Hukum Meminta kepada Mayit agar Berdoa kepada Allah untuknya


Maksud dari bahasan adalah seperti orang yang berkata kepada mayit/penghuni kubur : “Wahai Fulaan, berdoalah kepada Allah untukku demikian dan demikian”. Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat. Ada yang menghukuminya sebagai syirik akbar seperti sebagian ulama Najd, ada pula yang menghukuminya sebagai dosa besar yang dapat menghantarkan kepada syirik akbar seperti Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah, dan para ulama lainnya. Dalam hal ini, pendapat kedua lebih kuat.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
الثَّانِيَةُ : أَنْ يُقَالَ لِلْمَيِّتِ أَوْ الْغَائِبِ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ وَالصَّالِحِينَ : اُدْعُ اللَّهَ لِي أَوْ اُدْعُ لَنَا رَبَّك أَوْ اسْأَلْ اللَّهَ لَنَا كَمَا تَقُولُ النَّصَارَى لِمَرْيَمَ وَغَيْرِهَا ، فَهَذَا أَيْضًا لَا يَسْتَرِيبُ عَالِمٌ أَنَّهُ غَيْرُ جَائِزٍ وَأَنَّهُ مِنْ الْبِدَعِ الَّتِي لَمْ يَفْعَلْهَا أَحَدٌ مِنْ سَلَفِ الْأُمَّةِ

"Yang kedua, mengatakan kepada mayit atau para nabi dan orang-orang shalih yang ghaib (tidak hadir) : 'Berdoalah kepada Allah untukku' atau 'berdoalah kepada Rabbmu untuk kami' atau 'mintalah kepada Allah untuk kami' sebagaimana yang dikatakan orang-orang Nashara kepada Maryam dan yang lainnya; maka yang semacam ini juga tidak diragukan lagi oleh orang yang 'alim akan ketidakbolehannya, dan itu termasuk bid'ah yang tidak pernah dilakukan seorang pun dari kalangan salaful-ummah" [Majmuu' Al-Fataawaa, 1/351].
Beliau rahimahullah memperjelas lagi di tempat lain:
وَكَذَلِكَ الْأَنْبِيَاءُ وَالصَّالِحُونَ ، وَإِنْ كَانُوا أَحْيَاءً فِي قُبُورِهِمْ ، وَإِنْ قُدِّرَ أَنَّهُمْ يَدْعُونَ لِلْأَحْيَاءِ ، وَإِنْ وَرَدَتْ بِهِ آثَارٌ ، فَلَيْسَ لِأَحَدِ أَنْ يَطْلُبَ مِنْهُمْ ذَلِكَ ، وَلَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ أَحَدٌ مِنْ السَّلَفِ ، لِأَنَّ ذَلِكَ ذَرِيعَةٌ إلَى الشِّرْكِ بِهِمْ وَعِبَادَتِهِمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ تَعَالَى ؛ بِخِلَافِ الطَّلَبِ مِنْ أَحَدِهِمْ فِي حَيَاتِهِ ، فَإِنَّهُ لَا يُفْضِي إلَى الشِّرْكِ
"Begitu juga para nabi dan orang-orang shalih. Meskipun mereka hidup di kubur-kubur mereka, meskipun mereka mampu mendoakan untuk orang-orang yang masih hidup, dan meskipun terdapat atsar-atsar tentangnya; tetap tidak diperbolehkan bagi seorang pun untuk memohon kepada mereka akan hal tersebut. Tidak ada seorangpun dari salaf yang melakukannya, karena hal itu merupakan sarana yang mengantarkan kepada kesyirikan dan peribadahan kepada mereka selain dari Allah ta'ala. Berbeda halnya dengan permohonan kepada mereka di waktu hidupnya, maka itu tidak terhitung sebagai kesyirikan...." [Majmuu' Al-Fataawaa, 1/300].
بخلاف ما يطلب من أحدهم فى حياته من الدعاء والشفاعة فإنه لا يفضى الى ذلك فإن أحدا من الأنبياء والصالحين لم يعبد فى حياته بحضرته فإنه ينهى من يفعل ذلك بخلاف دعائهم بعد موتهم فإن ذلك ذريعة الى الشرك بهم وكذلك دعاؤهم فى مغيبهم هو ذريعة الى الشرك
 فمن رأى نبيا أو ملكا من الملائكة وقال له ادع لى لم يفض ذلك الى الشرك به بخلاف من دعاه فى مغيبه فإن ذلك يفضى الى الشرك به كما قد وقع
"Berbeda halnya dengan apa yang diminta salah seorang dari mereka ketika hidupnya berupa doa dan syafa’at, maka itu tidak sampai membawa perbuatan tersebut kepada kesyirikan. Sesungguhnya seorang dari kalangan nabi dan orang-orang shalih tidak diibadahi di masa hidupnya pada waktu kehadirannya, karena mereka (pasti) melarang orang yang melakukan perbuatan tersebut. Berbeda halnya dengan doa mereka setelah kematian mereka (para Nabi dan orang-orang shalih), maka itu merupakan sebab yang mengantarkan kepada kesyirikan. Begitu juga dengan doa mereka pada saat ketidakhadiran mereka (para Nabi dan orang-orang shalih), maka itu juga merupakan sebab yang mengantarkan kepada kesyirikan.
Barangsiapa yang melihat seorang nabi atau seorang malaikat di antara para malaikat, dan ia berkata kepadanya : ‘Berdoalah untukku’, maka itu tidak sampai mengantarkan kepada kesyirikan. Berbeda halnya dengan orang yang berdoa kepadanya saat ia tidak hadir, maka perbuatan tersebut dapat mengantarkan kepada kesyirikan sebagaimana kadang terjadi” [idem, 1/179].
Dzarii'ah ilasy-syirk (sebab yang mengantarkan kepada kesyirikan akbar) bukan merupakan kesyirikan (akbar) itu sendiri, seperti halnya perkataan Ibnu Taimiyyah yang lain, diantaranya:
فإن تحري الصلاة فيها ذريعة إلى اتخاذها مساجد والتشبه بأهل الكتاب مما نهينا عن التشبه بهم فيه وذلك ذريعة إلى الشرك بالله
"Hal itu dikarenakan seseorang yang mencari-cari tempat untuk shalat padanya merupakan sebab yang dapat mengantarkan kepada perbuatan menjadikan tempat itu sebagai masjid dan tasyabbuh kepada ahli kitab yang kita dilarang untuk tasyabbuh kepada mereka padanya. Dan itu juga merupakan sebab yang mengantarkan kepada kesyirikan kepada Allah (dzarii'atun ilasy-syirk billah)..." [Iqtidlaa Ash-Shiraathil-Mustaqiim, hal. 757].
Begitu juga dengan perkataan para ulama, diantaranya ulama Lajnah Daaimah dalam soal jawab berikut:
س3: هل تصوير ذوات الأرواح كفر أكبر أو كفر أصغر أو معصية؟
ج3: ليس ذلك كفرًا أكبر ولكنه من كبائر المعاصي؛ لما ورد فيه من الوعيد الشديد ولعن المصورين، ومع ذلك فهو ذريعة إلى الشرك الأكبر. وبالله التوفيق. وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم.
Pertanyaan : "Apakah menggambar makhluk bernyawa termasuk kufur akbar, kufur ashghar, atau maksiat ?"
Jawab : Bukan kufur akbar, akan tetapi perbuatan itu termasuk kemaksiatan yang besar dikarenakan adanya ancaman yang sangat keras terhadapnya dan laknat bagi para penggambar. Meskipun demikian, hal itu merupakan sebab yang dapat mengantarkan kepada syirik akbar (dzarii'atun ilasy-syirkil-akbar). Wabillahit-taufiq, wa shallallaahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam" [https://goo.gl/k5Ojrh].
Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin Naashir Al-Barraak hafidhahullah menjelaskan sebab mengapa perbuatan itu tidak dihukumi syirik akbar. Beliau hafidhahullah pernah ditanya:
ذهب شيخ الاسلام ابن تيمية في مواضع من كتبه الى ان ذلك وسيلة من وسائل الشرك وذهب أئمة الدعوة الى ان هذا هو الشرك عينه وانه من دعاء الاموات
"Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah berpendapat dalam beberapa tempat pada kitabnya bahwa perbuatan itu (yaitu : meminta kepada mayit agar berdoa kepada Allah untuknya – Abul-Jauzaa’) merupakan salah satu perantara dari perantara-perantara menuju kesyirikan; sedangkan para imam dakwah (Najd) berpendapat perbuatan tersebut adalah kesyirikan itu sendiri dan termasuk berdoa kepada mayit"
Beliau hafidhahullah menjawab:
وفي هذا نظر لان هذا الداعى يظن ان هذ الميت يسمع دعاءه وجاء ان النبى صلى الله عليه وسلم يسمع كما قال أهل العلم وهذا الفاعل ضال مبتدع وفعله وسيلة الى الشرك
"Perkataan itu (dari imam dakwah Najd) perlu diteliti kembali karena orang yang berdoa ini menyangka si mayit dapat mendengar doanya dan telah ada riwayat bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dapat mendengar sebagaimana dikatakan ulama. Orang tersebut sesat lagi mubtadi', dan perbuatannya merupakan SARANA MENUJU KESYIRIKAN" [selesai - dikutip dari tanya jawab dari murid beliau yang bernama Sulail Al-Akaabir dalam Multaqaa Ahlalhdeeth].
Di lain tempat, Asy-Syaikh Al-Barraak hafidhahullah menjelaskan:
من أنواع الشرك الأكبر شرك الدعاء، وهو دعاء الأموات والغائبين في قضاء الحوائج والاستغاثة بهم في الشدائد، وطلب النصر والرزق منهم، سواء طلب ذلك من الميت من قرب أو بعد، إذا كان الداعي والطالب يعتقد أنه يفعل ذلك بقدرته، وحينئذ يكون قد جمع بين الشرك في الربوبية والشرك في العبادة، وأما إذا كان الداعي للميت يطلب منه أن يدعو الله له، وهو قريب من قبره لاعتقاده أنه يسمع، فذلك بدعة ووسيلة إلى الشرك، كما ذكر ذلك شيخ الإسلام ابن تيمية في مواضع من كلامه
“Termasuk diantara jenis syirik akbar adalah syirik dalam berdoa, yaitu doa kepada orang yang telah mati atau orang yang tidak hadir untuk memenuhi kebutuhan, beristighatsah kepada mereka ketika mengalami berbagai macam kesulitan, dan memohon pertolongan dan rizki dari mereka. Sama saja, apakah permohonan kepada mayit tersebut dari dekat ataupun jauh. Apabila orang yang berdoa dan orang yang memohon tersebut berkeyakinan bahwa ia (mayit) melakukannya dengan kemampuannya, maka pada waktu itu ia mengumpulkan syirik dalam rubuubiyyah dan syirik dalam ibadah (uluhiyyah) sekaligus. Namun apabila orang yang berdoa kepada mayit itu meminta kepadanya (mayit) agar berdoa kepada Allah untuknya dan orang tersebut berada dekat dengan kuburnya karena keyakinannya bahwa si mayit mendengar, maka itu merupakan bid’ah dan perantara menuju kesyirikan sebagaimana disebutkan Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah di beberapa tempat dalam perkataannya” [referensi : https://goo.gl/Zy5mng].
Asy-Syaikh Muhammad Basyiir As-Sahsawaaniy Al-Hindiy rahimahullah dalam bukunya yang terkenal Shiyaanatul-Insaan 'alaa Waswasatisy-Syaikh Dahlaan (hal. 246 ketika menjelaskan permasalahan ini berkata:
وإن كان ذلك المدعو ميتاً وينادى عند قبره، فهذا ليس بشرك ولكنه بدعة، فعلى كل حال ينبغي للمؤمن أن يجتنب دعاء غير الله، وذلك هو القول الذي لا إفراد فيه ولا تفريط
"Apabila orang yang diminta doa itu telah mati, dan ia (yang hidup) menyeru di sisi kuburnya; maka ini bukan termasuk kesyirikan, akan tetapi bid'ah. Maka bagaimanapun juga, sudah seharusnya bagi orang yang beriman untuk menjauhi berdoa kepada selain Allah. Dan inilah perkataan pertengahan tanpa berlebih-lebihan padanya (ifrath) ataupun meremehkan (tafrith)" [selesai].
Asy-Syaikh 'Abdul-'Aziiz bin Baaz rahimahullah ketika mengomentari kisah Maalik Ad-Daar yang dibawakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul-Baariy (2/496) mengatakan sebagai berikut:
بل عدل عمر عنه لما وقع في الجدب إلى الاستسقاء بالعباس ولم ينكر ذلك عليه أحد من الصحابة فعلم أن ذلك هو الحق وأن ما فعله هذا الرجل منكر ووسيلة إلى الشرك بل قد جعله بعض أهل العلم من أنواع الشرك
"Bahkan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu telah mengkoreksi apa yang dilakukan oleh laki-laki itu, yaitu ketika musim kemarau tiba, beliau meminta hujan melalui perantaraan (doa) Al-‘Abbas. Apa yang beliau perbuat itu tidak diingkari oleh satupun d antara shahabat; yang dengan itu diketahui bahwa apa yang diperbuat ‘Umar adalah benar. Apa yang dilakukan oleh laki-laki tersebut adalah munkar dan merupakan PERANTARA MENUJU KESYIRIKAN. Bahkan sebagian ulama menganggap perbuatan tersebut merupakan bagian dari kesyirikan" [selesai].
Adapun kisah Maalik Ad-Daar adalah sebagai berikut:
عن مالك الدار قال : وكان خازن عمر على الطعام قال : أصاب الناس قحط في زمن عمر ، فجاء رجل إلى قبر النبي صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله استسق لأمتك فإنهم قد هلكوا ، فأُتي الرجل في المنام فقيل له : ائت عمر فأقرئه السلام ، وأخبره أنكم مسقيون وقل له : عليك الكَيس ! عليك الكَيس ! فأتى عمر فأخبره فبكى عمر ثم قال : يا رب لا آلو إلا ما عجزت عنه.
Dari Maalik Ad-Daar, dan ia pernah menjabat bendahara gudang makanan Khalifah ‘Umar , ia berkata : “Orang-orang pernah ditimpa kemarau pada masa pemerintahan ‘Umar. Lalu datang seorang laki-laki ke kubur Nabi dan berkata : “Wahai Rasulullah, MINTAKANLAH HUJAN (KEPADA ALLAH) UNTUK UMATMU, karena mereka telah binasa”. Kemudian orang tersebut mimpi dalam tidurnya dan dikatakan kepadanya : “Datanglah ke ‘Umar dan ucapkanlah salam kepadanya. Khabarkanlah kepadanya bahwa kalian adalah orang-orang yang sedang membutuhkan air (hujan)…” [silakan baca artikel : https://goo.gl/fCZ6d3].
Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah juga memberikan perincian:
سؤال حي لميت بحضرة قبره بأن يدعو الله له، مثل قول عباد القبور مخاطبين لها: يا فلان ادعو الله لي بكذا وكذا أو أسألك أن تدعو الله لي بكذا وكذا، فهذا لا يختلف المسلمون بأنه واسطة بدعية، ووسيلة مفضية إلى الشرك بالله ودعاء الأموات من دون الله وصرف القلوب عن الله، لكن هذا النوع يكون شركا أكبر في حال ما إذا أراد الداعي من صاحب القبر الشفاعة والوساطة الشركية على حد عمل المشركين: مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
“(Kedua) Permintaan orang yang hidup kepada mayit dengan kehadirannya di sisi kuburnya, agar ia (mayit) berdoa kepada Allah untuknya. Seperti misal perkataan para penyembah kubur kepada si mayit : 'Wahai Fulaan, berdoalah kepada Allah untukku demikian dan demikian'. Atau : 'Aku meminta kepadamu agar engkau berdoa kepada Allah untukku demikian dan demikian' ; maka kaum muslimin tidak berselisih pendapat bahwa hal tersebut merupakan perantara bid'ah, perantara yang dapat membawa kesyirikan kepada Allah, berdoa kepada orang mati selain dari Allah, serta memalingkan hati dari Allah.
Akan tetapi jenis perbuatan ini dapat menjadi syirik akbar apabila yang diinginkan orang yang berdoa tersebut dari penghuni kubur berupa syafa'at dan perantara syirik seperti perbuatan orang-orang musyrik dalam firman Allah : 'kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya' (QS. Az-Zumar : 3)..." [Tashhiihud-Du’aa, hal. 250-251].
Meski di sini dikatakan sarana yang mengantarkan kepada kesyirikan, perbuatan tersebut bukanlah dosa yang ringan dan patut diremehkan. Tetap itu merupakan dosa besar yang kita semua harus menghindarinya dan memperingatkan orang untuk menjauhinya.
Demikianlah perincian para ulama kita dalam permasalahan ini (meski ada beberapa ulama lain yang berpendapat lain dalam masalah ini, sebagaimana disebutkan di awal). Apapun itu, perbuatan syirik atau yang mengantarkan kepada kesyirikan harus diperangi/diberantas dan menjadi prioritas dalam dakwah. Allah ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ
Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut” [QS. An Nahl : 36].
Sekaligus, tulisan ini sebagai bantahan ringkas bagi beberapa tulisan yang beredar tentang klaim ijmaa’ penghukuman syirik akbar dalam permasalahan ini, dan penafikan adanya khilaf dalam masalah perincian hukum syirik akbar.
Wallaahu a’lam, semoga ada manfaatnya.

Abul-jauzaa’ – malam yang hening - 17032017 

Comments