Gak Level.....


Dalam satu pernikahan, dibolehkan bagi seorang wanita menolak pinangan seorang laki-laki dengan alasan ‘gak level’. Syari’at membahasakan hal itu dengan istilah kafaa’ah (كفاءة). Lantas apa yang disebut kafaa’ah itu ?

Kafaa’ah secara bahasa adalah mashdar dari kata kaafa’a, yukaafi’u, yang berarti persamaan. Akar kata bendanya adalah al-kufu’ (الْكُفْءُ) yang berarti setara (النظير) atau sepadan (المساوي). Hal ini seperti firman Allah ta’ala :
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
“dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia” [QS. Al-Ikhlash : 4].
Adapun secara istilah kafaa’ah berarti : kesamaan atau mendekati kesamaan antara laki-laki (yang hendak melamar) dengan wanita (yang akan dilamar) dalam hal-hal tertentu seperti : agama, nasab, kemerdekaan, pekerjaan/profesi, dan yang lainnya.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum kafaa’ah dalam pernikahan, selain dari kafaa’ah dalam hal agama (muslim atau kafir). Ibnu Qudaamah menyebutkan perbedaan pendapat ini menjadi dua. Pendapat pertama mengatakan bahwa kafaa’ah menjadi syarat sahnya nikah. Hal ini dinisbatkan kepada Sufyaan dan satu riwayat dari Ahmad. Pendapat kedua mengatakan bahwa kafaa’ah bukanlah syarat sahnya pernikahan. Pendapat ini merupakan satu riwayat dari Ahmad dan kebanyakan ulama. Dan para ulama yang memegang pendapat kedua ini pun terbagi menjadi dua.
Pertama, ia merupakan syarat yang melazimkan pernikahan. Apabila ‘aqad nikah dibarengi keberadaan kafaa’ah laki-laki terhadap wanita yang hendak ia nikahi, maka itu akan melazimkan pernikahan itu sendiri. Namun bila ‘aqad nikah itu tanpa dibarengi keberadaan kafaa’ah, akan tetapi si wanita dan para walinya ridlaa menerimanya (laki-laki), maka nikahnya sah. Sebaliknya bila tidak ada keridlaan di antara mereka, maka ia punya hak untuk membatalkan pernikahan (faskh). Ini adalah pendapat kebanyakan ulama sebagaimana dikatakan Al-Kaasaaniy. Di antara pihak yang mengatakan pendapat ini adalah, Syaafi’iyyah, Maalikiyyah, dan satu riwayat dari Ahmad – yang kemudian dishahihkan kalangan muta’akhkhiriin dari madzhab Hanabilah.
Kedua, tidak dipandang kafaa’ah merupakan satu hal yang dipersyaratkan secara asal dan diperhitungkan. Setiap muslim diakui kesetaraannya bagi muslimah, kecuali jika ia seorang yang faajir. Ini adalah madzhab Maalik, Ibnu Hazm, Asy-Syaukaaniy, dan Shiddiiq Hasan Khaan. Al-Kaasaaniy menisbatkan itu sebagai pendapat Abul-Hasan Al-Kurkhiy, Maalik, Sufyaan Ats-Tsauriy, dan Al-Hasan Al-Bashriy. Inilah yang raajih dari perbedaan pendapat yang disebutkan di atas [lihat : Al-Mughniy 7/372, Badaai’ush-Shanaai’ 2/317, Raudlatuth-Thaalibiin 7/84, Al-Muhallaa 10/24, Al-Inshaaf 8/108, Zaadul-Ma’aad 4/22, dan Ar-Raudlatun-Nadiyyah 2/9].
Adapun penjabaran macam kafaa’ah pernikahan, secara ringkasnya adalah sebagai berikut :
1.    Agama dan keshalihan.
Semua ulama memasukkan variabel agama dalam kafaa’ah pernikahan.
Allah ta’ala berfirman :
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran” [QS. Al-Baqarah : 221].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka [QS. Al-Mumtahanah : 10].
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain [QS. At-Taubah : 71].
Ayat di atas menunjukkan bahwa seorang muslimah haram hukumnya dinikahi oleh laki-laki kafir. Para ulama telah sepakat tentang hal ini.
Allah ta’ala berfirman :
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu” [QS. Al-Hujuraat : 13].
Al-Qurthubiy rahimahullah berkata :
وفي هذه الآية ما يدلك على أن التقوى هي المراعى عند الله تعالى وعند رسوله دون الحسب والنسب
“Dan dalam ayat ini menunjukkan bahwa ketaqwaan adalah hal yang dipertimbangkan di sisi Allah ta’ala dan Rasul-Nya, bukan keturunan dan nasab” [Tafsir Al-Qurthubiy, 16/345].
Cabang dari permasalahan ini adalah : Para ulama membenci seseorang menikahkan anak wanitanya dengan orang yang faasiq. Ia adalah kafaa’ah dalam hal ‘afiifah (kehormatan diri). ‘Abdul-Qaadir bin ‘Umar Asy-Syaibaaniy rahimahullah berkata :
الفاسق مردود الشهادة والرواية، وذلك نقص في إنسانيته، فلا يكون كفأ للعدل
“Orang yang fasiq ditolak persaksian dan riwayatnya. Hal itu merupakan kekurangan dalam hal kemanusiaan dirinya. Maka, tidak ada kecukupan dalam keadilan” [Nailul-Ma-aarib, 2/156].
Jika orang faasiq dianggap tidak memiliki kafaa’ah dalam ‘afiifah, maka mubtadi’ lebih-lebih lagi. Para ulama sangat membenci seseorang yang menikahkan anaknya dengan seorang mubtadi’ (yang belum keluar dari lingkup Islam). Namun jika kebid’ahannya menyebabkan ia keluar dari Islam, maka hukumnya adalah sebagaimana hukum pernikahan seorang wanita dengan laki-laki kafir (yaitu haram).
Al-Imaam Maalik bin Anas rahimahullah berkata :
لا ينكح أهل البدع ولا ينكح إليهم ولا يسلم عليهم ولا يصلى خلفهم ولا تشهد جنائزهم
“Ahlul-bid'ah jangan dinikahkan (dengan wanita Ahlus-Sunnah), jangan menyerahkan kepada mereka untuk dinikahi, jangan mengucapkan salam kepada mereka, jangan shalat di belakang mereka, dan jangan saksikan jenazah-jenazah mereka” [Al-Mudawwanah, 1/68].
2.    Kemerdekaan/bebas dari perbudakan.
Jumhur ulama dari kalangan Hanafiyyah, Maalikiyyah, Syaafi’iyyah, dan Hanabilah mengakui jenis kafaa’ah ini. Diantara dalil yang dipergunakan adalah firman Allah ta’ala :
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ
“Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki” [QS. An-Nisaa’ : 25].
Sisi pendalilannya : seorang laki-laki boleh menikahi wanita budak yang beriman jika ia kesulitan untuk mendapat wanita merdeka. Oleh karena itu, kebolehan dalam hal ini dalam keadaan ‘terpaksa’, bukan merupakan pilihan.  Dalil lain :
حدثنا محمد: أخبرنا عبد الوهاب: حدثنا خالد، عن عكرمة، عن ابن عباس : أن زوج بريرة عبد أسود يقال له مغيث، كأني أنظر إليه يطوف خلفها يبكي ودموعه تسيل على لحيته، فقال النبي صلى الله عليه وسلم لعباس: (يا عباس، ألا تعجب من حب مغيث بريرة، ومن بغض بريرة مغيثا). فقال النبي صلى الله عليه وسلم: (لو راجعته). قالت يا رسول الله تأمرني؟ قال: (إنما أنا أشفع). قالت: لا حاجة لي فيه.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdul-Wahhaab : Telah menceritakan kepada kami Khaalid, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya suami Bariirah adalah seorang budak hitam yang bernama Mughiits. Sepertinya aku melihatnya berthawaf di belakangnya sambil menangis sehingga air matanya membasahi jenggotnya. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Al-‘Abbaas : “Wahai ‘Abbaas, tidakkah engkau merasa ta’jub betapa cinta Mughiits terhadap Bariirah dan betapa benci Bariirah terhadap Mughiits ?”. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Seandainya engkau (Bariirah) mau merujuknya”. Bariirah berkata : “Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintahkanku ?”. Beliau bersabda : “Aku hanya menyarankan saja”. Bariirah berkata : “Aku tidak lagi berhajat kepadanya (Mughiits)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5283].
حدثنا علي بن حجر. أخبرنا جرير بن عبد الحميد عن هشام بن عروة، عن أبيه، عن عائشة، قال: كان زوج بريرة عبدا. فخيرها النبي صلى الله عليه وسلم فاختارت نفسها، ولو كان حرا لم يخيرها.
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Hajar : Telah mengkhabarkan kepada kami Jariir bin ‘Abdil-Hamiid, dari Hisyaam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aaisyah, ia berkata : “Suami Bariirah adalah seorang budak. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberikan pilihan baginya, maka ia memilih kemerdekaan dirinya. Seandainya suaminya merdeka, niscaya beliau tidak memberikan pilihan baginya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1154, dan ia berkata : “Hasan shahih” – dan memang seperti itulah yang keadaan haditsnya].
At-Tirmidziy berkata :
والعمل على هذا عند بعض أهل العلم وقالوا إذا كانت الأمة تحت الحر فأعتقت فلا خيار لها وإنما يكون لها الخيار إذا أعتقت وكانت تحت عبد وهو قول الشافعي وأحمد وإسحاق
“Sebagian ulama beramal dengan hadits ini. Mereka berkata : ‘Jika seorang budak wanita menjadi istri seorang merdeka, lalu budak itu dibebaskan, maka tidak pilihan bagi dirinya (budak wanita itu). Seorang budak wanita itu diberikan hak pilih jika ia dibebaskan dan status dirinya masih menjadi istri seorang budak. Ia adalah pendapat Asy-Syaafi’iy, Ahmad, dan Ishaaq” [As-Sunan, 2/450].
Hak pilih yang diberikan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan bahwa kafaa’ah kemerdekaan itu diakui dalam syari’at. Akan tetapi, jika si istri tersebut rela atau ridlaa, maka pernikahannya tersebut tetap sah – dan itu konsekuensi dari hak pilih itu sendiri.
3.    Bebas dari aib/penyakit yang menyebabkan batalnya ‘aqad pernikahan.
Jumhur ulama dari kalangan Hanafiyyah, Maalikiyyah, Syaafi’iyyah, dan Hanabilah mengakui jenis kafaa’ah ini. Dalil yang mereka ambil di antaranya adalah :
حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ...... لَا يُورِدَنَّ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ
Telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin Muhammad : Tlah menceritakan kepada kami Hisyaam bin Yuusuf : Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar, dari Az-Zuhriy, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “….. jangan dicampur (onta) yang sehat dengan yang sakit” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5770-5771].
Al-Baihaqiy memasukkan hadits ini dalam bab : I’tibaarus-Salamaah fil-Kafaa’ah.
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata saat membahas cacat yang dapat membatalkan nikah :
فاختلف الفقهاءُ فى ذلك، فقال داود، وابنُ حزم، ومَنْ وافقهما: لا يُفْسَخْ النكاحُ بعيب ألبتة، وقال أبو حنيفة: لا يفسخ إلا بالجَبِّ والعُنَّةِ خاصة. وقال الشافعى ومالك: يُفْسَخُ بالجنونِ والبَرَصِ، والجُذامِ والقَرَن، والجَبِّ والعُنَّةِ خاصة، وزاد الإمام أحمد عليهما: أن تكونَ المرأة فتقاءَ منخرِقة ما بينَ السبيلين، ولأصحابه فى نَتَنِ الفرج والفم، وانخراقِ مخرجى البول والمنى فى الفرج، والقروح السيالة فيه، والبواسير، والنَّاصور، والاستحاضة، واستطلاقِ البول، والنجو، والخصى وهو قطعُ البيضتينِ، والسَّل وَهو سَلُّ البيضتين، والوجء وهو رضُّهما، وكونُ أحدهما خُنثى مشكلاً، والعيبِ الذى بصاحبه مثلُه مِن العيوب السبعة، والعيبِ الحادث بعد العقد، وجهان.
وذهب بعضُ أصحابِ الشافعى إلى ردِّ المرأة بكُلِّ عيبٍ تُردُّ به الجاريةُ فى البيع وأكثرُهم لا يَعْرِفُ هذا الوجهَ ولا مظِنَّتَه، ولا مَنْ قاله. وممن حكاه: أبو عاصم العبادانى فى كتاب طبقات أصحاب الشافعى، وهذا القولُ هو القياس، أو قولُ ابن حزم ومن وافقه.
وأما الاقتصارُ على عيبين أو ستة أو سبعة أو ثمانية دون ما هو أولى منها أو مساو لها، فلا وجه له،
“Para fuqahaa telah berbeda pendapat tentang hal tersebut. Abu Daawud, Ibnu Hazm, dan yang sependapat dengan mereka berdua berkata : ‘Tidak boleh dibatalkan sama sekali pernikahan dengan sebab adanya cacat’. Abu Haniifah berkata : ‘Tidak boleh dibatalkan kecuali suaminya terpotong kemaluannya (dikebiri) dan imponten’. Asy-Syaafi’iy dan Maalik berkata : ‘(Pernikahan) dibatalkan dengan sebab gila, kusta, lepra, qaran (= semacam kelainan dari kemaluan seorang wanita akibat adanya daging tumbuh atau semacamnya sehingga tersumbat yang mengakibatkan tidak bisa melakukan jima’), terpotong kemaluannya, dan imponten’. Al-Imam Ahmad menambahkan dari yang telah disebutkan keduanya : ‘Jika si wanita mempunyai kelainan pada kemaluannya karena sobek pembatas antara dua lubang (qubul dan dubur)’. Dan menurut shahabat-shahabatnya termasuk bau busuk yang keluar dari farji dan mulut, robeknya saluran kencing dan mani pada kemaluan, luka nanah pada kemaluan, wasir, naashuur (daging atau benjolan yang ada di sekitar dubur yang menyebabkan buang air besar terasa sakit), istihadlah, kencing terus-menerus, najwu (= penyakit/kelainan pada perut sehingga mengeluarkan bau busuk dan kotoran), khashaa (terpotong buah dzakarnya), tidak memiliki buah dzakar, waj’u (buah dzakarnya hancur/rusak), berkelamin ganda, dan cacat-cacat lain yang sejenis dengan tujuh cacat ini yang ada pada suami/istri.
Sedangkan cacat yang terjadi setelah ‘aqad, ada dua pendapat. Sebagian shahabat Asy-Syaafi’iy berpendapat untuk mengembalikan wanita (kepada keluarganya) untuk setiap cacat yang ada yang mana jika cacat itu ada pada seorang budak wanita, boleh dikembalikan kepada tuannya. Kebanyakan shahabat Asy-Syaafi’iy tidak mengetahui alasan dan dalil pendapat ini dan tidak mengetahui siapa yang mengatakannya. Dan dari yang dikatakan Abu ‘Aashim Al-‘Abbaadaaniy dalam kitab Thabaqaat Asy-Syaafi’iy, pendapat ini merupakan hasil dari qiyas, atau pendapat Ibnu Hazm dan orang yang sependapat dengannya.
Adapun pembatasan atas dua, enam, tujuh, atau delapan cacat tanpa cacat lain yang lebih tinggi derajatnya (parah) atau sama, maka pendapat itu tidak punya sandaran/dalil….” [Zaadul-Ma’aad, 5/182; Muassasah Ar-Risalah, Cet. 3/1406].
4.    Nasab dan keturunan.
Jenis kafaa’ah ini merupakan hal yang ditetapkan para ulama Hanafiyyah, Syaafi’iyyah, dan Hanabilah. Dalil yang mereka ambil antara lain adalah :
حدثنا محمد بن مهران الرازي ومحمد بن عبدالرحمن بن سهم. جميعا عن الوليد. قال ابن مهران: حدثنا الوليد بن مسلم. حدثنا الأوزاعي عن أبي عمار، شداد؛ أنه سمع واثلة بن الأسقع يقول :  سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول "إن الله اصطفى كنانة من ولد إسماعيل. واصطفى قريشا من كنانة. واصطفى من قريش بني هاشم. واصطفاني من بني هاشم".
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mihraan Ar-Raaziy dan Muhammad bin ‘Abdirrahman bin Sahm, keduanya dari Al-Waliid - Ibnu Mihraan berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid bin Muslim - : Telah menceritakan kepada kami Al-Auzaa’iy, dari Abu ‘Ammaar Syaddaad, bahwasannya ia mendengar Waatsilah bin Al-Asqa’ berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah telah memilih dari anak Ismaa’iil, dan telah memilih Quraiys dari (anak-anak) Kinaanah, dan telah memilih dari (anaka-anak) Qurasiy Bani Haasyim, dan telah memilihku dari Bani Haasyim” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2276].
Para ulama yang berpegang pada pendapat ini menyatakan dengan hadits ini bahwa tidak ada yang menyamai kabilah Quraisy kecuali dari Quraiys saja, dan tidak ada yang menyamai kabilah Bani Haasyim kecuali dari Bani Haasyim juga.
Namun alasan ini mendapat sanggahan. Ulama lain mengatakan pendalilan dengan hadits di atas pada kafaa’ah nasab dan keturunan tidaklah tepat, karena yang dimaksud dengan hadits di atas bahwa Allah telah memilih benarnya kenabian dengan ilmu dan hikmah-Nya semenjak dari masyarakat umum, kabilah, keluarga, hingga kemudian jatuh pada diri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini sesuai dengan firman Allah ta’ala :
اللَّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ
“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan” [QS. Al-An’aam : 124].
Jumhur juga berdalil dengan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
أخبرنا محمد بن عبد الله الحافظ ثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ثنا محمد بن إسحاق الصغاني نا شجاع بن الوليد ثنا بعض إخواننا عن بن جريج عن عبد الله بن أبي مليكة عن عبد الله بن عمر رضى الله تعالى عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم العرب بعضهم أكفاء لبعض قبيلة بقبيلة ورجل برجل والموالي بعضهم أكفاء لبعض قبيلة بقبيلة ورجل برجل إلا حائك أو حجام
Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah Al-Haafidh : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin Ya’quub : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaaq Ash-Shaghaaniy : Telah mengkhabarkan kepada kami Syujaa’ bin Al-Waliid : Telah menceritakan kepada kami sebagian saudara kami, dari Ibnu Juraij, dari ‘Abdullah bin Abi Mulaikah, dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Orang ‘Arab itu sebagian mereka sepadan/sekufu’ dengan sebagian yang lainnya, baik antara kabilah satu dengan yang lainnya, seorang laki-laki dengan laki-laki yang lain. Adapun budak, sebagian mereka sepadan/sekufu’ dengan sebagian yang lain, baik antara kabilah satu dengan yang lainnya, seorang laki-laki dengan laki-laki yang lainnya; kecuali tukang tenun atau tukang bekam” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 7/135].
Akan tetapi hadits ini dla’iif.[1]
Bahkan ada dalil yang bertentangan dengan pendapat jumhur :
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ سَمِعَهُ مِنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي الْجَهْمِ سَمِعْتُ فَاطِمَةَ بِنْتَ قَيْسٍ قَالَتْ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَحْلَلْتِ فَآذِنِينِي فَآذَنَتْهُ فَخَطَبَهَا مُعَاوِيَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ وَأَبُو الْجَهْمِ وَأُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَرَجُلٌ تَرِبٌ لَا مَالَ لَهُ وَأَمَّا أَبُو الْجَهْمِ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ وَلَكِنْ أُسَامَةَ قَالَ فَقَالَتْ بِيَدِهَا هَكَذَا أُسَامَةُ تَقُولُ لَمْ تُرِدْهُ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَاعَةُ اللَّهِ وَطَاعَةُ رَسُولِهِ خَيْرٌ لَكِ فَتَزَوَّجَتْهُ فَاغْتَبَطَتْهُ
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Sufyaan, ia mendengarnya dari Abu Bakr bin Abil-Jahm : Aku mendengar Faathimah binti Qais berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku : Jika kamu telah halal kabarkanlah kepadaku". Faathimah kemudian memberitahukan kepada beliau, lalu dia pun dilamar oleh Mu'aawiyyah bin Abi Sufyaan, Abul-Jahm, dan Usaamah bin Zaid. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam kemudian bersabda : "Mu'aawiyah adalah laki-laki yang miskin lagi tidak mempunyai harta, sedangkan Abul-Jahm adalah laki-laki yang suka memukul wanita. Akan tetapi, menikahlah dengan Usamah”. Abu Bakar berkata : Faathimah lalu berkata dengan isyarat tangannya seperti ini, maksudnya dia tidak suka. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam kemudian bersabda kepadanya : "Taat kepada Allah dan Rasul-Nya, itu lebih baik bagimu". Maka Faathimah pun menikah dengannya, dan ia pun bahagia” [Diriwayatkan oleh Ahmad 6/412; shahih].
Faathimah adalah seorang wanita terhormat dari kalangan Quraisy, sedangkan Usaamah adalah mantan budak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menghendakinya untuk menikah dengan Usaamah semata-mata karena kebaikan agamanya. Dan kemudian Faathimah pun menerimanya.
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة. حدثنا عفان. حدثنا أبان بن يزيد. ح وحدثني إسحاق بن منصور (واللفظ له) أخبرنا حبان بن هلال. حدثنا أبان. حدثنا يحيى ؛ أن زيدا حدثه ؛ أن أبا سلام حدثه ؛ أن أبا مالك الأشعري حدثه ؛ أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : "أربع في أمتي من أمر الجاهلية، لا يتركونهن: الفخر في الأحساب، والطعن في الأنساب، والاستسقاء بالنجوم، والنياحة ......
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan : Telah menceritakan kepada kami Abaan bin Yaziid. Dan telah menceritakan kepadaku Ishaaq bin Manshuur (dan lafadhnya adalah miliknya) : Telah mengkhabarkan kepada kami Habbaan bin Hilaal : Telah menceritakan kepada kami Abaan : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa : Bahwasannya Yaziid telah menceritakan kepadanya : Bahwasannya Abu Salaam telah menceritakan kepadanya : Bahwasannya Abu Maalik Al-Asy’ariy telah menceritakan kepadanya : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ada empat perkara Jaahiliyyah dari umatku dan mereka belum meninggalkannya : Membanggakan keturunan, mencela nasab, meminta hujan dengan bintang-bintang, dan niyahah (meratapi mayit)…..” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 934].
5.    Harta/kekayaan.
Kafaa’ah dalam masalah harta merupakan madzhab jumhur ulama dari kalangan Hanafiyyah, Syaafi’iyyah, dan Hanabilah. Mereka membawakan beberapa dalil sebagai berikut :
نا أحمد بن عيسى بن السكين البلدي نا زكريا بن الحكم الذسعني نا أبو المغيرة عبد القدوس بن الحجاج نا مبشر بن عبيد حدثني الحجاج بن أرطأة عن عطاء وعمرو بن دينار عن جابر بن عبد الله قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لا تنكحوا النساء إلا الأكفاء ولا يزوجهن إلا الأولياء ولا مهر دون عشرة دراهم
Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin ‘Iisaa bin As-Sakiin Al-Baladiy : telah mengkhabarkan kepada kami Zakariyyaa bin Al-Hakam Adz-Dzus’aniy : Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-Mughiirah ‘Abdul-Qudduus bin Al-Hajjaaj : Telah mengkhabarkan kepada kami Mubasysyir bin ‘Ubaid : Telah menceritakan kepadaku Al-Hajjaaj bin Arthaah, dari ‘Athaa’ dan ‘Amru bin Diinaar, dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah kalian menikahkan wanita kecuali yang sepadan/sekufu’. Dan janganlah ada orang yang menikahkannya kecuali para walinya. Tidak ada mahar kurang dari sepuluh dirham” [Diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy 4/358 no. 3601, dan ia berkata : “Mubasysyir bin ‘Ubaid matruukul-hadiits”].
Hadits ini tidak dapat dipakai hujjah karena sangat lemah.[2]
أخبرنا يعقوب بن إبراهيم قال حدثنا أبو تميلة عن حسين بن واقد عن بن بريدة عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :   إن أحساب أهل الدنيا الذي يذهبون إليه المال 
Telah mengkhabarkan kepada kami Ya’quub bin Ibraahiim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Tamiilah, dari Husain bin Waaqid, dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya keturunan yang terpandang dari penduduk dunia adalah orang berharta” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 3225; shahih].
Akan tetapi, tidak ada petunjuk dalam hadits ini dalam masalah kafaa’ah harta/kekayaan, sebab hadits ini merupakan pengingkaran bahwa keturunan yang terpandang bagi kebanyakan manusia di dunia (menurut prasangkanya) adalah orang yang berharta, padahal, di sisi Allah, yang palin mulia adalah yang paling bertaqwa :
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu” [QS. Al-Hujuraat : 13].
Di sisi lain, Allah ta’ala berfirman :
وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا
“Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan” [QS. Al-Fajr : 20].
Jumhur juga berhujjah dengan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَرَجُلٌ تَرِبٌ لَا مَالَ لَهُ وَأَمَّا أَبُو الْجَهْمِ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ
“Mu'aawiyah adalah laki-laki yang miskin lagi tidak mempunyai harta, sedangkan Abul-Jahm adalah laki-laki yang suka memukul wanita…” [telah lalu penyebutan haditsnya].
Sisi pendalilannya adalah : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa Mu’aawiyyah seorang yang miskin. Jika hal itu bukan merupakan hal yang menjadi pertimbangan dalam kafaa’ah, niscaya beliau tidak akan menyebutkannya.
Namun, pendalilan ini tidak tepat. Telah disebutkan dalam hadits bahwa yang melamar Faathimah binti Qais ada tiga orang. Maka, menjadi satu kemaslahatan untuk menyebutkan perihal tiga orang tersebut sebagai pertimbangan. Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyarankan agar Faathimah menikah dengan Usaamah adalah karena keunggulan agamanya, dan ia (Usaamah) sendiri bukan seorang yang banyak harta.
Dalil yang menggugurkan kafaa’ah dalam hal harta/kekayaan adalah firman Allah ta’ala :
وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” [QS. An-Nuur : 32].
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّهُ قَالَ مَرَّ رَجُلٌ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لرَجُلٍ عِنْدَهُ جَالِسٍ مَا رَأْيُكَ فِي هَذَا فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ أَشْرَافِ النَّاسِ هَذَا وَاللَّهِ حَرِيٌّ إِنْ خَطَبَ أَنْ يُنْكَحَ وَإِنْ شَفَعَ أَنْ يُشَفَّعَ قَالَ فَسَكَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ مَرَّ رَجُلٌ آخَرُ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا رَأْيُكَ فِي هَذَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا رَجُلٌ مِنْ فُقَرَاءِ الْمُسْلِمِينَ هَذَا حَرِيٌّ إِنْ خَطَبَ أَنْ لَا يُنْكَحَ وَإِنْ شَفَعَ أَنْ لَا يُشَفَّعَ وَإِنْ قَالَ أَنْ لَا يُسْمَعَ لِقَوْلِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا خَيْرٌ مِنْ مِلْءِ الْأَرْضِ مِثْلَ هَذَا
Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdul-‘Aziiz bin Abi Haazim, dari ayahnya, dari Sahl bin Sa’d As-Saa’idiy, ia berkata : Ada seorang laki-laki melewati Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, lalu beliau berkata kepada orang yang duduk di dekat beliau : "Apa pendapat kalian dengan laki-laki ini ?". Ia menjawab : “Ia seorang yang terpandang di kalangan manusia. Ini, demi Allah, sudah pantas bila melamar, pasti akan diterima, dan bila dimintai bantuan pasti akan dibantu”. Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam diam. Beberapa saat kemudian, lewatlah seorang laki-laki lain, lalu Rasulullah shallaallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepadanya : “Apa pendapatmu dengan orang ini?”. Dia menjawab : 'Wahai Rasulullah, menurutku, orang ini adalah orang termiskin dari kalangan kaum muslimin, apabila ia melamar sudah pantas lamarannya untuk ditolak, dan jika dimintai pertolongan dia tidak akan ditolong, dan apabila berkata, maka perkataannya tidak akan didengar”. Maka Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Sungguh orang ini (orang yang terlihat miskin) lebih baik dari dunia dan seisinya daripada orang yang ini (orang yang pertama)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6447].
6.    Pekerjaan.
Kafaa’ah dalam pekerjaan juga merupakan madzhab jumhur ulama dari kalangan Hanafiyyah, Syaafi’iyyah, dan Hanabilah. Pendapat ini tidak kuat, karena ada beberapa hadits yang bertentangan dengannya, diantaranya :
حدثنا عبد الواحد بن غياث ثنا حماد ثنا محمد بن عمرو عن أبي سلمة عن أبي هريرة : أن أبا هند حجم النبي صلى الله عليه وسلم في اليافوخ فقال النبي صلى الله عليه وسلم يا بني بياضة أنكحوا أبا هند وأنكحوا إليه قال وإن كان في شيء مما تداوون به خير فالحجامة
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Waahid bin Ghiyaats : Telah menceritakan kepada kami Hammaad : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Amru, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah : Bahwasannya Abu Hind pernah membekam Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada bagian ubun-ubun, kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : "Wahai Bani Bayaadhah, nikahkanlah Abu Hind, dan nikahkanlah anak-anak wanitanya". Dan beliau bersabda : "Seandainya ada sesuatu yang lebih baik yang kalian gunakan untuk berobat, maka sesuatu tersebut adalah berbekam" [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2102; hasan].
Abu Hind adalah bekas budak Bani Bayaadlah dan berprofesi sebagai tukang bekam. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikahkan Abu Hind karena orang-orang ‘Arab biasa merendahkan orang yang berprofesi sebagai tukang bekam.
Itulah beberapa hal yang berkaitan dengan levelitas/kafaa’ah seorang laki-laki terhadap wanita yang hendak dinikahinya. Hanyalah agama dan keshalihan, kemerdekaan, serta bebas dari aib/cacat yang menyebabkan batalnya ‘aqad pernikahan yang dapat dipertimbangkan dalam penentuan kafaa’ah, menurut pendapat yang raajih. Inilah pendapat dari madzhab Maalikiyyah. Adapun tiga tambahan kriteria kafaa’ah yang ditetapkan jumhur ulama, tidak kuat. Wallaahu a’lam.
Satu hal yang penting, bahwasannya kafaa’ah itu diberlakukan bagi laki-laki (yang melamar). Maksudnya wanita (yang dilamar) lah yang berhak mensyaratkan kafaa’ah atas laki-laki yang melamarnya. Oleh karena itu, jangan tersinggung ataupun kebakaran kumis jika ada orang yang melamar seorang wanita ditolak karena dianggap ‘gak level’ dengan salah satu alasan di antara enam hal di atas. Tetap berkepala dingin, itung-itung usaha….. Ini merupakan hak mereka (menerima atau menolak lamaran). Adapun bagi wanita atau walinya, penjelasan di atas ada baiknya untuk diperhatikan. Seorang wali tidak selayaknya untuk menolak lamaran seorang laki-laki jika telah memenuhi kriteria tiga kafaa’ah yang disebutkan di atas bersamaan dengan persetujuan dari si wanita (yang dilamar).
Itulah sedikit penjelasan mengenai kafaa’ah. Semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – wonokarto, wonogiri, menjelang akhir tahun 2010 - revisi tanggal 12-10-2012].


[1]      Al-Baihaqiy berkata :
هذا منقطع بين شجاع وابن جريج حيث لم يسم شجاع بعض أصحابه
“Hadits ini terputus (munqathi’) antara Syujaa’ dan Ibnu Juraij dimana Syujaa’ tidak menyebutkan nama sebagian shahabatnya (yang meriwayatkan dari Ibnu Juraij)”.
Hadits Ibnu ‘Umar ini juga dibawakan oleh Ibnul-Jauziy dalam tiga jalan :
a.     Telah memberitakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdil-Malik, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami Abu Muhammad Al-Jauhariy, dari Ad-Daaruquthniy, dari Abu Haatim bin Hibbaan, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Yahyaa bin Muhammad bin ‘Amruus, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim bin Al-‘Alaa’ Az-Zubaidiy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Baqiyyah, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Zur’ah Az-Zubaidiy, dari ‘Imraan bin Abil-Fadhl;
b.    Telah memberitakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdil-Malik, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami Ismaa’iil bin Mas’adah, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Hamzah bin Yuusuf, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Adiy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Hasan bin Sufyaan, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Ammaar, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin ‘Abdirrahmaan, dari ‘Aliy bin ‘Urwah;
c.     Telah memberitakan kepada kami Al-jauhariy, ia berkata : Telah memberitakan kepada kamiAl-‘Asyaariy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ad-Daaruquthniy,ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Haamid Muhammad bin Haaruun Al-Hadlramiy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Zakariyya Al-Azraq, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Suwaid, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Baqiyyah bin Al-Waliid, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Al-Fadhl, dari ‘Abdullah bin ‘Umar;
Ketiganya dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam [Al-‘Ilal Al-Mutanaahiyyah, 2/128-129 no. 1017-1019].
Hadits pertama sangat lemah. ‘Imraan bin Abil-Fadhl, Abu Haatim berkata tentangnya : “Dla’iiful-hadits, munkarul-hadits jiddan” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 6/303 no. 1683]. Hadits kedua sangat lemah. ‘Aliy bin ‘Urwah adalah matruuk [At-Taqriib, hal. 701 no. 4805]. Hadits ketiga juga sangat lemah. Muhammad bin Al-Fadhl adalah seorang yang matruuk, para ulama mendustakannya [idem, hal. 888 no. 6265].
Ibnu ‘Umar mempunyai syaahid dari Mu’aadz bin Jabal radliyallaahu ‘anhum :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى ، قَالَ : أَخْبَرَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ أَبِي الْجَوْنِ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا ثَوْرٌ يَعْنِي ابْنَ يَزِيدَ ، عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ ، عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : الْعَرَبُ بَعْضُهَا أَكْفَاءٌ لِبَعْضٍ ، وَالْمَوَالِي بَعْضُهُمْ أَكْفَاءٌ لِبَعْضٍ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Sulaimaan bin Abil-Jaun, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Tsaur, yaitu Ibnu Yaziid, dari Khaalid bin Ma’daan, dari Mu’aadz bin Jabal radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Orang ‘Arab sebagian di antara mereka sepadan/sekufu’ dengan sebagian yang lain. Sedangkan budak sebagian di antara mereka sepadan dengan sebagian yang lain” [Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam Al-Bahruz-Zakhaar 7/121 no. 2677 dan Kasyful-Astaar 2/160-161 no. 1424].
Al-Haitsamiy berkata : “Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar, dan padanya terdapat Sulaimaan bin Abil-Jaun, aku tidak mendapatkan penyebutan biografinya” [Al-Majma’, 4/275]. Selain itu, Khaalid bin Ma’dan tidak pernah bertemu dengan Mu’aadz, sehingga sanadnya munqathi’.
Walhasil, hadits Mu’aadz ini berderajat dla’iif.
[2]      Silakan baca pembahasan Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah dalam Irwaaul-Ghaliil 6/264-265 no. 1866.

Comments

Anang Dwicahyo mengatakan...

Ustadz , alhamdulillah setelah lebih dari 2 minggu ana nantikan akhirnya muncul juga artikel baru antum.

Kalau mau mengambil seorang menantu , bagaimana untuk melihat ke-faasiq-an anak muda jaman sekarang ?

Karena kita ini hudup di lingkungan yang jauh dari sunnah , tidak seperti para imam /ulama yang memang komunitasnya sangat mendukung kepada kehidupan sunnah.

Banyak anak muda sekarang ini tidak tau sunnah , maka kalau sudah begitu apakah kita serta merta menghukumi faasiq.

Ada seorang pemuda yang dalam hal agamanya menurut yang ana tau sih kurang misal : menjalankan yang wajib saja ( sholat 5 waktu dan puasa dibulan Ramadhan , namun tidak berjamaah dan tidak puasa sunah dll ) ,menjauhi kemungkaran sejauh apa yang dia tau , karena tidak berilmu sehingga sering tidak setuju kepada sunnah yang masyarakat umum tidak melakukan misal : membiarkan jengot , celana isbal dll , namun di faktor akhlak , keturunan , pekerjaan dan lainnya lebih .

Mohon dijelaskan ya ustadz , penting untuk ana.

Jazakallah khair

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Singkatnya,... bagi seorang yang ingin mengambil menantu, maka hal yang utama ia harus memperhatikan agamanya. Tentu saja, kadar 'keagamaan' seseorang berbeda-beda. Seberapa banyak syari'at agama yang ia kerjakan, maka berbanding lurus dengan kadar 'keagamaan' orang tersebut. Anyhow, itu kembali kepada orang tersebut seberapa batas rendahnya kadar 'keagamaan' seseorang yang dapat ia 'toleransi'. Semakin baik keagamaannya, tentu semakin layak dijadikan menantu.

wallaahu a'lam.

Rivedha Caesar Yandi mengatakan...

Sembelit kok bisa termasuk dianggap cacat before married sama sahabat Imam Ahmad,tadz?

ga salah ketik ya?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

الناصور itu semacam daging atau benjolan yang ada di sekitar dubur sehingga menyebabkan susah BAB (BAB terasa sakit). Sejenis dengan wazir juga. Mungkin lebih tepatnya saya tuliskan naashuur saja ya...

Unknown mengatakan...

assalamu alaikum ustadaz..

ana mau tanya,
apa hukum org tua memaksa putrinya menikah dgn laki2 pilihannya, sedangkan putrinya itu tdk mau dan tdk suka?

dan apa hukum utk laki2 ini yg ingin menikahi wanita tersebut, padahal dia tau wanita ini di paksa?

di tunggu jawabannya berikut dalil dan fatwa.

Barakallahfiik.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Wa'alaikumus-salaam.

Silakan baca : Tidak Boleh Seorang Ayah Menikahkan Anak Wanitanya Kecuali Setelah Diminta Persetujuannya.