Mengapa Hanya Mentahdzir Syaikh ‘Aliy ?


Beberapa waktu lalu, salah seorang ustadz ‘salafiy’ mempublikasikan fatwa Lajnah Daaimah dalam situsnya yang mentahdzir dua kitab Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Halabiy : At-Tahdziir min Fitnatit-Takfiir dan Shaihatun Nadziir. Diberinya fatwa tersebut dengan judul yang cukup provokatif : Fatwa Lajnah Daimah tentang Buku Karya Ali Hasan Al-Halabi : Ali Hasan Al-Halabi menyebar pemikiran Murji'ah. Saya tidak akan membahas tentang fatwa dimaksud, karena Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Halabiy sendiri telah menjawabnya dalam kitab berjudul Al-Ajwibatul-Mutalaaimah ‘alaa Fatwaa Al-Lajnah Ad-Daaimah, yang bisa dibaca di sini. Atas jawaban tersebut, Asy-Syaikh Dr. Husain Alusy-Syaikh hafidhahullah (imam dan khathib Masjid Nabawiy) berkata :

والشيخ علي قد ردَّ ردًّا علميّاً [((الأجوبة المتلائمة على فتوى اللجنة الدائمة))] كما عَلَيه سلف هذه الأمَّة.
“Dan Asy-Syaikh ‘Aliy telah membantah dengan bantahan yang ilmiah [Al-Ajwibatul-Mutalaaimah ‘alaa Fatwaa Al-Lajnah Ad-Daaimah] sebagaimana hal itu telah dilakukan oleh salaf umat ini” [Perkataan ini beliau sampaikan dalam muhadlarah beliau yang berjudul : ‘Alaa Thariiqis-Sunnah].
Begitu juga reaksi Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullah saat mengetahui fatwa Lajnah yang berkata :
وهذا غَلطٌ مِن اللَّجْنَة، أنا مُستَاءٌ مِن هذِهِ الفَتْوى، وَلَقَدْ فَرَّقَتْ هذهِ الْفَتْوَى الْمُسْلِمِينَ في أَنْحاءِ العَالمِ؛ حَتَّى إِنَّهُمْ يَتَّصلونَ بِي مِنْ أَمْرِيكَا وأُوروبّا
“Ini adalah kekeliruan dari Lajnah. Aku merasa terganggu dengan fatwa ini. Fatwa ini telah memecah-belah kaum muslimin di seluruh negeri, hingga mereka menghubungiku dari negeri Amerika dan Eropa” [At-Ta’riifu wat-Tanbi’ah, hal. 15].
Oleh karena itu di sini berlaku perkataan Mujaahid rahimahullah :
لَيْسَ أَحَدٌ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلا يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ، وَيُتْرَكُ إِلا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Tidak ada seorang pun setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dimana perkataannya dapat diambil dan ditinggalkan, kecuali Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Juz’u Raf’il-Yadain, hal. 153 no. 179; shahih[1]].
Sebagaimana disebutkan di atas, salah satu kitab yang ditahdzir adalah Shaihatun Nadziir. Alhamdulillah, beberapa waktu lalu saya mendapatkan kitab ini dengan men-download di Muntadaa Kulalsalafiyeen (tepatnya di sini), sehingga mengobati rasa penasaran saya setelah sekian lama mencari apa gerangan isinya. Di antara hal yang menarik saat membaca buku tersebut adalah apa yang tertera di bagian pembukaan/muqaddimah halaman 6 dimana disitu disebutkan siapa saja yang telah membaca/menelaah kitab tersebut sebelum disebarluaskan (diterbitkan) oleh Asy-Syaikh ‘Aliy hafidhahullah. Berikut saya ambil scan halamannya :

“Sejumlah masyaikh kami dan saudara kami telah membaca/mentelaah kitabku ini sebelum penyebarannya. Yang pertama dari mereka adalah (1) Ustadz kami Asy-Syaikh Muhammad Naashiruddiin Al-Albaaniy, dan beliau mendoakanku – jazaahullaahu khairan – setelah membacanya : ‘semoga Allah menambahkan taufiq kepadamu’, (2) Ustadz kami Asy-Syaikh Muhammad Syaqrah, (3) Ustadz kami Asy-Syaikh Muhammad Ra’fat, (4) Al-Ustadz Asy-Syaikh Rabii’ bin Haadiy, (5) Al-Ustadz Muhammad ‘Umar Bazmuul, (6) Al-Akh Asy-Syaikh Masyhuur Hasan, (7) Al-Akh Asy-Syaikh Saliim Al-Hilaaliy, (8) Al-Akh Asy-Syaikh Muraad Syukriy, dan yang lainnya – baarakallaahu fiihim” [selesai].
Asy-Syaikh Rabii’ Al-Madkhaliy dan Asy-Syaikh Muhammad Bazmuul hafidhahumallah saya bold secara khusus, sebagai penekanan bahwa penyebaran dan penerbitan kitab tersebut setelah dibaca oleh beliau berdua.
Oleh karena itu,..... sungguh aneh jika ‘sang ustadz’ yang dulu diam tidak mencap Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Halabiy hafidhahullah sebagai murji’ sekarang menjadi berbalik keadaannya. Apakah itu dikarenakan dulu Asy-Syaikh ‘Aliy tidak berselisih dengan Asy-Syaikh Rabii’ dan Asy-Syaikh Bazmuul sehingga tidak dicap seorang murji’; dan kemudian bermetaforfosis menjadi murji’ setelah berselisih dengan keduanya ?. Entahlah.....
Seandainya, ‘sang ustadz’ memproklamirkan Asy-Syaikh ‘Aliy adalah murji’ karena tahdzir Lajnah terhadap kitab Shaihatun Nadziir (di antaranya), apakah ‘sang ustadz’ juga akan mentahdzir Asy-Syaikh Rabii’ dan Asy-Syaikh Muhammad Bazmuul yang telah menelaah kitab itu sebelum penyebarannya ?. Atau,.... mentahdzir yang lebih tinggi dari keduanya, yaitu Al-Imaam Al-Albaaniy rahimahullah (yang telah menjuluki Asy-Syaikh Rabii’ sebagai pemegang bendera al-jarh wat-ta’diil di jaman ini – dan perkataan beliau ini selalu diulang-ulang di banyak kesempatan untuk menyatakan ketinggian martabat Asy-Syaikh Rabii’) ?. Entahlah....
وإن كنت لا تدري فتلك مصيبة. وإن كنت تدري فالمصيبة أعظم
“Dan seandainya engkau tidak mengetahui, maka itu musibah. Namun seandainya engkau tahu, maka musibah itu lebih besar (bagi dirimu)”.
Apa sebab dari semua itu ?. Saya persilakan para Pembaca untuk menjawabnya.
وَعَيْنُ الرِّضَا عَنْ كُلِّ عَيْبٍ كَلِيْلَةٌ
كَمَا أَنَّ عَيْنَ السُّخْطِ تُبْدِي الْمَسَاوِيَا
“Mata yang penuh ridla akan terpejam dari segala aib yang ia lihat
Sedangkan mata yang penuh kebencian yang ia lihat hanyalah keburukan”.
Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’ – wonokarto, wonogiri – 14032012].


[1]      Riwayat tersebut secara lebih lengkap beserta sanadnya adalah :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ، عَنْ مُجَاهِدٍ، قَالَ: " لَيْسَ أَحَدٌ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلا يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ، وَيُتْرَكُ إِلا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari ‘Abdul-Kariim, dari Mujaahid, ia berkata : “Tidak ada seorang pun setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dimana perkataannya dapat diambil dan ditinggalkan, kecuali Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam”.
Keterangan perawinya adalah sebagai berikut :
a.      Qutaibah bin Sa’iid bin Jamiil bin Thariif bin ‘Abdillah Ats-Tsaqafiy, Abu Rajaa’ Al-Balkhiy Al-Baghlaaniy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun tahun 150 H, dan wafat tahun 240 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [lihat : Tahdziibul-Kamaal 23/523-537 no. 4852, Tahdziibut-Tahdziib 8/358-361 no. 641, dan Taqriibut-Tahdziib, hal. 799 no. 5557].
b.      Sufyaan bin ‘Uyainah bin Abi ‘Imraan Al-Hilaaliy, Abu Muhammad Al-Kuufiy Al-Makkiy; seorang yang tsiqah, haafidh, faqiih, imaam, dan hujjah. Termasuk thabaqah ke-8, lahir tahun 107 H, dan wafat tahun 198 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 395 no. 2464].
c.      ‘Abdul-Kariim bin Maalik Al-Jazariy, Abu Sa’iid Al-Harraaniy Al-Hadlramiy; seorang yang tsiqah lagi mutqin. Termasuk thabaqah ke-6, dan wafat tahun 127 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 619 no. 4182].
d.      Mujaahid bin Jabr Al-Makkiy, Abul-Hajjaaj Al-Qurasyiy Al-Makhzuumiy; seorang yang tsiqah lagi imam di bidang tafsir. Termasuk thabaqah ke-3 dan wafat tahun 101/102/103/104 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 921 no. 6523].
Para perawinya tsiqaat dan sanadnya bersambung (muttashil).

Comments

Anonim mengatakan...

Alhamdulillah, semoga ga ada yg protes berlebihan dengan adanya artikel ini. Biasanya klo udh membahas mengenai tahdzir, syaikh Ali ataupun murji', selalu ada saja yg mengajak jidal dengan Abul Jauzaa'. Untung saja Abul Jauzaa' bisa membalas dengan ilmiah jadinya kami2 bisa mengambil faidahnya, ga cuma berkembang jadi sekedar jidal.

--tommi--

Anonim mengatakan...

mudah-mudahan allah memberikan hidayah taufik kpd ana, bp & sodara2 kita. amin
---------------------------
Kesimpulannya bahwa fatwa ini menurutku tidak memvonis dan tidak menghukumi Syaikh Ali Murji’ah, akan tetapi fatwa tersebut hanyalah suatu dialog seputar buku beliau. Dan Syaikh Ali –semoga Allah selalu memberinya taufiq- ketika menulis ‘Al-Ajwibah Al-Mutalaaimah” setelah munculnya fatwa tersebut bukan untuk membantah tapi hanya sekedar menjelaskan manhaj beliau dan guru beliau Syaikh Al-Albani rahimahullah.

Kami yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa Syaikh Ali dan guru beliau Syaikh Al-Albani rahimahullah sangat amat jauh sekali dari pemikiran Murji’ah.

Syaikh Ali misalnya ketika diTanya tentang apa itu iman? Demikian juga dengan Syaikh Al-Albani, maka tidaklah kami dapatkan sedikitpun dari ucapan mereka yang berbau Murji’ah yaitu bahwasanya amal bukan termasuk bagian dari iman. Bahkan ucapan-ucapan Syaikh Al-Albani rahimahullah jelas-jelas menyatakan bahwa iman adalah keyakinan dalam hati ucapan dalam lisan dan perbuatan anggota badan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.
------------------------------------------
Ada Apa Dengan Syaikh Ali Al-Halabi Dan Syaikh Kholid Al-Anbari -Hafidzahumallahu-???
http://almanhaj.or.id/content/2173/slash/0
------------------------------------------
Benarkah Kitab At-Tahdzir Dan Sho'ihatu Nadzir Mengajak Kepada Pemikiran Irja'?
http://almanhaj.or.id/content/2049/slash/0
------------------------------------------
Menyikapi Fitnah Dan Tuduhan Murji'ah,
http://almanhaj.or.id/content/1848/slash/0
------------------------------------------
zaenal abidin

Anonim mengatakan...

ana pernah mendapati atau pernah juga dikatakan oleh para pengagum usama bin ladin dan abu bakar ba'asyir dgn perkataan, "seorang salafy murji'", alasannya, karena tdk mau mengkafirkan penguasa zaman skr, mereka mengganggap para penguasa yg kata mereka sudah berbuat mengadakan hukum Allah tetap saja disebut orang beriman.

Bagi mereka, keyakinan ini disebut aqidah murjiah.

Nah, yg dikhawatirkan, virus ini menyebar ke kalangan barisan salafy, namun lbh halus dgn menyatakan bahwa yg tdk mau mentahjir sesorang yg sudah di vonis mutabdi "menurut" mereka sama dengan murjiah.

Jadi virus menuduh murji ini efeknya sama hanya beda objek yg di eksploitasinya.

Anonim mengatakan...

Kemungkinan disebabkan oleh pandangan yang keliru dari mereka, yaitu parameter kelurusan manhaj dan kebenaran i’tiqad seseorang menurut mereka adalah :
يرضى لرضى فلان يغضب لغضبه, يوافقه التقرير والرد, ويسايره في الوصل والهجر, يبدع من بدعه, ويزكي من زكاه.
(dikutip dari tulisan Syaikh Ibrahim bin Amir Ar Ruhaili hafidzahullah)

abul wafaa' mengatakan...

setelah ini mari kita tunggu tanggapan Al-Ustadz Askari bin Jamal . nice article ustadz !

Ahlussunnah Bali mengatakan...

barokallahu feek

Anonim mengatakan...

barakallahu fik ustadz, Alhamdulillah ada yang menyingkap kebenaran dengan ilmiah

raehan

Anonim mengatakan...

ALLAHU MUSTA'AAN... Saya yakin ustadz Abul Jauzaa 'ala al-ilmi dalam hal ini.. Tapi ana gak tahu apakah memang seharusnya begini,salah satu yang terkadang selalu mengganggu dalam hati ana dalam perkara fitnah ini "apakah semua yang kita tahu harus kita sebarkan (walaupun itu benar)? atau tepatkah saat ini apa yang kita tahu, kita tulis dan kita sebarkan??"" Atau adakah yang lebih berhak untuk berbicara dalam masalah ini, sehingga tidak kacau balau barisan salafiyyin... Allahu Musta'an..

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Mungkin gangguan yang ada dalam hati saya mungkin berbeda dengan antum, sehingga dorongan untuk melakukan sesuatu antara saya dengan antum pun - mungkin - juga berbeda.

Seandainya hal ini telah dikatakan oleh orang lain selain diri saya yang saya mengetahuinya - dalam versi bahasa Indonesia tentu saja - niscaya itu telah cukup tanpa perlu saya ulangi.

Archie Romadhoni mengatakan...

Ana pernah juga ketika membawakan fatwa dari Syaikh 'Ali ditolak ama mereka dengan perkataan bahwa beliau seorang Murji'. Entah kenapa mereka melakukan hal ini, padahal sudah jelas duduk persoalannya, dan para ulama pun telah menjelaskan hal ini. Dan anehnya sampai sekarang seolah-olah mereka tuli tak mau mendengar, padahal sudah jelas bahwa hal ini kekeliruan.

wallahu 'alam.

Anonim mengatakan...

Na'am Ustadz.. Afwan, bukan ana ingin merendahkan siapa saja yang hanya belajar dari buku/kitab, akan tetapi ketika seseorang itu belajar pada salah seorang ulama secara langsung (mulazammah), maka secara tidak langsung akhlak ulama itu (dalam berbagai keadaan) akan memberikan pengaruh terhadap thoolib tersebut (muatstsar), kapan ulama tersebut diam, dalam keadaan apa itu dan bagaimana ketika seorang ulama berbicara dan melihat kondisi serta keadaan ketika beliau harus berbicara.. Saya pernah mendengar (melalui perantara seorang ustadz) Syaikh Muqbil Berkata "Tinggalkan Rabi', Tinggalkan Abdurahman Abdul Khaliq, Belajarlah kalian disini".. Secara tersirat Syaikh yang mulia menyampaikan, masalah fitnah itu sudah ada yang mengurus (yaitu Ulama') dan tidak semua orang berhak berbicara didalamnya. Afwan Ustadz, jikalau ana lancang, adakah antum pernah melihat secara langsung raut wajah masyyaikh ketika ditanya masalah fitnah, atau adakah antum pernah melihat secara langsung bagaimana gerak tubuh masysyaikh dalam melihat keadaan ketika terjadi fitnah?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Perkataan semisal di atas (hanya belajar dari kitab, tidak mulazamah secara langsung dengan ulama), saya kira sudah berulang tertulis di Blog ini dengan bahasa/kemasan berbeda. Pun hal yang disinggungnya pun sama [misal di sini]. I don't want comment so far bout this.....

Mungkin saja artikel di atas tidak bermanfaat bagi Anda, tapi bermanfaat bagi yang lain. Seandainya Anda menganggap saya tidak kredibel membicarakan ini, tidak mengapa. Saya tidak tersinggung, insya Allah. Saya pun mengucapkan terima kasih tas nasihat Anda kepada saya, jazaakallaahu khairan, meski maaf, saya tidak akan menghapus artikel di atas. Setidaknya sampai saat ini.

NB :

1. Rekaman yang Anda dengarkan dari Ustadz Dzulqarnain mengenai perkataan gurunya, Syaikh Muqbil, saya telah dengarkan pula.

2. Kalau masalah kitab Shaihatun Nadziir dan tahdzir Lajnah, maka itu sudah dijelaskan oleh para ulama. Banyak yang sudah mengetahuinya. Bagi yang tidak berkesempatan mulazamah secara langsung kepada ulama di luar negeri sehingga mengetahui raut mukanya (meminjam istilah Anda), maka kita bisa memanfaatkan kitab-kitab mereka, rekaman-rekaman durus mereka, atau mendengarkan penjelasan mereka ketika bertandang ke Indonesia.

3. Kalau masalah 'Ustadz Salafiy', saya kira itu adalah sebuah nasihat bagi kita semua. Bagi beliau, saya, Anda, dan kita semua. Bagaimana seharusnya meneliti permasalahan dan bersikap 'adil di dalamnya.

Anonim mengatakan...

Buat yang kurang sepakat dengan dimuatnya artikel ini :
Saya perhatikan artikel di atas memang berbicara tentang "fitnah", tapi dalam rangka menjelaskan keanehan yang dilakukan oleh orang lain yang "terjerumus ke dalam fitnah" yaitu dengan "membicarakan" person ulama dan da'i sunnah yang SEHARUSNYA ini adalah hak ulama, bukan ustadz apalagi orang awam.

@Abul Jauzaa :
Kalau mau baik sangka, justru al-ustadz ketika mengetengahkan pendapat Lajnah Daimah -yang notabene bertentangan dengan Syaikh Rabi' dalam hal kitab yang ditahdzir- menunjukkan bahwa al-ustadz memang tidak taqlid dengan Syaikh Rabi', tapi mengikuti pendapat yang beliau anggap lebih kuat. Barangkali itu hasil penelaahan beliau terhadap kitab dimaksud.Hanya sayangnya sekali lagi, semestinya ini bukan hak beliau. Allohu a'lam

-arief

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Memang kalau mau berbaik sangka seharusnya begitu, bahwa al-ustadz tidak taqlid. Namun baik sangka tadi menyisakan sedikit ganjalan, di antaranya dua hal :

1. Publikasi al-ustadz itu muncul setelah lama berselang dari waktu keluarnya fatwa Lajnah. Coba cek perbedaan tahun keluarnya.

2. Jika al-ustadz memang 'adil, mengapa beliau hanya mengecap Syaikh 'Aliy sebagai Murji', padahal ada sederet ulama yang telah memeriksa sebelum kitab itu dikeluarkan. Termasuk Syaikh Rabii'. Bahkan Syaikh Al-Albaaniy memberikan pujian secara khusus. Bukankah kita dapat melogika seandainya para ulama yang dikirimi draft kitab tadi menentang keras dan menunjukkan di dalamnya ada kekeliruan 'aqidah yang mendasar, saya kira Syaikh 'Aliy tidak akan menerbitkannya. Atau seandainya menerbitkannya, deretan nama ulama tadi tidak akan ditampilkannya. Jika demikian, mengapa hanya Syaikh 'Aliy yang ditahdzir oleh sang 'ustadz salafiy' ?.

Anonim mengatakan...

iya, buat saya husnud-dzan itu memang buat menghilangkan ganjalan di hati he.he

-arief

Anonim mengatakan...

Memang yang bisa katakan (meskipun berat) kepada "Al Ustadz" dan Asaatidz yang sepemahaman dengannya : Anda semua sudah terjangkiti penyakit taqlid kepada Syaikh Rabi', Syaikh Ubaid dan yang sepemahaman dengan mereka.

Meskipun Anda semua melarang taqlid buta kepada para Imam Madzab, namun kenyataan yang ada anda semua terjatuh kedalamnya, bahkan taqlid kepada ulama' yang maqamnya lebih rendah daripada para Imam Madzab.

Yang sangat mengherankan adalah : mereka beraninya mentahdzir Syaikh Ali, Syaikh Ibrahim, Syaikh Mashur dan yang semisalnya. Namun tidak berani mentahdzir Syaikh Abdul Muhsin, Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh, dan Shalih Alu Syaikh, padahal sikap Syaikh Ali Hasan kepada "ulama' bermasalah" menurut mereka sebagaimana pendapat Syaikh Al Abbad.

Benar-benar mengherankan, atau pokoknya harus ikut Syaikh Rabi, Syaikh Ubaid dan Syaikh semisal mereka.

Bukankah kita yakin bahwa : setiap orang bisa diterima dan ditolak pendapatnya kecuali Nabi.

Tambahan lagi : mereka adalah orang-orang yang terjatuh dalam perbuatan ghuluw terhadap seseorang, kalau memuji berlebihan dan kalau mencela juga berlebihan.

Saya setuju dengan ditulisnya artikel ini, karena memang Syaikh Ali Hasan dalam keadaan terdzalimi, seandainya beliau punya kesalahan maka cara menasehatinya tidak benar dan berlebihan, tidak menunjukkan arti nasehat yang sebenarnya yaitu menginginkan kebaikan kepada orang yang dinasehati.

-ain-

pustakailmu.com mengatakan...

alhamdulillaah, artikel yang sangaat bermanfaat Ustadz, syukran jazakallahu khayran

Anonim mengatakan...

ustad sebenerya apa yang di tahdzir oleh lajnah tersebut (tulisan/pada kalimat yang mana). barakallahufikm

Anonim mengatakan...

Al-Ilmu Ma'akum Ustadz, Ma Syiktum.. Akan tetapi ana tidak melihat tajribah dalam penerapannya dalam masalah ini dari antum Ustadz, ana takut antum terjatuh dalam hal-hal yang tidak darurat untuk antum bahas.. Justru karena kecintaan ana kepada antum dan asatidzah lainnya ana tulis 2 komentar ana sebelumnya (yang telah antum tanggapi).. Pada beberapa ikhwah yang masih awwam seperti ana, yang didalam hatinya terdapat setitik kesenangan "jidal" maka titik itu menjadi besar dengan tulisan semisal di atas.. Tiada maksud hati untuk meminta Ustadz menghapus artikel ini.. Semoga barisan salafiyyin semakin kokoh.. Baarokallahu fik..

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Yang penting kita ketahui adalah bahwa : Tabiat/karakter dari per-jidal-an itu bukan terletak pada permasalahan, tapi pada orang yang membicarakannya. Masalah apapun jika memang dibicarakan oleh orang yang tidak senang jidal, tidak akan terjadi per-jidal-an. Namun sebaliknya, jika dibawakan oleh orang yang memang senang berjidal. Masalah 'aqidah, manhaj, fiqh, akhlaq, atau bahkan urusan keduniaan (sebagaimana sering kita lihat perdebatan kosong di TV).

Namun apapun itu, saya hargai pendapat Anda walau di sini saya mempunyai sisi pandang yang berbeda. Seandainya 'sang ustadz' tidak menuliskan itu di websitenya yang kemudian tulisan itu digandakan di berbagai media dan diingat oleh pikiran orang-orang yang membacanya, saya tidak akan 'berpayah-payah' menulis tulisan singkat di atas.

Anonim mengatakan...

Assalamu`alaikum
Terus ana mau tanya ustadz,gmana dengan Syaikh Muhammad Hasan Al Mishri dan beberpa syaikh di Mesir apakah masih Ahlus Sunnah atau tidak? Kenapa ana tanya ini abis kan yang ana dengar mereka membolehkan masuk parlemen dan mendirikan partai politik spt Partai An Nur di Mesir. Oh ya satu lagi knapa kita juga ikutan mendirikan parpol kan bisa aja tujuannya berdakwah tauhid dan menerapkan syariat Islam?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Wa'alaikumus-salaam....

Mungkin saya akan menanggapi pada hal yang lebih krusial - menyangkut pertanyaan antum - daripada sekedar : apakah Fulan masih Ahlus-Sunnah ataukah tidak. Karena core dalam pertanyaan antum yang saya tangkap adalah :

"Apakah orang yang membolehkan masuk parlemen dengan mendukung salah satu partai dapat dianggap telah keluar dari koridor Ahlus-Sunnah ?".

[sependek pengetahuan saya, Muhammad Hassaan tidak mendirikan partai An-Nuur, koreksi jika saya keliru].

Persoalan ini sebenarnya nanti juga menyangkut Pemilu dan yang lainnya, karena hakekatnya satu paket.

Sebelumnya, ada baiknya jika antum baca terlebih dahulu artikel : Pemilu - Satu Pilihan yang Ekstra Sulit.

Persoalan ikut Pemilu dan dan berparlemen telah dibicarakan para ulama. Ada yang mengharamkannya secara mutlak seperti mayoritas ulama Yaman, ada juga yang memperbolehkannya pada kondisi tertentu sebagaimana masyhur ternukil di beberapa ulama Saudi. Saya tidak akan menyinggung pendapat yang mengharamkannya, karena itu bukan inti pertanyaan antum, tapi pada pendapat yang kedua. Saya ambilkan fatwa dari orang yang kita tidak berselisih tentangnya : Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-'Utsaimiin rahimahullah.

Beliau pernah ditanya tentang Pemilu di Kuwait dimana telah diketahui/terbukti bahwa mayoritas orang yang mengikuti Pemilu itu adalah kaum muslimin dan para aktifis dakwah yang kemudian terfitnah agamanya (ما حكم الانتخابات الموجودة في الكويت , علماً بأن أغلب من دخلها من الإسلاميين ورجال الدعوة فتنوا في دينهم).

Maka jawab beliau (saya kutip kalimat intinya) :

أنا أرى أن الانتخابات واجبة, يجب أن نعين من نرى أن فيه خيراً, لأنه إذا تقاعس أهل الخير من يحل محلهم؟ أهل الشر, أو الناس السلبيون الذين ليس عندهم لا خير ولا شر, أتباع كل ناعق, فلابد أن نختار من نراه صالحاً

"Aku berpendapat bahwasannya Pemilu itu wajib. Kita wajib memilih orang yang kita pandang padanya terdapat kebaikan. Hal itu karena apabila orang-orang mundur, siapakah yang akan menempati tempat mereka ?. Orang-orang jelek/jahat dan orang-orang tak punya pendirian yang tidak memiliki kebaikan ataupun kejelekan, yang mengikuti setiap seruan. Maka sudah seharusnya kita memilih orang yang kita pandang shaalih.....dst. [dari pertemuan terbuka, kaset no. 2011; selengkapnya silakan baca : sini].

Lajnah Daaimah yang diketuai Syaikh Ibnu Baaz pernah ditanya : "Bolehkah ikut mencoblos dalam Pemilu dan mencalonkan diri padanya dimana negeri kami ini masih berhukum dengan selain hukum Allah ? (هل يجوز التصويت في الانتخابات والترشيح لها ؟مع العلم أن بلادنا تحكم بغير ماأنزل الله) ?.

Setelah memaparkan ketidakbolehan mencalonkan diri dalam rangka turut serta dalam aturan yang berhukum dengan selain hukum Allah, dan memilih orang yang akan menyukseskan hukum selain hukum Allah; maka Lajnah berkata :

إلا إذا كان من رشح نفسه من المسلمين ومن ينتخبون يرجون بالدخول في ذلك أن يصلوا بذلك إلى تحويل الحكم إلى العمل بشريعة الإسلام واتخذوا ذلك وسيلة إلى التغلب على نظام الحكم على ألا يعمل من رشح نفسه تمام الدخول إلى مناصب لا تتنافي مع الشريعة الإسلامية

"Kecuali apabila orang yang mencalonkan dirinya itu dari kaum muslimin dan para pemilih berharap dengan masuknya orang itu ke sistem akan bersuara untuk perubahan agar berhukum dengan syari'at Islam, dan menjadikan hal itu sebagai sarana untuk menguasai sistem/aturan (pemerintahan), (maka hal ini diperbolehkan). Dengan ketentuan, orang yang mencalonkan dirinya tersebut setelah terpilih tidak menerima jabatan kecuali jabatan yang tidak berlawanan dengan syari'at Islam" [baca : sini ].

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Saya, antum, rekan antum, atau ustadz antum boleh saja tidak sependapat dengan fatwa di atas karena merajihkan pendapat kebalikannya. Tapi inilah realitas pendapat yang beredar di kalagan ulama.

Fatwa yang semacam ini banyak dikeluarkan oleh para ulama kita yang kesemuanya berujung pada pertimbangan maslahat dan mafsadat. Barangsiapa yang melihat ada maslahat yang lebih besar, maka partisipasi itu diperbolehkan. Dan sebaliknya, barangsiapa yang melihat mafsadat lebih banyak, maka partisipasi itu menjadi larangan.

Kembali ke inti pertanyaan antum.

Pemilu atau mencalonkan diri dalam parlemen adalah masalah ijtihadiy dari para ulama kita. Ia bukanlah masalah yang menjadi (salah satu) garis pemisah antara Ahlus-Sunnah dan non-Ahlus-Sunnah. Ia juga seharusnya bukan menjadi masalah yang menjadi asas kita mencela satu dengan yang lainnya.

Jadi,..... mungkinkah seorang salafiy nyoblos Pemilu ?. Jawabnya mungkin. Mungkinkah seorang salafiy masuk dalam parlemen ?. Jawabnya mungkin.

Lantas apa bedanya dengan harakiy atau hizbiy kalau begitu ?. Menilik penjelasan di atas, benang merah pembedanya adalah bahwasannya seorang Salafiy yang (mungkin) ikut Pemilu dan berparlemen hanyalah menginginkan kebaikan semata, mewujudkan kemaslahatan, dan mengecilkan atau bahkan menghilangkan mafsadat. Ia tidak berloyalitas kecuali pada kebenaran.

Terakhir,... mari kita simak penjelasan Syaikh As-Sadlaan (anggota haiah kibar ulama Saudi) :

لابد من التأكد من كون المسألة معلومة من الدين بالضرورة، لأن استقرار رجوح مسألة في الذهن لدى الإنسان يجعله يتحمس لها ويعطيها أكبر من حجمها، ومن ذلك اجتهاد من يرى عدم جواز دخول الانتخابات البرلمانية فقد تشدد ويعتبر هذا الموضوع معلوماً من الدين بالضرورة، ويعادي المخالف، وقد يتأول أن هذا نوع من الولاء لغير المسلم - أي دخول الانتخابات - والمسألة فيها سعة وليست بهذا الضيق الاجتهادي.

“Harus benar-benar dipastikan apakah permasalahannya adalah termasuk perkara agama yang wajib diketahui secara pasti. Karena terkadang keyakinan terhadap perkara yang rajih (kuat) dalam diri seseorang membuatnya sangat ‘militan’ dalam mempertahankannya hingga berlebihan dalam memposisikannya. Contohnya adalah ijtihad orang yang tidak membolehkan ikut dalam pemilihan umum dan duduk di parlemen. Terkadang mereka bersikap ekstrim dan memasukkan masalah ini sebagai perkara pokok agama yang wajib diketahui dengan pasti, lalu dengan serta-merta dia memusuhi orang yang menyelisihinya, dan terkadang juga dia menerjemahkan berpartisipasi dalam pemilihan umum sebagai suatu bentuk loyalitas terhadap non-muslim. Padahal sebenarnya permasalahan ini sangat lapang, tidak sesempit ijtihad seperti ini (yang tidak membuka ruang perbedaan pendapat” [Al-I’tilaaf wal-Ikhtilaaf : Asasuhu wa Dlawabithuhu oleh Shaalih bin Ghaanim As-Sadlaan hal. 83; Daar Balansiyyah, Cet. Thn. 1417 H, Riyadl].

Semoga dengan ini dapat 'menjawab' pertanyaan antum, tanpa saya harus menjawab tentang diri Muhammad Hassaan.

Anonim mengatakan...

By:Pecinta Persatuan Islam dan Anti Perpecahan
Assalamu`alaikum
Ana tadi membaca soal jawab antara antum ustadz abul jauzaa dan anonim tertanggal 21 Maret 2012 00:25,klo dari jawaban antum berarti kita bisa dong mendirikan parpol atau minimal bisa bergabung dari salah satu parpol Islam yang ada> Nah tapi knapa beberapa ustadz kok menyarankan untuk meninggalkan parpol dan parlemen. Apalagi saat ini beberapa parpol Islam berhasil menghadirkan beberapa hukum Islam kan seperti UU Bank Syariah dan perda2 syariah bukan menyalah2kan mereka seperti saat ini. Jadi sangat tidak adil kita menyalahkan mereka dong. Satu lagi saat 2009 MUI mengeluarkan fatwa haram golput dan memilih wakil yang memiliki kurang keburukan apabila tak ada calon yang bagus. Mohon maaf klo ada kesalahan ustadz. Saya harap tak ada lagi perselisihan antar umat Islam kan seperti antum kutip Syaikh As-Sadlaan (anggota haiah kibar ulama Saudi) :
Padahal sebenarnya permasalahan ini sangat lapang, tidak sesempit ijtihad seperti ini (yang tidak membuka ruang perbedaan pendapat”

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Jika kita tilik benar fatwa ulama tentang pemilu dan bergabung dengan parlemen demokrasi kita akan tahu bahwa pada asalnya mereka melarang hal ini (karena mereka ada yang melarang secara mutlak, atau membolehkan dengan syarat atau kondisi tertentu). Terlarang pula mendirikan aneka macam parpol. Fatwa mereka dalam konteks pertimbangan maslahat dan mafsadat. Jika demikian, sebagaimana masyhur dalam ilmu ushul, pembolehan semacam ini tidaklah mutlak. Sifatnya bisa situasional. Bisa boleh pada satu masa, namun tidak di masa yang lain, atau boleh di satu tempat namun tidak di tempat lain.

Jika ada ustadz yang melarang mengikuti Pemilu dan berparlemen di Indonesia, mengapa bisa Anda katakan tidak adil ?. Bukankah larangan ini memang kembali pada hukum asalnya ?. Bukankah larangan secara mutlak merupakan pendapat sebagian ulama ?. Yang jadi masalah itu bukan pada pelarangannya, tapi pada sikap yang intoleran pada pendapat yang berseberangan.

Tapi tetap harus digarisbawahi bahwa konteks pembolehan ikut Pemilu dan bergabung dalam Parlemen dengan syarat, atau dengan alasan pertimbangan maslahat-mafsadat, atau pertimbangan mengambil mafsadat terkecil di antara dua mafsadat;.... maka itu semua terkemas dalam konteks : DARURAT. Sebagaimana halnya ketika tidak tersedia makanan kecuali daging babi, maka saat itu syari'at memperbolehkan kita memakannya sekedar untuk mengisi perut. Kita memakannya pun dengan keadaan benci dan tidak suka. Pun dengan pernik-pernik demokrasi ini. Seandainya kita ikut Pemilu atau bergabung dengan parlemen, kita menjalankannya pun dengan keadaan serupa. Bukan dengan suka cita dan mabuk kepayang.

Nah, .... silakan bandingkan keadaannya dengan keumuman orang-orang yang tercebur di kancah politik di Indonesia. Terpaksakah mereka ?. Tidak, bahkan mereka sangat berharap dan enggan untuk melepaskannya. Mereka sangat mencintainya. Islam yang dibawa oleh sebagian partai Islam hanyalah label pelaris dagangan. Yang seperti inilah yang patut untuk dicela. Wajar, karena sifat asal demokrasi memang melahirkan hal-hal yang demikian.

Mungkin saja ada perkecualian orang dari apa yang saya katakan. Jika memang ada orang yang murni memperjuangkan Islam, kita patut hargai dan berikan apresiasi. Semoga Allah membalasnya dengan sebaik-baik balasan.

Adapun seandainya ada peraturan yang 'menguntungkan' Islam dihasilkan dalam demokrasi ini, maka 'keuntungan' itu tidaklah sebanding dengan kerugian dan malapetaka yang ditimbulkan oleh demokrasi negeri ini. Yang baru-baru ini,.... Anda mungkin dengar bagaimana fatwa Mahkamah Konstitusi yang merusak hukum waris Islam.

Anonim mengatakan...

aneh... beberapa orang menceburkan diri ke dalam "politik" dengan bekal "fatwa' masyayikh... padahal dia juga tahu bagaimana "wujud" fatwa itu... yang antara asalnya larangan... kemudian boleh dengan syarat dan kondisi tertentu....
atau... mungkin mereka terbiasa tidak peduli dengan "terms and conditions nya" ya?
lalu kemudian ada yang melarangnya dengan melihat kondisi yang ada... malah dicela dan bla,bla... kemudian ketika di mesir ada yang membolehkan dengan kondisinya juga... mulai bla,bla... lagi...
hadoh... kemana sih koar-koar ilmiah mereka? kasiha...

Anonim mengatakan...

persoalannya jadi sedikit melebar, tapi yang perlu untuk dipertanyakan adalah waqi' yang ada di negeri kita ini berkait dengan demokrasi.

1) Apakah memang tidak ada urgensi atau kedaan darurat untuk kaum muslimin di negeri ini untuk berpartai? khususnya ahlussunnah dinegeri ini? atau sebetulnya ada namun sudah terstigma di kalangan ahlussunnah negeri ini bahwa berpartai adalah ciri hizbiyun dan menjadikan cela bagi ke salafiyan pelakunya? artinya kita takut ada fihak-fihak yang berpandangan kaku akan mengiritik atau mentahzir orang yang berpartai tersebut?

2) Apakah dakwah tauhid tidak bisa di jalankan bersamaan dengan dakwah kepada syiasah syar'iyah? sehingga dakwah kepada jenis kedua itu di tinggalkan secara mutlak atau dinilai kurang penting dan di jauhkan dari medan penerapan? atau memang dinilai tidak ada urgensinya untuk saat ini?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Berpartai memang bukan ciri Ahlus-Sunnah. Ini bukan masalah stigma, tapi masalah kerangka dalam memandang asal permasalahan. Permasalahannya kemudian menjadi rumit ketika kita masuk sistem demokrasi, maka diharuskan lewat melalui lubang partai. Jadi demokrasi, pemilu, partai, dan parlemen adalah satu kesatuan yang susah untuk dipisah-pisahkan. Inilah yang konsekuensi yang diambil dari situasi dlaruriy tadi. Sebagaimana yang ma'ruf dalam kaidah fiqhiyyah, keadaan darurat membolehkan sesuatu yang asalnya diharamkan. Ini pun juga dibatasi dengan kalimat : 'sesuai dengan kebutuhan'.

Tentang stigma yang Anda sebut, maka memang ada benarnya. Dalam arti, bahwa sebagian besar ikhwan tidak bisa membedakan antara yang terpaksa dengan yang sukarela ikut dalam sistem demokrasi ini (termasuk padanya : partai). Ingat, kita harus epakat dulu dengan term 'terpaksa' di sini.

Apakah dakwah tauhid tidak bisa disandingkan dengan siyasah syar'iyyah ?. Tentu bisa. Karena di situ sudah dibatasi dengan kata : syar'iyyah. Sesuatu yang syar'iy tentu saja dianjurkan, bahkan mungkin diwajibkan. Namun jika maksud perkataan Anda adalah siyasah demoqratiyyah, ya ndak bisa. Abadan... Perkataan ulama yang membolehkan dengan syarat atau kondisi tertentu itu dapat dipahami bahwa pada asalnya kondisi itu tidaklah disyari'atkan. Ketika Anda diperbolehkan minum khamr karena tidak ada air yang halal, maka pembolehan itu hanya sekedar untuk mempertahankan nyawa Anda. Membuat badan Anda tegak. Tapi kalau ditanya apakah khamr memberikan manfaat hakiki kepada Anda, maka jawabannya adalah : tidak.

Anonim mengatakan...

Hai salafi mazhum kasihan sekali kalian katany obyektif dan ilmiah malah taklid buta dalam membela syaikhny si ali hasan yang muji`ah kasihan bgt ya,ap kalian gak baca ap pura2 gak tahu klo ad fatwa dari ulama kalian Lajnah Daimah dah memfatwakan karyany ali hasan murjiah bahkan banyak dibantah ttg sumber refesensi,tobat lah kalian

Akh Izzis mengatakan...

PKS mengutip fatwa masyaikh yang membolehkan demokrasi dengan mengabaikan syarat-syaratnya, bahkan kader-kader mereka mulai mendakwahkan KEHALALAN DEMOKRASI.. menyedihkan

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

apa gak kebalik tuh yang muqallid itu anda ?. belajar dulu ya yang giat...

Anonim mengatakan...

Wahai Anonim 23 Maret 2012 14:57

Yang lebih patut dikasihani tuh anda.

Lihatlah komentar anda tersebut, pembaca akan dapat dengan mudah menilai kualitas komentar anda yang bagaikan bumi dengan langit bila dibandingkan dengan tulisan ustadz abu al jauzaa'.

Anonim mengatakan...

Bahkan keimanan anda, anda muslim atau kafir pun masih dipertanyakan... wahai Anonim 23 Maret 2012 14:57

bang_utray mengatakan...

abu usamah (bang-utray.blogspot.com)
Hingga detik ini, setelah belasan tahun ana mengikuti dan aktif sebagai kader partai, ana menemukan dan mendapati berbagai kisah dari para kader yang tenggelam (atau sengaja menyelam) ke dalam samudera demokrasi, yang pd akhirnya kehidupan mrk semakin jauh dari nilai-nilai syariat. Hal ini bahkan berimbas pd anak2 mrk yg tabiat dan perilakunya hampir2 tdk bs dibedakan dng orang2 yg tdk mengenal dan memehami Islam dng baik sbgmn umumnya saudara2 kita kaum muslimin di negeri ini. Tidak lain hal itu karena hampir seluruh kader terforsir tenaga, waktu dan perhatiannya utk segala aktifitas yg mereka sebut2 sbg dakwah, hingga tanpa sadar sedikit demi sedikit mereka mulai meninggalkan prioritas syariat dan prioritas dakwah yakni kpd istri dan anak2 mrk sndiri.Sungguh, terjunnya para da'i ke parlemen adalah suatu ijtihad yg kurang tepat, terlalu bnyk madharat dibanding maslahatnya.Wallahul musta'an

Anonim mengatakan...

Benarkah ulama yang antum maksud hanya mentahdzir Syaikh Ali ?

Sudahkah Ustadz bertanya kepada Ulama yang dimaksud untuk tatsabut ?

Benarkah sebagian asatidzah salafi di Indonesia taklid dan ghuluw kepada sebagian masyayikh yang antum maskud ?

Sudahkah antum tatsabut kepada mereka ?

Anonim mengatakan...

Jazakallahu khairan ya ustadz...memang itulah keadaannya,,beberapa waktu lalu, Syaikh dr. Abdurrozzaq hafizahulllah pun dikatakan "ada sesuatu" pada manhajnya krn mendatangi beberapa ma'had "surury"...Allahumusta'an..semoga Allah senantiasa memberikan hidayah taufik-Nya kpd kita semua..amin..

Anonim mengatakan...

Siapa yang berani menyatakan "ada sesuatu" pada manhaj Syaikh 'Abdurrazaq -hafidhahullah- !! betapa lancangnya orang ini..adakah buktinya ucapan itu ?

justru Syaikh 'Ubaid Al-Jabiry hafidhahullah tadi siang di akhir majelis beliau, menitipkan salam teruntuk Asatidzah dari Universitas Islam Madinah tingkat Magister dan Doktoral..

Syaikh 'Ubaid hafidhahullah mempersilahkan mereka (asatidzah antum)untuk datang di dauroh kami di jogja, Syaikh menasehatkan kepada asatidzah kami untuk tidak berputus asa dalam menasehati mereka yang sampai sekarang masih saja bermuamalah dengan jum'iyyah-jum'iyyah hizbiyyah menurut Syaikh..

Karena memang syaikh diantara ulama yang melarang untuk bermuamalah dengan jum'iyyah-jum'iyyah tersebut, jadi jangan heran ya...

semoga info ini bermanfaat..

orang awam mengatakan...

Assalamu'alaykum,

Asatidz yang bermuamalah dengan jum'iyyah-jum'iyyah, dengan asatidz yang tidak bermuamalah dengan jum'iyyah-jum'iyyah SAMA-SAMA MENDAKWAHKAN SUNNAH !, SAMA-SAMA MENJAUHKAN UMMAT DARI BID'AH !, SAMA-SAMA MEMURNIKAN TAUHID !

lantas bedanya di mana ?

Segala Puji bagi Rabbul 'Alamin, atas mengudaranya channel RodjaTV via satelit Palapa, sehingga sunnah menyebar ke seluruh penjuru mata angin, menyebar ke seluruh pelosok Indonesia yang paling pelosok sekalipun.

karena tidak semua daerah tercover UHF, jadi biasanya rakyat Indonesia yang tinggal di pelosok hutan membeli parabola supaya dapat menjangkau siaran televisi.

Wallohu ta'alaa a'lam

Anonim mengatakan...

assalamualaikum
Baru2 ini ada bedah buku yg merupakan bantahan pd kitab syaikh ali sebagaimana antum sebut diatas, dasar dr tuduhan tsb diambil dari kitab almaqdisi talbisaatul uqolaa' (klw tdk salah)..apa pendapat antum ttg celaan tsb, dimana ada yg bilang beliau itu murji'ah jahmiyah...apakah ini telah dijawab oleh syaikh?? atau jawabannya sdh tercover dlm kitab ajwibah mutalaaimah???
mohon penjelasan...barakaallahu fiikum

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Wa'alaikumus-salaam.

Kita tidak perlu memusingkan ocehan Abu Muhammad Al-Maqdisiy At-Takfiriy. Dia mencela hampir semua ulama Ahlus-Sunnah yang berseberangan dengan pemikiran konyolnya. Termasuk Ibnu Baaz dan masyaikh Saudi lainnya.

Yang membedah buku dan sepakat dengan Al-Maqdisiy itu adalah kelompok yang sepemikiran dengannya.

Anonim mengatakan...

maksud ana yaa ustad..apakah dasar mereka cuman tahdzir lajnah yg kemudian diramu pakai akal2an takfiri?? krn jika iya, maka kitab ajwibah sdh sangat lebih dr cukup buat mengkonter mereka...

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Saya belum pernah baca kitab Al-Maqdisiy yang antum dimaksud, sehingga saya tidak tahu apa isinya. Kalau misal di dalamnya membawa fatwa Lajnah, maka dalam kitab Al-Ajwibah sudah terdapat jawaban yang sangat memuaskan.

Anonim mengatakan...

Referensi dari link di bawah ini mungkin bisa jadi referensi tambahan :
http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=12881

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Kalau yang anda maksud adalah tentang tahdzir Lajnah (terkait isu irjaa'), saya kira di atas tekah jelas siapakah yang inkonsisten. Adapun kalau yang Anda maksud adalah permasalahan lain, saya kira itu bisa ditafshil per masalah.

Anonim mengatakan...

@abu Al jauzaa', saya yg awam ngeliat pembahasan ini dan komentar yg ada koq jadi g ilmiah yaa?? sumbernya mana?? sy yg ngebaca jadi g yakin ini bantahan ilmiah atau hanya sekedar pembelaan dari muridnya sang syeikh?? yg dibilang kitabnya dipuji oleh syeikh inilah syeikh itulah, tp g ada kutipannya?? apa bisa disebut ilmiah?? apa mmg benar syeikh2 yg disebutkan itu memuji?? atau klw mmg benar apa msh ttp pujiannya stelah keluarnya fatwa?? dikomentar Abu Al Jauzaa' mengedepankn untuk ilmiah, tdk taqlid, ghuluw, memberikan proses menuntut ilmu dan cara berpendapat, salah 1 nya dgn menilik masalah dari sumbernya meneliti dari kitab2nya agar tidak tergelincir, tpi dilain hal anda menggelari Muhammad 'Ashim al maqdisy dgn At takfiry?? padahal anda sendiri belum membaca kitab2nya dan tidak tahu kitab2nya?? wahai yg mengaku berilmu bersikap adillah dlm segala hal...

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Definisi adil menurut Anda apa ?. mengatakan Al-Maqdisiy bukan takfiriy ?.

Perkataan Al-Maqdisiy sudah bertebaran di internet. Banyak di antaranya yang sudah diterjemahkan Aman 'Abdurrahmaan. Saya pun punya beberapa bantahan kitab Al-Maqdisiy. Hanya saja di atas ada yang nanya tentang kitab Talbisatul-'Uqalaa'-nya Al-Maqdisiy, dan kemudian saya jawab : Saya belum baca. Apa salah saya jawab bahwa saya belum baca. Apakah untuk menyimpulkan pemikiran Al-Maqdisiy itu hanya melewati satu buku saja ?.

Kalau Anda menanyakan sumber 'pujian', saya sarankan agar Anda membaca pelan-pelan artikel di atas dan jangan tergesa-gesa.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Makanya itu sesuaikan cara pandang Anda dengan konteks tulisannya. Ketika saya menyinggung tentang Syaikh 'Aliy, saya menyengaja membuat artikel khusus. Silakan lihat. Nah, di bawahnya adalah kolom komentar Pembaca. Dalam dunia blogging, komentar Pembaca itu biasanya merupakan reaksi/komentar singkat dari Pembaca dan admin berkaitan dengan artikel dalam Main Page-nya. Jadi, kolom komentar bukan diperuntukkkan untuk membuat artikel. Karena sifatnya adalah reaksi atau respon, maka sudah sangat dimaklumi isinya bukan merupakan uraian panjang atau detail sebagaimana tertulis di artikel. Inilah yang biasa berlaku dalam dunia komunkasi blogging.

Kalau saya mengatakan secara singkat bahwa Abu Muhammad Al-Maqdisiy itu adalah takfiriy di kolom komentar, apakah itu keliru secara kebiasaan dalam dunia blogging ?. Atau Anda memang tidak biasa beraktifitas blog walking ?.

Kalau misal Anda membuat perbandingan antara yang tertulis di kolom komentar dengan yang ada di artikel, ya itu kan aneh.

Adapun perkara Anda bertanya darimana saya menyimpulkan bahwa Al-Maqdisiy adalah takfiriy, itu adalah hak Anda. Dan menjadi hak saya untuk memilih opsi menjawab atau tidak menjawab pertanyaan Anda, menjawab dengan singkat atau menjawab dengan panjang. Memberikan bukti dan penjelasan akan takfiriynya Al-Maqdisiy tidak bisa hanya sekalimat dan dua kalimat saja, karena saya yakin, jika saya hanya mengatakan Syaikh Fulan atau Doktor Fulan yang mengatakan (meskipun orang-orang ini telah melakukan penelaahan terhadap kutub dan maqaalaat Al-Maqdisiy), Anda akan mengatakan : "Itu kan menurut Syaikh Anda".

Buku dan perkataan Al-Maqdisiy (nama aslinya 'Ishaam Al-Barqaawiy) itu banyak, baik yang berbahasa Arab (terutama yang termuat di Mimbar Tauhid wa Jihaad) atau yang berbahasa Indonesia (banyak yang diterjemahkan oleh Aman Abdurrahmaan dkk.). Silakan Anda cari sendiri, karena saya lagi enggan promosi kitabnya Al-Maqdisiy. Adapun bantahan kepada Al-Maqdisiy pun dah banyak, misalnya buku Tabdiid Kawaasyif Al-'Aniid karya Dr. Ar-Rays (taqdim : Syaikh Shaalih Al-Fauzaan, Syaikh Al-'Ubailaan, dan Syaikh Al-'Ubaikaan), Ar-Radd 'alaa Kutub Masybuuhah karya Dr. Muhammad Bazmuul, dan yang lainnya.

Saya tidak mau ambil pusing dengan pengakuan Anda :

"alhamdulillah sy berusaha sebisa mungkin membuang hal itu, dan mengambil sesuatu bukan krn personnya tp apa yg disampaikannya"

Banyak orang yang mengatakan yang semisal. Saya pun termasuk di antara yang pernah mengatakannya. Kata budayawan Sujiwo Tejo, orang yang berkomentar terhadap dirinya sendiri (seperti yang Anda katakan pada diri Anda), tidak ada value-nya.

Dan,.... jika Anda merasa awam, anehnya Anda pun ikut latah mengatakan :

sy memang melihat dakwah 'salafi' seolah meng-antikan segala sesuatu yg sudah di-antikan oleh syeikh nya. diforum, di blog, dll setiap hal yg sudah di black list oleh masyayikh nya maka jgn didekati tnpa ada penjelasan ilmiah.

Ilmiahkah perkataan Anda ?. Silakan jawab sendiri. Mungkin keawaman Anda itu Anda berlakukan pada diri Anda jika ada yang mengkritik Al-Maqdisiy dan yang semisalnya, dan tiba-tiba bermetamorfosa menjadi 'tidak awam' ketika berbicara tentang 'Salafi'.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Anti terhadap sesuatu ? Anti terhadap Al-Maqdisiy maksud Anda ?. Ya benar, karena sudah saya katakan sebelumnya bahwa orang ini memang berpemikiran takfiriy. Saya bersikap karena saya tahu. Justru menjadi rada-rada aneh kalau kemudian saya mempromosikan kitabnya Al-Maqdisiy. Kecuali kalau misal saya menyebutkannya dalam rangka menjelaskan atau membantahnya, maka ini lain soal. Kalau cuma 'iseng' menyebutkannya, ya gak ada guna.

Dan..... tidak ada yang terlalu istimewa dalam kontent perkataan Anda sehingga saya mesti bersikap 'tidak kalem'. Justru respon balik Anda di atas menunjukkan bahwa Anda merasa dihakimi dan merasa mesti menghakimi balik dengan curhat pengalaman Anda. Padahal, sama sekali curhat Anda itu tidak ada hubungannya dengan inti pertanyaan Anda sebelumnya dan juga respon saya.

Sekali lagi, saya tidak akan ambil pusing dengan segala curhat pengalaman Anda. Sudah banyak yang mengatakan semisal, baik yang perkataannya valid atau tidak valid. Saya pun tidak bisa mengcross check-nya. Tapi bagaimanapun saya ucapkan terima kasih atas informasi pengalamannya.


NB : Saya sengaja memotong (tidak menampilkan) alamat Youtube yang berisi bedah buku Al-Maqdisiy yang diterjemahkan Aman 'Abdurrahmaan, karena isinya syubhat yang tidak benar.

Abu Yahyaa mengatakan...

Anonim 10 September 2012 00:34 mengatakan:

"salah seorang ada yg bertanya di suatu forum yg mayoritas nya mengaku 'salafi', beliau bertanya, saya sering mendengarkan ceramahnya ustadz fulan, ustadz fulan, dan ustadz fulan, bagaimana mnurut anda ttg mereka. lantas segerombolan komentar berdatangan menanggapi, yg sebagian besar melarang, menyarankan menjauhi, sampai merendahkan, ustadz2 yg disebutkan. larangan langsung muncul bertubi-tubi. inilah fakta ilmiahnya dilapangan. sang awam pun bertanya2 ada apa gerangan tentang larangan menuntut ilmu bagi saya yg awam ini?? dan saya bagian dri yg bertanya2 ttg hal tersebut, seolah2 seperti yg paling benar dalam urusan Dien ini..."


Justru karena antum awam, menuntut ilmu jangan sembarangan. Bukan berarti antum dilarang menuntut ilmu, tapi kata kuncinya adalah selektif.

Antum 'kan ngaku sendiri kalau antum itu awam. Ibarat kertas kosong, diisi tulisan apa aja juga masuk. Siapa yang filter? Antum sendirikah?

Saran ana, cobalah antum buka-buka biografi para `ulama salaf. Enggak usah jauh-jauh deh, 4 imam mahdzab saja. Mereka bila mengambil ilmu sangat selektif sekali. Logikanya, bagaimana dengan kita yang masih awam?

Memang ada perkataan, "Ambillah kebenaran itu tanpa memandang siapa yang mengatakannya." Akan tetapi perkataan ini hanya berlaku bagi orang yang mengetahui "kebenaran" yang disampaikan. Lah, kalah masih awam darimana kita tahu itu benar itu salah?

Coba direnungkan kembali...

Anonim mengatakan...

ustadz, ada launching buku baru :

http://www.voa-islam.com/news/resensi/2012/12/09/22265/mendeteksi-pemikiran-anda-salafi-ataukah-sekte-neo-murjiah/

... Dalam perkembangannya, muncul Neo Murji’ah, yakni sekte kontemporer berjubah Ahlussunnah tapi ajaran aqidahnya terkontaminasi kesesatan Murji’ah. Kelompok ini kerap dijuluki “Salafi Maz’um.”

Persoalan tentang sekte Neo Murji’ah dikemukakan secara detil oleh penulis pada bab III. Salah satu tokohnya adalah Khalid Al-Anbari, seorang penulis kontemporer asal Mesir yang menetap di Saudi. Komisi Fatwa Saudi (Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta’) telah memvonis Khalid Ambari sebagai salah satu tokoh Neo Murji’ah yang sering berdusta atas nama ulama, tidak amanah dalam mengutip dalil, sering mendistorsi dalil-dalil syar’i, dan berpendapat bahwa tidak berhukum dengan hukum Allah itu tidak kafir. Terhadap bahaya pemikiran Neo Murji’ah tersebut, Komisi Fatwa Saudi melarang keras peredaran salah satu bukunya “Al-Hukmu Bighairi Ma Anzalallah Wa Ushulut Takfir” karena mengajarkan faham Murji’ah.

Anehnya, tokoh Neo Murji’ah ini masih menjadi rujukan kalangan Salafi Maz’un dalam berbahai kajian, tulisan artikel maupun daurah di Indonesia.

Tokoh Neo Murji’ah lainnya adalah Syaikh Ali Hasan yang juga telah divonis menyimpang oleh Komisi Fatwa Saudi karena mazhabnya dalam masalah iman adalah mazhab Murji’ah yang menyimpang dan batil. Kebatilan lainnya adalah mendistorsi dan berdusta atas nama ulama dan meremehkan masalah meninggalkan hukum Allah. Karenanya, salah satu bukunya “Fitnah at-Takfir” diharamkan, dan ia diminta bertaubat, kembali kepada kebenaran dan belajar lagi kepada ulama yang ilmu dan aqidahnya benar.

Untuk menangkis fatwa tersebut, para pembela Syaikh Ali Hasan, termasuk para ustadz Salafi di Indonesia menyebarkan artikel bahwa ulama senior Syaikh Utsaimin menyayangkan sikap Komisi Fatwa. Di antaranya artikel Yazid bin Abdul Qadir Jawaz berjudul “Hakikat Murji’ah Menurut Ahlussunnah, Hizbiyyun dan Harakiyyun” dalam Majalah As-Sunnah (edisi 05/tahun XI/1428H/2007M, hlm 36-44)

Setelah diinvestigasi oleh para masyayikh, di antaranya Syaikh Ihsan Al-Utaibi, terbukti bahwa Syaikh Utsaimin tidak pernah mengeluarkan pernyataan itu. Dengan bijak Syaikh Utsaimin membantah, “Jika anda tidak melihat tanda tangan dan tulisan tanganku dalam permasalahan ini janganlah anda percaya.”

Dengan temuan ini, Syaikh Ihsan Al-Utaibi menyimpulkan bahwa Syaikh Ali Hasan terbiasa melakukan plagiat dan berbohong atas nama ulama besar: Syaikh Bin Baz, Syaikh Shalih Fauzan, Syaikh Muhammad bin Hasan Alu Syaikh, Syaikh Albani.....

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Tentang tuduhan dusta terhadap Dr. Khaalid Al-'Anbariy, maka itu hanyalah omong kosong. Omong kosong pula tuduhan tidak amanh dalam mengutip dalil. Buku Dr. Khaalid Al-'Anbariy hafidhahullah itu telah dipuji oleh beberapa ulama besar. Silakan baca :

Pujian Ulama terhadap Kitab Al-Hukmu bi-Ghairi Maa Anzalallaah karya Dr. Khaalid Al-‘Anbariy.

Sama halnya dengan tuduhan terhadap Syaikh 'Aliy Hasan hafidhahullah. Ihsan Al-'Utaibiy adalah sosok pendusta berpemikiran takfiriy. Bagi yang biasa membaca tulisannya, sudah mengerti tentang hal ini. Tuduhan hanyalah tuduhan yang tidak akan memudlaratkan orang yang dituduhkan.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Tentang Ihsan Al-'Utaibiy, silakan baca :

http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=32001.

Anonim mengatakan...

afwn ust, kesimpulan ttg ihsan al 'utaiby apa ust?maklum g bs bhs arab.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Kesimpulannya, orangnya tidak bisa dipercaya.

Anonim mengatakan...

Ustadz,
bagaimana dengan penulisnya, Anung Al-hamad? dan bagaimana dengan link2 keterangan ulama yg membantah syaikh Ali, yang ada dikomen web ustadz salafi berikut ini? http://ustadzrofii.wordpress.com/2012/12/02/mewaspadai-neo-murjiah/#more-4567

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Saya kira sama saja, yang ada hanyalah taqlid karena tidak memahmi permasalahan yang ada. Tentang permasalahan fatwa Lajnah Daaimah, saya telah menuliskannya secara singkat di sini (lihat bagian komentar) :

Pokok Iman (Ashlul-Iimaan) Menurut Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.

Adapun klaim bahwa telah banyak kitab yang membantah kitab Al-Ajwibatul-Mutalaaimah, maka ini omong kosong saja. Hanya satu saja yang terkenal yang katanya membantah, yaitu kitab Raf'ul-Laaimah karangan Ad-Dausariy. Dan itupun telah dibantah dalam kitab At-Tanbihaat Al-Mutawaaimah, dan sampai sekarang gak buku/kitab - setahu saya - yang membantah detail apa yang dibantah dalam kitab At-Tanbiihaat.

abd mengatakan...

apa yg dituliskan di artikel ini benar. Diperkuat dengan Jarh nya seorang syaikh kibar kepada syaikh rabi', bahwa syaikh' rabi' beraqidah murjiah seperti syaikh Ali Hasan


namun kenapa yg dijadikan bulan2an hanya Syaikh Ali Hasan ?




Anonim mengatakan...

apapun...intinya,sebagian ulama melihat ada indikasi pemikiran irja' dalam kitab tersebut..

ketika ada bantahanya,klarifikasi nya..ya seperti itulah seharusnya yang terjadi di kalangan umat islam secara keseluruhan,sikap hati2,sikap husnudzon,sikap adil,dsb..jangan hanya di kalangan salafi saja

indikasi pemikiran irja' belum tentu murjiah,begitu juga dengan indikasi pemikiran khowarij,tentu saja belum tentu khowarij

Anonim mengatakan...

Khowarij itu muslim atau kafir?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Silakan baca : Apakah Khawaarij itu Kafir.

Ubaidillah mengatakan...

Assalamu'alaikum

Ustadz, afwan, ana mohon penjelasan mengenai apakah itu Risalah Amman, dan Apakah benar Risalah Aman itu menyerukan persatuan antara ahlussunnah dan ahlul bid'ah? Jazakallahu khoiron

Wassalamu'alaikum

mindofarlogic mengatakan...

Mohon di jelaskan scr ilmiah seperti di situs abul harits (yg kontra syakh al-halabi)

Spy kami yg awam punya pembanding untuk melihat
syukron ustadz