Allah
ta’ala berfirman:
وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰ أَحَدٍ مِنْهُمْ
مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَىٰ قَبْرِهِ ۖ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ
وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ
“Dan
janganlah kamu sekali-kali menshalatkan (jenazah) seseorang yang mati di antara
mereka (orang-orang munafik), dan janganlah kamu berdiri untuk mendoakan di
kuburnya, sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka
mati dalam keadaan fasik” [QS. At Taubah: 84].
Terkait
dengan ayat ini, ada sababun-nuzuul ayat sebagaimana dijelaskan dalam
riwayat berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: لَمَّا
تُوُفِّيَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ جَاءَ ابْنُهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ
فَقَالَ: " يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعْطِنِي قَمِيصَكَ أُكَفِّنْهُ فِيهِ،
وَصَلِّ عَلَيْهِ، وَاسْتَغْفِرْ لَهُ، فَأَعْطَاهُ قَمِيصَهُ، وَقَالَ: إِذَا
فَرَغْتَ مِنْهُ فَآذِنَّا، فَلَمَّا فَرَغَ آذَنَهُ بِهِ، فَجَاءَ لِيُصَلِّيَ
عَلَيْهِ، فَجَذَبَهُ عُمَرُ، فَقَالَ: أَلَيْسَ قَدْ نَهَاكَ اللَّهُ أَنْ
تُصَلِّيَ عَلَى الْمُنَافِقِينَ، فَقَالَ: اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لا
تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ
اللَّهُ لَهُمْ فَنَزَلَتْ وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلا
تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ فَتَرَكَ الصَّلَاةَ عَلَيْهِمْ "
Dari
‘Abdullah (bin ‘Umar), ia berkata : Ketika ‘Abdullah bin Ubay meninggal, anaknya
mendatangi Rasulullah ﷺ lalu berkata : “Wahai Rasulullah,
berikanlah bajumu untuk mengkafaninya, shalatilah ia, dan mohonkanlah ampun
kepadanya”. Maka beliau ﷺ memberikan bajunya seraya bersabda : “Apabila
engkau telah selesai mengurusnya, maka beritahukanlah kami”. Ketika telah
selesai mengurus (jenazah ayahnya), maka ia memberitahukan kepada beliau ﷺ. Beliau ﷺ pun datang untuk menyalatkannya. (Melihat
itu) ‘Umar menarik beliau ﷺ lalu berkata : “Bukankah Allah telah
melarangmu untuk menyalati orang-orang munafik ?”. Beliau ﷺ membaca
ayat : “Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun
bagi mereka (adalah sama saja). Kendati pun kamu memohonkan ampun bagi mereka
tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada
mereka” (QS. At-Taubah : 80). Maka turunlah ayat : “Dan janganlah kamu
sekali-kali menshalatkan (jenazah) seseorang yang mati di antara mereka
(orang-orang munafik), dan janganlah kamu berdiri untuk mendoakan di kuburnya”
(QS. At-Taubah : 84). Maka beliau ﷺ meninggalkan shalat untuk mereka
(orang-orang munafik) [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5796].
Ayat
ini sebagai dalil larangan menyalatkan orang-orang munafik tulen semisal
‘Abdullah bin Ubay bin Saluul. Ibnu Saluul ini adalah orang munafik tulen yang
menampakkan keislaman namun menyimpan kebencian dan permusuhan kepada Islam dan
orang-orangnya. Jenis nifaq yang diderita pesakitan ‘Abdullah bin Ubay bin
Saluul ini adalah nifaq akbar atau nifaq i’tiqadiy yang mengeluarkan subjeknya
dari wilayah Islam, sebagaimana firman Allah ta’ala dalam QS. At-Taubah
ayat 84 :
إِنَّهُمْ كَفَرُوا
بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ
“Sesungguhnya
mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan
mereka mati dalam keadaan fasik”.
Ibnu
Katsiir rahimahullah menjelaskan:
أمر الله تعالى رسوله صلى الله عليه وسلم
أن يَبْرَأ من المنافقين، وألا يصلي على أحد منهم إذا مات، وألا يقوم على قبره
ليستغفر له أو يدعو له؛ لأنهم كفروا بالله ورسوله، وماتوا عليه. وهذا حكم عام في
كل من عرف نفاقه، وإن كان سبب نزول الآية في عبد الله بن أُبَيّ بن سلول رأس
المنافقين
“Allah
ta’ala memerintahkan Rasul-Nya ﷺ untuk membebaskan diri dari orang-orang
munafik, tidak menyalati seorang pun dari mereka apabila meninggal, dan tidak
berdiri di atas kuburnya untuk memintakan ampunan kepadanya atau mendoakannya.
Hal itu dikarenakan mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan meninggal
di atas kekafiran itu. Ini adalah hukum umum bagi siapa saja yang diketahui
kemunafikannya, meskipun sebab turunnya ayat ini terkait ‘Abdullah bin Ubay bin
Saluul, pemimpin orang-orang munafik” [Tafsiir Ibni Katsiir, 4/192-193].
Larangan
mendoakan dan memintakan ampunan (dan itu merupakan substansi dalam shalat
jenazah) adalah larangan yang ditujukan untuk objek orang kafir.
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: زَارَ النَّبِيُّ ﷺ قَبْرَ أُمِّهِ، فَبَكَى وَأَبْكَى
مَنْ حَوْلَهُ، فَقَالَ: " اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا
فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي، وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي،
فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ "
Dari
Abu Hurairah, ia berkata : “(pada suatu waktu) Nabi ﷺ berziarah ke kubur ibunya, lalu beliau
menangis sehingga orang-orang di sekitar beliau pun ikut menangis. Beliau ﷺ bersabda : “Sesungguhnya aku telah
memohon izin Rabb-ku untuk memintakan ampun untuknya, namun Ia tidak mengizinkanku.
Dan aku meminta izin-Nya untuk menziarahi kuburnya, dan Ia mengizinkanku. Maka berziarahlah
kalian ke kubur, karena itu akan mengingatkan kalian kepada kematian” [Diriwayatkan
oleh Muslim no.
976].
An-Nawawiy
rahimahullah berkata tentang hadits di atas:
فِيهِ
جَوَاز زِيَارَة الْمُشْرِكِينَ فِي الْحَيَاة ، وَقُبُورهمْ بَعْد الْوَفَاة ؛
لِأَنَّهُ إِذَا جَازَتْ زِيَارَتهمْ بَعْد الْوَفَاة فَفِي الْحَيَاة أَوْلَى ،
وَقَدْ قَالَ اللَّه تَعَالَى : { وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا }
وَفِيهِ : النَّهْي عَنْ الِاسْتِغْفَار لِلْكُفَّارِ . قَالَ الْقَاضِي عِيَاض
رَحِمَهُ اللَّه : سَبَب زِيَارَته صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرهَا
أَنَّهُ قَصَدَ قُوَّة الْمَوْعِظَة وَالذِّكْرَى بِمُشَاهَدَةِ قَبْرهَا ،
وَيُؤَيِّدهُ قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي آخِر الْحَدِيث : (
فَزُورُوا الْقُبُور فَإِنَّهَا تُذَكِّركُمْ الْمَوْت ) .
“Dalam
hadits tersebut terdapat penjelasan tentang kebolehan untuk menziarahi
orang-orang musyrik saat masih hidup, dan menziarahi kubur mereka setelah
meninggal. Hal itu dikarenakan apabila diperbolehkan untuk menziarahi mereka
setelah meninggal, maka ketika hidup lebih layak untuk kebolehannya. Allah ta’ala
telah berfirman: ‘Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik’
(QS. Luqmaan : 15).
Dalam
hadits tersebut juga terdapat penjelasan tentang larangan untuk memintakan
ampun kepada orang-orang kafir. Al-Qaadliy ‘Iyaadl rahimahullah berkata
: ‘Faktor penyebab ziarahnya Nabi ﷺ ke kubur ibunya yaitu karena beliau ﷺ ingin menguatkan nasihat dan peringatan
dengan mengunjungi kuburnya’. Hal tersebut dikuatkan dengan sabda beliau ﷺ yang ada di akhir hadits : ‘Berziarahlah
kalian ke kubur, karena itu akan mengingatkan kalian kepada kematian” [Syarh
Shahih Muslim, 7/45].[1]
Nabi
ﷺ
tetap menyalatkan ‘Abdullah bin Ubay bin Saluul karena beliau ﷺ melihat
kepada dhahir keislamannya, meskipun di masa hidupnya ia (Ibnu Saluul) melakukan
berbagai hal yang merugikan Islam dan kaum muslimin. Kemaksiatan yang dilakukannya
belum cukup memastikannya keluar dari wilayah Islam. Kekufurannya tersembunyi
dari beliau ﷺ
sebelum Allah ta’ala mengkhabarkan tentang dirinya melalui ayat.
Al-Qurthubiy
rahimahullah berkata:
وقال بعض
العلماء : إنما صلى النبي صلى الله عليه وسلم على عبد الله بن أبي بناء على الظاهر
من لفظ إسلامه . ثم لم يكن يفعل ذلك لما نهي عنه
“Sebagian
ulama berkata : Nabi ﷺ menyalatkan ‘Abdullah bin Ubay hanyalah
berdasarkan apa yang nampak dari ucapan (pengakuan) keislamannya. Kemudian
beliau ﷺ tidak melakukannya ketika dilarang Allah
darinya” [Jaami’ li-Ahkaamil-Qur’aan, 8/219].
Ibnul-Jauziy
rahimahullah berkata:
أنه إنما
استغفر لقوم منهم على ظاهر إِسلامهم من غير أن يتحقق خروجهم عن الإسلام ، ولا يجوز
أن يقال : علم كفرهم ثم استغفر
“Nabi ﷺ hanyalah memohonkan ampunan untuk satu
kaum dari mereka berdasarkan atas dhahir keislamannya (yang nampak) tanpa dapat
memastikan keluarnya mereka dari Islam. Tidak boleh untuk dikatakan : beliau ﷺ mengetahui kekufuran mereka, lalu
memintakan ampunan (kepada Allah untuk mereka)” [Zaadul-Masiir, 3/211].
Allah
ta’ala berfirman:
وَمِمَّنْ
حَوْلَكُمْ مِنَ الأعْرَابِ مُنَافِقُونَ وَمِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ مَرَدُوا
عَلَى النِّفَاقِ لا تَعْلَمُهُمْ نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ سَنُعَذِّبُهُمْ
مَرَّتَيْنِ ثُمَّ يُرَدُّونَ إِلَى عَذَابٍ عَظِيمٍ
“Di
antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang
munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam
kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi)
Kami-lah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian
mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar” [QS. At-Taubah : 101].
Sebagian
shahabat pun ada yang menganggapnya muslim seperti kaum Muhajirin dan Anshaar.
Diantaranya adalah Usaamah bin Zaid radliyallaahu ‘anhu:
عَنْ عُرْوَة
بْن الزُّبَيْرِ، أَنَّ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
أَخْبَرَهُ، : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ رَكِبَ عَلَى حِمَارٍ عَلَيْهِ قَطِيفَةٌ
فَدَكِيَّةٌ وَأُسَامَةُ وَرَاءَهُ يَعُودُ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ فِي بَنِي
حَارِثِ بْنِ الْخَزْرَجِ قَبْلَ وَقْعَةِ بَدْرٍ، فَسَارَا حَتَّى مَرَّا
بِمَجْلِسٍ فِيهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولَ، وَذَلِكَ قَبْلَ
أَنْ يُسْلِمَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ، فَإِذَا فِي الْمَجْلِسِ أَخْلَاطٌ
مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُشْرِكِينَ عَبَدَةِ الْأَوْثَانِ وَالْيَهُودِ.....
Dari
‘Urwah bin Az-Zubair, bahwasannya Usaamah bin Zaid radliyallaahu ‘anhumaa
mengkhabarkan kepadanya : Rasulullah ﷺ pernah menunggangi seekor keledai yang di
atasnya beralaskan (pelana) beludru Fadak – dan Usaamah membonceng di belakang
beliau ﷺ
- untuk mengunjungi Sa’d bin ‘Ubaadah di (kampung) Bani Haarits bin Khazraj
sebelum peristiwa (perang) Badr. Mereka berdua berjalan hingga melewati majelis
yang padanya terdapat ‘Abdullah bin Ubay bin Saluul. Itu terjadi sebelum ‘Abdullah
bin Ubay masuk Islam.[2]
Di majelis tersebut bercampur baur dari kalangan kaum muslimin, orang-orang
musyrik penyembah berhala, dan orang Yahudi…..” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy
no. 4566].
So, makar apa gerangan yang telah dibuat oleh ‘Abdullah bin Ubay bin
Saluul terhadap Islam dan kaum muslimin ?. Diantaranya:
1.
Menyebarkan berita
bohong (haditsul-ifki) bahwa ‘Aaisyah Ummul-Mukminiin telah berzina
قَالَتْ: فَهَلَكَ مَنْ هَلَكَ وَكَانَ الَّذِي
تَوَلَّى كِبْرَ الْإِفْكِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولَ، قَالَ
عُرْوَةُ: أُخْبِرْتُ أَنَّهُ كَانَ يُشَاعُ وَيُتَحَدَّثُ بِهِ عِنْدَهُ
فَيُقِرُّهُ وَيَسْتَمِعُهُ وَيَسْتَوْشِيهِ
‘Aaisyah berkata : “Maka
binasalah orang yang binasa." Dan orang yang berperan besar menyebarkan
berita bohong ini adalah ‘Abdullah bin Ubay bin Saluul[3].
'Urwah berkata : Dikhabarkan kepadaku bahwa ia (‘Abdullah bin Ubay bin Saluul) menyebarkan
berita bohong itu, menceritakannya, membenarkannya, dan menyampaikannya kepada
orang-orang sambil menambah-nambahinya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4141].
2.
Tidak mau menolong
kaum muslimin dan ingin mengusir mereka dari Madiinah
عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ، قَالَ: " كُنْتُ مَعَ عَمِّي، فَسَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ
أُبَيٍّ ابْنَ سَلُولَ، يَقُولُ: لَا تُنْفِقُوا عَلَى مَنْ عِنْدَ رَسُولِ
اللَّهِ حَتَّى يَنْفَضُّوا، وَقَالَ أَيْضًا: لَئِنْ رَجَعْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ
لَيُخْرِجَنَّ الْأَعَزُّ مِنْهَا الْأَذَلَّ
Dari Zaid bin Arqam radliyallaahu
‘anhu, ia berkata : “Aku pernah bersama pamanku, lalu aku mendengar
‘Abdullah bin Ubay bin Saluul berkata : ‘Janganlah kamu menginfakkan harta kepada
orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah supaya mereka bubar
(meninggalkan Rasulullah)’ (QS. Al-Munaafiquun : 7)’. Ia juga berkata : ‘Sesungguhnya
jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir
orang-orang yang lemah daripadanya’ (QS. Al-Munaafiquun : 8)” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 4901].
Perkataan Ibnu Saluul
tersebut sampai kepada Nabi ﷺ hingga kemudian turun QS. Al-Munaafiquun
ayat 1-8.
3.
Menyuruh berbuat
kekejian
عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: كَانَ عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولَ، يَقُولُ لِجَارِيَةٍ لَهُ " اذْهَبِي
فَابْغِينَا شَيْئًا، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَلا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ
عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَمَنْ يُكْرِههُّنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ
لَهُنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ "
Dari Jaabir, ia
berkata : Dahulu ‘Abdullah bin Ubay bin Saluul berkata kepada budak
perempuannya : “Pergilah dan melacurlah untuk kami”. Maka Allah 'azza wa
jalla menurunkan ayat : "Dan janganlah kamu paksa budak-budak
wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian,
karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa
mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
(kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu (An Nuur: 33)” [Diriwayatkan
oleh Muslim no. 3029].
4.
Dan yang lainnya.
Makar
‘Abdullah bin Ubay bin Saluul dan teman-temannya bukan sesuatu yang remeh.
Namun demikian, Nabi ﷺ tetap menyalatkan Ibnu Saluul dengan sebab
dhahir keislamannya. Bahkan setelah ‘Umar mengingatkan beliau ﷺ tentang kemunafikannya.
Kembali
kepada tema/judul, apa hukum menyalatkan orang munafik ? Satu pertanyaan pernah
dilontarkan kepada Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah:
إذا عرف
أن الميت منافق فهل يصلى عليه؟
“Apabila
dikenali bahwa si mayit adalah munafik, apakah wajib menyalatkannya ?”.
Beliau
rahimahullah menjawab:
لا يصلى
عليه؛ لقوله تعالى: وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا، إذا كان
نفاقه ظاهراً، أما إذا كان ذلك مجرد تهمة فإنه يصلى عليه؛ لأن الأصل وجوب الصلاة
على الميت المسلم فلا يترك الواجب بالشك
“Ia
tidak dishalati berdasarkan firman Allah ta’ala : ‘Dan janganlah kamu
sekali-kali menshalatkan (jenazah) seseorang yang mati di antara mereka
(orang-orang munafik)’ (QS. At-Taubah : 84), (yaitu) apabila kemunafikannya
nampak jelas. Namun apabila kemunafikannya hanya sekedar tuduhan saja, maka ia
tetap (wajib) dishalati, karena pada asalnya adalah wajib menyalati mayit
muslim sehingga tidak boleh meninggalkan yang wajib hanya berdasarkan keraguan”
[sumber : https://goo.gl/LwsAo4].
Yang
dimaksud kemunafikan yang jelas adalah kemunafikan yang mengkonsekuensikan
kepada kekufuran (nifaq akbar/nifaq i’tiqadiy)[4].
Bukan sekedar melakukan perbuatan dosa, kefasikan, maksiat, dan yang semisal
dari cabang-cabang kemunafikan. Sebagian orang keliru memahaminya dengan menghukumi seseorang
sebagai munafik hanya sekedar perbuatan kemaksiatan yang dilakukanya secara
terang-terangan nampak di mata manusia.
Nabi
ﷺ
bersabda:
آيَةُ
الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ، إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا
اؤْتُمِنَ خَانَ
”Tanda-tanda
orang munafik itu ada tiga : Jika berbicara berdusta, jika berjanji tidak
menepati, dan jika dipercaya dia berkhianat”
dan
dalam riwayat lain disebutkan :
وَإِذَا
خَاصَمَ فَجَرَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ
”Jika
berselisih, maka dia akan berbuat dhalim, dan jika berjanji dia berkhianat”.
Apakah
jika ada orang yang melakukan perbuatan-perbuatan maksiat tersebut di atas secara
terang-terangan, kita dapat sebut secara otomatis sebagai munafiq dengan
kemunafikan yang jelas ala ‘Abdullah bin Ubay bin Saluul yang matinya
tidak boleh dishalati ?. Tentu tidak[5].
Dulu,
ketika heboh kasus 'Aaisyah yang dituduh berzina oleh orang-orang munafiq, para
shahabat berselisih. Sa’d bin ‘Ubaadah radliyallaahu ‘anhu membela tokoh
munafiq Abdullah bin Ubaiy bin Saluul karena fanatisme kesukuan (satu suku :
Khazraj) sebagaimana riwayat berikut:
فَقَامَ
سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ الْأَنْصَارِيُّ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنَا
أَعْذِرُكَ مِنْهُ إِنْ كَانَ مِنْ الْأَوْسِ ضَرَبْتُ عُنُقَهُ، وَإِنْ كَانَ
مِنْ إِخْوَانِنَا مِنَ الْخَزْرَجِ أَمَرْتَنَا فَفَعَلْنَا أَمْرَكَ، قَالَتْ:
فَقَامَ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ وَهُوَ سَيِّدُ الْخَزْرَجِ وَكَانَ قَبْلَ ذَلِكَ
رَجُلًا صَالِحًا وَلَكِنْ احْتَمَلَتْهُ الْحَمِيَّةُ، فَقَالَ لِسَعْدٍ:
كَذَبْتَ لَعَمْرُ اللَّهِ لَا تَقْتُلُهُ وَلَا تَقْدِرُ عَلَى قَتْلِهِ، فَقَامَ
أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ وَهُوَ ابْنُ عَمِّ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ، فَقَالَ لِسَعْدِ
بْنِ عُبَادَةَ: كَذَبْتَ لَعَمْرُ اللَّهِ لَنَقْتُلَنَّهُ، فَإِنَّكَ مُنَافِقٌ
تُجَادِلُ عَنِ الْمُنَافِقِينَ، فَتَثَاوَرَ الْحَيَّانِ الْأَوْسُ وَالْخَزْرَجُ
حَتَّى هَمُّوا أَنْ يَقْتَتِلُوا وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَائِمٌ عَلَى الْمِنْبَرِ، فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخَفِّضُهُمْ حَتَّى سَكَتُوا وَسَكَتَ،
‘Aaisyah
berkata : Maka berdirilah Sa’d bin Mu’aadz Al-Anshaariy dan berkata : “Wahai
Rasulullah, aku memberikan pembelaan kepadamu dari orang tersebut. Seandainya
ia dari suku Aus, aku sendiri yang akan menebas lehernya. Namun apabila ia
berasal dari saudara kami suku Kazraj, maka perintahkanlah kami dan kami akan
melaksanakannya (untuk membunuh orang tersebut)”. ‘Aaisyah berkata : Maka
berdirilah Sa’d bin ‘Ubaadah - dan ia pemimpin suku Khazraj yang sebelum itu
adalah orang yang shaalih, akan tetapi hari itu ia terbawa sikap fanatisme
kesukuan – dan berkata : “Engkau dusta. Demi Allah, engkau tidak akan membunuhnya
dan tidak akan bisa membunuhnya”. Maka berdirilah Usaid bin Hudlair – paman
Sa’d bin Mu’aadz – yang berkata kepada Sa’d bin ‘Ubaadah : “Engkau lah yang
berdusta. Demi Allah, sungguh kami akan membunuhnya, karena engkau seorang
munafiq yang berdebat untuk membela orang-orang munaafiq (yaitu kelompok
‘Abdullah bin Ubay)”. Suasana semakin memanas antara orang-orang dari suku Aus
dan Khazraj hingga hampir saja mereka saling bunuh, padahal Rasulullah ﷺ masih berdiri di atas mimbar. Rasulullah ﷺ berusaha menenangkan mereka hingga mereka
diam dan beliau pun diam....” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4750].
Sa'd
bin 'Ubaadah keliru telah membela Ibnu Saluul gembong munafik, dan kita tidak
ragu lagi atas apa yang diperbuat Ibnu Saluul sebagaimana telah lewat
penyebutannya. Akan tetapi Sa’d bin ‘Ubaadah dengan kekeliruannya bukan seorang
munafik meski ada shahabat yang menuduhnya munafik. Bahkan Sa’d tetap merupakan
shahabat yang mulia, sayyid suku Khazraj. Nabi ﷺ pernah berdoa :
اللَّهُمَّ
اجْعَلْ صَلَوَاتِكَ وَرَحْمَتَكَ عَلَى آلِ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ
“Ya
Allah, limpahkanlah barakah dan rahmat-Mu kepada keluarga Sa’d bin ‘Ubaadah”
[Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 5185].
Begitu
juga dengan Haathib bin Abi Balta'ah radliyallaahu ‘anhu yang terjatuh
dalam kekeliruan membantu orang kafir Makkah dengan membocorkan rahasia kaum
muslimin kepada mereka. Motif Haathib adalah ingin melindungi
kerabat-kerabatnya di Makkah sebagaimana perkataannya dalam riwayat:
يَا
رَسُولَ اللَّهِ لَا تَعْجَلْ عَلَيَّ إِنِّي كُنْتُ امْرَأً مُلْصَقًا فِي
قُرَيْشٍ وَلَمْ أَكُنْ مِنْ أَنْفُسِهَا وَكَانَ مَنْ مَعَكَ مِنْ
الْمُهَاجِرِينَ لَهُمْ قَرَابَاتٌ بِمَكَّةَ يَحْمُونَ بِهَا أَهْلِيهِمْ
وَأَمْوَالَهُمْ، فَأَحْبَبْتُ إِذْ فَاتَنِي ذَلِكَ مِنَ النَّسَبِ فِيهِمْ أَنْ
أَتَّخِذَ عِنْدَهُمْ يَدًا يَحْمُونَ بِهَا قَرَابَتِي وَمَا فَعَلْتُ كُفْرًا،
وَلَا ارْتِدَادًا، وَلَا رِضًا بِالْكُفْرِ بَعْدَ الْإِسْلَامِ
“Wahai
Rasulullah, janganlah engkau terburu-buru kepadaku. Sesungguhnya aku adalah
seorang anak angkat di tengah suku Quraisy, dan aku bukanlah termasuk dari
kalangan mereka. Adapun kaum Muhaajirin yang bersama engkau, mereka mempunyai
kerabat di Makkah yang akan melindungi keluarga dan harta mereka. Dikarenakan
aku tidak punya hubungan nasab dengan mereka, aku ingin menolong mereka agar mereka
pun menjaga kerabatku. Aku melakukan ini bukan karena kekafiran, murtad,
ataupun ridlaa dengan kekufuran setelah Islam”[6]
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3007].
Jelas
ia keliru, namun kekeliruannya tidak menyebabkan dirinya tergolong orang
munafik sebarisan dengan 'Abdullah bin Ubay bin Saluul.
Penjabaran
di sini bukan artinya kita tidak dapat menghukumi seseorang dengan nifaq
akbar/i’tiqadiy secara dhahir. Orang munafik yang jelas kemunafikannya tetap ada dan dapat
dihukumi berdasarkan qarinah-qarinah lahiriyah (yang nampak). Ini
seperti riwayat:
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، قَالَ: " قَالَ رَجُلٌ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ فِي
مَجْلِسٍ: مَا رَأَيْنَا مِثْلَ قُرَّائِنَا هَؤُلاءِ، أَرْغَبَ بُطُونًا، وَلا
أَكْذَبَ ألسنًا، وَلا أَجْبَنَ عِنْدَ اللِّقَاءِ، فَقَالَ رَجُلٌ فِي
الْمَجْلِسِ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ مُنَافِقٌ، لأُخْبِرَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ
فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ ﷺ وَنَزَلَ الْقُرْآنُ، قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
عُمَرَ: فَأَنَا رَأَيْتُهُ مُتَعَلِّقًا بِحَقَبِ نَاقَةِ رَسُولِ اللَّهِ،
تَنْكُبُهُ الْحِجَارَةُ، وَهُوَ يَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّمَا كُنَّا
نَخُوضُ وَنَلْعَبُ، وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: "أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ
وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ { 65 } لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ
بَعْدَ إِيمَانِكُمْ "
Dari
‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata : Berkatalah seorang laki-laki saat perang
Tabuk dalam satu majelis : “Kami tidak pernah melihat seperti para qurraa’ (pembaca
Al-Qur’an) kita ini; yang paling mementingkan perut (rakus), sangat pendusta, dan
penakut dalam pertempuran/peperangan”. Maka berkatalah seseorang di majelis
tersebut : “Engkau berdusta, engkau jelas munafik. Sungguh akan aku khabarkan (apa
yang engkau ucapkan) kepada Rasulullah ﷺ”. Maka, sampailah ucapan tersebut kepada Nabi
ﷺ,
kemudian turunlah (ayat) Al-Qur’an. ‘Abdullah bin ‘Umar berkata : “Maka aku
lihat laki-laki tersebut bergantung pada tali onta Rasulullah ﷺ, tersandung batu-batu, sambil berkata : ‘Wahai
Rasulullah, kami hanya bersendau-gurau dan bermain-main saja”. Dan Rasulullah ﷺ bersabda : “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya,
dan Rasul-Nya kamu selalu mengolok-olok?.
Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu kafir setelah beriman (QS.
At-Taubah : 65-66)” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan,
14/333-334 no. 16912; shahih].
Para
shahabat menghukumi secara dhahir perkataan mereka yang mengolok-olok kaum
muslimin (para shahabat) yang berjihad dengan harta dan darah mereka di medan
perang melawan kuffaar sebagai satu kemunafikan. Apa yang mereka katakan
kemudian dibenarkan oleh Allah dan Rasul-Nya dengan turunnya ayat Al-Qur’an yang
menjelaskan tentang kekafiran orang-orang munafik tersebut yang melakukan istihzaa’
(olok-olok). Istihzaa’ terhadap syari’at Islam dan orang-orang yang
menjalankannya adalah kekafiran[7].
Di
dalam negeri, spesies munafik seperti ini memang eksis. Mereka ber-KTP Islam, terpelajar,
tidak gila, paham bahasa Arab, namun menyembunyikan kekufuran. Seperti misal orang
yang mengatakan jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak
wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab. Rasul ﷺ dikatakan
tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis. Gambaran tentang Tuhan yang
sibuk mengurusi segala tetek bengek urusan manusia itu sudah tidak tepat lagi.
LGBT, nggak apa-apa… Dan lain sebagainya….
Seandainya
ada yang yakin akan kemunafikan seseorang, maka itu baginya dan ia tidak harus mewajibkan penghukumannya/keyakinannya
itu kepada orang lain, karena kemunafikan adalah sesuatu yang asalnya
tersembunyi[8]. Memvonis
seseorang sebagai munafik yang jelas kemunafikannya harus hati-hati, karena ini
terkait dengan pengeluaran seseorang dari wilayah Islam. Harus dengan bukti
yang kuat.
Dulu,
sebagian shahabat pernah berkumpul dan berbincang tentang kaum munafik.
Pembicaraan mereka tertuju kepada seorang shahabat yang mereka indikasikan kuat
termasuk kaum munafik. Shahabat itu bernama Maalik bin Ad-Dukhaisyin.
Dikarenakan tidak melihat keberadaannya, maka Nabi ﷺ bertanya : “Dimanakah Maalik bin
Ad-Dukhaisyin ?”. Sebagian shahabat menjawab : “Orang itu munafik yang tidak
mencintai Allah dan Rasul-Nya”. Maka Rasulullah ﷺ bersabda
:
لَا،
تَقُلْ ذَلِكَ، أَلَا تَرَاهُ قَدْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يُرِيدُ
بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ
“Jangan
engkau katakan itu. Tidakkah engkau melihat bahwa ia mengatakan : ‘tidak ada
tuhan yang berhak diibadahi melainkan Allah’, yang ia menginginkan dengannya
wajah Allah ?” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 425].
Tidak
semua orang yang melakukan kemaksiatan dan cabang-cabang kemunafikan (nifak
amaliy) dikandangkan bersama orang munafik tulen sejenis Ibnu Saluul. Hanya
karena urusan Pilkada, semua orang yang pro komunitas serbet dianggap munafik
yang Allah larang untuk menyalatkannya (dengan mengambil dalil QS. At-Taubah : 84).
Bahkan, akibat akrobat fatwa yang diproduksi kalangan tertentu, sebagian masjid
ada yang pasang spanduk tidak mau menyalatkan (dan mengurus) jenazah para korban Pilkada. Innaa
lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun….
Benar,
dalam barisan komunitas serbet ada kloningan Ibnu Saluul, tapi tidak dapat
dipukul rata. Banyak diantara mereka yang memilih hanya karena alasan ‘anggapan’
bersih korupsi, berhasil menata kota, tidak suka kelompok ekstrim, alasan uang,
atau perkara dunia lainnya….. sebagaimana Haathib yang menolong orang kafir
karena faktor kerabat, atau Sa’d bin ‘Ubaadah yang membela Ibnu Saluul karena
faktor kesukuan.
Dulu,
ketika Nabi ﷺ tidak menyalatkan orang yang berhutang, beliau
bersabda :
صَلُّوْا
عَلَى صَاحِبِكُمْ
“Shalatlah
kalian untuk shahabat kalian ini”[9]
Artinya,
beliau ﷺ
tetap memerintahkan kepada para shahabat untuk menyalatinya, karena hukumnya
wajib (kifayah). Ini pertama.
Kedua,
seandainya kita tidak menyalatinya, maka dapat berakibat memberikan mudlarat
kepada keluarganya yang barangkali berbeda pendapat/pemikiran dengannya.
Edukasi peringatan agar orang lain tidak meniru perbuatannya tak teraih, dan
justru memberikan stigma negatif terhadap Islam dan kaum muslimin.
Ketiga,
shalat jenazah selain bermanfaat bagi si mayit, juga – dan inilah yang justru
terpenting – merupakan amal shalih yang membuahkan pahala bagi siapa saja yang
melakukannya. Amal shalih yang kelak menjadi bekal bagi kita di akhirat. Nabi ﷺ bersabda:
مَنْ
شَهِدَ الْجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلِّيَ فَلَهُ قِيرَاطٌ، وَمَنْ شَهِدَ حَتَّى
تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ "، قِيلَ: وَمَا الْقِيرَاطَانِ؟، قَالَ:
مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيمَيْنِ
“Barangsiapa
yang menghadiri jenazah hingga jenazah itu dishalati, maka baginya pahala satu
qirath. Dan barangsiapa yang menghadiri jenazah hingga dikuburkan, maka baginya
pahala dua qirath”. Dikatakan : “Apa maksud dua qirath ?”. Beliau ﷺ menjawab : “Seperti dua gunung yang
sangat besar” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1325].
Mendoakan
kebaikan dan ampunan bagi si mayit dan keluarganya bukanlah amalan yang
sia-sia. Nabi ﷺ bersabda:
دَعْوَةُ
الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ
رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لِأَخِيهِ بِخَيْرٍ، قَالَ الْمَلَكُ
الْمُوَكَّلُ بِهِ: آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Doa
seorang muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang
didoakannya adalah doa yang akan dikabulkan. Pada kepalanya ada malaikat yang
menjadi wakil baginya. Setiap kali dia berdoa untuk saudaranya dengan sebuah
kebaikan, maka malaikat tersebut berkata : ‘Aamiin dan engkau pun mendapatkan
apa yang ia dapatkan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2733].
Itu
saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu
a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’
– keheningan malam, 18032017].
[1] Bisa dibaca artikel : Mendemo Nabi ?.
[2] Artinya, setelah itu ‘Abdullah bin Ubay bin
Saluul secara dhahir masuk Islam dalam pandangan Usaamah (dan para shahabat
lain).
[3] Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالإفْكِ عُصْبَةٌ
مِنْكُمْ لا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ
مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الإثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ
عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu
adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu
buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari
mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara
mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu
baginya azab yang besar” [QS. An-Nuur :
11].
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا،
وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ، قَالَتْ: " عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ
سَلُولَ "
Dari
‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa tentang ayat : ‘Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam
penyiaran berita bohong itu (QS. An-Nuur :
11), ia berkata : “’Abdullah bin Ubay bin Saluul” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 4749].
[4] Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah
pernah ditanya:
إذا ترك العلماء الصلاة على أهل البدع، ألا
يكون فعلهم هذا قدوة لترك الناس الصلاة عليهم؟
“Apabila
para ulama meninggalkan shalat (jenazah) terhadap ahli bid’ah, apakah perbuatan
mereka ini merupakan teladan/contoh bagi manusia (yang lain) untuk meninggalkan
shalat terhadap mereka juga?”.
Beliau
rahimahullah menjawab :
الصلاة على الميت المسلم واجبة وإن كانت لديه
بدعة، ويصلي عليهم بعض الناس إذا كانت بدعتهم لا تخرجهم عن الإسلام، أما إذا كانت
بدعتهم توجب كفرهم فإنه لا يصلى عليهم، ولا يستغفر لهم؛ كالجهمية والمعتزلة
والرافضة الذين يدعون علياً رضي الله عنه، ويستغيثون به وبأهل البيت وأشباههم؛ لقول
الله سبحانه في المنافقين وأشباههم: وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ
أَبَدًا وَلا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ
“Shalat
atas seorang mayit muslim wajib hukumnya meskipun padanya terdapat kebid’ahan.
Sebagian manusia menyalatkan mereka apabila bid’ah mereka tidak mengeluarkan
mereka dari Islam (murtad). Namun apabila bid’ah mereka mengkonsekuensikan
kepada kekufuran, maka tidak boleh menyalatkan mereka. Tidak boleh pula
memintakan ampunan (kepada Allah) untuk mereka, seperti )bid’ah) Jahmiyyah,
Mu’tazillah, dan Raafidlah yang berdoa kepada ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu,
ber-istighatsah (meminta pertolongan agar dihilangkan segala kesusahan)
kepadanya dan kepada ahlul-bait, dan yang serupa. Hal ini berdasarkan
firman Allah subhaanahu wa ta’ala tentang orang-orang munafik dan yang
serupa mereka : ‘Dan janganlah kamu sekali-kali menshalatkan (jenazah)
seseorang yang mati di antara mereka (orang-orang munafik), dan janganlah kamu
berdiri untuk mendoakan di kuburnya, sesungguhnya mereka telah kafir kepada
Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik” (QS. At Taubah:
84)” [sumber : https://goo.gl/acpqKd].
Syaikh
berdalil dengan QS. At-Taubah ayat 84 yang terkait dengan orang munafik, adalah
bagi orang-orang yang telah kafir, keluar dari agama Islam (murtad).
[5] Adapun hadits:
أَرْبَعٌ، مَنْ كُنَّ فِيْهِ، كَانَ مُنَافِقًا
خَالِصًا، وَمَنْ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ، كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ
مِنْ نِفَاقٍ حَتَّى يَدَعَهَا، إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ،
وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
"Ada
empat sifat yang barangsiapa empat sifat tersebut ada padanya, maka ia adalah
seorang munafik tulen. Barangsiapa yang padanya terdapat salah satu dari empat
perkara tersebut, maka dalam dirinya terdapat karakter kemunafikan hingga dia
meninggalkannya. (Empat perkara tersebut adalah) : 1) apabila diberi amanat
berkhianat, 2) apabila berbicara berdusta, 3) apabila berjanji mengingkari, dan
4) apabila bertikai, dia berlaku aniaya”
Para
ulama berbeda pendapat tentang makna munaafiqan khaalishan (munafik
tulen) dalam hadits ini. Ada yang mengatakan pemutlakan nifak tersebut sebagai
peringatan agar manusia tidak melakukan sifat-sifat nifaq ini. Ada yang
mengatakan makna munafik tulen di situ adalah orang yang apabila berkata
tentang sesuatu, maka ia pasti berdusta; jika berjanji, pasti mengingkari, dan
seterusnya. Ada yang mengatakan maknanya adalah nifaq amaliy, dan inilah
yang dikuatkan Ibnu Hajar [lihat selengkapnya : Fathul-Baariy, 1/90-91].
[7] Perlu hati-hati sebelum ketok palu takfir terhadap
seseorang atas perbuatan istihzaa’ yang dilakukannya. Ulama Lajnah Daaimah
pernah ditanya tentang hukum orang yang mengolok-olok sebagian perkara-perkara
yang disunnahkan seperti siwak, pakaian di atas mata kaki, dan minum sambil
duduk; maka dijawab :
من استهزأ ببعض المستحبات، كالسواك، والقميص
الذي لا يتجاوز نصف الساق، والقبض في الصلاة، ونحوها مما ثبت من السنن؛ فحكمه: أنه
يبين له مشروعية ذلك، وأن السنة عن الرسول ـ صلى الله عليه وسلم ـ دلت على ذلك؛
فإذا أصر على الاستهزاء بالسنن الثابتة: كفر بذلك، لأنه بهذا يكون متنقصا للرسول ـ
صلى الله عليه وسلم ـ ولشرعه، والتنقص بذلك كفر أكبر
”Barangsiapa
yang mengolok-olok sebagian perkara yang disunnahkan, seperti siwak, berpakaian
tidak melebihi pertengahan betis, bersedekap ketika shalat dan lainnya yang
telah tetap dari Sunnah; maka hukumnya adalah : Hendaknya ia diberikan
penjelasan tentang disyari’atkannya perbuatan tersebut (yang ia olok-olok).
Bahwasannya Sunnah Rasul ﷺ
menunjukkan demikian. Apabila setelah diberi penjelasan bahwa hal tersebut
merupakan bagian dari Sunnah yang telah tetap, (orang tersebut masih saja
mengolok-olok), maka ia telah kufur. Hal itu disebabkan karena ia telah mencela
dan menghujat Rasul ﷺ dan
syari’atnya. Mencela dan menghujat yang seperti ini maka termasuk kufur akbar”
[Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah, hal. 141-142].
Dalam
fatwa lain:
سب الدين والاستهزاء بشيء من القرآن والسنة
والاستهزاء بالمتمسك بهما نظرًا لما تمسك به كإعفاء اللحية وتحجب المسلمة؛ هذا كفر
إذا صدر من مكلف، وينبغي أن يبين له أن هذا كفر فإن أصر بعد العلم فهو كافر، قال
الله تعالى قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ
وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لاَ تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ
بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“Mencela
agama, menghina Al-Qur'an dan Sunnah, serta menghina orang yang berpegang teguh
dengan keduanya, seperti memanjangkan jenggot, menutup muka bagi seorang
muslimah; hal ini termasuk kafir, jika ini dilakukan oleh orang dewasa. Dan
hendaklah dijelaskan kepadanya bahwa ini adalah kekufuran. Jika ia tetap
melakukannya setelah mengetahui hukumnya, maka ia adalah kafir. Allah ta'ala
berfirman : “Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan
Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?". Tidak usah kamu minta maaf, karena
kamu kafir sesudah beriman” (QS. At-Taubah : 65-66)…..” [sumber : sini].
Silakan
baca artikel Mengolok-Olok Syari'at
dan Bahaya Mengolok-Olok Syari’at.
[8] ‘Umar bin Al-Khaththaab tidak mau menyalati
jenazah seseorang yang Hudzaifah bin Al-Yamaan radliyallaahu ‘anhumaa tidak
menyalatinya. Hudzaifah adalah shaahibus-sirr yang mengetahui
individu-individu munafik karena diberi tahu oleh Rasulullah ﷺ.
[9] Nabi ﷺ pernah meninggalkan menyalatkan jenazah orang yang bunuh diri,
memiliki tanggungan hutang, dan melakukan perbuatan ghuluul sebagai
hukuman dan tarhiib (upaya menakuti) atas perbuatan mereka, dan juga peringatan
kepada umat agar menjauhi perbuatan yang mereka lakukan.
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ، قَالَ: أُتِيَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ
بِمَشَاقِصَ، فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ
Dari
Jaabir bin Samurah, ia berkata : “Pernah didatangkan kepada Nabi ﷺ jenazah seorang laki-laki yang bunuh diri dengan tombak, namun
beliau ﷺ tidak mau menyalatkannya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 978].
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ
لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا، فَقَالَ: هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ ؟ قَالُوا: لَا،
فَصَلَّى عَلَيْهِ، ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى، فَقَالَ: هَلْ عَلَيْهِ
مِنْ دَيْنٍ؟ قَالُوا: نَعَمْ، قَالَ: صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ، قَالَ أَبُو
قَتَادَةَ: عَلَيَّ دَيْنُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَصَلَّى عَلَيْهِ
Dari
Salamah bin Al-Akwa’ radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya pernah
didatangkan kepada Nabi ﷺ
jenazah untuk dishalatkan. Maka beliau ﷺ bertanya : "Apakah ia mempunyai hutang?".
Mereka berkata : "Tidak". Maka beliau ﷺ pun menyalatkannya. Kemudian didatangkan lagi jenazah lain.
Beliau ﷺ bertanya : "Apakah orang ini punya hutang?".
Mereka menjawab : "Ya". Beliau ﷺ bersabda: "Shalatilah saudaramu ini". Abu
Qataadah berkata : "Aku yang menanggung hutangnya wahai Rasulullah".
Maka beliau ﷺ menyalatkannya [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2295].
عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ، قال: مَاتَ رَجُلٌ
بِخَيْبَرَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "
صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ إِنَّهُ غَلَّ فِي سَبِيلِ اللَّهِ "،
فَفَتَّشْنَا مَتَاعَهُ فَوَجَدْنَا فِيهِ خَرَزًا مِنْ خَرَزِ يَهُودَ مَا
يُسَاوِي دِرْهَمَيْنِ
Dari
Zaid bin Khaalid, ia berkata : “Seseorang meninggal di Khaibar. Lalu Rasulullah
ﷺ bersabda : “Shalatilah shahabat kalian ini. Sesungguhnya ia
telah berbuat ghuluul di jalan Allah”. Maka kami pun memeriksa perbekalan
yang ia bawa dan kami dapati padanya batu mulia dari perhiasan orang-orang
Yahudi yang tidak mencapai dua dirham [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 1959;
dilemahkan oleh Al-Albaaniy dalam Dla’iif Sunan An-Nasaa’iy hal. 66-67,
namun dihasankan oleh Al-Arna’uth dalam takhriij Sunan Abi Daawud
4/344].
Comments
Alhamdulillāh.. sangat bermanfaat, Ustadz.
Jazākumullāhu khayran.
( By: Admin Almufid.net )
Sangat di sesalkan, akibat sikap tasarru' dalam mentahdzir.. .Maka timbulah sikap hajr yang membabi buta (dengan adanya spanduk itu)..
Oh iya ustadz, apakah mereka tidak tahu dhowabitnya dalam tahdzir dan hajr, hingga pada akhirnya jenazah saudara seiman pun di hukumi seperti jenazah orang kafir ?
Kalau mensholatkan orang berakidah mujassimah bagaimana hukumnya??
Posting Komentar