Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam pernah bersabda:
مَنْ كُنْتُ
مَوْلَاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُ
“Barangsiapa yang menjadikan
aku sebagai maula-nya, maka ‘Aliy adalah maula-nya juga” [Diriwayatkan
oleh At-Tirmidziy no. 3713, dan ia berkata : “Hadits hasan shahih ghariib”].
Tentang makna maulaa,
para ulama telah menjelaskan.
Ma’mar rahimahullah berkata:
وَأَوْلِيَاء،
وَرَثَةٌ عَاقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ هُوَ مَوْلَى الْيَمِينِ، وَهْوَ الْحَلِيفُ
وَالْمَوْلَى أَيْضًا، ابْنُ الْعَمِّ، وَالْمَوْلَى الْمُنْعِمُ الْمُعْتِقُ،
وَالْمَوْلَى الْمُعْتَقُ، وَالْمَوْلَى الْمَلِيكُ، وَالْمَوْلَى مَوْلًى فِي
الدِّينِ.
“Dan auliyaa’ maknanya
adalah ahli waris, orang yang mengadakan perjanjian dengan kalian. Ia adalah maula
al-yamiin. Ia adalah sekutu. Al-maulaa juga bermakna anak dari
paman. Al-maulaa adalah pemberi nikmat, orang yang membebaskan. Al-Maulaa
juga bermakna orang yang dibebaskan dari perbudakan. Al-maulaa juga
bermakna al-maliik (yang memiliki). Dan al-maulaa juga berarti maulaa
dalam agama” [Shahiih Al-Bukhaariy, di atas hadits no. 4580].
Ibnul-Atsiir rahimahullah berkata
saat menjelaskan makna kata maulaa :
وهو اسْمٌ يقَع على
جَماعةٍ كَثيِرَة، فهو الرَّبُّ، والمَالكُ، والسَّيِّد والمُنْعِم، والمُعْتِقُ، والنَّاصر،
والمُحِبّ، والتَّابِع، والجارُ، وابنُ العَمّ، والحَلِيفُ، والعَقيد، والصِّهْر، والعبْد،
والمُعْتَقُ، والمُنْعَم عَلَيه وأكْثرها قد جاءت في الحديث.
“Ia adalah nama bagi sesuatu
yang banyak, yaitu Rabb, raja, tuan, pemberi nikmat, orang yang membebaskan,
penolong, orang yang mencintai, pengikut, tetangga, anak paman, sekutu, orang
yang mengadakan perjanjian, kerabat, hamba, orang yang dibebaskan, orang yang
diberi nikmat. Dan kebanyakannya terdapat dalam hadits” [An-Nihaayah fii
Ghariibil-Hadiits, materi kata ولا].
Ibnul-A’raabiy rahimahullah berkata:
المولى: المالك
وهو الله، والمولى: ابن العم، والمولى: المعتق، والمولى: المعتق، والمولى: الجار،
والمولى: الشريك، والمولى: الحليف، والمولى: المحب، والمولى: اللّويّ، والمولى:
الولي، ومنه قول النبي صلّى الله عليه وسلّم: " من كنت مولاه فعلي مولاه
" ، معناه: من تولاني فليتولّ علياً.
“Al-Maulaa
adalah Al-Maalik (raja), yaitu Allah. Al-maulaa bermakna anak paman,
orang yang membebaskan, orang yang dibebaskan, tetangga, rekan, sekutu, orang
yang mencintai, orang yang berpengaruh, dan wali. Dan darinya adalah sabda Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Barangsiapa yang menjadikan aku
sebagai maula-nya, maka ‘Aliy adalah maula-nya juga’.
Maknanya : Barangsiapa yang mencintaiku, hendaklah ia mencintai ‘Aliy…” [Mukhtashar
Taariikh Dimasyaq, 5/394].
Orang-orang
Syi’ah mengatakan makna maulaa dalam hadits di atas maknanya adalah kepemimpinan,
sehingga dipahami dari sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut
merupakan penunjukkan kepemimpinan kaum muslimin sepeninggal beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam kepada ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu.
Ath-Thiibiy rahimahullah
menyanggahnya
dengan berkata:
لا يستقيم أن تحمل
الولاية على الإمامة التي هي التصرف في أمور المؤمنين لأن المتصرف المستقل في حياته
هو هو لا غيره فيجب أن يحمل على المحبة وولاء الإسلام ونحوهما
“Tidak benar membawa makna kata
al-walaayah kepada al-imaamah yang mengatur urusan kaum mukminin,
karena satu-satunya orang yang mengatur urusan kaum mukminin semasa hidup
beliau adalah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri. Bukan
selainnya. Maka, wajib untuk membawa kata tersebut pada makna mahabbah (kecintaan),
loyalitas Islam, dan semisalnya” [Tuhfatul-Ahwadziy, 10/148].
Asy-Syaafi’iy
rahimahullah berkata:
يعني بذلك ولاء
الإسلام كقوله تعالى ذلك بأن الله مولى الذين آمنوا وأن الكافرين لا مولى لهم
“Maksudnya
yaitu loyalitas Islam sebagaimana firman-Nya ta’ala : 'Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah
pelindung orang-orang yang beriman dan karena sesungguhnya orang-orang kafir
itu tiada mempunyai pelindung’
(QS. Muhammad : 11)” [idem].
Yang
menguatkan hal tersebut diantara adalah riwayat ‘Aliy ketika ia mengumpulkan
orang-orang dan kemudian menyebutkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam:
أَلَسْتُمْ تَعْلَمُونَ
أَنِّي أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ؟ " قَالُوا: بَلَى، قَالَ:
" أَلَسْتُمْ تَعْلَمُونَ أَنِّي أَوْلَى بِكُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ نَفْسِهِ؟
" قَالُوا: بَلَى. قَالَ: فَأَخَذَ بِيَدِ عَلِيٍّ، فَقَالَ: " مَنْ كُنْتُ
مَوْلَاهُ، فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُ، اللَّهُمَّ وَالِ مَنْ وَالَاهُ، وَعَادِ مَنْ عَادَاهُ
“Tidakkah kalian mengetahui bahwasannya aku lebih berhak bagi orang-orang
mukmin daripada diri mereka sendiri ?”. Mereka menjawab : “Benar”. Beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : Tidakkah kalian mengetahui bahwasannya aku
lebih berhak bagi setiap orang mukmin daripada dirinya sendiri ?”. Mereka
menjawab : “Benar”. Lalu beliau memegang
tangan ‘Aliy dan bersabda : “Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maula-nya,
maka orang ini (yaitu ‘Aliy) adalah maula-nya juga. Ya Allah, cintailah/tolonglah orang yang mencintai/menolongnya dan musuhilah orang yang memusuhinya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/281].
Dalam jalan lain dibawakan
dengan lafadh:
أَلَيْسَ
اللَّهُ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ ؟ قَالُوا: بَلَى، قَالَ: اللَّهُمَّ مَنْ
كُنْتُ مَوْلَاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُ، اللَّهُمَّ وَالِ مَنْ وَالَاهُ، وَعَادِ
مَنْ عَادَاهُ
“Bukanlah Allah lebih berhak
bagi orang-orang mukmin ?”. Mereka menjawab : “Benar”. Beliau bersabda : “Ya
Allah, barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maula-nya, maka ‘Aliy
adalah maula-nya juga. Ya Allah cintailah/tolonglah orang yang mencintai/menolongnya dan musuhilah orang yang memusuhinya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/118].
Dalam
jalan lain dibawakan dengan lafadh:
إن الله ورسوله ولي
المؤمنين ومن كنت وليه فهذا وليه اللهم وال من والاه وعاد من عاداه وأنصر من نصره
“Allah
dan Rasul-Nya adalah waliy bagi orang-orang mukmin. Barangsiapa yang
menjadikan aku sebagai waliy-nya, maka orang ini (yaitu ‘Aliy) adalah waliy-nya
juga. Ya Allah, cintailah/tolonglah orang yang mencintai/menolongnya dan
musuhilah orang yang memusuhinya” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dalam Tahdziib
Khashaaish Al-Imaam ‘Aliy no. 93].
Ini
merupakan penjelas yang sangat jelas bahwa makna maulaa yang dimaksudkan
dalam hadits adalah kecintaan dan loyalitas, bukan kepemimpinan/imaamah.
Sesuai dengan konteksnya dan keseluruhan kalimatnya. Hal itu dikarenakan al-maulaa
itu bermakna al-waliy (الْوَلِيُّ) yang merupakan lawan dari kata al-‘aduw (الْعَدُوُّ) yang berarti musuh, sebagaimana al-walaayah (الْوَلَايَةُ)/pembelaan merupakan lawan kata al-‘adaawah (الْعَدَاوَةُ)/permusuhan. Sama seperti hadits Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa
berikut:
أَنّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " أَيُّكُمْ يَتَوَلانِي فِي
الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ؟ " فَقَالَ لِكُلِّ رَجُلٍ مِنْهُمْ: " أَيَتَوَلانِي
فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ؟ " فَقَالَ: لا، حَتَّى مَرَّ عَلَى أَكْثَرِهِمْ،
فَقَالَ عَلِيٌّ: أَنَا أَتَوَلاكَ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، فَقَالَ: " أَنْتَ
وَلِيِّي فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ "
Bahwasannya
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Siapakah
diantara kalian yang mau menolongku di dunia dan akhirat ?”. Semua
laki-laki di antara mereka berkata : “Menolongmu di dunia dan akhirat ?”.
Mereka menjawab ‘tidak’, hingga beliau melewati sebagian besar di antara
mereka., lalu ‘Aliy berkata : “Aku akan menolongmu di dunia dan akhirat”.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Engkau adalah waliy-ku
di dunia dan akhirat” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim, 3/133; dan ia berkata :
“Ini adalah hadits shahih”].
Maksud
waliy di sini adalah dalam hal loyalitas, yaitu sebagai penolong dan
pembela[1].
Adapun
maksud perkataan ‘lebih berhak’, maka ini juga terkait dengan hal
tersebut di atas, yaitu lebih berhak dalam hal kecintaan dan loyalitas, seperti
firman Allah ta’ala:
إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِإِبْرَاهِيمَ لَلَّذِينَ
اتَّبَعُوهُ وَهَذَا النَّبِيُّ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاللَّهُ
وَلِيُّ الْمُؤْمِنِينَ
“Sesungguhnya orang yang berhak kepada Ibraahiim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini
(Muhammad), serta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah ‘Waliy’ bagi orang-orang yang beriman”
[QS. Aali ‘Imraan : 68].
Yaitu
lebih berhak dalam pertolongan dan pembelaan[2],
sedangkan maksud ‘Allah adalah Waliy bagi orang-orang beriman; maksudnya
Penolong/Pembela bagi orang-orang yang beriman[3]
[lihat : Jaami’ul-Bayaan, 6/497].
Jika
Pembaca telah memahami makna kalimat yang diucapkan oleh Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam tersebut, maka akan semakin nampak jelas dengan sababul-wuruud
hadits tersebut, yaitu:
عَنْ برَيْدَةَ،
قَالَ: غَزَوْتُ مَعَ عَلِيٍّ الْيَمَنَ، فَرَأَيْتُ مِنْهُ جَفْوَةً، فَلَمَّا
قَدِمْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرْتُ
عَلِيًّا، فَتَنَقَّصْتُهُ، فَرَأَيْتُ وَجْهَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَتَغَيَّرُ، فَقَالَ: " يَا برَيْدَةُ، أَلَسْتُ أَوْلَى
بالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ؟ "، قُلْتُ: بلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ،
قَالَ: " مَنْ كُنْتُ مَوْلَاهُ، فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُ "
Dari Buraidah, ia berkata : Aku
pernah berperang bersama 'Aliy di Yaman. Aku melihat darinya sikap kasar lagi
tidak ramah. Maka ketika aku tiba di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam, aku menyebut (kejelekan) ‘Aliy dan mencelanya. Lalu aku melihat di
wajah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berubah (karena tidak
suka) kemudian bersabda : “Wahai Buraidah, bukankah aku lebih utama bagi
orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri ?”. Aku menjawab : “Benar
wahai Rasulullah!”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
"Barangsiapa
yang menjadikan aku sebagai maula-nya, maka ‘Aliy adalah maula-nya
juga” [Diriwayatkan
oleh Ahmad 5/347;
shahihkan
oleh Al-Arna’uth dkk.].
Dalam
riwayat lain, Buraidah berkata:
بَعَثَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلِيًّا إِلَى خَالِدٍ لِيَقْبِضَ
الْخُمُسَ، وَكُنْتُ أُبْغِضُ عَلِيًّا وَقَدِ اغْتَسَلَ، فَقُلْتُ لِخَالِدٍ:
أَلَا تَرَى إِلَى هَذَا؟ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ: " يَا بُرَيْدَةُ، أَتُبْغِضُ
عَلِيًّا ؟ " فَقُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: " لَا تُبْغِضْهُ، فَإِنَّ لَهُ
فِي الْخُمُسِ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ "
“Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus ‘Aliy untuk menemui Khaalid (bin
Al-Waliid) untuk mengambil khumus (bagian seperlima harta rampasan
perang). Aku membenci ‘Aliy yang waktu itu ia selesai mandi (sehabis mencampuri
budak yang merupakan bagian dari khumus). Aku berkata kepada Khaalid :
‘Tidakkah engkau melihat yang ia lakukan ini?’. Ketika kami kembali dan
berjumpa dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, aku menyebutkan hal
itu kepada beliau, lalu beliau bersabda : ‘Wahai Buraidah, apakah engkau
membenci ‘Aliy ?’. Aku menjawab : ‘Ya’. Beliau bersabda : ‘Janganlah
engkau membencinya, karena ia mempunyai bagian dari khumus lebih banyak dari
itu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4350].
Riwayat
ini menjelaskan latar belakang Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan
perkataan tersebut, yaitu karena adanya ketidaksukaan sebagian shahabat terhadap
‘Aliy. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengingatkan barangsiapa
yang menjadikan beliau sebagai maulaa – dan beliau memang maula yang
wajib bagi semua orang yang beriman – , maka ia mesti menjadikan ‘Aliy sebagai maulaa-nya
pula. Yaitu menjadikannya sebagai penolong, orang yang dicintai, dan teman
dekat untuk diloyalitasi, sebagaimana keumuman ayat:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا
وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا
وَنَصَرُوا أُولَئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad dengan harta dan jiwanya pada
jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan
(kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi
(saling memberikan pertolongan)” [QS. Al-Anfaal : 72].
Jadi,
alur kronologis sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits
yang dibahas sangat jelas, walhamdulillah.....
Hadits
tersebut (yaitu : ‘Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maula-nya,
maka ‘Aliy adalah maula-nya juga’) bukan menjadi dalil penunjukkan ‘Aliy
sebagai pemimpin/imam yang menggantikan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Hingga hari-hari menjelang wafatnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Aliy
bin Abi Thaalib sendiri tidak mengetahui siapakah yang akan menggantikan dalam
masalah kepemimpinan jika beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat.
عَنْ عَبْد اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ
: أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ خَرَجَ مِنْ عِنْدِ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي وَجَعِهِ الَّذِي تُوُفِّيَ فِيهِ فَقَالَ
النَّاسُ يَا أَبَا حَسَنٍ كَيْفَ أَصْبَحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ أَصْبَحَ بِحَمْدِ اللَّهِ بَارِئًا فَأَخَذَ بِيَدِهِ عَبَّاسُ
بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ لَهُ أَنْتَ وَاللَّهِ بَعْدَ ثَلَاثٍ عَبْدُ الْعَصَا
وَإِنِّي وَاللَّهِ لَأَرَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوْفَ
يُتَوَفَّى مِنْ وَجَعِهِ هَذَا إِنِّي لَأَعْرِفُ وُجُوهَ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ
عِنْدَ الْمَوْتِ اذْهَبْ بِنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَلْنَسْأَلْهُ فِيمَنْ هَذَا الْأَمْرُ إِنْ كَانَ فِينَا عَلِمْنَا ذَلِكَ وَإِنْ
كَانَ فِي غَيْرِنَا عَلِمْنَاهُ فَأَوْصَى بِنَا فَقَالَ عَلِيٌّ إِنَّا وَاللَّهِ
لَئِنْ سَأَلْنَاهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَنَعَنَاهَا
لَا يُعْطِينَاهَا النَّاسُ بَعْدَهُ وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أَسْأَلُهَا رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari
‘Abdullah bin ‘Abbaas : Bahwasannya ‘Aliy bin Abi Thaalib pernah keluar dari
rumah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam saat beliau sakit yang
menyebabkan kematian beliau. Orang-orang bertanya : "Wahai Abu Hasan,
bagaimana keadaan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam?" Ia
menjawab: "Alhamdulillah, beliau sudah sembuh". Ibnu Abbas
berkata : “’Abbaas bin Abdil-Muththalib memegang tangannya dan berkata : ‘Demi
Allah, tidakkah kamu lihat bahwa beliau akan wafat tiga hari lagi, dan engkau
akan diperintahkan dengannya ?. Sesungguhnya aku mengetahui wajah bani
‘Abdul-Muththallib ketika menghadapi kematiannya. Mari kita menemui Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam, lalu kita tanyakan kepada siapa perkara (kepemimpinan)
ini akan diserahkan? Jika kepada (orang) kita, maka kita mengetahuinya dan jika
pada selain kita maka kita akan berbicara dengannya, sehingga ia bisa
mewasiatkannya pada kita". Lalu ‘Aliy radliyallaahu 'anhu berkata :
"Demi Allah, bila kita memintanya kepada Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam lalu beliau menolak, maka selamanya orang-orang tidak
akan memberikannya kepada kita. Karena itu, demi Allah, aku tidak akan pernah
menanyakan kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam"
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4447].
Seandainya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memang telah menunjuk ‘Aliy
sebagai pemimpin kaum muslimin sepeninggal beliau dan ‘Aliy mengetahui perihal
tersebut, tentu ia akan menjelaskannya kepada ‘Abbaas bin ‘Abdil-Muthallib yang
notabene sangat berharap kepemimpinan itu ada di tangan Bani Haasyim –
sedangkan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu adalah tokoh Bani
Haasyim - . Dan seandainya kepemimpinan itu telah Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam limpahkan kepada ‘Aliy, ‘Aliy tidak perlu khawatir beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam akan menolaknya, karena kepemimpinan dalam Islam adalah
masalah yang besar. Hal itu dikarenakan ‘Aliy mengetahui bahwa Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam tidak pernah menunjuk siapapun untuk menggantikan beliau
dalam masalah tersebut sebagaimana yang ia katakan sendiri saat perang Jamal:
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم لَمْ يَعْهَدْ إِلَيْنَا عَهْدًا نَأْخُذُ بِهِ فِي
إِمَارَةِ، وَلَكِنَّهُ شَيْءٌ رَأَيْنَاهُ مِنْ قِبَلِ أَنْفُسِنَا، ثُمَّ اسْتُخْلِفَ
أَبُو بَكْرٍ، رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَى أَبِي بَكْرٍ، فَأَقَامَ وَاسْتَقَامَ، ثُمَّ
اسْتُخْلِفَ عُمَرُ رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَى عُمَرَ، فَأَقَامَ وَاسْتَقَامَ، حَتَّى
ضَرَبَ الدِّينُ بِجِرَانِهِ
“Sesungguhnya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
berwasiat/mengamanatkan kepada kami satu wasiatpun yang mesti kami ambil dalam
masalah kepemimpinan. Akan tetapi hal itu adalah sesuatu yang kita pandang menurut pendapat kita, kemudian
diangkatlah Abu Bakr menjadi Khalifah, semoga Allah mencurahkan rahmatnya
kepada Abu Bakr. Ia menjalankan (tampuk pimpinan) dan istiqamah di dalam
menjalankannya, kemudian diangkatlah ‘Umar menjadi Khalifah semoga Allah
mencurahkan rahmatnya kepada ‘Umar maka dia menjalankan (tampuk pimpinan) dan
istiqamah di dalam menjalankannya sampai agama ini berdiri kokoh karenanya” [Diriwayatkan
oleh Ahmad, 1/114; shahih dengan keseluruhan jalannya[4]].
Keturunannya
dari Ahlul-Bait juga tidak memahami demikian. Hasan bin Al-Hasan bin Al-Hasan
bin ‘Aliy bin Abi Thaalib rahimahumullah pernah berdebat dengan
Raafidlah:
فَقَالَ لَهُ الرَّافِضِيُّ:
أَلَمْ يَقُلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَلِيٍّ: "
مَنْ كُنْتُ مَوْلاهُ، فَعَلِيٌّ مَوْلاهُ "، قَالَ: " أَمَا وَاللَّهِ،
أَنْ لَوْ يَعْنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَلِكَ الإِمْرَةَ،
وَالسُّلْطَانَ، وَالْقِيَامَ عَلَى النَّاسِ، لأَفْصَحَ لَهُمْ بِذَلِكَ، كَمَا أَفْصَحَ
لَهُمْ بِالصَّلاةِ، وَالزَّكَاةِ، وَصِيَامِ رَمَضَانَ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَلَقَالَ
لَهُمْ: أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ هَذَا وَلِيُّ أَمْرِكُمْ مِنْ بَعْدِي، فَاسْمَعُوا
لَهُ وَأَطِيعُوا،
Seorang
Raafidlah berkata kepadanya : “Bukankah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam pernah berkata kepada ‘Aliy :
‘Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maula-nya, maka ‘Aliy adalah
maula-nya juga’ (untuk menunjuknya sebagai khalifah)?”. Ia (Hasan
bin Al-Hasan) berkata : “Demi Allah, seandainya yang dimaksudkan Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam tentang hal itu adalah imaarah (kekuasaan), sulthaan,
dan melaksanakannya kepada manusia; niscaya beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam akan menjelaskannya kepada mereka sebagaimana beliau menjelaskan
kepada mereka tentang shalat, zakat, puasa di bulan Ramadlaan, haji ke
Baitullah. Dan niscaya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam akan
bersabda kepada mereka : “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya orang ini (‘Aliy
bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu) adalah waliyyul-amr (pemimpin)
kalian sepeninggalku kelak. Maka, dengar dan taatilah ia...” [Diriwayatkan oleh
Ibnu Sa’d 5/155 dan dan Muhammad bin ‘Aashim Ats-Tsaqafiy dalam Juuz-nya
no. 42; sanadnya hasan].
Begitu
juga dengan yang dipahami ‘Umar dan Al-Husain bin ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy
bin Abi Thaalib rahimahumullah[5].
Wallaahu
a’lam, semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’
– perumahan ciomas permai – 05042015 – 10:50].
[1] Juga dalam hadits lain seperti:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَا مِنْ مُؤْمِنٍ
إِلَّا وَأَنَا أَوْلَى بِهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، اقْرَءُوا إِنْ
شِئْتُمْ النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ، فَأَيُّمَا
مُؤْمِنٍ مَاتَ وَتَرَكَ مَالًا فَلْيَرِثْهُ عَصَبَتُهُ مَنْ كَانُوا، وَمَنْ
تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَلْيَأْتِنِي فَأَنَا مَوْلَاهُ "
Dari Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda : “Tidaklah ada seorang mukmin pun kecuali aku lebih utama atas
dirinya baik di dunia maupun di akhirat. Bacalah jika engkau mau : ‘Nabi itu
lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri’ (QS.
Al-Ahzaab : 6). Maka seorang mukmin manapun yang meninggal dan meninggalkan harta,
maka hendaklah ahli warisnya mewarisi hartanya. Barangsiapa mati meninggalkan
hutang atau barang yang hilang maka hendaklah mendatangiku karena aku adalah maula-nya”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2399].
Dalam lafadh lain:
....فَادْعُونِي
فَأَنَا وَلِيُّهُ.....
“…..Maka, panggillah aku, karena aku adalah waliy-nya…”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 1619].
Dalam hadits
‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa:
مَنْ حُمِّلَ مِنْ أُمَّتِي دَيْنًا، ثُمَّ جَهِدَ فِي
قَضَائِهِ، فَمَاتَ، وَلَمْ يَقْضِهِ، فَأَنَا وَلِيُّهُ
“Barangsiapa yang
mempunyai hutang dari umatku, kemudian dia telah berusaha sungguh-sungguh untuk
melunasinya, lalu ia mati dan belum melunasinya, maka aku adalah yang waliy-nya”
[Diriwayatkan oleh Ahmad 6/74 & 154; dishahihkan oleh Al-Arna’uth dkk.].
Makna ‘aku adalah
maula-nya’, yaitu: walinya dan penolongnya dalam menanggung/melunasi hutang
[lihat : Syarh Shahiih Muslim 11/61 dan Faidlul-Qadiir 3/744].
[2] Atau dengan cara pandang lain yang
sejenis, bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih berhak untuk diberikan kecintaan oleh
orang-orang beriman daripada diri mereka sendiri dan seluruh manusia yang lain.
Allah ta’ala berfirman:
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ
وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ
تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ
وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ
بِأَمْرِهِ
“Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak,
saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu
usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat
tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya
dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
keputusan-Nya" [QS. At-Taubah : 24].
Juga hadits:
عَنْ عَبْد اللَّهِ بْنَ هِشَامٍ، قَالَ: كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ آخِذٌ بِيَدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، فَقَالَ
لَهُ عُمَرُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ
إِلَّا مِنْ نَفْسِي، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "
لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ
"، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: فَإِنَّهُ الْآنَ وَاللَّهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ
إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
" الْآنَ يَا عُمَرُ "
Dari ‘Abdullah bin Hisyaam, ia berkata : Kami pernah
bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan ketika itu beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam memegang tangan ‘Umar bin Al-Khaththaab. ‘Umar berkata kepada
beliau : “Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu
kecuali diriku sendiri”. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: “Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, hingga aku lebih engkau cintai
daripada dirimu sendiri”. Kemudian ‘Umar berkata kepada beliau :
“Sesungguhnya sejak saat ini, engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri”.
Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sekarang (baru
benar) wahai ‘Umar” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6632].
عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ
وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Dari Anas, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam : “Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman
hingga aku lebih dicintai olehnya daripada orang tuanya, anaknya, dan seluruh
manusia” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 15].
[3] Seperti firman Allah ta’ala yang
lain:
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ
مَوْلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَأَنَّ الْكَافِرِينَ
لا مَوْلَى لَهُمْ
“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah pelindung
orang-orang yang beriman dan karena sesungguhnya orang-orang kafir itu tiada
mempunyai pelindung” [QS. Muhammad : 11].
اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا
أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ
أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Allah
adalah Waliy (Pelindung) orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari
kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir,
waliy-waliy (pelindung-pelindung)-nya adalah setan, yang mengeluarkan mereka
dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya” [QS. Al-Baqarah : 257].
[4] Silakan baca pembahasannya di artikel
berjudul : ‘Aliy
bin Abi Thaalib : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam Tidak Pernah
Berwasiat tentang Kepemimpinan Kepada Dirinya.
Comments
Posting Komentar