Thalaq raj’iy adalah thalaq yang masih memberikan kebolehan bagi suami untuk merujuk kembali istrinya pada masa ‘iddah-nya tanpa melalui akad baru, meskipun tanpa keridlaan dari sang istri.[1]
Dalil masyru’-nya thalaq raj’iy adalah firman Allah ta’ala :
الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik” [QS. Al-Baqarah : 229].
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ
”Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah” [QS. Al-Baqarah : 230].
وقوله: { فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ } أي: إذا طلقتها واحدة أو اثنتين، فأنت مخير فيها ما دامت عدتها باقية، بين أن تردها إليك ناويًا الإصلاح بها والإحسان إليها، وبين أن تتركها حتى تنقضي عدتها، فتبين منك، وتطلق سراحها محسنًا إليها، لا تظلمها من حقها شيئًا، ولا تُضارّ بها.
”Dan firman-Nya ta’ala : ’setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik’ ; maksudnya adalah : jika engkau (suami) mengucapkan thalaq kepada istri pada saat kali pertama atau kedua, maka engkau mempunyai dua pilihan selama masa ’iddah-nya masih ada. Yaitu, (1) mengembalikannya kepadamu (merujuknya) dengan maksud mengadakan ishlah (perbaikan) dan berbuat baik kepadanya, atau (2) membiarkannya hingga selesai masa ’iddah-nya hingga akhirnya engkau menceraikannya. Maka ceraikanlah denga cara yang baik dengan tidak mendhalimi haknya sedikitpun dan tidak pula merugikannya”.[2]
Thalaq raj’iy ini berlaku setelah menjatuhkan thalaq satu dan dua, selain dari thalaq baain kubraa (thalaq yang ketiga), selama rujuk dilakukan sebelum masa ‘iddah selesai. Namun jika masa ‘iddah selesai, maka status thalaq tersebut berubah menjadi thalaq baain (shughraa), sehingga suami tidak berhak merujuk istrinya kembali yang telah di-thalaq-nya itu, kecuali melalui akad dan mahar yang baru.[3]
Adapun syarat sahnya rujuk dalam thalaq raj’iy antara lain adalah [4] :
1. Rujuk yang dilakukan adalah rujuk setelah thalaq raj’iy (yaitu setelah thalaq pertama dan kedua).
2. Rujuk tersebut dilakukan setelah digaulinya istri yang di-thalaq tersebut oleh suaminya. Apabila suami men-thalaq-nya sebelum menggaulinya dan kemudian ingin rujuk kepadanya, maka ini tidak boleh dengan kesepakatan ulama. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلا
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ’iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya, Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya” [QS. Al-Ahzaab : 49].
3. Rujuk yang dilakukan adalah pada masa ’iddah. Apabila telah selesai masa ’iddah-nya, maka tidak sah untuk merujuk kembali wanita yang telah di-thalaq-nya itu dengan kesepakatan fuqahaa’. Hal itu didasarkan oleh firman Allah ta’ala :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
”Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” [QS. Al-Baqarah : 229].
4. Perceraian yang dilakukan – sebelum rujuk – bukan merupakan pembatalan (faskh) aqad nikah.
5. Perceraian dilakukan tidak dengan ’iwadl (pengganti). Apabila perceraian tersebut disertai dengan ’iwadl, maka tidak sah dilakukan rujuk, karena dalam kondisi tersebut si istri lepas untuk selamanya (baain) dengan penebusan dirinya kepada suaminya berupa materi yang membuat hubungan mereka menjadi terlarang.
Dikecualikan jika istri ridla untuk dirujuk (saat dalam masa ’iddah-nya), seperti dalam kasus khulu’[5]. Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :
وليس للمخالع أن يراجع المختلعة في العدة بغير رضاها عند الأئمة الأربعة وجمهور العلماء؛ لأنها قد ملكت نفسها بما بذلت له من العطاء. ....
”Tidak diperbolehkan bagi suami (mukhaali’) untuk kembali pada istri (mukhtali’ah) saat masa ’iddah kecuali dengan keridlaannya menurut imam empat dan jumhur ulama, karena pada saat itu istri berkuasa atas dirinya sendiri melalui tebusan yang telah diberikan kepada suami....”.[6]
Meskipun telah dithalaq (raj’iy) oleh suaminya, maka wanita tersebut selama menjalani masa ’iddah secara hukum statusnya masih sebagai istri selain dalam hak mendapat giliran (bila suaminya berpoligami). Keduanya masih saling mewarisi apabila salah satunya meninggal dunia dalam masa ’iddah tersebut. Hal ini telah menjadi kesepakatan ulama.
Apabila si istri telah mandi suci setelah menjalani masa haidl yang ketiga dan si suami tetap tidak merujuknya, maka dia lepas dari suaminya selamanya (menjadi thalaq baain shughraa), sehingga suaminya tidak boleh menyentuhnya lagi kecuali dengan aqad dan mahar yang baru. Dan itupun harus berdasarkan persetujuan wanita tersebut beserta walinya.
Disunnahkan (tidak wajib) ketika merujuknya (dalam masa ’iddah) menyertakan saksi berdasarkan firman Allah ta’ala :
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ
”Apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah” [QS. Ath-Thalaq : 2].
Rujuk dalam dilakukan dengan beberapa hal sebagai berikut [7] :
1. Rujuk dengan perkataan.
Jenis ada dua, yaitu dengan kalimat sharih dan dengan kalimat kinayah. Jenis kalimat sharih misalnya : ”aku telah merujukmu kembali”, ”aku telah mengembalikanmu kepada tanggung jawabku”, atau yang semisalnya yang menunjukkan makna sama. Kalimat jenis ini sah, baik dengan atau tanpa disertai niat rujuk. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Rujuk dengan kalimat kinayah adalah seperti misal : ”engkau bagiku seperti yang dulu”, ”engkau adalah istriku”, ”aku telah mengembalikanmu”, dan yang semisalnya; maka ini tergantung pada niatnya. Jika orang tersebut berniat untuk rujuk, maka sah rujuknya. Jika tidak, maka tidak sah.
2. Rujuk dengan perbuatan.
Para ulama berbeda pendapat tentang masalah ini. Hanafiyyah berpendapat bahwa rujuk dengan perbuatan itu sah dengan berjima’ atau melakukan hal-hal yang menjadi muqaddimahnya seperti menyentuh atau menciumnya dengan syahwat dan juga sengaja melihat farjinya; baik dengan atau tanpa niat untuk rujuk. Malikiyyah berpendapat bahwa rujuk dengan perbuatan itu sah dengan berjima’ atau melakukan hal-hal yang menjadi muqaddimahnya, dengan syarat ia melakukannya dengan niat untuk rujuk. Hanabillah – dan itu merupakan riwayat pilihan mereka dari Ahmad bin Hanbal - , Ibnul-Musayyib, Al-Hasan, Ibnu Sirin, ’Atha’, Thawus, Az-Zuhriy, Ats-Tsauriy, dan Al-Auza’iy berpendapat bahwa rujuk dengan perbuatan hanya sah dengan jima’ saja, baik dengan atau tanpa niat untuk rujuk. Syafi’iyyah berpendapat bahwa rujuk dengan perbuatan itu hanya sah dengan perkataan saja, tidak dengan jima’ atau yang lainnya.
Pendapat yang rajih dari sekian pendapat di atas adalah bahwasannya rujuk itu sah dengan jima’ dengan atau tanpa niat untuk rujuk. Adapun tentang muqaddimah-muqaddimah jima’, maka itu tergantung dari niatnya. Jika ia berniat dengan itu untuk rujuk, maka sah rujuknya. Namun jika ia tidak berniat untuk rujuk, maka tidak sah rujuknya. Wallaahu a’lam.
Itu saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
[Abu Al-Jauzaa’ Al-Bogoriy - perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – http://abul-jauzaa.blogspot.com].
[1] Dalilnya adalah :
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا
“Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah” [QS. Al-Baqarah : 228].
[2] Tafsiir Ibni Katsiir, 1/611-612.
[3] Shahih Fiqhis-Sunnah 3/262 dan Al-Fiqhul-Islamiy wa Adillatuhu 7/432.
[4] Shahih Fiqhis-Sunnah, 3/264 dengan peringkasan seperlunya dan sedikit penambahan.
[5] Khulu’ adalah perceraian antara suami dan istri yang dilakukan dengan menyerahkan pengganti (‘iwadl) kepada pihak suami oleh istri. Hal ini dilakukan karena ada faktor ketidaksukaan dari istri terhadap suami karena mempunyai perangai atau rupa yang tidak baik (jelek), dan dia khawatir tidak dapat menunaikan hak Allah dengan menaati suaminya.
[6] Tafsir Ibni Katsiir, 1/620 dan Adlwaaul-Bayaan, 1/148.
[7] Selengkapnya silakan periksa Shahih Fiqhis-Sunnah 3/268-271.
Comments
Di atas antum katakan:
"Disunnahkan (tidak wajib) ketika merujuknya (dalam masa ’iddah) menyertakan saksi..."
Sementara, dalil dalam surat athTholaq ayat 2:
وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ
Bukankah setiap asal perintah dalam nash berarti WAJIB sampai ada dalil yang memalingkannya?
Adakah dalil yang memalingkannya atau pemahaman saya terhadap ayat itu yang keliru?
Jazakallaahu khoiron.
--Abu `Abdullaah--
Maaf jika baru kali ini saya respon, dan terima kasih atas komentarnya. Apa yang antum tanyakan/singgung telah banyak dibicarakan ulama dengan pembahasan yang panjang.
Allah ta’ala berfirman :
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ
“Apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu” [QS. Ath-Thalaaq : 2].
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah saksi ketika rujuk. Jumhur ulama (Abu Haniifah, Maalik, Asy-Syaafi’iy dalam al-qaulul-jadiid, dan satu pendapat dari Ahmad) berpendapat tentang tidak wajibnya, yaitu ia hanya anjuran saja. Adapun Asy-Syaafi’iy dalam al-qaulul-qadiim dan salah satu pendapat yang lain dari Ahmad mewajibkannya, dan bahkan termasuk bagian dari syarat sahnya rujuk.
Di antara dua pendapat tersebut, yang raajih adalah pendapat jumhur, sebagaimana dituliskan dalam artikel ini. Yaitu, perintah dalam ayat tersebut hanya menunjukkan anjuran saja. Hal ini seperti firman Allah ta’ala :
وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ
“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli….” [QS. Al-Baqarah : 282].
Selain itu, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam saat memerintahkan ‘Umar agar Ibnu ‘Umar merujuk istrinya, beliau bersabda :
مره فليراجعها
“Perintahkan ia untuk merujuk istrinya”.
Di sini beliau tidak menyebutkan tentang persaksian.
Jika dikatakan bahwa saksi dalam pernikahan itu tidak wajib hukumnya dan bukan termasuk syarat – menurut pendapat yang raajih (karena hadits dalam masalah saksi pernikahan tidak ada yang shahih dari Nabi, lihat Al-Jaami’ li-Ahkaamin-Nisaa’ 3/322-325) – maka begitu pula dalam rujuk. Nikah dan rujuk berkait dengan penghalalan farji. Dan rujuk (dalam masa ‘iddah) di sini kedudukannya lebih rendah daripada nikah, karena status wanita (yang dithalaq raj’iy) tersebut masih sebagai istri dari suami, dan ia masih berhak mendapatkan nafkah dan saling mewarisi jika salah satunya meninggal dunia. Berbeda halnya dengan nikah yang memang menghalalkan yang sebelumnya haram.
[mengenai bahasan keberadaan saksi bukan sebagai syarat pernikahan, bisa dibaca penjelasan yang sangat bagus dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Asy-Syarhul-Mumti’ 12/94-97].
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin memberikan perincian tambahan : “Jika istri yang dirujuknya itu hadir, maka keberadaan saksi di sini bukan merupakan kewajiban. Namun jika istrinya ini tidak berada di tempat (ghaib), maka keberadaan saksi adalah wajib” [Asy-Syarhul-Mumti’, 13/185-186].
Rujuk adalah hak suami yang tidak perlu keridlaan istri ataupun wali. Berbeda halnya dengan nikah yang wajib ada keridlaan (calon) istri dan wali. Dengan alasan ini, nikah lebih berhak untuk diwajibkan/dipersyaratkan saksi, namun ternyata Allah dan Rasul-Nya tidak mewajibkan saksi. Jika demikian, bagaimana rujuk bisa diwajibkan adanya saksi ?
Rujuk bukan merupakan 'aqad baru.
Sebagian ulama menjelaskan tentang QS. Ath-Thalaq ayat 2 di atas, bahwa Allah menyebutkan rujuk dan thalaq sebelum kesaksian. Di sini dapat dipahami bahwa kesaksian bukan merupakan syarat dalam rujuk.
Inilah beberapa hal yang memalingkan makna wajib dalam ayat kepada makna anjuran (mandub). Bagi saya sampai sekarang, inilah yang nampak raajih. Wallaahu a’lam.
Namun sebagian salaf, seperti ‘Aliy bin Abi Thaalib, ‘Imran bin Hushain, dan yang lainnya mewajibkan kesaksian. Antum bisa mendapatkan kesimpulan yang berbeda dari apa yang disimpulkan di sini dalam buku Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Muyassarah oleh Syaikh Husain bin ‘Audah Al-‘Awaaisyah 5/292-312.
Semoga ringkasan komentar ini ada manfaatnya.
Jazakallaahu khoiron atas tambahan wawasan dari antum.
Mengenai saksi nikah yang tidak wajib dan bukan syarat nikah, ana baru pertama kali ini mengetahuinya. Padahal, selama ini orang-orang memahami bahwa saksi termasuk syarat sah nikah. Bahkan para ustadz salafiyin tempat ana ta'lim pun demikian.
Sekiranya antum tidak sibuk dan tidak merepotkan, mohon dibuat artikel yang membahas hukum saksi nikah di blog ini.
Barokallaahu fiikum
-- Abu `Abdullaah --
Posting Komentar