri dalam satu rumah. Maka ia menjawab : “Mereka (para shahabat) membenci al-wajs, yaitu ia menggauli salah satu di antara istrinya sedangkan yang lain melihat atau mendengarnya” [shahih].

Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata :

وليس للرجل أن يجمع بين امرأتيه في مسكن واحد بغير رضاهما صغيرا كان أو كبيرا لأن عليهما ضررا لما بينهما من العداوة والغيرة واجتماعهما يثير المخاصمة والمقاتلة‏,‏ وتسمع كل واحدة منهما حسه إذا أتى إلى الأخرى أو ترى ذلك فإن رضيتا بذلك جاز لأن الحق لهما‏,‏ فلهما المسامحة بتركه. وكذلك إن رضيتا بنومه بينهما في لحاف واحد وإن رضيتا بأن يجامع واحدة بحيث تراه الأخرى‏,‏ لم يجز لأن فيه دناءة وسخفا وسقوط مروءة فلم يبح برضاهما ......‏

“Tidak diperbolehkan bagi seorang laki-laki untuk mengumpulkan dua istrinya dalam satu tempat yang sama tanpa keridlaannya, baik masih kecil ataupun sudah tua; karena padanya terdapat kemudlaratan dimana antara keduanya terdapat permusuhan dan kecemburuan. Dan mengumpulkan mereka berdua akan memperparah pertengkaran dan peperangan. Setiap orang di antara mereka mendengar gerakan suaminya jika mendatangi (menggauli) yang lain, atau bisa juga ia melihat hal itu. Jika mereka berdua ridla (ditempatkan dalam satu tempat yang sama), maka diperbolehkan; karena hak itu milik keduanya – sehingga keduanya diberikan toleransi jika meninggalkan haknya tersebut. Begitu pula jika mereka ridla suami mereka tidur di antara mereka berdua dalam satu selimut.[1] Namun jika mereka berdua ridla suami mereka menggauli salah seorang di antara mereka sedangkan yang lain melihatnya, maka yang demikian ini tidak diperbolehkan. Karena padanya terdapat kehinaan, kerendahan, dan jatuhnya harga diri, sehingga hal itu tetap tidak diperbolehkan meskipun mereka berdua meridlainya…” [Al-Mughniy, 10/234, tahqiq : ‘Abdullah bin ‘Abdil-Muhsin At-Turkiy & ‘Abdul-Fattah Muhammad Al-Haluw; Daar ‘Aalamil-Kutub, Cet. 3/1417].

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

ولا يجمع بين امرأتين في مسكن الا برضاهما، لأن ذلك ليس من العشرة بالمعروف، ولأنه يؤدى إلى الخصومة ولا يطأ احداهما بحضرة الأخرى، لأنه دناءة وسوء عشرة

“Dan janganlah mengumpulkan dua orang istri dalam satu tempat kecuali dengan keridlaan mereka, karena hal itu bukan termasuk pergaulan yang baik (terhadap istri). Semua itu dapat menimbulkan permusuhan. Tidak boleh pula menggauli salah seorang diantara mereka sedangkan yang lain tengah bersamanya, karena hal itu merupakan kehinaan dan jeleknya pergaulan” [Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab, 16/412 – Maktabah Al-Misykah].

Dari keterangan di atas juga terdapat satu pelajaran bagi mereka yang berpoligami untuk menempatkan istri-istrinya di tempat/rumah yang berlainan, sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga melakukannya. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

[Abul-Jauzaa’ Al-Atsariy – Permulaan Syawwal 1430 H di Perumahan Ciomas Permai, Ciapus, Ciomas, Bogor].



[1] Al-Imam Ibnu Abi Syaibah rahimahullah menyebutkan dua atsar sebagai berikut :

حدثنا عباد بن العوام عن أبي شيبة قال : سمعت عكرمة يحدث عن ابن عباس قال : كان ينام بين جاريتين

Telah menceritakan kepada kami ‘Abbaa bin Al-‘Awwaam, dari Abu Syaibah, ia berkata : Aku mendengar ‘Ikrimah menceritakan dari Ibnu ‘Abbas dan berkata : “Adalah Ibnu ‘Abbas pernah tidur di antara dua budak perempuannya” [Al-Mushannaf, 9/449 no. 17840].

حدثنا يزيد بن هارون عن شريك عن ليث عن عطاء أنه كان لا يرى بأسا أن ينام الرجل بين الأمتين

Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Harun, dari Syariik, dari Laits, dari ‘Atha’ : Bahwasannya ia berpendapat tidak mengapa bagi seorang laki-laki tidur di antara dua orang budak perempuannya” [idem, no. 17841].