Pokok Iman (Ashlul-Iimaan) Menurut Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah


Sebelum membahas ini, maka penting diketahui bahwasannya iman menurut Ahlus-Sunnah adalah perkataan dan perbuatan, sebagaimana definisi yang dikatakan Al-Imaam Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah :
أجمع أهل الفقه والحديث على أن الإيمان قول وعمل، ولا عمل إلا بنية
Para ahli fiqh dan hadits telah sepakat bahwasannya iman itu perkataan dan perbuatan. Dan tidaklah ada perbuatan kecuali dengan niat” [At-Tamhiid, 9/238].

Dan iman itu bercabang-cabang yang terdiri dari :
1.     Cabang iman yang ada dalam hati; ada dua macam, yaitu : (a) perkataan hati berupa tashdiiq (pembenaran), dan (b) perbuatan/amal hati, berupa inqiyaad (ketundukan), taslim (kepasrahan), khudluu’, kecintaan, dan yang lainnya.
2.     Cabang iman yang ada dalam lisan; seperti dzikir kepada Allah yang diantaranya adalah pengucapan kalimat tauhid yang menyebabkan seseorang masuk ke dalam wilayah Islam, dan seluruh perkataan-perkataan lain yang telah ma’ruf.
3.     Cabang iman yang ada dalam anggota tubuh/jawaarih; yaitu berupa amal-amal badan seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan yang lainnya.
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb : Telah menceritakan kepada kami Jariir bin Suhail, dari ‘Abdullah bin Diinaar dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Iman itu ada tujuh puluh, atau enam puluh lebih cabang. Yang paling utama adalah perkataan : Laa ilaha illallaah (Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah). Dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu itu adalah salah satu cabang dari iman” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 35].
Hadits di atas menjelaskan bahwa cabang-cabang atau bagian-bagian iman itu tidaklah berada dalam satu tingkatan. Sebagian lebih utama daripada sebagian yang lain. Dan termasuk ‘aqidah Ahlus-Sunnah adalah bahwa iman terbagi menjadi pokok (al-ashl) dan cabang (al-far’u).
Al-Haafidh Ibnu Mandah rahimahullah berkata :
وقال جمهور أهل الإرجاء الإيمان هو فعل القلب واللسان جميعا
 وقالت الخوارج الإيمان فعل الطاعات المفترضة كلها بالقلب واللسان وسائر الجوارح
........
وقال أهل الجماعة الإيمان هي الطاعات كلها بالقلب واللسان وسائر الجوارح غير أن له أصلا وفرعا
“Dan jumhur orang Murji’ah berkata : iman itu perbuatan hati dan lisan seluruhnya. Orang-orang Khawarij berkata : iman itu semua perbuatan ketaatan yang diwajibkan, dengan hati, lisan, dan anggota tubuh (jawaarih). ...... Dan Ahlus-Sunnah berkata : iman itu seluruh ketaatan yang dilakukan oleh hati, lisan, dan seluruh anggota badan, dimana ia mempunyai pokok (al-ashl) dan cabang (al-far’)” [Al-Iimaan, 1/331].
Lantas, apa yang dimaksudkan dengan ashlul-iimaan (pokok iman) ?.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
قالَ تعالى ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ [فاطر : 32] ، فالمسلمُ الّذي لم يقمْ بواجبِ الإيمانِ هوَ الظّالمُ لنفسِه ، والمقتصدُ هوَ المؤمنُ المُطلقُ الّذي أدّى الواجبَ وتركَ المحرّم ، والسابقُ بالخيراتِ هوَ المُحسِنُ الّذي عبَدَ اللهَ كأنّه يراه
“Allah ta’ala berfirman : ‘Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar’ (QS. Faathir : 32). Muslim yang tidak menegakkan kewajiban iman, maka ia disebut orang yang dhalim terhadap dirinya sendiri. Orang yang pertengahan (al-muqtashid) adalah orang yang mempunyai keimanan mutlak (al-mu’minul-muthlaq) yang menunaikan kewajiban dan meninggalkan yang diharamkan. Adapun orang yang bersegera dalam kebaikan, ia adalah seorang muhsin yang menyembah Allah seakan-akan ia melihat-Nya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/358].
Asy-Syaikh As-Sa’diy rahimahullah ketika menjelaskan golongan pertama (adh-dhaalimu li-nafsihi) yang disebut Syaikhul-Islaam di atas, berkata :
وهم الذين تجرءوا على بعض المحرمات ، وقصروا فيِ بعض الواجبات مع بقاء أصل الإيمان معهم
“Mereka adalah orang yang berani mengerjakan sebagian yang diharamkan dan kurang/lalai dalam mengerjakan sebagian kewajiban, bersamaan dengan keberadaan pokok iman (ashlul-iimaan) bersamanya” [At-Tanbiihaat Al-Lathiifah, hal. 92].
Ashlul-iimaan dinamakan juga muthlaqul-iimaan.[1] Iman ini merupakan tingkatan iman paling rendah[2] yang tidak menerima adanya pengurangan, karena ia merupakan batas Islam pembeda antara kekafiran dan keimanan. Tidak sah keimanan seseorang kecuali dengannya, sehingga iman ini wajib dimiliki oleh siapa saja yang masuk dalam wilayah Islam (baca : muslim). Keberadaan pokok iman ini bagi seseorang merupakan jaminan keselamatan dari kekekalan neraka. Barangsiapa saja yang tidak mempunyai ashlul-imaan, maka kafir hukumnya. Berikut akan dibawakan beberapa perkataan ulama kita tentang ashlul-iimaan.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
فَأَصْلُ الإِيمَانِ فِي القَلْبِ - وَهُوَ قَوْلُ القَلْبِ وَعَمَلُهُ ، وَهُوَ إِقْرارٌ بِالتَّصْدِيقِ وَالحُبِّ وَالانْقِيَادِ -؛ وَمَا كَانَ فِي القَلْبِ فَلاَ بُدَّ أَنْ يَظْهَرَ مُوجَبُهُ وَمُقْتَضَاهُ عَلَى الجَوَارِحِ ، وَإِذَا لَمْ يَعْمَلْ بِمُوجَبِهِ وَمُقْتَضَاهُ دَلَّ عَلَى عَدَمِهِ أَوْ ضَعْفِهِ
Ashlul-iimaan itu ada di hati - yaitu perkataan dan amalan hati, dan ia adalah iqraar dengan pembenaran (tashdiiq), kecintaan, dan ketundukan. Dan iman yang ada di dalam hati sudah semestinya menampakkan konsekuensinya dan kebutuhannya pada anggota badan (jawaarih). Apabila ia tidak mengamalkan konsekuensi dan kebutuhannya pada amal anggota badan (jawaarih), itu menunjukkan ketiadaan dan kelemahannya" [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/644].
Al-Imaam Al-Marwaziy rahimahullah berkata :
فأصل الإيمان الإقرار والتصديق
“Maka ashlul-iimaan adalah iqraar dan tashdiiq” [Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah, 2/519].
Al-Kalaabadziy rahimahullah (w. 380 H) berkata :
أصل الإيمان : إقرار اللسان بتصديق القلب، وفروعه : العمل بالفرائض
Ashlul-iimaan adalah pengakuan lisaan terhadap pembenaran hati, dan cabang (furuu’) iman adalah mengerjakan hal-hal yang diwajibkan...” [At-Ta’arruf bi-Manhajit-Tashawwuf, hal. 80].
Al-Haafidh Ibnu Mandah rahimahullah berkata :
فأصله المعرفة بالله والتصديق له وبه وبما جاء من عنده بالقلب واللسان مع الخضوع له والحب له والخوف منه والتعظيم له مع ترك التكبر والاستنكاف والمعاندة فإذا أتى بهذا الأصل فقد دخل في الإيمان ولزمه اسمه وأحكامه ولا يكون مستكملا له حتى يأتي بفرعه وفرعه المفترض عليه أو الفرائض واجتناب المحارم
“Dan pokok iman adalah : ma’rifat kepada Allah, membenarkan-Nya dan apa-apa yang datang dari-Nya dengan hati dan lisan, dengan ketundukan kepada-Nya, mencintai-Nya, takut kepada-Nya, mengangungkan-Nya. Serta meninggalkan kesombongan, penolakan, dan penentangan. Apabila seseorang mempunyai pokok iman ini, maka ia masuk dalam (wilayah) iman, dan mengkonsekuensikan padanya akan namanya (yaitu mukmin) dan hukum-hukumnya. Dan tidak sempurna iman seseorang hingga ia mengerjakan cabangnya, dan cabangnya itu adalah hal-hal yang diwajibkan padanya, dan menjauhi hal-hal yang diharamkan” [Al-Iimaan, 1/331-332].
Al-Haafidh Ibnu Rajab rahimahullah berkata :
ومعلومٌ أنّ الجنة إنما يستحقّ دخولها بالتصديق بالقلب مع شهادة اللسان، وبهما يخرجُ من يخرجُ من أهل النار فيدخلُ الجنة.
“Dan telah diketahui bahwasannya surga hanyalah berhak dimasuki dengan adanya tashdiiq (pembenaran) hati dan syahaadat lisan. Dan dengan keduanya lah dikeluarkan penduduk neraka yang kemudian masuk ke dalam surga” [Fathul-Baariy li-Ibni Rajab, 1/112].
Tashdiq dengan hati dan pengikraran syahadat dengan lisan itulah ashlul-iimaan sebagaimana perkataan para ulama di atas.
Syaikhul-Islaam rahimahullah berkata :
كما قال أهل السنة‏:‏ إن من ترك فروع الإيمان لا يكون كافرًا، حتى يترك أصل الإيمان‏.‏ وهو الاعتقاد ‏
“Sebagaimana dikatakan Ahlus-Sunnah : Sesungguhnya barangsiapa yang meninggalkan cabang-cabang iman tidaklah menjadi kafir, hingga ia meninggalkan ashlul-iimaan, yaitu i’tiqaad...”[3] [Al-‘Uquudud-Durriyyah, hal. 96].
فأما أصل الإيمان الذي هو الإقرار بما جاءت به الرسل عن الله تصديقًا به وانقيادًا له، فهذا أصل الإيمان الذي من لم يأت به فليس بمؤمن؛
“Dan ashlul-imaan yang berupa iqraar (penetapan) terhadap segala sesuatu yang dibawa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari Allah dengan pembenaran dan ketundukan terhadapnya, maka inilah ashlul-iimaan yang barangsiapa tidak mempunyainya, maka ia bukan mukmin[4]” [Majmu’ Al-Fataawaa, 7/638].
و‏[‏الإيمان‏]‏‏:‏ اسم جامع لكل ما يحبه الله ويرضاه‏.‏ و‏[‏الكفر‏]‏‏:‏  اسم جامع لكل ما يبغضه الله وينهى عنه، وإن كان لا يكفر العبد إذا كان معه أصل الإيمان وبعض فروع الكفر من المعاصى، كما لا يكون مؤمنًا إذا كان معه أصل الكفر وبعض فروع الإيمان ـ
“Iman adalah satu nama yang mencakup semua hal yang dicintai dan diridlai oleh Allah. Dan kufur adalah satu nama yang mencakup semua hal yang dimurkai dan dilarang oleh Allah. Dan seandainya seorang hamba tidak dikafirkan apabila ada padanya ashlul-iimaan dan sebagian cabang-cabang kekafiran dari perbuatan maksiat; maka hal itu sebagaimana tidak menjadi orang beriman apabila ada padanya ashlul-kufr (pokok kekafiran) dan sebagian cabang-cabang keimanan....” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 15/283].
Allah ta’ala berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita” [QS. Al-Ahqaaf : 13].
حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ الْفَضْلِ، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ، عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ، قَالَ: حَدَّثَنِي عُمَيْرُ بْنُ هَانِئٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي جُنَادَةُ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ، عَنْ عُبَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنَ الْعَمَلِ "
Telah menceritakan kepada kami Shadaqah bin Al-Fadhl[5] : Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid[6], dari Al-Auza’iy[7], ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Umairah bin Haani’[8], ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Junaadah bin Abi Umayyah[9], dari ‘Ubaadah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Barangsiapa yang bersyahadat/bersaksi bahwasannya tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah utusan-Nya; dan (bersyahadat/bersaksi) bahwasannya ‘Iisaa adalah hamba dan utusan-Nya, serta kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam, dan ruh daripada-Nya; dan (bersaksi) bahwasannya surga itu benar, neraka adalah benar; maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga betapa pun amal yang telah diperbuatnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3435].
Dari perkataan para imam di atas – yang merupakan interpretasi ‘aqidah Ahlus-Sunnah – dapat dipahami bahwa hukum kekafiran tidaklah tetap – dari sisi meninggalkan (at-tarku) – dengan kesepakatan (ijmaa’), hingga ia meninggalkan ashlul-iimaan.
Timbul pertanyaan :
Apakah amal jawaarih (anggota badan) bukan termasuk bagian dari ashlul-imaan ?.
Menurut jumhur Ahlus-Sunnah : Tidak. Amal jawaarih termasuk bagian dari furuu’ul-iimaan, dan ia adalah penyempurnanya (kamaalul-iimaan).
Al-Imaam Al-Baihaqiy rahimahullah berkata :
ذهبَ أكثرُ أصحابِ الحديثِ إِلىَ أنّ اسمَ الإيمانِ يجمَعُ الطاعاتِ كلِّها فرضِها ونفلِها ، وأنّها عَلى ثلاثةِ أقسامٍ :
فقِسمٌ يكفُرُ بتركِه وَهُوَ اعتقادُ ما يجِبُ اعتقادُه وإقرارٌ بِما اعتقدَه .
وقِسمٌ يفسُقُ بتركِه أو يعصِي ولاَ يكفُرُ بهِ إذا لَم يجحَدْه وَهُوَ مفروضُ الطّاعاتِ كالصّلاةِ والزّكاةِ والصّيامِ والحَجّ واجتنابِ المحارِمِ .
وقِسمٌ يكونُ بتركِه مخطِئاً لِلأَفضَلِ غيرَ فاسِقٍ ولاَ كافِرٍ وَهُوَ ما يكونُ مِن العبادَاتِ تَطوّعاً
Jumhur ahlul-hadiits berpendapat bahwa nama iman itu mengumpulkan semua ketaatan, baik yang wajib/fardlu maupun yang sunnah. Dan iman itu terbagi menjadi tiga bagian : Pertama, bagian yang mengkafirkan apabila ditinggalkan, yaitu i’tiqaad terhadap semua hal yang diwajibkan i’tiqaad-nya, serta mengikrarkan apa-apa yang di-i’tiqad-kannya itu. Kedua, bagian yang menyebabkan kefasiqan atau bermaksiat apabila ditinggalkan, namun tidak menyebabkan kekafiran apabila ia tidak mengingkarinya. Hal itu adalah ketaatan-ketaatan yang diwajibkan, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan menjauhi yang diharamkan. Ketiga, bagian yang bila ditinggalkan menjadikan seseorang keliru/terluput akan hal-hal yang lebih utama, tanpa menyebabkan kefasikan ataupun kekafiran. Hal itu seperti pada ibadah-ibadah tathawwu’ (sunnah)” [Al-I’tiqaad, hal. 202].
Bagian pertama yang dikatakan Al-Baihaqiy adalah ashlul-imaan – sebagaimana menjadi bahasan - , karena sesuatu yang menyebabkan kafirnya seorang muslim apabila ditinggalkan hanyalah ashlul-iimaan sebagaimana telah lewat penjelasannya. Bagian kedua dan ketiga adalah furuu’ul-iimaan yang tidak menyebabkan kekafiran jika ditinggalkan.
Al-Imaam Al-Marwadziy rahimahullah berkata :
لأن البي صلى الله عليه وسلم سمّى لإيمانَ بالأصل وبالفروع، وهو الإقرارُ، والأعمال....... فجعلَ أصلَ الإيمانِ الشهادة، وسائرَ الأعمال شُعباً، ثمّ أخبرَ أنّ الإيمان يكمل بعد أصلهِ بالأعمالِ الصّالحة....
“Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menamakan iman dengan ashl (pokok) dan furuu’ (cabang); dan ia adalah iqraar dan amal-amal…… Dan beliau menjadikan ashlul-iimaan syahadat, dan menjadikan seluruh amal cabang-cabang. Kemudian beliau mengkhabarkan bahwasannya iman disempurnakan setelah pokoknya dengan amal-amal shaalihah….” [Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah, 2/711-712].
Dan telah lewat perkataan Ibnu Mandah rahimahullah :
ولا يكون مستكملا له حتى يأتي بفرعه وفرعه المفترض عليه أو الفرائض واجتناب المحارم
“Dan tidak sempurna iman seseorang hingga ia mengerjakan cabangnya, dan cabangnya itu adalah hal-hal yang diwajibkan padanya, dan menjauhi hal-hal yang diharamkan” [Al-Iimaan, 1/331-332].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
الدّينُ القائمُ بالقلبِ من الإيمانِ علماً وحالاً هو الأصل ، والأعمالُ الظّاهرةُ هي الفروعُ  ، وهي كمالُ الإيمانِ
“Agama yang tegak dengan keimanan di hati secara ilmu dan keadaannya, merupakan pokok. Dan amal-amal dhaahir merupakan cabang-cabang (iman), dan ia adalah kesempurnaan iman” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/354].
Dikuatkan pula oleh beberapa perkataan ulama yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan amal jawaarih sebagai berikut :
Al-Imaam Asy-Syaafi’iy berkata – sebagaimana dinukil oleh Asy-Syiiraaziy rahimahumallah - :
الإيمان هو التصديق والإقرار والعمل، فالمخلُّ بالأول وحده منافق، وبالثاني وحده كافر، وبالثالث وحده فاسق ينجو من الخلود النار ويدخل في الجنة
“Iman itu adalah tashdiiq, iqraar, dan amal. Ketiadaan hal pertama saja, maka ia munafik. Ketiadaan hal kedua saja, maka ia kafir. Dan ketiadaan hal ketiga saja, maka ia fasik yang selamat dari kekekalan neraka dan (kemudian) masuk ke dalam surga” [‘Umdatul-Qaari’, 1/175].
Tentang riwayat Al-Imaam Ahmad rahimahullah, anaknya – Shaalih bin Ahmad – berkata :
سألت أبي عمن يقول : الإيمان يزيد وينقص، ما زيادته ونقصانه ؟. فقال : زيادته بالعمل ونقصانه بترك العمل، مثل تركه : الصلاة والحج وأداء الفرائض......
Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang orang yang berkata : ‘Iman itu bisa bertambah dan berkurang. Apakah penambahan dan pengurangannya ?’. Ia (Ahmad) menjawab : ‘Penambahannya adalah dengan amal dan pengurangannya adalah dengan meninggalkan amal[10]. Contoh meninggalkan amal adalah : shalat, haji, dan penunaian berbagai kewajiban....” [Masaailu Al-Imaam Ahmad bi-Riwayaat Abil-Fadhl Shaalih, 2/119].
Al-Imaam Abul-Qaasim Al-Ashbahaaniy rahimahullah berkata :
الإيمان والإسلام اسمان لمعنين : فالإسلام : عبارة عن الشهادتين مع التصديق بالقلب. والإيمان : عبارة عن جميع الطاعات؛ خلافا لمن قال : الإسلام والإيمان سواء إذا حصلت معه الطمأنينة
“Iman dan Islam itu adalah dua nama untuk dua makna. Islam adalah perkataan/ungkapan dari dua kalimat syahadat bersamaan dengan pembenaran/tashdiiq dengan hati. Dan iman adalah perkataan/ungkapan dari seluruh ketaatan. Hal ini berbeda dengan orang yang mengatakan bahwa Islam dan iman itu sama (maknanya) apabila terdapat bersamanya thuma’niinah” [Al-Hujjah fii Bayaanil-Mahajjah, 1/406].
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah berkata :
أركان الإسلام الخمسة : أولها الشهادتان، ثم الأركان الأربعة؛ إذا أقر بها، وتركها تهاونا؛ فنحن وإن كان قاتلناه على فعلها، فلا نكفرها. والعلماء اختلفوا في كفر التارك لها كسلا من غير جحود، ولا نكفر إلا ما أجمع عليه العلماء - كلهم - ، وهو الشهادتان
“Rukun Islam yang lima, awalnya adalah dua kalimat syahadat, kemudian rukun Islam yang empat (shalat, zakat, puasa, dan haji – Abul-Jauzaa’). Jika ia mengikrarkannya, kemudian ia meninggalkannya dengan meremehkannya, maka kami – meskipun memerangi pelakunya – tidak mengkafirkannya. Dan ulama berselisih pendapat tentang kekafiran orang yang meninggalkannya karena malas tanpa adanya pengingkaran. Dan kami tidaklah mengkafirkan kecuali apa-apa yang telah disepakati ulama seluruhnya, yaitu : (meninggalkan) syahadat” [Ad-Durarus-Saniyyah, 1/102].
Dr. Nu’aim Yaasiin hafidhahullah berkata :
فالجمهور من أهل السنه وإن جعلوا العمل جزءا من الإيمان إلا أنهم لم يقولوا بتكفير المصدق بقلبه المقر بلسانه إن لم يعمل، والحنفية وإن أخرجوا العمل من الإىمان إلا أنهم اعتبروه من لوازمه ومقتضياته، ولكل متفقون على عدم التكفير بترك العمل
“Jumhur ulama Ahlus-Sunnah, meskipun mereka menjadikan amal merupakan bagian dari iman, namun mereka tidaklah mengatakan kekafiran orang yang membenarkan dengan hatinya lagi mengikrarkan dengan lisannya meskipun tidak beramal. Adapun ulama Hanafiyyah, meskipun mereka mengeluarkan amal dari iman, namun mereka menganggapnya sebagai konsekuensi dan persyaratannya. Dan mereka semuanya bersepakat tentang peniadaan pengkafiran dengan meninggalkan amal” [Al-Iimaan, hal. 151-153].
Dalil yang melandasi hal ini adalah hadits syafaa’at :
حَدَّثَنِي سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنِي حَفْصُ بْنُ مَيْسَرَةَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ مرفوعا : حَتَّى إِذَا خَلَصَ الْمُؤْمِنُونَ مِنْ النَّارِ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ بِأَشَدَّ مُنَاشَدَةً لِلَّهِ فِي اسْتِقْصَاءِ الْحَقِّ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ لِلَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لِإِخْوَانِهِمْ الَّذِينَ فِي النَّارِ يَقُولُونَ رَبَّنَا كَانُوا يَصُومُونَ مَعَنَا وَيُصَلُّونَ وَيَحُجُّونَ فَيُقَالُ لَهُمْ أَخْرِجُوا مَنْ عَرَفْتُمْ فَتُحَرَّمُ صُوَرُهُمْ عَلَى النَّارِ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا قَدْ أَخَذَتْ النَّارُ إِلَى نِصْفِ سَاقَيْهِ وَإِلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا مَا بَقِيَ فِيهَا أَحَدٌ مِمَّنْ أَمَرْتَنَا بِهِ فَيَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ دِينَارٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا أَحَدًا مِمَّنْ أَمَرْتَنَا ثُمَّ يَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ نِصْفِ دِينَارٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا مِمَّنْ أَمَرْتَنَا أَحَدًا ثُمَّ يَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا خَيْرًا وَكَانَ أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ يَقُولُ إِنْ لَمْ تُصَدِّقُونِي بِهَذَا الْحَدِيثِ فَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ { إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا } فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَفَعَتْ الْمَلَائِكَةُ وَشَفَعَ النَّبِيُّونَ وَشَفَعَ الْمُؤْمِنُونَ وَلَمْ يَبْقَ إِلَّا أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ فَيَقْبِضُ قَبْضَةً مِنْ النَّارِ فَيُخْرِجُ مِنْهَا قَوْمًالَمْ يَعْمَلُوا خَيْرًا قَطُّ قَدْ عَادُوا حُمَمًا فَيُلْقِيهِمْ فِي نَهَرٍ فِي أَفْوَاهِ الْجَنَّةِ يُقَالُ لَهُ نَهَرُ الْحَيَاةِ فَيَخْرُجُونَ كَمَا تَخْرُجُ الْحِبَّةُ فِي حَمِيلِ السَّيْلِ أَلَا تَرَوْنَهَا تَكُونُ إِلَى الْحَجَرِ أَوْ إِلَى الشَّجَرِ مَا يَكُونُ إِلَى الشَّمْسِ أُصَيْفِرُ وَأُخَيْضِرُ وَمَا يَكُونُ مِنْهَا إِلَى الظِّلِّ يَكُونُ أَبْيَضَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّكَ كُنْتَ تَرْعَى بِالْبَادِيَةِ قَالَ فَيَخْرُجُونَ كَاللُّؤْلُؤِ فِي رِقَابِهِمْ الْخَوَاتِمُ يَعْرِفُهُمْ أَهْلُ الْجَنَّةِ هَؤُلَاءِ عُتَقَاءُ اللَّهِ الَّذِينَ أَدْخَلَهُمْ اللَّهُ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ عَمَلٍ عَمِلُوهُ وَلَا خَيْرٍ قَدَّمُوهُثُمَّ يَقُولُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ فَمَا رَأَيْتُمُوهُ فَهُوَ لَكُمْ فَيَقُولُونَ رَبَّنَا أَعْطَيْتَنَا مَا لَمْ تُعْطِ أَحَدًا مِنْ الْعَالَمِينَ فَيَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي أَفْضَلُ مِنْ هَذَا فَيَقُولُونَ يَا رَبَّنَا أَيُّ شَيْءٍ أَفْضَلُ مِنْ هَذَا فَيَقُولُ رِضَايَ فَلَا أَسْخَطُ عَلَيْكُمْ بَعْدَهُ أَبَدًا
Telah menceritakan kepadaku Suwaid bin Sa'iid, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Hafsh bin Maisarah, dari Zaid bin Aslam, dari 'Atha' bin Yasaar, dari Abu Sa'iid Al-Khudriy secara marfu’ : “…… Sehingga ketika orang-orang mu'min terbebas dari neraka, maka demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidaklah salah seorang dari kalian yang begitu gigih memohon kepada Allah di dalam menuntut al-haq pada hari kiamat untuk saudara-saudaranya yang berada di dalam neraka. Mereka berseru : ‘Wahai Rabb kami, mereka selalu berpuasa bersama kami, shalat bersama kami, dan berhaji bersama kami.” Maka dikatakan kepada mereka; “Keluarkanlah orang-orang yang kalian ketahui.” Maka bentuk-bentuk mereka hitam kelam karena terpanggang api neraka, kemudian mereka mengeluarkan begitu banyak orang yang telah dimakan neraka sampai pada pertengahan betisnya dan sampai kedua lututnya. Kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, tidak tersisa lagi seseorang pun yang telah engkau perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah berfirman : ‘Kembalilah kalian, maka barangsiapa yang kalian temukan di dalam hatinya kebaikan seberat dinar, maka keluarkanlah dia’. Mereka pun mengeluarkan jumlah yang begitu banyak, kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, kami tidak meninggalkan di dalamnya seorangpun yang telah Engkau perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah berfirman : ‘Kembalilah kalian, maka barangsiapa yang kalian temukan didalam hatinya kebaikan seberat setengah dinar, maka keluarkanlah dia’. Maka mereka pun mengeluarkan jumlah yang banyak. Kemudian mereka berkata lagi : ‘Wahai Rabb kami, kami tidak menyisakan di dalamnya seorang pun yang telah Engkau perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah berfirman : ‘Kembalilah kalian, maka siapa saja yang kalian temukan di dalam hatinya kebaikan seberat biji jagung, keluarkanlah’. Maka merekapun kembali mengeluarkan jumlah yang begitu banyak. Kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, kami tidak menyisakan di dalamnya kebaikan sama sekali”. Abu Sa'iid Al-Khudriy berkata : "Jika kalian tidak mempercayai hadits ini silahkan kalian baca ayat : ‘Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar’ (QS. An-Nisaa’ : 40). Allah lalu berfirman : ‘Para Malaikat, Nabi, dan orang-orang yang beriman telah memberi syafa’at. Sekarang yang belum memberikan syafa’at adalah Dzat Yang Maha Pengasih’. Kemudian Allah menggenggam satu genggaman dari dalam neraka. Dari dalam tersebut Allah mengeluarkan suatu kaum yang sama sekali tidak pernah melakukan kebaikan, dan mereka pun sudah berbentuk seperti arang hitam. Allah kemudian melemparkan mereka ke dalam sungai di depan surga yang disebut dengan sungai kehidupan. Mereka kemudian keluar dari dalam sungai layaknya biji yang tumbuh di aliran sungai, tidakkah kalian lihat ia tumbuh (merambat) di bebatuan atau pepohonan mengejar (sinar) matahari. Kemudian mereka (yang tumbuh layaknya biji) ada yang berwarna kekuningan dan kehijauan, sementara yang berada di bawah bayangan akan berwarna putih". Para sahabat kemudian bertanya : "Seakan-akan engkau sedang menggembala di daerah orang-orang badui ?”. Beliau melanjutkan : "Mereka kemudian keluar seperti mutiara, sementara di lutut-lutut mereka terdapat cincin yang bisa diketahui oleh penduduk surga. Dan mereka adalah orang-orang yang Allah merdekakan dan Allah masukkan ke dalam surga tanpa amalan yang pernah mereka amalkan dan kebaikan yang mereka lakukan. Allah kemudian berfirman : ‘Masuklah kalian ke dalam surga. Apa yang kalian lihat maka itu akan kalian miliki’. Mereka pun menjawab : ‘Wahai Rabb kami, sungguh Engkau telah memberikan kepada kami sesuatu yang belum pernah Engkau berikan kepada seorang pun dari penduduk bumi’. Allah kemudian berfirman : ‘(Bahkan) apa yang telah Kami siapkan untuk kalian lebih baik dari ini semua’. Mereka kembali berkata : ‘Wahai Rabb, apa yang lebih baik dari ini semua!’. Allah menjawab : "Ridla-Ku, selamanya Aku tidak akan pernah murka kepada kalian” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 302].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
أنّ اللهَ تعَالى يخرِجُ مِن النّارِ مَن لَم يعمَل خَيراً قَط ، بِمَحضِ رحمَتهِ ، وهذَا انتِفَاعٌ بِغَيرِ عمَلِهِم
“Bahwasannya Allah ta’ala mengeluarkan dari neraka orang yang tidak pernah beramal kebaikan sedikitpun, dengan kemurnian rahmat-Nya. Dan ini bermanfaat tanpa adanya amal mereka” [Jaami’ur-RasaailAl-Majmuu’atul-Khaamishah - , hal. 203. Lihat pula yang semisalnya dalam Majmuu’ Al-Fataawaa, 16/47].
Al-Haafidh Ibnu Rajab rahimahullah berkata :
والمرادُ بقولِه «لُم يعملُوا خَيراً قَط» مِن أعمالِ الجَوارِح ، وإن كانَ أصلُ التَّوحِيد معَهُم ، ولِهذَا جاءَ في حديثِ الّذِي أمرَ أهلَه أن يحرِقوُه بعدَ موتِه بالنّارِ إنه «لم يعَمَل خَيراً قَط غيرَ التَّوحِيد»
“Dan yang dimaksudkan dengan sabda beliau : ‘tidak beramal kebaikan sedikitpun’, yaitu dari amal-amal jawaarih (anggota badan), apabila ashlut-tauhiid (pokok tauhid) ada pada mereka. Oleh karena itu ada pada hadits yang mengkisahkan seseorang yang memerintahkan keluarganya agar membakarnya dengan api setelah kematiannya, bahwasannya ia tidak beramal kebaikan sedikit pun selain tauhiid” [At-Takhwiif minan-Naar, 1/259].
Al-Qurthubiy rahimahullah berkata :
قالَ : «ثمّ هُوَ سُبحانَه بعدَ ذلِكَ يقبِضُ قَبضةً فَيُخرِجُ قوماًلمَ يعمَلُوا خَيراً قَط ، يُرِيدُ إلاّ التّوحيدَ المجرّدَ عَن الأعمَالِ
“Beliau shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Kemudian setelah itu Allah menggenggam satu genggaman, lalu Allah mengeluarkan satu kaum yang belum pernah melakukan kebaikan sedikitpun’. Maksudnya : Kecuali tauhid yang kosong dari amal (jawaarih)” [Fathul-Majiid, hal. 48, tahqiq : Muhammad Haamid Al-Faqiy; Mathba’ah As-Sunnah Al-Muhammadiyyah, Cet. 7/1377].
Al-Haafidh Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :
فيخرجون أولا من كان في قلبه مثقال دينار من إيمان، ثم الذي يليه، ثم الذي يليه، [ثم الذي يليه] حتى يخرجوا من كان في قلبه أدنى أدنى أدنى مثقال ذرة من إيمان ثم يخرج الله من النار من قال يومًا من الدهر: "لا إله إلا الله" وإن لم يعمل خيرًا قط، ولا يبقى في النار إلا من وجب عليه الخلود، كما وردت بذلك الأحاديث الصحيحة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم؛ ولهذا قال تعالى: { ثُمَّ نُنَجِّي الَّذِينَ اتَّقَوْا وَنَذَرُ الظَّالِمِينَ فِيهَا جِثِيًّا }
“Lalu akan keluar pertama kali (dari neraka) orang-orang yang dalam hatinya terdapat keimanan seberat dinar, kemudian orang setelahnya, kemudian orang setelahnya. Hingga keluar dari dari mereka orang yang dalam hatinya terdapat keimanan seberat dzarrah. Kemudian Allah mengeluarkan dari neraka orang yang pernah mengucapkan Laa ilaaha illallaah ketika masa hidupnya, meskipun belum pernah beramal kebaikan sedikitpun. Dan tidaklah tersisa di neraka kecuali orang yang memang diwajibkan kekal di dalamnya, sebagaimana terdapat dalam hadits shahih dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu Allah ta’ala berfirman : ‘Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang lalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut’ (QS. Maryam : 72)” [Tafsiir Ibni Katsiir, 5/256-257].
Asy-Syaikh Muhammad Khaliil Harraas rahimahullah berkata ketika mengomentari perkataan Ibnu Khuzaimah dalam kitab At-Tauhiid :
لا، بل ظاهرها : أنهم لم يعملوا خيرا قط كما صرح به في بعض الروايات أنهم جاءوا بإيمان مجرد لم يضموا إليه شيئا من العمل
“Tidak, bahkan maknanya sebagaimana dhahirnya : Bahwasannya mereka tidak pernah beramal kebaikan sedikitpun sebagaimana dijelaskan dalam sebagian riwayat bahwasannya mereka datang dengan iman saja, tanpa menyertakan padanya amal sedikitpun” [Tahqiq Kitaab At-Tauhiid li-Ibni Khuzaimah, hal. 309].
Dan yang lainnya dari perkataan ulama.[11]
حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ جَرِيرِ بْنِ حَازِمٍ، ثنا عِيسَى بْنُ عَاصِمٍ، حَدَّثَنِي عَدِيُّ بْنُ عَدِيٍّ، قَالَ: كَتَبَ إِلَيَّ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ: " أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ الإِيمَانَ فَرَائِضُ، وَشَرَائِعُ، وَحُدُودٌ، وَسُنَنٌ، فَمَنِ اسْتَكْمَلَهَا اسْتَكْمَلَ الإِيمَانَ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَكْمِلْهَا لَمْ يَسْتَكْمِلِ الإِيمَانَ......"
Telah menceritakan kepada kami Abu Usaamah[12], dari Jariir bin Haazim[13] : Telah menceritakan kepada kami ‘Iisaa bin ‘Aashim[14] : Telah menceritakan kepadaku ‘Adiy bin ‘Adiy[15], ia berkata : “’Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz pernah menulis surat kepadaku : ‘Amma ba’du, sesungguhnya iman itu berupa perkara-perkara yang diwajibkan, syari’at-syari’at, huduud, dan sunnah-sunnah. Barangsiapa yang menyempurnakannya, maka sempurna imannya. Dan barangsiapa yang tidak menyempurnakannya, maka tidaklah sempurna imannya......” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Iimaan no. 135; shahih].
Sisi pendalilan dari atsar ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz rahimahullah ini : Kewajiban dan syari’at-syari’at Islam dimasukkan olehnya (‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz) sebagai penyempurna iman yang barangsiapa meninggalkannya, maka imannya tidak sempurna, lagi tidak dikafirkan.[16]
Satu catatan penting :
Mafhum perkataan Al-Baihaqiy di atas, bahwa ada sebagian ulama yang tidak berpendapat sebagaimana dijelaskan. Memang benar, ini tidak terlepas dari bahasan kafir tidaknya orang yang meninggalkan amal yang menjadi bagian dari rukun Islam yang empat. Para ulama berselisih pendapat tentangnya, sebagaimana dikatakan Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :
وقد اتفق المسلمون على أنه من لم يأت بالشهادتين فهو كافر، وأما الأعمال الأربعة فاختلفوا في تكفير تاركها،
“Dan kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang tidak mengucapkan dua kalimat syahadat, maka ia kafir. Adapun amal-amal yang empat, para ulama berselisih pendapat akan pengkafiran yang meninggalkannya......” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/302].
Kemudian beliau menyebutkan pendapat-pendapat tersebut, yang diantaranya beliau berkata :
وخامسة‏:‏ لا يكفر بترك شيء منهن، وهذه أقوال معروفة للسلف‏
“Pendapat kelima, beliau (Ahmad bin Hanbal) tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan sesuatu dari keempat hal tersebut. Inilah pendapat-pendapat yang dikenal oleh salaf” [selesai].
Misalnya tentang permasalahan shalat, Abu Ismaa’iil Ash-Shaabuniy rahimahullah (373-449 H) berkata :
واختلف أهل الحديث في ترك المسلم صلاة الفرض متعمداً ؛ فكفره بذلك أحمد بن حنبل ، وجماعة من علماء السلف رحمهم الله أجمعين ، وأخرجوه به من الإسلام، للخبر الصحيح المروي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : (بين العبد والشرك ترك الصلاة ، فمن ترك الصلاة فقد كفر).
   وذهب الشافعي ، وأصحابه، وجماعة من علماء السلف- رحمة الله عليهم أجمعين – إلى أنه لا يكفر به – ما دام معتقداً لوجوبها – وإنما يتوجب القتل كما يستوجبه المرتد عن الإسلام . وتأولوا الخبر : من ترك الصلاة جاحداً لها ؛ كما أخبر سبحانه عن يوسف عليه السلام أنه قال: (إني تركت ملة قوم لا يؤمنون بالله وهم بالآخرة هم كافرون) ، ولم يك تلبس بكفر ففارقه ؛ ولكن تركه جاحداً له.
Ahlul-hadiits berselisih pendapat tentang keadaan seorang muslim yang meninggalkan shalat fardlu secara sengaja. Ahmad bin Hanbal dan sekelompok ulama salaf – semoga Allah merahmati mereka semua – telah mengkafirkannya serta mengeluarkannya dari agama Islam. Hal itu berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Batas antara seorang hamba dengan kesyirikan adalah meninggalkan shalat. Barangsiapa yang meninggalkan shalat, maka ia telah kafir’.
Adapun Asy-Syaafi’iy dan shahabat-shahabatnya, serta sekelompok ulama salaf – semoga Allah merahmati mereka semua – berpendapat bahwa orang tersebut tidak dikafirkan dengannya, selama ia meyakini tentang kewajibannya. Hanya saja, ia wajib dibunuh (sebagai hadd) seperti halnya wajib dibunuhnya orang yang murtad dari Islam. Mereka menakwilkan hadits di atas dengan : ‘orang yang meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya’. Hal itu sebagaimana firman Allahsubhaanahu  tentang Yuusuf ‘alaihis-salaam : ‘Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedang mereka ingkar kepada hari kemudian’ (QS. Yuusuf : 37). Yuusuf meninggalkan agama mereka bukan karena kekufuran yang samar, akan tetapi karena keingkaran mereka terhadap Allah dari hari kiamat” [‘Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabul-Hadiits, hal. 84].
Maka, barangsiapa yang menghukumi/menganggap satu atau lebih amalan jawaarih dari rukun Islam yang empat yang bila ditinggalkan menyebabkan kekafiran (akbar), maka baginya amal tersebut bagian dari ashlul-imaan. Tidak sah keimanan seseorang kecuali dengannya.
Oleh karena itu tampak dari penjelasan di atas bahwa perselisihan apakah (sebagian) amal jawaarih masuk bagian dari ashlul-iimaan atau tidak, merupakan perselisihan di kalangan Ahlus-Sunnah. Bukan perselisihan antara Ahlus-Sunnah dengan Murji’ah – sebagaimana klaim sebagian orang.[17]
Jika amal tidak masuk bagian dari ashlul-iimaan oleh jumhur ulama, lantas apa bedanya dengan Murji’ah ?.
Murji’ah menyelisihi Ahlus-Sunnah karena mereka mengeluarkan amal dari hakekat iman. Dan dengan sebab itu mereka dinamakan Murji’ah karena mengakhirkan amal dari iman.
Murji’ah ada tiga kelompok, sebagaimana dijelaskan para ulama, yaitu :
1.     Murji’ah Jahmiyyah, yaitu mereka yang menyatakan bahwa iman hanyalah sekedar ma’rifat dengan hati saja, dan mereka menyangka kekufuran kepada Allah adalah kejahilan (ketidaktahuan).
2.     Murji’ah Karraamiyyah, yaitu mereka yang mengatakan bahwa iman hanyalah sekedar perkataan lisan saja, tanpa adanya pembenaran (tahsdiiq) dalam hati.
3.     Murji’ah Fuqahaa’, yaitu mereka yang mengatakan bahwa iman adalah pembenaran (tahsdiiq) hati dan ucapan lisan.
Ketiga kelompok Murji’ah itu sepakat bahwasannya iman itu adalah sesuatu yang satu yang tidak bertingkat-tingkat, dan tidak menerima adanya penambahan ataupun pengurangan. Mereka juga menolak adanya istitsnaa’ dalam iman, karena menurut mereka, hal itu merupakan keraguan dalam iman [Tabri'atu Al-Imaam Al-Muhaddits min Qaulil-Murji’ah Al-Muhdats oleh Ibraahiim Ar-Ruhailiy, hal. 6].[18]
Perkataan mereka jauh sekali dari kebenaran, karena iman itu bertingkat-tingkat sebagaimana dijelaskan dalam hadits cabang-cabang iman di atas. Begitu pula iman dapat bertambah maupun berkurang, inilah madzhab Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Berikut beberapa riwayat dari salaf mengenai hal itu :
أَخْبَرَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ الثَّقَفِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ سَهْلِ بْنِ عَسْكَرٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، قَالَ: سَمِعْتُ مَالِكًا، وَالأَوْزَاعِيَّ، وَابْنَ جُرَيْجٍ، وَالثَّوْرِيَّ، وَمَعْمَرًا يَقُولُونَ: " الإِيمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ، يَزِيدُ وَيَنْقُصُ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin Ishaaq Ats-Tsaqafiy[19], ia berkata : Aku mendengar Muhammad bin Sahl bin ‘Askar[20] : Telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaaq[21], ia berkata : Aku mendengar Maalik[22], Al-Auza’iy[23], Ibnu Juraij[24], Ats-Tsauriy[25], dan Ma’mar[26] berkata : “Iman adalah perkataan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang” [Diriwayatkan oleh Abu Ahmad Al-Haakim dalam Syi’aar Ashhaabil-Hadiits no. 7; shahih].
أَخْبَرَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ مُحَمَّدٍ الدُّورِيُّ، قَالَ: قَالَ يَحْيَى: " الإِيمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ، يَزِيدُ وَيَنْقُصُ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Al-‘Abbaas bin Muhammad Ad-Duuriy[27], ia berkata : Telah berkata Yahyaa (bin Ma’iin)[28] : “Iman itu perkataan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah, no. 1010; shahih].
ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَحْمَدُ بْنُ شَبُّوَيْهِ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ: سَمِعْتُ عَلِيَّ بْنَ الْحَسَنِ بْنِ شَقِيقٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الْمُبَارَكِ، يَقُولُ: " الإِيمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ، يَزِيدُ وَيَنْقُصُ ". وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: " إِنَّا لَنَحْكِي كَلامَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى، وَلا نَسْتَطِيعُ أَنْ نَحْكِيَ كَلامَ الْجَهْمِيَّةِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal[29], ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Syabbuwaih Abu ‘Abdirrahmaan, ia berkata : Aku mendengar ‘Aliy bin Al-Hasan bin Syaqiiq[30] berkata : Aku mendengar ‘Abdullah bin Al-Mubaarak[31] berkata : “Iman adalah perkataan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang”. Perawi berkata : Dan aku mendengarnya berkata : “Sesungguhnya kami menceritakan/menukil perkataan orang Yahudi dan Nashrani, namun kami tidak bisa menceritakan/menukil perkataan Jahmiyyah” [Diriwayatkan oleh An-Najjaad dalam Ar-Radd ‘alaa Man Yaquulu Al-Qur’aan Makhluuq no. 71; shahih].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي السَّرِيِّ الْعَسْقَلانِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ أَبِي الزَّرْقَاءِ، عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ، قَالَ: " خِلَافُ مَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْمُرْجِئَةِ ثَلَاثٌ: نَقُولُ: الإِيمَانَ قَوْلٌ وَعَمَلٌ، وَهُمْ يَقُولُونَ: الْإِيمَانُ قَوْلٌ وَلَا عَمَلَ. وَنَقُولُ: الْإِيمَانُ يَزِيدُ وَيَنْقُصُ، وَهُمْ يَقُولُونَ: لَا يَزِيدُ وَلَا يَنْقُصُ. وَنَحْنُ نَقُولُ: النِّفَاقُ، وَهُمْ يَقُولُونَ: لَا نِفَاقَ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abis-Sariy Al-‘Asqalaaniy[32], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Abiz-Zarqaa’[33], dari Sufyaan Ats-Tsauriy, ia berkata : “Khilaf yang terjadi antara kami (Ahlus-Sunnah) dengan Murji’ah ada tiga. (1) Kami berkata : iman itu perkataan dan perbuatan; sedangkan mereka berkata : iman itu perkataan saja, tanpa perbuatan. (2) Kami berkata : iman dapat bertambah dan berkurang; sedangkan mereka berkata : iman itu tidak bisa bertambah dan berkurang. (3) Kami berkata : (Dapat terjadi) kemunafikan; sedangkan mereka berkata : tidak ada kemunafikan” [Diriwayatkan oleh Al-Firyaabiy dalam Shifatun-Nifaaq wa Dzammul-Munaafiqiin, no. 99; hasan].
Dan yang lainnya.
Jadi perbedaannya adalah jelas, karena mereka (Murji’ah) tidak memasukkan amal dalam iman serta tidak mengakui bahwa iman bisa bertambah dan berkurang. Adapun jumhur ulama yang tidak memasukkannya dalam ashlul-iimaan, maka mereka tetap memasukkan amal sebagai bagian dari iman dan memasukkannya dalam maraatib kedua, yaitu al-iimaanul-waajib. Tetap mengakui bahwa iman itu bisa bertambah dengan ketaatan, dan berkurang dengan kemaksiatan. Orang yang telah mengatakan hal ini, tidak bisa disebut memiliki pemahaman Murji’ah[34].
Telah berkata Al-Imam Al-Barbahaariy rahimahullah :
ومن قال : (الإيمان قول وعمل، يزيد وينقص)، فقد خرج من الإرجاء كلِّه، أوَّله وآخره.
“Barangsiapa yang mengatakan : ‘iman itu adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah maupun berkurang’ ; sungguh ia telah keluar dari (bid’ah) irjaa’secara keseluruhan, dari awal hingga akhirnya” [Syarhus-Sunnah, hal. 123, 161].
Pendek kata, tidak dimasukkannya amal dhaahir atau amal jawaarih dalam ashlul-iimaan tidak berkonsekuensi mengeluarkan amal dari iman. Lebih-lebih mengkonsekuensikan berpemahaman irja’.
Tulisan ini saya tutup dengan penjelasan Ibnu Taimiyyah rahimahullah :
وقيل‏:‏ بل الأعمال في الأصل ليست من الإيمان، فإن أصل الإيمان هو ما في القلب، ولكن هي لازمة له، فمن لم يفعلها كان إيمانه منتفياً؛ لأن انتفاء اللازم يقتضي انتفاء الملزوم لكن صارت بعرف الشارع داخلة في اسم الإيمان إذا أطلق، كما تقدم في كلام النبي صلى الله عليه وسلم، فإذا عطفت عليه ذكرت، لئلا يظن الظان أن مجرد إيمانه بدون الأعمال الصالحة اللازمة للإيمان يوجب الوعد، فكان ذكرها تخصيصاً وتنصيصاً ليعلم أن الثواب الموعود به في الآخرة وهو الجنة بلا عذاب لا يكون إلا لمن آمن وعمل صالحاً، لا يكون لمن ادعى الإيمان ولم يعمل، وقد بين سبحانه في غير موضع أن الصادق في قوله‏:‏ آمنت، لابد أن يقوم بالواجب، وحصر الإيمان في هؤلاء يدل على انتفائه عمن سواهم‏.‏.......
ظنهم أن الإيمان الذي في القلب يكون تاماً بدون شيء من الأعمال؛ ولهذا يجعلون الأعمال ثمرة الإيمان ومقتضاه، بمنزلة السبب مع المسبب ولا يجعلونها لازمة له‏.‏ والتحقيق أن إيمان القلب التام يستلزم العمل الظاهر بحسبه لا محالة، ويمتنع أن يقوم بالقلب إيمان تام بدون عمل ظاهر
“Dan dikatakan juga : Bahkan, amal-amal pada asalnya tidak termasuk iman, karena pokok iman (ashlul-iman) adalah di dalam hati. Akan tetapi kemudian amal-amal tersebut menjadi satu keharusan bagi iman. Barangsiapa yang tidak melakukannya (amal), maka imannya dinafikkan (dianggap tidak ada), karena ketiadaan yang mengharuskan merupakan ketiadaan yang diharuskan (malzuum). Bahkan menurut redaksi Syaari’ (yaitu Allah ta’ala), yang masuk dalam nama iman adalah bila dimutlakkan, sebagaimana yang telah disebutkan dalam sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.[35] Apabila amal-amal disandarkan kepada iman, maka maksudnya adalah agar tidak ada yang beranggapan bahwasannya hanya dengan keberadaan imannya saja tanpa amal shaalih yang merupakan konsekuensi dari iman, sudah cukup untuk mendapatkan janji (surga). Penyebutan amal-amal shaalih itu merupakan pengkhususan terhadap nash-nash-nash yang telah ada, agar diketahui bahwa pahala yang dijanjikan di surga tanpa adzab, tidaklah dapat diraih kecuali mereka yang beriman dan beramal shaalih. Hal itu tidak akan terjadi bagi orang yang beriman tanpa mengerjakan amal. Allah subhaanahu wa ta’aala telah telah menjelaskan dalam beberapa tempat, bahwa orang yang benar dalam perkataannya :‘aku telah beriman’ ; harus melaksanakan kewajiban-kewajiban. Pembatasan iman pada diri mereka menunjukkan penafikkan selain mereka..........
(Termasuk kekeliruan mereka, yaitu Murji’ah adalah) prasangka mereka bahwa iman di dalam hati akan menjadi sempurna tanpa adanya amal sedikitpun. Karena itu mereka menjadikan amal-amal sebagai buah dari iman dan hasilnya, sama seperti kedudukan sebab dan akibat. Mereka tidak menjadikan amal sebagai satu keharusan bagi iman. Padahal, iman yang sempurna di dalam hati mewajibkan amal dhaahir menurut kadarnya. Sudah pasti itu. Tidak mungkin ada iman yang sempurna di dalam hati tanpa adanya amal dhaahir….. [Al-Iimaan oleh Ibnu Taimiyyah, hal. 160-161 & 162].
Semoga tulisan ini ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – perum ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor].
Saya banyak mengambil faedah dari kitab : Burhaanul-Bayaan bi-Tahqiiqi Annal-‘Amal minal Iimaan oleh Abu Shuhaib Al-Minsyaawiy & Abu Haani’ Asy-Syatharaat; Tabri'atu Al-Imaam Al-Muhaddits oleh Ibraahiim Ar-Ruhailiy, dan Syarh Alfaadhas-Salaf wa Naqdu Alfaadhil-Khalaf fii Masaailil-Iimaan oleh Ahmad Az-Zahraaniy. Dan ditambah dari sumber yang lain.


[1]      Perlu dibedakan antara istilah muthlaqul-iimaan (مطلق الإيمان) dan al-iimaanul-muthlaq (الإيمان المطلق). Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan bahwa al-iimaanul-muthlaq meliputi semua perbuatan yang diperintahkan Allah kepada hamba-Nya, dan meninggalkan semua perkara yang diharamkan [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/446]. Hal yang mirip dikatakan oleh Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafiy rahimahullah dalam Syarh Al-‘Aqiidah Ath-Thahawiyyah hal. 490.
Asy-Syaikh As-Sa’diy rahimahullah berkata :
فالإيمان المطلق يدخل فيه جميع الدين ، ظاهره وباطنه ، أصوله وفروعه ، ويدخل فيه العقائد التي يجب اعتقادها في كل ما احتوت عليه من هذا الكتاب ، ويدخل أعمال القلوب كالحب لله ورسوله
“Adapun al-iimaanul-muthlaq (iman mutlak), masuk padanya seluruh perkara agama, baik yang dhaahir maupun baathin, yang ushul (pokok) maupun yang furuu’ (cabang). Dan masuk pula padanya keyakinan-keyakinan yang wajib diyakini dari setiap yang terkandung dari kitab ini. Dan masuk pula amal-amal hati, seperti kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya” [At-Tanbiihaat Al-Lathiifah, hal. 90].
Faedah Penting !!
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullah berkata :
والفرق بين الشيء المطلق ومطلق الشيء: أن الشيء المطلق يعني الكمال، ومطلق الشيء؛ يعني : أصل الشيء
فالمؤمن الفاعل للكبيرة عنده مطلق الإيمان؛ فأصل الإيمان موجود عنده، لكن كماله مفقود
“Dan perbedaan antara sesuatu yang mutlak (asy-syai’ul-muthlaq) dengan kemutlakan sesuatu (muthlaqusy-syai’) : Bahwasannya sesuatu yang mutlak yaitu kesempurnaan (sesuatu). Dan kemutlakan sesuatu yaitu pokok dari sesuatu (ashlusy-syai’). Maka, seorang mukmin yang melakukan dosa besar, padanya terdapat muthlaqul-iimaan. Pokok iman (ashlul-iimaan) ada padanya, akan tetapi kesempurnaannya menjadi hilang (tidak ada)” [Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waashithiyyah, 2/237-238].
[2]      Dalam kitab Ad-Durarus-Saniyyah (1/332-333) disebutkan :
هو وصف المسلم الذي معه أصل الإيمان والذي لا يتم إسلامه إلا به، بل لا يصح إلا به، فهذا أدنى مراتب الدين
“(Muthlaqul-iimaan) adalah pensifatan seorang muslim yang bersamanya ada pokok iman (ashlul-iimaan), dimana tidak sempurna keislamannya kecuali dengannya, bahkan tidak shahih/benar kecuali dengannya. Ini adalah tingkatan agama yang paling rendah” [selesai].
[3]      Sebagian muhaqqiq menisbatkan perkataan ini kepada muridnya, yaitu Al-Haafidh Ibnu ‘Abdil-Haadiy rahimahullah. Wallaahu a’lam.
[4]      Yaitu : kafir.
[5]      Shadaqah bin Al-Fadhl, Abul-Fadhl Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 223 H/226 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Shahiih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 452 no. 2934].
[6]      Al-Waliid bin Muslim Al-Qurasyiy Abul-‘Abbaas Ad-Dimasyqiy; seorang yang tsiqah, namun banyak melakukan tadlis taswiyyah. Termasuk thabaqah ke-8, lahir tahun 119 H, dan wafat tahun 194 H/195 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1041 no. 7506].
[7]      ‘Abdurrahmaan bin ‘Amru bin Abi ‘Amru Asy-Syaamiy Ad-Dimasyqiy, Abu ‘Amru Al-Auzaa’iy; seorang yang tsiqah, jaliil, lagi faqiih. Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 157 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 593 no. 3992].
[8]      ‘Umair bin Haani’ Al-‘Ansiy, Abul-Waliid Ad-Dimasyqiy Ad-Daaraaniy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-4, dan wafat tahun 127 H atau sebelum itu. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 754 no. 5224].
[9]      Junaadah bin Abi Umayyah Kabiir Al-Azdiy Az-Zahraaniy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-1, diperselisihkan ulama tentang status kebershahabatannya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 203 no. 980].
[10]     Perhatikan point penting ini !. Telah disebutkan sebelumnya bahwa ashlul-iimaan tidak lah menerima pengurangan. Dan di sini, Al-Imaam Ahmad rahimahullah menjelaskan bahwa berkurangnya iman adalah dengan meninggalkan amal. Dan beliau mencontohkan amal-amal tersebut adalah shalat, haji, dan berbagai kewajiban yang lainnya.
[11]     Ada sebagian kalangan yang mengatakan bahwa orang yang dikeluarkan dari neraka tanpa beramal kebaikan sedikit pun kecuali tauhid, adalah orang-orang di akhir jaman yang diberikan ‘udzur karena ketidaktahuan mereka akan syari’at shalat, zakat, puasa, dan yang lainnya.
Perkataan-perkataan di atas adalah perkataan musykil dipahami. Bagaimana bisa seseorang yang tidak tahu akan syari’at, bersamaan ketauhidan melekat dalam hatinya, menduduki tingkat terjelek dengan dikeluarkan paling akhir dari neraka ?. Bukankah hukum asal orang yang diberi ‘udzur semacam itu adalah dimaafkan ?.
[12]     Hammaad bin Usaamah bin Zaid Al-Qurasyiy Abu Usaamah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, kadang melakukan tadlis. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 201 H dalam usia 80 tahun. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud,  At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 267 no. 1495]. Ibnu Hajar memasukkannya dalam tingkatan kedua mudallisiin, sehingga ‘an’anah yang dibawakannya tidak memudlaratkannya.
[13]     Jariir bin Haazim bin Zaid bin ‘Abdillah Al-Azdiy Al-‘Atakiy, Abun-Nadlr Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-6, wafat tahun 170 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 196 no. 919 dan Tahriir At-Taqriib 1/212 no. 911].
[14]     ‘Iisaa bin ‘Aashim Al-Asadiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-6. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 768 no. 5337].
[15]     ‘Adiy bin ‘Adiy bin ‘Amiirah Al-Kindiy, Abul-Farwah Al-Jazriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-4, dan wafat tahun 120 H. Dipakai oleh Abu Daawud, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 672 no. 4575].
[16]     Asy-Syaikh Haafidh bin Ahmad Al-Hakamiy rahimahullah berkata :
و الفرق بين هذا و بين قول السلف الصالح أنَّ السلف لم يجعلوا كل الأعمال شرطاً في الصحة، بل جعلوا كثيراً منها شرطاً في الكمال، كما قال عمر بن عبد العزيز فيها: من استمكلها استكمل الإيمان، و من لم يستمكلها لم يستكمل الإيمان. و المعتزلة جعلوها كلها شرطاً في الصحة و الله أعلم
“Dan perbedaan antara perkatan ini dengan perkataan as-salafush-shaalih bahwasannya salaf tidak menjadikan semua amal sebagai syarat keshahihan (iman). Bahkan mereka menjadikan kebanyakan amal sebagai syarat kesempurnaan (iman), sebagaimana dikatakan ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz padanya : ‘Barangsiapa yang menyempurnakannya, maka imannya sempurna. Dan barangsiapa yang tidak menyempurnakannya, maka imannya tidak sempurna’. Adapun Mu’tazilah telah menjadikan seluruh amal sebagai syarat keshahihan iman. Wallaahu a’lam” [Ma’aarijul-Qabuul, hal. 446].
[17]     Dan banyak orang yang membahas tingkatan-tingkatan iman – termasuk bahasan ashlul-iimaan – yang menghukumi orang yang tidak memasukkan amal jawaarih dalam ashlul-iimaan sebagai Murji’ !!. Rekan-rekan dapat membacanya di berbagai artikel di internet berbahasa Indonesia sebagaimana yang saya maksudkan.
[18]     Namun ada juga sebagian ulama yang menjelaskan bahwa perbedaan jumhur Ahlus-Sunnah dengan Murji’ah Fuqahaa dari Abu Haniifah dan ulama madzhabnya adalah perbedaan secara lafdhiy, sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyyah [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/181, 218, 297], Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafiy [Syarh Al-‘Aqiidah Ath-Thahawiyyah], Anwar Al-Kasymiiriy [Faidlul-Baariy Syarh Shahih Al-Bukhaariy, 1/53-54], Al-Albaaniy [Muqaddimah Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, hal. 58], dan yang lainnya.
Ada juga ulama lain yang memerincinya, bahwa khilaf antara Ahlus-Sunnah dan Murji’ah Fuqahaa’ itu ada yang lafdhiy dan haqiqiy, seperti Asy-Syaikh Ibnu Baaz, Asy-Syaikh Masyhuur Hasan Salmaan, dan yang lainnya.
[19]     Muhammad bin Ishaaq Ats-Tsaqafiy, ia adalah Abul-‘Abbaas As-Sarraaj; seorang yang haafidh, tsiqah, lagi mutqin. Lahir tahun 218 H, dan wafat pada usia 95/96/97 tahun [lihat : Zawaaid Rijaal Shahiih Ibni Hibbaan oleh Yahyaa bin ‘Abdillah Asy-Syahriy, hal. 1117-1124 no. 520, desertasi Univ. Ummul-Qurra’].
[20]     Muhammad bin Sahl bin ‘Askar At-Tamiimiy, Abu Bakr Al-Bukhaariy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-11, dan wafat tahun 251 H. Dipakai oleh Muslim, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 851 no. 5974].
[21]     Abdurrazzaaq bin Hammaam bin Naafi’ Al-Humairiy Al-Yamaaniy, Abu Bakr Ash-Shan’aaniy; seorang tsiqah, haafidh, penulis terkenal, namun kemudian mengalami kebutaan sehingga berubah hapalannya di akhir umurnya. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 126, dan wafat tahun 211 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 607 no. 4092].
[22]     Maalik bin Anas bin Maalik bin Abi ‘Aamir bin ‘Amru Al-Ashbahiy Al-Humairiy, Abu ‘Abdillah Al-Madaniy Al-Faqiih; imam Daarul-Hijrah, tsiqah, yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Termasuk thabaqah ke-7, lahir tahun 93 H, dan wafat tahun 179 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 913 no. 6465].
[23]     Telah lewat penyebutan keterangan tentangnya.
[24]     ‘Abdul-Malik bin ‘Abdil-‘Aziiz bin Juraij Al-Qurasyiy Al-Umawiy, Abul-Waliid atau Abu Khaalid Al-Makkiy - terkenal dengan nama Ibnu Juraij; seorang yang tsiqah, faqiih, lagi faadlil, akan tetapi banyak melakukan tadlis dan irsal. Termasuk thabaqah ke-6, wafat tahun 150 H, atau dikatakan setelahnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 624 no. 4221].
[25]     Sufyaan bin Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy, Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, haafidh, faqiih, ‘aabid, imam, lagi hujjah. Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 161 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 394 no. 2458].
[26]     Ma’mar bin Raasyid Al-Azdiy, Abu ‘Urwah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi faadlil. Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 154 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 961 no. 6857].
[27]     ‘Abbaas bin Muhammad bin Haatim bin Waaqid Ad-Duuriy, Abul-Fadl Al-Baghdaadiy; seorang yang tsiqah lagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-11, lahir tahun 185 H, dan wafat tahun 271 H. Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 488 no. 3206].
[28]     Yahyaa bin Ma’iin bin ‘Aun/Ghiyaats bin Ziyaad Al-Murriy Al-Ghathafaaniy, Abu Zakariyyaa Al-Baghdaadiy; seorang yang haafidh, tsiqah, masyhuur, dan imam dalam bidang al-jarh wat-ta’diil. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 158 H, dan wafat tahun 233 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1067 no. 7701].
[29]     ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilaal bin Asad Asy-Syaibaaniy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Baghdaadiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-12, dan wafat tahun 290 H. Dipakai oleh An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 490 no. 3222].
[30]     ‘Aliy bin Al-Hasan bin Syaqiiq bin Diinaar Al-‘Abdiy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah lagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 215 H atau sebelumnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 692 no. 4740].
[31]     ‘Abdullah bin Al-Mubaarak bin Waadlih Al-Handhaliy At-Tamiimiy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah, tsabat, faqiih, lagi ‘aalim. Termasuk thabaqah ke-8, lahir tahun 118 H, dan wafat tahun 181 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 540 no. 3595].
[32]     Muhammad bin Al-Mutawakkil bin ‘Abdirrahmaan bin Hassaan Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy, Abu ‘Abdillah Al-‘Asqalaaniy – terkenal dengan nama Ibnu Abis-Sariy; seorang yang shaduuq, ‘aarif, namun banyak mempunyai keraguan. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 238 H. Dipakai oleh Abu Daawud [Taqriibut-Tahdziib, hal. 892 no. 6303].
[33]     Zaid bin Abiz-Zarqaa’ Yaziid At-Tsa’labiy Al-Maushiliy, Abu Muhammad; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 194 H. Dipakai oleh Abu Daawud dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 353 no. 2150].
[34]     Sebagaimana tuduhan orang-orang belakangan yang mengklaim paling paham tentang Murji’ah, namun kenyataannya tidak memahaminya.
[35]     Misalnya hadits :
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ لَا وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ لَا وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ قَالُوا وَمَنْ ذَاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ جَارٌ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ قِيلَ وَمَا بَوَائِقُهُ قَالَ شَرُّهُ
Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin ‘Umar : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Abi Dzi’b, dari Sa’iid Al-Maqburiy, dari Abu Hurairah : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak – demi Allah – tidak beriman, tidak – demi Allah – tidak beriman, tidak – demi Allah – tidak beriman”. Para shahabat bertanya : “Siapakah ia wahai Rasulullah ?”. Beliau bersabda : “Orang yang tetangganya tidak merasa aman terhadap gangguannya”. Dikatakan : “Apa maksud gangguannya itu ?”. Beliau menjawab : “Kejelekannya”  [Diriwayatkan oleh Ahmad].
Di sini beliau memutlakkan nama iman kepada perbuatan tidak mengganggu kepada tetangga.

Comments

madrasahjihad mengatakan...

فالجمهور من أهل السنه وإن جعلوا العمل جزءا من الإيمان إلا أنهم لم يقولوا بتكفير المصدق بقلبه المقر بلسانه إن لم يعمل،

“Jumhur ulama Ahlus-Sunnah, meskipun mereka menjadikan amal merupakan bagian dari iman, namun mereka tidaklah mengatakan kekafiran orang yang membenarkan dengan hatinya lagi mengikrarkan dengan lisannya, "walaupun ia tidak beramal..."

وذهب الشافعي ، وأصحابه، وجماعة من علماء السلف- رحمة الله عليهم أجمعين – إلى أنه لا يكفر به – ما دام معتقداً لوجوبها –

Adapun Asy-Syaafi’iy dan shahabat-shahabatnya, serta sekelompok ulama salaf – semoga Allah merahmati mereka semua – berpendapat bahwa mereka "tidak dikafirkan atau tidak divonis kafir" dengannya, selama orang tersebut meyakini tentang kewajibannya.

iib mengatakan...

sepertinya ada yg perlu di koreksi pada kalimat : Adapun Asy-Syaafi’iy dan shahabat-shahabatnya, serta sekelompok ulama salaf – semoga Allah merahmati mereka semua – berpendapat bahwa mereka kafir dengannya, selama orang tersebut meyakini tentang kewajibannya. Hanya saja, ia wajib dibunuh (sebagai hadd) seperti halnya wajib dibunuhnya orang yang murtad dari Islam. Mereka menakwilkan hadits di atas dengan : ‘orang yang meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya’. Hal itu sebagaimana firman Allahsubhaanahu tentang Yuusuf ‘alaihis-salaam : ‘Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedang mereka ingkar kepada hari kemudian’ (QS. Yuusuf : 37). Yuusuf meninggalkan agama mereka bukan karena kekufuran yang samar, akan tetapi karena keingkaran mereka terhadap Allah dari hari kiamat” [‘Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabul-Hadiits, hal. 84].

mungkin itu kurang kata "tidak", sehingga menjadi "Adapun Asy-Syaafi’iy dan shahabat-shahabatnya, serta sekelompok ulama salaf – semoga Allah merahmati mereka semua – berpendapat bahwa mereka TIDAK kafir dengannya, selama orang tersebut meyakini tentang kewajibannya"

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Benar, kata antum. Kurang kata "TIDAK" dalam kalimat tersebut (asli : إلى أنه لا يكفر به).

Segera saya perbaiki, jazaakallaahu khairan.

Ridho Amrullah mengatakan...

[At-Ta'arruf bi-Manhajit-Tashawwuf, hal. 80].

Pak Ustadz mengambil ilmu dari tasawuf ? Dan Pak Ustadz mengambilnya secara bijak ?

Jazakallah khoiron

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Tidak. Itu hanya judul buku saja.

Anonim mengatakan...

Ana pindah sini bull..... menuruti saran nt...Dan ana ingin merubah gaya bukan sbg penjidal tapi sbg orang yang minta penjelasan pd nt (krn ada yg keberatan dipos sblm ini)....
nt bilang:
Bung, jika disebut bahasan iman, maka titik tekannya adalah at-tark (hukum meninggalkan amal). Adapun yang Anda maksud itu adalah bahasan kekufuran. Karena mencaci-maki Allah dan Rasul, membuang mushhaf ke tempat sampah, istihzaa'; bukanlah hal-hal yang dicintai dan diridlai oleh Allah, sehingga amal itu bukan merupakan cakupan iman, tapi cakupan kekufuran

sebagaimana kita tahu bhw lawan iman adalah kufur..trs bgmn nt bisa (ikut2an)mengatakan spt diatas?? bgmn bisa amal bisa menjadikan kufur nt akui keberadaanya ttp nt justru bilang tidak ada hubungannya dg ashlul iman...sdg kufur itu nt katakan sbg ketiadaan aslul iman...

Imam Bukhary menjelaskan bhw Ahlil Qiblah tidak dikafirkan dikarenakan dosa yang mereka lakukan kecuali syirik shg dlm kitab iman dlm shahihnya dia membuat bab (bab 22)"Maksiat ygmerupakan perkara jahiliyah yg tidak Kafir pelaku yang mengerjakannya kecuali dg syirik...

Muhammad bin abdul wahhab juga mengatakan hal yg senada...bhw...Madzhab Ahlussunnah tidaklah mengkafirkan seorang muslim kecuali dg perbuatan syiriknya......

Ini menunjukkan bhw amalan jawarih yang dihukumi syirik menjadikan kufur bagi pelakunya....beliau tdk menyebut juhud atau istihlal dlm perkara ini!!

Menurut nt bagaimana???

Bagaimana ttg perkataan ibnu taymiyah dlm shorimul maslul yang mengatkan bhw barang siapa yang berkata atau berbuat perbuatan kekafiran mk dia kafir krnya...

menurut ana nukilan ibnu taymiyah yg dibawakan itu menjelaskan ttg amalan qolbi pd ashlul iman ttp tdk bisa dipastikan bhw amal jawarih keluar dr ashlul iman... buktinya perkataan beliau pd kitab shorimul maslul...
jadi bisa nt jelaskan???

masalah kekafiran atau perbuatan yang bisa menjadikan kafir itu menurut nt yang bagaimana???

Kalau menurut ana perbuatan yang merupakan pelanggaran pd ashlul iman menjadikan kafir>>kalau nt (yang mengeluarkan perbuatan dr ashlul iman kafir itu yg bagaimana)

catatan kecil dr note sebelumnya....
iman dan kufur yang disebutkan halaby cs nt samakan dg iman dan amal sholeh pd qur'an...ana mau tanya pd nt yang ahli bhs arab!!!

samakah arti perkataan halaby cs dg firman allah dlm bhs indonesianya???

Iman dan Amal....kata halaby
amanu wa amilussholihat..kata qur'an???

jawab ya bull???

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Makanya sudah saya bilang dari kemarin-kemarin bahwa Anda ini sebenarnya gak paham, tapi banyak omongnya.

Lihat bahasan tahqiq-nya. Ini bahasan iman bung !! Anda tahu kan definisi iman ?. Itu di atas sudah saya sebutkan definisi dari Ibnu Taimiyyah. Jadi iman itu segala hal yang dicintai dan diridlai. Nah, ketika para ulama membahas tingkatan-tingkatan iman, khususnya ashlul-imaan; maka di situ dibahas (tolong underline yang ini dipikran Anda) :

"Hal apa saja yang dikerjakan oleh seorang muslim sehingga ashlul-iman masuk dalam dirinya, dan menyebabkannya masuk dalam wilayah Islam".

Perhatikan benar-benar kalimat di atas !!.

Tentu saja, jika hal-hal yang masuk dalam ashlul-iman ditinggalkan, menyebabkan dirinya kafir.

Nah,... di situ jumhur ulama mengatakan ashlul-iman itu adalah iqraar, tashdiiq, dan yang lainnya sebagaimana telah saya kutip di atas. Mereka (jumhur) ulama tidak memasukkan amal jawaarih dalam ashlul-iman.

Beda halnya dengan sebagian ulama yang memasukkan sebagian amal jawaarih (misal : shalat, puasa, atau yang lainnya) dalam cakupan ashlul-iman, yang jika ditinggalkan menyebabkan kekafiran.

Nah, di sini perkaranya adalah jelas, sejelas cahaya matahri di siang hari, kecuali bagi matanya yang rabun (seperti Anda - dan semoga setelah ini tidak).

Nah,... bagaimana dengan perkataan para ulama yang mengatakan bahwa kekafiran itu bisa jatuh melalui perkataan dan perbuatan ?.

Maka kedudukan permasalahannya adalah :

1. Jika yang dimaksudkan adalah bahwa hukum at-tark (meninggalkan sesuatu), maka sesuatu yang ditinggalkan yang menyebabkan kekafiran hanyalah sesuatu yang merupakan bagian dari ashlul-iman. Dan itu telah saya sebutkan di atas (termasuk perbedaan ulama tentangnya).

2. Jika yang dimaksudkan adalah mengerjakan sesuatu, maka itu masuk bahasan dalam ashlul-kufur. Ibnu Taimiyyah berkata :

و‏[‏الإيمان‏]‏‏:‏ اسم جامع لكل ما يحبه الله ويرضاه‏.‏ و‏[‏الكفر‏]‏‏:‏ اسم جامع لكل ما يبغضه الله وينهى عنه، وإن كان لا يكفر العبد إذا كان معه أصل الإيمان وبعض فروع الكفر من المعاصى، كما لا يكون مؤمنًا إذا كان معه أصل الكفر وبعض فروع الإيمان ـ

“Iman adalah satu nama yang mencakup semua hal yang dicintai dan diridlai oleh Allah. Dan kufur adalah satu nama yang mencakup semua hal yang dimurkai dan dilarang oleh Allah. Dan seandainya seorang hamba tidak dikafirkan apabila ada padanya ashlul-iimaan dan sebagian cabang-cabang kekafiran dari perbuatan maksiat; maka hal itu sebagaimana tidak menjadi orang beriman apabila ada padanya ashlul-kufr (pokok kekafiran) dan sebagian cabang-cabang keimanan....” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 15/283].

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Pahami benar-benar perkataan Syaikhul-Islaam di atas sehingga Anda bisa membedakannya.

Sehingga, barangsiapa melakukan hal-hal yang masuk dalam ashlul-kufr, maka kafirlah ia meskipun padanya terdapat cabang-cabang keimanan. Maka ashlul-kufur itu diantaranya meliputi amal-amal jawarih yang dilakukan yang menyebabkan kekafiran. Misalnya : Sihir, sujud kepada berhala, dan yang lainnya.

Oleh karena itu, pemahaman Anda yang gado-gado - yang entah berasal dari mana - telah menggabungkan bahasan antara ashlul-iman dan ashlul-kufur.

Tentu saja tidak tepat, jika Anda mengklaim bahwa jika tidak memasukkan amal jawaarih dalam ashlul-iman, maka konsekuensinya kekufuran tidak dapat jatuh pada amal-jawaarih. Ini keliru berat bung !! Ingat kuncinya : definisi iman dan kufur. Dan ingat, ini bahasannya adalah ashlul-iman !!

Perkataan lucu Anda :

"catatan kecil dr note sebelumnya....
iman dan kufur yang disebutkan halaby cs nt samakan dg iman dan amal sholeh pd qur'an...ana mau tanya pd nt yang ahli bhs arab!!!

samakah arti perkataan halaby cs dg firman allah dlm bhs indonesianya??? "
[selesai kutipan].

Inilah namanya orang yang sering amnesia terhadap tulisannya sendiri. Bukankah Anda sebelumnya mengatakan :

Mengeluarkan iman dr ashlul iman itu sdh bukti>>>bukti kecil lg...kalau mmg dia mengatakan perbuatan msk dlm iman knp ia tulis Iman dan Amal....??? [selesai kutipan dari perkataan Anonim sebelumnya].

Kemarin mempermasalahkan iman dan amal,.... tapi sekarang ganti : iman dan kufur.

Jika Anda tidak mampu mengingat perkataan sendiri, bagaimana bisa mengingat perkataan orang lain. Apalagi memahaminya ?.

NB : Di atas adalah perkataan ulama yang menjelaskan tentang ashlul-iman yang mungkin belum pernah Anda ketahui sebelumnya. Tidak ada manipulasi. Jika Anda menyebut saya salah dalam memahami (bahwa amal jawaarih tidak masuk dalam ashlul-iman), Anda tinggal sebutkan saja qarinahnya bahwa mereka sebenarnya memasukkan amal jawaarih dalam ashlul-iman. Namun ingat, kutipan Anda harus benar-benar tekstual yang menyebutkan amal jawaarih masuk dalam ashlul-iman dari ulama-ulama yang telah saya sebut di atas. Bukan sekedar interpretasi, karena terbukti interpretasi Anda itu sering keliru alias tidak valid.

Anonim mengatakan...

kalau diliat justru nt yang banyak omong tp tidak menjawab semua pertanyaan ana..hanya pemahaman nt aja yng nt paksakan disini...spt
dr perkataan ibnu taimiyah yg menyebutkan ashlul kufur...trs bgmn korelasinya dg perkataan beliau dlm sorimul maslul yg udh ana kutipkan blm nt jawab kan?

trs yg jadi kafir kata nt yg melanggar ashlul iman tp kalau perbuatan kekafiran merupakan ashlul kufur...artinya dimana hubungan antara iman dan kufurnya?? jika salah satu tdk dpt memudhoroti/memaslahati yang lain jika dikerjakan atau dilakukan??

yg lain juga dijawab bull jd g diulang nanyannya...

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Inilah yang namanya apologi kedodoran, karena Anda memang hanya secuil-secuil saja menerima informasi dari perkataan Ibnu Taimiyyah.. Parahnya, Anda membuat kesimpulan tentang diri Ibnu Taimiyyah. Selain itu, cara bicara Anda adalah cara bicara orang tidak terpelajar. Anda meminta orang lain memahami perkataan Anda, sedangkan Anda sendiri tidak berusaha mau memahami perkataan orang lain dan tidak mau memahami fakta. Fakta berbicara bahwa : Ibnu Taimiyyah dan banyak ulama lain telah menjelaskan secara tekstual bahwa mereka tidak memasukkan amal jawaarih dalam ashlul-iman. Ini bukan sekedar interporetasi saya, tapi benar-benar tekstual terambil dari perkataan beliau. Dalam ushul fiqh, qarinah seperti ini sangat kuat untuk dibuat kesimpulan hukum.

Namun nampaknya Anda gagal membela pendapat Anda dengan melihat fakta tersebut di atas sehingga berusaha menyalahkan saya (dan orang yang berseberangan dengan Anda), padahal saya hanyalah menukil fakta.

Anyway,.... lantas, apa masalahnya dengan perkataan Ibnu Taimiyyah dalam kitab Ash-Shaarimul-Masluul ?. Bukankah beliau berkata (berdasarkan kutipan Anda) :

barang siapa yang berkata atau berbuat perbuatan kekafiran mk dia kafir krnya....

?.

Pertama, apakah beliau berbicara tentang ashlul-iman ?. Jawabnya : Tidak. Oleh karena itu, berhujjah dengan perkataan di atas untuk menyimpulkan bahwa Ibnu Taimiyyah memasukkan amal jawaarih secara mutlak dalam ashlul-iman hanyalah interpretasi Anda semata.

Kedua, tidak ada yang salah dengan perkataan Ibnu Taimiyyah. Barangsiapa yang berkata atau berbuat sesuatu yang mengandung kekufuran (akbar), maka kafirlah ia [tentu saja dengan syarat-syaratnya].

Di atas telah saya sebutkan bahwa kekafiran itu bisa datang dari dua hal, yaitu :

1. Meninggalkan sesuatu.

Telah lewat keterangan dalam artikel di atas, bahwa sesuatu yang ditinggalkan seseorang yang menyebabkan kekafiran adalah meninggalkan ashlul-iman. Dan jumhur ulama telah menjelaskan bahwa amal jawaarih tidaklah membuat kafit jika ditinggalkan karena ia tidak masuk dalam ashlul-imaan. Amal jawaarih - menurut jumhur ulama - masuk dalam kamaaluil-iman.

2. Melakukan/mengerjakan sesuatu.

Sesuai dengan keterangan Ibnu Taimiyyah, bahwa sesuatu yang menyebabkan kekafiran seseorang adalah merupakan bagian dari ashlul-kufur. Nah, di sini lah posisi pembicaraan Anda. Yaitu, kekafiran bisa jatuh apabila seseorang berkeyakinan, atau mengatakan, atau melakukan perbuatan yang mengandung kekafiran (akbar).

Tolong dibedakan dua hal tersebut.

Adapun perkataan ulama lain yang Anda sebut secara garis besar adalah sama bahasannya.

Oleh karena itu, pahami dulu definisi-definisinya. Apa itu iman, apa itu kufur ?.

Memang benar, iman dan kufur adalah dua hal yang saling berkaitan satu sama lain. Dan benar pula perkataan Anda bahwa jika satu dilakukan akan memudlaratkan lawannya. Namun jika kita bahas detailnya, apalagi membahas ashlul-iman, kamaalul-imaan, dan yang lainnya sebagaimana penjelasan ulama, maka kedua hal tersebut (yaitu iman dan kufur) harus diletakkan pada tempatnya masing-masing.

Inilah yang dijelaskan oleh Syaikh 'Aliy yang Anda benci itu. Beliau ketika mengatakan bahwa amal jawaarih tidak masuk dalam ashlul-imaan, sama sekali tidak pernah terbersit mengatakan (atau meyakini) bahwa amal jawaarih itu keluar dari iman, atau amal jawaarih itu tidak bisa membuat pelakunya jatuh dalam kekafiran (karena beliau memerincinya). Dalam kitab Mujmal Masaailil-Imaan pun jelas kok. Hanya saja, pemahaman jelek Anda lah yang menjadi sebab Anda ngoceh nggak karu-karuan. Padahal, apa yang dikatakan Syaikh 'Aliy itu dikatakan para ulama sebelum beliau.

Anonim mengatakan...

Terakhir dr pertanyaan ana (bkn menjidal krn ada yg g terima)...
nt bilang :
bahwa amal jawaarih tidaklah membuat kafit jika ditinggalkan karena ia tidak masuk dalam ashlul-imaan.

artinya amal jawarih tidak akan berpengaruh pd ashlul iman meski seperti apapun rupanya...

lalu nt bilang:
bahwa sesuatu yang menyebabkan kekafiran seseorang adalah merupakan bagian dari ashlul-kufur

artinya karn perbuatan ini seseorang jd kufur...

lalu nt jg bilang..bhw ketiadaan ashlul iman jdkan kufur

bgmn bisa nt definisikan spt ini jika mmg kufur itu krn tidak ada ashlul iman (cacat) tp ashlul kufur yg menjadikan kufur (baca rusaknya ashlul iman)adalah sesuatu yg berbeda???

ini makin mirip dg murji"ah bull...bhw iman sesuatu yang satu dan tdk bisa dimudharati oleh apapun...

Jangan bilang ana yg kedodoran kalau begini tapi justru nt yang hampir telanjang pemikirannya...alias ngawur abiss...dan dg ini ana semakin tahu kenapa ulama saudi dan ustad2 salafy di indonesia bilang bhw halaby ini berfaham irja" atau murji'ah

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ya saya doakan semoga komentar ngawur Anda adalah yang terakhir di sini. Nampak, bahwa Anda selalu berupaya mencari-cari celah atau dalih untuk membuat saya berpemikiran irja'. Anda tidak mempunyai kemampuan menelaah dan mengomentari perkataan ulama yang sangat jelas membahas ashlul-iman.

Anyway,.... perkataan Anda :

nt bilang :
bahwa amal jawaarih tidaklah membuat kafit jika ditinggalkan karena ia tidak masuk dalam ashlul-imaan.

artinya amal jawarih tidak akan berpengaruh pd ashlul iman meski seperti apapun rupanya...
[selesai kutipan].

Tidak nyambung bung antara perkataan saya dengan kesimpulan Anda. Karena yang dibahas dalam ashlul-iman adalah at-tark (meninggalkan sesuatu). Jadi penyimpulan Anda bahwa amal jawaarih itu tidak akan berpengaruh pada ashlul-iman apapun rupanya itu ; adalah penyimpulan keliru dan tidak pas.

Saya tahu bahwa Anda itu selalu menarik pada pemahaman bahwa mengerjakan kekafiran itu bisa jatuh jika seseorang mengerjakan amalan kekafiran. Kan ini beda bung. Coba, Anda pahami dulu apa definisi ashlul-iman.

Dan ingat, apa yang saya katakan itu adalah perkataan ulama. Bukan an sich perkataan saya. Apa Anda tidak membaca kutipan pada artikel di atas ?. Berhentilah pada gaya kampungan Anda yang selalu menisbatkan sesuatu pada saya, padahal Anda juga tahu - tapi pura-pura tidak tahu - bahwa saya hanyalah mengutip perkataan ulama.

Perkataan Anda :

lalu nt bilang:
bahwa sesuatu yang menyebabkan kekafiran seseorang adalah merupakan bagian dari ashlul-kufur

artinya karn perbuatan ini seseorang jd kufur...

lalu nt jg bilang..bhw ketiadaan ashlul iman jdkan kufur
[selesai kutipan].

Saya tidak tahu bagaimana bisa Anda menemukan kesimpulan ini seprematur ini. Menggambarkan pemahaman yang ruwet. Saya telah menyebutkan di atas bahwa jika diperinci, maka kekufuran itu ada dua macam :

a. Meninggalkan sesuatu (yaitu dengan meninggalkan ashlul-iman).

b. Mengerjakan sesuatu (yaitu dengan mengerjakan ashlul-kufr).

Coba Anda pahami lagi apa yang telah saya tuliskan.

Ini menandakan Anda itu masih bingung dengan perincian ilmu 'aqidah yang disampaikan ulama. Belajar lagi yah....

NB : Bosen juga cyclic menjelaskan kalau orang yang dijelaskan gak paham-paham juga.....

Anonim mengatakan...

sbg penutup...nt gak usah jadi paling faham dlm masalah ini..omongan nt yang mbulet kaya benang kusut itu sebenarnya kalau diteliti akan terurai juga bull...!!selain itu pertanyaan penting yg bisa meluruskan mbuletnya nt jg g dijawab....

dan semakin menunjukkan faham murji'ah halaby yg nt puja dan diulama'kan...

kekufuran krn meninggalkan sesuatu pada ashlul iman sdg ashlul iman itu adalah keyakinan/amalan2 hati shg tidak akan pernah ada orang yang bisa dikafirkan dg jawarihnya sblm diketahui/dibedah apa selain berbuat kufur scr jawarih dia juga kufur keyakinannya (aslul iman dlm hatinya??)

ujungnya kalian tdk mengenal apa itu kufur krn ashlul iman yng urusan hati itulah yg jadi patokan kalian...dan isi hati/bgmn keyakinan hati itu cuman allah yg tahu!!! inilah murji'ah limited edition...disatu sisi dia mskkan faham ahli sunnah tp dilain sisi pd prakteknya punya murji'ah juga yg jalan...
wabillahi taufiq...hadaka llahu ila sabili sunnah...

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ternyata Anda tidak menepati janji Anda. Dan inilah penyakitnya :

kekufuran krn meninggalkan sesuatu pada ashlul iman sdg ashlul iman itu adalah keyakinan/amalan2 hati shg tidak akan pernah ada orang yang bisa dikafirkan dg jawarihnya sblm diketahui/dibedah apa selain berbuat kufur scr jawarih dia juga kufur keyakinannya (aslul iman dlm hatinya??) [selesai kutipan].

Kalimat yang bercetak tebal itu lah yang menunjukkan sedikitnya pemahaman.

Anyway, Anda pun telah berulang kali tidak berkomentar terhadap perkataan ulama yang tidak memasukkan amal jawaarih pada ashlul-iman. Jadi kesimpulannya adalah bahwa Anda memang punya pemahaman sendiri dalam agama tanpa bimbingan dari ulama. Kasihan....

Baarakallaahu fiik !!

Anonim mengatakan...

Hidayah memang milik ALLAH. pembahasan yg jelas, menjadi tidak jelas bagi mereka yg belum diberi petunjuk. semoga ALLAH memberikan kita kemudahan dalam memahami dien, dan menambah kpd kita ilmu. kpd ust abul jauza, agar lebih sabar dalam menyampaikan ilmu.. Barokallahu fiikum..

pak toto

Anonim mengatakan...

Ustadz, mungkin perlu dilanjutkan pembahasan ttg ashlul-kufr pada artikel tersendiri, biar si anonim yg membantah antum tsb bisa lebih faham.

(Walaupun artikel di atas sudah sangat jelas dan mudah difahami bagi orang yg berakal)

Jazakallahu khoyr.

Anonim mengatakan...

ustadz, apa batas pengingkaran yang mengkafirkan? Kalo mengingkari kewajiban shalat kafir, bagaimana dengan mengingkari siksa kubur, beberapa sifat Allah dan suatu hadits karena tidak sesuai dengan logika orang yang mengingkar?

Terima kasih

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Mengingkari hal-hal yang sudah jelas dan telah disepakati dalam agama, itulah yang menyebabkan kafir.

Anonim mengatakan...

Abul jauzaa afwan sekedar tanya saja. Insyaalloh tidak niat jidal...mungkin karena tulisan anda sendiri adalah open writing atau bisa kita komentari..maka kita juga bisa sedikit mengkritisi. Mungkin sedikit pertanyaan

1) Kutip "Ashlul-iimaan dinamakan juga muthlaqul-iimaan.[1] Iman ini merupakan tingkatan iman paling rendah[2] yang tidak menerima adanya pengurangan,

mungkin bisa diperjelas kesimpulan anda ini, bahwa aslul iman tidak menerima pengurangan dari segala kemaksiatan amal jawarih atau lebih tepatnya meninggalkan amal jawarih. Adakah ulama yang secara ekspilisit mengatakan demikian.

seharusnya bukankah ahlussunah memadukan andara wa'dun dan wa'id bahwa nash-nash tentang janji harus di padukan dengan nash-nash tentang ancaman.

Jika kita bicara dalam konteks kenyataan (hidup kita) dan bukan sebatas wacana teoritis siapa yang bisa menjamin bahwa jika benar ada orang yang mengaku islam namun meninggalkan seluruh amal ketaatan dan tidak mengerjakan sama sekali...apalagi sholat yang ia merupakan dinding pemisah antara kekufuran dan kesyirikan. Maka orang itu tetap beriman dan tidak terseret pada kekufuran. Karena dosa dan dan kejelekan saling berkait satu dengan lainnya.

Setidaknya walau pembahasan ini tentang ushul iman...perlu menyeimbangkan janji alloh dengan ancaman bagi orang-orang yang meninggalkan amal bahwa hal tersebut amat sangat memungkinkan menjadikan pelakunya jatuh dalam kekufuran akbar (murtad). Setidaknya itu dari sudut pandang orang yang tidak mengkafirkan orang yang tidak beramal jawarih seluruhnya.


2) Saya faham insyaalloh yang menjadi pokok istidlal dalam masalah tarkul amal jawarih ini yakni sepenggal kata dalam hadits muslim

فَيُخْرِجُ مِنْهَا قَوْمًالَمْ يَعْمَلُوا خَيْرًا قَطُّ

Allah mengeluarkan suatu kaum yang sama sekali tidak pernah melakukan kebaikan,

Pertanyaan saya sederhana karena anda berargumen bahwa khilaf yang ada dalam masalah ini bermuara pada masalah fiqhiyah tentang kafir tidaknya orang yang meninggalkan sholat. Karena jika meninggalkan sholat saja tidak tidak dikafirkan apalagi meninggalkan selain sholat lebih tidak dikafirkan.

Tapi pertanyaannya apakah nash hadits tersebut menjelaskan tentang orang yang malas? malas sholat malas zakat, malas shodaqoh dan malas untuk segala ketaatan?

atau bahkan nash tersebut tidak menjelaskan latar belakang mengapa orang tersebut meninggalkan amal?

dan para ulama tidak menjelaskannya .... karenanya bagi saya nash itu masihlah global dan umum bahkan tidak bisa digambarkan bagaimana ada orang yang tidak pernah sama sekali berbuat kebaikan atau amal sholeh?

Anda bisa menggambarkannya dalam kenyataan? karenanya kaifiyah dari nash tersebut mutasyabih karena tidak tergambarkan dan tidak terbayangkan. Karena nash itu bisa juga masuk pada golongan manusia yang hidup ketika diangkatnya ilmu..wallahu a'lam. Jika ia paling akhir keluar dari neraka, tentu sebabnya bukan karena meninggalkan amal semata tapi bisa juga karena mengerjakan perbuatan yang buruk...yang jelas itu interpretatif saja sih.

Jadi sebab orang itu meninggalkan amal tidak jelas dan terbuka kemungkinan apa jahil, atau terhalang dari beramal atau ia hidup dikala diangkatnya ilmu atau ia malas...

jika malas tentu malasnya ekstrim sekali hingga tidak beramal sama sekali seumur hidupnya..yang jelas sulit dibayangkan, itu yang membuat saya codong pada pendapat yang mengatakan nash tersebut mutasyabihat karena kaifiyahnya tidak tergambarkan.

Anonim mengatakan...

Dalam sebagian tulisa saya dapati adanya perkataan atau kaidah

talazum bainal dzohir wal bathin.... (saling berkaitan / saling melazimkan antara dhohir dan bathin)

mengambil faidah dari sini...


ولكن هي لازمة له، فمن لم يفعلها كان إيمانه منتفياً؛ لأن انتفاء اللازم يقتضي انتفاء الملزوم

Barangsiapa yang tidak melakukannya (amal), maka imannya dinafikkan (dianggap tidak ada), karena ketiadaan yang mengharuskan merupakan ketiadaan yang diharuskan (malzuum.


dalam kenyataannya terjadi saling berkait kan antara zhohir dan batin karenanya syaikh mengatakan


فَأَصْلُ الإِيمَانِ فِي القَلْبِ - وَهُوَ قَوْلُ القَلْبِ وَعَمَلُهُ ، وَهُوَ إِقْرارٌ بِالتَّصْدِيقِ وَالحُبِّ وَالانْقِيَادِ -؛ وَمَا كَانَ فِي القَلْبِ فَلاَ بُدَّ أَنْ يَظْهَرَ مُوجَبُهُ وَمُقْتَضَاهُ عَلَى الجَوَارِحِ ، وَإِذَا لَمْ يَعْمَلْ بِمُوجَبِهِ وَمُقْتَضَاهُ دَلَّ عَلَى عَدَمِهِ أَوْ ضَعْفِهِ
“Ashlul-iimaan itu ada di hati - yaitu perkataan dan amalan hati, dan ia adalah iqraar dengan pembenaran (tashdiiq), kecintaan, dan ketundukan. Dan iman yang ada di dalam hati sudah semestinya menampakkan konsekuensinya dan kebutuhannya pada anggota badan (jawaarih). Apabila ia tidak mengamalkan konsekuensi dan kebutuhannya pada amal anggota badan (jawaarih), itu menunjukkan ketiadaan dan kelemahannya" [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/644].


Abul jauzaa bukankah syaikhul islam itu jelas perkataannya bahwa ketiadaan amal memiliki dua kemungkinan...imma ia lemah iman imma kafir. Karena amal dhohir cerminan dari apa yang ada dihati sebagai ushulnya.

Jadi orang yang tidak beramal jawarih sama sekali walau amalan jawarih bukan ushul iman namun ketiadaannya merupakan salah satu pertanda ketiadaan iman dihati (kekufuran) walau tidak dipastikan.

Karenaya tidak dapat di mutlakkan bahwa selama orang itu bersyahadat ia tetap dalam keislamnya walau ia meninggalkan seluruh amal jawarih.
Karena hati tidak bisa di pastikan ada tidaknya keyakinan. Adanya amal jawarih merupakan tanda walau tidak dipastikan bahwa ia beriman karena orang munafik juga beramal.

Namun dari ukuran hukum dunia orang-orang yang meninggalkan amal jawarih sama sekali lebih terancam pada kekafiran akbar setelah tentunya ditegakkan hujjah atas dirinya (ini prosedur islam).

adapun hukum diakhirat diserahkan kepada alloh, dan isi hatinya tentu bukan wilayah hukum dunia. Karena hukum dunia mencakup perkara yang dhohir dan nampak.

Jika ada orang yang tidak beramal sama sekali yang hidup ditengah-tengah kaum muslimin yang disana dakwah ada dan ilmu tetap disebarkan maka tidak ada uzur bagi dirinya untuk tidak beramal. Dan tentunya dia lebih terancam masuk dalam kekafiran. Kita menghukumi manusia dari zhohirnya dan hukum dunia menghukumi dhohir manusia...dan ini lebih dekat kepada keadilan dan pelajaran bagi manusia agar tidak bermudah-mudahan meninggalkan amal yang tentunya jika tidak merupakan sebab kekafiran maka ia pintu terbesar jatuhnya manusia pada kemunafikan dan kekafiran akbar dan celah ini harus di tutup.

Jadi saya lebih setuju pendapat yang lebih adil dan proporsional dari syaikh abdul wahhab

الإعراض عن دين الله لا يتعلمه ولا يعمل به ، والدليل قوله تعالى : { وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذُكِّرَ بِآيَاتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنْتَقِمُونَ } (1


karena orang bisa masuk islam dengan syahadat dan dapat pula keluar dengan melakukan pembatal-pembatalnya..

sebagian ulama tetap memasukan meninggalkan amal jawarih atau tidak mengamalkan islam dan tidak mempelajarinya merupakan salah satu pembatal keislaman....

jadi perlu bagi kita untuk memperingatkan manusia pada hal-hal yang dikhawatirkan dapat membatalkan keislaman manusia...atau ia bahkan celah terbesar bagi jatuhnya manusia kedalam kekufuran

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

1. Coba Anda pahami dulu baik-baik apa arti ashlul-iman. Jika Anda memperhatikan penjelasan ulama di atas tentu akan mendapatkan kejelasan bahwa ashlul-iman ini merupakan pokok seseorang berada dalam wilayah Islam. Tentu saja dipahami, ini merupakan perkara minimal yang harus ada pada seseorang sehingga ia dikatakan sebagai muslim. Untuk penjelasan ini dengan bahasa mudah dan sederhana, diantaranya Anda bisa membaca kitab : Al-Imaan, Haqiiqatuhu wa Khawaarimuhu wa Nawaaqidluhu 'inda Ahlis-Sunnah karya 'Abdullah bin 'Abdil-Hamiid Al-Atsariy - di bagian bahasan maraatibul-iman.

Tentang al-wa'd dan al-wa'iid sebagaimana yang Anda singgung dan maksudkan, maka itu tidak terlalu berkaitan dalam bahasan ini. Iman itu secara garis besar ada dua, yaitu :

a. keimanan yang menjamin seseorang selamat dari kekekalan neraka. maka keimanan inilah yang disebut ashlul-iman.

b. keimnan yang menjamin seseorang masuk surga tanpa adzab, maka ini masuk dalam kamaalul-iman.

2. Sebenarnya pokok istidlaal bukan itu saja. Tapi banyak. Namun hadits yang Anda kutip itu justru hadits yang paling sharih yang menjelaskan pokok persoalan sebagaimana dikatakan para ulama. Bukan mutasyaabihaat.

Suatu dalil yang bersifat mutlak, maka ia harus dibawa kepada kemutlakannya hingga ada dalil yang mengikatnya pada satu pemahaman yang diinginkan syari'at. Jika tidak ada, maka tetap diamalkan (dan dipahami) sesuai dengan kemutlakannya. Inilah prinsip istidlaal terhadap nushush. Jika tidak demikian, betapa banyak nash-nash yang akan dianggap mutasyaabihaat ?.

Tentang bahasan 'malas', maka ini adalah penjamakan dari nash-nash janji dan ancaman. Misalnya saja tentang kewajiban zakat. Dalam Al-Qur'an disebutkan ancaman neraka bagi orang yang tidak menunaikan zakat, namun di sisi lain ada nash shahih dan sharih bahwa orang yang lali dalam penunaian zakat masih dalam masyi'ah Allah. Begitu juga dengan shalat. Ada nash yang mengancam kekafiran, namun ada pula nash lain yang mengatakan orang yang tidak mengerjakan shalat masih dalam masyi'ah Allah. Oleh karena itu, terjadilah silang pendapat di kalangan ulama.

Inti pokok yang ingin saya katakan bukan tentang silang pendapatnya. Akan tetapi perkara 'malas' itu merupakan pemahaman nash-nash yang ada ditambah dengan beberapa aqwaal salaf tentangnya. Dan saya kira, ini sangatlah ma'ruf.

Telah saya katakan bahwa jika yang dimaksud tidak pernah melakukan amal kebaikan sama sekali dalam arti amal dhahir, maka ini adalah amrun khayaliyyah,sebagaimana dijelaskan lebih dari seorang ulama. Karena orang kafir pun pasti pernah berbuat baik walaupun sekali. Namun adalah kenyataan yang tidak perlu ditolak dan ditutup-tutupi bahwa banyak ulama yang memahami secara dhahir dengan mengartikan tidak pernah melakukan amal kebaikan dhahir sama sekali.

Oleh karena itu sebagian ulama - sebagimana pernah saya katakan - , untuk menghilangkan kemusykilan secara 'aqliyyah, bahwa yang dimaksud tidak pernah beramal kebaikan sedikitpun adalah tidak pernah beramal sedikitpun yang diterima di sisi Allah. Atau dengan kata lain, orang tersebut tidak pernah beramal kebaikan yang diniatkan dengannya untuk wajah Allah semata.

wallaahu a'lam bish-shawwaab.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Perkataan Anda :

"Abul jauzaa bukankah syaikhul islam itu jelas perkataannya bahwa ketiadaan amal memiliki dua kemungkinan...imma ia lemah iman imma kafir".

Dimanakah Syaikhul-Islaam mengatakan kafir ?. Yang saya baca adalah : dalla 'alaa 'adamihi aw dla'fihi.

Apakah perkataan dalla 'alaa 'adamihi itu = kafir ?. Begitukah ?. Apakah yang dimaksud itu adalah ketiadaan iman sesuai dengan amal yang ia tinggalkan ?. Karena bertambahnya iman adalah dengan beramal, dan berkurangnya iman dengan maninggalkan iman - sebagaimana dikatakan Imam Ahmad ?.

Di kesempatan lain Ibnu Taimiyyah menjelaskan :

وَذلِكَ لأَنَّ أَصْلَ الإِيمَانِ هُوَ مَا فِي القَلْبِ ، والأَعْمَالُ الظَّاهِرَةُ لاَزِمَةٌ لِذلِكَ ؛ لاَ يُتَصَوَّرُ وُجُودُ (إِيمَانِ القَلْبِ الوَاجبِ) مَعَ عَدَمِ جَمِيعِ أَعْمَالِ الجَوَارِحِ ؛ بَلْ مَتَى نَقَصَتِ الأَعْمَالُ الظَّاهِرَةُ كَانَ لِنَقْصِ الإِيمَانِ الَّذِي فِي القَلْبِ ؛ فَصَارَ الإِيمَانُ مُتَنَاوِلاً لِلْمَلْزُومِ وَاللاَّزِمِ -وإِنْ كَانَ أَصْلُهُ مَا فِي القَلْبِ- ؛ وَحَيْثُ عُطِفَتْ عَلَيْهِ الأَعْمَالُ ؛ فَإِنَّهُ أُرِيدَ أَنَّهُ لاَ يُكْتَفَى بِإِيمَانِ القَلْبِ ؛ بَلْ لاَ بُدَّ مَعَهُ مِنَ الأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ

saya kira sangat jelas.....

Tentang bahasan talaazum bainadh-dhaahir wa baathin bisa dibaca-baca di sini :

http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=3456

Anonim mengatakan...

Tentang nash yang dianggap mutasyabih.
Ya apakah jawaban ini dapat mengeluarkan nash tersebut dari musykil dalam memahami maknanya? Saya harap demikian. Pengertian awal yang difahami secara dhohir dari nash tersebut adalah ia tidak beramal kebaikan sama sekali (dan yang dimaksud adalah amal jawarih). Namun dengan mengatakan bahwa ia tetap beramal namun tidak diterima atau ia beramal kebaikan namun tidak pernah sama sekali di niatkan untuk mencari ridho alloh semata maka arah pendalilan menjadi berubah.

Yakni dari menafikan keberadaan amal jawarih, menjadi menafikan adanya amal bathin yakni ikhlas dan mengharap ridho Alloh. Saudaraku tolong dikoreksi jika saya keliru, yang di persoalkan adalah ketiadaan amal jawarih. Namun jika masalahnya tidak ada niat ikhlas dari orang tersebut sehinggal seluruh amal sholehnya tidak diterima....maka ini jadi ketiadaan amal hati.

Jika menta’wil seperti itu tentu konsekuensinya ia secara lahiriah dimata manusia sudah pasti muslim biasa karena ia beramal dan ini sudah bukan lagi masalah pada bab tarkul amal jawarih. Dan masalahnya terdapat pada hatinya yang tidak meniatkan amalnya untuk Alloh. Dan masalah hati diserahkan kepada Alloh...manusia tidak ada yang tau hati seseorang. Dan yang musyikil adalah tidak kita bisa bayangkan adanya seorang muslim yang terus menerus tidak pernah ikhlas dalam beramal kepada Alloh? Yang seperti ini hanya terjadi pada orang munafik saja, yang ia beramal untuk menyelamatkan darah dan hartanya bukan karena keimanan?

karena seorang muslim mustahil ia terus menerus tidak ikhlas dalam beramal...dan jika ia muslim tentu amalnya pasti ada yang ikhlas karena Alloh.

Anonim mengatakan...

Jika nash tersebut tidak dita’wil bahwa orang tersebut tidak beramal sama sekali dalam hidupnya...saya tidak bisa membayangkan ada orang yang tidak pernah sujud kepada Alloh walau satu kali, tidak pernah shoum sekalipun, tidak pernah melangkahkan kaki kemasjid walau satu langkah, tidak pernah membuka sama sekali halaman Al-Qur’an atau membacanya walau satu ayat...tidak pernah wajahnya tersenyum kepada muslim sama sekali? Tidak pernah tangannya membantu orang tuanya sama sekali, atau membantu muslim lain sama sekali...tidak terbayangkan..tidak terbayangkan....bahkan hewan saja masih ada nilai kebaikannya.

Bagaimana didalam realitasnya kita bisa tau seseorang itu muslim atau tidak? Sementara seumur hidupnya ia tidak pernah mengerjakan perintah agama? Bayangkan jika anda dapati hal itu dilingkungan tempat anda tinggal? Secara akal sehat tentu kita akan meragukan ke islaman orang semacam itu. Apa kita harus selalu meminta ia untuk bersyahadat di depan kita agar kita tau ia muslim? Atau cukup pengakuan yang mana diragukan karena tidak pernah medhohirkan pengakuan tersebut kedalam amaliyah...anda harus bayangkan jika ada orang semacam itu tinggal di lingkungan kita, yang jelas wajar jika kita akan ragu. Karena kita mengetahui islam tidaknya seseorang dari lahiriah dan amal-amalnya yang dapat kita amati.

Karena islam itu dhohir dan diketahui dari yang dhohir atau nampak pada diri manusia. Begitu pula hukum-hukum syar'i di dunia berpatok pada hal-hal yang dhohir. Tentang hati itu tidak nampak dan bukan urusan manusia tapi urusan alloh. karenanya kita menghukumi dhohirnya manusia saja...


Dan pada bagian yang lain dalam hadits muslim tentang syafaat disebutkan dikeluarkan dari nerakan orang yang memiliki keimanan sebesar zharah..(Debu atau atom)

saya tidak bisa membayangkan orang semacam apa yang imannya seperti atom atau debu? orang seperti apa itu...? dan tingkatan orang semacam itu masih lebih baik dari orang yang tidak beramal sama sekali karena ia di keluarkan lebih dahulu dari orang yang kosong dari amal? jelas ini salah satu qorinah nash tersebut mutasyabih...dari sisi kaifiyahnya..wallahu 'alam

anda bisa gambarkan seperti apa orang yang imanya cuma sebesar atom itu?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Saya tidak akan mengomentari detail perkataan Anda, karena nanti akan cyclic saja. Saya harap, Anda mengerti duduk permasalahannya berdasarkan realitas yang ada. Kemusykilan yang Anda rasa adalah satu hal, dan pemahaman ulama yang berbeda dengan Anda adalah hal yang lain. Jika jika dapat mendudukkan persoalannya, maka akan mudah melihatnya secara lebih objektif.

Tentang nash,.... nashnya adalah mutlak. Lafadhnya pun jelas, baik dalam lafadh bahasa Arabnya ataupun terjemahannya. Yaitu, orang tersebut tidak pernah beramal kebaikan sama sekali. Beberapa ulama yang telah saya sebutkan memahami nash sesuai dengan dhahirnya. Ini adalah realitas. Terlepas dari Anda setuju ataupun tidak setuju dengan itu, namun itu adalah pendapat yang beredar di kalangan jumhur Ahlus-Sunnah.

Dan ingat, dalil yang melandasi bahwa amal jawaarih bukan masuk bagian dari ashlul-iman bukan hanya itu saja. Tapi ada beberapa yang lain. Misal dalil tentang keutamaan kalimat tauhid dan penerapannya di kalangan ulama. Tentang keutamaan kalimat tauhid, saya yakin Anda tidak asing dengannya, dan saya persilakan membuka syarhnya di kitab-kitab syarh mu'tabar. Tentang penerapannya, contohnya : Seorang yang kafir sudah cukup dianggap masuk dalam wilayah Islam jika ia mengucapkan dua kalimat syahadat walau ia belum melaksanakan kewajiban-kewajiban lainnya yang dibebankan kepadanya. Para ulama sepakat tentangnya. Justru istidlaal inilah yang banyak dipakai oleh jumhur ulama.

Yang jadi titik kritis yang Anda kemukakan dengan realitas pemahaman ulama yang beredar adalah : Adakah wujud orang yang seperti digambarkan dalam hadits ?.

Jawabnya : ada. Seandainya hadits itu tidak pernah ada, niscaya para ulama tidak mengatakan bahwa wujud orang itu ada, yang kemudian berdalil dengannya. Yang menjadi hujjah adalah dalil, bukan rasio, sebagaimana perkataan : Idzaa jaa'al-atsar bathalan-nadhar. Saya harapkan Anda lebih berhati-hati untuk mengumbar kata 'mustahil' pada perkara-perkara khabariyyah seperti ini. Salah satu hak Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dan konsekuensi syahadat yang kedua adalah tashdiiquhu fiimaa akhbar. Kemusykilan sebagian orang tidaklah membatalkan dilalah nash.

Memang kemudian ada sebagian ulama yang menjelaskan beberapa kemusykilan 'aqliyyah tentang hadits itu, bahwa yang dimaksud tidak pernah beramal kebaikan sama sekali adalah tidak pernah beramal kebaikan yang mengharap dengannya wajah Allah. Tapi sebelumnya Anda harus catat bahwa : Para ulama semisal Ibnu Rajab, Ibnu Taimiyyah, dan para ulama lain yang saya sebutkan tetap memahami sebagaimana dhahirnya.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Anda berkata :

Namun dengan mengatakan bahwa ia tetap beramal namun tidak diterima atau ia beramal kebaikan namun tidak pernah sama sekali di niatkan untuk mencari ridho alloh semata maka arah pendalilan menjadi berubah.

Saya katakan : Tidak. Bahkan pemahamannya menjadi lebih mudah dan lebih terang.

Jika lafadh : Tidak pernah melakukan kebaikan sedikitpun adalah amal-amal yang ikhlash karena Allah, ini menandakan bahwa sekedar beramal jawaarih saja tanpa ada keikhlasan di hati tidaklah bermanfaat apa-apa untuk menyelamatkannya dari api neraka. Adanya amal jawaarih yang mungkin pernah dilakukan orang tersebut dihukumi seperti tidak ada. Oleh karena itu kemudian disebutkan alasan dikeluarkannya orang tersebut dari neraka karena adanya ketauhidannya yang ada di dalam hati, bukan dengan amal jawaarihnya. Seandainya amal jawaarih itu bermanfaat bagi dirinya, niscaya redaksi haditsnya tidak seperti yang disebutkan di atas.

Dari sinilah kemudian ulama beristinbath dengan hadits ini bahwa amal jawaarih tidak masuk bagian dari ashlul-iman. Dan perlu saya ingatkan bahwa amal jawaarih yang dianggap untuk menetapkan keberadaan iman adalah amal jawaarih yang didasarkan oleh pondasi yang ada dalam hati (ex. : keikhlasan, etc.). Inilah yang bermanfaat bagi iman. Bukan an sich amal jawaarih aja. Inilah yang dimaksudkan dengan talazum bainadh-dhahir wal-baathin.

Saya persilakan Anda berputar dengan logika 'aqliyyah di atas. Adapun saya, sampai saat ini masih tenang dengan apa yang saya pahami saat ini dengan nash dan penjelasan ulama tentangnya.

wallaahu a'lam.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Seandainya Anda tidak sepakat dengan penjelasan atau penafsiran beberapa ulama yang saya sebutkan tentang hadits orang yang tidak pernah beramal kebaikan sedikitpun;.... lantas menurut Anda bagaimana penyikapannya ?. Minimal ada dua hal yang Anda lakukan, pertama :

1. Mendla'ifkan hadits itu. Jika menurut Anda hadits itu dla'if, saya persilakan untuk menjelaskan sisi kedla'ifannya.

2. Memberikan solusi pemahaman yang lain. Saya ingin beristifadah seandainya pemahaman yang Anda tawarkan lebih memungkinkan untuk dipahami tanpa merusak nash itu sendiri.

Adapun mengklaim bahwa nash itu mutasyaabih, jika yang dimaksudkan adalah mutasyabih nisbiy (bisa berlaku pada seseorang, namun tidak pada orang lain - tergantung tingkat pemahamannya), mungkin ini bisa diterima. Namun jika yang Anda maksud adalah mutasyabih muthlaq, maka inilah yang menurut saya musykil. Hadits ini ada dalam Shahih Muslim, begitu juga dalam kitab-kitab masyhur yang lain. Telah dibicarakan oleh para ulama, dulu dan sekarang. Bagaimana bisa dikatakan mutasyabih muthlaq ?.

Anonim mengatakan...

Anyway pembahasan ini berat bagi orang yang suka mengkafirkan. pembahasan yang dilakukan disini sangat tepat jika dikaitkan dengan kontek bantahan kepada mereka yang gampang mengkafirkan. saya setuju dengan pendapatnya Abul Jauzaa, bahwa kita menempatkan nash sesuai dengan dhohirnya, oleh karena itu Imam Ahmad mengatakan terhadap nash2 ancaman untuk diperlakukan sesuai dhohirnya, misalnya ancaman neraka bagi orang yang mengghibah saudaranya, maka dalam kontek tarhib (menakut-nakuti) disampaikan apa adanya, tapi dalam kontek untuk bantahan kepada khowarij yang ketika mendengar ayat atau hadits yang menunjukkan pelakunya diancam dengan kekafiran atau neraka dengan langsung melakukan vonis kepada pelakunya maka para ulamapun memperincinya sebagaimana yang dilakukan dalam artikel2nya ustad kita Abul Jauza. pemahaman yang mudah dalam hadits Usamah bin zaid yang cukup masyhur bahwa beliau membunuh seorang yang mengucapkan kalimat syahadat, maka Rosululloh marah dengan kemarahan yang luar biasa. maka ini menunjukkan bahwa orang yang dibunuh kemungkinannya ada ashul iman padanya. walohu a'lam

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Untuk akh Anonim, ada sebuah buku bagus yang khusus membahas hadits : lam ya'maluu khaira qath dan bagaimana khilaf ulama Ahlus-Sunnah padanya. Termasuk bahasan hukum orang yang tidak beramal bi-kulliyah. Silakan diunduh :

Judul :

نصب الراية في دراسة لفظة "لم يعملوا خيرًا قط" الواردة في حديث الشفاعة رواية ودراية

alamat unduhan : sini.

Jika Anda membacanya, insya Allah akan paham tentang permasalahan ini.

Satu kutipan dari Penulis kitab yang mungkin penting saya nukil di sini :

ومن الكتبة المعاصرين مَنْ صَرَّح أن الاستدلال بهذا الحديث مسلك من مسالك المرجئة !، ومنهم مَنْ قلَّد من غير فهم صحيح لكلام مَنْ قلَّده فقال : الاستدلال بحديث الشفاعة من الاستدلال بالمتشابه وهي طريقة أهل الزيغ !، وأنساه تعصبه لـ(بعض) المشايخ المعاصرين وسوء فهمه لكلامهم أن جمعا من أهل العلم كان يستدل بالحديث ويحتج به على ظاهره من غير تأويل

Semoga dengan sekelumit paragraf ini dapat menggugah Anda untuk benar-benar membacanya.....

Anonim mengatakan...

Yang jadi titik kritis yang Anda kemukakan dengan realitas pemahaman ulama yang beredar adalah : Adakah wujud orang yang seperti digambarkan dalam hadits ?.

Camkan saya tidak mengingkari khobar nabi, jelas semua kita tau bahwa wajib menerima khobar dari nabi. Maaf Anda terlalu maju kesimpulannya. Bukan saya tidak menerima khobar dari nabi, dan ingat realitasnya ulama berselisih pendapat tentang makna hadits tersebut. Bahkan sebagian mentarjih dan merojihkan hadits yang lain dan memarjuhkan hadits teresebut dari tinjauan hukum meninggalkan amal jawarih.

Saudara abul jauzaa jika anda katakan

Ini menandakan bahwa sekedar beramal jawaarih saja tanpa ada keikhlasan di hati tidaklah bermanfaat apa-apa untuk menyelamatkannya dari api neraka. Adanya amal jawaarih yang mungkin pernah dilakukan orang tersebut dihukumi seperti tidak ada.

Tinjauan kita adalah hukum dimata manusia (hukum dunia) bukan hukum akhirat. Yang tau bahwa ikhlas tidaknya niat hanya Alloh. Di mata syariat orang itu beramal dengan jawarihnya artinya ia tidak terkena had dan ancaman didunia masalah hati diserahkan kepada Alloh. dan hal itu keluar dari perdebatan hukmu tarkul amal jawarih. Kita membahas status orang yang sengaja meniggalkan seluruh amal jawarih…bukan orang yang tidak diterima amal jawarihnya karena tidak ikhlas itu dua hal yang berbeda.

Dan jawaban itu membawa makna hadits tidak beramal sama sekali kepada makna majazy dan bukan makna hakiki. Jadi pendek kata itu bentuk ta’wil juga dari dhohir nash.
Hal itu menunjukkan bahwa nash tersebut mengandung ihtimal, akhirnya orang berbeda-beda menetapkan maknanya. Yang jelas itu bentuk ta’wil.

Jika nash itu bukan mutasyabih mengapa anda tidak bisa menjelaskan seperti apa orang yang imannya sebesar atom? Itu samar ..minimal bagi diri saya entah bagi anda Karena saya mohon penjelasan. Kaidahnya sudah jelas mendahulukan nash-nash muhkam dari nash-nash mutasyabih.

Anonim mengatakan...

Ashlul-iimaan dinamakan juga muthlaqul-iimaan.[1] Iman ini merupakan tingkatan iman paling rendah[2] yang tidak menerima adanya pengurangan

Dan perkataan anda ini juga perlu saya kritisi adakah ulama yang menjelaskan secara eksplisit bahwa ushul iman itu tidak menerima pengurangan. Karena kaidah tentang iman bahwa iman bertambah dan berkurang bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Mungkin ini dari sisi ketidak tahuan saya..

Mohon penjelasan Adakah ulama yang mengatakan tidak berkurangnya ushul iman dengan kemaksiatan? Apakah Anda menyimpulkan dengan bahasa rekaan anda sendiri? Bahwa ushul iman tidak menerima pengurangan?

Jika syaikhul islam mengatakan Ashlul-iimaan itu ada di hati - yaitu perkataan dan amalan hati, dan ia adalah iqraar dengan pembenaran (tashdiiq), kecintaan, dan ketundukan.

Jelas kecintaan dan ketundukan manusia didalam hati kepada alloh bisa berkurang dan terkikis dengan perbuatan maksiat. Bahkan bahkan ia bisa hilang dari dalam hati ketika kecintaan orang terus berkurang kepada Alloh akibat maksiat dan mengejar dunia sehingga ia mencintai dunia lebih besar dari kecintaan kepada Alloh?

Apa kaidah ini tidak menyalahi realitas bahwa keimanan dihati seperti cinta dan ketundukan tetap berkurang. bahkan kita bisa merasakan jika kecintaan dan ketundukan kita didalam hati dapat bertambah dan berkurang.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Melihat komentar Anda, sepertinya Anda tidak membaca kitab yang saya anjurkan baca, sehingga terus bergelayut pada pemahaman Anda sendiri. Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun......

[Atau Anda ini......].

Jika Anda mengatakan mustahil adanya orang yang digambarkan dalam hadits, bukankah mudah untuk dicerna pikiran orang yang waras (tidak sakit) bahwa Anda menafikkan hadits ini ?. Hanya saja memakai bahasa yang lain. Bukankah konsekuensi dari khabar adalah membenarkannya ?. Membenarkan itu bukan membenarkan keberadaan khabar saja, tapi membenarkan yang terkandung di dalamnya. Jika hadits tersebut menjelaskan keberadaan orang yang diselamatkan dario neraka tanpa adanya amalan yang mereka lakukan, lantas apanya yang musykil untuk menerimanya.

Jika Anda membaca kitab yang saya sodorkan, niscaya Anda mendapati sikap jumhur ulama yang berhukum pada dhahir hadits tanpa adanya ta'wil. Namun sayang - dan sungguh membuat saya kecewa - Anda tidak membacanya, namun malah berpanjang-panjang kata pada persoalan yang sebenarnya telah dijelaskan dalam kitab tersebut. Atau,... Anda merasa kesulitan ?.

Yang kita bicarakan adalah : Apakah amal jawaarih masuk dalam ashlul-iman. Bukan yang lain. Dalam artikel di atas pun jelas bahwa para ulama berhujjah dengan hadits tersebut untuk hal yang saya sebutkan. Hanya saja Anda tidak fokus malah melebar pada hal yang tidak dikehendaki dalam artikel ini.

Ingat bung, saya sudah menyebutkan para ulama mutaqaddimiin itu memahami sebagaimana dhahirnya. Hanya saja kemudian saya menyebutkan bahwa adanya kemusykilan 'aqliyyah yang dimunculkan kalangan muta'khkhiriin akan perwujudan orang yang dimaksudkan dalam hadits. Dan telah saya sebutkan bahwasannya sebagian ulama muta'khkhiriin menjelaskan bahwa tidak beramal kebaikan sedikit pun itu adalah tidak beramal kebaikan yang ditujukan ikhlash semata-mata untuk Allah. Jika kita perhatikan lafadh hadits, maka alasan ini dapat diterima, sebab hadits menyebutkan dengan lafadh 'amal kebaikan'. Jika dimutlakkan seperti ini, maka pengertiannya adalah malan yang diterima, yang dapat bermanfaat baginya. Dan di sini kemusykilan muta'khkhiriin dapat dijawab.

Namun apapun itu, hadits menjelaskan bahwa yang menyebabkan orang tersebut keluar dari neraka adalah karena ketauhidan yang ada di hatinya, bukan amal jawaarih yang dilakukannya. Hal inilah yang dijadikan pengambilan hukum para ulama tentang 'illat keselamatan orang tersebut dari nerakan. Perkataan mereka pun telah saya sebutkan di atas.

Inilah mahaluun-nizaa' persoalan. Bukan melebar kemana-mana sebagaimana yang Anda katakan.

Kalau Anda katakan bahwa makna nash itu adalah majaaziy, maka saya harap Anda lebih spesifik apa yang Anda maksudkan dengan majaaziy itu. Silakan saja Anda mengatakannya, hanya saja, sertakan perkataan ulama mengenainya. Bagus lagi ulama mutaqaddimiin. Bagus juga Anda membahasnya dari segi ushul-fiqh, karena Anda mengatakan makna hakiki dan majaziy.

[karena orang yang mempermasalahkan hadits ini dengan mengatakan hadits ini mutasyaabihaat, dan orang yang berpegang pada hadits ini adalah termasuk ahluz-zaigh - adalah muncul di era sekarang saja. Itu yang dikatakan Penulis kitab Nashbur-Raayah].

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Tentang perkataan Anda :

Dan perkataan anda ini juga perlu saya kritisi adakah ulama yang menjelaskan secara eksplisit bahwa ushul iman itu tidak menerima pengurangan. Karena kaidah tentang iman bahwa iman bertambah dan berkurang bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Mungkin ini dari sisi ketidak tahuan saya.

Mohon penjelasan Adakah ulama yang mengatakan tidak berkurangnya ushul iman dengan kemaksiatan? Apakah Anda menyimpulkan dengan bahasa rekaan anda sendiri? Bahwa ushul iman tidak menerima pengurangan?
.

Sebenarnya membaca ini saya menjadi menurun gairahnya, karena ternyata Anda memang tidak memahami apa itu ashlul-iman. Semua ulama - sebatas yang telah saya baca - , baik yang memasukkan amal jawaarih dalam ashlul-iman atau tidak, mengatakan bahwa ashlul-iman ini tidak menerima pengurangan. Karena ia merupakan maraatib paling bawah dari keimanan seseorang. Bahwasannya ashlul-iman tidak menerima pengurangan, maka itu diketahui melalui istiqaraa' kutub dan aqwal para ulama. Juga ketika para ulama mengatakan bahwa ashlul-iman ini merupakan shihhatul-iman, maka sudah dapat dipahami bahwa iman tidaklah sah kecuali dengan itu. Tidak boleh kurang. Jika Anda belum memahami istilah shihhatusy-syai', maka nampaknya saya harus mundur terlalu ke belakang untuk membahasnya.

Kemarin kan dah saya katakan bahwa penjelasan itu ada dalam Al-Imaan, Haqiiqatuhu wa Khawaarimuhu wa Nawaaqidluhu 'inda Ahlis-Sunnah karya 'Abdullah bin 'Abdil-Hamiid Al-Atsariy - di bagian bahasan maraatibul-iman. Sudah nyari belum di internet ? Banyak kok. Kalau Anda kesulitan, ini teks kalimatnya :

وهذه المرتبة من الإيمان غير قابلة للنقصان؛ لأنها حد الإسلام، والفاصل بين الإيمان والكفر، وهذا النوع واجب على كل من دخل دائرة الإيمان

Perhatikan kalimat diawal ! Jadi, apa yang saya katakan itu bukan ngarang-ngarang atau mereka-reka.

Tiga paragraf terakhir yang Anda tulis di atas menyiratkan akan statement Anda bahwa ashlul-iman - menurut pemahaman Anda - boleh mengalami pengurangan. Nah,.... giliran saya sekarang untuk meminta Anda untuk menyebutkan perkataan ulama yang menjadi dasar Anda menyimpulkan ashlul-iman boleh menerima pengurangan.

NB :

1. Sebenarnya, dengan 3 paragraf terakhir Anda di atas semakin menjelaskan bahwa Anda belum memegang dan paham betul apa yang disebut ashlul-iman.

2. Saya harapkan nanti kritikan Anda lebih jelas fokusnya. Yaitu : Apakah Anda mengkritik saya dari sisi bahwa saya salah dalam memahami perkataan ulama yang saya sebutkan di atas ? ataukah Anda mengkritik saya dalam rangka mengkritik pendapat ulama yang saya bawakan melalui artikel di atas ?.

Anonim mengatakan...

Begini mas jauzaa kebetulan link yang anda sodorkan toh rusak, bagaimana saya bisa membacanya? Sebenarnya tidak ada kewajiban saya menyenangkan atau mengecewakan anda. Kita hanya sama-sama diskusi itu aja.

Saya tidak mengingkari nash... anda salah faham. Sebaiknya anda tidak menisbatkan sesuatu kepada seseorang yang ia berlepas diri darinya. Jangan memaksakan diri untuk berupaya membaca maksud orang kemudian terburu-buru menisbatkan pada orang sesuatu yang tidak seperti yang dimaksud orang itu. Terkadang saya merasa anda selalu ingin memetakan arah pemikiran seseorang, padahal belum rampung informasi yang anda terima untuk membentuk kesimpulan.

Saya hanya bermaksud menunjukkan bahwa hal yang demikian memang tidak ghoblibnya ditemui dalam kenyataan sehari-hari dan itu menujukkan ada kemungkinan keadaan yang khusus yang ada pada diri mereka. Karenanya toh sebagian ulama menjelaskan bahwa orang-orang yang dimaksud imma mereka pada hakikatnya tetap beramal seperti sholat dan sebagainya untuk menjama’ dengan nash lain, imma ia terhalang untuk beramal dengan sebab-sebab yang variatif seperti maut atau terangkatnya ilmu dari mereka dll, semua ini bertujuan untuk menghilangkan ta’arudh antar dalil yakni dalil yang menjelaskan kufurnya orang yang meninggalkan amal jawarih secara mutlak, terutama sholat. Karena jalur yang ditempuh ulama dalam menghilangkan ta’arudh adalah bisa dengan menjama’ mentarjih dan lain-lain.

Dan saya hanya mengkritik tafsir sebagian orang yang menjelaskan bahwa mereka adalah orang-orang yang malas beramal seumur hidupnya atau mereka orang yang tidak pernah ikhlas beramal seumur hidupnya dan ini pemahaman yang menimbulkan musykil bagi saya. Lagi pula makna nash ini diperbicangkan oleh para ulama tapi mengapa seolah anda menuntut orang memahaminya sebagai sesuatu yang ijma?

Anonim mengatakan...

Tentang tidak berkurangnya ushul iman

Oh ma’af anda turun gairahnya ..hmm tapi memang saya tidak berupaya membangkitkan gairah anda entah gairah apa pun itu. Jika saya dikatakan tidak faham ashlul iman, nah justru itulah kita diskusikan kepada anda yang faham. Saya tidak merasa malu untuk menerima kebenaran inysalloh dari siapapun itu.

Oh ini ya

وهذه المرتبة من الإيمان غير قابلة للنقصان؛ لأنها حد الإسلام، والفاصل بين الإيمان والكفر، وهذا النوع واجب على كل من دخل دائرة الإيمان

Hmm ada tidak dari kitab mu’tabar ulama mutaqodimin…tentang hal itu? Atau perkataan salaf tentang tidak berkurangnya ushul iman .

Jika anda bertanya :

Apa perkataan ulama yang menjadi dasar saya menyimpulkan ashlul-iman boleh menerima pengurangan.

Maka saya katakan ulama salaf entah apa mereka sudah mengenal pembagian ushul iman dan furu iman seperti mutaakhirin? Mungkin anda memiliki pengetahuan tentang itu? Apakah ushul dan furu iman adalah pembagian dan istilah yang dikenal dizaman 3 generasi terbaik? Jangan salah sangka saya bukan membid’ahkan hal itu Cuma bertanya saja loh (nanti anda nuduh saya lagi repot saya)

Ya saya hanya mengetahui yang global saja sih bahwa salaf mengatakan iman itu perkataan dan perbuatan yang bias bertambah dan berkurang . atau ada atsar yakni

قال الإمام سفيان بن عيينة رحمه الله: ( الإيمان: قول وعمل، يزيد وينقص، فقال له أخوه إبراهيم بن عيينة: يا أبا محمد تقول: ينقص؟ فقال: اسكت يا صبي بلى ينقص، حتى لا يبقى منه شيء )
(ص270) واللالكائي في شرح أصول اعتقاد أهل السنة (ج5ص1032) والعدني في الإيمان (ص94) وابن بطة في الإبانة الكبرى (ج2ص854/ كتاب الإيمان) والآجري في الشريعة (ج2ص607)

Imam sufyan bin Uyainah berkata : “Iman adalah perkataan dan amal. Berkurang dan bertambah” dan berkata kepada nya saudaranya ibrahim bin Uyainah : “wahai abu muhammad apakah berkurang? Maka Sufyan bin Uyainah berkata: “Diam kamu 'anak kecil' Sungguh iman bisa berkurang hingga tidak tersisa sedikitpun.”

Entah deh apa saya salah memahami, biasanya mungkin antum tau ta’wil tentang zhohir nash. Ya mungkin perkataan sufyan bin uyainah itu masih ada ta’wilnya yang saya tidak tahu.

Anonim mengatakan...

Dan terakhir saya mau menyinggung sedikit masalah klasik hehehe tentang nash kufurnya orang yang meninggalkan sholat. Mungkin anda bisa Bantu saya menghilangkan isykal di dalam diri saya. Perhatikan nash-nash ini

شِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لاَ، مَا أَقَامُوْا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membencinya dan mereka membenci kalian, yang kalian melaknatinya dan mereka melaknati kalian.“ Dikatakan kepada beliau: “Wahai Rasulullah, tidakkah kita melawannya dengan pedang (senjata)?“ Beliau mengatakan: “Jangan, selama mereka mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Jika kalian melihat pada pemimpin kalian sesuatu yang kalian benci maka bencilah perbuatannya dan jangan kalian cabut tangan kalian dari ketaatan.“ (Shahih, HR. Muslim)

Dalam lafadz lain disebutkan
" إلا أن تروا كفراً بواحاً عندكم من الله فيه برهان"
Kecuali jika kalian melihat kekufuran bawwah dan kalian memiliki bukti disisi alloh

Bukankah nash-nash diatas menjelaskan haramnya memberontak kepada pemerintah yang sah kecuali dengan adanya kekufuran yang nyata…yakni sholat. Dan sholat merupakan amal jawarih yang sebagian para ulama memasukkannya kedalam pengecualian dari amal jawarih yang tidak mengkufurkan pelakunya jika meninggalkan hal tersebut.

Pertanyaan saya bagaiamana anda memadukan nash ancaman kekufuran akbar bagi orang yang meninggalkan sholat dan janji dikeluarkannya dari neraka orang yang tidak beramal sama sekali ?

Karena jelas haram memberontak pada pemerintah muslim, kecuali ia murtad….bagaimana jalan keluarnya?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Link kitab Nashbur-Rayaah itu sehat wal afiat. Tidak rusak. Saya sudah mencobanya beberapa kali. Ukuran file adalah 1,36 MB. Saya harap, ini bukan satu alasan, kecuali jika Anda memang enggan membacanya atau mengalami kesulitan membaca kitab.

Tentang hadits Abu Sa'iid, benarkah saya mengklaim ijma' atau memaksudkannya sebagai ijma' ?. Bukankah berulang kali saya katakan itu adalah pendapat jumhur ulama ?. Namun ketika Anda mengatakan bahwa perwujudan dalam hadits itu adalah khayal alias mustahil, inilah yang saya kritik. Sependek pengetahuan saya, seperti Ibnu Khuzaimah, ketika ia mengkritik penafsiran jumhur, ia tidak mengatakan seperti yang Anda katakan, bahwa wujud orang dalam hadits adalah objek khayali. Kalau dari orang-orang belakangan, ya, itu saya ketemukan. Makanya, ketika Anda mengatakan itu adalah objek khayali, maka pada dasarnya Anda menolaknya dengan akal Anda. Anda tidak menjelaskan apapun kecuali melalui kemusykilan akal Anda. Adapun para ulama, maka mereka mengkritiknya bukan dari segi khayal, tapi dari segi nash-nash kekufuran orang yang meninggalkan shalat, dan yang semisalnya. Anda mungkin mengklaim bersama barisan yang berbeda dengan jumhur (seperti Ibnu Khuzaimah dan yang lainnya), namun pada hakekatnya, Anda berada di jalan lain dalam metodologi pemahaman nashnya. Kalau misal Anda mempunyai salaf dalam keyakinan Anda tentang penafsiran nash bahwa orang yang dimaksud jumhur ulama ulama itu adalah objek khayaliy, sangat saya persilakan Anda menampilkannya di kolom komentar ini. Barangkali saya dapat mengambil faedah berharga dari yang Anda sampaikan.

[Oleh karena itu, di akhir komentar saya bertanya kepada Anda : Apakah Anda mengkritik saya dari sisi bahwa saya salah dalam memahami perkataan ulama yang saya sebutkan di atas ? ataukah Anda mengkritik saya dalam rangka mengkritik pendapat ulama yang saya bawakan melalui artikel di atas ?. Jika saya ketahui bahwa kritikan Anda ada pada salah satu di antara dua hal yang saya katakan, mudah untuk menyikapinya. Atau mungkin Anda secara eksplisit ingin mengatakan bahwa saya salah dalam memahami, namun di sisi lain Anda tahu bahwa 'salah paham' saya itu didasarkan perkataan ulama. Begitukah ?].

Tentang berkurangnya ashlul-iman, maka sudah saya katakan bahwa pengetahuan itu diperoleh melalui metodologi istiqra'. Bukankah telah saya katakan - dan mungkin juga And atelah mengetahuinya - bahwa para ulama menyebutkan ashlul-iman ini sebagai shihhatul-iman. Banyak masyaikh Saudi yang mengatakan ini. Dari metode jawaban Anda pun sepertinya Anda (pura-pura) tidak tahu apa artinya shihhatusy-syai'. Jika Anda tidak (mau) memahaminya juga, tidak mengapa saya jelaskan. Ashlul-iman itu adalah maratib paling rendah yang harus ada pada setiap muslim. Ia tidak boleh ditinggalkan. Karena dengan meninggalkannya, berarti ia kafir. Dari sinilah dipahami bahwa ashlul-iman itu tidak boleh menerima pengurangan. Sama halnya ketika sebagian ulama memasukkan amal shalat masuk dalam shihhatul-iman (sehingga masuk dalam cakupan ashlul-iman). Ia adalah amalan yang tidak boleh ditinggalkan. Jika ditinggalkan, maka kafir hukumnya. So, saya kira jelas sebenarnya makna ashlul-iman ini. Bukan seperti konteks yang Anda bayangkan. Lagi pula, sepertinya Anda gagal menuliskan di sini perkataan ulama Ahlus-Sunnah (entah itu mutaqaddimiin atau muta'akhkhiriin, terserah, boleh pilih) yang menyatakan secara tekstual bahwa ashlul-iman boleh menerima pengurangan.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Tentang perkataan Ibnu 'Uyainah (dan banyak perkataan ulama lain yang semisal), maka tidak ada yang salah dengan hal itu. Namun ingat, sebagaimana dikatakan Ibnu Mandah dan yang lainnya, iman itu ada pokok (ashl) dan cabang (far'). Dan para imam telah menjelaskan bahwa iman itu tidak hilang dari seseorang kecuali jika ia meninggalkan bagian dari ashlul-iman.

Adapun singgungan Anda tentang permasalahan hukum meninggalkan shalat, bersamaan dengan ta'arudl nushush yang dibahas oleh para fuqahaa', maaf, saya kali ini tidak memenuhi permintaan Anda. Pertama, karena ini di luar pokok pembicaraan ashlul-iman dalam sudut pandang Ahlus-Sunnah dan Murji'ah (atau firqah-firqah menyimpang lain). Kedua, saya pun telah menyinggung dan mengakui keberadaan pendapat sebagian ulama Ahlus-Sunnah yang memasukkan sebagian amal jawaarih dalam ashlul-iman (misal : shalat, zakat, dan yang lainnya dari rukun Islam yang empat). Pembahasan tentang hukum kafir tidaknya orang yang meninggalkan shalat (bagi yang masih mengakui kewajibannya) memang panjang jika dibahas. Masing-masing pihak mempunyai nash-nash dipandang musykil bagi pihak lain, sehingga masing-masing ulama menta'wil dhahir nash yang dirasa musykil yang disampaikan pihak lain.

Wallaahu a'lam bish-shawwaab.

Anonim mengatakan...

Sekedar info saja, link http://ia700501.us.archive.org/16/items/NasebAlRaayah02/NasebAlRaayah02.pdf yg disodorkan Abul Jauzaa' sama sekali tidak rusak, dengan sekali coba saya berhasil membukanya (file PDF) dan dpt dengan mudah saya save di laptop saya. Tp, e-book tersebut berbahasa Arab, mungkin saja akh anonim 14 November 2011 00:25 kurang mahir berbahasa Arab spt saya, jd mohon bantuan dari ustadz Abul Jauzaa' untuk menterjemahkan point2 penting yg jadi bahan diskusi saja.

Wallahu a'lam.

--Abu Ahmad--

Anonim mengatakan...

Begini mas abul jauzaa

Tentang PDF itu Jujur sudah saya coba untuk download berkali-kali link tersebut namun tidak bisa, pesan

“404. That’s an error.

The requested URL /external_content/untrusted_dlcp/ia700501.us.archive.org/en//16/items/NasebAlRaayah02/NasebAlRaayah02.pdf was not found on this server. That’s all we know.”


berarti ada masalah dengan koneksi internet saya atau broser yang saya gunakan karena sampai detik terakhir ini saya belum bisa download. Solusinya beri link yang lain insyaalloh saya baca…saya tertarik.

Tentang objek khayali. Sekali anda salah faham saya tidak bermaksud mengatakan orang tersebut sebagai objek yang khayal dan tidak eksis secara mutlak. Tapi nampaknya arah pembicaraan anda adalah memaksakan persangkaan anda kepada diri saya bahwa saya menganggap hal itu objek khayali. Tapi maaf anda keliru dan anda terlalu memaksakan pendapat anda itu kepada saya. Anda memang bebas memandang seperti itu tapi dalam kenyataan saya tidak bermaksud seperti itu. Saya hanya berupaya menunjukkan bahwa orang seperti itu ada dan berada dalam keadaan yang tidak umum. Karena madlul dari nash tersebut tidak dapat dijelaskan secara pasti penta’yinannya karenanya dari sisi itu mutasyabih, dan anda sendiri menghindari untuk menjelaskan seperti apa orang yang imanya sebesar atom? Ini samar kan .

Karenanya saya setuju dengan pendapat syaikh utsaimin, syaikh fauzan dan masyaikh lainnya yang tidak memahami orang yang tidak bermal sama sekali itu sebagai orang yang mampu beramal dan hidup ditengah2 adzan sholat dan kajian islam namun malas tidak pernah beramal. Ia beriman kepada perintah dan larangan namun tidak pernah menjalankan perintah dan larangan walau sekali pun. Dan anda tau bahwa syaikh utsaimin syaikh, bin baz dan ulama kibar saudi lainnya seperti ulama lajnah daimahpun tidak setuju dengan pemahaman bahwa orang yang tidak beramal kebaikan itu adalah orang yang malas seumur hidup atau tidak pernah ikhlas seumur hidup. Dan saya condong kesana.

Tentang ushul iman yang tidak boleh menerima pengurangan. Ya saya memang salah dalam memahami. Itu ternyata secara normatif saja bahwa hal itu hal minimal yang harus ada dalam diri seorang muslim (sahnya sesuatu)...ya intinya itu benar karena ini ketentuan mutlak. Karena anggapan saya awal maksudnya adalah iman tidak berkurang .... jelas itu keliru salaf memahaminya iman berkurang bahkan sampai habis tidak bersisa sama sekali. Karena dalam realitas iman bisa berkurang sampai titik nol. Jadi ini hanya masalah pemilihan kata saja yang menimbulkan salah tangkap.

Anonim mengatakan...

Tentang masalah nash tetang kufurnya orang yang meninggalkan amal jawarih atau khususnya sholat. Saya sengaja sertakan karena anda berdalil dengan nash tentang orang yang tidak beramal kebaikan sedikit pun. Dan anda memahaminya bahwa tidak kufur orang yang meninggalkan amal jawarih secara mutlak bersama dengan adanya kemampuan dari pelakunya. Dari situ muncul musykil dari saya bagaimana dengan nash-nash yang menyatakan kufur meninggalkan amal?

Saya hanya mengkritik penafsiran sebagaian orang yang mengatakan bahwa orang yang tidak beramal sama sekali itu adalah orang yang beriman kepada perintah dan larangan namun tidak pernah secuilpun dalam hidupnya menjalankan perintah dan secuilpun meninggalkan larangan padahal ia mampu dan tidak terhalang berbuat itu. Dan penafsiran orang yang selalu riya’ dalam beramal sholeh seumur hidupnya ia tidak beramal sholeh kecuali riya’...

Jelas penafsiran-penafsiran semacam itu bertentangan dengan nash yang shorih tentang kufurnya orang yang meninggalkan amal jawarih terutama sholat. Nash yang saya bawakan tentang bolehnya keluar dari ketaatan kepada pemerintah ketika ia meninggalkan sholat. Padahal kita tau haram memberontak kepada pemerintah yang sah, bahkan walau ia tidak berhukum kepada hukum alloh selama tidak menghalalkan hukum positif tersebut. Padahal berhukum kepada selain hukum alloh disebutkan sebagai kekafiran (kufrun duna kufrin) namun tidak sampai melegalkan kaum muslimin untuk mengangkat senjata kepada pemerintah. Lain halnya dengan sholat jika ia ditinggalkan oleh hukkam maka halal darah mereka dan halal diperangi. Dan ini menujukkan tidak sahnya iman kecuali dengan adanya amal jawarih yakni sholat.

Dan nash-nash syar’i itu jelas shorih dan membantah pemahaman orang yang mengatakan tidak kufurnya orang yang terus menerus meninggalkan amal jawarih padahal ia mampu dan hidup ditengah2 kaum muslimin yang masih menjalankan dakwah ta’lim dan ibadah.

Jika anda mengatakan hal ini tidak masuk pada tema pembahasan anda maka silahkan anda jawab ditempat yang lain yang anda kehendaki, karena saya butuh jawaban. Saya harap ini bukan alasan saudara untuk menghindari pertanyaan saya. Kecuali memang jujur anda sendiri merasa musykil untuk dapat menjama’ kedua nushus tersebut.
Jadi jawaban anda tetap saya tunggu dimana pun itu disini atau ditempat lainnya....dan tidak boleh menutup atau menyembunyikan ilmu..karena anda faham hukumnya.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Saya doakan semoga Anda mendapatkannya, dan membacanya. Anda bisa mendownloadnya di lain tempat.

Mengenai ashlul-iman, maka nampak bagi saya ini bukan sekedar sekedar pilihan kata. Tapi memang dalam hal pemahaman. Karena jika tidak memahami apa itu ashlul-imaan, apa itu kamaalul-imaan, dan yang lainnya; Anda akan susah menempatkan perkataan para ulama.

Anda mengatakan bahwa Anda tidak mengatakan bahwa orang yang terdapat pada dhahir hadits adalah objek khayali. Silakan saja Anda mengatakan seperti itu sekarang. Namun sebelumnya (dan Anda bisa refresh kembali di atas), Anda mengatakan berulang-kali dengan bahasa berbeda-beda bahwa Anda tidak bisa membayangkannya dan seterusnya, dan kemudian Anda jadikan hujjah untuk menolak dhahir nash. Anda pun gagal menyertakan pendapat ulama terdahulu yang membayangkan hal serupa dengan Anda. Juga, ketika saya kemukakan pendapat sebagian ulama kontemporer yang hendak mengkonklusikan kemusykilan 'aqliyyah yang dikemukakan muta'khkhriin dengan orang yang tidak berasmal ikhlash, lagi-lagi Anda berkata : Tidak bisa membayangkannya. Silakan Anda nilai sendiri perkataan Anda, apakah ini sama dengan mengatakan orang tersebut adalah objek khayali ataukah tidak. Silakan pula Anda mengatakan bahwa nash itu mutasyabih dan tenggelam di dalamnya, karena pernyataan ini - sependek pengetahuan saya - tidaklah muncul melainkan di era belakangan saja. Jika memang itu nash mutasyabih seperti klaim Anda, buat apa ulama Ahlus-Sunnah dulu dan sekarang mensyarahnya dan kemudian berhujjah dengannya ?.

Jika mau, sayapun bisa berhujjah dengan 'tidak bisa membayangkan' perwujudan objek yang diceritakan di beberapa hadits karena ada kesulitan secara 'aqliyyah membayangkan perwujudannya. (Misal : perwujudan Nabi Sulaimaan yang menggauli 100 orang istrinya semalam atau 70 orang dalam riwayat lain, keberadaan tulang ekor manusia terdahulu sampai hari kiamat yang tidak hancur, dan yang lain sebagainya masih banyak). Sama seperti alasan Anda : Saya tidak bisa membayangkan kaifiyahnya. Namun karena itu berita yang sifatnya khabariyyah, maka kewajibannya adalah taslim.

Jika Anda mengikuti ta'wil sebagian ulama bahwa orang yang ada dalam hadits syafa'at itu adalah orang yang terhalang untuk melaksanakannya, baik ia tidak mempunyai kemampuan atau tidak sampainya syari'at itu kepadanya; apa ini malah menimbulkan pemahaman yang lebih mudah bagi Anda ?. Bagi saya tidak. Justru orang-orang yang seperti ini adalah orang-orang yang berhak dimaafkan. Allah ta'ala berfirman :

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا

“Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul” [QS. Al-Israa’ : 15].

Sisi pendalilan : Seandainya ahlul-fathrah yang belum mengenal Islam (kalimat tauhid) saja dapat dimaafkan (walau nanti akan diuji di akhirat berdasarkan hadits yang lain), apatah lagi dengan orang yang telah mengenal Islam dan kelimat tauhid, hanya saja mereka tidak mengenal syari'at-syari'at Islam lahiriyyah ?. Tentu ia lebih berhak dimaafkan dan tidak diadzab. Dan aneh rasanya ia malah menjadi orang yang terakhir kali keluar dari neraka.

Konteks pembicaraannya pun tidak tepat. Hadits Abu Sa'iid itu dalam konteks orang yang melakukan dosa yang sangat besar, namun masih menyisakan ketauhidan dalam hati, maka ia akan diselamatkan, walau ia dikeluarkan paling akhir dari neraka. Membawa ke konteks 'udzur', sangat bertentangan dengan dhahir hadits.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Juga, apakah Anda tidak bisa memahami bahasa Arab ketika ada kalimat laa nafy kemudian diikuti dengan illa, maka itu mempunyai makna hasr paling jelas dan paling kuat menurut ilmu ushul (seperti kalimat : Laa ilaha illallaah) ?. Maaf, bagi saya, secara bahasa dan makna, hadits Abu Sa'iid ini sangat jelas dilalahnya.

Ada juga qarinah hadits Mu'aadz bin Jabal yang menjelaskan keutamaan tauhid bahwa barangsiapa yang mengucapkannya secara ikhlash, akan masuk surga ?. Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam melarang Mu'aadz menyampaikan hadits itu kepada manusia karena kekhawatiran orang-orang akan menyandarkan diri sehingga tidak beramal.

Dan yang lainnya masih banyak.

Tentang nash kufurnya orang yang meninggalkan shalat, mengapa Anda melihatnya di satu sisi saja ? yaitu kemusykilan yang datang dari sisi pendapat yang menyatakan kekafirannya ?. Bukankah hal yang sama itu bisa dikatakan oleh pendapat yang tidak menyatakan kekafirannya, bahwa nash yang Anda tuliskan itu 'bertentangan' dengan dhahir nash syafa'at Abu Sa'iid Al-Khudriy di atas ?. Jika Anda katakan bahwa shalat itu wajib - dan ia adalah amalan badan yang terbesar dalam syari'at - tentu hadits Abu Sa'iid tidak mengatakan : "Tidak pernah beramal kebaikan sedikit pun, kecuali tauhid". Juga musykil dilihat dari hadits :

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَلَى الْعِبَادِ مَنْ أَتَى بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ

"Ada lima waktu shalat yang diwajibkan Allah tabaraka wa ta’ala atas hamba-hamba-Nya. Barangsiapa yang mengerjakannya tanpa menyia-nyiakannya sedikitpun dan tanpa meremehkan hak-haknya, maka ia telah terikat janji dengan Allah tabaraka wa ta’ala yang akan memasukkannya ke dalam surga. Dan barangsiapa yang tidak mengerjakannya, maka dia tidak memiliki janji dengan Allah. Apabila berkehendak, Allah akan mengadzabnya. Dan apabila berkehendak, Allah akan mengampuninya” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad, 5/315-316 - lihat takhrijnya di sini].

Hadits di atas jelas menunjukkan bahwa orang yang meremehkan kewajiban shalat lima waktu masih dalam masyi'ah Allah.

Masih ada hadits yang lainnya.

Oleh karena itu, saya tidak berhajat membahas hukum meninggalkan shalat atau hukum meninggalkan amal kewajiban lain dalam rukun Islam yang empat. Barangsiapa yang mengatakan bahwa salah satu atau lebih di antara kewajiban amal jawaarih dalam rukum Islam dihukumi kafir bagi orang yang meninggalkannyaa, maka jadilah amal itu bagian dari ashlul-iman baginya. Ini adalah perselisihan di kalangan Ahlus-Sunnah. Bukan perselisihan antara Ahlus-Sunnah dengan Murji'ah. Saya kira jelas posisi artikel di atas dalam permasalahan ini. Entah bagi Anda.

NB : Namun jika ada orang yang mengatakan amal jawaarih secara mutlak masuk dalam ashlul-iman, maka perkataan ini menyerupai perkataan Khawaarij. Menyadari kemusykilan ini, maka muncullah perkataan muhdats orang-orang belakangan : jinsul-'amal. Artinya, harus ada amalan badan yang dilakukan oleh seseorang sehingga ia dikatakan muslim (tidak kafir), meskipun satu saja.

Anonim mengatakan...

Ya amin atas doa anda..

Ya anda tidak perlu terus-terusan memaksa prasangka anda itu pada diri saya bahwa anda menyangka saya memahami mereka sebagai objek yang tidak eksis sama sekali dalam kenyataan (khayali) bukan itu, ’itibarnya bukan dari gaya bahasa saya, Tapi maksud dan tujuan saya untuk menunjukkan bahwa hal itu tidak umum ditemui dan anda harus akui anda tidak juga mampu memberikan contoh dalam kenyataan yang lazim, karenanya saya sepakat dengan pemahaman syaikh utsaimin dan lainnya dalam memahami hadits tersebut.

Tentang nabi sulaiman yang menggauli 100 istrinya hehe saya rasa tidak boleh dibayangkan ( afwan bercanda). Yang jelas ia memang di orang yang khusus yang diberi mukzizat oleh Alloh ia tidak sama dengan manusia biasa dari beberapa hal, tidak ada yang musykil dari itu. Tentang diciptakannya kembali manusia dari tulang ekor kaifiyahnya memang majhul tapi al-imanu bihi wujub, sama seperti nash tentang sifat-sfat alloh mutasyabih dari kaifiyahnya mengimaninya wajib.

Saya rasa kita kembali kepada dalil-dalil kufur atau tidaknya sesuatu adalah berdasarkan dilalah yang shorih yang terdapat pada nash, bukan hawa nafsu kita. Kerena nash tentang bolehnya keluar dari ketaatan terhadap pemimpin yang tidak sholat padahal kezholiman yang besar tidak menghalalkan memerangi pemimpin. Bahkan berhukum kepada selain hukum alloh saja selama tidak menghalalkan tidak melegalkan memerangi pemimpin. Menunjukkan dilalah yang rojih dan shoreh bahwa meninggalkan sholat bukan kezholiman atau kufrun dunna kuffrin ia berada pada level kekufuran hakiki.

Jadi tentang orang-orang yang tidak beramal sama sekali adalah nash yang mengandung banyak ihtimal, dan ihtimal itu adalah kenyataan dan anda sendiri tau akan hal tersebut. Ada yang menyatakan ia adalah orang yang malas, ada yang menyatakan ia tidak ikhlas ketika beramal atau menyatakan pada hakikatnya masih tetap beramal yakni minimal sholat atau ada yang menyatakan ia tidak sempat beramal atau ada yang menyatakan ia hidup dalam masa diangkatnya ilmu, nash ini mengadung banyak kemungkinan belum lagi pemahamannya akan bertubrukan dengan nash yang shoreh tentang kuffurnya meninggalkan sholat. Ingat kaidah

اذا تطارق احتمال سقط استدلال
Jika nash dimasuki ihtimal maka pendalilan menjadi jatuh (lemah)

Tentu saja kaidah kita mendahulukan nash-nash yang jelas ketimbang nash-nash yang mengandung banyak kemungkinan. Tentang mengapa mengapa kaum itu di azab dan dikeluarkan paling akhir, maka itu diserahkan kepada kehendak Alloh. Alloh lebih tahu apa dosa dan kesalahan mereka. Dan ia yang berhak menentukan nasib hamba-hambanya

لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ

Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai
Dan kaidah kami adalah mengembalikan permasalahan yang samar dan mengandung banyak kemungkinan kepada nash-nash yang jelas dan rojih.



wallaahu a'lam bish-shawwaab

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Dikarenakan Anda tidak fokus dalam bahasan, maka membahasnya pun juga tidak jelas. Baik orang tersebut beramal kebaikan tidak ikhlash atau tidak beramal kebaikan sama sekali, itu tetap menafikkan bahwa amal jawaarih masuk dalam ashlul-iman. Tidakkah Anda menangkap esensi ini ?. Karena yang disebutkan dalam hadits tentang 'illat dikeluarkannya orang tersebut dari neraka adalah ketauhidan dalam hati. Dan inilah ruh yang diangkat dikeseluruhan artikel di atas. Nash itu tidak bersifat muhtamal sebagaimana yang Anda sangka. Justru, nash-nash yang Anda kemukakan lah yang mengandung kemungkinan-kemungkinan.

Adapun anggapan Anda bahwa saya kesulitan memberikan kenyataan yang lazim tentang orang yang dimaksudkan dalam hadits, maka :

Pertama, saya tidak pernah merasa kerepotan harus membayangkan seperti bayangan Anda. Bagi saya, jika ada hadits yang mengkhabarkan seperti itu, maka saya akan imani dan pahami sesuai dhahirnya seperti halnya hadits-hadits khabariyyah lainnya. Mudah, dan tidak perlu membayangkan yang bukan-bukan.

Apa bedanya antara saya tidak boleh membayangkan wujud kaifiyah atau kenyataannya bahwa Nabi Sulaiman berjimak dengan 100 orang istrinya atau 70 orang di riwayat lain dengan hadits Abu Sa'id ?. Juga dengan hadits terbelahnya bulan dimana belahan bulan itu ada di tangan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Jika Anda mengimani itu semuanya sesuai dengan dilalah nashnya, lantas apa bedanya dengan hadits Abu Sa'iid yang bercerita tentang akhirat ?. Inilah wujud inkonsistensi Anda. Apalagi sampai mengatakan bahwa hadits itu mutasyabih. Ketika saya tanya : Apakah yang Anda maksud itu mutasyabih nisbi ataukah mutasyabih mutlak, sampai sekarang pun Anda tidak menjawabnya. Kesulitan ?.

Kedua, para ulama terdahulu - sependek pengetahuan saya - tidak ada yang menempuh jalan Anda dalam mempertanyakan nash tentang wujud keberadaan orang yang ada dalam Abu Sa'iid. Saya sudah bertanya kepada Anda, kalau memang ada pendahulu Anda dalam menyatakan 'kemustahilan' itu, silakan dituliskan. Namun lagi-lagi, nampaknya Anda kesulitan membawakannya.

Ketiga, yang jadi sandaran hukum adalah dhahir nash. Bukan pada kesulitan pemahaman yang dialami sebagian manusia.

****

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Tentang nash yang menyatakan kafirnya orang yang meninggalkan shalat.....

Apakah Anda pikir dilalah nash yang sharih itu hanya ada pada pendapat kafirnya orang yang meninggalkan shalat ?. Apakah Anda tidak mencoba menyelami kemusykilan-kemusykilan yang timbul bila itu diterapkan pada nash-nash yang secara sharih orang yang meninggalkan shalat masih dalam masyi'ah Allah. Jika kita gabungkan secara bersama-sama hadits Abu Sa'iid tentang syafa'at, hadits 'Ubaadah bin Ash-Shaamit tentang tidak kafirnya orang yang tidak mengerjakan shalat yang lima (sebagaimana tertera di sini), dan juga hadits Mu'aadz bin Jabal tentang keutamaan tauhid; jika kita jujur dan fair, maka jelas sekali penunjukkan tidak kafirnya orang yang meninggalkan shalat karena malas atau meremehkannya.

Saya sedari kemarin menantikan 'ta'wil-ta'wil ilmiah' yang mungkin Anda bawakan terkait hadits Abu Sa'iid yang menjadi fokus Anda. Namun ternyata, perkataan Anda malah susah dipahami karena Anda hanya mengemukakan kemusykilan Anda semata. Bahkan isyarat ta'wil yang menurut Anda mungkin, sangat jauh dari konteks nash, dan bahkan membatalkan dilalah nash yang sudah sedemikian jelas. Anyway,... saya hargai pendapat Anda, walau saya kesulitan memahaminya.

Saya bisa menurunkan jawaban para ulama tentang hadits keluar ketaatan dari pemimpin jika ia tidak menegakkan shalat. Tapi sebelumnya saya bertanya : Anda menyebutkan hadits 'Auf bin Maalik radliyallaahu 'anhu tentang ketidakbolehan mencabut ketaatan kepada pemimpin jika mereka masih menegakkan shalat. Dan kata Anda, dalam lafadh lain dikatakan : jika melihat kekufuran yang nyata. Pertanyaan saya, apakah benar-benar tepat jika Anda katakan 'dalam lafadh lain' sedangkan lafadh lain itu hadits 'Ubaadah bin Ash-Shaamit ?. Menghubungkan antara lafadh hadits yang satu dengan lafadh yang lain yang beda jalur sebagaimana yang Anda katakan itu tidaklah harus menunjukkan satu kelaziman yang harus diambil (apalagi jika ada qarinah yang dianggap menafikkan kelaziman itu). Atau dapat dikatakan : Tidak selalu memberikan kelaziman bahwa lafadh meninggalkan shalat maknanya harus kufrun bawwaahan. Yang kemudian dengan itu Anda mengatakan yang ini sharih, sedangkan hadits yang menyatakan tidak kufurnya ghairu sharih.

Anyway,... sebagaimana telah saya katakan, saya tidak akan membahas hukum kafir tidaknya orang meninggalkan shalat di sini, karena akan membelokkan substansi artikel yang ingin saya tuju. Anda bisa menuliskannya di sini. Kalau Anda ingin meluaskan pemahaman Anda tentanh kedudukan amal dalam iman, silakan baca-baca buku yang kebetulan saya tulis link donload-nya di sini. Tapi masih murni berbahasa Arab. Jika Anda mengandalkan artikel-artikel terjemahan yang saat ini di internet, maka itu sangat-sangat tidak memadai.

Wallaahu a'lam.

Anonim mengatakan...

Ya maaf jika saya tidak fokus sebetulnya saya berupaya untuk fokus namun sejauh itu yang saya mampu baik saya akan lebih fokus ke satu atau dua masalah saja. Jika anda katakan Karena yang disebutkan dalam hadits tentang 'illat dikeluarkannya orang tersebut dari neraka adalah ketauhidan dalam hati. Ya karena hadits itu di ambil dari satu sisi dan tidak mempertimbangkan nash-nash dari sisi yang lain yang memiliki dilalah yang menyelisihi hadits tersebut. Orang tersebut di keluarkan dengan sebab ketauhidan karena ia memang terhalang dari beramal karena nash tentang kufurnya meninggalkan sholat itu shoreh.

Jika anda katakan nash tentang kufurnya orang yang meninggalkan amal jawarih yakni sholat adalah mengandung ihtimal maka silahkan anda jelaskan bagaimana ihtimalnya. Saya terus terang amat tertarik karena hal ini mudah-mudahan bisa menjadi tambahan ilmu bagi saya karena dari awal saya katakan saya memang meminta jalan keluar dari kedua nash yang saling bertolak belakang tersebut.

Karena Ijma’ ahlussunnah bahwa haramnya keluar dan memberontak dari pemimpin yang muslim baik yang sholeh maupun yang fajir. Hanya boleh memberontak dari pemimpin yang melakukan kekufuran yang nyata. Jika meninggalkan sholat hanyalah kefasikan maka tetap haram memberontak kepada pemimpin yang fasik. Dan jika perbuatan kufur pemerintah hanya kufur majazi (kufrun dunna kufrin) maka tetap haram ini. Karena Ijma ahlussunah tetap taat kepada pemimpin yang adil dan zholim, yang sholeh dan fasik. Jika meninggalkan sholat hanya kefasikan dan bukan kufur akbar tentu hukum asal taat kepada pemimpin tidak boleh dirubah.

Maka silahkan anda jelaskan ihtimal dalam nash yang sudah shoreh tersebut....saya tunggu.

Anonim mengatakan...

Ya saya mengerti bahwa terjemahan dari internet tidak memadai memang saya tidak sefasih anda dalam bahasa arab. Tapi baik saya upayakan cari dari source berbahasa arab
Tentang hadits ubaidah bin shamit... syaikh utsaimin telah menjelaskan hal ini dengan terperinci..dalam fatwanya (tapi saya rasa anda akan berkata “saya tau itu”) tapi tidak apa apa saya sekedar mengingatkan lagi.

فأنت ترى هذا الحديث واضطراب الرواة في لفظه ، وأن أحد رواته في الموطأ مجهول لا يعرف إلا بهذا الحديث كما قال بن عبد البر ، وترى رواية المسند 5/317 وأبي داود 1/115 أسلم من حيث الإسناد وفيها أن تعليق المغفرة بالمشيئة فيمن لم يأت بهن على وجه الكمال ، فلا يكون فيه دليل على أن تارك الصلاة تركاً مطلقاً داخل تحت المشيئة فلا يعارض النصوص الدالة على كفره .
وأما لفظ رواية مالك : " ومن لم يأت بهن " فيحمل على أن المراد لم يأت بهن غير مضيع منهن شيئاً ويؤيد ذلك لفظ رواية ابن ماجه ، وعلى هذا فتكون رواية مالك موافقة لرواية أحمد 5/317 .
والحاصل أن هذا الحديث لا يعارض النصوص الدالة على كفر تارك الصلاة لصحتها وصراحتها ، وعلى هذا تبقى أدلة الكفر قائمة سالمة من المعارض المقاوم، وحينئذ يجب العمل بمقتضاها ، ويحكم بكفر من ترك الصلاة تركاً مطلقاً ، سواء جحد وجوبها ، أو أقر به ولكن تركها تهاوناً وكسلاً ، ولا يصح أن تحمل هذه الأدلة على أن المراد بها كفر دون كفر ، أو أن المراد من تركها جاحداًما الأول : فلأننا لا يحل لنا أن نحمل أدلة الكفر على ذلك إلا حيث يقوم دليل 89;حيح على منع حملها على الكفر المطلق المخرج عن الملة ، ولا دليل هنا . ولأنه قد قام الدليل على أن المراد به الكفر المطلق المخرج من الملة فإن النبي صلى الله عليه وسلم قال : " بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة " (1) . فذكر الكفر معرفاً بال فدل ذلك أنه الكفر المطلق ، ولأنه صلى الله عليه وسلم جعل ذلك حداً فاصلاً بين الإيمان والكفر ، والمتحادان لا يجتمعان لانفصال بعضهما عن بعض .
وأيضاً فإن الله تعالى قال : ( فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ ) (2). فجعل ثبوت الاخوة في الدين مشروطاً بالتوبة من الشرك ، وإقام الصلاة ، وإيتاء الزكاة ، فإذا انتفى الشرط انتفى المشروط ، ولا تنتفي الأخوة في الدين إلا بالكفر المخرج من الدين أما المعاصي مهما عظمت فلا تنتفي بها الأخوة الدينية ، ولهذا جعل الله تعالى القاتل عمداً أخاً للمقتول مع أن القتل عمداً من كبائر الذنوب .
وأما الثاني : فلأننا لو حملنا نصوص الترك على من تركها جاحداً لوجوبها لكان في ذلك محذوران :
المحذور الأول : إلغاء الوصف الذي علق الشارع الحكم به وهو الترك ، وذلك لأن الجحود موجب للكفر سواء صلى الإنسان أم ترك الصلاة فيكون ذكر الشارع للترك لغواً من القول لا فائدة فيه سوى إيجاد الغموض والإشكال .
المحذور الثاني : إدخال قيد في النصوص لم يقم الدليل عليه ، وهذا يقتضي تخصيص لفظ الشارع أو تقييده بما لا دليل عليه فيكون قولاً على الله بلا علم والله المستعان . حرر في 8/10/1406 هـ .

Anonim mengatakan...

ini saudara anonym kok maksa banget... haadanallohu jami'an ila sabiilir rosyaad...
nas'alulloha 'ilman naafi'an...

Anonim mengatakan...

[QS 2:275] Orang yang mengulangi (mengambil riba setelah dilarang), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
[QS 4:93] Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam, kekal ia di dalamnya.
[QS 2:81] (Bukan demikian), yang benar, barang siapa berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
Dosa-dosa tersebut membuat kekal di neraka, padahal belum tentu lebih berat dari meninggalkan shalat dengan sengaja yang menjadi ikhtilaf. Demikian pula iblis (mungkin), orang munafik, orang (ngaku) muslim yang berbuat syirik akbar dan ahmadiyah padahal semua pernah mengucap syahadat.
--{Tunduk dan cinta bagian pokok iman}--
La ilaha illallah ada 3 bagian; Allah, la+illa (pentauhidan) dan ilah. Sehingga ada 3 konsekuensi ; [1] tahu Allah yang dimaksud (rububiyah, asma wa sifat), [2] menjadikan Dia satu-satunya tuhan (an-nafyu wal itsbat) dan [3] menempatkan/ memperlakukan Dia sebagai tuhan (uluhiyah). Tidak ada salah satunya maka batal La ilaha illallah-nya karena tidak benar/ lengkap.
Khusus poin ketiga yang jadi perdebatan disini, menjadikan Allah sebagai tuhan (disembah dan ditaati) pokoknya adalah RIDHA akan Allah sebagai tuhan. Bentuknya berupa ketundukan dan kecintaan kepada keimanan dan tidak ridha (benci) kepada kekafiran. Oleh karena itu, benci kepada kemunkaran itulah selemah-lemahnya iman.
Sehingga pokok iman adalah La ilaha illallah berupa [1] pembenaran (tahu, yakin, menerima), [2] ucapan (jujur, ikhlas) dan [3] tunduk dan cinta. Inilah sumber 7 syarat La ilaha illallah.
--{ridha kepada kekafiran pembatas iman-kafir}--
Seseorang pemakan riba, pembunuh, meninggalkan shalat tidak kafir karena perbuatannya namun karena ridha kepada kekafiran. Selama ada penyesalan berarti menandakan adanya benci kepada kekafiran. Namun jika dosa tersebut dilakukan terus-menerus akan mengakibatkan imannya tergerus hingga habis (hati mengeras/ tertutup). Sehingga tidak ada lagi penyesalan yang menandakan ridhanya kepada perbuatan kufur tersebut. Oleh karena itu Allah mengingatkan kita :
[QS 57:16] Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka (menunda-nunda) lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.
Demikian pula walau tidak melakukan kekufuran tapi meridhoinya adalah kafir. Karena pembatas iman-kafir adalah ridha kepada kekafiran bukan berbuat kufur. Mudah-mudahan bisa pula membantu menjawab ikhtilaf hukum meninggalkan shalat wajib. Wallahu a’lam
Ustadz iklan dikit kalo boleh (kalo tidak diapus aja bagian ini). Mungkin bisa bermanfaat bagi pembaca yang ingin mengingatkan kembali hakikat hidup, atau mungkin bisa memberikan masukan dan koreksi, silahkan diunduh di :
http://iyas.files.wordpress.com/2011/10/diagram-5-hakikat-hidup.pdf

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Anonim, nampaknya Anda adalah tipe orang yang tidak suka memperhatikan perkataan orang lain. Lebih senang mengeksplore dan berhalusinasi dengan apa yang hendak Anda katakan daripada melihat respon atas perkataan Anda sebelumnya. Namun, apapun itu, itu adalah urusan Anda. Hanya saja saya mengingatkan bahwa : Jika Anda ingin membahas hukum meninggalkan shalat, ada kolom yang lebih tepat untuk itu, yaitu di Meninggalkan Shalat. Itu telah saya katakan di atas dengan bahasa Indonesia. Dan saya yakin Anda paham dengan bahasa itu.

Dan ternyata, inti yang Anda katakan di atas pun hanya cyclic saja, yaitu melihat sesuatu hanya dalam satu sisi pandang saja (yaitu sisi pandang Anda). Anda berkata :

Orang tersebut di keluarkan dengan sebab ketauhidan karena ia memang terhalang dari beramal karena nash tentang kufurnya meninggalkan sholat itu shoreh.

Saya tidak akan mengulang apa yang telah saya katakan. Di atas telah saya jawab. Menggunakan ‘illat terhalang beramal, maka itu sama saja membatalkan dilalah nash, yang demikian membatalkan nash itu sendiri. Atau dengan kata lain, keberadaan hadits Abu Sa’iid ini dihukumi seperti ketiadaannya.

Tentang perkataan Ibnu ‘Utsaimin yang Anda nukil, terima kasih telah membawakannya. Pertama, perkataan beliau bahwa ada perawi dalam riwayat Maalik dalam Al-Muwaththa’ (dan yang lainnya) yang majhul, maka ini benar. Namanya Al-Mukhdajiy. Akan tetapi tidak benar jika kemudian disimpulkan lafadh yang dibawakan Al-Mukhdajiy ini lemah, sebab Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah dengan sanad shahih membawakan lafadh serupa dengan Al-Mukhdajiy dari jalur ‘Abdullah Ash-Shunabihiy :

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى عِبَادِهِ، مَنْ حَافَظَ عَلَيْهِنَّ وَلَمْ يُضَيِّعْهُنَّ اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ، كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ لا يُعَذَّبْهُ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ لَمْ يَكُنْ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ، إِنْ شَاءَ رَحِمَهُ، وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ

“Ada lima waktu shalat yang diwajibkan Allah ta’ala atas hamba-hamba-Nya. Barangsiapa yang menjaganya dan tidak menyia-nyiakannya sedikitpun dengan meremehkan hak-haknya, maka ia mempunyai perjanjian di sisi Allah agar Ia tidak mengadzabnya. Dan barangsiapa yang tidak mengerjakannya, maka dia tidak memiliki janji dengan Allah. Apabila berkehendak, Allah akan mengadzabnya. Apabila berkehendak Allah akan memberikan rahmat kepadanya, dan apabila berkehendak akan mengadzabnya” [selesai].

Perkataan lam ya’ti bi-hinna, maka itu artinya : tidak mengerjakannya (shalat 5 waktu), menyia-nyaiakannya dengan meremehkannya. Inilah makna dhahir terambil dari hadits, sebagaimana secara implisit diakui oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Begitu juga jika Anda perhatikan riwayat lebih seksama dimana latar belakang hadits ‘Ubaadah itu karena adanya pengingkaran terhadap orang yang mengatakan shalat witir itu wajib. Oleh karena itu, ‘Ubaadah ingin menegaskan bahwa yang diwajibkan dalam syari’at hanyalah shalat wajib yang lima. Meskipun disebagian lafadh disebutkan dengan lafadh : Barangsiapa yang memperbagus wudlunya dan shalat pada waktunya, lalu menyempurnakan rukuknya, sujudnya, dan kekhusyu’annya,....; maka yang dimaksudkan adalah wujud dzat shalat wajib yang lima itu sendiri. Bukan sekedar sisi an sich kesempurnaannya. Ini lebih sesuai dengan konteks pengingkaran yang disebutkan sebelumnya.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ada lagi hadits lain yang menunjukkan tidak kafirnya orang yang meninggalkan shalat :

ثَلَاثٌ أَحْلِفُ عَلَيْهِنَّ، لَا يَجْعَلُ اللَّهُ مَنْ لَهُ سَهْمٌ فِي الْإِسْلَامِ كَمَنْ لَا سَهْمَ لَهُ، وَأَسْهُمُ الْإِسْلَامِ ثَلَاثَةٌ: الصَّلَاةُ، وَالصَّوْمُ، وَالزَّكَاةُ،

“Ada tiga hal yang aku bersumpah padanya : (1) Allah tidak menjadikan orang yang mempunyai anak panah dalam seperti orang yang tidak mempunyai anak panah sama sekali. Dan anak-anak panah dalam Islam ada tiga, yaitu shalat, puasa, dan zakat... (2)....” [Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Ya’laa, dan yang lainnya].

Sisi pendalilan : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menafikkan kesamaan orang yang masih mempunyai anak panah dengan orang yang tidak mempunyai anak panah. Seandainya meninggalkan shalat itu kafir keluar dari Islam, maka tidak ada faedahnya beliau menafikkan ketidaksamaan antara orang yang tidak mempunyai anak panah, karena statusnya sama-sama kafir.

Jika pendapat yang mengatakan kafirnya orang yang meninggalkan shalat telah melakukan ta’wil-ta’wil pada nash-nash yang dipakai oleh ulama yang menyatakan tidak kafir; bukankah dengan mudah sebenarnya dipahami bahwa ulama tersebut mengambil makna yang jauh daripada makna yang dekat yang langsung terambil dari nash ?. Artinya, nash yang dibawakan oleh ulama yang menyatakan ketidakkafirannya sebenarnya sharih/jelas secara asal – dan memang itu makna dhahir yang terambil dari nash. Bukan tidak sharih sebagaimana yang Anda klaim. Seandainya tidak sharih, tentu para ulama yang menyatakan kafir tidak perlu melakukan ta’wil-ta’wil dengan makna majaaz dan yang lain sebagainya. Pahamkah Anda pada point ini ?.

Dan sama halnya jika kemudian para ulama yang berpendapat tidak kafirnya yang kemudian menta’wilkan kafir dalam nash dengan adanya juhuud akan kewajibannya dan yang semisalnya.

Tentang nash bolehnya keluar ketaatan (baca : angkat senjata) dari pemimpin yang dhalim, maka secara garis besar seperti yang telah dikemukakan di atas. Namun sebagai catatan tentang ijma’, ijma’ ini sebenarnya ijma’ yang terjadi setelah adanya perselisihan. Ijma’ yang didasarkan atas pertimbangan maslahat dan mafsadat (selain dengan dalil, tentu saja). Adapun jika ada penguasa dhalim yang dapat diturunkan tanpa adanya kericuhan dan yang semisal, maka ini boleh dilakukan sebagaimana dijelaskan An-Nawawiy dalam Syarh Muslim dan yang lainnya. Dan ingat, tujuan dari bolehnya keluar ketaatan ini bukanlah sekedar keluar ketaatan saja, tapi mengganti si pemimpin itu untuk mewujudkan kemaslahatan yang diakui oleh syari’at.

Kembali ke pokok nash yang Anda kutipkan. Pertanyaan saya sederhana, apakah jika ada dua dalil yang berisi syarat bolehnya keluar ketaatan dari penguasa, apakah harus selalu menjadi konsekuensi bahwa satu dalil menjadi penafsir dalil yang lain ?. Ataukah, satu dalil bisa merupakan tambahan hukum bagi dalil yang lain ?. Silakan jawab menurut kaedah ushulnya. [Sebab, jika tidak sama dalam pemahaman ushul istidlaalnya, akan susah mengkomunikasikannya].

O iya, tentang referensi berbahasa Arab yang Anda kutip di atas nampaknya juga salah sambung, sebab yang saya maksudkan adalah referensi yang membicarakan antara amal dan iman yang kemudian dikaitkan dengan bahasan ashlul-iman, kamaalul-iimaan, furuu’ul-iman, dan hukum at-tark. Dalam artikel atau buku berbahasa Indonesia, inilah yang kurang. Adapun bahasan mengenai masalah hukum meninggalkan shalat, saya rasa sudah banyak artikel berbahasa Indonesia yang membahasnya. Dan ini telah sangat memadai, walau sebagian, kurang dalam pendetailan beberapa pembahasannya.

Anonim mengatakan...

Saya akan pertajam pada penjelasan hadits muslim tentang haramnya keluar dari keta’atan kepada pemerintah kecuali ia meninggalkan sholat dan terdapat kuffur bawwah.

Yang pertama khilaf sebelum terbentuknya Ijma...maka khilaf tersebut la yu’tabar. Tentu yang dianggap setelah terbentuknya IJMA. Karena khilaf dimasa lampau tidak ada faedah apa2 bagi ijma yang telah terbentuk. Tujuan menjelaskan adanya khilaf hanya untuk menghilangkan syubhat bahwa ada perselisihan terhadap ijma haramnya memerangi pemimpin yang muslim. Sudah pasti sekali khilaf itu tertolak karena telah ada ijma yang datang setelahnya.

Ingat nash hadits tersebut tidak menjelaskan dengan bahasa yang diperhalus yang sekedar mengganti atau melengserkan atau menurunkan. Tapi Memerangi, membunuh dan menyelisihi dengan pedang atau mengangkat senjata.

"أفلا نقاتلهم ؟ قال : "لا ما صلوا"
Apakah kita perangi mereka? “tidak selama mereka masih sholat”.

أفلا ننابذهم بالسيف ؟ قال : "لا ما أقاموا فيكم الصلاة"
Apakah kita memerangi mereka dengan pedang? “ tidak selama mereka masih menegakkan sholat ditengah-tengah kalian”

إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان
“Jika kalian melihat kekufuran yang nyata yang kalian memiliki kelak bukti di sisi alloh.”

Nash-nash ini berkaitan dengan penghalalan darah pemimpin atau shulton bukan penurunan atau pelengseran belaka. Lihat nash dan zhohir haditsnya donk.
Jika halal menumpahkan darah dan memerangi pemerintah yang zholim tentu ini menjadi tidak ada bedanya dengan pendapat khawarij yang mereka menghalalkan darah kaum muslimin dengan sebab kefasikan dan kekufuran. Ingat sekte khawarij Al-abaadhiyah yang mereka tidak mengkafirkan kaum muslimin dan pemerintah, namun ia hanya membolehkan pencabut pedang dan dan menghalalkan darah pemerintah, hal itu disebabkan karena ia hanya menganggap penguasa itu kafir namjn bukan kafir hakiki tapi kufur nikmat dan ini termasuk pendapat bid’ah.

Karena pemerintah yang zholim dan fasik bukan hak mereka bukan diperangi namun di beri nasihat. Karena yang terdapat didalam syariat adalah menasihati pemimpin yang zholim dan bukan mengumbar aibnya atau bahkan memeranginya.

Atau anda mau katakan bahwa tidak mengapa memerangi dan menumpahkan darah pemimpin yang zholim selama tidak menimbulkan kericuhan. Begitu?? Halal darah mereka begitu?

Anonim mengatakan...

Jika sholat bukan termasuk kekufuran yang nyata atau kufur akbar maka kembali ke hukum asal tidak bolehnya keluar dari ketaatan apalagi menghalalkan darah pemimpin. Jika meninggalk sholat bukan kekufuran besar Tentu menjadi tidak ada faedahnya pengkhususan sholat sebagai penjaga dan penjamin terjaga darah shulton dari diperangi.

لا ننازع الأمر أهله إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان
Ingat kata ilaa di situ adalah takhsis dari hukum asal haramnya mencabut ketaatan apa lagi mencabut pedang dan menghalalkan darah. Kecuali dengan adanya kekufuran yang nyata. Apa anda mengatakan bahwa hadits ini saling bertentangan dimana nabi menyebutkan salah satu amalan yang tidak masuk dalam kekufuran yang nyata namun menghalalkan orang untuk mencabut pedang dan menghalalkan darah pemerintah? Jika sholat bukan kekufuran yang nyata dan hakiki maka sama saja kita mengecualikan sesuatu yang ada di luar pengecualian itu sendiri. Kesimpulannya jadi Sholat bukan kuffr akbar tapi ia dikecualikan dari amalan-amalan yang lain yang bahkan menjadikan sebab halalnya darah penguasa? Bukankah jadi rancu

Bagaimana bisa anda mengatakan nash tentang meninggalkan sholat dan nash tentang kekufuran yang nyata adalah dua nash yang berbeda hukum sementara illahnya sama yakni kebolehan mencabut ketaatan dan penghalalan terhadap darah penguasa.

Padahal nabi telah menyatakan lihat dalam hadits arbain

حرمة دم المسلم وأسباب إهداره
" عن أبي مسعود رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " لا يحل دم امرئٍ مسلم إلا بإحدى ثلاث: الثيب الزاني، والنفس بالنفس، والتارك لدينه المفارق للجماعة " رواه البخاري ومسلم " .

Pada dasarnya darah seorang muslim terjaga, karennya saya bertanya meninggalkan sholat termasuk apa dari tiga pengecualian nabi sehingga halal darah penguasa yang meninggalkan sholat. ? jika ia bukan kekufuran apakah termasuk perbuatan zina dan membunuh…tidak tepat jadinya?

Silahkan dijawab dimana tepat yang anda suka

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Saya hanya berkomentar sedikit saja - dan saya hanya ingin menunjukkan kesalahan deduksi Anda - perhatikan hadits berikut :

اسمعوا وأطيعوا وإن استعمل عليكم عبد حبشي كأن رأسه زبيبة ما أقام فيكم كتاب الله

“Dengarkan dan taatilah meskipun yang memerintahkan atas kalian budak Habsyiy yang kepalanya seperti kismis, selama ia menegakkan Kitabullah atas kalian”.

Kalau saya mengikuti kerangka pikir Anda di atas, maka jika ada pemimpin yang tidak menegakkan Kitabullah, maka kafir hukumnya, dan boleh keluar ketaatan darinya ?. Ya,... karena menurut Anda, tidak boleh keluar ketaatan kecuali jika nampak kekufuran yang nyata. Dan hadits ini menjelaskan menurut mafhumnya, jika tidak menegakkan Kitabullah, boleh keluar. Konsekuensinya : Orang yang tidak menegakkan Kitabullah = kafir akbar. Jika saya mengambil kerangka pendalilan ini, maka jadilah saya orang Khawarij.

Atau Anda akan memahami bahwa ada perincian penegakan hukum Kitabullah ini sehingga boleh keluar ketaatan, atau bisa dihukumi kekufuran yang nyata ?.

Sama halnya dengan nash tidak bolehnya keluar ketaatan dari penguasa selama masih shalat. Apakah setiap meninggalkan shalat itu pasti kufur bawwaah?. Atau,.... meninggalkan shalat ini boleh menerima perincian, sebab ada hadits yang menghalangi penghukuman kekafiran secara mutlak sebagaimana telah saya sebutkan di atas ?. Dengan kata lain : Ada keadaan meninggalkan shalat yang dihukumi kufran bawwaaahan dan ada pula yang tidak - sebagaimana dijelaskan para ulama kita.

Jika Anda mengatakan tidak seperti itu, maka Anda bisa jelaskan pengertian maa aqaamu fiikum Kitaaballah. Dan Anda juga bisa jelaskan dalil-dalil yang saya bawakan yang memalingkan kufur akbar dalam nash-nash taarikhush-shalah menjadi kufur ashghar.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Adapun perkataan Anda yang ini :

Padahal nabi telah menyatakan lihat dalam hadits arbain

حرمة دم المسلم وأسباب إهداره
" عن أبي مسعود رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " لا يحل دم امرئٍ مسلم إلا بإحدى ثلاث: الثيب الزاني، والنفس بالنفس، والتارك لدينه المفارق للجماعة " رواه البخاري ومسلم " .

Pada dasarnya darah seorang muslim terjaga, karennya saya bertanya meninggalkan sholat termasuk apa dari tiga pengecualian nabi sehingga halal darah penguasa yang meninggalkan sholat. ? jika ia bukan kekufuran apakah termasuk perbuatan zina dan membunuh…tidak tepat jadinya?

Silahkan dijawab dimana tepat yang anda suka
[selesai kutipan].

Saya sebenarnya tidak paham paham benar dengan maksud Anda di atas, karena susunan kalimatnya agak rancu. Tapi saya mencoba memahaminya.....

Mungkin yang Anda maksud adalah perkecualian bolehnya membunuh seorang muslim itu hanya pada tiga hal itu : zina, qishah, dan murtad/kekafiran. Jadi ketika ada nash yang menunjukkan bolehnya memerangi penguasa yang meninggalkan shalat, maka itu mengarah pada hukum murtad atau kafir dari tidga hal tersebut. Begitukah ?.

Jika benar,.....maka pendalilan Anda ini tidak nyambung. Anda tahu bedanya قاتل dan قتل ?. Jika tahu, kenapa Anda menyamakannya ?. Lain halnya jika Anda tidak tahu perbedaan makna dua kata itu.

Apakah konsekuensi hukum kebolehan memerangi itu sama dengan konsekuensi hukum kebolehan membunuh ?.

[bahkan jika Anda sadar, hadits di atas justru menjadi dalil sebagian ulama yang menyatakan tidak kafirnya orang yang meninggalkan shalat].

Mungkin Anda perlu mencatat point-point berikut :

1. Tidak semua orang yang boleh diperangi itu dihukumi kafir akbar.

2. Tidak semua orang yang boleh dibunuh itu dihukumi kafir akbar.

Lantas, bagaimana Anda mengqiyaskan dua hal itu ?.

Qiyas ma'al-fariq, ujung-ujungnya bathil.

Anonim mengatakan...

Faidah tambahan :
في عام (1419هـ) صدر كتاب أحمد بن صالح الزهراني
''ضبط الضوابط في الإيمان'' والذي قرر فيه أن الإيمان"قول وعمل واعتقاد" لكنه [ تناقض لمَّا] بيَّن مراده من ذلك بقوله في أوله: "المحور الذي تدور حوله هذه الأسطر هو بيان أن تارك العمل الظاهر لا يكفر كفرا أكبر ما دام يتلفظ بالشهادتين ولم يتلبس بناقض". ومما قال :"والقول بأن تارك العمل الظاهر كافر مخلد في النار هو قول الخوارج والمعتزلة ، ولا فرق عند التحصيل بين التكفير بكبيرة أو اثنتين وبين ترك سائر العمل الظاهر غير الشهادتين ، فكلاهما لا دليل عليه".

فردت اللجنة الدائمة برئاسة سماحة الشيخ ابن باز رحمه الله في آخره سنة(1419هـ) قائلة: (بيان وتحذير: الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين ، وبعد : فقد اطلعت اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء على الكتاب الموسوم بـ: (ضبط الضوابط في الإيمان ونواقضه) تأليف المدعو / أحمد بن صالح الزهراني فوجدته كتابا يدعو إلى مذهب الإرجاء المذموم ؛ لأنه لا يعتبر الأعمال الظاهرة داخلة في حقيقة الإيمان ، وهذا خلاف ما عليه أهل السنة والجماعة من أن الإيمان قول باللسان واعتقاد بالقلب وعمل بالجوارح ، يزيد بالطاعة وينقص بالمعصية. وعليه : فإن هذا الكتاب لا يجوز نشره وترويجه ، ويجب على مؤلفه وناشره التوبة الى الله عز وجل. ونحذر المسلمين مما احتواه هذا الكتاب من المذهب الباطل حماية لعقيدتهم واستبراء لدينهم ، كما نحذر من اتباع زلات العلماء فضلا عن غيرهم من صغار الطلبة الذين لم يأخذوا العلم من أصوله المعتمدة. وفق الله الجميع للعلم النافع والعمل الصالح. وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.

Lajnah Daimah yang diketuai Syaikh bin Baz rahimahumullah berfatwa :
“… wa ba’du, Lajnah Daimah Lil Buhuts wal ‘Ilmiyyah wal Ifta telah menelaah kitab berjudul -Dhabtud Dhawabith fil Iman wa Nawaqidhuhu- yang ditulis oleh Ahmad bin Shalih Az Zahrani maka Lajnah mendapati kitab tersebut mengajak kepada pemahaman irja’ (murji’ah) yang tercela karena (Penulis) tidak menganggap amalan dzohir (jawarih) masuk dalam haqiqotul iman, dan ini menyelisihi (keyakinan) Ahlu Sunnah wal Jama’ah bahwa iman adalah ucapan lisan, keyakinan dalam hati, dan amalan anggota badan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan maksiat.

Maka kitab ini tidak boleh disebarluaskan, wajib atas penulis dan orang yang menyebarkan kitab ini untuk bertaubat kepada Allah. Kami memperingatkan kaum muslimin dari pemahaman-pemahaman batil yang terdapat dalam kitab ini demi menjaga aqidah dan agama mereka, sebagaimana Kami memperingatkan untuk tidak mengikuti ketergelinciran ulama terutama bagi sebagian penuntut ilmu yang tidak mengambil ilmu dari ushul (pokok) yang mu’tamad (bisa dijadikan sandaran).

Semoga Allah memberikan taufik kepada seluruh (kaum muslimin) untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan amal shalih, shalawat Allah tercurah pada nabi kita Muhammad, keluarganya, para sahabatnya dan seluruh (kaum muslimin).

Wallahu a’lam

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Terima kasih atas 'faedah'-nya. Sebenarnya tidak terkait dengan bahasan ini, hanya saja - entahlah - Anda memasukkannya sebagai satu 'faedah'. Artikel beserta pembicaraan dalam halaman Blog ini pun tidak mengacu pada kitab Dlabthudl-Dlawaabith. Selain itu, kitab yang dicekal oleh Lajnah pun hanya Adl-Dlabth saja, sedangkan kitab beliau yang lain masih beredar seperti yang berjudul : Syarh Alfaadhis-Salaf wa Naqdu Alfaadhil-Khalaf fii Masaailil-Iimaan (yang diacu dalam artikel ini). Anda atau Pembaca lain bisa melihat indeks bab kitabnya di sini. Begitu juga dengan kitab Tarkul-'Amalidh-Dhaahir yang menjadi bagian referensi dari Syaikh Ibraahiim Ar-Ruhailiy dalam kitab Tabara-atu Al-Imaam Al-Muhaddits min Qaulil-Murji'ah Al-Muhdats.

Anyway,.... copas Anda sebelum teks fatwa di atas bukanlah bagian teks fatwa itu sendiri. Dan itu hanyalah komentar yang mungkin tidak sengaja ikut tercopas.

Anyway (again), saya banyak mengambil faedah dari kitab-kitab yang tertulis di halaman ini :

http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/11/kitab-kitab-kontemporer-yang-membahas.html.

Kembali ke fatwa Lajnah di atas,...... maka kita dapat menyikapi dengan aneka penyikapan, tergantung niat dan kapasitas.

Anonim mengatakan...

sebenarnya kalau seorang itu jeli dan ingin mencari kebenaran, maka ia tadaburi benar-benar hadits tentang syafaat diatas, yeng menunjukkan bahwa orang yang masih memiliki keimanan walau sebesar biji dzaroh, Alloh Robbunaa mengeluarkannya dari neraka. ini menunjukkan bahwa mereka yang masih ada ashul Imannya walaupun belum pernah melakukan amalan kebaikan, akan tetapi ushul Imam (mutlaqul iman) masih ada tidak kekal di neraka bersama orang-orang kafir yang kekal di neraka.
dan juga ada sebuah qoidah yang perlu ia perhatikan dan ditadaburi bahwa :
1. Alloh dapat menyelisihi ancamannya dengan tidak menerapkannya kepada pelakunya, karena rokhmat dan kasih sayang-Nya yang begitu luas.
2. Adapun janji, maka Alloh tidak akan mengingkari janjinya.

Ini saja yang saya nasehatkan kepada diri pribadi dan orang2 yang ingin mencari kebenaran dalam masalah ini. bila perlu Ia melakukan sholat itsikharoh memohon petunjuk kepada Alloh untuk diberikan pemahaman yang benar dalam masalah ini.
wallohu a'lam

Akhukum Fillah

Abu Said

Anonim mengatakan...

Hanya ingin share, siapa tahu pemahaman saya selama ini salah.

[1] Dalam pembahasan suatu kitab, ustadz abu haidar pernah menjelaskan syarat memerangi penguasa ada 2:

i. tampak kekufuran
ii. memiliki kekuatan

intinya tidak hanya tampak kekufuran yang jadi batasan. oleh karena itu, kaum muslim yang berada di negeri kafir tidak boleh memerangi penguasa mereka yang kafir

[2] hadits terjaganya darah seorang muslim kecuali 3 hal. poin ke-3 yaitu meninggalkan agama menyelisihi jamaah, saya lebih yakin ke pendapat yang maksudnya orang yang menyelisihi jamaah bukan murtad, karena :

i. hadits tersebut menyebutkan "muslim", murtad sudah tidak termasuk muslim lagi

ii. diterangkan dengan "menyelisihi jamaah"

iii. faktanya banyak peperangan diantara kaum muslimin, memerangi ahli bid'ah, meninggalkan shalat, enggan zakat atau yang tidak mau tunduk penguasa bahkan peperangan di kalangan sahabat sendiri. padahal hadits itu ada pembatasan (la-illa) berarti cuma tiga itu. jika maksudnya murtad lantas masuk kemana peperangan tersebut?

ibn Abdillah mengatakan...

adapun al isra: 15; maka ayat ini UMUM, telah ada HADITS SHAHIIH yang memerinci permasalahan ini.

dari Aswad bin Sari' Sesungguhnya Nabiyullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda:

"Ada empat jenis orang di hari kiamat nanti: Seorang laki-laki tuli yang tidak mendengar apapun, seorang laki-laki bodoh, seorang laki-laki yang pikun, dan seorang laki-laki yang mati dalam masa-masa kevakuman (ajaran agama atau risalah kenabian tidak sempat menjumpai dirinya).

Orang tuli tersebut menyampaikan alasannya, 'Wahai Rabku, telah datang Islam hanya aku tidak mendengar apapun tentang hal itu'.

Adapun orang yang bodoh beralasan, 'Wahai Rabku, Islam telah datang, hanya anak-anak melempariku dengan kotoran unta'.

Adapun yang pikun berkata, 'Wahai Rabku, telah datang Islam hanya aku tidak bisa berfikir sama sekali'.

Adapun orang yang mati dalam masa-masa kevakuman berkata, 'Wahai Rabku, para utusan-Mu tidak mendatangiku dan mengambil janji orang-orang untuk taat kepadanya.'

Lantas Allah mengutus para malaikatnya (sebagai utusan-red) untuk mengatakan

'Masuklah kalian ke dalam neraka'. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, kalaulah mereka memasuki api tersebut, api itu akan menjadi dingin dan menyelamatkan mereka".

(Ahmad bin Hanbal) berkata, telah menceritakan kepada kami 'Ali telah menceritakan kepada kami Mu'adz bin Hisyam berkata, telah menceritakan kepadaku bapakku dari Al Hasan dari Abu Rafi' dari Abu Hurairah sepereti di atas, kecuali dalam perkataan yang terakhirnya,

'Barangsiapa memasuki api tersebut, api tersebut akan menjadi dingin dan menyelamatkan, dan barangsiapa tidak memasukinya, ia justru diseret untuk memasukinya."

[HR. Ahmad, Ibnu Hibban, Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi, dishahihkan Al-Albani dalam shahihul Jami' no hadits : 883]

Bahkan ahlul fathrah pun TIDAK DIJAMIN bebas dari adzab neraka berdasarkan hadits diatas; karena mereka masih mendapatkan satu ujian terakhir yang memastikan nasib mereka, apakah selamat dari adzab, ataukah malah terjatuh didalamnya; na'uudzubilaah.

Semoga bermanfaat.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Jika dikatakan Ahlul-Fatrah tidak dijamin bebas adzab, maka hal yang sama dapat dikatakan : Ahlul-Fatrah juga tidak dijamin kepastiannya akan diadzab.

Tentang Ahlul-Fatrah, telah ada bahasan mengenai hal itu di http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/05/ahlul-fatrah.html.

Dan di atas pun saya mengatakan :

Seandainya ahlul-fathrah yang belum mengenal Islam (kalimat tauhid) saja dapat dimaafkan (walau nanti akan diuji di akhirat berdasarkan hadits yang lain), apatah lagi dengan orang yang telah mengenal Islam dan kelimat tauhid, hanya saja mereka tidak mengenal syari'at-syari'at Islam lahiriyyah ?. Tentu ia lebih berhak dimaafkan dan tidak diadzab. Dan aneh rasanya ia malah menjadi orang yang terakhir kali keluar dari neraka. [selesai kutipan].

Mereka disebut Ahlul-Fatrah karena mereka tidak mengenal Islam. Yaitu pokok ajaran Islam tentang ketauhidan. Mereka tidak disebut Ahlul-Fatrah semata-mata karena tidak mengenal shalat atau zakat atau puasa.

Abul-Harits mengatakan...

Ustadz Abul-Jauzaa –hafidzahullah- berkata : “Apakah amal jawaarih (anggota badan) bukan termasuk bagian dari ashlul-imaan ? Menurut jumhur Ahlus-Sunnah : Tidak. Amal jawaarih termasuk bagian dari furuu’ul-iimaan, dan ia adalah penyempurnanya (kamaalul-iimaan).” kemudian Ustadz menukil ucapan para imam ahlu sunah yang menunjukkan hal tersebut, lalu menukil ucapan berikut,
Dr. Nu’aim Yaasiin hafidhahullah berkata :
فالجمهور من أهل السنه وإن جعلوا العمل جزءا من الإيمان إلا أنهم لم يقولوا بتكفير المصدق بقلبه المقر بلسانه إن لم يعمل، والحنفية وإن أخرجوا العمل من الإىمان إلا أنهم اعتبروه من لوازمه ومقتضياته، ولكل متفقون على عدم التكفير بترك العمل
“Jumhur ulama Ahlus-Sunnah, meskipun mereka menjadikan amal merupakan bagian dari iman, namun mereka tidaklah mengatakan kekafiran orang yang membenarkan dengan hatinya lagi mengikrarkan dengan lisannya. Adapun ulama Hanafiyyah, meskipun mereka mengeluarkan amal dari iman, namun mereka menganggapnya sebagai konsekuensi dan persyaratannya. Dan mereka semuanya bersepakat tentang peniadaan pengkafiran dengan meninggalkan amal” [Al-Iimaan, hal. 151-153].

Pertanyaan saya ustadz, bagaimana dengan ucapan ulama di bawah ini ? sebelumnya afwan kalo kurang lengkap dalam menerjemahkan atau ada kesalahan. Mohon dikoreksi kembali…

قال سفيان بن عيينة رحمه الله(السنة لعبد الله بن أحمد:1/347) : وقد سئل عن الإرجاء فقال : ( يقولون الإيمان قول ، ونحن نقول الإيمان قول وعمل. والمرجئة أوجبوا الجنة لمن شهد أن لا إله إلا الله مصراً بقلبه على ترك الفرائض ، وسموا ترك الفرائض ذنباً بمنزلة ركوب المحارم ، وليسوا بسواء لأن ركوب المحارم من غير استحلال معصية ، وترك الفرائض متعمداً من غير جهل ولا عذر هو كفر).

Sufyan bin ‘Uyainah ditanya tentang Al-Irja’ (murji’ah) lalu beliau berkata : “Mereka (murji’ah) menyatakan bahwa iman adalah ucapan, Kami menyatakan bahwa iman adalah ucapan dan amal, Murji’ah mewajibkan surga bagi siapa yang senantiasa bersyahadat Lailaha illalah dalam hatinya dan meninggalkan kewajiban-kewajiban (syariat), mereka menamakan tarkul- faraaidh (meninggalkan kewajiban) sebagai dosa seperti terjatuhnya seorang dalam keharaman, ini tidaklah sama karena terjatuhnya seorang pada keharaman tanpa istihlal (penghalalan) adalah maksiat, sedangkan meninggalkan kewajiban-kewajiban syariat dengan sengaja tanpa kejahilan dan udzur adalah kekafiran”

وقال إسحاق بن راهوية رحمه الله (تعظيم قدر الصلاة:2/929، فتح الباري لابن رجب :1/21): "غلت المرجئة حتى صار من قولهم : إن قوماً يقولون : من ترك الصلوات المكتوبات وصوم رمضان والزكاة والحج ، وعامة الفرائض من غير جحود لها: إنَّا لا نكفره ، يرجأ أمره إلى الله بعد، إذ هو مقرٌّ. فهؤلاء الذين لا شك فيهم. يعني: في أنهم مرجئة".
Al-Imam Ishaq bin Rahawaih –rahimahullah- berkata : “Kaum Murji’ah mengatakan, barangsiapa yang meninggalkan shalat-shalat yang wajib, puasa ramadhan, zakat, haji dan kebanyakan kewajiban-kewajiban (syariat) tanpa mengingkari (kewajibannya) maka kami (Murji’ah) tidak mengkafirkannya, perkaranya diserahkan kepada Allah ketika ia mengakui (kewajibannya). Ishaq berkata : Mereka adalah Murji’ah, tidak ada keraguan padanya. [Ta’dzim Qadris Shalah 929/2, Fathul Bari Liibni Rajab 21/1]

Abul-Harits mengatakan...

قال الشيخ ابن باز رحمه الله (مجلة المشكاة المجلد الثاني ، الجزء الثاني/279، 280) رداً على من زعم أن العمل شرط كمال": لا ، لا ، ما هو بشرط كمال ، جزء، جزء من الإيمان . هذا قول المرجئة ، المرجئة يرون الإيمان قول وتصديق فقط".


Syaikh Ibnu Baz –rahimahullah- ketika membantah orang yang menyangka bahwa amal (hanyalah) syarthul kamal (syarat kesempurnaan) iman, beliau berkata : “Tidak …. Tidak, amal bukanlah syarthul kamal iman, bahkan amal merupakan bagian dari iman, ini adalah ucapan Murji’ah, Murji’ah menganggap bahwa iman hanyalah ucapan dan tashdiq (pembenaran dalam hati).” [Majalah Al-Misykah jilid 2, juz 2/279,280]

وقال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله (شريط يتضمن أسئلة إدارة الدعوة بقطر)عن مقولة اشتهرت عند القائلين بإسلام تارك أعمال الجوارح حيث قالوا : }لا يكفر المسلم حتى يترك أصل الإيمان القلبي{ ، وأن : }جمهور العلماء وليس المرجئة يقولون بنجاة تارك العمل{. قال الشيخ منكراً هاتين القاعدتين :"هؤلاء يريدون سفك الدماء واستحلال الحرام لماذا صاحب هذا الكتاب ما أصل أصول أهل السنة والجماعة كما أصلها شيخ الإسلام ابن تيمية في العقيدة الواسطية ؟".
Ketika ditanyakan kepada Syaikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah-, perkataan sebagian orang tentang islamnya seorang yang meninggalkan amal jawarih, ucapan mereka : “seorang muslim tidak dikafirkan hingga ia meninggalkan ashlul iman dalam hati, dan jumhur ulama (bukan murji’ah) berpendapat bahwa orang yang meninggalkan amal jawarih akan selamat (dari kekafiran).

Syaikh Ibnu Utsaimin mengingkari dua kaidah di atas seraya berkata : “Mereka menginginkan tertumpahnya darah, menghalalkan yang haram, kenapa penulis kitab itu tidak mumbuat Ushul Ahlu Sunah Wal Jama’ah sebagaimana ushul yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al-Aqidah Al-Wasithiyyah?”.

Abul-Harits mengatakan...

وسئل الشيخ صالح الفوزان حفظه الله (المنتقى من فتاواه:2/9) عن قول بعض الناس : إن عقيدة أهل السنة والجماعة أن العمل شرط في كمال الإيمان وليس شرطاً في صحة الإيمان فقال الشيخ :"هو قول مرجئة أهل السنة ، وهو خطأ ، والصواب أن الأعمال داخلة في حقيقة الإيمان ، فهو اعتقاد وقول وعمل ، يزيد بالطاعة وينقص بالمعصية".

Ditanyakan kepada Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafidzahullah- ucapan sebagian orang bahwa “Aqidah Ahlus-Sunah wal Jama’ah menyatakan amal merupakan syarthul kamal iman, bukan syarat sahnya iman”, maka Syaikh Shalih Al-Fauzan menjawab : “ini adalah ucapan Murji’ah Ahlu Sunah, ini ucapan yang salah, yang benar bahwasanya amal termasuk dalam hakikat iman, iman adalah i’tiqad, ucapan dan amal, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.”


قال فضيلة الشيخ عبد العزبز الراجحي ــ حفظه الله ــ (شريط أسئلة وأجوبة في الإيمان والكفر/ السؤال الثاني) : لما سئل عمن يقول: (الإيمان قول وعمل واعتقاد لكن العمل شرط كمال فيه) ، ويقول أيضا: (لا كفر إلا باعتقاد) ، فهل هذا القول من أقوال أهل السنة أم لا ؟

Ditanyakan juga kepada Syaikh Abdul Aziz Ar-Rajihi –hafidzahullah- ucapan seorang, “iman merupakan ucapan, amal dan i’tiqad, akan tetapi amal hanyalah syarthul kamal iman” dan juga ucapan, “ tidak ada kekafiran kecuali dengan i’tiqad” apakah ucapan ini termasuk ucapan ahlu sunah atau bukan?

قال الشيخ : ليست هذه الأقوال من أقوال أهل السنة أهل السنة يقولون : الإيمان هو قول باللسان وقول بالقلب وعمل بالجوارح وعمل بالقلب ، ومن أقوالهم : الإيمان قول وعمل ؛ ومن أقوالهم : الإيمان قول وعمل ونية ، فالإيمان لا بد أن يكون بهذه الأمور الأربعة : (أ) قول اللسان وهو النطق باللسان. (ب) قول القلب وهو الإقرار والتصديق. (ج) عمل القلب وهو النية والإخلاص. (د)عمل الجوارح . فالعمل جزء من أجزاء الإيمان الأربعة ، فلا يقال : العمل شرط كمال أو أنه لازم له فإن هذه أقوال المرجئة ولا نعلم لأهل السنة قولا بأن العمل شرط كمال. وكذا قول من قال : ( لا كفر إلا باعتقاد ) فهذا قول المرجئة ومن أقوالهم : ( الأعمال والأقوال دليلٌ على ما في القلب من الاعتقاد ) وهذا باطل ، بل نفس القول الكفري كفر ونفس العمل الكفري كفر كما مر في قول الله تعالى (قل أباللّه وآياته ورسوله كنتم تستهزئون*لا تعتذروا قد كفرتم بعد إيمانكم([التوبة:64,65] أي : بهذه المقالة.

Syaikh Abdul Aziz Ar-Rajihi menjawab : “ini bukanlah ucapan dari pendapat Ahlus-Sunah, Ahlus-Sunah menyatakan bahwa iman adalah ucapan lisan dan hati, amalan badan dan amalan hati…..Maka tidak boleh dikatakan bahwa amal jawarih termasuk syarthul kamal (syarat kesemprnaan) atau ia hanyalah konsekuensi iman, karena ini adalah ucapan Murji’ah. Kami tidak mengetahui adanya ucapan (ulama) Ahlus-Sunah yang menyatakan bahwa amal merupakan syarat kesempurnaan iman. Begitu pula ucapan “tidak ada kekafiran kecuali dengan keyakinan” adalah ucapan Murji’ah…..”

Abul-Harits mengatakan...

قال الشيخ الدكتور عبد الله بن إبراهيم الزاحم (مقدمة كتاب التبيان لعلاقة العمل بمسمى الإيمان: ح) :"فإني أود التنبيه على عبارة الحافظ ابن حجر رحمه الله حين أراد التفريق بين قول أهل السنة وقول المعتزلة في تعريف الإيمان وبيان حده ... إذ قد فهم منها بعض الفضلاء أن الأعمال الصالحة كلها شرط كمال عند السلف. وهذا خطأ يقع فيه كثير من طلاب العلم ممن لم يمحص قول السلف في هذا الباب ، فإن هذه العبارة عند السلف يراد بها آحاد الأعمال لا جنسها ، أي : أن كل عمل من الأعمال الصالحة عندهم شرط لكمال الإيمان ، خلافاً للمعتزلة الذين يرون أن كل عمل شرط لصحة الإيمان ، لأن الإيمان عند السلف يزيد بالطاعة وينقص بالمعصية ، وليس مرادهم : أن جنس الأعمال شرط لكمال الإيمان ، ولأن هذا يقتضي صحة الإيمان بدون أي عمل ، وهذا لازم قول المرجئة ، وليس قول أهل السنة".
Syaikh Dr. Abdullah bin Ibrahim Al-Zahim berkata : “Aku memberikan catatan pada ungkapan Al-Hafidz Ibnu Hajar ketika ingin membedakan antara ucapan Ahlus-Sunah dan Mu’tazilah dalam pengertian iman dan menjelaskan batasannya. Ketika sebagian fudhala’ memahami bahwa seluruh amalam shalih termasuk syarthul kamal dalam pandangan salaf. Ini adalah kesalahan yang terjatuh padanya banyak para penuntut ilmu yang belum mendalami ucapan salaf dalam bab ini. Karena ungkapan yang semacam ini yang dimaksudkan oleh salaf hanyalah sebagian amalan bukan jinsul ‘amal (jenis amal)…bukanlah maksud ucapan salaf bahwa jinsul-‘amal termasuk syarat kamalul iman karena hal ini melazimkan sahnya iman tanpa melakukan amalan sedikitpun. Dan ini adalah kelaziman dari ucapan murji’ah dan bukan ucapan Ahlus-Sunah."

Wabillahit-taufiq

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Duhai seandainya sebelum Anda bertanya, Anda mencermati dan membaca baik-baik tulisan di atas [karena bertanya itu lebih mudah daripada menjawab]. Saya tahu bahwa hakekat pertanyaan Anda adalah pernyataan ketidaksetujuan.

Kalau yang Anda tanya adalah pernyataan bahwa madzhab jumhur ulama menjadikan amal jawaarih (bukan amal secara mutlak) sebagai bagian dari kamaalul-iimaan (saya tidak pernah menulis/mengatakan syarthul-kamaal); tidakkah Anda membaca perkataan Al-Imaam Al-Marwadziy rahimahullah :

لأن البي صلى الله عليه وسلم سمّى لإيمانَ بالأصل وبالفروع، وهو الإقرارُ، والأعمال....... فجعلَ أصلَ الإيمانِ الشهادة، وسائرَ الأعمال شُعباً، ثمّ أخبرَ أنّ الإيمان يكمل بعد أصلهِ بالأعمالِ الصّالحة....

“Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menamakan iman dengan ashl (pokok) dan furuu’ (cabang); dan ia adalah iqraar dan amal-amal…… Dan beliau menjadikan ashlul-iimaan syahadat, dan menjadikan seluruh amal cabang-cabang. Kemudian beliau mengkhabarkan bahwasannya iman disempurnakan setelah pokoknya dengan amal-amal shaalihah….” [Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah, 2/711-712].

Dan yang lainnya dari perkataan ulama. Silakan refresh kembali tulisan di atas, dan saya tidak perlu menjawab pertanyaan dan pernyataan Anda lainnya.

[Dan saya merasa aneh, karena Anda hanya menukil perkataan saya dan perkataan Dr. Nu'aim Yaasin saja. Padahal perkataan Dr. Nu'aim Yaasiin saya letakkan paling akhir dari nukilan di artikel. Adakah Anda menginginkan sesuatu ?].

Adapun perkataan jinsul-'amal yang dikatakan sebagian fudlalaa', maka ini istilah yang muhdats yang tidak pernah dikenal di kalangan salaf.

Wallaahu a'lam

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Berikut adalah komentar singkat saya terhadap artikel yang berjudul : Apakah Orang Yang Hanya Bermodal Syahadat Lalu Meninggalkan Seluruh Amal Kewajiban Dalam Syariat Dikatakan Muslim?.

=======

Saya tidak akan menanggapi seluruh artikel, hanya sebagian saja. Maaf, ada beberapa kesalahan yang saya kira cukup fatal dalam artikel di atas :

1. Antum menafsirkan bahwa al-iimaanul-waajib = ashlul-iman (lihat dalam perkataan Ibnu Taimiyyah yang antum sitir). Ini keliru. Karena al-iimaanul-waajib itu adalah martabat setelah ashlul-iimaan, dimana martabat tersebut memang mengharuskan dilakukannya faraaidl. Atau pendek kata, al-iimaanul-waajib itu tidak akan terwujud tanpa melakukan amal-amal yang diwajibkan. Oleh karenanya Syaikhul-Islaam berkata sebagaimana yang antum kutip :

لا يتصور وجود إيمان القلب الواجب مع عدم جميع أعمال الجوارح

Adapun Murji'ah berpendapat bahwa al-iimaanul-waajib itu tetap terpelihara dan sempurna meskipun ia meninggalkan kewajiban. Ini disepakati oleh seluruh firqah Murji'ah. Syaikhul-Islam Ibnu taimiyyah berkata :

ظنهم أن الإيمان الذي في القلب يكون تاماً بدون شيء من الأعمال؛ ولهذا يجعلون الأعمال ثمرة الإيمان ومقتضاه، بمنزلة السبب مع المسبب ولا يجعلونها لازمة له‏.‏ والتحقيق أن إيمان القلب التام يستلزم العمل الظاهر بحسبه لا محالة، ويمتنع أن يقوم بالقلب إيمان تام بدون عمل ظاهر

“(Termasuk kekeliruan mereka, yaitu Murji’ah adalah) prasangka mereka bahwa iman di dalam hati akan menjadi sempurna tanpa adanya amal sedikitpun. Karena itu mereka menjadikan amal-amal sebagai buah dari iman dan hasilnya, sama seperti kedudukan sebab dan akibat. Mereka tidak menjadikan amal sebagai satu keharusan bagi iman. Padahal, iman yang sempurna di dalam hati mewajibkan amal dhaahir menurut kadarnya. Sudah pasti itu. Tidak mungkin ada iman yang sempurna di dalam hati tanpa adanya amal dhaahir….. [Al-Iimaan oleh Ibnu Taimiyyah, hal. 160-161 & 162].

Perhatikan kata ‘sempurna’ di atas yang menjadi ciri khas Murji’ah.

Untuk maraatib iman, Syaikh 'Abdullah bin 'Abdil-Hamiid Al-Atsariy berkata saat menjelaskan hal tersebut :

المرتبة الأولى: (أصل الإيمان):

ويسمى أيضاً (الإيمان المجمل) أو (مطلق الإيمان).

وهذه المرتبة من الإيمان غير قابلة للنقصان؛ لأنها حد الإسلام، والفاصل بين الإيمان والكفر، وهذا النوع واجب على كل من دخل دائرة الإيمان

.......

المرتبة الثانية (الإيمان الواجب):
ويسمى أيضاً (الإيمان المفصل) أو (الإيمان المطلق) أو (حقيقة الإيمان).
وهذه المرتبة تكون بعد مرتبة (أصل الإيمان) ويكون صاحبها ممن يؤدي الواجبات ويتجنب الكبائر والمنكرات، ويلتزم بكل تفصيلات الشريعة؛ تصديقاً والتزاماً وعملاً، ظاهراً وباطناً؛ حسب استطاعته، وبقدر ما يزيد علمه وعمله يزداد إيمانه، وإذا ارتكب بعض الصغائر؛ يكفر عنه حسناته واجتنابه للكبائر، ولكن المتورع عن الصغائر أكمل إيماناً ممن يقع فيها.
وصاحب هذه المرتبة؛ موعود بالجنة بلا عذاب؛ وينجو من الدخول في النار؛ إن مات على ذلك

Pahami dulu istilah-istilah Syaikhul-Islaam dalam kitabnya.

Adapun perkataan Syaikhul-Islaam sendiri sudah sangat jelas :

كما قال أهل السنة‏:‏ إن من ترك فروع الإيمان لا يكون كافرًا، حتى يترك أصل الإيمان‏.‏ وهو الاعتقاد ‏

“Sebagaimana dikatakan Ahlus-Sunnah : Sesungguhnya barangsiapa yang meninggalkan cabang-cabang iman tidaklah menjadi kafir, hingga ia meninggalkan ashlul-iimaan, yaitu i’tiqaad...” [Al-‘Uquudud-Durriyyah, hal. 96].

فأما أصل الإيمان الذي هو الإقرار بما جاءت به الرسل عن الله تصديقًا به وانقيادًا له، فهذا أصل الإيمان الذي من لم يأت به فليس بمؤمن؛

Dan ashlul-imaan yang berupa iqraar (penetapan) terhadap segala sesuatu yang dibawa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari Allah dengan pembenaran dan ketundukan terhadapnya, maka inilah ashlul-iimaan yang barangsiapa tidak mempunyainya, maka ia bukan mukmin” [Majmu’ Al-Fataawaa, 7/638].

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

الدّينُ القائمُ بالقلبِ من الإيمانِ علماً وحالاً هو الأصل ، والأعمالُ الظّاهرةُ هي الفروعُ ، وهي كمالُ الإيمانِ

“Agama tegak dengan iman di hati secara ilmu dan keadaannya merupakan pokok. Dan amal-amal dhaahir merupakan cabang-cabang (iman), dan ia adalah kesempurnaan iman” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/354].

Sangat jelas, tanpa perlu dita'wilkan lagi.

[belum lagi penjelasan para imam lain tentang apa itu ashlul-imaan]

2. Pemakaian istilah jinsul-'amal adalah bid'ah, tidak dikenal di kalangan salaf - meskipun beberapa fudlaaa' muta'akhkhiriin mengatakannya. Syaikh Ibnu 'Utsaimin ketika ditanya tentang pendapat sebagian orang bahwa meninggalkan jinsul-'amal itu kafir, beliau berkata :

من قال هذه القاعدة ؟! من قائلها ؟! هل قالها محمد رسول الله ؟! كلام لا معنى له! نقول : من كفره الله ورسوله فهو كافر، ومن لم يكفره الله ورسوله فليس بكافر، هذا هو الصواب.
أما جنس العمل، أونوع العمل، أو آحاد العمل، فهذا كله طنطنة لا فائدة منها.

[antum bisa baca online di : http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=105495].

Idem juga dengan Syaikh Rabii' yang berkata :

فإذا قاس العالم العاقل عبارة "جنس" التي لا وجود لها في القرآن والسنة ولا في لغة الصحابة، ولم يدخله السلف في قضايا الإيمان وهو لفظ مجمل يحتمل عدة معان تؤدي إلى اللبس والمشاكل.....

[Ittihaafu Ahlish-Shidq wal-Irfaan, hal. 180].

3. Permasalahan apakah amal jawarih masuk dalam ashlul-iman (sehingga amal jawaarih masuk dalam keabsahan iman) adalah permasalahan yang diperselisihkan di kalangan Ahlus-Sunnah. Masyhur hal ini dalam kitab-kitab mereka - meskipun sebagian fudlalaa' mengklaim ini perbedaan antara Ahlus-Sunnah dan Murji'ah. Tanpa mengurangi rasa hormat saya terhadap beliau, maka dalam hal ini pendapat beliau itu keliru.

Misalnya dalam perkataan Imam Ahmad di atas. Perkataan beliau itu sifatnya mutlak. Namun anehnya ditaqyid dengan perkataan :

"Jika kita cermati ucapan Imam Ahmad di atas, yang dimaksud bahwa pengurangan iman terjadi dengan meninggalkan amal adalah meninggalkan sebagian amal seperti ia meninggalkan shalat, zakat, haji dan lainnya".

Saya hanya bertanya, mana letak pentaqyidan itu ?. Jawabnya tidak ada. Masih dalam perkataan Imam Ahmad :

ويخرج الرجل من الإيمان إلى الإسلام، ولا يخرجه من الإسلام شيء إلا الشرك بالله العظيم أو برد فريضة من فرائض الله - تعالى - جاحدا بها، فإن تركها كسلا أو تهاونا كان في مشيئة الله، إن شاء عذبه، وإن شاء عفا عنه

"Seseorang keluar dari iman menuju Islam. Dan tidaklah ada sesuatu yang mengeluarkannya dari Islam kecuali syirik kepada Allah ta'ala atau menolak kewajiban dari kewajiban-kewajiban yang telah Allah ta'ala bebankan dengan pengingkaran (juhd) kepadanya. Namun apabila ia meninggalkannya karena malas dan meremehkan, maka ia berada dalam kehendak Allah. Apabila dikehendaki Allah akan mengadzabnya, dan apabila dikehendaki Allah akan memaafkannya" [Thabaqaatul-Hanaabilah, 1/343].

Antum tidak perlu mentaqyid dengan sesuatu di luar perkataan Imam Ahmad. Dan sebagai faedah : Ini adalah satu nash pendapat beliau yang lain yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat karena malas atau meremehkan. Syaikhul-Islaam berkata :

وأحمد إن كان أراد في هذه الرواية أن الإسلام هو الشهادتان فقط، فكل من قالها فهو مسلم، فهذه إحدى الروايات عنه، والرواية الأخرى‏:‏ لا يكون مسلماً حتى يأتي بها ويصلي، فإذا لم يصل كان كافراً‏

[Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/259].

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ath-Thabariy rahimahullah ketika menjelaskan sebagian pendapat Ahlus-Sunnah dalam masalah iman, berkata :

قال بعضهم الإيمان معرفة بالقلب وإقرار باللسان وعمل بالجوارح فمن أتى بمعنيين من هذه المعاني الثلاثة ولم يأت بالثالث فغير جائز أن يقال أنه مؤمن ولكنه يقال له إن كان اللذان أتى بها المعرفة بالقلب والإقرار باللسان وهو في العمل مفرط فمسلم

[At-Tabshiir fii Ma’aalimid-Diin, hal. 187].

Simak perkataan Ath-Thabariy di atas. Masih disebut muslim orang yang hanya mendatangkan ma’rifah dalam hati dan pengakuan dalam lisan. Sangat jelas, dan tidakperlu ta’wil atas perkataan beliau ini.

Ibnu Hazm rahimahullah menyebutkan salah satu permasalahan dalam kitabnya :

وَمَن ضيّعَ الأعمالَ كلَّها فهُوَ مؤمِنٌ عاصٍ ناقصُ الإيمانِ ، لا يكفُر

“Barangsiapa yang mengabaikan keseluruhan amal, maka ia mukmin yang bermaksiat lagi kurang dalam imannya, tidak dikafirkan” [Al-Muhallaa, 1/40-41].

Sangat jelas, tidak perlu dita’wilkan macam-macam. Mungkin saja ada orang yang akan menuduh Ibnu Hazm beraqidah Murji’ah,.... akan tetapi Syaikhul-Islam akan membelanya dengan perkataannya :

وكذلك أبو محمد بن حزم فيما صنفه من الملل والنحل إنما يستحمد بموافقة السنة والحديث مثل ما ذكره في مسائل ‏[‏القدر‏]‏ و ‏[‏الإرجاء‏]‏ ونحو ذلك بخلاف ما انفرد به من قوله في التفضيل بين الصحابة‏.

[Majmuu’ Al-Fataawaa, 4/18-19].

Ibnu Taimiyyah mengakui bahwa dalam permasalahan irjaa’, Ibnu Hazm berkesesuaian dengan madzhab Ahlus-Sunnah. Tidak ternukil kritik para ulama terdahulu kepada Ibnu Hazm dalam masalah irjaa’.

4. Tentang perkataan Ibnu ‘Uyainah. Dari segi sanadnya mungkin perlu ditahqiq keabsahannya. Sisi kritisnya adalah pada Suwaid bin Sa’iid. Suwaid bin Sa’iid bin Sahl Al-Harawiy Al-Hadatsaaniy – atau Al-Anbaariy - , Abu Muhammad (سويد بن سعيد بن سهل ، الهروى الحدثاني ، و يقال له الأنباري ، أبو محمد); seorang yang shaduuq bagi dirinya, namun ketika ia mengalami kebutaan, ia ditalqinkan yang bukan haditsnya. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 140 H, dan wafat tahun 240 H. Dipakai oleh Muslim dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 423 no. 2705]. Syaikh Al-Albaaniy melemahkan haditsnya dalam beberapa tempat dalam kitabnya [lihat Mu’jam Asamiyyir-Ruwaat, 2/249-252]. Apalagi riwayat Sufyaan ini hanya ada pada jalur sanad ini saja.

Intinya, riwayat Ibnu ‘Uyainah ini tidak shahih. Saya tidak perlu memperpanjang perkataan.

5. Tentang perkataan Ibnu Rahawaih, maka itu perlu didudukkan. Jika misalnya kita pegang perkataan Ibnu Rahawaih sebagaimana yang antum pahami, niscaya Ahmad bin Hanbal (sebagaimana saya tulis riwayatnya di atas) termasuk Murji’ah dalam klasifikasi ini. Begitu juga sebagian imam yang saya sebut di atas. Namun kedudukan permasalahannya adalah : Bahwasannya Murji’ah itu berpendapat barangsiapa yang telah menancapkan imannya dalam hati dan mengikrarkan hal itu dengan lisannya, maka segala kemaksiatan yang diperbuat oleh anggota jawaarihnya tidak akan bisa memudlaratkan imannya tersebut, apalagi membuatnya kafir. Dalam konteks perkataan tersebut, beliau mencontohkan kemaksiatan meninggalkan faraaidl. Wallaahu a’lam.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

6. Perkataan Syaikh Muhammad bin Amaan Al-Jaamiy,.... maka itu bukan mahalun-nizaa’ dalam persoalan yang antum anggap sebagai ta’qibnya. Karena jelas di awal beliau berkata :

الإيمان في القلب ولو صحَّ إيمان القلب لصحَّ إيمان الجوارح وإيمان اللسان. هذا هو الإرجاء المنتشر بين المسلمين

Saya harap antum memahami kalimat ini – bukan sekedar menukil saja. Ghullat Murji’ah berkata bahwasannya jika telah sah iman di dalam hati, maka sah pula iman jawaarih dan lisan. Ini namanya mengeluarkan amalan lisan dan jawaarih dari iman, karena iman menurut mereka hanya dalam hati saja. Maka ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan tulisan saya yang antum anggap keliru itu.

7. Begitu pula dengan perkataan Syaikh Ibnu Baaz. Saya tidak habis mengerti mengapa ini dijadikan hujjah dalam permasalahan ini. Saya tidak pernah mengatakan bahwa amal itu merupakan syarthul-kamaal. Coba antum cek kembali tulisan saya. Yang ada di tulisan saya adalah perkataan Ibnu Taimiyyah, Al-Marwaziy, dan yang lainnya bahwasannya amal itu merupakan kamaalul-iimaan, dan ia merupakan juz’un minal-iimaan. Dan yang perlu antum perhatikan sebelum berbanyak-banyak menukil adalah,.... bagaimana perbedaan di kalangan ulama dalam menempatkan amal jawaarih dalam ashulul-iimaan. Jika mereka menganggap ada amal jawaarih yang ditinggalkan menyebabkan pelakunya kafir (misal : shalat), maka jadilah amal tersebut bagian dari shihhatul-iimaan (dan masuk dalam ashlul-iimaan). Namun jika tidak, maka ia hanya bagian dari kamaalul-iimaan.

Perhatikan soal jawab yang dari Syaikh Ar-Raajihiy berikut :


السؤال: خرج بعض المعاصرين بأقوال جديدة في الإيمان وقال: إن العمل شرط كمال في الإيمان وليس شرط صحة، فما صحة ذلك؟

الجواب: لا أعلم لهذا القول أصلاً، وذلك أن جمهور أهل السنة يقولون: الإيمان قول باللسان، وتصديق بالقلب، وعمل بالقلب، وعمل بالجوارح، والإيمان عمل ونية يزيد بالطاعة وينقص بالمعاصي،

فالعمل جزء من الإيمان، والإيمان مكون من هذه الأشياء، من تصديق القلب وقول اللسان وعمل الجوارح وعمل القلب، فكل هذه أجزاء الإيمان، فلابد من أن يقر المرء باللسان ويصدق بالقلب ويعمل بقلبه ويعمل بجوارحه.

والمرجئة يقولون: الأعمال ليست من الإيمان، ولكنها دليل على الإيمان، أو هي من مقتضى الإيمان أو هي ثمرة الإيمان. أما القول بأن العمل شرط كمال أو شرط صحة فلا أعلم له أصلاً من قول المرجئة ولا من قول أهل السنة ، فليس العمل شرط كمال ولا شرط صحة، وإنما هو جزء من الإيمان،

والقول بأنه شرط كمال أو صحة لا يوافق مذهب المرجئة، ولا مذهب جمهور أهل السنة، بل قد يقال: إنه يوافق مذهب المرجئة من جهة أنهم أخرجوا الأعمال عن مسمى الإيمان في الجملة، فهو أقرب ما يكون إلى مذهب المرجئة،

فالذي يقول: إن العمل شرط كمال أو شرط صحة نقول له: هذا مذهب المرجئة التي أخرجت الأعمال عن مسمى الإيمان، فإما أن تقول: العمل داخل في مسمى الإيمان أو جزء من الإيمان، وإما أن تقول: العمل ليس من الإيمان،

فإن قلت: العمل ليس من الإيمان فأنت من المرجئة، سواء أقلت: شرط كمال، أم قلت: شرط صحة، أم قلت: هو دليل على الإيمان، أم قلت: هو مقتضى الإيمان، أم قلت: هو ثمرة الإيمان، فكل من أخرج العمل من الإيمان فهو من المرجئة، ولكني لا أعلم أن المرجئة جعلوا الأعمال شرط كمال للإيمان.

الشيخ عبد العزيز الراجحي

sumber : http://albaidha.net/vb/showthread.php?t=29560.

Untuk perkataan Ibnu Baaz yang memutuskan perkara yang antum sorot, mungkin lebih baik antum menampilkan perkataan beliau yang ini :

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah pernah ditanya sebagai berikut :

العُلماءُ الذينَ قَلوا بعدم كُفْرِ مَنْ تَرَكَ أَعمالَ الْجوارح - مع تَلَفُّظِهِ بالشهادتين، ووجودِ أصلِ الْإيمان القلبي؛ هل هم من المُرجئة ؟!

Ulama yang berpendapat tidak kafirnya orang yang meninggalkan amal-amal jawaarih (anggota badan) yang bersamaan dengan orang tersebut mengucapkan dua kalimat syahadat dan keberadaan ashlul-iimaan di hatinya; apakah mereka (ulama tersebut) termasuk golongan Murji’ah ?”.

Beliau menjawab :

هذا من أهل السنة والجماعة؛ فمن ترك الصيام، أو الزكاة، أو الحج : لا شك أڽَّ ذلك كبيرة عند العلماء؛ ولكن على الصواب : لا يكفر كفرا أكبر.
أما تركُ الصلاة : فالراجح : أنه كافر كفرا أكبر إذا تعمد تركها.
وأما تركُ الزكاة والصيام والحج : فإنه كفر دون كفر.

Mereka ini termasuk Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Barangsiapa yang meninggalkan puasa, zakat, atau haji; maka tidak diragukan bahwa hal itu termasuk dosa besar menurut para ulama. Akan tetapi yang benar dalam permasalahan ini : Tidak dikafirkan dengan kufur akbar (murtad).

Adapun permasalahan meninggalkan shalat, yang raajih : Ia dihukumi kafir akbar apabila sengaja meninggalkannya. Sedangkan meninggalkan zakat, puasa, dan haji; maka ia adalah kufrun duuna kufrin (kufur ashghar)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 28/144-145].

Silakan renungi perkataan beliau di atas, terutama yang saya bold. Dan hubungkan antara pertanyaan yang diajukan dengan jawaban yang dikeluarkan. Ingat, beliau di sini mengambil thariqah pentarjihan dari aqwaal Ahlus-Sunnah.

8. Perkataan Ibnu ‘Utsaimiin..... Ini juga saya tidak paham, dari sisi mana menjadi hujjah untuk menta’qib apa yang telah saya tulis. Dan justru ini semakin menunjukkan antum tidak tahu apa yang antum bicarakan dan tulis. Laa haula wa laa quwwata illaa billaah. Ini tanya jawab Syaikh selengkapnya di situs sahab : http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=105495.

Antum bisa bahasa Arab kan ?. Saya harapkan tahu bahwa konteks kalimat syaikh :

س : سائل يقول ما قول الشيخ - حفظه الله - في تدريس هذا الكتاب للناشئة وهو مشتمل على العناوين الآتية المكتوبة بالخط البارز سنذكرها لكم :-
يقول " لا يكفر المسلم حتى يترك أصل الإيمان القلبي "

ج : أنا قلت في هذا اللقاء إن تارك الصلاة كافر ولو كان مقراً بوجوبها

السائل يقول في موطن آخر " جمهور العلماء وليس المرجئة يقولون بنجاة تارك ...

قاطعه الشيخ رحمه الله تعالى قائلاً :

هؤلاء يريدون سفك الدماء واستحلال الحرام لماذا صاحب هذا الكتاب ما أصل أصول أهل السنة والجماعة كما أصلها شيخ الإسلام ابن تيمية في العقيدة الواسطية أما أن لا يكون لهم هم إلا التكفير (جنس العمل -نوع العمل -آحاد العمل) وما أشبه ذلك لماذا …. (كلمة غير واضحة للشيخ حفظه الله)

Justru perkataan Syaikh itu menjadi hujjah atas antum......

[perhatikan, ketika ditanya bahwa seorang muslim tidak dikafirkan kecuali ia meninggalkan ashlul-iman dalam hati. Lalu beliau menjawab kafir jika meninggalkan shalat. Ini adalah jawaban pertarjihan dari khilaf yang ada di kalangan Ahlus-Sunnah. Kemudian ditanyakan kembali tentang pendapat jumhur ulama dimana sebelum pertanyaan selesai, syaikh memotong dengan jawaban di atas yang bisa antum baca. Perkataan syaikh yang antum nukil itu terpotong mas..... Justru syaikh sedang mengkritik kaum takfiriy yang membawa-bawa isu jinsul-‘amal. Kalau antum bawa ke konteks irjaa’, ya mana tepat ?. Sejak kapan pencelaan takfir itu ditujukan pada Murji’ah – karena mereka itu anti takfir - ?].

Itu saja lah yang dapat saya tanggapi dari tulisan antum di atas.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Dan kemudian, seandainya antum anggap saya keliru dan salah memahami perkataan para imam, saya tanya pada antum apa makna perkataan Al-Baihaqiy berikut :

ذهبَ أكثرُ أصحابِ الحديثِ إِلىَ أنّ اسمَ الإيمانِ يجمَعُ الطاعاتِ كلِّها فرضِها ونفلِها ، وأنّها عَلى ثلاثةِ أقسامٍ :
فقِسمٌ يكفُرُ بتركِه وَهُوَ اعتقادُ ما يجِبُ اعتقادُه وإقرارٌ بِما اعتقدَه .
وقِسمٌ يفسُقُ بتركِه أو يعصِي ولاَ يكفُرُ بهِ إذا لَم يجحَدْه وَهُوَ مفروضُ الطّاعاتِ كالصّلاةِ والزّكاةِ والصّيامِ والحَجّ واجتنابِ المحارِمِ .
وقِسمٌ يكونُ بتركِه مخطِئاً لِلأَفضَلِ غيرَ فاسِقٍ ولاَ كافِرٍ وَهُوَ ما يكونُ مِن العبادَاتِ تَطوّعاً

“Jumhur ahlul-hadiits berpendapat bahwa nama iman itu mengumpulkan semua ketaatan, baik yang wajib/fardlu maupun yang sunnah. Dan iman itu terbagi menjadi tiga bagian :

Pertama, bagian yang mengkafirkan apabila ditinggalkan, yaitu i’tiqaad terhadap semua hal yang diwajibkan i’tiqaad-nya, serta mengikrarkan apa-apa yang di-i’tiqad-kannya itu.

Kedua, bagian yang menyebabkan kefasiqan atau bermaksiat apabila ditinggalkan, namun tidak menyebabkan kekafiran apabila ia tidak mengingkarinya. Hal itu adalah ketaatan-ketaatan yang diwajibkan, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan menjauhi yang diharamkan.

Ketiga, bagian yang bila ditinggalkan menjadikan seseorang keliru/terluput akan hal-hal yang lebih utama, tanpa menyebabkan kefasikan ataupun kekafiran. Hal itu seperti pada ibadah-ibadah tathawwu’ (sunnah)” [Al-I’tiqaad, hal. 202].

Apakah perkataan Al-Baihaqiy di atas yang menisbatkan pada jumhur ulama merupakan jumhur Murji’ah ?.

Bagaimana juga dengan perkataan Asy-Syaafi’iy berikut sebagaimana dinukil Asy-Syiiraaziy :

الإيمان هو التصديق والإقرار والعمل، فالمخلُّ بالأول وحده منافق، وبالثاني وحده كافر، وبالثالث وحده فاسق ينجو من الخلود النار ويدخل في الجنة

“Iman itu adalah tashdiiq, iqraar, dan amal. Ketiadaan hal pertama saja, maka ia munafik. Ketiadaan hal kedua saja, maka ia kafir. Dan ketiadaan hal ketiga saja, maka ia fasik yang selamat dari kekekalan neraka dan (kemudian) masuk ke dalam surga” [‘Umdatul-Qaari’, 1/175].

?????

Orang yang faqih itu bukan hanya pandai ‘membantah’, tapi pandai juga menjawab dengan alasannya.

Nasihat saya : Sangat rugi seandainya hasrat untuk berbicara dan menulis mengalahkan waktu untuk muthala’ah dan memahami permasalahan.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Kitab Aqwaal Dzawil-'Irfaan di atas telah ada ta'qiib nya yang sangat bagus berjudul : Burhaanul-Bayaan bi-Tahqiiqi Annal-'Amal minal-Iimaan, tulisan Abu Shuhaib Al-Minsyawiy dan Abu Haani' Asy-Syatharaat. Antum bisa unduh kitab itu di sini atau sini.

Atau antum bisa baca kitab yang berjudul Dzammul-Irjaa' tulisan Khaalid bin 'Abdillah Al-Mishriy, yang bisa antum unduk di sini (sampul) dan sini (isi) [format PDF]. Kalau mau langsung nukik ke permasalahan, silakan buka halaman 31 dalam pasal : Manhaj As-Salaf fii Taarikil-'Amal Adh-Dhaahir. Atau loncat saja ke kesimpulannya di 463 no. 10 yang mengatakan :

أهل السنة منهم من يكفر بترك المباني كالصلاة والزكاة، ومنهم من لا يكفر بترك سائر عمل الجوارح بعد إتيانه بالشهادة والاعتقاد

Sebagai catatan saja, kitab ini (Dzammul-Irjaa') telah dipublikasikan di sahab . [So don't worry if U 'afraid' with al-halabiy's 'syubuhaat'].

Atau kitab-kitab masalah iman, selengkapnya bisa antum unduh di halaman blog saya :

Kitab-Kitab Kontemporer yang Membahas tentang Iman dan Kufur (Membantah Tuduhan Salafiy = Murji’).

Sekali lagi pesen saya, perbanyak muthala'ah dan jangan buru-buru menyimpulkan dari sedikit lembar yang dibaca.

Semoga bermanfaat.

Baarakallaahu fiik.

Anonim mengatakan...

Asatidzah sekalian saya yang fakir ini mau tanya. Apakah jika seseorang meninggalkan seluruh amal jawarih maka bisa di pastikan masih ada keimanan dalam hatinya?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Jumhur ulama berpendapat (silakan baca perkataan Al-Baihaqiy dan yang lainnya di atas), orang yang meninggalkan amal jawaarih maka ia telah meninggalkan al-iimaanul-waajib (iman wajib) dalam dirinya. Namun masih ada dalam dirinya ashlul-imaan (pokok iman).

Wallaahu a'lam.

Anonim mengatakan...

Terus terang saya berharap semoga suatu saat antum diberi pekerjaan lain yang lebih baik dalam arti lebih banyak waktu yang bisa di alokasikan untuk muthala'ah dan juga menulis, dan mudah-mudahan nanti suatu saat bisa mengajar disuatu halaqah 'ilmu (selain dirumah).

Anonim mengatakan...

makasih tadz

Terus gimana bertambah dan berkurangnya iman bagi orang-orang yang tidak pernah berbuat kebaikan sedikitpun. Yang cuma punya Ashlul Iman saja.

Katanya iman itu kan bisa bertambah dan berkurang. Kalau orang normal bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

Kalau orang yang ga pernah beramal jawarih seluruhnya apa ga pernah bertambah sama sekali imannya karena ga pernah beramal kebaikan sedikitpun?
Dan tidak bisa berkurang lagi imannya karena sudah sampe batas minimal iman yakni ashlul iman?

berarti imannya orang seperti itu tetap, permanen dan ga bertambah dan berkurang kaya imannya manusia pada umumnya yang fluktuatif. Ajib sih emang secara nalar. tapi kalau ini yang dimaksud oleh hadits saya beriman.

gimana tuh ustadz? saya jujur bingung nih

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ashlul-iman adalah iman yang pokok yang mesti dipunyai oleh seseorang sehingga ia dikatakan muslim. Barangsiapa yang tidak mempunyainya, maka ia tidak dikatakan sebagai muslim. Oleh karenanya, ashlul-iman itu tidak menerima pengurangan. Al-Imaam Al-Marwaziy rahimahullah berkata :

فأصل الإيمان الإقرار والتصديق

“Maka ashlul-iimaan adalah iqraar dan tashdiiq” [Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah, 2/519].

Nah,... jika seseorang meninggalkan tashdiiq, maka tidak bisa ia dikatakan sebagai muslim. Tapi kafir. Inilah makna ashlul-iman tidak boleh menerima pengurangan.

Tentang pernyataan bahwa iman itu bertambah dan berkurang, maka itu menginjak pada martabat iman selanjutnya, yaitu al-imaanul-wajib (iman wajib), yaitu berupa mengerjakan amal-amal ketaatan. Jika ia dikerjakan, maka iman akan bertambah. Dan jika ia ditinggalkan, maka iman akan berkurang. Itu sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad dalam artikel di atas. Sama halnya kemudian bahwa iman akan bertambah dengan meninggalkan kemaksiatan, dan akan berkurang dengan mengerjakan kemaksiatan.

Iman seseorang bisa jadi akan turun terus. Namun ia masih dikatakan muslim hingga batas kadar ia mempunyai ashlul-iman. Namun jika ia pun kemudian meninggalkan ashlul-iman, maka ia telah keluar dari lingkaran Islam. Iman nya telah 'habis'.

Berbeda halnya dengan firqah ghulat Murji'ah. Mereka berkeyakinan bahwa jika mereka telah membenarkan dalam hati, maka iman mereka sempurna. Tidak akan naik, tidak pula akan turun dengan sebab amal-amal (baik amal kebaikan atau kemaksiatan).

Kira-kira itu secara ringkasnya, semoga dapat dipahami.

Anonim mengatakan...

assalamualaikum
Ustad abu yg mulia....membaca penjelasan dan debat diatas saya jadi timbul pertanyaan...begini tadz... kalau amal tdk bisa menjadikan kafir (merusak ashlul iman) trs bgmn dg pengolok2 agama yg bisa jd murtad (ini kan amal tp kok bisa bikin rusak ashlul imanz), mencaci maki nabi dll yg sepertinya semuanya termasuk amal...mohon penjelasannya tadz...soalnya ana malah puyeng baca debat dan lain lainnya
yang kedua...tentang jinsul amal...bisa dijelaskn secara detilnya tadz..mungkin ada baiknya antum bikinkan artikel... serta bid'ahnya itu disisi mananya...
afwan tadz..ana masih baru belajar yg begini jd sedikit bingung
jazakallahu khairon...

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Bukan begitu. Apa yang menjadi bahasan di atas adalah dari sisi meninggalkan amal.

Atau kalau dibahasakan secara sederhana : "Apa sih sesuatu yang jika ditinggalkan menyebabkan pelakunya kafir ?". Maka jawabnya : Meninggalkan sesuatu yang menjadi bagian dari ashlul-iman. Jika dikatakan oleh sebagian ulama bahwa amal jawaarih bukan merupakan bagian dari ashlul-iman, maka meninggalkan kewajiban-kewajiban dari amalan anggota badan (jawaarih) tidak menyebabkan pelakunya kafir, kecuali jika sikap meninggalkannya itu disertai pengingkaran. Contoh : Orang yang tidak puasa di bulan Ramadlan, tidak dihukumi kafir, kecuali jika ia mengingkari sisi kewajibannya.

Saya harap di sini antum paham.

Oleh karenannya, kekafiran tetap bisa jatuh jika ia melakukan amalan-amalan yang disepakati bisa menyebabkan kafir. Contoh : Sujud pada berhala, mencaci-maki Allah, membuang Al-Qur'an ke tempat sampah, dan semisalnya. Kekafirannya ini disebabkan karena ia melakukan amal, bukan meninggalkan amal (sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya).

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

INI ADALAH TANGGAPAN SAYA YANG TERAKHIR UNTUK ARTIKEL : Apakah Orang Yang Hanya Bermodal Syahadat Lalu Meninggalkan Seluruh Amal Kewajiban Dalam Syariat Dikatakan Muslim? bag. 2.

Terima kasih atas tanggapannya,... tapi maaf jika saya katakan bahwa antum kembali menta'wil dengan perajihan antum dan meninggalkan dhahir perkataan ulama. Misalnya saja perkataan Syaikh Ibnu Baaz. Jelas sekali pertanyaannya :


العُلماءُ الذينَ قَلوا بعدم كُفْرِ مَنْ تَرَكَ أَعمالَ الْجوارح - مع تَلَفُّظِهِ بالشهادتين، ووجودِ أصلِ الْإيمان القلبي؛ هل هم من المُرجئة ؟!

“Ulama yang berpendapat tidak kafirnya orang yang meninggalkan amal-amal jawaarih (anggota badan) yang bersamaan dengan orang tersebut mengucapkan dua kalimat syahadat dan keberadaan ashlul-iimaan di hatinya; apakah mereka (ulama tersebut) termasuk golongan Murji’ah ?”.

Kemudian Ibnu Baaz rahimahullah menjawab bahwa ulama tersebut masih Ahlus-Sunnah. Namun antum menta'wil meninggalkan sebagian amal.

Tentang sanad, sebenarnya saya ta'jub dengan sanggahan antum yang terkesan mengesampingkan sanad. Seandainya bukan antum yang mengatakannya, tentu sudah saya kesampingkan pula perkataan ini. Permasalahannya adalah ketika antum berhujjah dengan atsar, yang kemudian diketahui tentang kelemahannya, apakah layak kemudian mempertahankan pendapat dengan alasan : Tidak boleh menolak dengan alasan sanad. Permasalahannya juga adalah bahwa di sini ada dua hal yang 'bertentangan' yang ingin dicari pemahamannya. Saya tidak ingin melanjutkan lebih jauh, karena seharusnya antum sudah tahu tentang hal ini.... Pun seandainya riwayat itu dianggap shahih, itu juga sudah dijawab di kitab-kitab yang saya sebutkan di bawah.

Terlalu panjang jika saya komentari satu per satu tulisan antum di atas, karena saya tahu sumbernya di kitab Aqwaalu Dzawil-'Irfaan. Terutama kali dalam penukilan perkataan Ibnu Taimiyyah. Kitab ini sudah dibantah dengan bantahan terperinci dan sangat bagus dalam kitab Burhaanul-Bayaan bi-Tahqiiqi Annal-'Amal minal-Iimaan, tulisan Abu Shuhaib Al-Minsyawiy dan Abu Haani' Asy-Syatharaat. Antum bisa unduh kitab itu di sini atau sini.

Jika antum mengatakan telah membaca kitab yang saya isyaratkan, jika melihat tanggapan balik antum di atas, hampir saya pastikan antum baru membaca sedikit di antaranya.

Tempo hari saya juga isyaratkan kitab yang sangat bagus dan rinci berjudul Dzammul-Irjaa' yang ditulis oleh Khaalid bin 'Abdillah Al-Mishriy. Publikasi di sahab dan albaidhaa menjadi indikasi bahwa kitab ini diterima di kalangan Ahlus-Sunnah, terutama sekali di kalangan murid-murid Syaikh Rabii' hafidhahullah. Apa yang antum tulis di atas hampir semua sudah dibahas di dua kitab tersebut.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Khusus tentang hadits syafa'at (yang didalamnya ada lafadh : لَمْ يَعْمَلُوا خَيْرًا قَطُّ), saya hargai antum telah mengambil pendapat ulama seperti ulama Lajnah (yang diketuai oleh Syaikh Alusy-Syaikh) dan Syaikh Ar-Raajihiy. Tapi,.... cobalah antum meluaskan muthala'ahnya dengan mencermati apa perkataan para ulama terdahulu. Murid Syaikh Rabii' Al-Madkhaliy yang bernama Raaid Alu Thaahir telah menuliskan kitab berjudul :

نصب الراية في دراسة لفظة "لم يعملوا خيرًا قط" الواردة في حديث الشفاعة رواية ودراية

Antum bisa unduh di sini. Harap antum ketahui saja, bahwa kita ini telah dibaca oleh Syaikh Rabii' Al-Madkhaliy.

Saya belum pernah membaca penjelasan tentang hadits itu secara luas sebelumnya selain dari kitab ini.

Atau antum baca kitabnya Syaikh Ibraahiim Ar-Ruhailiy yang berjudul :

تبرئة الإمام المُحَدِّثٍ من قول المرجئة المُحْدَث

Antum bisa unduh di sini atau sini.

Kitab Syaikh Raaid dan Syaikh Ibraahiim membahas bagaimana pendapat para ulama Ahlus-Sunnah tentang hadits syafa'at. Alhamdulillah saya sudah membacanya. Rugi kalau antum tidak membacanya. Apalagi, antum sudah mulai membuka permasalahan ini dengan mengkritik pendapat yang bersenerangan dengan yang saat ini antum pegang.

Saya kira, dengan antum mentelaahnya, antum dapat ketahui apakah pendapat yang antum kritik itu adalah pendapat Murji'ah ataukah bukan. Atau minimal antum dapat mengetahui apakah saya dusta dalam perkataan saya atau tidak.

Dan satu lagi, tentang syarth kamaal, saya sama sekali tidak pernah mengatakannya. Yang saya katakan adalah : Amal termasuk bagian dari iman. Amal merupakan kamaalul-iimaan (bukan syarthul-kamaal - karena keduanya berbeda). Orang yang jujur dalam hujjahnya adalah menghukumi seseorang dengan apa yang dikatakan orang tersebut. Bukan dengan apa yang ia sangka terhadap orang tersebut. Lebih-lebih dengan apa yang tidak dikatakan oleh orang tersebut.

Dan sependek pengetahuan saya, dari beberapa kitab yang saya isyaratkan untuk antum baca, penulisnya tidak ada yang merajihkan bahwa amal merupakan syarth kamaal. Kalau memang benar yang antum katakan, bolehlah saya ditunjukkan halamannya. Barangkali saya lupa atau terlewat. Syaikh Ibraahiim Ar-Ruhailiy dalam kitabnya di atas juga menjelaskan permasalahan ini ketika menjelaskan perkataan Syaikh Al-Albaaniy tentang masalah syarth kamaal ini.

Oleh karena itu, mungkin setelah ini saya tidak akan menanggapi lagi jikalau tanggapan itu hanya berputar pada kitab Aqwaal Dzawil-'Irfaan, tanpa antum mau menoleh beberapa kitab yang ditulis oleh muhaqqiq dan ulama yang saya sebutkan.

Dan satu lagi bagaimana salah pahamnya antum - sebagaimana telah berulangkali - adalah perkataan antum di akhir artikel :

"berbeda dengan ungkapan Ustadz Abul Jauza hafidzahullah bahwa “ashlul iman tidak mungkin berkurang” [selesai kutipan].

yang dengan ini mengesankan bahwa tidak mungkin terjadi kekafiran (???),.... sehingga secara tidak langsung ingin mengesankan saya berpemahaman Murji'ah. Inilah akibat kesibukan untuk membantah namun meninggalkan pemahaman perkataan. Yang saya katakan adalah bahwasannya ashlul-iman itu tidak boleh menerima pengurangan (jika masih ingin disebut muslim). Jika ia berkurang maka bukan lagi disebut muslim, tapi kafir. Itu sangat jelas terbaca di perkataan saya di atas. Tapi,... entahlah.....

Baarakallaahu fiik. Semoga Allah menambah dan memberkahi ilmu antum.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Dikarenakan membantah itu memerlukan effort tinggi - terlebih, apa yang antum katakan telah dijawab dalam beberapa kitab yang saya sebutkan di atas - , maka berikut saya akan bertanya kepada antum apa makna kalimat yang diucapkan oleh para ulama Ahlus-Sunnah berikut :

Ibnu Syihaab Az-Zuhriy rahimahullah :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ ثَوْرٍ، عَنْ مَعْمَرٍ، قَالَ: وَقَالَ الزُّهْرِيُّ " قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا، قَالَ: نَرَى أَنَّ الْإِسْلَامَ الْكَلِمَةُ وَالْإِيمَانَ الْعَمَلُ "

[Sunan Abi Daawud no. 4067].

Az-Zuhriy berpendapat bahwa keislaman itu adalah dengan ucapan syahadat, sedangkan iman adalah amal anggota badan (yang wajib maupun yang sunnah). Ini adalah hukum dunia tentang keislaman seseorang yang menafikkannya dari kekafiran. Banyak sudah ulama yang mensyarah perkataan Az-Zuhriy ini, termasuk Ibnu Taimiyyah. Menurut antum, apakah perkataan Az-Zuhriy ini mengandung muatan paham irja' ?.

Fudlail bin 'Iyaadl rahimahullah :

وَيَقُولُ أَهْلُ السُّنَّةِ: الإِيمَانُ الْمَعْرِفَةُ وَالْقَوْلُ وَالْعَمَلُ، فَمَنْ قَالَ: الإِيمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ فَقَدْ أَخَذَ بِالْوَثِيقَةِ، وَمَنْ قَالَ: الإِيمَانُ قَوْلٌ بِلا عَمَلٍ فَقَدْ خَاطَرَ لأَنَّهُ لا يَدْرِي أَيُقْبَلُ إِقْرَارُهُ أَوْ يُرَدُّ عَلَيْهِ بِذُنُوبِهِ

[As-Sunnah, 1/376].

Ingat, ketika beliau menyebutkan pendapat Ahlus-Sunnah bahwa iman itu adalah ma'rifah, perkataan, dan perbuatan; maka beliau membahas status hukum orang yang mengatakan iman itu perkataan saja tanpa perbuata. Dikafirkankah oleh beliau ?

Ibnu 'Abdil-Barr rahimahullah :

وفيهِ دليلٌ علَى أنّ مَن لَم يُصلِّ مِن المُسلِمينَ في مشيئةِ اللهِ إذَا كانَ مُوحِّداً مؤمِناً بما جاءَ بهِ مُحمّد صلى الله عليه وسلم مصدِّقاً مُقِرّاً وإن لمْ يعَمَل ، وَهَذَا يردُّ قولَ المعتزلَةِ والخوارِجِ بأسرِها ، ألاَ ترَى أنّ المقرَّ بالإسلامِ في حينَ دُخولِه فيهِ يكونُ مسلِماً قبلَ الدُّخُولِ فيِ عَمَل الصّلاةِ وصَومِ رمَضانَ ، بإقرارِه واعتقادِه وعقدةِ نيّتهِ ، فَمِن جِهةِ النّظَرِ لا يجِبُ أَن يكونُ كافِراً إلاّ برَفعِ مَا كانَ بهِ مُسلِماً ، وَهُوَ الجحودُ لمِا كانَ قَد أقرّ بهِ واعتقدَه

[Hidaayatul-Mustafiid min Kitaab At-Tamhiid oleh Syaikh 'Athiyyah Saalim, 3/290].

Perhatikan kalimat Ibnu 'Abdil-Barr di atas baik-baik. Itu beliau katakan ketika menjelaskan hadits Khamsush-shalawaat. Idzaa kaana muwahhidan mu'minan bimaa jaa-a bihi Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam mushaddiqan muqirran wa in lam ya'mal...... dst.

Menurut antum, apakah perkataan Ibnu 'Abdil-Barr ini mengandung muatan 'aqidah Murji'ah' ?.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah :

ومعلوم أن الجنة إنما يستحق دخولها بالتصديق بالقلب مع شهادة اللسان؛ وبها يخرج من يخرج من أهل النار فيدخل الجنة، كما سبق ذكره

[Fathul-Bariy, 1/112].

Surga itu menurut beliau merupakan hak bagi orang yang membenarkan dalam hati dan mengucapkan syahadat dengan lisannya. Beliau menafikkan kekekalan neraka. Lebih jelas lagi, silakan antum baca di kitab yang lain :

"والمراد بقوله لم يعملوا خيرا قط من أعمال الجوارح وإن كان أصل التوحيد معهم ولهذا جاء في حديث الذي أمر أهله أن يحرقوه بعد موته بالنار إنه لم يعمل خيرا قط غير التوحيد خرجه الإمام أحمد من حديث أبي هريرة مرفوعا ومن حديث ابن مسعود موقوفا ويشهد لهذا ما في حديث أنس عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم في حديث الشفاعة قال فأقول يا رب ائذن لي فيمن يقول لا إله إلا الله فيقول وعزتي وجلالي وكبريائي وعظمتي لأخرجن من النار من قال لا إله إلا الله خرجاه في الصحيحن وعند مسلم فيقول ليس ذلك لك أو ليس ذلك إليك وهذا يدل على أن الذين يخرجهم اللهم برحمته من غير شفاعة مخلوق هم أهل كلمة التوحيد الذين لم يعملوا معها خيرا قط بجوارحهم والله أعلم"

[At-Takhwiif minan-Naar, hal. 118].

Baca pelan-pelan dan hati-hati. Beliau secara jelas menguatkan statement beliau sebelumnya dengan hadits syafa'at. Yaitu, Allah ta'ala tetap menyelamatkan seorang muslim yang masih ada ketauhidan dalam hatinya meskipun tidak beramal jawaarih.

Murji'ahkah Ibnu Rajab ?.

Dan yang lainnya masih sangat banyak.

Satu hal yang ingin saya katakan pada antum :

Jika perkataan para ulama di atas antum katakan tidak mengandung muatan 'aqidah Murji'ah dan mereka bebas dari irjaa'; namun mengapa setelah saya katakan menjadi bermuatan Murji'ah dan saya dikatakan terkena syubhat irja' ?. Padahal,... saya hanya mengambil ibrah dari perkataan mereka.

Apakah hanya karena yang mengatakannya adalah saya ?. Apakah gara-gara saya membela Syaikh 'Aliy yang dulu dibersihkan dari 'aqidah irja' oleh Syaikh 'Ubaid dan yang lainnya namun kemudian dituduh irja' oleh Dr. Ahmad Bazmuul ?. Apakah karena perseteruan ini ?. Atau,... ada yang lain ?.

Jika memang tuduhan antum bukan berdasarkan kedhaliman dan berdasarkan penelaahan ilmiah, maka tolong berikan faedah kepada saya penjelasan makna perkataan para ulama di atas, dan apa bedanya dengan yang saya katakan. Saya siap mendengarkan.

Anonim mengatakan...

Semoga Allah menjaga ustadz, menambah dan memberkahi ilmu ustadz abul jauzaa.
Tulisan antum menurut ana ilmiah dan obyektif berdasarkan manhaj salaf. Metode beragama yang ana kenal akan keadilannya dalam membahas permasalahan bahkan kepada orang-orang yang aslinya menyimpang sekalipun (ahli bid'ah tulen) dihindari terjadinya kezhaliman.
Tidak sedikit artikel yang hanya sepihak tanpa mau melihat "apa permasalahan" sebenarnya. Padahal subyek yang dibicarakan adalah seorang yang telah lama dikenal kesungguhan dan pembelaannya sebagai dai dan kepada ahlussunnah.
Sungguh... bisa kita lihat permasalahannya ini telah terjadi khilaf diantara para salaf. Bagaimana mungkin -sekarang- dikatakan khilaf antara ahlussunnah dengan murji'ah?! Allohu musta'an.
Semoga Allah segera mengangkat fitnah ini dan menggantinya dengan kelapangan dada dan persatuan diantara ahlussunnah (dan kaum muslimin di atas pemahaman salafiyah ahlussunnah wal jama'ah)
Teruslah menulis dan bersabarlah!
Inni uhibbukum fillah.

== setiawan ==

Anonim mengatakan...

Ustadz afwan ana membaca ada artikel ilmiah yang terkait dan juga dialog di bawahnya tapi memiliki sudut pandang berbeda dengan artikel antum;

http://abul-harits.blogspot.com/2012/12/nasehat-para-ulama-terhadap-syaikh-ali.html

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Penulis blog itu cuma menterjemahkan, tidak melakukan penelaahan. Atau pendek kata, taqlid. Telah beberapa kali saya katakan bahwa dulu Asy-Syaikh Rabii' dan Asy-Syaikh 'Ubaid Al-Jaabiriy hafidhahumallah membela Syaikh 'Aliy dan menyatakan Lajnah keliru dalam permasalahan tersebut. Ini perkataannya Syaikh 'Ubaid terhadap permasalahan tersebut :

والشيخ علي رد ردًّا مؤدبًا قويًا دافع فيه عن نفسه فمن أراد أن يحكم للشيخ علي أو عليه أو يحكم للجنة أو عليها فليقارن بين رد اللجنة وملحوظاته ومحتوى الكتابين فإن وجد اللجنة مخطئة على الشيخ علي حكم له ولا يضر اللجنة؛ خطأها من طبيعة البشر وأعتقد أنهم سيرجعون عن خطئهم وإن كانوا الآن لم يردوا على الشيخ علي بشيء, و إن وجد أن اللجنة مصيبة وفي ملحوظاتها على الكتابين حكم على الشيخ علي و إن كان أخانا وحبيبنا ولكن الحق أحب، الحق أحب إلينا من اللجنة ومن الشيخ علي، الكل حبيبنا ولكن الحق أحب إلينا

[kaset An-Nashiihatush-Shariihah].

Kata syaikh 'Ubaid, bahwa Syaikh 'Aliy telah membantah ulama lajnah dengan penuh adab dan ilmiah (bantahannya kuat. Dan dalam hal ini, Lajnah Daaimah telah keliru dalam fatwanya terhadap Syaikh 'Aliy atas dua kitab yang ditulisnya.

Jelas sekali..... Dan ini menunjukkan bahwa Syaikh 'Ubaid hafidhahullah telah membaca kitab bantahan Syaikh 'Aliy terhadap Lajnah.

Tapi hanya karena Syaikh 'Aliy, maka terpaksa penulis blog itu perlu menterjemahkan muqaddimah Raf'ul-Laaimah.

Beberapa ulama yang lain, selain Syaikh Rabii' dan Syaikh 'Ubaid, terang-terangan menolak Fatwa Lajnah itu, di antaranya Syaikh Ibnu 'Utsaimiin, Syaikh Al-'Abbaad, Syaikh Husain Aalusy-Syaikh, dan yang lainnya.

Silakan baca :

Mengapa Hanya Mentahdzir Syaikh ‘Aliy ?.

Dalam artikel tersebut, antum akan mendapatkan ambiguitas orang yang memanfaatkan fatwa Lajnah, tidak terkecuali penulis blog itu (al-akh Abul-Harits).

Itu pertama.

Kedua,... Syaikh 'Aliy telah menuliskan bantahan ilmiah terhadap Lajnah dalam kitab Al-Ajwibatul-Mutalaaimah 'alaa Fatwaa Lajnah Daaimah (bisa antum bukan link-nya di sini). Kemudian juga jawaban terhadap kitab Raf'ul-Laaimah, bisa antum download di sini atau di sini). Bantahan di situ sangat ilmiah dan meyakinkan jika ada orang yang memang mau meluangkan waktu untuk membacanya.

Saya tunjukkan beberapa musykilah yang ada dalam fatwa Lajnah itu, di antaranya :

1. Tuduhan bahwa Syaikh 'Aliy tidak memasukkan amal dalam syarat keshahihan iman.

Padahal, kalau kita baca kitab At-Tahdziir dan Shaihatun Nadziir, Syaikh 'Aliy sama sekali tidak membahas masalah ini. Lantas, bagaimana bisa dikatakan Syaikh 'Aliy dituduh seperti itu ?.

Kemudian,... Syaikh Shaalih Al-fauzaan sendiri mengingkari istilah syarat keshahihan iman atau syarat kesempurnaan iman. Antum bisa baca fatwa beliau di sini. Lantas, bagaimana Lajnah bisa berfatwa tentang hal tersebut, sedangkan Syaikh Shaalih Al-Fauzaan sebagai anggota Lajnah mengingkari peristilahan syarat keshahihan dan syarat kesempurnaan ?.

Apalagi Syaikh Rabii'... Beliau sangat keras penyikapannya terhadap istilah-istilah tersebut.

Pikirkanlah !!

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

2. Tuduhan bahwa Syaikh 'Aliy membatasi kekufuran hanya pada kufur juhud (kufur pengingkaran) dan kufur takdzib (kufur karena mendustakan) dan istihlal qalbi.

Ini adalah kedustaan yang nyata terhadap Syaikh 'Aliy. Tentu saja ini diketahui bagi orang yang membaca kitab At-Tahdziir dan Shaihatun Nadziir. Bagaimana bisa ?. Tidak ada sama sekali pernyataan Syaikh 'Aliy yang membatasi kekufuran itu hanya tiga seperti yang dikatakan ulama Lajnah. Bahkan, ketika Asy-Syaikh ‘Aliy hafidhahullah menukil perkataan Asy-Syaikh As-Sa’diy rahimahullah dalam kitab Al-Irsyaad – sebagaimana dibawakan di artikel di atas - , Asy-Syaikh ‘Aliy berkata :

لا منافاة بين كون الجحود هو باب الكفر وبين كون أقسام الكفر ستة

“Tidaklah menafikkan antara keberadaan juhuud merupakan bab kekufuran, dengan keberadaan macam-macam kekufuran yang enam” [Al-Ajwibatul-Mutalaaimah, hal. 8 dan At-Tahdziir min fitnatil-Ghulluw wat-Takfiir, hal. 16 & 132].

Jelas dari perkataan ini Syaikh 'Aliy tidak melakukan pembatasan sebagaimana yang dituduhkan. Dikuatkan lagi, Syaikh ‘Aliy hafidhahullah secara tekstual menyebutkan secara panjang lebar 6 macam kekufuran dalam dalam kitab Shaihatun Nadziir hal. 47-49.

Sekali lagi, dimana ada pernyataan adanya pembatasan tersebut ?. Wallaahu a'lam.

3. Tuduhan bahwa Syaikh 'Aliy merubah maksud perkataan Allamah yang mulia: syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh rahimahullah Ta’ala dalam risalahnya yang berjudul “Tahkiim al-qawaaniin al-wadh’iyyah”.

Ini juga tuduhan yang terlalu lemah untuk dibantah. Asy-Syaikh Al-Halabiy membawakan perkataan Syaikh Muhammad bin Ibraahiim tidak hanya dalam satu tempat. Dan beliau menginginkan secara utuh manhaj Syaikh Ibraahiim dalam permasalahan berhukum dengan selain hukum Allah dengan pemahaman yang komprehensif, bukan sekedar di kitab Tahkiim Al-Qawaaniin saja. Oleh karena itu, Syaikh 'Aliy Al-Halabiy pun membawakan perkataan Syaikh Muhammad bin Ibraahiim yang lain yang berbicara tentang hal itu yaitu dalam Fataawaa nya :

من تحكيم شريعته، والتقيد بها، ونبذ ما خالفها من القوانين والأَوضاع وسائر الأَشياء التي ما أَنزل الله بها من سلطان، والتي من حكم بها أَو حاكم إليها معتقدًا صحة ذلك وجوازه فهو كافر الكفر الناقل عن الملة، وإن فعل ذلك بدون اعتقاد ذلك وجوازه فهو كافر الكفر العملي الذي لا ينقل عن الملة

[lihat : At-Tahdziir hal. 27 dan Shaihatun Nadziir hal. 96].

Apakah tidak jelas ?.

Barangsiapa berhukum dengannya dengannya (yaitu undang-undang buatan) atau berhukum kepadanya, dengan keyakinan hal itu dibenarkan, atau dibolehkan, maka ia kafir dengan kekufuran yang menjadikannya keluar dari agama. Adapun bila ia melakukannya tanpa disertai oleh keyakinan dibenarkannya perbuatan tersebut atau dibolehkannya, maka ia telah kafir dengan kufur amali, yang tidak sampai menjadikannya keluar dari agama.

Itu tekstual dari perkataan Syaikh Muhammad bin Ibraahiim !!. Dan ini perktaan Syaikh yang merinci permasalahan !!

Oleh karena itu, dalam Raf'ul-Laaimah Ad-Dausariy tidak membahasnya secara proporsional, karena ia tahu bahwa fatwa itu merugikan/mementahkan kritikannya. Inilah hakekat kritikan Ad-Dausariy. Ad-Dausariy kemudian malah membawakan pendapat Syaikh Ibnu Jibriin tentang pandangan beliau atas pendapat Syaikh Muhammad bin Ibraahiim dalam masalah tahkiim 'alal-qawaaniin [Raf'ul-Laaimah, hal. 122-123].

Dan seterusnya, panjang jika dituliskan semuanya.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Syaikh 'Ubaid dan Syaikh Husain Aalusy-Syaikh mengatakan bantahan Syaikh 'Aliy sangatlah kuat dan ilmiah.

Saya hanya mengingatkan akan firman Allah ta’ala dalam sebuah hadits qudsi :

يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلىَ نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّماً، فَلاَ تَظَالَمُوا

“Wahai hamba-Ku, sesungguhya aku telah mengharamkan kedhaliman atas diri-Ku dan Aku telah menetapkan haramnya (kedhaliman itu) diantara kalian. Maka janganlah kalian saling berbuat dhalim...”.

Semoga sekelumit ini ada manfaatnya.

Anonim mengatakan...

Bismillah. Semoga Allah segera mengangkat fitnah ini. Hati ini menangis. Tulisan antum membuka wacana bagi mereka yang mau sedikit melapangkan dadanya kepada syaikh Ali. Apakah mungkin syaikh Ali dengan mudahnya beraqidah murji'ah?
Mengapa karena berbeda pandangan dengan salah satu / beberapa ulama Saudi kemudian ulama yang membela aqidah beliau menjadi terdiam?!
Apakah karena syaikh al-Albani telah wafat? Apakah karena syaikh Utsaimin telah tiada? Mengapa? Mengapa?
Ya Allah, rahmatilah para ulama kami. Lindungilah mereka. Satukanlah barisan mereka. Lembutkanlah hati dan sejukkanlah pandangan mereka. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa Atas Segalanya.

Anonim mengatakan...

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Ustadz, mengutip tulisan diatas; ada pendapat yang mengatakan bahwa pokok iman adalah pembenaran dengan hati dan disertai ucapan lisan. (Al-Imaam Al-Marwaziy rahimahullah, Al-Kalaabadziy rahimahullah, Al-Haafidh Ibnu Rajab rahimahullah).
ada pendapat yang mnegatakan bahwa pokok iman adalah pembenaran, kecintaan dan ketundukkan disertai dengan ucapan lisan (Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah)

Ustadz, ada seseorang muslim kemudian murtad dan masuk islam kembali. sebelum bersyahadat dia masih merasa berat hatinya untuk meninggalkan pekerjaan (PNS) yang didalamnya terdapat ikhtilat.

ketika mengucapkan syahadat dia membenarkan dengan hati. namun sering muncul pertanyaan dalam hatinya antara lain:
1.) belum sah syahadatmu karena kamu belum tunduk sepenuhnya kepada Allah. buktinya kamu belum mau keluar dari pekerjaan tsb.
2.) apakah dia masih menyembah hawa nafsunya
3.) ada tujuh syarat syahadat (ilmu, yakin, ikhlas, menerima, tunduk, jujur ) sedangkan salah satu syaratnya yaitu tunduk belum terpenuhi.
4.) merasa bahwa dirinya orang munafik. dan di surat Al Munafiqun ayat 1 dijelaskan bahwa syahdat orang munafik (dalam ayat tsb) ditolak. sehingga orang tsb sering merasa khawatir.
itulah bisikan yang sering muncul dihatinya ustadz.

Pertanyaan:
A.)Apakah Sah syahadat orang tersebut. karena bisikan tersebut muncul sesaat sebelum mengucapkan syahadat. sehingga saat ini orang tesebut ragu2 apakah syahadatnya sha atau tidak.?

B.) Perlukah dia mengulang syahadat?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Saya tidak akan menanggapi karena Abul-Harits itu tidak menanggapi detail penukilan saya. Coba antum baca sekali lagi artikel di atas dan apa yang dikatakan para imam. Apa yang saya nukil di atas bukan buatan saya loh. Atau lebih jelasnya, baca artikel ini :

Hadits 'Tidak Pernah Beramal Kebaikan Sedikitpun' dalam Perspektif Ahlus-Sunnah.

Dalam artikel ini jelas sekali dhahir hadits berbicara apa dan bagaimana pendapat para ulama dalam menyikapinya.

Abul-Harits tidak melakukan analisa. Ia lebih condong mengambil ijtihad seorang ulama untuk menghukumi ulama lainnya. Saya malas menanggapi yang bersangkutan karena yang bersangkutan tidak lebih hanya taqlid saja pada sebagian kitab/bacaan dengan mengesampaingkan penjelasan yang ada di kitab lain.

Coba baca juga artikel : Jinsul-'Amal yang merupakan tanggapan saya terhadap yang bersangkutan.

Yang penting di sini kita memahami duduk permasalahannya, critical point apa yang menjadi perbedaan ulama dalam menyikapinya.