Yaitu,
melihat hilaal (bulan sabit) untuk menetapkan bulan baru. Permasalahan
ini menjadi sangat populer terutama ketika menentukan awal dan akhir puasa
Ramadlaan, atau menentukan awal bulan Dzulhijjah (terkait ibadah puasa ‘Arafah
dan ‘Iedul-Adlhaa). Metode ru’yatul-hilaal adalah metode Islam yang
diajarkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Diantara dalil
yang melandasi, yaitu :
Allah
ta’ala berfirman :
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي
أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى
وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“(Beberapa
hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadlaan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang
batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”
[QS. Al-Baqarah : 185].
يَسْأَلُونَكَ عَنِ
الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka
bertanya kepadamu tentang hilaal (bulan sabit). Katakanlah: "Bulan sabit
itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji” [QS.
Al-Baqarah : 189].
Hilaal
(bulan sabit) digunakan sebagai tanda bagi manusia dan ibadah haji berdasarkan
kenampakkannya (karena dilihat).
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلَالَ
فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ
فَصُومُوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا
“Apabila
kalian melihat hilaal, maka berpuasalah. Dan apabila kalian
melihatnya, maka berbukalah. Namun bila hilaal tertutup atas kalian, maka
berpuasalah tigapuluh hari” [Diriwayatkan Muslim no. 1081 (17), An-Nasaa’iy
no. 2119, Ibnu Maajah no. 1655, dan yang lainnya dari Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu].
الشَّهْرُ
تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً، فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ
“Bulan
Sya’ban itu usianya duapuluh sembilan hari. Janganlah kalian berpuasa
(Ramadlaan) hingga kalian melihat hilaal. Apabila hilaal tertutup atas
kalian, maka sempurnakanlah hitungan (Sya’ban)-nya menjadi tigapuluh hari”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1907, Muslim no. 1080 (7), Abu Daawud no.
2320, dan yang lainnya dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa].
صُومُوا
لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَانْسُكُوا لَهَا، فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ، فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ، فَصُومُوا
وَأَفْطِرُوا
“Berpuasalah
karena melihatnya (hilaal) dan berbukalah karena melihatnya (hilaal).
Sembelihlah kurban karena melihatnya (hilaal) juga. Apabila hilaal
tertutup atas kalian, maka sempurnakanlah bulan menjadi tigapuluh hari. Apabila
dua orang saksi telah menyaksikannya, maka berpuasalah dan berbukalah”
[Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 2116 dari ‘Abdurrahmaan bin Zaid radliyallaahu
‘anhumaa; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan An-Nasaa’iy,
2/95 dan Irwaaul-Ghaliil no. 909].
لَا تُقَدِّمُوا
الشَّهْرَ حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ أَوْ تُكْمِلُوا الْعِدَّةَ، ثُمَّ صُومُوا
حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ أَوْ تُكْمِلُوا الْعِدَّةَ
“Janganlah
kalian memulai bulan baru hingga kalian melihat hilaal atau
menyempurnakan bilangan bulan, kemudian berpuasalah hingga kalian melihat
hilaal atau menyempurnakan jumlah bilangan harinya” [Diriwayatkan oleh
Abu Daawud no. 2326, An-Nasaa’iy no. 2126, Ibnu Hibbaan no. 3458, dan yang
lainnya dari Hudzaifah bin Al-Yamaan radliyallaahu ‘anhu; dishahihkan
oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 2/50].
لَا تَصُومُوا
قَبْلَ رَمَضَانَ صُومُوا لِلرُّؤْيَةِ، وَأَفْطِرُوا لِلرُّؤْيَةِ، فَإِنْ
حَالَتْ دُونَهُ غَيَايَةٌ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ
“Janganlah
kalian berpuasa sebelum Ramadlaan. Berpuasalah karena melihat (hilaal),
dan berbukalah karena melihatnya. Apabila terhalang awan, maka
sempurnakanlah (Sya’baan) tigapuluh hari” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy
no. 688, Abu Daawud no. 2327, An-Nasaa’iy no. 2130, dan yang lainnya dari Ibnu
‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih
Sunan An-Nasaa’iy 2/99].
Dari
‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata :
كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَفَّظُ مِنْ شَعْبَانَ مَا لَا
يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ، ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ، فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْهِ عَدَّ ثَلَاثِينَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَ
“Dulu,
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memperhatikan bulan Sya’ban,
melebihi perhatiannya terhadap bulan lain. Kemudian beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam berpuasa karena melihat hilaal (Ramadlaan). Jika hilaal
terhalang atas beliau, maka beliau menggenapkan tigapuluh hari, lalu
berpuasa" [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2325; dishahihkan oleh
Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 2/50].
Dari
Husain bin Al-Haarits Al-Jadaliy yang berasal dari Jadiilah Qais :
أَنَّ أَمِيرَ
مَكَّةَ خَطَبَ، ثُمّ قَالَ: عَهِدَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤْيَةِ، فَإِنْ لَمْ نَرَهُ وَشَهِدَ شَاهِدَا
عَدْلٍ، نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا
Bahwasannya
amir kota Makkah pernah berkhutbah, lalu berkata : ‘Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam telah
berpesan kepada kami agar kami (mulai) menyembelih berdasarkan ru’yah.
Jika kami tidak melihatnya, namun dua orang saksi ‘adil
menyaksikan (hilal telah tampak), maka kami mulai menyembelih berdasarkan
persaksian mereka berdua….” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2338; dishahihkan
oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan Abi Daawud 2/54].
Riwayat-riwayat
di atas sangat jelas menunjukkan bahwa ‘illat memulai ibadah puasa
Ramadlaan dan mengakhirinya (‘Iedul-Fithri) adalah karena melihat hilaal.
‘Illat ini bersifat manshuushah sehingga sangat kuat. Inilah yang
dipegang oleh jumhur ulama. Ada sebagian kecil ulama yang menyelisihinya
dengan memboleh memakai hisaab, namun ini adalah penyelisihan yang syaadz
lagi tidak mu’tabar – sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr yang
dikutip oleh Al-‘Iraaqiy rahimahumallah :
وَقَالَ ابْنُ
عَبْدِ الْبَرِّ: رُوِيَ عَنْ مُطَرِّفِ بْنِ الشِّخِّيرِ، وَلَيْسَ بِصَحِيحٍ
عَنْهُ، وَلَوْ صَحَّ مَا وَجَبَ اتِّبَاعُهُ عَلَيْهِ لِشُذُوذِهِ فِيهِ،
وَلِمُخَالَفَةِ الْحُجَّةِ لَهُ، ثُمَّ حَكَى عَنْ ابْنِ قُتَيْبَةَ مِثْلَهُ،
وَقَالَ: لَيْسَ هَذَا مِنْ شَأْنِ ابْنِ قُتَيْبَةَ، وَلا هُوَ مِمَّنْ يَعْرُجُ
عَلَيْهِ فِي هَذَا الْبَابِ، ثُمَّ حَكَى عَنْ ابْنِ خُوَازِ بَنْدَادٍ أَنَّهُ
حَكَاهُ عَنِ الشَّافِعِيِّ ثُمَّ قَالَ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ: وَالصَّحِيحُ
عَنْهُ فِي كُتُبِهِ، وَعِنْدَ أَصْحَابِهِ، وَجُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ خِلافُهُ (
قُلْت ) لَا يُعْرَفُ ذَلِكَ عَنْ الشَّافِعِيِّ أَصْلًا وَاَللَّهُ أَعْلَمُ
“Dan telah berkata Ibnu ‘Abdil-Barr : ‘Dan
diriwayatkan dari Mutharrif bin Syikhkhiir, namun tidak shahih darinya. Dan seandainya shahih pun, maka tidak wajib untuk
mengikutinya dikarenakan keganjilan dan penyelisihan terhadap hujjah dalam
permasalahan tersebut’. Kemudian ia (Ibnu ‘Abdil-Barr) menghikayatkan dari Ibnu
Qutaibah hal yang semisal, lalu dikomentarinya : ‘Ini bukan perkara Ibnu
Qutaibah, tidak pula ia termasuk orang yang condong padanya dalam bab
tersebut’. Kemudian ia menghikayatkan dari Ibnu Khuwaaz, bahwasannya ia
menghikayatkan dari Asy-Syaafi’iy (hal semisal). Setelah itu, Ibnu ‘Abdil-Barr
berkata : ‘Dan yang shahih darinya (Asy-Syaafi’iy) yang terdapat dalam
kitab-kitabnya, shahabat-shahabatnya, serta jumhur ulama adalah menyelisihi hal
tersebut’. Aku (Al-‘Iraaqiy) berkata : ‘Tidak diketahui asalnya hal tersebut
dari Asy-Syaafi’iy, wallaahu a’lam” [Tharhut-Tatsriib, 5/62-63].
Kemudian muncul permasalahan.
Bolehkah memakai hisaab sebagai ganti ru’yatul-hilaal ?. Jawab :
Tidak boleh dengan alasan :
1.
Menyelisihi nash.
Nash-nash yang ada (sebagaimana disebutkan di atas) menunjukkan
bahwa ‘illat ibadah (puasa, berbuka,dan haji) adalah karena melihat hilaal,
bukan hisaab.
2.
Masyarakat ‘Arab dan sekitarnya dulu sudah mengenal ilmu
astronomi[1],
namun kenyataannya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak
menganjurkannya dan tidak menolehnya sama sekali. Bahkan ketika buku-buku
Yunani dan Persia diterjemahkan dalam bahasa ‘Arab yang di dalamnya memuat ilmu
astronomi[2], para ulama Ahlus-Sunnah
sepakat untuk meninggalkannya.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
قَالَ الْبَاجِي : وَإِجْمَاع السَّلَف الصَّالِح حُجَّة عَلَيْهِمْ
. وَقَالَ اِبْن بَزِيزَةَ : وَهُوَ مَذْهَبٌ بَاطِلٌ فَقَدْ نَهَتْ الشَّرِيعَةُ
عَنْ الْخَوْضِ فِي عِلْمِ النُّجُومِ لِأَنَّهَا حَدْسٌ وَتَخْمِينٌ لَيْسَ فِيهَا
قَطْعَ وَلَا ظَنٌّ غَالِب
Al-Baajiy berkata : ‘Dan ijmaa’ as-salafush-shaalih
(yang meninggalkan hisaab) merupakan hujjah bagi mereka’.
Ibnu Baziizah berkata : ‘(Menggunakan ilmu hisaab) adalah madzhab baathil.
Syari’at telah melarang untuk mendalami ilmu nujuum, karena ia hanyalah
dugaan dan sangkaan yang tidak ada kepastian, tidak pula prasangka kuat (dhann
ghaalib)…” [Fathul-Baariy, 4/127].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
ولا ريب انه ثبت بالسنة الصحيحة واتفاق الصحابة انه لا
يجوز الاعتماد على حساب النجوم كما ثبت عنه فى الصحيحين انه قال انا امة امية لا
نكتب ولا نحسب صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
“Dan tidak diragukan bahwa telah tetap dalam sunnah
yang shahih dan kesepakatan shahabat tentang tidak diperbolehkannya berpegang
pada hisaab perbintangan sebagaimana telah tetap hadits dalam Ash-Shahiihain,
bahwasannya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Sesungguhnya
kami adalah umat yang ummiy, yang tidak menulis maupun menghitung. Berpuasalah karena
melihat hilaal dan berbukalah karena melihatnya” [Majmuu’ Al-Fataawaa,
25/207].
3.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ
الشَّهْرُ هَكَذَا "، وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ،
وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiy, tidak
menulis maupun menghitung. Bulan itu adalah demikian dan demikian, yaitu kadang
duapuluh sembilan hari, dan kadang tigapuluh hari” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1913, Muslim no.
1080, dan yang lainnya].
Konteks hadits di atas merupakan pendalilan yang
sangat kuat yang menafikkan penggunaan ilmu hisaab. Di satu sisi
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengatakan beliau termasuk
umat yang ummiy yang tidak menghitung, namun dalam di sisi lain (masih
dalam satu rangkaian perkataan) beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mampu
menyebutkan perhitungan hari dalam sebulan menurut lunar calendar, yaitu
29 hari atau 30 hari – yang tentu saja pengetahuan itu didapat melalui
pengalaman empiris masyarakat ‘Arab waktu itu. Oleh karena itu konteks
pembicaraan yang dimaksudkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah
syari’at yang beliau bawa bukanlah sesuatu yang rumit, njlimet, dan
menyusahkan manusia, sehingga dapat dipahami oleh orang yang ummiy (tidak
mengerti tulisan dan hitungan). Maka, dalam menentukan bulan baru
cukup dengan ru’yatul-hilal atau (kalau tak terlihat) menyempurnakan
perhitungannya 30 hari, sebagaimana dalam hadits-hadits di atas.
Ibnu Baththaal rahimahullah berkata :
فِي الْحَدِيثِ رَفْعٌ لِمُرَاعَاةِ النُّجُومِ
بِقَوَانِينِ التَّعْدِيلِ ، وَإِنَّمَا الْمُعَوَّلُ رُؤْيَة الْأَهِلَّةِ وَقَدْ
نُهِينَا عَنْ التَّكَلُّفِ . وَلَا شَكَّ أَنَّ فِي مُرَاعَاة مَا غَمُضَ حَتَّى
لَا يُدْرَك إِلَّا بِالظُّنُونِ غَايَةَ التَّكَلُّف
“Dalam hadits ini terdapat peniadaan upaya
memperhatikan bintang-bintang dengan aturan-aturan penetapan. Dan bahwasannya
yang dapat dijadikan pegangan hanyalah ru’yatul-hilaal (melihat bulan).
Kita telah dilarang (oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam) mempersulit
diri. Dan tidak diragukan lagi bahwa dalam upaya memperhatikan sesuatu yang
samar sehingga tidak diketahui kecuali dengan perkiraan saja merupakan tindakan
mempersulit diri” [Fathul-Baariy, 4/127].
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata
:
وصف هذه الأمة بترك الكتابة والحساب الذي يفعله غيرها من
الأمم في أوقات عبادتهم وأعيادهم وأحالها على الرؤية حيث قال في غير حديث صوموا
لرؤيته وأفطروا لرؤيته وفي رواية صوموا من الوضح إلى الوضح أي من الهلال إلى
الهلال
وهذا دليل على
ما أجمع عليه المسلمون إلا من شذ من بعض المتأخرين المخالفين المسبوقين بالإجماع
من أن مواقيت الصوم والفطر والنسك إنما تقام بالرؤية عند إمكانها لا بالكتاب
والحساب الذي تسلكه الأعاجم من الروم والفرس والقبط والهند وأهل الكتاب من اليهود والنصارى
“Umat ini disifati dengan umat yang meninggalkan
tulisan dan perhitungan (hisaab) - seperti yang dilakukan umat-umat lain
dalam penentuan waktu-waktu ibadah mereka dan hari-hari raya mereka - ; dan
menyerahkannya kepada ru’yatul-hilaal. Ini adalah dalil atas apa yang
menjadi kesepakatan kaum muslimin, kecuali pendapat ganjil dari sebagian muta’akhkhiriin
yang menyimpang berdasarkan ijmaa’, bahwasannya waktu-waktu puasa, berbuka, dan penyembelihan
hanyalah dilakukan berdasarkan ru’yah ketika masih dimungkinkan. Bukan
dengan tulisan dan perhitungan sebagaimana ditempuh oleh orang-orang ‘ajam
dari bangsa Romawi, Persia, Qibthi, India, dan ahli kitab dari kalangan Yahudi
dan Nashrani” [Iqtidlaa’ Ash-Shiraathil-Mustaqiim, 1/87].
4.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan
ketika melihat hilaal untuk berdoa :
اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالْأَمْنِ
وَالْإِيمَانِ، وَالسَّلَامَةِ وَالْإِسْلَامِ، رَبِّي وَرَبُّكَ اللَّهُ
“Ya Allah,
tampakkanlah bulamn satu itu kepada kami dengan membawa keamanan dan keimanan,
keselamatan dan Islam. Rabbku dan Rabbmu (wahai hilaal) adalah Allah”
[Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3451, Ahmad 1/162, Ad-Daarimiy no. 1695,
dan yang lainnya dari Thalhah bin ‘Ubaidillah radliyallaahu ‘anhu;
dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah 4/43-431 no. 1816].
Seandainya penentuan bulan baru dilakukan dengan metode
hisaab, tentu pensyari’atan doa ini tidak ada faedahnya.
Wallaahu a’lam.
Ini saja sedikit tambahan dari
artikel semisal yang telah ada, semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – perumahan
ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor - 03091434/12072013 – 02:13 WIB].
[1] Masyarakat ‘Arab
sudah mengenal ilmu falak/astronomi sederhana berdasarkan pengalaman empiris
mereka. Para musafir pandai menggunakan bintang-bintang dengan gugusannya
sebagai penunjuk jalan di malam hari. Bahkan firman Allah ta’ala secara
tidak langsung menunjukkannya :
وَعَلامَاتٍ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ
“Dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan).
Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk” [QS. An-Nahl :
16].
وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ
وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ
“Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat
dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar
setan” [QS. Al-Mulk : 5].
Qataadah rahimahullah berkata saat mengomentari
ayat tersebut:
خَلَقَ هَذِهِ النُّجُومَ لِثَلَاثٍ جَعَلَهَا زِينَةً لِلسَّمَاءِ،
وَرُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ، وَعَلَامَاتٍ يُهْتَدَى بِهَا، فَمَنْ تَأَوَّلَ
فِيهَا بِغَيْرِ ذَلِكَ أَخْطَأَ.....
“Allah menciptakan bintang-bintang untuk tiga tujuan,
yaitu : (1) hiasan langit, (2) pelempar setan, dan (3) penunjuk jalan.
Barangsiapa yang menta’wilkan bintang selain dari tiga hal tersebut, maka ia
keliru….” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq di atas hadits
no. 3199. Ibnu Hajar membawakan sanadnya dalam Taghliiqut-Ta’liiq 3/489].
Oleh karena itu, bukan menjadi halangan bagi masyarakat
‘Arab mengetahui dan menghapal gerakan bulan untuk memperkirakan datangnya
bulan baru (hilaal).
Baca :
[2] A History
of Arabic Astronomy: Planetary Theories During the Golden Age of Islam oleh
George Saliba, New York University Press, 1994; Bab : The Translation
Movement (hal. 52-dst.).
Comments
Ustadz, kata 'mereka'
"Lantas bagaimana dengan shalat? Mengapa malah menggunakan perhitungan? Sedangkan nabi shalat dengan melihat pergerakan matahari?"
Jazaakallaahu khayran
Untuk Penanya di atas komentar ini silahkan merujuk buku Bid'ahkah Ilmu Hisab?
Oleh Ust Ahmad Sabiq Abu Yusuf
pertanyaan antum akan antum temukan jawabannya di sana.
Barakallahufiikum
Kemudian apa hukumnya org2 yg berpuasa dgn perhitungan Hisab, Ustadz?apakah tetap sah ibadah shaum nya?
Jazzakumulloh khayran
-AbuAlzam-
To Anonim 12 Juli 2013 04.24,
Kenapa untuk puasa/`ied penampakan hilaal harus dilihat, sementara untuk waktu sholat penampakan matahari cukup dengan perhitungan?
Sebenarnya, sholat juga tetap harus melihat posisi matahari. Perhitungan di sini hanya untuk memudahkan penentuan posisi matahari pada waktu-waktu sholat. Perhitungannya memang akurat (bahkan untuk hilaal sekali pun). Tinggal menentukan saja, mau berapa derajat waktu sholat dimulai dipastikan bener posisinya ada di situ. Yang jadi masalah, penentuan derajat ini yang tidak beres. Waktu shubuh saja misalnya, Indonesia mengambil taqwim 20 derajat di bawah ufuk. Kalo benar-benar riset MELIHAT ke arah timur saat matahari berada di bawah ufuk 20 derajat (dipantai, misalnya, karena belum ada polusi cahaya), keadaan masih sangat gelap, kriteria shubuh belum masuk.
Jadi yang sebaiknya dilakukan para mu`adzdzin adalah menggunakan perhitungan ini sebagai PANDUAN melihat posisi matahari yang sesungguhnya. Dengan panduan ini, mu`adzdzin tidak perlu menunggu-nunggu posisi matahari seharian sehingga bisa meminimalisir kesalahan. Pernah ada kejadian, mu`adzdzin di tempat saya mengumandangkan adzan `ashr terlalu awal 1 jam. Gara-gara, jam dindingnya mati.
Khusus untuk hilaal, secara eksplisit, Nabi shollallaahu`alahiwasallam telah memerintahkan kita untuk melihatnya. Meski hilaal sudah terbentuk, tetap kita diwajibkan untuk melihatnya. Karena berdasarkan nash-nash yang ada, awal mula puasa/`ied adalah TERLIHATNYA hilaal, bukan TERBENTUKNYA hilaal.
Assalamu'alaykum,
saya mau tanya bagaimana dengan pengamatan hilal dari Tarekat nasqbandiyah? kira kekeliruannya apa?
sehingga berbeda dengan umat islam kebanyakan di indonesia.
Jazakallohu khoyron
Arif
Mudahnya, waktu sholat itu melihat pada realnya (entah istilah yang tepat apa) waktu sholat, entah bagaimana cara menegtahuinya. Adapun puasa & lebaran kembali pada perintah melihat.
Terkait dengan penggunaan hisab untuk jadwal shalat, berikut jawaban dari Asy-Syaikh 'Abdul 'Aziz Ar Rays:
Syubhat kedua, hisab falaki dalam penentuan awal Ramadhan itu sama saja seperti hisab dalam penjadwalan waktu-waktu shalat. Kalau untuk tujuan itu dibolehkan, maka untuk penentuan awal Ramadhan pun seharusnya boleh.
Jawabannya, yang dibebankan oleh syariat kepada kita dalam penentuan waktu-waktu shalat adalah menyesuaikan dengan posisi aktual (waqi’ al haal), misalnya maghrib adalah ketika matahari sudah tenggelam, dst. Perhitungan hisab dalam hal ini memberi informasi posisi aktual (waqi’ al haal) bahwa pada jam sekian matahari dalam posisi sudah tenggelam, atau semacamnya. Berbeda dengan masalah menentukan awal bulan, yang dibebankan syari’at kepada kita adalah melihat hilalnya bukan mengetahui posisi aktual (waqi’ al haal) -nya. Ini sama sekali berbeda.
Sumber: http://www.al-sunna.net/articles/file.php?id=5904
Selengkapnya: http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/menyoal-metode-hisab.html
AY
ust, bgmn dgn artikel dari sahabat antum ini http://adniku.com/2012/07/terjemah-awa-il-al-syuhur-al-arabiyyah-karya-syekh-ahmad-syakir/
Tidak gimana-gimana, karena letak permasalahan adalah pada 'illat hukum, dan itu telah saya jawab secara ringkas di atas.
Kalau pakai hisab, lalu , akan kalian kemanakan dalil2 ttg ilat puasa harus dengan setelah terlihat hilal?dibuang? Itu hadits sangat mulia saudaraku...coba rendahkan hati kita komitment terhadap apa yg Rasullullahsallallahu alaihi wasalam sabdakan utk umatnya...
Posting Komentar