Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا يَزِيدُ أَخْبَرَنَا يَحْيَى يَعْنِي ابْنَ سَعِيدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ أَنَّ ابْنَ مُحَيْرِيزٍ الْقُرَشِيَّ ثُمَّ الْجُمَحِيَّ أَخْبَرَهُ وَكَانَ بِالشَّامِ وَكَانَ قَدْ أَدْرَكَ مُعَاوِيَةَ فَأَخْبَرَهُ أَنَّ الْمُخْدَجِيَّ رَجُلًا مِنْ بَنِي كِنَانَةَ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ كَانَ بِالشَّامِ يُكْنَى أَبَا مُحَمَّدٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ الْوَتْرَ وَاجِبٌ فَذَكَرَ الْمُخْدَجِيُّ أَنَّهُ رَاحَ إِلَى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ فَذَكَرَ لَهُ أَنَّ أَبَا مُحَمَّدٍ يَقُولُ الْوَتْرُ وَاجِبٌ فَقَالَ عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ كَذَبَ أَبُو مُحَمَّدٍ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَلَى الْعِبَادِ مَنْ أَتَى بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ
Telah menceritakan kepada kami Yaziid[1] : Telah mengkhabarkan kepada kami Yahyaa – yaitu Ibnu Sa’iid[2] - , dari Muhamad bin Yahyaa bin Habbaan[3] : Bahwasannya Ibnu Muhairiiz Al-Qurasyiy Al-Jumahiy[4] telah mengkhabarkannya saat berada di Syam – dan ia telah bertemu dengan Mu’aawiyyah - , lalu ia (Ibnu Muhairiiz) mengkhabarkannya bahwa Al-Mukhdajiy[5] – seorang laki-laki dari Bani Kinaanah – telah mengkhabarkannya : Ada seorang laki-laki dari kalangan Anshaar di Syaam yang ber-kun-yah – Abu Muhammad[6] telah mengkhabarkannya bahwa shalat witir hukumnya wajib. Al-Mukhdajiy menyebutkan dirinya pergi menemui ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit, lalu ia menyebutkan kepadanya bahwa Abu Muhammad telah berkata shalat witir itu hukumnya wajib. ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit berkata : “Abu Muhammad telah berdusta. Aku telah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Ada lima waktu shalat yang diwajibkan Allah tabaraka wa ta’ala atas hamba-hamba-Nya. Barangsiapa yang mengerjakannya tanpa menyia-nyiakannya sedikitpun dan tanpa meremehkan hak-haknya, maka ia telah terikat janji dengan Allah tabaraka wa ta’ala yang akan memasukkannya ke dalam surga. Dan barangsiapa yang tidak mengerjakannya, maka dia tidak memiliki janji dengan Allah. Apabila berkehendak, Allah akan mengadzabnya. Dan apabila berkehendak, Allah akan mengampuninya” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad, 5/315-316].
Takhrij :
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah (2/296 & 14/235-236) dan dalam Al-Musnad (2/96), Ad-Daarimiy (no. 1618), Ibnu Nashr dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah (no. 1029), dan Asy-Syaasyiy dalam Al-Musnad (no. 1281); dari jalan Yaziid bin Haaruun, dan selanjutnya seperti hadits di atas.
Diriwayatkan juga oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’ (no. 290), ‘Abdurrazzaaq (3/5-6 no. 4575), Al-Humaidiy (no. 392), Abu Daawud (no. 1420), Ibnu Nashr dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah (no. 1030), An-Nasaa’iy (1/230), Ath-Thahaawiy dalam Syarh Musykilil-Aatsaar (8/193-195 no. 3167-3168), Asy-Syaasyiy (no. 1284 & 1286), Ath-Thabaraaniy dalam Musnad Asy-Syaamiyyiin (no. 2181-2183), Ibnu Hibbaan (no. 1732), Al-Baihaqiy (1/361 & 2/8, 467 & 10/217), Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah (4/103-104 no. 977), Ibnu ‘Asaakir dalam At-Taariikh (7/65 & 71/132), dan Adl-Dliyaa’ Al-Maqdisiy dalam Al-Mukhtarah (8/364-365 no. 447-449); semuanya dari jalan Yahyaa bin Sa’iid Al-Anshaariy, selanjutnya seperti hadits di atas.
Diriwayatkan juga oleh Al-Humaidiy (no. 392), Ath-Thabaraaniy dalam Musnad Asy-Syaamiyyiin (3/246-249 no. 2182-2187), Ibnu Maajah (no. 1401), Ibnu Hibbaan (no. 1731 & 2417), Ath-Thahaawiy dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar (no. 3169 & 3171), Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah (1/468 no. 967), Asy-Syaasyiy (no. 1282-1283 & 1287); dari beberapa jalan (Muhammad bin ‘Ajlaan, ‘Abdur-Rabbihi bin Sa’iid, Muhammad bin ‘Amru bin ‘Alqamah, Naafi’ bin Abi Nu’aim, ‘Amru bin Yahyaa Al-Maaziniy, Sa’d bin Sa’iid, Muhammad bin Ibraahiim, dan ‘Uqail bin Khaalid), semuanya dari Muhammad bin Yahyaa bin Habbaan, selanjutnya seperti hadits di atas.
Sanad hadits ini dla’iif karena Al-Mukhdajiy seorang yang majhuul.
Akan tetapi Al-Mukhdajiy mempunyai mutaba’ah dari :
1. Abu Idriis Al-Khaulaaniy.
Abu Daawud Ath-Thayaalisiy rahimahullah berkata :
حدثنا زمعة عن الزهري عن أبي إدريس الخولاني قال كنت في مجلس من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم فيهم عبادة بن الصامت فذكروا الوتر فقال بعضهم واجب وقال بعضهم سنة فقال عبادة بن الصامت أما أنا فأشهد أني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول أتاني جبرائيل صلى الله عليه وسلم من عند الله تبارك وتعالى فقال يا محمد إن الله عز وجل قال لك إني قد فرضت على أمتك خمس صلوات من وافى على وضوئهن ومواقيتهن وركوعهن وسجودهن فإن له عندي بهن عهدا أن أدخله بهن الجنة ومن لقيني قد انتقص من ذلك شيئا أو كلمة شبهها فليس له عندي عهدا إن شئت عذبته وإن شئت رحمته
Telah menceritakan kepada kami Za’mah[7], dari Az-Zuhriy[8], dari Abu Idriis Al-Khaulaaniy[9], ia berkata : Aku pernah berada di majelis para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dimana ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit ada di antara mereka. Mereka memperbincangkan tentang shalat witir. Sebagian di antara mereka mengatakan hukumnya wajib, dan sebagian yang lain sunnah. ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit berkata : Adapun aku, maka aku bersaksi bahwa aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jibriil shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendatangiku dari sisi Allah tabaaraka wa ta’aalaa, lalu ia berkata : ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya Allh ‘azza wa jalla telah berfirman kepadamu : ‘Sesungguhnya Aku telah mewajibkan bagi umatmu lima waktu shalat. Barangsiapa memenuhi wudlunya, waktunya, rukuknya, dan sujudnya, maka ada perjanjian baginya di sisi-Ku dengan hal tersebut untuk dimasukkan ke dalam surga. Dan barangsiapa yang menemui-Ku dengan mengurangi sesuatu dari hal itu – atau kalimat yang semisalnya - , maka ia tidak mempunyai perjanjian di sisi-Ku. Apabila mau, Aku akan mengadzabnya; dan bila mau, Aku akan merahmatinya” [Al-Musnad no. 374 – tahqiq : At-Turkiy].
Diriwayatkan juga oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (5/12-127) dari jalan Ath-Thayaalisiy.
Sanad hadits ini lemah, karena kelemahan Zam’ah.
2. ‘Abdullah Ash-Shunaabihiy
Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُطَرِّفٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ الصُّنَابِحِيِّ قَالَ زَعَمَ أَبُو مُحَمَّدٍ أَنَّ الْوَتْرَ وَاجِبٌ فَقَالَ عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ كَذَبَ أَبُو مُحَمَّدٍ أَشْهَدُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ خَمْسُ صَلَوَاتٍ افْتَرَضَهُنَّ اللَّهُ عَلَى عِبَادِهِ مَنْ أَحْسَنَ وُضُوءَهُنَّ وَصَلَّاهُنَّ لِوَقْتِهِنَّ فَأَتَمَّ رُكُوعَهُنَّ وَسُجُودَهُنَّ وَخُشُوعَهُنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يَغْفِرَ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ إِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ
Telah menceritakan kepada kami Husain bin Muhammad[10] : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mutharrif[11], dari Zaid bin Aslam[12], dari ‘Athaa’ bin Yasaar[13], dari ‘Abdullah Ash-Shunaabihiy[14], ia berkata : Abu Muhammad mengatakan bahwa shalat witir hukumnya wajib. Lalu 'Ubaadah bin Ash-Shaamit berkata : “Abu Muhammad telah berdusta. Aku besaksi bahwasannya aku telah mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : ‘Ada lima waktu shalat yang telah Allah wajibkan atas para hamba-Nya. Barangsiapa yang memperbagus wudlunya dan shalat pada waktunya, lalu menyempurnakan rukuknya, sujudnya, dan kekhusyu’annya, maka ia memiliki perjanjian dengan Allah agar Dia mengampuninya. Dan barangsiapa yang tidak melakukannya, maka ia tidak memiliki perjanjian di sisi Allah. Jika berkehendak, Allah akan mengampuninya; dan jika berkehendak, Allah akan mengadzabnya” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 5/317].
Diriwayatkan juga oleh Abu Daawud (no. 425) Al-Baihaqiy (2/215 & 3/367), Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah (no. 978), Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath (5/56 no. 4658 & 9/12 no. 9315), Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (5/130-131), Ibnu Nashr dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah (2/955-956 no. 1034), Abu Bakr Asy-Syaafi’iy dalam Al-Ghailaaniyyaat (hal. 284-285 no. 820), dan Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid (23/291); dari jalan Zaid bin Aslam, selanjutnya sama seperti hadits di atas.
Sanad hadits ini shahih, para perawinya tsiqaat.
3. Al-Waliid bin ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit.
Asy-Syaasyiy rahimahullah berkata :
حدثنا عباس الدوري نا أبو نعيم نا النعمان عن عبادة بن الوليد عن أبيه الوليد بن عبادة بن الصامت عن عبادة قال : أشهد لسمعت رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم يقول : افترض الله خمس صلوات على خلقه من أداهن كما افترض عليه لم ينتقص من حقهن شيئا استخفافا به لقي الله وله عنده عهد، ومن انتقص من حقهن شيئا استخفافا لقي الله ولا عهد له. إن شاء عذبه وإن شاء غفر له.
Telah menceritakan kepada kami ‘Abbaas Ad-Duuriy[15] : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Nu’aim[16] : Telah mengkhabarkan kepada kami An-Nu’maan[17], dari ‘Ubaadah bin Al-Waliid[18], dari ayahnya Al-Waliid bin ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit[19], dari ‘Ubaadah, ia berkata : Aku bersaksi bahwa sungguh aku telah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam bersabda : ‘Allah telah mewajibkan shalat lima waktu atas makhluk-Nya. Barangsiapa yang menunaikannya sebagaimana yang telah diwajibkan kepadanya tanpa mengurangi sedikitpun hak-haknya dengan meremehkannya, ia akan bertemu Allah dengan mempunyai perjanjian di sisi-Nya (untuk dimasukkan ke dalam surga). Dan barangsiapa yang mengurangi hak-haknya dengan meremehkannya, ia akan bertemu Allah tanpa mempunyai perjanjian di sisi-Nya. Apabila berkehendak, Allah akan mengadzabnya; dan jika berkehendak, akan mengampuninya” [Musnad Asy-Syaasyiy, 3/117 no. 1177].
Diriwayatkan juga olehnya 3/199 no. 1285 dan Ibnu Nashr dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah (hal. 969-970 no. 1053) dari jalan Abu Nu’aim, selanjutnya seperti hadits di atas.
Sanad hadits ini lemah, karena An-Nu’maan majhuul.
4. Al-Muthallib bin ‘Abdillah bin Al-Muthallib.
Asy-Syaasyiy rahimahullah berkata :
حدثنا أبو بكر الصغاني نا يحيى بن أبي بكير حدثني يعقوب القاري عن عمرو عن المطلب عن عبادة بن الصامت أن رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم قال : خمس صلوات كتبهن الله عز وجل على العباد، فمن أتى بهن قد حفظ حقهن فأن له عند الله عهدا أن يدخله الجنة ومن أتى بهن قد أضاع شيئا من حقهن استخفافا فإنه لم يكن له عند الله تعالى عهد إن شاء عذبه وإن شاء رحمه.
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Ash-Shaghaaniy[20] : Telah mengkhabarkan kepada kami Yahya bin Abi Bukair[21] : Telah menceritakan kepadaku Ya’quub Al-Qaariy[22], dari ‘Amru[23], dari Al-Muthallib[24], dari ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam bersabda : “Lima waktu shalat telah Allah ‘azza wa jalla wajibkan atas para hamba. Barangsiapa yang melaksanakannya dimana ia menjaga hak-haknya, maka ia mempunyai perjanjian di sisi Allah untuk dimasukkan ke dalam surga. Dan barangsiapa melaksanakannya dengan mengabaikan hak-haknya serta meremehkannya, maka ia tidak mempunyai perjanjian disisi Allah ta’ala. Apabila berkehendak, Allah akan mengadzabnya, dan apabila berkehendak, Allah akan merahmatinya” [Musnad Asy-Syaasyiy, 3/179-180 no. 1265].
Sanad hadits ini lemah, karena keterputusan antara Al-Muthallib dengan ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit, sebagaimana dikatakan Abu Haatim dalam Al-Maraasiil (hal. 209).
‘Ubaadah bin Ash-Shaamit mempunyai syawaahid, antara lain :
1. Abu Qataadah.
Ibnu Maajah rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ عُثْمَانَ بْنِ سَعِيدِ بْنِ كَثِيرِ بْنِ دِينَارٍ الْحِمْصِيُّ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ بْنُ الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا ضُبَارَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي السُّلَيْكِ أَخْبَرَنِي دُوَيْدُ بْنُ نَافِعٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ قَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ إِنَّ أَبَا قَتَادَةَ بْنَ رِبْعِيٍّ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ افْتَرَضْتُ عَلَى أُمَّتِكَ خَمْسَ صَلَوَاتٍ وَعَهِدْتُ عِنْدِي عَهْدًا أَنَّهُ مَنْ حَافَظَ عَلَيْهِنَّ لِوَقْتِهِنَّ أَدْخَلْتُهُ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهِنَّ فَلَا عَهْدَ لَهُ عِنْدِي
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin ‘Utsmaan bin Sa’iid bin Katsiir bin Diinaar Al-Himshiy[25] : Telah menceritakan kepada kami Baqiyyah bin Al-Waliid[26] : Telah menceritakan kepada kami Dlubaarah bin ‘Abdillah bin Abis-Sulaik[27] : Telah mengkhabarkan kepadaku Duwaid bin Naafi’[28], dari Az-Zuhriy, ia berkata : Telah berkata Sa’iid bin Al-Musayyib[29] : Bahwasannya Abu Qataadah bin Rib'iy telah mengabarkan kepadanya : Bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Allah azza wa jalla berfirman : ‘Aku telah mewajibkan atas umatmu shalat lima waktu. Dan Aku telah menetapkan sebuah perjanjian di sisi-Ku : Barangsiapa yang menjaganya sesuai waktunya, akan Aku masukkan ia ke dalam surga. Dan barangsiapa yang tidak menjaganya, maka tidak ada perjanjian baginya di sisi-Ku" [As-Sunan, no. 1403].
Diriwayatkan juga oleh Abu Daawud (no. 429) dari Abu Sa’iid Al-A’rabiy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdil-Malik bin Yaziid Ar-Rawwaas – yang ber-kun-yah Abu Usaamah - , ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Daawud : Telah mengkhabarkan kepada kami Haiwah bin Syuraih Al-Mishriy : Telah mengkhabarkan kepada kami Baqiyyah, selanjutnya seperti hadits di atas.
Sanad hadits ini lemah, karena Baqiyyah bin Al-Waliid dan Dlubaarah. Riwayat Baqiyyah dari perawi dla’iif adalah dla’iif, sedangkan Dlubaarah majhuul.
2. Ka’b bin ‘Ujrah
Ahmad bin Hanbal rahimahulah berkata :
حَدَّثَنَا هَاشِمٌ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ الْمُسَيَّبِ الْبَجَلِيُّ عَنِ الشَّعْبِيِّ عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ قَالَ بَيْنَمَا أَنَا جَالِسٌ فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسْنِدِي ظُهُورِنَا إِلَى قِبْلَةِ مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْعَةُ رَهْطٍ أَرْبَعَةٌ مَوَالِينَا وَثَلَاثَةٌ مِنْ عَرَبِنَا إِذْ خَرَجَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الظُّهْرِ حَتَّى انْتَهَى إِلَيْنَا فَقَالَ مَا يُجْلِسُكُمْ هَاهُنَا قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ نَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ قَالَ فَأَرَمَّ قَلِيلًا ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ أَتَدْرُونَ مَا يَقُولُ رَبُّكُمْ عَزَّ وَجَلَّ قُلْنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّ رَبَّكُمْ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ مَنْ صَلَّى الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا وَحَافَظَ عَلَيْهَا وَلَمْ يُضَيِّعْهَا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهَا فَلَهُ عَلَيَّ عَهْدٌ أَنْ أُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَمْ يُصَلِّ لِوَقْتِهَا وَلَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا وَضَيَّعَهَا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهَا فَلَا عَهْدَ لَهُ إِنْ شِئْتُ عَذَّبْتُهُ وَإِنْ شِئْتُ غَفَرْتُ لَهُ
Telah menceritakan kepada kami Haasyim[30] : Telah menceritakan kepada kami ‘Iisaa bin Al-Musayyib Al-Bajaliy[31], dari Asy-Sya’biy[32], dari Ka’b bin ‘Ujrah, ia berkata : Saat aku duduk di dalam masjid Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dengan menyandarkan punggung ke kiblat masjid, dan jumlah kami waktu itu tujuh orang dengan empat orang pembantu dan tiga orang Arab dusun. Tiba-tiba Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam keluar ke tempat kami untuk menunaikan shalat dhuhur hingga selesai. Lalu beliau bertanya : "Apa tujuan kalian duduk-duduk di sini ?". Kami menjawab : "Wahai Rasulullah, kami sedang menunggu shalat". Kemudian beliau diam sejenak, lalu mengangkat kepalanya seraya bersabda : "Apakah kalian tahu apa yang difirmankan oleh Rabb kalian 'azza wa jalla ?". Kami menjawab : "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui". Beliau bersabda : "Sesungguhnya Rabb kalian 'azza wa jalla berfirman : 'Barangsiapa menunaikan shalat pada waktunya, kemudian ia menjaganya, tidak melalaikannya karena meremehkan haknya, maka ia mempunyai janji atas-Ku agar Aku memasukkannya ke dalam surga. Dan barangsiapa shalat tidak pada waktunya, dan tidak pula menjaganya serta melalaikannya karena meremehkan haknya, maka ia tidak memiliki perjanjian. Apabila mau, Aku akan mengadzabnya; dan apabila mau, Aku akan mengampuninya" [Al-Musnad, 4/244].
Diriwayatkan juga oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath (no. 4764), dalam Al-Kabiir (19/142 no. 311), dan dalam Majma’ul-Bahrain (no. 556) : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Al-Husain Ash-Shaabuuniy[33], ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Zuraiq bin As-Sukht[34], ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Haasyim bin Al-Qaasim, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Iisaa bin Al-Musayyib Al-Bajaliy, dari Asy-Sya’biy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku[35] Ka’b bin ‘Ujrah, ia berkata : “……(al-hadits)….”.
Sanad hadits ini lemah karena kelemahan ‘Iisaa bin Al-Musayyib Al-Bajaliy.
‘Iisaa mempunyai mutaba’ah dari Abu Hushain sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thahaawiy dalam Syarh Musykilil-Aatsaar (no. 3174) dari jalan Abu Umayyah[36], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Saabiq[37], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Maalik – yaitu Ibnu Mighwal[38] - , dari Abu Hushain[39], dari Asy-Sya’biy, dari Ka’b, ia berkata : “……(al-hadits)….”.
Sanad hadits ini hasan.
Ada mutaba’ah lain sebagaimana diriwayatkan juga oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir (19/142-143 no. 312-313); dari As-Sirriy bin Isma’iil dan Miskiin bin Shaalih, keduanya dari Asy-Sya’biy, dari Ka’b bin ‘Ujrah. Namun sanad hadits ini sangat lemah.
Asy-Sya’biy mempunyai mutaba’ah dari Ishaaq bin Ka’b bin ‘Ujrah sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Kabiir (1/387), ‘Abd bin Humaid dalam Al-Muntakhab (no. 371), Ad-Daarimiy (no. 1262), dan Ath-Thahaawiy dalam Syarh Musykilil-Aatsaar (8/199-200 no. 3173); dari jalan Abu Nu’aim Al-Fadhl bin Dukain : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin An-Nu’maan[40] : Telah menceritakan kepadaku Ishaaq bin Sa’d bin Ka’b bin ‘Ujrah[41], dari ayahnya[42], dari Ka’b bin ‘Ujrah.
Sanad hadits ini lemah karena kelemahan ‘Abdurrahmaan bin An-Nu’maan dan jahalah dari Ishaaq bin Ka’b bin ‘Ujrah (lihat catatan kaki no. 42).
Walhasil, hadits ini secara keseluruhan adalah shahih. Dishahihkan oleh Al-Albaaniy, Al-Arna’uth, dan Basyar ‘Awwad. Dihasankan juga oleh Mushthafa bin Al-‘Adawiy.
Sebagian Fiqh Hadits
Hadits ini dijadikan dalil bagi jumhur ulama tentang tidak kafirnya orang yang meninggalkan shalat karena malas (dengan tetap mengakui kewajibannya tanpa mengingkarinya). Sangat sharih (jelas) penunjukkan hadits tersebut bahwa kedudukan orang yang tidak menjaga shalatnya (shalat tidak pada waktunya, tidak menjaga kekhusyukannya, atau bahkan tidak mengerjakannya) masih dalam masyi’ah (kehendak) Allah ta’ala. Jika Allah kehendaki, maka ia akan diampuni; dan jika Allah kehendaki, maka ia akan diadzab di neraka dengan adzab yang sangat pedih.
Para ulama Ahlus-Sunnah[43] berbeda pendapat mengenai hukum orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja karena malas (dengan tetap mengakui kewajibannya tanpa mengingkarinya). Jumhur ulama mengatakan tidak kafir, namun ia telah melakukan dosa yang sangat besar dan diancam dengan adzab neraka; sedangkan sebagian ulama lain mengatakan kafir.
Abu Ismaa’iil Ash-Shaabuniy rahimahullah (373-449 H) berkata :
واختلف أهل الحديث في ترك المسلم صلاة الفرض متعمداً ؛ فكفره بذلك أحمد بن حنبل ، وجماعة من علماء السلف رحمهم الله أجمعين ، وأخرجوه به من الإسلام، للخبر الصحيح المروي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : (بين العبد والشرك ترك الصلاة ، فمن ترك الصلاة فقد كفر).
وذهب الشافعي ، وأصحابه، وجماعة من علماء السلف- رحمة الله عليهم أجمعين – إلى أنه لا يكفر به – ما دام معتقداً لوجوبها – وإنما يتوجب القتل كما يستوجبه المرتد عن الإسلام . وتأولوا الخبر : من ترك الصلاة جاحداً لها ؛ كما أخبر سبحانه عن يوسف عليه السلام أنه قال: (إني تركت ملة قوم لا يؤمنون بالله وهم بالآخرة هم كافرون) ، ولم يك تلبس بكفر ففارقه ؛ ولكن تركه جاحداً له.
“Ahlul-hadiits berselisih pendapat tentang keadaan seorang muslim yang meninggalkan shalat fardlu secara sengaja. Ahmad bin Hanbal dan sekelompok ulama salaf – semoga Allah merahmati mereka semua – telah mengkafirkannya serta mengeluarkannya dari agama Islam. Hal itu berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Batas antara seorang hamba dengan kesyirikan adalah meninggalkan shalat. Barangsiapa yang meninggalkan shalat, maka ia telah kafir’.[44]
Adapun Asy-Syaafi’iy dan shahabat-shahabatnya, serta sekelompok ulama salaf – semoga Allah merahmati mereka semua – berpendapat bahwa orang tersebut tidak dikafirkan dengannya, selama ia meyakini tentang kewajibannya. Hanya saja, ia wajib dibunuh (sebagai hadd) seperti halnya wajib dibunuhnya orang yang murtad dari Islam. Mereka menakwilkan hadits di atas dengan : ‘orang yang meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya’. Hal itu sebagaimana firman Allah subhaanahu tentang Yuusuf ‘alaihis-salaam : ‘Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedang mereka ingkar kepada hari kemudian’ (QS. Yuusuf : 37). Yuusuf meninggalkan agama mereka bukan karena kekufuran yang samar, akan tetapi karena keingkaran mereka terhadap Allah dari hari kiamat” [‘Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabul-Hadiits, hal. 84, tahqiq & takhrij & ta’liq : Abul-Yamiin Al-Manshuuriy; Daarul-Minhaaj, Cet. 1/1423].
Begitu juga yang dikatakan oleh Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmuu’ Al-Fataawaa (7/609).
Kembali pada bahasan hukum meninggalkan shalat sebagaimana di singgung di awal sub bab ini. Ibnu Nashr Al-Marwadziy rahimahullah menyanggah pendalilan jumhur dengan hadits yang telah ditakhrij di atas dengan perkataannya :
فإن قوله : "لم يأت بهن" إنما يقع معناه على أنه لم يأت بهن على الكمال، إنما أتى بهن ناقصات من حقوقهن نقصانا، لا يبطلهن ولم يقل ذلك.
“Lalu sabda beliau (shalallaahu ‘alaihi wa sallam) : ‘tidak mengerjakannya (shalat lima waktu)’, maka maknanya hanyalah bahwa ia tidak mengerjakannya secara sempurna. Orang tersebut mengerjakannya secara kurang (sempurna) dalam pelaksanaan hak-haknya, tanpa menggugurkannya, dan tanpa ia mengatakannya” [Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah, hal. 968, tahqiq & takhrij : Dr. ‘Abdurrahmaan bin ‘Abdil-Jabbaar Al-Fariiwaaiy; Maktabah Ad-Daar, Cet. 1/1406].
ومن حقوق الصلاة : الطهارة من الأحداث، وطهارة الثياب التي تصلي فيها، وطهارة البقاع التي تصلي عليها، والمحافظة على مواقيتها التي كان يحافظ عليها النبي صلى الله عله وسلم وأصحابه رضي الله عنهم، والخشوع فيها من ترك الالتفات، والعبث، والحديث النفس، وترك الفكرة فيما ليس من أمر الصلاة، وإحضار القلب، واشتغاله بما يقرأ، ويقول بلسانه، وإتمام الركوع والسجود، فمن أتى بذلك كله كاملا على ما أمر به، فهو الذي له العهد عند الله تعالى بأن يدخله الجنة، ومن أتى بهن، لم يتركهن، وقد انتقص من حقوقهن شيئا، فهو الذي لا عهد له عند الله، إن شاء عذبه وإن شاء عفر له، فهذا بعيد الشبه من الذي يتكها أصلا لا يصليها.
“Dan termasuk hak-hak shalat adalah : suci dari hadats, sucinya pakaian yang akan dipakai dalam shalat, sucinya tempat yang akan dipakai shalat di atasnya, menjaga waktu-waktunya dimana Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya radliyallaahu ‘anhum menjaganya. Juga khusyu’ dengan meninggalkan iltifat (menoleh ketika shalat), sendau-gurau, dan perbincangan; serta meninggalkan pikiran yang bukan termasuk perkara shalat, menghadirkan hati, menyibukkan diri/berkonsentrasi dengan apa yang sedang dibaca, mengucapkan (bacaan shalat) dengan lisannya, menyempurnakan rukuk dan sujud. Barangsiapa yang melakukan semua itu secara sempurna sebagaimana yang diperintahkan, maka ia lah orang yang mempunyai perjanjian di sisi Allah ta’ala dimana Allah akan memasukkannya ke dalam surga. Dan barangsiapa yang mengerjakannya tanpa meninggalkannya, namun ia mengurangi sesuatu dari hak-haknya, maka ia lah orang yang tidak mempunyai perjanjian di sisi Allah. Apabila berkehendak, Allah akan mengadzabnya; dan apabila berkehendak, Allah akan mengampuninya” [idem, hal. 971].
Akan tetapi sanggahan Al-Marwadziy rahimahullah ini kurang bisa diterima. Bagaimana bisa diterima untuk dikatakan tidak kafir hukumnya bagi orang yang sengaja (dan bahkan membiasakan) mengakhirkan shalat sehingga keluar dari waktunya, namun di sisi lain mengkafirkan orang yang tidak shalat ? Makna keluar dari waktunya ini pun juga luas, tidak sekedar keluar sedikit dari waktu yang ditentukan.[45]
Selain itu, dalam sebagian lafadh telah disebutkan : ‘Dan barangsiapa shalat tidak pada waktunya, dan tidak pula menjaganya’ ; maka ini mencakup dua hal sekaligus, yaitu shalat tidak pada waktunya dan tidak menjaga aktifitas shalat itu sendiri alias ia tidak melazimkan amalan shalat.
Ath-Thahawiy rahimahullah berkata :
فكان في حديث عبادة : إن لم يأت بهن، يعني : الصلاوات الخمس.
“Dan dalam hadits ‘Ubaadah : ‘jika ia tidak mengerjakannya’, yaitu : (tidak mengerjakan) shalat lima waktu” [Syarh Musykilil-Aatsaar, 8/200, tahqiq & takhrij & ta’liq : Syu’aib Al-Arna’uth; Muasasah Ar-Risaalah, Cet. 1/1415].
Maksudnya, orang yang tidak mempunyai perjanjian di sisi Allah adalah orang yang tidak mengerjakan shalat lima waktu tersebut. Inilah makna dhahir yang terambil dari hadits – sebagaimana tersurat dalam penjelasan Ath-Thahawiy.
Pendapat jumhur ulama ini kemudian disokong juga oleh hadits berikut :
حَدَّثَنَا أَبُو كَامِلٍ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَبِي رَافِعٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرُ وَاحِدٍ عَنِ الْحَسَنِ وَابْنِ سِيرِينَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَ رَجُلٌ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ إِلَّا التَّوْحِيدَ فَلَمَّا احْتُضِرَ قَالَ لِأَهْلِهِ انْظُرُوا إِذَا أَنَا مِتُّ أَنْ يُحْرِقُوهُ حَتَّى يَدَعُوهُ حُمَمًا ثُمَّ اطْحَنُوهُ ثُمَّ اذْرُوهُ فِي يَوْمِ رِيحٍ فَلَمَّا مَاتَ فَعَلُوا ذَلِكَ بِهِ فَإِذَا هُوَ فِي قَبْضَةِ اللَّهِ فَقَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَا ابْنَ آدَمَ مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا فَعَلْتَ قَالَ أَيْ رَبِّ مِنْ مَخَافَتِكَ قَالَ فَغُفِرَ لَهُ بِهَا وَلَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ إِلَّا التَّوْحِيدَ
Telah menceritakan kepada kami Abu Kaamil[46] : Telah menceritakan kepada kami Hammaad[47], dari Tsaabit[48], dari Abu Raafi’[49], dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan dari beberapa orang, dari Al-Hasan dan Ibnu Siiriin, dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda : "Ada seorang laki-laki pada masa sebelum kalian. Dia tidak pernah beramal satu kebaikkan pun selain tauhid. Maka ketika ajal menjemputnya, dia berkata kepada keluarganya : 'Perhatikanlah, jika aku mati, hendaklah mereka membakarnya dan membiarkannya sehingga menjadi arang. Kemudian hendaklah mereka menghancurkannya (menjadi abu hitam) dan membuangnya ke udara terbuka (sehingga abu itu berterbangan karena tertiup angin)'. Maka ketika ajal benar-benar telah menjemputnya, mereka melaksanakan wasiat tersebut. Ketika Allah telah menggenggamnya, Allah ‘azza wa jalla berfirman : 'Wahai anak Adam apa yang mendorongmu untuk berbuat begitu ?’. Dia menjawab : 'Wahai Rabb, aku melakukan begitu karena rasa takutku kepada-Mu'". Nabi bersabda : "Lalu Allah mengampuninya karena rasa takut tersebut, padahal ia tidak pernah melakukan perbuatan baik kecuali tauhid" [Musnad Ahmad, 2/304; shahih].
Hadits di atas menunjukkan bahwa Allah mengampuni orang tersebut dengan rahmatnya, meskipun orang tersebut tidak pernah beramal kebaikan sedikitpun kecuali tauhid.
Jika dikatakan bahwa hadits tersebut menceritakan kaum sebelum kita yang tidak dibebani syari’at shalat sehingga tidak ada sisi pendalilan padanya (untuk mengatakan ketidakkafiran orang yang meninggalkan shalat), maka alasan ini juga tidak bisa diterima. Telah banyak tertera dalam hadits-hadits bahwa umat-umat sebelum kita juga dibebani syari’at shalat. Bahkan hal itu tergambar jelas pada hadits tentang dialog antara Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan Muusaa ‘alaihis-salaam pada peristiwa mi’raj.
Jika dikatakan bahwa hadits tersebut di-takhshish dengan hadits yang menyatakan kekafiran orang yang meninggalkan shalat, maka alasan ini juga terolak. Istitsnaa’ (pengecualian) tidak menerima keberadaan takhshish (pengkhususan). Istitsnaa’ dengan tauhid menunjukkan tidak ada sesuatu yang lain kecuali tauhid itu sendiri.
Kemudian, dikuatkan lagi oleh hadits syafa’at yang panjang :
حَدَّثَنِي سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنِي حَفْصُ بْنُ مَيْسَرَةَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ مرفوعا : حَتَّى إِذَا خَلَصَ الْمُؤْمِنُونَ مِنْ النَّارِ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ بِأَشَدَّ مُنَاشَدَةً لِلَّهِ فِي اسْتِقْصَاءِ الْحَقِّ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ لِلَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لِإِخْوَانِهِمْ الَّذِينَ فِي النَّارِ يَقُولُونَ رَبَّنَا كَانُوا يَصُومُونَ مَعَنَا وَيُصَلُّونَ وَيَحُجُّونَ فَيُقَالُ لَهُمْ أَخْرِجُوا مَنْ عَرَفْتُمْ فَتُحَرَّمُ صُوَرُهُمْ عَلَى النَّارِ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا قَدْ أَخَذَتْ النَّارُ إِلَى نِصْفِ سَاقَيْهِ وَإِلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا مَا بَقِيَ فِيهَا أَحَدٌ مِمَّنْ أَمَرْتَنَا بِهِ فَيَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ دِينَارٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا أَحَدًا مِمَّنْ أَمَرْتَنَا ثُمَّ يَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ نِصْفِ دِينَارٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا مِمَّنْ أَمَرْتَنَا أَحَدًا ثُمَّ يَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا خَيْرًا وَكَانَ أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ يَقُولُ إِنْ لَمْ تُصَدِّقُونِي بِهَذَا الْحَدِيثِ فَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ { إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا } فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَفَعَتْ الْمَلَائِكَةُ وَشَفَعَ النَّبِيُّونَ وَشَفَعَ الْمُؤْمِنُونَ وَلَمْ يَبْقَ إِلَّا أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ فَيَقْبِضُ قَبْضَةً مِنْ النَّارِ فَيُخْرِجُ مِنْهَا قَوْمًا لَمْ يَعْمَلُوا خَيْرًا قَطُّ قَدْ عَادُوا حُمَمًا فَيُلْقِيهِمْ فِي نَهَرٍ فِي أَفْوَاهِ الْجَنَّةِ يُقَالُ لَهُ نَهَرُ الْحَيَاةِ فَيَخْرُجُونَ كَمَا تَخْرُجُ الْحِبَّةُ فِي حَمِيلِ السَّيْلِ أَلَا تَرَوْنَهَا تَكُونُ إِلَى الْحَجَرِ أَوْ إِلَى الشَّجَرِ مَا يَكُونُ إِلَى الشَّمْسِ أُصَيْفِرُ وَأُخَيْضِرُ وَمَا يَكُونُ مِنْهَا إِلَى الظِّلِّ يَكُونُ أَبْيَضَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّكَ كُنْتَ تَرْعَى بِالْبَادِيَةِ قَالَ فَيَخْرُجُونَ كَاللُّؤْلُؤِ فِي رِقَابِهِمْ الْخَوَاتِمُ يَعْرِفُهُمْ أَهْلُ الْجَنَّةِ هَؤُلَاءِ عُتَقَاءُ اللَّهِ الَّذِينَ أَدْخَلَهُمْ اللَّهُ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ عَمَلٍ عَمِلُوهُ وَلَا خَيْرٍ قَدَّمُوهُ ثُمَّ يَقُولُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ فَمَا رَأَيْتُمُوهُ فَهُوَ لَكُمْ فَيَقُولُونَ رَبَّنَا أَعْطَيْتَنَا مَا لَمْ تُعْطِ أَحَدًا مِنْ الْعَالَمِينَ فَيَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي أَفْضَلُ مِنْ هَذَا فَيَقُولُونَ يَا رَبَّنَا أَيُّ شَيْءٍ أَفْضَلُ مِنْ هَذَا فَيَقُولُ رِضَايَ فَلَا أَسْخَطُ عَلَيْكُمْ بَعْدَهُ أَبَدًا
Telah menceritakan kepadaku Suwaid bin Sa'iid, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Hafsh bin Maisarah, dari Zaid bin Aslam, dari 'Atha' bin Yasaar, dari Abu Sa'iid Al-Khudriy secara marfu’ : “…… Sehingga ketika orang-orang mu'min terbebas dari neraka, maka demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidaklah salah seorang dari kalian yang begitu gigih memohon kepada Allah di dalam menuntut al-haq pada hari kiamat untuk saudara-saudaranya yang berada di dalam neraka. Mereka berseru : ‘Wahai Rabb kami, mereka selalu berpuasa bersama kami, shalat bersama kami, dan berhaji bersama kami.” Maka dikatakan kepada mereka; “Keluarkanlah orang-orang yang kalian ketahui.” Maka bentuk-bentuk mereka hitam kelam karena terpanggang api neraka, kemudian mereka mengeluarkan begitu banyak orang yang telah dimakan neraka sampai pada pertengahan betisnya dan sampai kedua lututnya. Kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, tidak tersisa lagi seseorang pun yang telah engkau perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah berfirman : ‘Kembalilah kalian, maka barangsiapa yang kalian temukan di dalam hatinya kebaikan seberat dinar, maka keluarkanlah dia’. Mereka pun mengeluarkan jumlah yang begitu banyak, kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, kami tidak meninggalkan di dalamnya seorangpun yang telah Engkau perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah berfirman : ‘Kembalilah kalian, maka barangsiapa yang kalian temukan didalam hatinya kebaikan seberat setengah dinar, maka keluarkanlah dia’. Maka mereka pun mengeluarkan jumlah yang banyak. Kemudian mereka berkata lagi : ‘Wahai Rabb kami, kami tidak menyisakan di dalamnya seorang pun yang telah Engkau perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah berfirman : ‘Kembalilah kalian, maka siapa saja yang kalian temukan di dalam hatinya kebaikan seberat biji jagung, keluarkanlah’. Maka merekapun kembali mengeluarkan jumlah yang begitu banyak. Kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, kami tidak menyisakan di dalamnya kebaikan sama sekali”. Abu Sa'iid Al-Khudriy berkata : "Jika kalian tidak mempercayai hadits ini silahkan kalian baca ayat : ‘Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar’ (QS. An-Nisaa’ : 40). Allah lalu berfirman : ‘Para Malaikat, Nabi, dan orang-orang yang beriman telah memberi syafa’at. Sekarang yang belum memberikan syafa’at adalah Dzat Yang Maha Pengasih’. Kemudian Allah menggenggam satu genggaman dari dalam neraka. Dari dalam tersebut Allah mengeluarkan suatu kaum yang sama sekali tidak pernah melakukan kebaikan, dan mereka pun sudah berbentuk seperti arang hitam. Allah kemudian melemparkan mereka ke dalam sungai di depan surga yang disebut dengan sungai kehidupan. Mereka kemudian keluar dari dalam sungai layaknya biji yang tumbuh di aliran sungai, tidakkah kalian lihat ia tumbuh (merambat) di bebatuan atau pepohonan mengejar (sinar) matahari. Kemudian mereka (yang tumbuh layaknya biji) ada yang berwarna kekuningan dan kehijauan, sementara yang berada di bawah bayangan akan berwarna putih". Para sahabat kemudian bertanya : "Seakan-akan engkau sedang menggembala di daerah orang-orang badui ?”. Beliau melanjutkan : "Mereka kemudian keluar seperti mutiara, sementara di lutut-lutut mereka terdapat cincin yang bisa diketahui oleh penduduk surga. Dan mereka adalah orang-orang yang Allah merdekakan dan Allah masukkan ke dalam surga tanpa amalan yang pernah mereka amalkan dan kebaikan yang mereka lakukan. Allah kemudian berfirman : ‘Masuklah kalian ke dalam surga. Apa yang kalian lihat maka itu akan kalian miliki’. Mereka pun menjawab : ‘Wahai Rabb kami, sungguh Engkau telah memberikan kepada kami sesuatu yang belum pernah Engkau berikan kepada seorang pun dari penduduk bumi’. Allah kemudian berfirman : ‘(Bahkan) apa yang telah Kami siapkan untuk kalian lebih baik dari ini semua’. Mereka kembali berkata : ‘Wahai Rabb, apa yang lebih baik dari ini semua!’. Allah menjawab : "Ridla-Ku, selamanya Aku tidak akan pernah murka kepada kalian” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 302].
Al-Qurthubiy rahimahullah berkata :
قالَ : «ثمّ هُوَ سُبحانَه بعدَ ذلِكَ يقبِضُ قَبضةً فَيُخرِجُ قوماًلمَ يعمَلُوا خَيراً قَط ، يُرِيدُ إلاّ التّوحيدَ المجرّدَ عَن الأعمَالِ
“Beliau shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Kemudian setelah itu Allah menggenggam satu genggaman, lalu Allah mengeluarkan satu kaum yang belum pernah melakukan kebaikan sedikitpun’. Maksudnya : Kecuali tauhid yang kosong dari amal” [Fathul-Majiid, hal. 48, tahqiq : Muhammad Haamid Al-Faqiy; Mathba’ah As-Sunnah Al-Muhammadiyyah, Cet. 7/1377].
Sebagian ada yang mengatakan bahwa hadits di atas di-takhshish dengan hadits yang menyatakan kekafiran orang yang meninggalkan shalat, sehingga maknanya adalah : Orang yang tidak pernah berbuat amal kebaikan tersebut adalah amal kebaikan selain shalat. Pemaknaan semacam ini – selain janggal – bertentangan dengan dhahir hadits. Telah disebutkan secara jelas bahwa keadaan orang tersebut tanpa amalan yang pernah mereka amalkan (بغيرِ عَمَل عمِلُوه) dan tanpa kebaikan yang mereka lakukan sebelumnya (وَلَا خَيْرٍ قَدَّمُوهُ) sewaktu hidup di dunia. Apakah shalat bukan termasuk amalan dan kebaikan ?
Adapun klaim bahwa kafirnya orang yang meninggalkan shalat merupakan ijma’ di kalangan shahabat[50], maka ini perlu dikritisi. Perhatikan riwayat berikut :
عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْرُسُ الْإِسْلَامُ كَمَا يَدْرُسُ وَشْيُ الثَّوْبِ حَتَّى لَا يُدْرَى مَا صِيَامٌ وَلَا صَلَاةٌ وَلَا نُسُكٌ وَلَا صَدَقَةٌ وَلَيُسْرَى عَلَى كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِي لَيْلَةٍ فَلَا يَبْقَى فِي الْأَرْضِ مِنْهُ آيَةٌ وَتَبْقَى طَوَائِفُ مِنْ النَّاسِ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْعَجُوزُ يَقُولُونَ أَدْرَكْنَا آبَاءَنَا عَلَى هَذِهِ الْكَلِمَةِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَنَحْنُ نَقُولُهَا فَقَالَ لَهُ صِلَةُ مَا تُغْنِي عَنْهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَهُمْ لَا يَدْرُونَ مَا صَلَاةٌ وَلَا صِيَامٌ وَلَا نُسُكٌ وَلَا صَدَقَةٌ فَأَعْرَضَ عَنْهُ حُذَيْفَةُ ثُمَّ رَدَّهَا عَلَيْهِ ثَلَاثًا كُلَّ ذَلِكَ يُعْرِضُ عَنْهُ حُذَيْفَةُ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْهِ فِي الثَّالِثَةِ فَقَالَ يَا صِلَةُ تُنْجِيهِمْ مِنْ النَّارِ ثَلَاثًا
Dari Hudzaifah bin Al-Yaman ia berkata : Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : “(Ajaran) Islam akan terkikis sebagaimana hiasan baju yang terkikis sehingga tidak di ketahui apa itu puasa, apa itu shalat, apa itu ibadah dan apa itu sedekah, dan akan ditanggalkan Kitabullah di malam hari, sehingga tidak tersisa di muka bumi satu ayat pun. Yang tersisa adalah beberapa kelompok manusia yang telah lanjut usia dan lemah, mereka berkata, 'Kami menemui bapak-bapak kami di atas kalimat 'Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah', maka kami mengucapkannya". Shilah berkata kepadanya : " Apakah perkataan Laa ilaaha illallaah bermanfaat bagi mereka, meskipun mereka tidak mengetahui shalat, puasa, haji, dan shadaqah?". Lalu Hudzaifah berpaling darinya, lantas ia (Shilah bin Zufar) mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali. Kemudian Hudzifah menjawab : “Wahai Shilah, kalimat itu (laa ilaaha illallaah) akan menyelamatkan mereka dari api neraka”. Hudzaifah mengucapkan itu sebanyak tiga kali [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 4049 dan Al-Haakim 4/473, shahih].
Hadits ini menunjukkan bahwa Hudzaifah berpendapat bahwa orang yang tidak melakukan shalat bermanfaat untuk menyelamatkannya dari kekekalan neraka. Jawaban yang diberikan Hudzaifah adalah jawaban yang bersifat umum. Seandainya kalimat tauhid secara asal tidak memberikan manfaat bagi orang yang meninggalkan shalat, puasa, zakat, dan haji itu – sebagaimana pemahaman Shilah bin Zufar, orang yang bertanya – niscaya Hudzaifah akan membenarkan pernyataan Shilah dengan berkata : “Benar wahai Shilah, akan tetapi ia adalah satu kaum yang diberi udzur karena ketidaktahuan mereka akan hukum-hukum tersebut” – atau yang semakna.
Dan yang lainnya.
Banyak hal yang dapat didiskusikan antara dua pendapat di kalangan ulama Ahlus-Sunnah ini.
Sengaja saya tuliskan hujjah jumhur ulama saja. Hal itu dikarenakan, semula, tulisan ini hanya bertujuan untuk memberikan bantahan terhadap orang-orang yang pendek pikirannya yang punya angan-angan bahwa khilaf ini bukan khilaf mu’tabar. Bukan khilaf yang terjadi di kalangan Ahlus-Sunnah. Terutama bagi orang yang tidak berpendapat kafirnya orang yang meninggalkan shalat, sehingga digolongkan sebagai Murji’ah. Dapat kita lihat bahwa ini merupakan bahasan ilmiah klasik yang telah dilakukan oleh salaf kita semenjak beratus-ratus tahun lalu. Oleh karena itu, sudah seyogyanya kita bersikap bijak menghadapi perselisihan ini dengan tidak mengeluarkan orang-orang yang berbeda pendapat dengan kita dari lingkaran Ahlus-Sunnah. Apalagi jika perbedaan pendapat itu terletak pada khilaf fiqhiyyah mu’tabarah. Dan jujur, bukan hal yang mudah untuk memberikan tarjih pada salah satu pendapat karena masing-masing mempunyai dalil yang cukup kuat.
Itu saja yang dapat dituliskan. Lebih dan kurangnya mohon dimaafkan.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa].
[1] Yaziid bin Haaruun bin Zadzaan bin Tsaabit As-Sulamiy Abu Khaalid Al-Waasithiy; seorang yang tsiqah, mutqin, lagi ahli ibadah (117-206 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1084 no. 7842 dan Mu’jam Syuyuukh Al-Imaam Ahmad fil-Musnad hal. 394 no. 283].
[2] Yahyaa bin Sa’iid bin Qais bin ‘Amru Al-Anshaariy An-Najaariy; seorang yang tsiqah lagi tsabt (w. 143/144/146 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1056 no. 7609].
[3] Muhammad bin Yahyaa bin Munqidz Al-Anshaariy Al-Madaniy; seorang yang tsiqah (w. 121 H dalam usia 74 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 90 no. 6421].
[4] ‘Abdullah bin Muhairiz bin Junaadah bin Wahb Al-Qurasyiy Al-Jumahiy Abu Muhairiiz Al-Makkiy; seorang yang tsiqah (w. 99 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 544 no. 3629].
[5] Abu Rufai’ Al-Mukhdajiy Al-Kinaaniy Al-Filasthiiniy; seorang yang majhuul. Tidak ada yang men-tsiqah-kannya kecuali Ibnu Hibbaan [Ats-Tsiqaat, 5/570]. Ibnu Hajar berkata : “Maqbuul” [At-Taqriib, hal. 1146 no. 8160]. Adz-Dzahabiy berkata : “Telah di-tsiqah-kan” [Al-Kaasyif, 2/426 no. 6624].
[6] Namanya : Mas’uud bin Zaid bin Subai’ Al-Anshaariy, salah seorang shahabat [lihat Usudul-Ghaabah 5/155-156 no. 4885, Ats-Tsiqaat 3/396, dan Tajriid Asmaaush-Shahaabah 2/73 no. 815].
[7] Zam’ah bin Shaalih Al-Janadiy Al-Yamaaniy Abu Wahb; seorang yang dla’iif [idem, hal. 340 no. 2046].
[8] Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin Syihaab Al-Qurasyiy Az-Zuhriy; seorang yang faqiih, haafidh, lagi mutqiin (50/51/56-123/124/125 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 896 no. 6336].
[9] Ia adalah ‘Aaidzullah bin ‘Abdillah bin ‘Amru Abu Idriis Al-Khaulaaniy; seorang yang tsiqah (w. 80 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 479 no. 3132].
[10] Husain bin Muhammad bin Bahraam At-Tamiimiy Al-Marruudziy; seorang yang tsiqah (w. 213/214 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem hal. 250 no. 1354, dan Mu’jamu Syuyuukh Al-Imam Ahmad hal. 162 no. 56].
[11] Muhammad bin Mutharrif bin Daawud Al-Laitsiy Abu Ghassaan Al-Madaniy; seorang yang tsiqah. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 897 no. 6345].
[12] Zaid bin Aslam Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy; seorang yang tsiqah lagi ‘aalim, namun sering meng-irsal-kan riwayat (w. 136). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 350 no. 2129].
[13] ‘Atha’ bin Yasaar Al-Hilaaliy Abu Muhammad Al-Madaniy; seorang yang tsiqah (w. 103/104). Dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 679 no. 4638].
[14] ‘Abdullah Ash-Shunaabihiy, ini keliru. Yang benar – wallaahu a’lam – adalah Abu ‘Abdillah Ash-Shunaabihiy, ‘Abdurrahmaan bin ‘Usailah; seorang yang tsiqah. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 591 no. 3977].
[15] ‘Abbaas bin Muhammad bin Haatim bin Waaqid Ad-Duuriy; seorang yang tsiqah lagi haafidh (185-271 H) [idem, hal. 488 no. 3206].
[16] Ia adalah Al-Fadhl bin Dukain – ‘Amru bin Hammaad bin Zuhair Al-Qurasyiy At-Taimiy Abu Nu’aim Al-Malaaiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (129/130-218 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 782 no. 5436].
[17] An-Nu’maan bin Daawud bin Muhammad bin ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit; seorang yang majhuul haal [Mishbaahul-Ariid, 3/340 no. 28277].
[18] ‘Ubaadah bin Al-Waliid bin ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit; seorang yang tsiqah. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 485 no. 3178].
[19] Al-Waliid bin ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit; seorang yang tsiqah. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1038 no. 7480].
[20] Ia adalah Muhammad bin Ishaaq bin Ja’far Abu Bakr Ash-Shaaghaaniy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 270 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 824 no. 5758].
[21] Yahyaa bin ‘Abdillah bin Bukair Al-Qurasyiy Al-Makhzuumiy; seorang yang tsiqah (154/155-231 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1059 no. 7630].
[22] Ya’quub bin ‘Abdirrahmaan bin Muhammad bin ‘Abdillah Al-Qaariy; seorang yang tsiqah (w. 181 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1088 no. 7878].
[23] ‘Amru bin Abi ‘Amru maula Al-Muthallib Abu ‘Utsmaan Al-Madaniy; seorang yang tsiqah. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 742 no. 5118].
[24] Al-Muthallib bin ‘Abdillah bin Al-Muthallib bin Hanthab bin Al-Haarits Al-Makhzuumiy; seorang yang tsiqah, namun banyak melakukan irsaal [Tahriirut-Taqriib, 3/386 no. 6710].
[25] Yahyaa bin ‘Utsmaan bin Sa’iid bin Katsiir bin Diinaar Al-Himshiy; seorang yang tsiqah (w. 255 H) [Tahriirut-Taqriib, 4/94-95 no. 7604].
[26] Baqiyyah bin Al-Waliid bin Shaaid bin Ka’b Al-Kalaa’iy; seorang yang shaduuq namun banyak melakukan tadlis taswiyyah (110-197 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya untuk mutaba’ah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 174 no. 741].
[27] Dlubaarah bin ‘Abdillah bin Maalik bin Abis-Saliil Abu Syuraih Al-Himshiy; seorang yang majhuul [idem, hal. 457 no. 2978].
[28] Duwaid bin Naafi’ Al-Umawiy Abu ‘Iisaa Asy-Syaamiy; seorang yang hasan haditsnya [Tahriirut-Taqriib 1/381 no. 1832 dan Silsilah Adl-Dla’iifah 4/405].
[29] Sa’iid bin Al-Musayyib bin Hun bin Abi Wahb bin ‘Amru Al-Qurasyiy Al-Makhzuumiy Abu Muhammad Al-Madaniy; seorang yang telah disepakati ketsiqahan dan keimamannya (w. 93/94 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 388 no. 2409].
[30] Haasyim bin Al-Qaasim bin Muslim Abun-Nadlr Al-Laitsiy Al-Baghdaadiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (134-205/207 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1017 no. 7305 dan Mu’jamu Syuyuukh Al-Imaam Ahmad hal. 361 no. 254].
[31] ‘Iisaa bin Al-Musayyib Al-Bajaliy Al-Kuufiy; seorang yang dla’iif [Lisaanul-Miizaan, 6/280-281 no. 5950].
[32] Ia adalah ‘Aamir bin Syaraahiil Abu ‘Amru Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, masyhuur, faqiih, lagi mempunyai keutamaan (w. 103/104/105/106/107/110 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 475-476 no. 3109].
[33] ‘Abdurrahmaan bin Al-Husain Abu Mas’uud Ash-Shaabuuniy At-Tusturiy; seorang yang shaduuq [Irsyaadul-Qaashiy wad-Daaniy, hal. 354 no. 533].
[34] Zuraiq bin As-Sukht Abu ‘Abdillah Al-Bashriy; seorang yang lurus haditsnya (mustaqiimul-hadiits) [Ats-Tsiqaat, 8/259].
[35] Tashriih penyimakan Asy-Sya’biy dari Ka’b bin ‘Ujrah ini membatalkan perkataan Ibnu Ma’iin yang mengatakan bahwa Asy-Sya’biy tidak mendengar riwayat dari Ka’b, namun melalui perantaraan ‘Abdurrahmaan bin Abi Lailaa [At-Taariikh, 1/379 no. 2561].
[36] Ia adalah Muhammad bin Ibraahiim bin Muslim bin Saalim Al-Khuzaa’iy Abu Umayyah Ath-Thurthuusiy; seorang yang shaduuq (w. 273) [Taqriibut-Tahdziib, hal. 820 no. 5736 dan Tahriirut-Taqriib 3/207 no. 5700].
[37] Muhammad bin Saabiq At-Tamiimiy; seorang yang shaduuq (w. 213/214 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 846 no. 5934].
[38] Maalik bin Mighwal bin ‘Aashim Al-Bajaliy Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 157/158/159 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 917 no. 6492].
[39] Ia adalah ‘Utsmaan bin ‘Aashim bin Hushain Abu Hushain Al-Asadiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 128/129/132 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 664 no. 4516].
[40] ‘Abdurrahmaan bin An-Nu’maan bin Ma’bad bin Haudzah Al-Anshaariy Abun-Nu’maan Al-Kuufiy; seorang yang dla’iif [Silsilah Adl-Dla’iifah 3/75 dan Tahriirut-Taqriib 2/353 no. 4029].
[41] Ishaaq bin Sa’d bin Ka’b bin ‘Ujrah. Asy-Syaikh Muqbil dalam At-Tatabbu’ (2/248) mengatakan bahwa penamaan ini keliru, dan yang benar adalah Sa’d bin Ishaaq bin Ka’b bin ‘Ujrah sebagaimana dikatakan oleh Abu Haatim dalam Al-Jarh wat-Ta’diil (2/221-222 no. 765). Adapun Sa’d bin Ishaaq, maka ia seorang yang tsiqah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 368 no. 2242].
[42] Ishaaq bin Ka’b bin ‘Ujrah; seorang yang majhuul haal [Taqriibut-Tahdziib, hal. 131 no. 384].
[43] Sebagian kalangan muta’akkhiriin yang bodoh dan ghuluw telah menganggap perselisihan tentang masalah ini adalah perselisihan antara Ahlus-Sunnah dengan Ahlul-Bida’ !
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan” [QS. Yuunus : 36].
[44] Shahih : Diriwayatkan oleh Muslim (no. 82), namun dengan lafadh :
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِرْكِ وَالكُفرِ تَرْكَ الصَّلاة
“Sesungguhnya batas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat”.
[45] Misalnya seseorang yang sengaja mengakhirkan shalat Dhuhur hingga masuk waktu ‘Isya’. Atau sengaja mengakhirkan shalat ‘Isya’ hingga waktu Dhuhur hingga keesokan harinya. Oleh karena itu, sengaja mengakhirkan pelaksanaan – dan bahkan membiasakan – shalat hingga keluar dari waktu sebenarnya tidaklah lebih ringan daripada tidak shalat itu sendiri. Allah ta’ala telah berfirman :
الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” [QS. An-Nisaa’ : 103].
[46] Namanya adalah Mudhaffar bin Mudrik Al-Khurasaaniy Abu Kaamil; seorang yang tsiqah lagi mutqin (w. 207 H) [Taqriibut-Tahdziib, hal. 950 no. 6768].
[47] Hammaad bin Salamah bin Diinaar Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid (w. 167 H). Dipakai Al-Bukhariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 268-29 no. 1507].
[48] Tsaabit bin Aslam Al-Bunaaniy Abu Muhammad Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 185 no. 818].
[49] Nufai’ Ash-Shaaigh Abu Raafi’ Al-Madaniy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1008 no. 7231].
[50] At-Tirmidziy rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ عَنْ الْجُرَيْرِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ الْعُقَيْلِيِّ قَالَ كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرَوْنَ شَيْئًا مِنْ الْأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلَاةِ
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Al-Mufadldlal, dari Al-Jurairiy, dari ‘Abdullah bin Syaqiiq Al-‘Uqailiy, ia berkata : “Para shahabat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melihat satu amalan dari amalan-amalan yang jika ditinggalkan menyebabkan kekafiran selain dari shalat” [Al-Jaami’, no. 2622; shahih].
Comments
Subhanalloh ustadz..sangat mencerahkan..barokallohu fiikum..ditunggu artikel2 ilmiah berikutnya...
Mantab Ustadz.. Jazakallahu khair..
Tadz Tahrij haditsnya lengkap banget? bolak-balik kitab gitu kaya ulama nyarinya, ape cumen copy paste dari software?
Ngomong-ngomong referensi kitab haditsnya juga banyak, punya semua ga versi cetaknya ente? apa cuma searcing dari sotware atau versi Ebook dowload gratisan tadz?
Downloadnya dimana tadz? sofwarenya apa buat searcing?
hehe sekarang makin gampang aja nyomot-nyomot hadits pake software. Kasih tau dunk
@anonim
kalo kitab versi ebook gratisan napa ? ngga ada alasan buat nolak.
kalo ente mau belikan yg asli, sini , ane jg mau....
Ga napa-napa Ustadz.
Cuma mao tau rasia dapurnya hehehe.
Ane ta'jub aje dengan begitu banyak takhirj haditsnya ini lo[Diriwayatkan oleh Ahmad, 5/317]diriwayatkan juga...... ,
ane yang fakir boleh donk share ilmunya.
Bolehkan tau gimana caranya bisa bikin tulisan bererot takhrij haditsnya begitu?
apa bolak-balik sendiri pake kitab apa cuma ngutip dari maroji lain ataw nyomot copy paste dari software kaya maktabah syamilah.
(dikasih tau ga yee, hmhm ane ragu neich)
Kalo bolak balik kitab-kitab induk masyaalloh!
Mantab...calon Ulama ituh...
Tulung ya tadz
Sebagaimana telah sering saya tuliskan di beberapa artikel Blog ini, saya banyak mengambil faedah dari para ulama hadits seperti Syaikh Al-Albaaniy, Syaikh Al-Arna'uth, Syaikh Salim, dan yang lainnya. Kemudian saya himpun dan periksa ulang dengan tambahan atau pengurangan seperlunya.
Saya tidak punya program maktabah syamilah. Kebanyakan saya memanfaatkan e-book scan pdf yang validitasnya sama versi cetak. Saya juga punya program hadits sederhana yang saya dapatkan dari http://islamspirit.com untuk membantu pencarian hadits. Kemudian saya cek ulang dengan yang versi scan pdf. Untuk masalah rijaal, maka referensi utama saya adalah Taqriibut-Tahdziib, Tahdziibul-Kamaal, dan Tahdziibut-Tahdziib. Untuk membantu, saya punya free program dari islamspirit dari kitab Tahdziibul-Kamaal. Kemudian saya cek di versi scan pdf Tahdziibul-Kamaal yang ditahqiq Dr. Basyar 'Awwaad. Kemudian saya juga cros cek di beberapa kitab rijaal yang lain yang saya punya. Soalnya kalau cuma mengandalkan Tahdziibul-Kamaal, maka daftar perawinya sangat terbatas. Sekarang ada kitab baru yang berjudul Mishbaahul-Ariid yang memuat daftar perawi yang tidak terdapat dalam Taqriibut-Tahdziib. Ini sangat membantu.
Untuk hasil akhir penilaian seorang perawi atau satu hadits, saya tetap memperhatikan dan memperbandingkan penghukuman ulama-ulama yang ada, baik ulama dulu dan sekarang.
Ya kurang lebih demikian.
Adapun tentang hardcopy, saya punya beberapa - dan itu tidak sebanyak koleksi e-book saya yang dalam bentuk scan pdf. Dua-duanya saya gunakan bersama, sesuai kebutuhan dan keluangan waktu yang ada.
Jika ada yang keliru, mohon dibetulkan. Lebih bagus lagi jika kritiknya adalah spesifik sehingga kita bisa saling berbagi faedah. Saya kira, kritik-kritik yang konstruktif harus tetap dieksiskan.
Untuk masalah 'calon ulama' - maka saya hanyalah thaalibul-'ilmi saja.
Apakah kitab referensi rijal hadits dan takhrijnya yang antum sebutkan sudah antum posting disini?
Kalo memang ada softcopy bole dech
Dan tentang pembahasan fiqh hadits, saya sarankan tetap cantumkan dari mana pendapat antum ambil. Contoh
Istitsnaa’ dengan tauhid menunjukkan tidak ada sesuatu yang lain kecuali tauhid itu sendiri.
Boleh tau dari kitab apa dan pendapat siapa hal ini? Apakah kaidah ushul? tolong dijelaskan tadz.
Tentang referensi kitab rijaal, sudah banyak tu saya tulis di atas. Tentang referensi takhrij, maksudnya seperti apa ? Jika yang dimaksudkan dengan referensi takhrij adalah kitab haditsnya, maka sudah saya tuliskan. Jika yang dimaksudkan dengan referensi dimana saya mengambil faedah takhrij secara keseluruhan, maka dalam komentar ini telah saya jelaskan. Jika yang dimaksudkan apakah takhrij di atas mengacu 100% pada ulama tertentu, maka jawabannya tidak.
Tentang pembahasan fiqh hadits, maka telah saya cantumkan bahwa itu merupakan pendapat jumhur ulama. Tentang bahasan istitsnaa', maka itu masyhur sebagai kaedah umum dalam ilmu ushul fiqh. Saya kira antum dapat membaca di bagian bahasan istitsna dalam kalaam pada buku-buku ushul-fiqh. Jika antum belum mengenal bahasan ini, mungkin alamat situs ini dapat membantu sebagai perkenalan (kebetulan membahas tentang istitsnaa') :
http://sharee3a.com/vb/showthread.php?t=3006
Ya ga connect nih
Bukan istisna secara umum, atau tentang macam-macam istisna. Saya rasa sudah banyak kitab ushul fiqh membahas dan mudah untuk ditemui. bahkan yang terjemahan aja banyak.
kitab kaya waroqots atau syaikh utsaimin juga kaya ada dech
jadi simak baik2 tadz
Pertenyaan ane tentang komentar ini.
Istitsnaa’ dengan tauhid menunjukkan tidak ada sesuatu yang lain kecuali tauhid itu sendiri.
Tolong dunk tadz bedakan antara pertanyaan umum tentang apa itu istisna dengan saya bertanya istisna dengan tauhid dalam masalah al-humu fi tarkus sholah.
Istitsnaa’ (pengecualian) tidak menerima keberadaan takhshish (pengkhususan). Istitsnaa’ dengan tauhid menunjukkan tidak ada sesuatu yang lain kecuali tauhid itu sendiri.
Iya itu mantuq dari perkataan ulama atau mafhum hasil pemahaman antum terhadap kitab ulama yang diuraikan dalam bahasa antum sendiri? kalau mantuq maka kitabnya apa dan ulamanya siapa?
karena syaikh al-bani yang menguatkan pendapat jumhur ulama tentang hukum meninggalkan sholat tidak membantah dengan bantahan seperti itu? tentang pendapat bahwa hadits syafaat itu umum dan di khususkan dengan hadits kufurnya meninggalkan sholat.
Jadi pendapat siapa itu? malik, syfi'i, boleh tau kan. Katanya harus kritis dan konstruktif?
Pertanyaan antum dijawab dengan kaidah ushul fiqh yang umum. Dan itu sama sekali tidak membatalkan hujjah itu sendiri. Disebabkan, istitsnaa' lebih khusus dari takhshish. Atau kata lainnya, setiap istitsnaa' merupakan takhshish, namun tidak setiap takhshish merupakan istitsnaa'. Istitsnaa' memberikan keterangan qath'iy, bukan dhanniy. Istitsnaa' merupakan bagian dari takhshish muttashil.
Konsekuensinya, jika ada yang mengklaim istitsnaa' tauhid itu menerima takhshish, ini menyalahi kaidah umum ushul fiqh. Sesuatu yang telah khusus tidak menerima penambahan yang sifatnya umum setelahnya. Apalagi sifat dari istitsnaa' (yang merupakan bagian dari takhshish muttashil) adalah sangat kuat. Objek yang menjadi pengecualian itu tidak bisa dibatalkan kecuali dengan qarinah yang sangat kuat.
Jawaban yang diberikan di sini merupakan jawaban yang dibangun dari sisi kaedah ushul.
Adapun tentang perkataan ulamanya, silakan baca keterangan Ibnu Rajab berikut :
"والمراد بقوله لم يعملوا خيرا قط من أعمال الجوارح وإن كان أصل التوحيد معهم ولهذا جاء في حديث الذي أمر أهله أن يحرقوه بعد موته بالنار إنه لم يعمل خيرا قط غير التوحيد خرجه الإمام أحمد من حديث أبي هريرة مرفوعا ومن حديث ابن مسعود موقوفا ويشهد لهذا ما في حديث أنس عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم في حديث الشفاعة قال فأقول يا رب ائذن لي فيمن يقول لا إله إلا الله فيقول وعزتي وجلالي وكبريائي وعظمتي لأخرجن من النار من قال لا إله إلا الله خرجاه في الصحيحن وعند مسلم فيقول ليس ذلك لك أو ليس ذلك إليك وهذا يدل على أن الذين يخرجهم اللهم برحمته من غير شفاعة مخلوق هم أهل كلمة التوحيد الذين لم يعملوا معها خيرا قط بجوارحهم والله أعلم"
Kalau memang ini keliru, saya pikir saya lah yang perlu penjelasan dari antum atau siapa saja yang tidak sepakat dengannya.
Oh begitu ya.
Tentang hadits ini [Musnad Ahmad, 2/304; shahih]. Ini kan istisna dengan tauhid. Ngomong2 saya tanya pernah ada ga ulama yang Isitidlal dengan hadits ini untuk berdalil bahwa
Istitsnaa’ (pengecualian) tidak menerima keberadaan takhshish (pengkhususan). Istitsnaa’ dengan tauhid menunjukkan tidak ada sesuatu yang lain kecuali tauhid itu sendiri.
Punya pendahulu tidak antum dalam istidlal dan dengan hadits tersebut dalam masalah hukum meninggalkan sholat? satu paket sama argumentasinya bahwa istina tidak menerima takhsis
Di kitab apa tadz? coba sebutin kutip sini ya tadz.
Kalo ga bisa sebutin kitabnya dan siapa pendahulu antum dalam hal ini, ya berarti antum mujtahid baru hehehe.
Dijawab dengan kaidah ushul fiqh sudah. Dijawab dengan pernyataan Ibnu Rajab sudah (dan bahkan di situ Ibnu Rajab langsung menjelaskan hadits Abu Hurairah dimana beliau berpendapat orang tersebut masuk ke dalam surga hanya karena tauhid semata tanpa amal jawaarih). Metode jawaban ini adalah metode istiqra'. Dua hal tersebut bisa dikaitkan satu sama lain, jika kita memang paham metode beristinbath. Namun nampaknya orang yang bertanya hanya menginginkan perdebatan semata (dilihat dari segi bahasa dan cara komunikasinya). Dan nampaknya pula saya mencium seseorang yang saya kenal dengan gaya khas perdebatannya.......
Bagi yang menanyakan sumber perkataan Ibnu Rajab, maka itu ada pada kitab At-Takhwiif minan-Naar hal. 187 – dari Maktabah Ibni Rajab Al-Hanbaliy – Free Program yang diterbitkan oleh http://www.islamspirit.com. Di situ Ibnu Rajab membawakan lafadh secara makna, yaitu : lam ya’mal khaira qath ghairat-tauhiid. Kemudian setelah itu Ibnu Rajab berkata :
خرجه الإمام أحمد من حديث أبي هريرة مرفوعا ومن حديث ابن مسعود موقوفا ويشهد لهذا ما في حديث أنس عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم في حديث الشفاعة….
Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dari hadits Abu Hurairah secara marfu’ dan dari hadits Ibnu Mas’uud secara mauquuf. Dan menjadi syaahid atas hal ini adalah hadits Anas dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam tentang hadits syafaa’at….. [hal. 187].
Dalam perkataan di atas, sangat jelas Ibnu Rajab berhujjah dengan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dengan lafadh : “lam ya’mal khaira qath ghairat-tauhiid” untuk menyatakan selamatnya seseorang dari kekekalan neraka (yang kemudian dimasukkan ke dalam surga) karena tauhid tanpa keberadaan amal jawaarih. Adapun yang dimaksud dengan hadits Ibnu Mas’uud mauquuf, maka ia terdapat dalam Musnad Ahmad 1/398 dengan lafadh lam ya’mal minal-khairi syaian qath illat-tauhiid. Jika memakai tahqiq dan takhrij dari Syaikh Al-Arna’uth, maka ia terdapat di juz 6 hal. 326-327 no. 3785 – dan beliau menghukumi shahih lighairihi.
Dalam kitab tersebut Ibnu Rajab menjelaskan bahwa orang tersebut dimasukkan ke dalam surga dengan rahmat-Nya karena keberadaan ashlut-tauhiid di dalam hatinya. Ibnu Rajab menafikkan keberadaan amal jawaarih sesuai dhahir haditsnya. Inilah dhahir istitsnaa’ yang dapat dipahami dari hadits dan penjelasan Ibnu Rajab. Shalat, termasuk amal jawaarih. Dan Ini berkesesuaian dengan kaidah ushul yang telah sedikit saya tuliskan di atas. Dan inilah istiqra’ yang saya maksudkan dari mafhum penjelasan Ibnu Rajab, serta kaidah ushuliyyah tentang takhshish dan istitsnaa’.
Tentang Syaikh Al-Albaaniy, coba antum tengok dalam kitab Silsilah Ash-Shahiihah (7/116 no. 3048 – Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1422) ketika beliau mentashhiih hadits riwayat Ahmad tersebut di atas (dengan lafadh : lam ya’mal khaira qath illat-tauhiid). Beliau mengatakan :
هذا؛ وفي الحديث دلالة قوية على أن الموحد لا يخلد في النار؛ مهما كان فعله مخالفاً لما يستلزمه الإيمان ويوجبه من الأعمال؛ كالصلاة ونحوها من الأركان العملية، وإن مما يؤكد ذلك ما تواتر في أحاديث الشفاعة؛ أن الله يأمر الشافعين بأن يخرجوا من النار من كان في قلبه ذرة من الإيمان. ويؤكد ذلك حديث أبي سعيد الخدري أن الله تبارك وتعالى يخرج من النار ناساً لم يعملوا خيراً قط. ويأتي تخريجه وبيان دلالته على ذلك، وأنه من الأدلة الصريحة الصحيحة على أن تارك الصلاة المؤمن بوجوبها يخرج من النار أيضاً ولا يخلد فيها، فانظره بالرقم (3054).*
“Dan dalam hadits ini terdapat petunjuk yang kuat bahwa seorang muwahhid tidak kekal di dalam neraka, bilamana ia melakukan perbuatan-perbuatan yang menyelisihi hal-hal yang diwajibkan iman dan amal seperti shalat dan yang yang lainnya dari rukun-rukun ‘amaliyyah……dst”.
Perkataan Syaikh Al-Albaaniy ini sangat jelas menetapkan istitsnaa’ yang terdapat dalam dhahir hadits yang beliau shahihkan, sehingga menafikkan kekekalan di dalam neraka orang yang meninggalkan rukun-rukun ‘amaliyyah. Penetapan istitsnaa’ ini sangat kentara saat beliau ‘membela’ lafadh illat-tauhiid dengan menshahihkannya, yang kemudian mengomentari perkataan Ibnu ‘Abdil-Barr yang meragukan validitas riwayatnya (namun beliau menshahihkan maknanya). Silakan dicek dalam referensi yang saya sampaikan di halaman 109 dst.
Dan bagi orang yang hatinya masih sesak dalam keluasan bahts ini (kufur tidaknya orang yang meninggalkan shalat karena malas), maka simaklah perkataan Fadliilatusy-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin Naashir Al-Barraak – salah seorang ulama besar Saudi – sebagai berikut (saat menjawab pertanyaan apakah jinsul-amal merupakan syarat shahih atau syarat kesempurnaan bagi iman) :
وبهذا يتبين أنه لا يصح إطلاق القول بأن العمل شرط صحة أو شرط كمال بل يحتاج إلى تفصيل ؛ فإن اسم العمل يشمل عمل القلب وعمل الجوارح ، و يشمل الفعل و الترك ، و يشمل الواجبات التي هي أصول الدين الخمسة ، وما دونها ، و يشمل ترك الشرك و الكفر و ما دونهما من الذنوب .
فأما ترك الشرك و أنواع الكفر والبراءة منها فهو شرط صحة لا يتحقق الإيمان إلا به .
و أما ترك سائر الذنوب فهو شرط لكمال الإيمان الواجب .
وأما انقياد القلب – وهو إذعانه لمتابعة الرسول صلى الله عليه و سلم و ما لابد منه لذلك من عمل القلب كمحبة الله ورسوله ، و خوف الله و رجائه – و إقرار اللسان – و هو شهادة أن لا إله إلا الله ، و أن محمد رسول الله – فهو كذلك شرط صحة لا يحقق الإيمان بدونهما .
وأما أركان الإسلام بعد الشهادتين فلم يتفق أهل السنة على أن شيئاً منها شرط لصحة الإيمان ؛ بمعنى أن تركه كفر ، بل اختلفوا في كفر من ترك شيئاً منها ، و إن كان أظهر و أعظم ما اختلفوا فيه الصلوات الخمس ، لأنها أعظم أركان الإسلام بعد الشهادتين ، و لما ورد في خصوصها مما يدل على كفر تارك الصلاة ؛ كحديث جابر بن عبد الله قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول : ( بين الرجل و بين الشرك و الكفر ترك الصلاة ) أخرجه مسلم في صحيحه و غيره ، و حديث بريده بن الحصيب قال : قال رسول الله صلى الله عليه نو سلم ( إن العهد الذي بيننا و بينهم الصلاة فمن تركها فقد كفر ) أخرجه أصحاب السنن .
وأما سائر الواجبات بعد أركان الإسلام الخمسة فلا يختلف أهل السنة أن فعلها شرط لكمال إيمان العبد ، و تركها معصية لا تخرجه من الإيمان .
و ينبغي أن يعلم أن المراد بالشرط هنا معناه الأعم ، و هو ما تتوقف الحقيقة على وجوده سواء كان ركناً فيها أو خارجاً عنها ، فما قيل فيه هنا أنه شرط للإيمان هو من الإيمان .
و هذا التفصيل كله على مذهب اهل السنة ، والجماعة فلا يكون من قال بعدكم كفر تارك الصلاة كسلاً أو غيرها من الأركان مرجئاً ، كما لا يكون القائل بكفره حرورياً .
و إنما يكون الرجل من المرجئة بإخراج أعمال القلوب و الجوارح عن مسمى الإيمان فإن قال بوجوب الواجبات ، و تحريم المحرمات ، و ترتب العقوبات فهو قول مرجئة الفقهاء المعروف و هو الذي أنكره الأئمة ، و بينوا مخالفته لنصوص الكتاب و السنة .
[Jawaabul-Iimaan wa Nawaaqidluhu – e-book dari mauqi’ beliau : http://www.albarrak.islamlight.net].
Perhatikan perkataan beliau di atas terutama :
“Adapun rukun-rukun Islam selain dua kalimat syahadat, Ahlus-Sunnah tidak bersepakat tentangnya dalam masalah syarat keshahihan iman, dalam arti : kufurnya orang yang meninggalkannya. Bahkan, mereka berselisih pendapat tentang kekufuran orang yang meninggalkan sesuatu darinya (rukun Islam yang empat). Dan perselisihan mereka yang paling nampak dan paling besar adalah permasalahan shalat wajib lima waktu, karena hal itu merupakan rukun yang paling agung setelah dua kalimat syahadat…………dst”.
Sampai pada perkataan beliau :
Seseorang hanyalah dikatakan Murji’ah apabila ia mengeluarkan amal-amal hati dan jawaarih (anggota badan) dari nama iman, meskipun ia mengatakan wajibnya amalan-amalan wajib, haramnya keharaman-keharaman, dan menetapkan hukuman-hukuman (terhadap pelanggaran syari’at). Itu adalah perkataan Murji’ah Fuqahaa yang dikenal dan sekaligus diingkari para imam (Ahlus-Sunnah). Mereka (para ulama) telah menjelaskan penyimpangannya terhadap nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah” [selesai].
Jawaban beliau ini semisal dengan penjelasan dari Syaikh ‘Abdurrazzaaq bin ‘Abdil-Muhsin Al-‘Abbaad hafidhahullah.
Wallaahul-Musta’aan.
Sesak? enggak juga, berlebihan ah. Cuma kita butuh pandangan yang berimbang, agar enggak berat disatu sisi saja dan tidak mempertimbangkan hadits-hadits yang lain agar tidak menimbulkan ta'arudh antar dalil.
Tentang hadits Musnad Ahmad, 2/304 Tashihnya dari mana tadz? Dan kenapa hanya menyertakan faladz dari satu jalur? Karena mengumpulkan hadits yang sejenis dari jalan yang berbeda2 dapat memperjelas makna.
حدثنا أبو الوليد حدثنا أبو عوانة عن قتادة عن عقبة بن عبد الغافر عن أبي سعيد رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم أن رجلا كان قبلكم رغسه الله مالا فقال لبنيه لما حضر أي أب كنت لكم قالوا خير أب قال فإني لم أعمل خيرا قط فإذا مت فأحرقوني ثم اسحقوني ثم ذروني في يوم عاصف ففعلوا فجمعه الله عز وجل فقال ما حملك قال مخافتك فتلقاه برحمته وقال معاذ حدثنا شعبة عن قتادة سمعت عقبة بن عبد الغافر سمعت أبا سعيد الخدري عن النبي صلى الله عليه وسلم
6481/3478/7508Shohih Bukhari hadits No
Dalam kitab Silsilah hadits shohih oleh Syaikh Albani terdapat komentar terhadap hadits tersebut.
هذا رجل جهل بعض صفات الله عز و جل ، و هي القدرة، فلم يعلم أن الله على كل مايشاء قدير ، قالوا: ومن جهل صفة من صفات الله عز وجل ، و آمن بسائر صفاته و عرفها ؛ لم يكن بجهله بعض صفات الله كافراً
Ya Lelaki itu Jahil tentang sifat Kemahakuasaan alloh, sangat mungkin ia Jahil tentang syariat. Wajar jika ia tidak beramal. Padahal jelas2 perbuatannya adalah kekafiran yang nyata. Lagi pula jelas2 ia membakar dirinya dan menaburkan kelaut dan darat? ini jelas2 konyol...tidak ada contohnya. Menunjukkan ia jahil terhadap agama ushul dan furu'nya.
Orang itu hanya tau tauhid dan tidak mengtahui syariat. wajar karena jahil...Sementara Kejahilan merupakan mawani' terhadap Takfir. Lain halnya jika ia hidup ditengah tegaknya syariat islam, dan tegaknya iqomatul hujjah. Tentu ia akan dihalangi untuk membakar diri dan ditegakkan hujjah baginya..dan anak-anaknya juga tidak sejahil itu menjalankan wasiat yang pada asalnya kufur itu...
sementara hadits ini..
Islam akan terkikis sebagaimana hiasan baju yang terkikis sehingga tidak di ketahui apa itu puasa, apa itu shalat, apa itu ibadah ...yang tersisa adalah beberapa kelompok manusia yang telah lanjut usia dan lemah, mereka berkata, 'Kami menemui bapak-bapak kami di atas kalimat 'Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah', maka kami mengucapkannya".[Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 4049 dan Al-Haakim 4/473, shahih].
Mereka tidak beramal kecuali kalimat tauhid. Lah wajar karena sudah diangkat Ilmu. Sampai disebutkan "sehingga tidak tersisa di muka bumi satu ayat pun". Ini hadits tentang diangkatnya ilmu kedaan orang-orang yang ada dimasa hilangnya ilmu, tidak bisa diqiyaskan kepada keadaan manusia yang masih banyaknya ta'lim, masih banyak dai', masih tersebarnya buku2 islam, dan ajaran islam sampai kepada dirinya tentang kewajiban2 dan tatacaranya, sampai peringatan dan anjuran kepadanya.
Istidlal antum dengan hadits2 tersebut semakin menguatkan bahwa mereka tidak beramal lantaran JAHIL. Dan tidak bisa diterapkan secara mutlak dan diqiyaskan dengan orang-orang yang alim dan mampu mengerjakannya sementara ia meninggalkan seluruh amal. jelas itu aneh..
Jadi tolong saya bagaimana mendamaikan perkataan dengan ulama lain agar tidak bertabrakan. Tadz
العمل الظاهر لازم للعمل الباطن لا ينفك عنه وانتفاء الظاهر دليل انتفاء الباطن
(2) مجموع الفتاوى(7/553)
Amal Zhohir Mewajibkan bagi amal batin, (Keduanya) tidak dapat dipisahkan ketiadaan amal dhohir menunjukkan ketiadaan amal batin.
ومن الممتنع أن يكون الرجل مؤمنا إيمانا ثابتا في قلبه بأن الله فرض عليه الصلاة والزكاة والصيام والحج ويعيش دهره لا يسجد لله سجدة ولا يصوم من رمضان ولا يؤدي لله زكاة ولا يحج إلى بيته فهذا ممتنع ولا يصدر هذا إلا مع نفاق في القلب وزندقة لا مع إيمان صحيح
(1) مجموع الفتاوى (7/611
Apa mungkin syaikhul islam sedang salah berbicara ya? Mungkin Abu Gemini bisa Bantu saya menerangkan maksud syaikhul islam diatas. Kadang yang saya tangkap qoul ulama saling bertabrakan. Mungkin Abu Gemini yang panjang pikirannya bisa memberikan jalan keluar?
لا يتصور وجود إيمان القلب الواجب مع عدم جميع أعمال الجوارح بل متى نقصت الأعمال الظاهرة كان لنقص الإيمان الذي في القلب فصار الإيمان متناولا للملزوم واللازم وإن كان أصله ما في القلب وحيث عطفت عليه الأعمال فإنه أريد أنه لا يكتف بإيمان القلب بل لابد معه من الأعمال الصالحة
(2) مجموع الفتاوى (7/198).
Duh betul syaikh.....Tidak bisa dibayangkan ada orang yang memiliki Iman didalam hati namun meninggalkan seluruh amal jawarih.
فالعمل يصدق أن في القلب إيمانا وإذا لم يكن عمل كذب أن في قلبه إيمانا لأن ما في القلب مستلزم للعمل الظاهر وانتفاء اللازم يدل على انتفاء الملزوم
(1) مجموع الفتاوى(7/294).
Orang itu hanya tau tauhid dan tidak mengtahui syariat. wajar karena jahil...Sementara Kejahilan merupakan mawani' terhadap Takfir. Lain halnya jika ia hidup ditengah tegaknya syariat islam, dan tegaknya iqomatul hujjah. Tentu ia akan dihalangi untuk membakar diri dan ditegakkan hujjah baginya..dan anak-anaknya juga tidak sejahil itu menjalankan wasiat yang pada asalnya kufur itu...
sementara hadits ini..
Islam akan terkikis sebagaimana hiasan baju yang terkikis sehingga tidak di ketahui apa itu puasa, apa itu shalat, apa itu ibadah ...yang tersisa adalah beberapa kelompok manusia yang telah lanjut usia dan lemah, mereka berkata, 'Kami menemui bapak-bapak kami di atas kalimat 'Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah', maka kami mengucapkannya".[Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 4049 dan Al-Haakim 4/473, shahih].
Mereka tidak beramal kecuali kalimat tauhid. Lah wajar karena sudah diangkat Ilmu. Sampai disebutkan "sehingga tidak tersisa di muka bumi satu ayat pun". Ini hadits tentang diangkatnya ilmu kedaan orang-orang yang ada dimasa hilangnya ilmu, tidak bisa diqiyaskan kepada keadaan manusia yang masih banyaknya ta'lim, masih banyak dai', masih tersebarnya buku2 islam, dan ajaran islam sampai kepada dirinya tentang kewajiban2 dan tatacaranya, sampai peringatan dan anjuran kepadanya.
Istidlal antum dengan hadits2 tersebut semakin menguatkan bahwa mereka tidak beramal lantaran JAHIL. Dan tidak bisa diterapkan secara mutlak dan diqiyaskan dengan orang-orang yang alim dan mampu mengerjakannya sementara ia meninggalkan seluruh amal. jelas itu aneh..
Jadi tolong saya bagaimana mendamaikan perkataan dengan ulama lain agar tidak bertabrakan. Tadz
العمل الظاهر لازم للعمل الباطن لا ينفك عنه وانتفاء الظاهر دليل انتفاء الباطن
(2) مجموع الفتاوى(7/553)
Amal Zhohir Mewajibkan bagi amal batin, (Keduanya) tidak dapat dipisahkan ketiadaan amal dhohir menunjukkan ketiadaan amal batin.
ومن الممتنع أن يكون الرجل مؤمنا إيمانا ثابتا في قلبه بأن الله فرض عليه الصلاة والزكاة والصيام والحج ويعيش دهره لا يسجد لله سجدة ولا يصوم من رمضان ولا يؤدي لله زكاة ولا يحج إلى بيته فهذا ممتنع ولا يصدر هذا إلا مع نفاق في القلب وزندقة لا مع إيمان صحيح
(1) مجموع الفتاوى (7/611
Apa mungkin syaikhul islam sedang salah berbicara ya? Mungkin Abu Gemini bisa Bantu saya menerangkan maksud syaikhul islam diatas. Kadang yang saya tangkap qoul ulama saling bertabrakan. Mungkin Abu Gemini yang panjang pikirannya bisa memberikan jalan keluar?
لا يتصور وجود إيمان القلب الواجب مع عدم جميع أعمال الجوارح بل متى نقصت الأعمال الظاهرة كان لنقص الإيمان الذي في القلب فصار الإيمان متناولا للملزوم واللازم وإن كان أصله ما في القلب وحيث عطفت عليه الأعمال فإنه أريد أنه لا يكتف بإيمان القلب بل لابد معه من الأعمال الصالحة
(2) مجموع الفتاوى (7/198).
Duh betul syaikh.....Tidak bisa dibayangkan ada orang yang memiliki Iman didalam hati namun meninggalkan seluruh amal jawarih.
فالعمل يصدق أن في القلب إيمانا وإذا لم يكن عمل كذب أن في قلبه إيمانا لأن ما في القلب مستلزم للعمل الظاهر وانتفاء اللازم يدل على انتفاء الملزوم
(1) مجموع الفتاوى(7/294).
@anonim,……. akan saya rangkum sebagai berikut :
Namun sebelumnya, ada yang perlu saya koreksi sebagai berikut. Di komentar di atas tertulis :
Jawaban beliau ini semisal dengan penjelasan dari Syaikh ‘Abdurrazzaaq bin ‘Abdil-Muhsin Al-‘Abbaad hafidhahullah.
Ini keliru (salah tulis). Maksud saya adalah : Syaikh Ibraahiim Ar-Ruhailiy.
Ya, benar….. saya kira antum salah seorang yang merasa sesak atas bahasan ini. Sudah saya katakan pada artikel di atas bahwa yang saya tulis bukan bahasan tarjiih, akan tetapi bahasan mengenai khilaf di antara Ahlus-Sunnah. Jika antum merasa sewot dengan apa yang saya tulis di atas, bukankah itu sama artinya antum ingin mendakwa bahwa ini bukan khilaf di antara ulama Ahlus-Sunnah. Ada ruang lain yang mungkin dapat menampung kepandaian antum dalam pentarjihan masalah.
Jika antum menyorot perkataan saya tentang ‘sesak’, saya memahaminya bahwa ini ditujukan pada saat saya menyebutkan perkataan Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin Naashir Al-Barraak hafidhahullah. Terlihat jelas bahwa beliau – dengan keluasan ilmunya – telah menyebutkan bagaimana perbedaan pendapat di kalangan Ahlus-Sunnah. Dan sekali lagi, kok antum merasa sewot ? aneh. Padahal saya menuliskannya umum. Tidak tertuju khusus pada antum, dan masih sejalan dengan jiwa artikel di atas. Merasa tidak sepaham dengan beliau ya ? Kok jadi saya yang dijadikan kambing hitam….. Bukankah antum yang dari dulu memaksakan diri untuk menghukumi ‘Murji’ah’ orang-orang yang tidak sependapat dengan antum ?
Tentang hukum meninggalkan amal, sebenarnya juga telah ada dalam pembicaraan yang lampau. Mungkin ada baiknya jika saya tuliskan kembali bagaimana pendapat Asy-Syaikh Ibnu Baaz (dan dulu ini pernah antum tuliskan sendiri). Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah pernah ditanya sebagai berikut :
العُلماءُ الذينَ قَلوا بعدم كُفْرِ مَنْ تَرَكَ أَعمالَ الْجوارح - مع تَلَفُّظِهِ بالشهادتين، ووجودِ أصلِ الْإيمان القلبي؛ هل هم من المُرجئة ؟!
“Ulama yang berpendapat tidak kafirnya orang yang meninggalkan amal-amal jawaarih (anggota badan) yang bersamaan dengan orang tersebut mengucapkan dua kalimat syahadat dan keberadaan ashlul-iimaan di hatinya; apakah mereka (ulama tersebut) termasuk golongan Murji’ah ?”.
Beliau menjawab :
هذا من أهل السنة والجماعة؛ فمن ترك الصيام، أو الزكاة، أو الحج : لا شك أڽَّ ذلك كبيرة عند العلماء؛ ولكن على الصواب : لا يكفر كفرا أكبر.
أما تركُ الصلاة : فالراجح : أنه كافر كفرا أكبر إذا تعمد تركها.
وأما تركُ الزكاة والصيام والحج : فإنه كفر دون كفر.
“Mereka ini termasuk Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Barangsiapa yang meninggalkan puasa, zakat, atau haji; maka tidak diragukan bahwa hal itu termasuk dosa besar menurut para ulama. Akan tetapi yang benar dalam permasalahan ini : Tidak dikafirkan dengan kufur akbar (murtad).
Adapun permasalahan meninggalkan shalat, yang raajih : Ia dihukumi kafir akbar apabila sengaja meninggalkannya. Sedangkan meninggalkan zakat, puasa, dan haji; maka ia adalah kufrun duuna kufrin (kufur ashghar)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 28/144-145].
Perkataan ini sangat gamblang dan tidak perlu ta’wil macam-macam sebagaimana ta’wil-ta’wil baathil para mukhaalif yang banyak tersebar di internet – yang saya harap itu bukan menjadi panutan antum.
Lihatlah perkataan salah satu mujaddid abad yang mengatakan perselisihan ini adalah perselisihan di kalangan Ahlus-Sunnah – walau beliau menempuh jalan tarjih untuk menguatkan bahwa shalat termasuk bagian shihhatul-iimaan (karena orang yang meninggalkannya hukumnya kaafir).
Tentang Syaikhul-Islaam, maka tidak ada yang salah dalam pembicaraan beliau. Yang ada hanyalah antum salah paham atau bahkan (mungkin) tidak paham terhadap manhaj Syaikhul-Islaam dalam iman. Maaf jika saya katakan demikian. Jika dikatakan bahwa amal bathin mewajibkan amal dhahir; apakah ada relevansinya satu kewajiban pasti dihukumi kafir bagi orang yang meninggalkannya ? Kita tidak pernah mengatakan sekalipun bahwa amal dhahir itu tidak wajib. Ini namanya hujjah yang tidak nyambung. Persis dengan klaim copi paste antum sebagaimana yang lalu-lalu bahwa bahasan di sini sama dengan mengeluarkan amal dari cakupan iman. Ini sama sekali tidak nyambung. Perkataan Syaikhul-Islam yang menyatakan ketidakadaan iman pun langsung antum klaim sebagai ketiadaan iman secara keseluruhan alias kafir………
Tentang nukilan antum dalam Majmu' Al-Fataawaa (7/611), ngomong-ngomong antum sudah buka kitab itu belum ? Kalau sudah, bukankah dalam bab itu beliau sedang menerangkan khilaf di antara Ahlus-Sunnah tentang kekufuran orang yang meninggal rukun Islam yang empat ? Dan kalimat yang antum nukil itu adalah penjelasan dari sisi/pihak yang menetapkan kekufuran bagi orang yang meninggalkannya. Coba antum baca secara lebih luas di Kitaabul-Iimaan Al-Ausath.
Tentang nukilan antum dalam Majmu' Al-Fataawaa (7/198), bukankah beliau sedang menjelaskan al-iimaanul-waajib ? Tahukah antum makna peristilahan ini ? Al-Iimaanul-waajib itu merupakan martabat kedua setelah ashlul-iimaan. Coba antum cari penjelasan tentang ini....
Kembali......
Jika misal antum katakan bahwa amal dhahir itu wajib dan kafir bagi orang yang meninggalkannya; saya tanya kepada antum : “Amal dhahir apa yang jika ditinggalkan pelakunya dihukumi kafir ?”.
Jika antum menjawab : “Semua amal dhahir”; maka tidak syakk ini merupakan satu kesalahan.
Jika antum menjawab : ”Semua amal dhahir yang diwajibkan oleh syari’at”; maka tidak syakk pula ini merupakan kekeliruan. Bahkan inilah manhaj Khawarij. Ahlus-Sunnah telah sepakat bahwa seorang muslim tidak akan dikafirkan karena meninggalkan amal-amal yang diwajibkan selain rukun Islam yang lima.
Jika antum menjawab : ”Semua amal dhahir yang termasuk rukun Islam yang lima”; maka, bukankah antum sendiri mengetahui (semoga) bahwa para ulama Ahlus-Sunnah telah berbeda pendapat tentang permasalahan ini – kecuali dua kalimat syahadat.
Sealur dengan Syaikh Ibnu Baaz adalah Syaikhul-Islaam Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah yang berkata :
أركان الإسلام الخمسة : أولها الشهادتان، ثم الأركان الأربعة؛ إذا أقر بها وتركها تهاونا؛ فنحن وإن قاتلناه على فعلها، فلا نكفر بتركها.
والعلماء اختلفوا في كفر التارك لها كسلا من غير جحود، ولا نكفر إلا ما أجمع عليه العلماء كلهم؛ وهو الشهادتان.
“Rukun islam yang lima; yang pertama adalah dua kalimat syahadat, kemudian rukun yang empat. Barangsiapa yang mengikrarkannya namun meninggalkannya karena meremehkannya, meskipun kami memeranginya, namun kami kami tidak mengkafirkan orang yang meninggalkannya. Para ulama berbeda pendapat tentang kekufuran orang yang meninggalkan shalat karena malas tanpa pengingkaran. Kami tidak mengkafirkan kecuali apa yang telah disepakati seluruh ulama, yaitu dua kalimat syahadat” [Ad-Durarus-Saniyyah, 1/102].
Sangat jelas perkataan di atas bahwa beliau tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan amal-amal wajib yang termasuk rukun Islam yang lima kecuali syahadat. Dan dapat diambil faedah dari perkataan beliau ini bahwa hukum meninggalkan amal jawaarih merupakan perbedaan pendapat di kalangan ahlus-sunnah. Mereka hanya sepakat tentang kekafiran orang yang meninggalkan syahadatain saja.
Oleh karena itu, Syaikh ‘Abdul-Lathiif bin ‘Abdirrahmaan bin Hasan bin Muhammad bin ‘Abdil-Wahab memberikan kesimpulan :
والخلاصة؛ أن الخلاف في أعمال الجوارح : هل يكفر ؟ أو : لا يكفر : واقع بين أهل السنة.....
“Dan kesimpulannya, bahwasannya dalam permasalahan amal-amal anggota badan (a’maalul-jawaarih) : apakah mengkafirkan atau tidak mengkafirkan (bagi orang yang meninggalkannya); merupakan perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan Ahlus-Sunnah” [Ad-Durarus-Saniyyah, 1/479].
Kurang jelas apa yang dikatakan oleh Syaikh ‘Abdul-Lathiif di atas ? [apakah beliau dihukumi murji’ karena masih membuka ruang perbedaan pendapat tidak kafirnya orang yang meninggalkan amal-amal jawaarih ?].
Kemudian, perhatikan riwayat ‘Abdullah bin Syaqiiq :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ عَنْ الْجُرَيْرِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ الْعُقَيْلِيِّ قَالَ كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرَوْنَ شَيْئًا مِنْ الْأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلَاةِ
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Al-Mufadldlal, dari Al-Jurairiy, dari ‘Abdullah bin Syaqiiq Al-‘Uqailiy, ia berkata : “Para shahabat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melihat satu amalan dari amalan-amalan yang jika ditinggalkan menyebabkan kekafiran selain dari shalat” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2622; shahih].
Riwayat ini memberikan konsekuensi pemahaman bahwa di jaman shahabat – menurut ‘Abdullah bin Syaqiiq – seorang muslim tidak dikafirkan karena meninggalkan amal-amal hingga ia meninggalkan shalat (fardlu). Maksudnya, jika seseorang meninggalkan haji, zakat, dan puasa; namun ia masih mengerjakan shalat, maka ia tidak dikafirkan. Alasannya : Shalat merupakan kewajiban dhahir yang terbesar di sisi syari’at.
Dengan melihat riwayat tersebut, lantas dimana bagian dari jumhur ulama Ahlus-Sunnah yang tidak mengkafirkan orang meninggalkan shalat karena malas dengan tetap mengakui kewajibannya ? Perlu antum ketahui, ulama yang tidak mengkafirkan shalat, tentu ia lebih tidak akan mengkafirkan orang yang meninggalkan amalan wajib yang lebih rendah kedudukannya dari shalat, seperti zakat, puasa, haji, dan yang lainnya. Jika antum cerdas (dan saya yakin itu), maka antum akan menangkap esensi dari perkataan ini. Apa yang saya katakan ini merupakan bagian dari penjelasan Syaikh Ibraahiim Ar-Ruhailiy pada daurah beberapa tahun lalu di Jawa Timur.
Dan ini sangat berkorelasi dengan jawaban yang diberikan oleh Syaikh Ibnu Baaz di atas.
Melihat realitas ini, muncullah kemudian istilah-istilah muhdats di era belakangan : jinsul-‘amal. Dulu, perkataan ini muncul dari Safar Al-Hawaliy dalam bukunya Dhahiratul-Irja’ yang telah menuduh Syaikh Al-Albaaniy berpaham Murji’ah. Syaikh Al-Albaaniy telah membantahnya. Kemudian diikuti oleh Syaikh ‘Aliy Al-Halabiy dalam kitab Ad-Durarul-Mutalaaliah [punya saya : Maktabah Al-Furqaan, Cet. 1/1423 H]. Namun kemudian sebagian fudlalaa’ dari kalangan ahlul-ilmi menggunakan istilah muhdats tersebut yang kemudian dimanfaatkan oleh para mukhaalif untuk merusak barisan Ahlus-Sunnah. Jinsul-‘amal ini telah ‘membatasi’ amal dalam bahasan iman pada amal jawaarih, sehingga mereka mengatakan orang yang meninggalkan jinsul-‘amal ekuivalen dengan Murji’ah yang telah mengeluarkan amal dalam cakupan iman. Penjelasan Syaikh Al-Barraak yang telah saya sebutkan di atas sebenarnya telah mencukupi. Akan tetapi, baik kiranya saya sebutkan perkataan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Pernah ditanyakan kepada beliau bahwa ada yang mengatakan orang yang meninggalkan jinsul-‘amal adalah kafir, sedangkan orang yang meningalkan aahaadul-‘amal tidak kafir. Maka beliau menjawab :
من قال هذه القاعدة ؟! من قائلها ؟! هل قالها محمد رسول الله ؟! كلام لا معنى له! نقول : من كفره الله ورسوله فهو كافر، ومن لم يكفره الله ورسوله فليس بكافر، هذا هو الصواب.
أما جنس العمل، أونوع العمل، أو آحاد العمل، فهذا كله طنطنة لا فائدة منها.
“Siapa yang mengatakan kaidah ini ? Siapakah yang mengatakannya ? Apakah yang mengatakannya Muhammad Rasulullah ? Perkataan itu tidaklah mempunyai makna. Kami katakan : Barangsiapa yang dikafirkan Allah dan Rasul-Nya, maka ia kaafir; dan barangsiapa yang tidak dikafirkan Allah dan Rasul-Nya, maka tidak kafir. Inilah yang benar.
Adapun jinsul-‘amal, nau’ul-‘amal, atau aahaadul-‘amal, maka itu hanyalah ‘omong kosong’ yang tidak ad faedahnya” [Al-As-ilah Al-Qathariyyah - melalui perantaraan At-Ta’riifu wat-Tanbiah, Cet. 2].
Kembali pada Syaikhul-Islaam, tentang amal dalam iman; maka beliau berkata :
والمقصود هنا أن من قال من السلف: الإيمان قول وعمل، أراد قول القلب واللسان وعمل القلب والجوارح
“Dan yang dimaksudkan di sini dari perkataan salaf : ‘qaulun wa ‘amalun (perkataan dan perbuatan)’; yaitu perkataan hati dan lisan, serta amal hati dan anggota badan” [Al-Iimaan, hal. 137, takhriij : Al-Albaaniy; Al-Maktab Al-Islaamiy, Cet. 5/1416].
Ini membantah teori jinsul-‘amal. Dan yang dikafirkan oleh Ahlus-Sunnah dengan ijma’ adalah meninggalkan seluruh amal, bukan dibatasi dengan amal jawaarih - karena ia merupakan perselisihan di kalangan Ahlus-Sunnah sebagaimana telah berulang saya katakan, entah antum memperhatikan atau menganggapnya sebagai angin lalu.
Intinya, ketika Ahlus-Sunnah mengatakan bahwa iman itu adalah perkataan dan perbuatan, maka itu berarti perkataan hati dan lisan; serta perbuatan hati dan anggota tubuh. Inilah cabang-cabang iman yang dijelaskan para ulama dalam kitab-kitab mereka.
Kemudian, Ahlus-Sunnah juga berpendapat bahwa iman itu terbagi menjadi dua, yaitu pokok (ashl) dan cabang (far’). Pokok iman ini merupakan hal yang menyebabkan adanya iman itu sendiri dan sekaligus keabsahannya. Adapun cabang iman, maka ia merupakan penyempurna dan penjaga. Dan amal dhaahir/jawaarih, termasuk cabang iman, bukan pokok iman.
Al-Imam Ibnu Mandah berkata :
قال أهل الجماعة : الإيمان : الطاعات كلَّها، بالقلب، واللسان، وسائر الجوارح، غير أن له أصلا وفرعا.
فأصله المعرفة بالله، والتصديق له وبما جاء من عنده بالقلب واللسان، مع الخضوع له والحبِّ له والخوف منه والتعظيم له، مع ترك التكبير والاستنكاف والمعاندة، فإذا أتى بهذا الأصل فقد دخل في الإيمان، ولزمه اسمُه وأحكامه، ولا يكون مستكملا له حتى يأتي بفرعه، وفرعُه : المفترضُ عليه، أو : الفرائضُ، واجتناب المحارم
[al iman oleh ibnu mandah 1/331].
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
ولهذا قال علماء السنة في وصفهم [اعتقاد أهل السنة والجماعة]: إنهم لا يُكَفِّرون أحدًا من أهل القبلة بذنب، إشارة إلى بدعة الخوارج المكفرة بمطلق الذنوب، فأما أصل الإيمان الذي هو الإقرار بما جاءت به الرسل عن الله تصديقًا به وانقيادًا له، فهذا أصل الإيمان الذي من لم يأت به فليس بمؤمن؛
Ini adalah pernyataan beliau tentang apa yang disebut ashlul-iman dan peniadaan keimanan seseorang (baca : kafir) jika tidak mempunyai ashlul-iman. Keberadaan ashlul-imaan pada seseorang cukup membuat dia disebut sebagai seorang muslim. Ashlul-iamn itu adalah iqraar, tashdiiq, dan inqiyaad. Iqraar itu adalah amal lisaan, tashdiiq itu amal qalbu, dan inqiyaad itu amal qalbu [Majmu’ Al-Fataawaa, 7/638]. Ini bukan kalimat karangan saya atau sekedar penafsiran saya.
Selanjutnya beliau berkata :
والدين القائم بالقلب من الإيمان علمًا وحالًا هو الأصل، والأعمال الظاهرة هي الفروع، وهي كمال الإيمان.
فالدين أول ما يبنى من أصوله ويكمل بفروعه، كما أنزل اللّه بمكة أصوله من التوحيد والأمثال التي هي المقاييس العقلية، والقصص، والوعد، والوعيد، ثم أنزل بالمدينة ـ لما صار له قوة ـ فروعه الظاهرة من الجمعة والجماعة، والأذان والإقامة، والجهاد، والصيام، وتحريم الخمر والزنا، والميسر وغير ذلك من واجباته ومحرماته.
فأصوله تمد فروعه وتثبتها، وفروعه تكمل أصوله وتحفظها،
[Majmu’ Al-Fataawaa, 7/354].
Saya pikir antum bisa membaca perkataan beliau di atas.
Ahlus-Sunnah juga berpandangan bahwa iman itu bukan merupakan satu kesatuan utuh yang tidak terbagi-bagi yang jika hilang sebagiannya, maka hilang semuanya; atau jika telah tetap sebagiannya, maka tetap semuanya. Sebagaimana telah disebutkan bahwa iman itu terbagi menjadi pokok dan cabang. Pokok iman merupakan sesuatu yang wajib ada sehingga ia dinamakan muslim yang menyebabkan seseorang selamat dari kekekalan neraka, sedangkan keberadaan cabang iman menyebabkan seseorang selamat dari adzab neraka dan masuknya ia ke dalam surga tanpa ‘adzab. Lebih jelasnya, jika seseorang meninggalkan pokok iman, maka ia kafir. Dan jika meninggalkan cabang iman, maka ia akan diancam dengan adzab Allah di neraka. Ancaman itu sesuai dengan kadar atau jenis cabang iman yang ia tinggalkan.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
وأما من كان معه أول الإيمان، فهذا يصح منه؛ لأن معه إقراره في الباطن بوجوب ما أوجبه الرسول، وتحريم ما حرمه، وهذا سبب الصحة، وأما كماله فيتعلق به خطاب الوعد بالجنة والنصرة والسلامة من النار، فإن هذا الوعد إنما هو لمن فعل المأمور وترك المحظور، ومن فعل بعضا وترك بعضًا، فيثاب على ما فعله، ويعاقب على ما تركه، فلا يدخل هذا في اسم المؤمن المستحق للحمد والثناء، دون الذم والعقاب،
[Majmu’ Al-Fataawaa, 7/419].
ثم قالت الخوارج والمعتزلة: الطاعات كلها من الإيمان، فإذا ذهب بعضها ذهب بعض الإيمان، فذهب سائره فحكموا بأن صاحب الكبيرة ليس معه شيء من الإيمان. وقالت المرجئة، والجهمية: ليس الإيمان إلا شيئًا واحدًا لا يتبعض، إما مجرد تصديق القلب كقول الجهمية أو تصديق القلب واللسان كقول المرجئة قالوا: لأنا إذا أدخلنا فيه الأعمال صارت جزءًا منه، فإذا ذهبت ذهب بعضه، فيلزم إخراج ذي الكبيرة من الإيمان، وهو قول المعتزلة والخوارج، لكن قد يكون له لوازم ودلائل فيستدل بعدمه على عدمه.
[Majmu’ Al-Fataawaa, 7/510].
قلت: أحمد وأبو ثور وغيرهما من الأئمة كانوا قد عرفوا أصل قول المرجئة،وهو: أن الإيمان لا يذهب بعضه ويبقى بعضه، فلا يكون إلا شيئًا واحدًا فلا يكون ذا عدد؛ اثنين أو ثلاثة، فإنه إذا كان له عدد، أمكن ذهاب بعضه وبقاء بعضه، بل لا يكون إلا شيئًا واحدًا، ولهذا قالت الجهمية: إنه شيء واحد في القلب. وقالت الكرامية: إنه شيء واحد على اللسان، كل ذلك فرارًا من تبعض الإيمان وتعدده، فلهذا صاروا يناظرونهم بما يدل على أنه ليس شيئًا واحدًا
[Majmu’ Al-Fataawaa, 7/393-394].
Semoga antum dapat memahami perkataan Syaikhul-Islaam di atas.
Terkait dengan pembahasan sebelumnya, Ahlus-Sunnah berpendapat bahwa seseorang dikafirkan jika ia meninggalkan ashlul-iman. Ia tidak dikafirkan hanya karena meninggalkan far’ul-iman yang termasuk kamaalul-iman. Syaikhul-Islam berkata :
ومعلوم أن الإيمان هو الإقرار، لا مجرد التصديق. والإقرار ضمن قول القلب الذي هو التصديق، وعمل القلب الذي هو الانقياد ـ تصديق الرسول فيما أخبر، والانقياد له فيما أمر، كما أن الإقرار بالله هو الاعتراف به والعبادة له، فالنفاق يقع كثيرًا في حق الرسول، وهو أكثر ما ذكره الله في القرآن من نفاق المنافقين في حياته. والكفر هو عدم الإيمان، سواء كان معه تكذيب، أو استكبار أو إباء أو إعراض، فمن لم يحصل في قلبه التصديق والانقياد فهو كافر.
[majmu’ al-fatawaa, 7/638-639].
قلت: على أنه لو كان ضد الكفر بالله، فمن ترك الأعمال شاكرًا بقلبه ولسانه فقد أتى ببعض الشكر وأصله. والكفر إنما يثبت إذا عدم الشكر بالكلية. كما قال أهل السنة: إن من ترك فروع الإيمان لا يكون كافرًا، حتى يترك أصل الإيمان. وهو الاعتقاد. ولا يلزم من زوال فروع الحقيقة ـ التي هي ذات شعب وأجزاء ـ زوال اسمها، كالإنسان، إذا قطعت يده، أو الشجرة، إذا قطع بعض فروعها.
[majmu’ al-fataawaa].
Saya pikir, jika antum membaca dan paham dengan sebagian nukilan perkataan Ibnu Taimiyyah di atas, apa yang antum bincangkan itu terjawab. Perkataan-perkataan di atas sifatnya tafshiil. Adapun sebagian perkataan Ibnu Taimiyyah yang antum bawakan – baik dalam komentar di sini, di email, atu di chatting yang lalu – adalah perkataan-perkataan yang sifatnya umum.
Mungkin antum perlu memahami peristilahan ashlul-imaan, far’ul-imaan, shihhatul-iimaan, kamaalul-imaan, muthlaqul-iman, al-imaanul-waajib, dan al-imanul-mustahab. Dan maaf, nampaknya antum belum paham benar akan peristilahan-peristilahan ini sehingga sering salah paham dalam memahami perkataan Ibnu Taimiyyah, dan seenaknya saja menjustifikasi orang lain yang beda pandangan.
O iya, ada yang ketinggalan. Tentang nukilan antum di Majmu' Al-Fataawaa (7/294) - yaitu dalam Kitaab Al-Iimaanul-Kabiir, maka itu masih umum. Syaikhul-Islaam sedang berbicara kewajiban amal dhaahir. [Saya - sekali lagi - tidak pernah mengatakan tentang tidak wajibnya, coba antum perhatikan betul itu]. Kemudian, apa yang beliau nafikkan dalam hati jika seseorang meninggalkan amal dhaahir ? Apakah ashlul-iimaan ? ataukah al-iimaanul-waajib ? Jika antum membaca perkataan Syaikhul-Islaam yang saya sebutkan di atas, maka ada jawabannya. Juga, dalam kitab Al-Iimaanul-Kabiir, beliau juga telah banyak menjelaskannya kok.
Tentang hadits Abu Hurairah, maka awal perkataan saya adalah : Hadits itu telah dijadikan dasar sebagian ulama Ahlus-Sunnah (bukan saya semata – sebagaimana terisyarat dalam sebagian komentar antum) untuk tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan amal-amal jawaarih (termasuk shalat), dan ia selamat dari kekekalan neraka karena keberadaan tauhid di hatinya.
Tentang tashhiih Musnad Ahmad (2/304), maka itu banyak. Syaikh Al-Arna'uth, Syaikh Ahmad Syaakir, Syaikh Al-Albaaniy, dan yang lainnya. Dan saya sendiri juga telah memeriksa para perawinya sebagaimana antum bisa lihat. Mengenai mengapa saya tidak membawakan keseluruhan jalan, karena artikel ini bukan untuk membahas takhrij riwayat tersebut. Apapun itu, hadits dengan lafadh itu shahih dan menjadi hujjah. Termasuk tambahan lafadh : illat-tauhiid yang tidak terdapat dalam Shahih Al-Bukhaariy yang antum bawakan. Tidak ada perbedaan makna siginfikan. Justru riwayat Ahmad ini memperjelas riwayat yang dibawakan Al-Bukhaariy.
Selanjutnya,…. Jika antum mengatakan bahwa orang tersebut adalah bodoh sehingga punya kemungkinan besar tidak mengerti tentang syari’at-syari’at Allah - sehingga dimaknakan pengampunan Allah itu tidak semata-mata karena keberadaan tauhid walau ia meningalkan amal-amal kebaikan; maka perkataan antum sarat kritikan. Perbuatan dosanya yang menganggap Allah tidak mampu membangkitkannya setelah menjadi abu adalah satu hal; sedangkan pernyataan ia tidak pernah beramal kebaikan sedikitpun kecuali tauhid adalah hal lain. Jika ia bodoh/jahil dalam satu perkara (sebagian sifat Allah) apakah selalu mengkonsekuensikan bodoh/jahil pada hal yang lain ?. Justru ‘kemungkinan’ antum itulah yang butuh dalil. Dan justru karena nashnya umum, maka pemahamannya pun mengkonsekuensikan umum. Dan tidakkah antum membaca ’illat pengampunan Allah ta’ala terhadap orang tersebut ? Perhatikan baik-baik nashnya :
فَقَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَا ابْنَ آدَمَ مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا فَعَلْتَ قَالَ أَيْ رَبِّ مِنْ مَخَافَتِكَ قَالَ فَغُفِرَ لَهُ بِهَا وَلَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ إِلَّا التَّوْحِيدَ
Allah ‘azza wa jalla berfirman : 'Wahai anak Adam apa yang mendorongmu untuk berbuat begitu ?’. Dia menjawab : 'Wahai Rabb, aku melakukan begitu karena rasa takutku kepada-Mu'". Nabi bersabda : "Lalu Allah mengampuninya karena rasa takut tersebut, padahal ia tidak pernah melakukan perbuatan baik kecuali tauhid".
Jadi, illat utama dari pengampunan Allah itu adalah karena rasa takut orang tersebut kepada Allah ta’ala,meskipun ia tidak pernah beramal kebaikan sedikitpun. Bukan sekedar kejahilannya semata. ‘Illat pengampunan itu datang dengan penyebutan hukum beserta pertanyaan yang menyangkut objek pertanyaan. 'Illat hadits seperti ini dikenal dalam ushul fiqh.
Dan bukankah antum juga membaca – jika memang membaca Silsilah Ash-Shahiihah sebagaimana yang saya tunjukkan sebelumnya – para ulama berbeda pendapat tentang status kafir tidaknya orang yang jahil pada sebagian sifat Allah. Ibnu ‘Abdil-Barr menguatkan tidak kafirnya. Bagian kalimat yang antum nukil dalam Ash-Shahiihah itu merupakan bagian kecil dari perkataan Ibnu 'Abdil-Barr. Silakan baca keseluruhannya.
Pendek kata, alasan antum yang menjadikan kejahilan orang tersebut untuk menafikkan ketidaktahuan orang tersebut (sehingga ia tidak pernah beramal kebaikan sedikitpun kecuali tauhid) yang dengannya Allah mengampuninya; maka ini salah alamat. Menyalahi dhahir hadits.
Tentang hadits Hudzaifah bin Yamaan, maka sebenarnya ini telah saya jawab dengan mengambil faedah dari buku Hukmu Taarikish-Shalaah karya Syaikh Al-Albaaniy (jadi ini bukan jawaban yang saya karang-karang). Apa yang antum katakan itu core-nya merupakan jawaban dari Syaikh Ibnu 'Utsaimin dalam kutaib beliau. Memang benar Hudzaifah sedang menceritakan keadaan akhir jaman sebagaimana diceritakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bukannya itu tidak diketahui, karena telah manthuq dalam nash riwayat. Sisi pendalilannya adalah pertanyaan Shillah dan jawaban Hudzaifah. Saya ulang apa yang tertulis pada artikel di atas :
Hadits ini menunjukkan bahwa Hudzaifah berpendapat bahwa orang yang tidak melakukan shalat bermanfaat untuk menyelamatkannya dari kekekalan neraka. Jawaban yang diberikan Hudzaifah adalah jawaban yang bersifat umum. Seandainya kalimat tauhid secara asal tidak memberikan manfaat bagi orang yang meninggalkan shalat, puasa, zakat, dan haji itu – sebagaimana pemahaman Shilah bin Zufar, orang yang bertanya – niscaya Hudzaifah akan membenarkan pernyataan Shilah dengan berkata : “Benar wahai Shilah, akan tetapi ia adalah satu kaum yang diberi udzur karena ketidaktahuan mereka akan hukum-hukum tersebut” – atau yang semakna.
Semoga antum memahaminya.
Itu saja yang dapat saya tuliskan.
Sekali lagi, ini bukan bahasan tarjiih. Oleh karena itu, saya memang tidak berhajat menampilkan hujjah berlebih sebagian ulama yang mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan kesalahan sebagian orang-orang bodoh nan pandir yang menyangka bahwa bahasan kafir tidaknya orang yang meninggalkan shalat karena malas bukan khilaf di kalangan Ahlus-Sunnah. Saya sangat yakin, antum bukan salah satu di antaranya. Adapun tambahan keterangan tentang hukum meningalkan amal, maka saya jawab sesuai kebutuhan (saya telah buat artikel singkat tentang itu di : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/08/amal-dan-iman.html). Itu pun saya usahakan sependek mungkin (walau pada kenyataannya jadi panjang). Karena, nampaknya antum semangat sekali membuka bahasan ini untuk ‘menyalahkan’ orang lain (saya terutama - dari track record forum, imel, ataupun chatting) dan melempar dengan tuduhan Irjaa’ (baik secara terang-terangan maupun sindiran).
Wallaahul-Musta'aan.
Ya responnya di e-mail,
1. Adakah dalil yang mengatakan bahwa muslimin dalam suatu kampung akan berdosa jika tidak ada satupun dari mereka yang adzan di masjid? Jika ada tolong dibahas.
2. Bagaimana dengan keadaan kami yang tinggal di lingkungan kristen, masjid di sini berada di kampung kristen dan tidak ada muslimin yang tinggal berdekatan dengannya karena muslimin di sini tinggal menyebar di luar kampung kristen tempat masjid berada (masjid ini satu-satunya dalam satu pulau), jika tidak ada yang adzan apakah kami berdosa?
Baarakallohufiikum,,,1. Adakah dalil yang mengatakan bahwa muslimin dalam suatu kampung akan berdosa jika tidak ada satupun dari mereka yang adzan di masjid? Jika ada tolong dibahas.
2. Bagaimana dengan keadaan kami yang tinggal di lingkungan kristen, masjid di sini berada di kampung kristen dan tidak ada muslimin yang tinggal berdekatan dengannya karena muslimin di sini tinggal menyebar di luar kampung kristen tempat masjid berada (masjid ini satu-satunya dalam satu pulau), jika tidak ada yang adzan apakah kami berdosa?
Baarakallohufiikum,,,
1. Sebagian ulama mengatakan bahwa shalat dan syi'ar adzan adalah fardlu kifaayah dengan dalil :
عن أنس بن مالك قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يغير إذا طلع الفجر وكان يستمع الأذان فإن سمع أذانا أمسك وإلا أغار
Dari Anas bin Malik radliyallaahu ’anhu ia berkata : ”Adalah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam apabila hendak menyerang satu daerah ketika terbit fajar. Beliau menunggu suara adzan, jika beliau mendengar suara adzan maka beliau menahan diri. Namun jika beliau tidak mendengar, maka beliau menyerang” [HR. Muslim no. 382].
Adzan ini untuk membedakan negeri muslim dan negeri kafir.
2. Jika adzan suaranya diperdengarjan di luar masjid menimbulkan mafsadat, maka cukup adzan dikumandangkan di dalam masjid saja.
wallaahu a'lam.
[maaf, jawabannya terlewat beberapa bulan].
Tulisan antum baik sekali dan menunjukkan kesungguhan dalam mencari kebenaran ilmiah, wal hamdulillah itu adalah sesuatu yang kita semua patut syukuri dan tiru jika mampu. Saya berharap semoga Alloh memberi saya kemampuan menulis seperti antum..
Tentang hadits وَلَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ إِلَّا التَّوْحِيدَ
Diceritakan bahwa orang tersebut adalah kaum sebelum kaum muslimin, dan antum mengatakan bahwa mereka juga dibebani hukum syariat tentang sholat.
Tapi dapatkah di qiyaskan dengan sholat yang dilakukan oleh kaum muslimin, dimana syariat mereka berbeda dengan syariat kaum muslimin. Apakah hukum-hukum yang terkait dengan sholat mereka sama dengan hukum yang diberlakukan kepada kaum muslimin? Bukankah setiap ummat memiliki hukum tersendiri ? Bukankah syariat islam menghapus ketetapan-ketetapan syariat terdahulu? Terutama pada perkara yang jelas-jelas syariat kita memberi ketetapkan yang berbeda dengan syariat ummat-ummat terdahulu?
Apakah sama hukum meninggalkan sholat ummat terdahulu dengan hukum meninggalkan sholat kaum muslimin? Sementara ketetapan syariat ummat islam telah menetapkan hukum tersendiri yakni :
بين العبد والشرك ترك الصلاة ، فمن ترك الصلاة فقد كفر
Bukankah jika terjadi perbedaan dan perselisihan antara ketetapan hukum ummat-ummat terdahulu dengan hukum islam yang datang belakangan maka hukum islam menjadi nasikh dan hukum terdahulu dimansukh. Artinya keadaan lelaki tersebut yang ia meninggalkan sholat tidak bisa di qiyaskan secara hukum kepada kaum muslimin yang meninggalkan sholat karena terdapat berbeda hukum syariat dari masing-masing ummat.
Mohon koreksinya jika ada keganjilan dan kekeliruan dalam pendapat saya ini.Mohon Maklum saya hanya orang yang baru belajar,
Tentang perkataan hudzaifah akan adanya suatu kaum yang tidak mengenal hukum islam kecuali kalimat tauhid. Tapi bukankah konteks hadits ini sudah keluar dari mahalun niza’ (konteks yang di perselisihkan) yakni orang yang sengaja meninggalkan sholat dalam keadaan mampu dan tau hukum sholat. Illah hukumnya kan sengaja meninggalkan sholat bukan jahil? Saya rasa pendalilan dari sisi hadits ini agak jauh dari pembahasan.
Dan justru para sahabat atau salaf tidak ada yang memahami nash kufr meninggalkan sholat sebagaimana kholaf memahaminya yakni kufur nikmat atau kufur dunna kuffrin (setidaknya ibnu taimiyah berpendapat begitu). Jadi pendapat Hudzaifah itu bukan dalam konteks hukum meninggalkan sholat secara sengaja...
Dan tentang hadits syafaat, kaum muslimin dengan syariat barunya tentang hukum meninggalkan sholat di khususkan dari keumumman lafadz lam ya’mal khoiran koth. Karena sangat memungkinkan itu hanya terjadi pada kaum-kaum terdahulu, dan kaum muslimin di khususkan dengan syariat sholat dan hukum meninggalkan sholat yang berbeda yang dibuktikan oleh hadits nabi. Karena nabi membawa hukum sholat yang berbeda dengan kaum-kaum terdahulu sebagaimana beda dalam menghukumi orang yang meninggalkan sholat.
wallahu'alam
Hadits itu disampaikan oleh Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam yang jika tidak tidak ada dalil yang mengkhususkan hukumnya untuk kaum tertentu, maka itu juga berlaku umum bagi kaum muslimin. Dan dalam hal ini, dalil itu tidak ada.
Yang jadi permasalahan adalah : Apakah meninggalkan shalat termasuk kekafiran yang mengancam pelakunya pada kekekalan neraka ?. Jika kita mengambil hukum dalam hadits ini, maka jawabnya tidak, karena di situ disebutkan adanya satu kaum yang tidak pernah beramal kebaikan sedikit pun selain dari ketauhidan dalam hatinya. Begitulah yang dijelaskan oleh para ulama kita seperti Al-Marwaziy, Ibnu Taimiyyah, Ibnu 'Abdil-Barr, Ibnu Rajab, dan yang lainnya.
Tentang hadits Hudzaifah radliyallaahu 'anhu saya bawakan untuk menunjukkan tidak benarnya klaim ijma' di kalangan shahabat akan kekafiran orang yang meninggalkan shalat. Jika antum perhatikan, perkataan Shillah bin Zufar menunjukkan pemahamannya (yaitu pemahaman Shilah) bahwa kalimat tauhid tidak banyak bermanfaat jika tidak mengerjakan shalat, puasa, haji, dan shadaqah. Dan kemudian Hudzaifah menjawab berdasarkan pemahaman Shilah tersebut bahwa kalimat tauhid itu tetap bermanfaat dan akan menyelamatkan mereka dari kekekalan neraka. Jadi yang menjadi titik kritis bukanlah tentang kejadian di akhir jamannya, akan tetapi jawaban Hudzaifah atas apa yang dipahami Shilah bahwa kalimat tauhid tidak bermanfaat tanpa shalat, puasa, dan zakat.
Baik kita fahami bahwa nash itu bersifat umum dan ia tetap dalam keumumannya sampai ada dalil yang mengkhususkan.
Tapi ada beberapa dalil yang menyatakan kekhususan dari syariat tiap ummat (ini secara umum).
(Al-maidah : 48)لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
untuk tiap-tiap umat diantara kamu[422], Kami berikan aturan dan jalan yang terang.
Mengomentari hadits ini Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan
وأما الشرائع فمختلفة في الأوامر والنواهي، فقد يكون الشيء في هذه الشريعة حراما ثم يحل في الشريعة الأخرى، وبالعكس، وخفيفًا فيزاد في الشدة في هذه دون هذه.
Adapun syariat-syariat (bagi tiap-tiap ummat) maka ia berbeda baik dalam perintah dan larangan, terkadang sesuatu menjadi haram di syariat islam dan halal dalam syariat terdahulu. Atau sebaliknya lebih ringan atau lebih keras pada syariat islam dan tidak pada syariat lainnya.(tafsir ibnu katsir)
Setidaknya ini adalah dalil umum tentang berbedanya hukum-hukum syar’i pada setiap ummat. Bahkan halal dan haram saja berbeda.. Jadi ini dalil umum yang menjadi landasan Pendapat bahwa syariat orang yang membakar dirinya menjadi abu itu dalam hadits ibnu sirin berbeda dengan syariat islam. Dan itu sangat memungkinkan had dan hukum yang diberlakukan juga berbeda bagi setiap syariat dalam satu kasus hukum.
Dan dalil khusus tentang kekhususan hukum sholat yang membedakan dengan umat terdahulu adalah dalil-dalil tentang kufurnya orang yang meninggalkan sholat: ini
إن بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة
Antara seseorang antara kesyirikan dan kekafiran menginggalkan sholat
"العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة ، فمن تركها فقد كفر
Perjanjian antara kita dan mereka adalah sholat, barang siapa yang meninggalkannya maka ia telah kafir.
Dan dalil-dalil lainnya.
Hukum yang ditetapkan oleh nabi kepada ummat islam tentunya berbeda dengan hukum yang ditetapkan nabi musa atau nabi-nabi sebelumnya. Karenanya dalil-dalil kufur meninggalkan sholat adalah khusus bagi kaum muslimin dan mengkhususkan syariat islam dari syariat-syariat sebelumnya. Sebagaimana kaidah
الخاص مقدم على العام
Yang nash khusus didahulukan dari yang nash umum.
Jadi hukum meninggalkan sholat bagi kaum muslimin berbeda dengan hukum dari ummat-ummat terdahulu dengan dalil ancaman kekufuran bagi pelakunya dari nabi yang tentunya di tujukan bagi ummat islam bukan umat selainnya. Dan tidak ada dalil yang menunjukkan ancaman dan hukum yang sama bagi ummat terdahulu.
Jadi kaum muslimin di keluarkan dari keumuman hadits tersebut. Wallahu alam.
Dan tentang ibnu taimiyah nampaknya beda pendapat dengan pendapat yang antum bawakan. Kan antum tau sendiri ibnu taimiyah tetap menguatkan pendapat mahzab hambali dalam masalah kufur meninggalkan sholat.
Tentang Hadist Hudzaifah jika digunakan untuk membatah adanya ijma dikalangan sahabat tentang kufur meninggalkan sholat. Mungkin ada yang perlu saya utarakan. Saya katakan bahwa hadits Hudzaifah ibnul yaman tidak bisa dibawa ke hukum yang mutlak yakni orang yang meninggalkan sholat dalam keadaan yang wajar, karena ia terkait dengan keadaan dan kondisi yang khusus pada waktu itu yakni telah hilangnya ilmu. Jadi jawaban Hudzaifah adalah bersifat muqoyyad terikat pada kondisi bukan mutlak.
Jadi kalimat tauhid pada waktu itu berguna bagi pengucapnya “ ingat pada waktu itu”, dan belum tentu sama hukumnya jika ada dalam kondisi yang lazim atau normal (karena hukum dalam keadaan tidak lazim seperti keadaan darurat dan semisalnya atau adanya mawani’ adalah berbeda dengan kondisi normal dan tanpa adanya mawani’). ingat illah hadits ini adalah ketika dianggkatnya ilmu Ini kondisi yang tidak lazim, dan hukum dapat berubah dengan perbedaan kondisi. Jadi Hudzaifah tidak bicara dalam konteks yang mutlak. Karena hukumnya sudah Naql minal Asl. Jika ditanya hukum asal dari perbuatan meninggalkan sholat tanpa ada mawani’nya tentu berbeda. Dan ingat bahwa ada kaidah yang anggaplah agak mirip dengan kasus hukum ini bahwa hukum menjadi luas dalam keadaan sempit dan menjadi sempit dalam keadaan lapang.
Jadi tidak bisa digunakan hadits hudzaifah dalam konteks membantah pendapat tentang ijma sahabat tentang kafirnya orang yang meninggalkan sholat. Karena hadits hudzaifah adalah bersifat khusus dan muqoyyad pada keadaan yang tidak lazim. Dan Ijma bersifat mutlak dan dalam kondisi yang lazim atau normal. Jadi ga saling bersebrangan
Wallahu’alam
Anda tidak bisa mengatakan bahwa kekufuran orang yang meninggalkan shalat adalah mengkhususkan hadits syafa'at. Tidak ada dalil yang melandasi perkataan anda. Selain itu, tidak ada yang ulama terdahulu - sependek pengetahuan saya - yang memahaminya seperti Anda. Termasuk Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Saya kira, Anda dan saya tidak perlu menghakimi perkataan Ibnu Taimiyyah rahimahullah, karena beliau akan menjelaskan sendiri bagaimana pendapatnya tentang orang yang tidak pernah beramal kebaikan sedikitpun (kecuali tauhiid) :
من اعتقد أن الإنسان لا ينتفع إلا بعمله فقد خرق الإجماع وذلك باطل من وجوه كثيرة". ثم ذكر من هذه الوجوه قوله : "خامسها أن الله تعالى يخرج من النار من لم يعمل خيراً قط بمحض رحمته، وهذا انتفاع بغير عملهم
"Barangsiapa yang berkeyakinan bahwasannya manusia tidak dapat memperoleh manfaat kecuali dengan amalnya saja, sungguh ia telah mengoyak ijma'. Dan hal itu bathil dalam banyak sisi........... Dan kelima, bahwasannya Allah ta'ala akan mengeluarkan dari neraka orang yang tidak pernah beramal kebaikan sedikit pun dengan rahmat-Nya. Dan ini merupakan pengambilan manfaat tanpa amal yang diperbuatnya" [At-Takhwiif minan-Naar, hal. 257].
Yang patut menjadi catatan di sini adalah bahwasannya Ibnu Taimiyyah rahimahullah tetap taslim pada dhahir hadits meskipun ia berpendapat tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Mengapa ?. Dhahir hadits tersebut sangat jelas dan tidak bisa dita'wil serta dipalingkan kepada makna lain. Dan ingat, di situ Ibnu Taimiyyah rahimahullah sedang menjelaskan perkara 'aqidah Ahlus-Sunnah !.
Sekali lagi, kita tidak perlu menta'wil macam-macam ya.... karena penjelasan Ibnu Taimiyyah rahimahullah sudah terlampau jelas untuk dapat dipahami.
Adapun hadits tentang orang yang tidak pernah beramal kebaikan sedikit pun itu ada beberapa jalur sanad yang tidak semuanya bercerita tentang orang yang menyuruh anaknya untuk membakar dirinya (dimana itu diceritakan orang dari Bani Israaiil). Lihat saja hadits Abu Sa'iid Al-Khudriy yang panjang di atas. Jika hadits itu adalah umum, maka biarkanlah dalam keumumannya. Selaras pula dengan hadits bithaqah :
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ إِسْحَاقَ الطَّالْقَانِيُّ، حَدَّثَنَا ابْنُ مُبَارَكٍ، عَنْ لَيْثِ بْنِ سَعْدٍ، حَدَّثَنِي عَامِرُ بْنُ يَحْيَى، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ العاص، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَسْتَخْلِصُ رَجُلًا مِنْ أُمَّتِي عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَيَنْشُرُ عَلَيْهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ سِجِلًّا، كُلُّ سِجِلٍّ مَدَّ الْبَصَرِ، ثُمَّ يَقُولُ لَهُ: أَتُنْكِرُ مِنْ هَذَا شَيْئًا؟ أَظَلَمَتْكَ كَتَبَتِي الْحَافِظُونَ؟ قَالَ: لَا، يَا رَبِّ، فَيَقُولُ: أَلَكَ عُذْرٌ، أَوْ حَسَنَةٌ؟ فَيُبْهَتُ الرَّجُلُ، فَيَقُولُ: لَا، يَا رَبِّ، فَيَقُولُ: بَلَى، إِنَّ لَكَ عِنْدَنَا حَسَنَةً وَاحِدَةً، لَا ظُلْمَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ، فَتُخْرَجُ لَهُ بِطَاقَةٌ، فِيهَا أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، فَيَقُولُ: أَحْضِرُوهُ، فَيَقُولُ: يَا رَبِّ، مَا هَذِهِ الْبِطَاقَةُ مَعَ هَذِهِ السِّجِلَّاتِ؟ ! فَيُقَالُ: إِنَّكَ لَا تُظْلَمُ، قَالَ: فَتُوضَعُ السِّجِلَّاتُ فِي كَفَّةٍ، قَالَ: فَطَاشَتْ السِّجِلَّاتُ، وَثَقُلَتْ الْبِطَاقَةُ، وَلَا يَثْقُلُ شَيْءٌ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ "
Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Ishaaq Ath-Thaalaqaaniy : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Mubaarak , dari Laits bin Sa’d : Telah menceritakan kepadaku ‘Aamir bin Yahyaa , dari Abu ‘Abdirrahmaan Al-Hubuliy , ia berkata : Aku mendengar ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Aash berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla kana membebaskan seseorang dari umatku di hadapan seluruh makhluk pada hari kiamat. Lalu dibukakan kepadanya sembilanpuluh sembilan catatan amal. Setiap catatan sejauh mata memandang. Allah berfirman : ‘Apakah ada yang engkau ingkari dari semua hal ini ?. Apakah pencatatan-Ku (malaikat) itu telah mendhalimimu ?’. Orang itu berkata : ‘Tidak, wahai Tuhanku’. Allah berfirman : ‘Apakah engkau mempunyai ‘udzur/alasan atau mempunyai kebaikan ?’. Orang itu pun tercengang dan berkata : ‘Tidak wahai Rabb’. Allah berfirman : ‘Bahkan engkau di sisi kami mempunyai satu kebaikan’. Tidak ada kedhaliman terhadapmu pada hari ini’. Lalu dikeluarkanlah padanya sebuah kartu (bithaqah) yang tertulis : Asyhadu an Laa ilaaha illallaah wa anna Muhammadan ‘abduhu wa Rasuuluh (aku bersaksi bahwasannya tidak ada tuhan yang berhak diibadahi selain Allah, dan aku bersaksi bahwasannya Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya). Allah berfirman : ‘Perlihatkan kepadanya’. Orang itu berkata : ‘Wahai Rabb, apalah artinya kartu ini dengan seluruh catatan amal kejelekan ini ?’. Dikatakan : ‘Sesungguhnya engkau tidak akan didhalimi”. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Lalu diletakkanlah catatan-catatan amal kejelekan itu di satu daun timbangan. Ternyata catatan-catatan itu ringan dan kartu itulah yang jauh lebih berat. Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat daripada nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 2/213; shahih].
Sisi pendalilannya hadits bithaqah adalah : Orang tersebut merupakan umat Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam dimana di hari kiamat ia tidak mempunyai satu amal kebaikan yang dapat memperingannya di hari penghisaban, kecuali tauhid. Seandainya orang tersebut mempunyai kebaikan amalan shalat yang bermanfaat baginya, niscaya Allah ta'ala akan menyebutkan. Allah ta'ala tidak dhalim terhadap hamba-Nya. Dan Allah tidaklah akan pernah lupa.
Nash ini shahih dan sharih penunjukkannya.
Saran saya, bukalah penjelasan para ulama sehingga anda tidak terlampau jauh dalam memberikan penafsiran.
Tentang hadits Hudzaifah, tidak ada penambahan esensial dari saya, karena telah jelas. Sudah saya katakan bahwasannya hadits Hudzaifah itu menunjukkan pemahaman Hudzaifah sendiri, dimana Hudzaifah menjawab apa yang dipahami Shilah saat itu. Jadi perkaranya bukan masalah itu terjadi di akhir jaman sebagaimana perkataan anda. Tapi sekali lagi, bagaimana jawaban Hudzaifah atas pemahaman Shilah yang berpendapat kalimat tauhid tidak bermanfaat tanpa adanya shalat, puasa, dan ibadah yang lainnya. Dalam kitab Hukmu Taarikish-Shalaah karya Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah telah dijelaskan hal itu.
Dan riwayat yang membatalkan klaim ijma' ini bukan hanya dari Hudzaifah saja. Tapi ada dari Salmaan Al-Faarisiy dan Tamiim Ad-Daariy radliyallaahu 'anhumaa.
Pembahasan ijma' ini tidaklah sesederhana sebagaimana dikatakan sebagian orang. Tapi harus dilihat dan dicermati, klaim ijma' ini dinisbatkan pada siapa dan bagaimana gambaran ijma'-nya. Ada yang mengatakan bahwa ijma' kekafiran orang yang meninggalkan shalat di kalangan salaf itu adalah jika meninggalkan secara keseluruhan. Ini keliru. Insya Allah akan sedikit saya bahas sebentar lagi.
NB : Tentang hadits inna bainar-rajuli....dst dan al-'ahdul-ladzii bainanaa...dst.; maka sebenarnya telah dibahas para ulama. Jangan katakan bahwa salaf tidak pernah ada yang menafsirkan kekufuran di situ adalah kufur ashghar. Ini keliru. Oleh karena itu, membahas hukum orang yang meninggalkan shalat itu luas dan tidak bisa dituliskan dalam satu majelis. Semoga lain kali bisa saya tuliskan.
Assalamu'alaykum,
Bismillah
Afwan yaa akh, bukan bermaksud mengkritisi ke-ilmiyahan artikel di atas,
tapi apa tidak sebaiknya antum menahan diri untuk membahas kafir/tidak-nya orang yang meninggalkan shalat karena sengaja ?
ana khawatir, manusia akan bermudah-mudahan di dalam beramal ya akhi.
antum pasti tahu bagaimana kondisi kaum muslimin pada saat ini,
tanpa mereka mengetahui riwayat-riwayat di atas,
sebagian dari mereka bermudah-mudahan dalam perkara -shalat- ini,
ada yang shalat kadang-kadang, bahkan ada yang tidak shalat sama sekali,,
atau, mungkin antum bisa mengimbanginya dengan artikel ilmiah lain,
mengenai ancaman-ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat
Barakallahu fiik
Assalamu'alaykum
Artikelnya dan ulasanyya di komentar sangat bagus ustadz.. mashaAllah, memang hal ini perlu untuk menepis orang2 yg suka memurji'ahkan ahlus sunnah.. saya setuju..
Saya jg setuju saran ahk orang awam.. mungkin buat orang yg masih awam / muallaf artikel ini malah bisa backfire.. ada baiknya jika diimbangi dgn ancaman yg mungkin bisa disisipkan di ujung2 artikel yg semacam ini.. mudah2an ini dipandang sebagai kritik yg konstruktif terhadap penulisan artikel shg bisa memberi manfaat yg lebih dr yg sudah ada..
Jika diamati maka kita temui hadits-hadits dari kubu yang menetapkan tidak kufurnya meninggalkan sholat mendasarkan diri pada hadits yang bersifat umum tentang tauhid, bitoqoh atau hadits tentang syafaat Yakni di keluarkannya ahli tauhid dari neraka. Jika kita perhatikan tentang Hadits syafaat maka ini sangat umum yakni meliputi seluruh kaum dan ummat baik terdahulu maupun yang akan datang baik dari ummat nabi nuh, musa dan ummat islam karena nashnya tidak memberikan batasan. Dan dari segi Lafadz “tidak memiliki amal kebaikan sedikitpun” juga sangat umum yakni meliputi seluruh amal baik yang besar maupun kecil, yang wajib maupun yang mustahab. Sangat Jelas bahwa nash ini Sangat umum. Jadi tidak bisa di ingkari bahwa nash ini adalah jenis nash yang umum.
Sementara hadits yang menunjukkan tentang kufurnya orang yang meninggalkan sholat adalah bersifat khusus hanya berbicara tentang sholat secara khusus bahkan khusus hanya pada hukum meninggalkan sholat. Jadi jelas lebih rinci dan tafsil. Jika kita bicara tentang fiqh maka tempat kembalinya pada dalil-dalil yang tafsil dan rinci. (* tolong ini fiqh dan ijtihadi sifatnya saya harap tidak di geret ke ranah aqidah)
1)karenanya masuk dalam kaidah
الخاص مقدم على العام
Yang nash khusus didahulukan dari yang nash umum.
2) Jika dalil-dalil tentang kufurnya meninggalkan sholat ditetapkan hukumnya yakni bahwa orang yang meninggalkan sholat adalah murtad, Maka ia tidak termasuk dalam keumuman hadits syafaat. Karena syafaat hanya milik orang-orang yang masih didalam keislaman atau tauhid, maka bagi fihak yang mengatakan kufur meninggalkan sholat. Maka orang yang tidak sholat tidak termasuk dalam keumuman hadits tersebut. Dalilnya jelas
"العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة ، فمن تركها فقد كفر
“Perjanjian antara kita dan mereka adalah sholat barang siapa meninggalkannya maka ia telah kafir”.
Dari kubu yang mengkafirkan maka jika seseorang telah keluar dari islam akibat meninggalkan sholat maka orang yang sudah kufur tidak masuk dalam keumuman hadits syafaat. Ini konsistensi dari mahzab yang mengkafirkan orang yang meninggalkan sholat.
3) Maka lafadz “lam ya’mal khairan koth” tidak difahami sebagai orang yang meninggalkan sholat dikala sudah datang dan tegak kewajiban sholat dan hukum kufur atau murtad bagi orang yang meninggalkan sholat, anda bisa cari ini pendapat ini di ulama mutaakhirin ada kok. Karena nash tentang kufurnya meninggalkan sholat adalah khusus dan mengkhususkan keumuman hadits tentang syafaat atau bitoqoh.
4) Selain itu Pendapat tidak kufurnya meninggalkan sholat bersifat mafhum diambil dari keumuman makna hadits tidak beramal sedikitpun atau hanya memiliki amal kartu berisikan kalimat laa illa ha illallah. Yang mafhumnya adalah jika ia tidak beramal sedikitpun kecuali tauhid maka masuk dalam keumuman ini adalah sholat maka tentu ia tidak sholat. Maka ini jelas mafhum dari hadits bukan manthuq.
Sementara Nash tentang kufur meninggalkan sholat adalah manthuq. Dan kaidahnya
المنطوق مقدم على المفهوم
Nash yang manthuq didahulukan dari nash yang mafhum.
أنا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى ، عَنْ سُفْيَانَ ، عَنِ الأَعْمَشِ ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ ، عَنْ جَابِرٍ ، عَنِ النَّبِيِّ قَالَ : " بَيْنَ الإِيمَانِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاةِ "
Dari ubaidullah bin Musa, dari sofyan dan al-a’mas dari abi sofyan dari jabir dari nabi shalallahu alaihi wa salam. “Antara iman dan karir adalah meninggalkan sholat”
nash ini menunjukkan bahwa sholat menjadi pemisah antara iman dan kufur simak penjelasan ibnu taimiyah.
بين الإيمان و في بعضها بينه و بين الكفر و هذا كله يقتضي إن الصلاة حد تدخله إلى الإيمان إن فعله و تخرجه عنه إن تركه
شرح العمدة 82/4
5) Nabi selalu menyandarkan Alif Lam Ma’rifah yang menunjukkan bahwa kufur atau syirik didalam nash adalah yang ma’ruf yang menunjukkan kuffur akbar. Ini penjelasan ibnu taimiyah
إن ذلك الكفر منكر مبهم مثل قوله و قتاله كفر هما بهم كفر و قوله كفر بالله و شبه ذلك و هنا عرف باللام بقوله ليس بين العبد و بين الكفر أو قال الشرك و الكفر المعروف ينصرف إلى الكفر المعروف و هو المخرج عن الملة
6) Dan asal dari nash adalah pada zhohirnya dan tidak boleh membawa pada makna majaz kecuali dengan dalil. Karenanya antum telah kutip sendiri pendapat para sahabat nabi
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ عَنْ الْجُرَيْرِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ الْعُقَيْلِيِّ قَالَ كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرَوْنَ شَيْئًا مِنْ الْأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلَاةِ
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Al-Mufadldlal, dari Al-Jurairiy, dari ‘Abdullah bin Syaqiiq Al-‘Uqailiy, ia berkata : “Para shahabat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melihat satu amalan dari amalan-amalan yang jika ditinggalkan menyebabkan kekafiran selain dari shalat” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy, no. 2622; shahih].
Jelas mereka memahami nash tentang kufur meninggalkan sholat sesuai dengan zhohir nash dan tidak memalingkannya pada makna majaz. Dan tidak ada di zaman sahabat yang memahami tarkus sholah di ikat dengan juhud. Atau memahami makna kafir sebagai kufur nikmat atau kufrun dunna kufrin namun para sahabat tetap memahami nash tersebut pada zhohirnya. Dan antum telah kutip juga dari pemahaman yang beredar di zaman sahabat
سَمِعْتُ إِسْحَاقَ، يَقُولُ: قَدْ صَحَّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ: أَنَّ تَارِكَ الصَّلاةِ كَافِرٌ، وَكَذَلِكَ كَانَ رَأْيُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ لَدُنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ إِلَى يَوْمِنَا هَذَا: أَنَّ تَارِكَ الصَّلاةِ عَمْدًا مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ حَتَّى يَذْهَبَ وَقْتُهَا كَافِرٌ
“Aku mendengar Ishaaq (bin Rahawaih) berkata : Telah shahih riwayat dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasannya orang yang meninggalkan shalat adalah kafir. Begitu juga pendapat dari kalangan ulama semenjak jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hingga era kita sekarang : Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja tanpa ‘udzur hingga keluar dari waktunya adalah kafir” [Diriwayatkan oleh Al-Marwadziy dalam Ta’dhiimu-Qadrish-Shalaah, hal. 609; shahih].
Antum lihat sendiri bahwa tidak difahami kuffur pada nash-nash tersebut sebagai kufrun dunna kufrin, tidak juga kufur nikmat. Tapi tetap mereka memahami sebagaimana zhohir hadits. Jadi pemahaman yang mengeluarkan dari zhohir nash hanya terjadi setelah zaman sahabat generasi terbaik.
7) Dan Jika nash tetang kufurnya orang yang meninggalkan sholat dibawa kepada makna majaz. Yakni kufur nikmat atau kufur dibawah kekufuran maka ini sama saja kita mengatakan bahwa nabi memberikan sifat yang tidak sesuai dan melampaui batas yang seharusnya dengan memberikan ancaman melebihi porsinya seperti syirik atau kufur pada sesuatu yang tidak mencapai syirik dan kufur yang hakiki. Padahal nabi tidak berbicara dengan hawa nafsu namun wahyu.
Hadits syafa'at dan bithaqah itu bukan hadits umum dan kemudian dikhususkan oleh hadits shalat. Dalam ushul fiqh, seandainya ada nash umum dan datang nash khusus yang sifatnya mentakhshish, maka nash umum itu juga masih berlaku. Namun jika kita amalkan hal itu dalam kasus ini, yaitu anggapan Anda bahwa nash kafirnya orang yang meninggalkan shalat itu mengkhususkan hadits syafa'at dan bithaqah; itu membatalkan nash itu sendiri. Dan itu tidak bisa diterima. Dan bagaimana ada kaedah takhshish pada sesuatu yang telah ditakhshish ?. Apalagi adillatut-takhshiish yang Anda katakan - kalaupun diusahakan diterima - , maka sifatnya munfashilah; sedangkan takhsish dalam hadits syafa'at itu sifatnya muttashilah yang langsung ada dalam nash. Dari sini saja takhsish nash shalat itu sudah kelihatan lemah kedudukannya. Itu pertama. Kedua,.... gak ada lafadh manthuq dari nash-nash shalat yang mentakhshish hadits syafa'at dan bithaqah. Oleh karena itu, takhsish yang Anda sampaikan itu sifatnya dhanniy.
So,... saya kira dari tinjauan ushul fiqh, alasan Anda sudah lemah.
Dan lucu sekali logika Anda ya..... bahwa kata Anda pendalilan tidak kufurnya orang yang meninggalkan shalat dengan hadits syafa'at dan bithaqah itu hanyalah mafhum, dan bukan manthuq. Anda tahu mafhum kan ?. Mafhum itu jika dimutlakkan lafadhnya maksudnya adalah mafhum mukhalafah. Bagaimana bisa ya Anda menyangka bahwa pendalilan dengan hadits syafa'at dan bithaqah itu berasal dari mafhum ?. He...he...he... Ini perkataan Anda :
"Yang mafhumnya adalah jika ia tidak beramal sedikitpun kecuali tauhid maka masuk dalam keumuman ini adalah sholat maka tentu ia tidak sholat. Maka ini jelas mafhum dari hadits bukan manthuq.
Nampaknya Anda belum paham benar tentang mafhum. Mungkin lain kali bisa Anda buka-buka lagi buku ushul fiqh nya.
Bahkan hukum yang terambil dari hadits syafa'at dan bithaqah adalah diambilk dari manthuq dan mafhum sekalgus. Dari sisi manthuq, jelas bahwasannya hadits syafa'at dan bithaqah menetapkan selamatnya orang tersebut dari kekekalan neraka hanya karena ketauhidan saja. Keberadaan amal-amal lain selain tauhid dinafikkan secara sharih dalam dua hadits ini. Dari sisi mafhum, yaitu mafhum muwafaqah, maka yang tersirat sama dengan yang tersurat, yaitu menafikkan kekafiran orang yang tidak meninggalkan shalat.
Saya kira sampai di sini sudah sangat jelas bagi saya.
Dan ingat, tidak selamanya manthuq itu lebih didahulukan dari mafhum (mukhalafah). Silakan baca penjelasannya Asy-Syinqithiy beberapa keadaan mafhum didahulukan dari manthuq.
Tentang khilaf mutqaddimiin, maka saya telah menuliskan bahasannya di :
Validitas Ijma’ Salaf tentang Kekafiran Orang yang Meninggalkan Shalat Karena Malas dan Meremehkan.
Gambaran khilaf dari mutaqaddimiin itu adalah khilaf orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja hingga keluar dari waktunya. Khilafnya itu bukan khilaf meninggalkan shalat sama sekali (kulliyatan), karena kaedah ushuliyyah mengatakan bahwa kekufuran itu didasarkan pada jenisnya, bukan pada nisbahnya atau jumlahnya. Jika ada orang yang mendakwa ijma', maka ini keliru dalam semua thabaqah. Telah saya jelaskan di artikel itu.
Jika yang dimaksudkan adalah meninggalkan shalat hingga keluar dari waktunya, maka banyak nash yang berseberangan dengan pendapat ini. Saya sebutkan di antaranya :
1. Hadits syafa'at dan hadits bithaqah.
Hadits ini shahih dan sharih penunjukkannya.
2. Hadits sahm.
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " ثَلاثٌ أَحْلِفُ عَلَيْهِنَّ، لا يَجْعَلُ اللَّهُ مَنْ لَهُ سَهْمٌ فِي الإِسْلامِ كَمَنْ لا سَهْمَ لَهُ، وَسِهَامُ الإِسْلامِ ثَلاثَةٌ: الصَّوْمُ، وَالصَّلاةُ، وَالصَّدَقَةُ، لا يَتَوَلَّى اللَّهُ عَبْدًا فَيُوَلِّيَهُ غَيْرَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلا يُحِبُّ رَجُلٌ قَوْمًا إِلا جَاءَ مَعَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَالرَّابِعَةُ لَوْ حَلَفْتُ عَلَيْهَا لَمْ أَخَفْ أَنْ آثَمَ، لا يَسْتُرُ اللَّهُ عَلَى عَبْدِهِ فِي الدُّنْيَا إِلا سَتَرَ عَلَيْهِ فِي الآخِرَةِ "
Dari ‘Aaisyah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Ada tiga hal yang aku bersumpah atasnya : (1) Allah tidak akan menjadikan orang yang mempunyai bagian (sahm) dalam Islam seperti orang yang tidak mempunyai bagian. Bagian-bagian dalam Islam ada tiga, yaitu : puasa, shalat, dan zakat; (2) Allah tidak akan membela seorang hamba (di dunia), lalu Ia menyerahkan kepada selain-Nya pada hari kiamat; dan (3) tidaklah seseorang mencintai satu kaum kecuali ia akan datang bersama mereka pada hari kiamat. Dan yang keempat, seandainya aku bersumpah atasnya, aku tidak khawatir berdosa : Tidaklah Allah menutupi aib hamba-Nya di dunia kecuali Allah juga akan menutupi aibnya di akhirat” [Diriwayatkan oleh Abu Ya'laa no. 4566; shahih].
Sisi pendalilannya adalah bagian pertama sumpah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersumpah bahwa Allah tidak akan menjadikan orang yang masih mempunyai bagian dalam Islam sama seperti orang yang tidak mempunyai bagian. Seandainya meninggalkan shalat hukumnya kafir, niscaya kedudukan orang yang tidak mempunyai salah satu bagian dari Islam berupa shalat, niscaya sama dengan orang yang tidak mempunyai bagian sama sekali dari Islam.
3. Hadits 'Ubaadah bin Ash-Shaamit radliyallaahu 'anhu.
عَنْ عُبَادَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى عِبَادِهِ، مَنْ حَافَظَ عَلَيْهِنَّ وَلَمْ يُضَيِّعْهُنَّ اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ، كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ لا يُعَذَّبْهُ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ لَمْ يَكُنْ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ، إِنْ شَاءَ رَحِمَهُ، وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ "
Dari ‘Ubaadah, ia berkata : “Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ada lima waktu shalat yang diwajibkan Allah ‘azza wa jalla atas hamba-hamba-Nya. Barangsiapa yang menjaganya dan tidak menyia-nyiakannya sedikitpun dengan meremehkan hak-haknya, maka ia mempunyai perjanjian di sisi Allah agar Ia tidak mengadzabnya. Dan barangsiapa yang tidak mengerjakannya, maka dia tidak memiliki janji dengan Allah. Apabila berkehendak, Allah akan mengadzabnya. Apabila berkehendak Allah akan memberikan rahmat kepadanya, dan apabila berkehendak akan mengadzabnya” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 5/130-131; shahih].
Ath-Thahawiy rahimahullah berkata :
فكان في حديث عبادة : إن لم يأت بهن، يعني : الصلاوات الخمس.
“Dan dalam hadits ‘Ubaadah : ‘jika ia tidak mengerjakannya’, yaitu : (tidak mengerjakan) shalat lima waktu” [Syarh Musykilil-Aatsaar, 8/200].
Silakan Anda ta'wil dengan berbagai ta'wil yang memungkinkan membawanya ke makna 'kafir'.....
4. Hadits Nashr bin ‘Aashim tentang orang yang masuk Islam.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ نَصْرِ بْنِ عَاصِمٍ، عَنْ رَجُلٍ مِنْهُمْ، أَنَّهُ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْلَمَ عَلَى أَنَّهُ لَا يُصَلِّي إِلَّا صَلَاتَيْنِ، فَقَبِلَ ذَلِكَ مِنْهُ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Qataadah, dari Nashr bin ‘Aashim, dari seorang laki-laki dari kalangan mereka : Bahwasannya ia mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan menyatakan keislamannya dengan syarat bahwa ia tidak shalat melainkan dua shalat saja. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menerima hal itu darinya [Diriwayatkan oleh Ahmad 5/25, dan darinya Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush-Shahaabah no. 7346; shahih].
Sisi pendalilannya adalah bahwasannya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menerima keislaman orang tersebut meskipun ia mengemukakan persyaratan faasid, yaitu tidak shalat lima waktu. Seandainya meninggalkan shalat merupakan amalan yang mengkonsekuensikan kekafiran dengan dzat perbuatannya, niscaya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menerima Islamnya. Kondisi ini seperti kondisi Bani Tsaqiif ketika berbaiat kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mensyaratkan untuk tidak bershadaqah dan berjihad.
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَّاحِ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيل يَعْنِي ابْنَ عَبْدِ الْكَرِيمِ، حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ يَعْنِي ابْنَ عَقِيلِ بْنِ مُنَبِّهٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ وَهْبٍ، قَالَ: سَأَلْتُ جَابِرًا عَنْ شَأْنِ ثَقِيفٍ إِذْ بَايَعَتْ، قَالَ: اشْتَرَطَتْ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا صَدَقَةَ عَلَيْهَا وَلَا جِهَادَ، وَأَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ ذَلِكَ يَقُولُ: " سَيَتَصَدَّقُونَ وَيُجَاهِدُونَ إِذَا أَسْلَمُوا "
Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Ash-Shabbaah : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin ‘Abdil-Kariim : Telah menceritakan kepadaku Ibraahiim bin ‘Aqiil bin Munabbih , dari ayahnya , dari Wahb , ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Jaabir tentang keadaan Bani Tsaqiif ketika ia berbaiat (kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam). Ia berkata : “Mereka mensyaratkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk dibebani kewajiban shadaqah dan jihad”. Dan ia (Jaabir) mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam setelah itu bersabda : “Mereka akan bershadaqah dan membayar zakat jika masuk Islam” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3025; shahih].
Dan lain-lain.....
Oleh karena itu, di kalangan ulama kita terdahulu ada yang menafsirkan at-tark dalam nash-nash kafirnya meninggalkan shalat adalah meninggalkan yang disertai pengingkaran atau penolakan. Perkataan tempo Anda tempo hari bahwasannya tidak ada salaf yang memahami seperti itu adalah keliru berat. Sufyaan Ats-Tsauriy dan rekan-rekannya memahami at-tark yang mengkafirkankan itu adalah yang disertai dengan penolakan sebagaimana disebutkan secara shahih oleh Al-Marwadziy dalam kitab Ta'dhiimu Qadrish-Shalaah. Juga Asy-Syaafi'iy dan sebagian salaf lain yang menafsirkankan dengan at-tark yang disertai pengingkaran sebagaimana disebutkan Al-Ismaa'iiliy dan Al-Khaththaabiy rahimahumallah.
Ta'wil dari sebagian salaf seperti ini adalah untuk menjamak beberapa nash yang kelihatan bertentangan dengan yang lainnya. Apakah ta'wil at-tark dengan disertai pengingkaran itu keliru dan tidak mungkin dalam bahasa Arab ?. Perhatikan firman Allah ta'ala :
إِنِّي تَرَكْتُ مِلَّةَ قَوْمٍ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَهُمْ بِالآخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ
“Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedang mereka ingkar kepada hari kemudian” [QS. Yuusuf : 37].
Yaitu : meninggalkan dengan pengingkaran terhadap kekufuran.
Perkataan Yuusuf ‘sesungguhnya aku telah meninggalkan’ (إِنِّي تَرَكْتُ), tidaklah mungkin dipahami hanya sekedar ‘meninggalkan’ saja, namun diserrtai dengan pengingkaran terhadap agama kekufuran dan segala sesuatu yang menafikkan tauhid. Begitu juga dengan firman Allah ta’ala lainnya :
قَالُوا يَا شُعَيْبُ أَصَلاتُكَ تَأْمُرُكَ أَنْ نَتْرُكَ مَا يَعْبُدُ آبَاؤُنَا أَوْ أَنْ نَفْعَلَ فِي أَمْوَالِنَا مَا نَشَاءُ إِنَّكَ لأنْتَ الْحَلِيمُ الرَّشِيدُ
“Mereka berkata: "Hai Syuaib, apakah agamamu yang menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal" [QS. Huud : 87].
Maksud ‘meninggalkan’ dalam ayat ini bukan sekedar meninggalkan perbuatan saja, namun juga disertai pengingkaran terhadap peribadahan selain Allah ta’ala.
Dan yang lainnya.
Terakhir,.... apakah alif lam ma'rifah itu dalam nash selalu harus ditafsirkan kufur akbar dan tidak mungkin ditafsirkan kufur ashghar ?. Perhatikan firman Allah ta'ala :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
"Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir" [QS. Al-Maaidah : 44].
Apakah lafadh 'al-kaafiruun' dalam ayat di atas adalah orang-orang yang berbuat kufur akbar ?. Bukankah kata itu memakai alif lam ma'rifah ?. Coba baca tafsir kalangan salaf tentang hal ini. Adapun contoh-contoh lain masih ada beberapa....
Wallaahu a'lam bish-shawwaab.
Jika orang yang meninggalkan sholat itu dari sisi mahzab yang mengkafirkan adalah murtad tentu tidak masuk dalam hadits safa’at. Saya rasa itu jelas. Jadi istisna yang ada dalam nash tidak berlaku disini. Karena pengecualiannya bukan dari sisi jenis amal yakni sholat tapi dari subjeknya sendiri. Bahwa setelah tegaknya hukum syariat sholat dan hukum meninggalkannya maka pada waktu itu orang yang telah dihukumi riddah karena meninggalkan sholat tidak masuk dalam keumuman hadits syafaat.
Dan udah jelas bahwa nabi menjadikan sholat sebagai pembeda dan pembatas bagi Iman dan kafir.
أنا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى ، عَنْ سُفْيَانَ ، عَنِ الأَعْمَشِ ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ ، عَنْ جَابِرٍ ، عَنِ النَّبِيِّ قَالَ : " بَيْنَ الإِيمَانِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاةِ "
Dari ubaidullah bin Musa, dari sofyan dan al-a’mas dari abi sofyan dari jabir dari nabi shalallahu alaihi wa salam. “Antara iman dan karir adalah meninggalkan sholat”
Shorih insyaAlloh.
Yang saya maksud mafhum adalah bahwa pendapat yang mengatakan bahwa orang yang tidak beramal kebaikan sedikitpun adalah orang yang malas dan meremehkan sholat setelah tegak syariat islam yang telah tegak didalamnya hukum sholat dan sebagainya. Ini adalah mafhum bukan manthuq. Dan benar manthuq adalah ia hanya mengerjakan tauhid dan bukan selainnya. Tapi tidak ada nash yang menunjukkan ia hidup setelah tegaknya syariat islam dan khususnya syariat sholat. TIDAK ADA itu mafhum bukan manthuq. Tapi tetang nash yang khusus tentang kufur meninggalkan sholat adalah Manthuq. Jelas kan. Dan kaidahnya
المنطوق مقدم على المفهوم
Nash yang manthuq didahulukan dari nash yang mafhum.
Karenanya sebagian ulama tidak memahami nash tentang orang yang tidak beramal kebaikan sedikitpun sebagai orang yang hidup setelah tegaknya syariat. Karena setelah tegaknya syariat hukum meninggalkan sholat sudah shorih dan di jelaskan secara khusus.
Tentang tarikh dengan juhud kayanya agak maksain…afwan ga begitu jelas.
Jauh lah ga bisa begitu bisa diterima lah dalam kasus hukum sholat. Konteks perkataannya aja dah beda
Tentang kufur tidak berhukum dengan hukum Alloh ya itu kan hukumnya ada zholim atau fasik dll dan sudah ada tafsir ibnu abas dan tidak ada sahabat yang mengingkari hal tersebut. Tapi sholat kan beda sahabat baik ibnu abbas dan kibar sahabat memahami sebagaimana zhohirnya yakni kufur akbar. Tidak ada sahabat memahami dengan kufr itu dengan juhud kewajibannya, itu sih pendapat orang setelah mereka.
Tentang hadits bitoqoh ya kalau dibawa hukumnya secara mutlak itu artinya setiap kaum muslimin yang ia masih dalam keislaman pasti timbangannya lebih berat dari kejelekannya.
فَأَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ
Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan (Al-Qoriah 6- 7)
Konsekuensi jika hadits bitoqoh dibawa kepada ibroh secara umum maka setiap kaum muslimin yang ia bersyahadat dan tidak batal syahadatya maka ia berat timbangan amalnya. Dan tidak ada dari kaum muslimin yang masuk neraka terlebih dahulu…
Jelas kebanyakan kaum muslimin memiliki kebaikan yang tidak hanya terbatas pada syahadat dan kalimat tauhid yakni lebih baik timbangannya dari orang yang ada dalam hadits bitoqoh.
Jika kita menggunakan metode antum yakni mengambil zhohir hadits secara bulat maka kita hanya perlu amalan tauhid walau tanpa amal untuk selamat dari neraka. Karena tauhid pasti berat timbangan amalnya. Dan orang yang berat timbangan amalnya ada dalam kehidupan yang memuaskan. Yakni surga.
Jika orang yang ada dalam hadits memiliki tauhid yang sempurna maka mengapa ia tidak beramal? Sementara ia tau bahwa tauhid melazimkan amal? Dan orang yang sempurna tauhidnya tentu ia tau hak robnya untuk disembah dan di ibadahi secara zhohir ?
Jadi perlu adanya perenungan kembali dalam penggunaan hadits bitoqoh untuk kasus hukum. Karena toh hadits nya tetang berita hal-hal yang ghoib yang sulit di jelaskan secara sempurna dengan akal. Untuk keutamaan tauhid dan beratnya timbangan tauhid oke ya itu memang dalil yang rojih tapi untuk hukum maka perlu di kaji lagi.
Abu Hasan says,
Assalamu'alaykum ustadz
Saya pernah mendengar debat (formal, bukan jidal) dari dua orang da'i mengenai hal ini dahulu.. ketika itu salah seorang dai mengatakan bahwa posisi yg diambil syaikh utsaimin adalah bahwa dalam hadis2 semacam ini :
"العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة ، فمن تركها فقد كفر
“Perjanjian antara kita dan mereka adalah sholat barang siapa meninggalkannya maka ia telah kafir”.
bahwa dalam hadis diatas menggunakan الصلاة bukan cuma صلاة ini menunjukkan bahwa yang dimaksudkan adalah sholat secara keseluruhan..
Apakah yg dikatakan dai tersebut benar ?
saya cuman orang awam.. kok kayanya hal ini ga pernah disinggung di atas jd saya tanyakan.. jazakallahu khairan
Barakallahu fikk
@Anonim,.... gak ada tambahan esensial dari saya, karena Anda hanya mengulang apa yang telah dijawab saja. Dan saya kira, ulangan Anda itu telah saya jawab di atas. Lagi pula, maaf, jawaban Anda tentang hadits syafa'at dan bithaqah terkesan 'ngarang'. Maaf. Bahkan Ibnu Taimiyyah yang berpendapat tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat saja taslim dengan hadits syafa'at. Apalagi dengan ulama yang berpendapat tidak kafirnya. Beda dengan Anda yang membuat-buat alasan yang gak kena dari sisi ushul fiqh dan logika sehat lain dalam pendalilan. Saya rasa, Anda perlu membuka lagi kitab ilmu ushul fiqh Anda. Dan saran saya, bacalah penjelasan ulama. Atau memang Anda menghindari membuka penjelasan kitab-kitab ulama ya ?. Karena jika membuka penjelasan para ulama, akan melemahkan logika Anda. Begitu ?.
Tentang bahasan at-tark dan juhud; maka yang saya tekankan di sini adalah mungkin dari segi bahasa dan pendalilan. Kedua, ada salaf dalam pemahaman ini. Sekaligus ini sebagai tolok ukur perkataan Anda yang mengatakan 'aneh' dan tidak ada salafnya. Jalan ini diambil oleh para ulama untuk menggabungkan semua dalil yang ada.
==========
Abu Hasan, benar.... Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimiin rahimahullah berpendapat demikian. Tapi mensyaratkan meninggalkan secara keseluruhan baru dikatakan kafir - sepengetahuan saya - bukan merupakan pendapat para ulama mutaqaddimiin. Wallaahu a'lam.
Maksud saya salaf disini adalah para sahabat. Dan hukum meninggalkan sholat ma'ruf bagi mereka. Tidak ada generasi pertama yang memahami dengan tark dengan juhud. Tidak ada...semua memahami sebagaimana pensifatan hadits. Justru pemahaman dengan juhud adalah pemahaman yang muncul setelahnya. Yang tidak datang dari nash itu sendiri. Dan itu sudah ditolak baik secara ushul. logika yang sehat dan lain2. Sudah dibahas oleh para ulama...ibnu taimiyah
He..he..he... saya merasa aneh dengan orang yang selalu mengatasnamakan 'ushul'.
Salaf itu kalau dimutlakkan ya shahabat, tabi'iin, dan atbaa'ut-taabi'iin. Sekarang, karena sudah terbukti salaf dalam definisi ini tidak dapat menolong hujjah Anda, kemudian Anda batasi dengan 'shahabat'.
Makna at-tark ini tidak terlepas dari istinbath nushush yang ada. Nah,... seandainya at-tark itu maknanya adalah at-tark murni (yaitu meninggalkan secara fi'liy) dan kafir yang dimaksud dalam nash adalah kafir akbar - sehingga menghasilkan hukum kafirnya orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja; ternyata sebagian shahabat tidak memahami seperti itu. Sebagian shahabat tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat sebagaimana bahasannya pada artikel : Validitas Ijma’ Salaf tentang Kekafiran Orang yang Meninggalkan Shalat Karena Malas dan Meremehkan. Secara akal sehat, maka hanya ada dua kemungkinan. Pertama, at-tark di situ yang dimaksud bukan sekedar tark fi'liy; atau Kedua, kufur yang dimaksud bukan kufur akbar. Dari sini sudah jelas salahnya klaim Anda yang memastikan bahwa tidak ada shahabat yang menafsirkan at-tark dalam nash dengan al-juhud. Apalagi Ats-Tsauriy - dan ia termasuk generasi salaf - sudah terang bahwa kekafiran akibat meninggalkan shalat adalah jika disertai dengan penolakan. Maka ini sejalan dengan pengertian al-juhuud (pengingkaran). Anyway, klaim Anda di atas tidak benar dalam beberapa sisi.
Saya tambahi penjelasan tentang hadits bithaaqah :
Kata Anda :
"Tentang hadits bitoqoh ya kalau dibawa hukumnya secara mutlak itu artinya setiap kaum muslimin yang ia masih dalam keislaman pasti timbangannya lebih berat dari kejelekannya.
فَأَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ
Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan (Al-Qoriah 6- 7)
Konsekuensi jika hadits bitoqoh dibawa kepada ibroh secara umum maka setiap kaum muslimin yang ia bersyahadat dan tidak batal syahadatya maka ia berat timbangan amalnya. Dan tidak ada dari kaum muslimin yang masuk neraka terlebih dahulu…
Jelas kebanyakan kaum muslimin memiliki kebaikan yang tidak hanya terbatas pada syahadat dan kalimat tauhid yakni lebih baik timbangannya dari orang yang ada dalam hadits bitoqoh" [selesai].
Saya memandang perkataan Anda itu terburu-buru (dalam mengambil kesimpulan). Mungkin itu dilatarbelakangi keinginan kuat untuk menguatkan pendapat yang Anda pegang dan melemahkan pendapat yang berseberangan. Akhirnya, 'ngaco'. Maaf.
Termasuk bagian 'aqidah Ahlus-Sunnah yang perlu dipahami terhadap seseorang yang meninggal masih dalam keadaan muslim (statusnya) Islam; tentang segala kesalahannya, ada dua kemungkinan. Pertama, kesalahannya mungkin diampuni oleh Allah. Kedua, kesalahannya kemungkinan tidak diampuni oleh Allah ta'ala dan Ia akan mengadzabnya di neraka. Namun, adzab Allah terhadap orang tersebut tidaklah kekal, karena pada akhirnya akan dimasukkan ke dalam surga. Itu semua dilakukan oleh dengan hikmah-Nya tanpa perlu berberat-berat diri menanyakan : Bagaimana ?.
Setelah itu, perhatikan hadits berikut :
كَانَ رَجُلَانِ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ مُتَآخِيَيْنِ، فَكَانَ أَحَدُهُمَا يُذْنِبُ وَالْآخَرُ مُجْتَهِدٌ فِي الْعِبَادَةِ، فَكَانَ لَا يَزَالُ الْمُجْتَهِدُ يَرَى الْآخَرَ عَلَى الذَّنْبِ، فَيَقُولُ: أَقْصِرْ، فَوَجَدَهُ يَوْمًا عَلَى ذَنْبٍ، فَقَالَ لَهُ: أَقْصِرْ، فَقَالَ: خَلِّنِي وَرَبِّي أَبُعِثْتَ عَلَيَّ رَقِيبًا، فَقَالَ: وَاللَّهِ لَا يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ أَوْ لَا يُدْخِلُكَ اللَّهُ الْجَنَّةَ فَقَبَضَ أَرْوَاحَهُمَا، فَاجْتَمَعَا عِنْدَ رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَقَالَ لِهَذَا الْمُجْتَهِدِ: أَكُنْتَ بِي عَالِمًا أَوْ كُنْتَ عَلَى مَا فِي يَدِي قَادِرًا، وَقَالَ لِلْمُذْنِبِ: اذْهَبْ فَادْخُلِ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِي، وَقَالَ لِلْآخَرِ: اذْهَبُوا بِهِ إِلَى النَّارِ
"Ada dua orang laki-laki dari kalangan Bani Israaiil yang saling bersaudara. Yang satu rajin ibadah dan lainnya berbuat dosa. Lelaki yang rajin beribadah selalu berkata kepada saudaranya : "Berhentilah dari perbuatan dosamu!” Suatu hari ia melihat saudaranya berbuat dosa dan ia berkata lagi : Berhentilah dari perbuatan dosamu!”. Saudaranya menjawab : “Biarkan antara aku dan Tuhanku. Apakah kamu diutus untuk mengawasiku?”. Ia lalu berkata : “Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu” atau “Dia tidak akan memasukanmu ke surga”. Kemudian Allah mengutus malaikat kepada keduanya untuk mengambil ruh keduanya hingga berkumpul di sisi-Nya. Allah berkata kepada orang yang berdosa itu : "Masuklah kamu ke surga dengan rahmat-Ku”. Lalu Allah bertanya kepada lelaki yang rajin beribadah : “Apakah kamu mampu menghalangi antara hamba-Ku dan rahmat-Ku?”. Dia menjawab : “Tidak, wahai Tuhanku.” Allah berfirman untuk yang rajin beribadah (kepada para malaikat): “Bawalah dia masuk ke dalam neraka”. Abu Hurairah radliyallaahu 'anhu berkata : “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh ia berkata dengan satu kalimat yang membinasakan dunia dan akhiratnya" [Diriwayatkan oleh Abu Daawud, dan dinyatakan valid oleh Al-Albaaniy].
Perhatikan kalimat yang saya bold saja. Allah telah memasukkannya ke dalam surga dengan rahmat-Nya semata, dan mengampuni segala dosa-dosanya hingga tidak diadzab di neraka. Dan tidak mungkin orang tersebut masuk surga dengan rahmat-Nya dan diampuni segala dosanya jika tidak ada landasan ketauhidan - yang dengannya ia mendapat 'keistimewaan' ini.
Kemudian tentang hadits bithaaqah........ Hadits bithaqah adalah lain dari hadits syafa'at - walau keduanya berbicara tentang keutamaan tauhid. Hadits bithaqah menceritakan kejadian seseorang pada waktu penimbangan amal. Orang tersebut tidak mempunyai kebaikan sedikit pun kecuali tauhid, yang kemudian ketika ditimbang, maka ia lebih berat daripada amal kejelekannya yang menggunung. Allah ta'ala berfirman :
وَالْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ * وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ بِمَا كَانُوا بِآيَاتِنَا يَظْلِمُونَ
"Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka barang siapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami" [QS. Al-A'raaf : 8-9].
Hadits bithaqah tidaklah bertentangan dengan ayat ini. Karena dalam hadits bithaqah telah disebutkan bahwa timbangan ketauhidannya lebih berat daripada segala amal buruk yang dilakukannya di dunia. Ia termasuk orang yang beruntung.
Apakah orang tersebut langsung dimasukkan ke dalam surga tanpa melalui fase neraka terlebih dahulu ?. Wallaahu a'lam, dalam hadits tidak disebutkan. Beberapa ulama menjelaskan bahwa dosanya dihapuskan dan dimasukkan ke dalam surga. Salah satu yang menjelaskan demikian adalah Dr. Ibraahiim Ar-Ruhailiy rahimahullah. Apa yang beliau sebutkan memang konsekuensi logis dari dhahir nash.
Namun, apakah ia dimasukkan dulu ke dalam neraka atau langsung dimasukkan ke dalam surga, itu bukan pokok pembahasannya. Yang jelas, statusnya bukan orang kafir. Jika kafir, maka tidak ada amal kebaikan yang diakui di akhirat yang dapat memperberat timbangan, karena Allah berfirman :
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
"Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan" [QS. Al-Furqaan : 23].
Seandainya orang tersebut langsung masuk surga tanpa fase neraka - sebagaimana dikatakan sebagian ulama, apakah mungkin ?. Lantas bagaimana dengan dosa-dosa yang menggunung itu ?. Jawabnya adalah mungkin, jika Allah berkehendak. Allah akan mengampuni dan menghapus semua dosanya. Namun ingat,..... nash tetap mengatakan :
إِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ، وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ
"Apabila Allah berkehendak, Ia akan mengampuninya. Dan Apabila berkehendak, ia akan mengadzabnya".
Inilah yang berlaku bagi muslim secara umum. Oleh karena itu, seandainya orang dalam hadits bithaqah itu langsung masuk surga dan diampuni segala dosa-dosanya karena ketauhidannya; maka itu tidak berlaku bagi setiap orang. Sama halnya hadits Bani Israaiil di atas. Meyakini pasti masuk surga tanpa fase neraka karena keberadaan ashulul-iman, ini 'aqidah Murji'ah.
'Aqiidah Ahlus-Sunnah menyatakan bahwa semua pelaku kemaksiatan dari kalangan muslimin yang padanya ada ashlul-iman dalam hati, tetap diancam (bukan dipastikan) dengan neraka. Jadi, tidak ada yang musykil tentang hadits bithaqah seandainya kita benar-benar memahami pokok-pokok 'aqidah Ahlus-Sunnah.
Tentang hadits syafa'at,... maka ini lain. Hadits ini menceritakan tentang orang yang terakhir kali keluar dari neraka dan kemudian masuk surga dengan rahmat-Nya. Orang itu diceritakan tidak mempunyai amal kebaikan selain tauhid. Anda tidak perlu berberat-berat diri tentang gambaran orang tersebut sebagaimana komentar Anda yang telah lewat dan berkali-kali di Blog ini. Ini jelas, jika Anda membuka penjelasan para ulama.
Anyway, hadits bithaqah dan hadits syafa'at menetapkan adanya orang yang selamat dari kekekalan nereka dengan sebab semata-mata ketauhidan dalam dirinya. Dua hadits ini tetap mempunyai konsekuensi hukum sebagaimana dhahirnya - meskipun Anda tidak suka dan berusaha mereka-reka jawaban yang Anda buat agar kontradiktif dengan nash lain.
Akan saya tuliskan berikut beberapa perkataan ulama Ahlus-Sunnah tentang seputar golongan orang yang tidak pernah beramal kebaikan sedikitpun (dalam hadits syafa'at) - biar komentarnya lebih terarah :
Ibnu Hazm Al-Andalusiy rahimahullah :
وإنّما لم يكفُرْ مَن تركَ العمَلَ، وكفر من ترك القول، لأن الرسول صلى الله عليه وسلم حكم بالكفر على من أبى من القول، وإن كان عالما بصحة الإيمان بقلبه، وحكم بالخروج من الناّر لمن علم بقلبه وقال بلسانه؛ وإِنْ لمَ يعملْ خيرا قط
[Ad-Durrah, hal. 337-338].
Ibnu 'Abdil-Barr rahimahullah :
روي من حديث أبي رافع عن أبي هريرة في هذا الحديث أنه قال: (قال رجل لم يعمل خيرا قط إلا التوحيد) وهذه اللفظة إن صحت رفعت الإشكال في إيمان هذا الرجل وإن لم تصح من جهة النقل فهي صحيحة من جهة المعنى .
والأصول كلها تعضدها والنظر يوجبها؛ لأنه محال غير جائز أن يغفر للذين يموتون وهم كفار؛ لأن الله عز وجل قد أخبر أنه لا يغفر أن يشرك به لمن مات كافرا، وهذا ما لا مدفع له ولا خلاف فيه بين أهل القبلة .
وفي هذا الأصل ما يدلك على أن قوله في هذا الحديث: (لم يعمل حسنة قط) أو (لم يعمل خيرا قط )لم يعنِ به إلا ما عدا التوحيد من الحسنات والخير، وهذا شائع في لسان العرب جائز في لغتها أن يؤتى بلفظ الكل والمراد البعض
[At-Tamhiid, 6/344-345].
Al-Qurthubiy rahimahullah :
ثمّ هُوَ سُبحانَه بعدَ ذلِكَ يقبِضُ قَبضةً فَيُخرِجُ قوماًلمَ يعمَلُوا خَيراً قَط ، يُرِيدُ إلاّ التّوحيدَ المجرّدَ عَن الأعمَالِ
[At-Tadzkirah, hal. 347].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :
ليسَ في الحديثِ نفيُ إيمانِهم ، وإنّما فيهِ نفيُ عمَلِهم الخيرَ ، وفِي الحديثِ الآخرَ « يخرجُ مِنهَا مَن كانَ في قلبِه مثقالُ ذرّةٍ مِن إيمانٍ » وَقَد يحصُلُ فيِ قلبِ العبدِ مثقالُ ذرةٍ مِن إيمانٍ وإن كانَ لَم يعَمَل خَيراً ، ونفيُ العَمَل أيضاً لا يقتضِي نفيَ القَولِ ، بَل يُقالُ فيِمَن شهِدَ أن لاَ إلهَ إلاّ اللهُ وأنّ مُحمّداً رَسُولُ اللهِ ، ومَاتَ ولَم يعَمَل بجوارِحِه قَط ، إنّه لَم يعَمَل خَيراً ، فإنّ العَمَل قَد لاَ يدخُلُ فيهِ القَولَ ، لقولِه : (الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ) [فاطر:10]وإذَا لمْ يدخلْ فيِ النّفيِ إيمانُ القَلب واللِّسَان لم يكُن في ذَلِكَ مَا يناقِضُ القرآنَ
[Itsbaat Ahaadiitsish-Shifaat,masih manuskrip, yang merupakan tulisan muridnya yang bernama Ibnu Muhibb Ash-Shaamit rahimahullah]
ومِنهُم مَن فضلَت لَه معصيةٌ علَى كلّ مَا معَه مِن الخَيرِ ، ومَن لَم يعَمَل خَيراً قَط ، وهاتانِ الطّبقتانِ هُما المجازَيتانِ بالنّارِ ، إحْداهُما : عَلى ما فضَلَ لها مِن المعاصِي علَى مَا كانَ لهَا مِن خَيرٍ ، وهِيَ الخارِجةُ مِن النّارِ بالشّفاعَةِ .
والثّانيةُ : علَى ما عمِلَت مِن الشّر ، وهِي الخارِجَةُ مِن النّارِ بِرَحمَةِ اللهِ تَعالَى ، لا بِالشّفاعَةِ ، وهِيَ آخِرُ مَن يخرُجُ مِن النّارِ
[Jaami'ur-Rasaail - Al-Majmu'atul-Khaamisah, hal. 203].
Ibnul-Qayyin rahimahullah :
أنه قد ثبت في الصحيحين من حديث أبي سعيد الخدري في حديث الشفاعة فيقول عز وجل شفعت الملائكة وشفع النبي صلى الله عليه وسلمون وشفع المؤمنون ولم يبق إلا أرحم الراحمين فيقبض قبضة من النار فيخرج منها قوما لم يعملوا خيرا قط قد عادوا حمما فيلقيها في نهر في أفواه الجنة يقال له نهر الحياة فيخرجون كما تخرج الحبة في حمل السيل فيقول الله الجنة هؤلاء عتقاء الله الذين أدخلهم الله الجنة بغير عمل عملوه ولا خير قدموه فهؤلاء أحرقتهم النار جميعهم فلم يبق في بدن أحدهم موضع لم تمسه النار بحيث صاروا حمما وهو الفحم المحترق بالنار وظاهر السياق أنه لم يكن في قلوبهم مثقال ذرة من خير فان لفظ الحديث هكذا فيقول ارجعوا فمن وجدتم في قلبه مثقال ذرة من خير فأخرجوه فيخرجون خلقا كثيرا ثم يقولون ربنا لم نذر فيها خيرا فيقول الله عز وجل شفعت الملائكة وشفع النبي صلى الله عليه وسلمون وشفع المؤمنون ولم يبق إلا ارحم الراحمين فيقبض الله قبضة من نار فيخرج منها قوما لم يعملوا خيرا قط
[Haadil-Arwaah, hal. 380-381].
Ibnu Hajar rahimahullah :
وَقَد استنبطَ ابنُ أبيِ جمرةَ مِن هَذَا أنّ مَن كانَ مسلِماً ولكِنّهُُ كانَ لا يُصلّي لا يخرُجُ إذْ لاَ علامَةَ لَه ، لكِن يُحمَل عَلى أنّه يخرُجُ فيِ القبضةِ ، لِعُمومِ قولِه : «لَم يعمَلُوا خَيراً قَط» .. وهَل المرادُ بمَن يسلَمُ مِن الإحراقِ مَن كانَ يسجُدُ ، أوْ أعمُّ مِن أَن يكونَ بِالفعلِ أوِ القوّةِ ؟ الثّانِي أظهرُ ، ليَدخُلَ فيهِ مَن أسلمَ مثلاً وأخلَصَ فبغَتهُ الموتُ قبلَ أن يسجُدَ
[Fathul-Baariy, 11/455].
Ibnu Katsiir rahimahullah :
أن الاستثناء عائد على العصاة من أهل التوحيد ممن يخرجهم الله من النار بشفاعة الشافعين من الملائكة والنبيين والمؤمنين حتى يشفعون في أصحاب الكبائر ثم تأتي رحمة أرحم الراحمين فتخرج من النار من لم يعمل خيرا قط وقال يوما من الدهر لا إله إلا الله كما وردت بذلك الأخبار الصحيحة المستفيضة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم بمضمون ذلك من حديث أنس وجابر وأبي سعيد وأبي هريرة وغيرهم من الصحابة ولا يبقى بعد ذلك في النار إلا من وجب عليه الخلود فيها ولا محيد له عنها وهذا الذي عليه كثير من العلماء قديما وحديثا في تفسير هذه الآية الكريمة
[Tafsiir Ibni Katsiir, saat menafsirkan surat Huud ayat 106-107].
Abu 'Abdillah Muhammad Al-Humaidiy rahimahullah :
وهَذا يبيّن أنّ الّذين توحّدَ اللهُ عزّ وجلّ بإخراجِهم مِن النّارِ فِيمَن قالَ : لاَ إلهَ إلاّ اللهُ ولم يعَمَل خَيراً قَط ؛ إنّما هُوَ مَن قالهَا مرّةً واحِدةً فَقَطَ مُصدّقاً وماتَ علَى ذَلِكَ ، لأنّ قولَ : لاَ إلهَ إلاّ اللهُ حسنةٌ ، فإذا كرّرهَا حصَلَت لَه حسنةٌ أُخرَى ، فهُو أزيَدُ ممّن لَم يقُلها إلاّ مرّةً واحِدةً
............
ومِنهُم مَن فضلَت لَه معصيةٌ علَى كلّ مَا معَه مِن الخَيرِ ، ومَن لَم يعَمَل خَيراً قَط ، وهاتانِ الطّبقتانِ هُما المجازَيتانِ بالنّارِ ، إحْداهُما : عَلى ما فضَلَ لها مِن المعاصِي علَى مَا كانَ لهَا مِن خَيرٍ ، وهِيَ الخارِجةُ مِن النّارِ بالشّفاعَةِ .
والثّانيةُ : علَى ما عمِلَت مِن الشّر ، وهِي الخارِجَةُ مِن النّارِ بِرَحمَةِ اللهِ تَعالَى ، لا بِالشّفاعَةِ ، وهِيَ آخِرُ مَن يخرُجُ مِن النّارِ
[Maraatibul-Jazaa' Yaumal-Qiyaamah lil-Humaidiy, dalam Majmuu'ah yang berjudul Adz-Dzakhiirah min Mushannafaat Ash-Shaghiirah, hal. 199-212].
Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah :
والمراد بقوله (لم يعملوا خيرا قط) من أعمال الجوارح وإن كان أصل التوحيد معهم، ولهذا جاء في حديث الذي أمر أهله أن يحرقوه بعد موته بالنار إنه لم يعمل خيرا قط غير التوحيد
[At-Takhwiif minan-Naar, hal. 285].
وهذا يدل على أن الذين يخرجهم اللهم برحمته من غير شفاعة مخلوق هم أهل كلمة التوحيد الذين لم يعملوا معها خيرا قط بجوارحهم والله أعلم
[idem, hal. 286].
Ibnul-Waziir Ash-Shan'aaniy :
وقد دل حديث الشفاعة أن الخارجين من النار بالشفاعة ثلاث طوائف، وأن الله يخرج بعدهم من النار برحمته لا بالشفاعة طائفة رابعة لم يعمل خيرا قط ولا في قلوبهم خير قط؛ ممن قال لا إله إلا الله، يسميهم أهل الجنة : عتقاء الله من النار
[Al-'Awaashim wal-Qawaashim, hal. 102].
Ash-Shan'aaniy rahimahullah :
وهذا الحديث فيه الإخبار بأن الملائكة قالت : ( لم نذر فيها خيرا ) أي : أحدا فيه خير والمراد ما علموه بإعلام الله . ويجوز أن يقال: لم يعلمهم بكل من في قلبه خير وأنه بقي من أخرجهم بقبضته ويدل له أن لفظ الحديث ( أنه أخرج بالقبضة من لم يعملوا خيرا قط ) فنفى العمل ولم ينف الاعتقاد وفي حديث الشفاعة تصريح بإخراج قوم لم يعملوا خيرا قط ويفيد مفهومه أن في قلوبهم خيرا . ثم سياق الحديث يدل على أنه أريد بهم أهل التوحيد لأنه تعالى ذكر الشفاعة للملائكة والأنبياء والمؤمنين ومعلوم أن هؤلاء يشفعون بعصاة أهل التوحيد
[Raf'ul-Astaar li-Ibthaali Adillatil-Qaailiin bi-Fanaa-in-Naar, hal. 132].
Syaikh 'Abdullah Al-Ghunaimaan hafidhahullah :
قولُه : بغيرِ عَمَل عمِلُوه ، ولا خيرٍ قدّمُوه ، يعنِي أنّهم لم يعمَلُوا صالحِاً في الدّنيا وإنّما معَهُم أصلُ الإيمانِ الّذِي هُوَ شهادةُ أن لاَ إلهَ إلاّ اللهُ ، والإيمانُ برَسُولِهم ، قالَ الكرمَاني : ليسَ معَهم إلاّ مجرّدُ الإيمانِ دونَ أمرٍ زائدٍ علَيه مِن الأعمالِ والخيراتِ ، وعُلِم مِنه أنّ شفاعةَ الملائكةِ والنّبيّينَ والمُؤمِنينَ فيمَن كانَ لَه طاعةٌ غيرُ الإيمانِ الّذِي لايطّلِعُ علَيهِ إلاّ الله
[Syarh Kitaabit-Tauhiid, 2/132]
وقولُه : «لم يعَمَل خَيراً قَط» ، الظّاهِرُ أنّ المقصُودَ عَمَلُ الجَوارِحِ وأنّ عندَه أصلُ الإيمانِ في قَلبِه ، فهُو مؤمِنٌ باللهِ وبالجزاءِِ والحِسابِ ، وَهَذَا واضِحٌ من قولِه : فعلتُ ذَلِكَ مِن خَشيتِك
[idem, 2/391-392].
======
Para ulama di atas menetapkan tentang 'aqidah Ahlus-Sunnah tentang golongan orang yang akan dikeluarkan dari neraka yang tidak pernah mengerjakan amal kebaikan sedikit pun kecuali ketahuidan
Nah,.... setelah membaca dan tahu maknanya, silakan komentari semau Anda.
Menarik nampaknya ini jadi masuk ke ranah aqidah. Ya ga ada masalah yang jelas saya tidak akan membantah jika sudah di kait-kaitkan dengan aqidah. Tapi saya akan menyimak dan bertanya tentang hal yang saya mungkin tidak difahami.
Tentang aqidah ahlussunah bahwa pelaku dosa besar ada di dalam masyiah Alloh itu sudah mafhum insyaalloh.
Lantas pertanyaan saya tentang mizan.
Setiap muslim pastilah memiliki kalimat tauhid dalam dirinya, karena jika tidak tentu ia tergolong orang kafir. Tapi apakah timbangan amal setiap muslim sama dengan orang yang ada dalam hadits bitoqoh? Jika tidak maka apa sebab yang membedakan?
Apakah orang yang timbangan amal kebaikannya lebih berat dari amal keburukannya itu masih diazab? Atau ia langsung di masukkan kedalam surga? Apakah orang yang ringan timbangan amalnya itu di masukkan keneraka secara otomatis atau ia masih bisa diampuni?
Apakah ulama memahami hadits bitoqoh sebagai orang yang hanya memiliki amalan tauhid karena ia malas dan meremehkan amal? Bagaimana penjelasan mereka sesungguhnya? Apakah ini adalah maqthuq dari qoul ulama atau mafhum?
Ini hal-hal yang masih saya tidak fahami seputar hadits bitoqoh…syukron
Gimana tentang hadits syafa'at ?. Sudah mbaca dan memahami apa yang saya kutip dari perkataan ulama di atas ataukah belum ?. Jika sudah, lain kali Anda tidak usah melogika yang aneh-aneh yang seakan-akan saya lah yang berkata akan selamatnya orang yang tidak beramal kebaikan sedikit pun kecuali tauhid. Kalau mau membantah, bantahlah perkataan ulama di atas berdasarkan perkataan ulama juga. Ini baru enak dibaca. OK ?.
Kemudian pindah dengan hadits bithaqah. Pertanyaan Anda (dan saya menjawab sebatas yang saya tahu dan tekstual pertanyaan Anda) :
1. Tapi apakah timbangan amal setiap muslim sama dengan orang yang ada dalam hadits bitoqoh?
Jawab : Tidak. Tapi jawaban ini terkait dengan nomor 2 di bawah.
2. Jika tidak maka apa sebab yang membedakan?.
Jawab : Tentang amal - jika yang Anda maksud adalah amal jawaarih - , maka dalam hadits bithaqah yang saya sebutkan di atas, orang itu tidak mempunyai kebaikan yang dapat memperberat timbangannya kecuali tauhid. Jadi dari sini pertanyaan Anda sudah tidak kontekstual melihat teks hadits yang saya bawakan. Kecuali, yang Anda maksud adalah hadits lain. Namun jika yang dimaksud adalah apa yang membedakan antara kita dengan orang yang ada dalam hadits bithaqah tersebut, maka jawabannya adalah kualitas ketauhidannya dalam hati. Saya ambilkan satu penjelasan saja dari perkataan ulama. Syaikh As-Sa'diy rahimahullah berkata :
وفي حديث البطاقة التي فيها لا إله إلا الله التي وزنت تسعة وتسعين سجلا من الذنوب، كل سجل يبلغ مد البصر، وذلك لكمال إخلاص قائلها، وكم ممن يقولها لا تبلغ هذا المبلغ؛ لأنه لم يكن في قلبه من التوحيد والإخلاص الكامل مثل ولا قريب مما قام بقلب هذا العبد
[Al-Qaulus-Sadiid, hal. 25, tahqiq : Al-Murtadlaa Zain Ahmad, Cet. 3].
Jadi, yang membedakan antara dia dan selain dia adalah kualitas tauhidnya.
3. Apakah orang yang timbangan amal kebaikannya lebih berat dari amal keburukannya itu masih diazab? Atau ia langsung di masukkan kedalam surga?.
Jawab : Setahu saya ada dua pendapat dalam hal ini. Salah satunya adalah apa yang ditunjukkan dalam riwayat Ibnu Mas'uud radliyallaahu 'anhu yang berkata :
فَمَنْ كَانَتْ حَسَنَاتُهُ أَكْثَرَ مِنْ سَيِّئَاتِهِ بِوَاحِدَةٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ كَانَتْ سَيِّئَاتُهُ أَكْثَرَ مِنْ حَسَنَاتِهِ بِوَاحِدَةٍ دَخَلَ النَّار
"Barangsiapa yang kebaikan-kebaikannya lebih banyak dari kejelekan-kejelekannya dengan satu kebaikan saja, maka ia masuk surga. Namun jika kejelekan-kejelekannya lebih banyak dari kebaikan-kebaikannya dengan satu kejelekan saja, maka ia masuk neraka".
Kemudian ia membaca ayat faman tsaqulat mawaaziinuhu fa-ulaaaika humul-muflihuun (QS. Al-A'raaf : 8) [Ma'aalimut-Tanziil lil-Baghawiy, 2/104].
Hal yang semisal juga ternukil dari Ibnu 'Abbaas. Dhahirnya, pendapat keduanya adalah jika kebaikan lebih banyak dari keburukan, maka masuk surga tanpa masuk neraka. Wallaahu a'lam.
Namun ada pendapat lain dari itu sebagaimana dinukil Al-Kalaabadziy. Al-Kalaabadziy ketika menjelaskan hadits barangsiapa yang akhir perkataannnya adalah Laa ilaha illallaah, wajabat lahul-jannah, ia berkata :
وَيَجُوزُ أَنْ يُحْمَلَ هَذَا عَلَى الشَّهَادَةِ الَّتِي هِيَ الإِيمَانُ، وَيَكُونُ ذَلِكَ فِي كُلِّ مُؤْمِنٍ، وَكُلُّ مُؤْمِنٍ يَرْجَحُ حَسَنَاتُهُ، وَيُوزَنُ إِيمَانُهُ، كَمَا يُوزَنُ سَائِرُ حَسَنَاتِهِ، وَإِيمَانُهُ يَرْجَحُ بِحَسَنَاتِهِ كَمَا جَاءَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ، وَيَدْخُلُ النَّارَ بَعْدَ ذَلِكَ فَيُطَهِّرُهُ مِنْ ذُنُوبِهِ، فَيُدْخِلُهُ الْجَنَّةَ بَعْدَ ذَلِكَ، وَهَذَا مَذْهَبُ قَوْمٍ يَقُولُونَ: كُلُّ مُؤْمِنٍ يُعْطَى كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ، وَكُلُّ مُؤْمِنٍ يَثْقُلُ مِيزَانُهُ، وَيَتَأَوَّلُونَ قَوْلَهُ تَعَالَى فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ، أَيِ النَّاجُونَ مِنَ الْخُلُودِ
[Bahrul-Fawaaid, 1/349].
Intinya, ia menjelaskan bahwa ada sebagian ulama mengatakan bahwa ayat barang siapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung, maksudnya adalah selamat dari kekekalan neraka. Dosa-dosa yang ia perbuat semasa di dunia tetap akan dibersihkan di neraka, namun akhirnya ia dimasukkan ke dalam surga.
Tentang tarjih kedua pendapat tadi, maka wallaahu a’lam. Perlu pendalaman lebih lanjut dari dalil dan hujjah yang dibawakan oleh masing-masing. Tapi setidaknya dengan apa yang saya tuliskan di atas Anda dapat mengetahui minimal ada dua pendapat dalam hal ini.
4. Apakah orang yang ringan timbangan amalnya itu di masukkan ke neraka secara otomatis atau ia masih bisa diampuni?.
Jawab : Ini terkait dari dua pendapat yang saya nukil sebelumnya. Menurut pendapat pertama, maka jika ia statusnya masih seorang muslim, maka ia berada di neraka hanya sementara saja, yang kemudian akan masuk ke dalam surga. Menurut pendapat kedua - sebagaimana dinukil Al-Kalaabadziy - setiap mukmin itu pada dasarnya lebih berat timbangan kebaikannya karena keberadaan tauhidnya. Namun ia tetap akan diadzab di neraka untuk membersihkan dosa-dosanya.
Namun itu semua diperkecualikan, jika Allah menghendaki mengampuni dosa-dosanya, maka Ia tidak akan mengadzabnya. Dari sini kita dapat mengetahui bahwa kedua pendapat itu mempunyai benang merah yang sama.
5. Apakah ulama memahami hadits bitoqoh sebagai orang yang hanya memiliki amalan tauhid karena ia malas dan meremehkan amal? Bagaimana penjelasan mereka sesungguhnya? Apakah ini adalah maqthuq dari qoul ulama atau mafhum?.
Jawab : Pelajari lagi kata 'mafhum' ya.... walau sebenarnya saya paham maksud Anda.
Tapi sebelumnya saya perlu saya katakan kepada Anda bahwa termasuk metode Ahlus-Sunnah adalah mengambil dhahir hukum yang terambil langsung dalam hadits. Ini adalah kaedah asal yang diterangkan oleh para ulama kita di beberapa kitabnya. Masalahnya adalah, sebagaimana hadits syafa'at, sikap Anda adalah selalu menolak dhahir hadits atau paling tidak membuat alasan-alasan untuk menolak dhahir hadits. Iya atau iya ?. Jujur saja deh... Itu perkataan Anda tentang hadits syafa'at masih tertulis dalam komentar ini. Lha wong saya membawakan perkataan ulama saja masih dicari-cari celahnya. Jadi masalah sebenarnya bukan saya membawakan perkataan ulama atau tidak. Benarkan ?. Iya atau iya ?.
Tapi gak apa-apa, itung-itung bikin saya buka-buka kitab lagi. Dari beberapa penjelasan ulama yang saya baca - terutama tentang syarh kutub at-tauhiid - , banyak di antara mereka membawakan hadits itu dalam keutamaan tauhiid. Seberapapun besar dosa yang dipunya, maka akan hapus dengan ketauhidan yang berkualitas dalam hati. Salah satunya adalah penjelasan Syaikh Shaalih Alusy-Syaikh berikut :
أنه لو تصور أن ذنوب العبد بلغت ثقل السماوات السبع وثقل ما فيها من العباد والملائكة وثقل الأرض لكانت (لا إله إلا الله) مائلة بذلك الثقل من الذنوب، وهذا هو الذي دل عليه حديث البطاقة حيث جُعِل على أحد العصاة سجلات عظيمة، فقيل له: "هل لك من عمل؟ فقال: لا، فقيل له: بلى، ثم أخرجت له بطاقة فيها (لا إله إلا الله، فوضعت في الكفة الأخرى، فطاشت سجلات الذنوب، وثقلت البطاقة". وهذا الفضل العظيم لكلمة التوحيد، إنما هو لمن قويت في قلبه، ذلك أنها في قلب بعض العباد تكون قوية، لأنه مخلص فيها مصدق، لا ريب عنده فيما دلت عليه، معتقد ما فيها، محب لما دلت عليه، فيقوي أثرها ونورها في القلب، فإذا كانت كذلك، فإنها تحرق ما يقابلها من الذنوب، وأما من لم يكن من أهل تمام الإخلاص فيها، فإنه لا تطيش له سجلات الذنوب، فيكون هذا الحديث وحديث البطاقة يدلاّن على أن (لا إله إلا الله) لا يقابلها ذنب، ولا يقابلها خطيئة، لكن هذا في حق من كملها وحققها، بحيث لم يخالط قلبه –في معناها- ريب، ولا تردد، ومعناها مشتمل على الربوبية بالتضمن، وعلى الأسماء والصفات باللزوم، وعلى الإلهية بالمطابقة، فيكون من ينتفع بهذه الكلمة على وجه الكمال –ولو بلغت ذنوبه ما بلغتْ، وكانت سجلاته كثقل السماوات والأرضين السبع- وهو الذي كمَّل ما دلت عليه من التوحيد. وهذا معنى هذا الحديث، وحديث البطاقة
[At-Tamhiid li-Syarh Kitaabit-Tauhiid, hal. 28-29].
Namun menilik maksud pertanyaan Anda di atas, maka yang saya tangkap itu pertanyaan Anda itu terutama sekali berkaitan dengan kalimat : إِنَّ لَكَ عِنْدَنَا حَسَنَةً وَاحِدَةً (sesungguhnya engkau di sisi Kami mempunyai satu kebaikan). Al-Mubarakfuriy menjelaskan :
أَيْ وَاحِدَةً عَظِيمَةً مَقْبُولَةً
"Yaitu satu kebaikan yang besar yang diterima (di sisi Allah) - yaitu ketauhidan".
Al-Mubaarakfuriy mengambil dhahir hadits, yaitu hanya satu kebaikan tauhid saja yang ada pada orang tersebut. Gak ada tambahan lain.
Syaikh 'Ubaid Al-Jaabiriy hafidhahullah berkata ketika menjelaskan hadits bithaqah :
أولا: أن الرجل لقي الله فاسقا وليس له من الحسنات سوى التوحيد, ويزيده وضوحا قوله : بلى إن لك عندنا حسنة, ولم يقل حسنات .
وثانيا: أنه لو كان له حسنات لذكرت. فبان بهذا التقرير أنه لم يدخل الجنة إلا بتحقيق التوحيد, لأن جميع ما في تلك السجلات كله من السيئات.
الوجه الثاني: ما قرره أئمة أهل السنة أن من لقي الله بكل ذنب خلا الشرك والكفر كان تحت المشيئة إن شاء الله غفر له وإن شاء عذبه, وإن عذبه لم يخلده في النار. مستدلين على ذلك بالكتاب والسنة :
فمن الكتاب قوله تعالى ( إن الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر مادون ذلك لمن يشاء).
ومن السنة المتواترة في هذا الباب ما أخرجه البخاري عن ابن مسعود رضي الله عنه: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم كلمة وقلت أخرى:"من مات وهو يدعو من دون الله ندا دخل النار» وقلت أنا: من مات وهو لا يدعو لله ندا دخل الجنة
[Tahdziirul-Muhibb war-Rafiiq - yang dipublikasikan di situs sahab].
Kalau Anda perhatikan, Syaikh 'Ubaid memahami hadits bithaqah sesuai dengan dhahirnya, yaitu orang tersebut tidak mempunyai kebaikan sedikit pun selain satu kebaikan yaitu ketauhidan – dan ia selamat dengannya. Dan di kemudian beliau membuat penyimpulan ringkas :
والحاصل: من دلالة النصوص وآثار الأئمة من أهل السنة أن أهل السنة قسمان:
أحدهما: من لقي الله على التوحيد الخالص والسلامة من المعاصي فهذا هو المؤمن كامل الإيمان.
والثاني: من لقي الله على التوحيد الخالص مصرا على كبيرة, فهذا هو المؤمن الفاسق الذي هو تحت المشيئة
Syaikh Al-Ghunaimaan hafidhahullah berkata ketika menjelaskan hadits bithaqah :
وهذا يكون لأفراد، ويجوز ألا يكون لرجل واحد، فيكون له نظراء على هذا المنوال، ولكن قد صحت الأحاديث الكثيرة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أن كثيراً ممن يقول لا إله إلا الله يدخل النار ويبقى فيها وقتاً طويلاً وهو في النار تأكله، ومنهم من يكون حمماً يحترق فيها، ومنهم من يبقى أثر السجود لا تأكله النار، وكل أهل الإسلام واتباع الرسل يقولون هذه الكلمة، وكثير منهم يدخلون النار مع قولهم هذه الكلمة، وخروجهم من النار يتفاوت تفاوتاً عظيماً، ومنهم من تأخذه النار إلى كعبيه فقط، ومنهم من تأخذه النار إلى ركبتيه، ومنهم من تأخذه النار إلى حقويه، ومنهم من تأخذه النار إلى ثدييه، ومنهم من تأخذه إلى رأسه وترقوته، ومنهم من يكون في النار في غمرات النار مغموراً فيها، وكله على تفاوت الأعمال، وكلهم يقولون: (لا إله إلا الله)؛ لأن الذي لا يقولوها لا يكون مسلماً أصلاً.
[Syarh Kitaabut-Tauhiid].
Itu saja perkataan ulama yang saya nukil. Silakan nilai sendiri apakah manthuq atau mafhum. Dan silakan Anda tuliskan hasil penilaian Anda pada kolom komentar di bawah.
Dan sampai saat ini yang saya baca dari penjelasan ulama, tidak ada di antara mereka yang memperinci mengapa orang itu tidak punya amal kebaikan lain, apakah ia malas dan meremehkan amal,.... saya belum menemukan penjelasan itu. Itu jika Anda minta keterangan secara tekstual. Penjelasan mereka yang saya baca sebatas dhahir nash dan kemutlakannya, yaitu : Orang itu tidak punya amal kebaikan lain selain ketauhidan. Kurang lebih sama dengan penjelasan jumhur ulama tentang hadits syafa’at. Namun berbagai penjelasan mereka - termasuk manthuq hadits - kita dapat mudah memahami dari hadits bithaqah maupun hadits syafa'at bahwa orang tersebut adalah orang yang bergelimang dalam kemaksiatan, sehingga ia tidak menjalankan kewajiban yang diperintahkan dan melakukan berbagai dosa selain kesyirikan. Setuju atau tidak dengan ini, itu urusan Anda.
Nah,.... sekarang, kalau boleh saya gantian tanya :
1. Menurut Anda, orang yang ada dalam hadits bithaqah punya gak kebaikan selain tauhid ?. Kalau Anda menganggap ada, apakah amalan itu ?. Dimana penunjukan nash nya secara sharih kalau orang itu mempunyai amalan kebaikan selain tauhid yang ditimbang di miizaan ?.
2. Seandainya Anda menganggap orang itu tidak punya kebaikan sedikit pun selain tauhid dalam bithaqah, kira-kira apa yang menyebabkannya masuk ke dalam surga ?. Seandainya Anda menganggap orang itu adalah orang yang punya udzur sehingga tidak dapat beramal, dimanakah saya bisa menemukan dalil sharih yang menunjukkan bahwa orang yang ada dalam hadits bithaqah itu termasuk orang yang punya udzur ?.
Saya harap jawaban Anda bukan ‘tidak tahu’, sebab pertanyaan saya itu hanya berangkat dari berbagai statement Anda di atas. Dan berbagai statement Anda di atas menunjukkan bahwa Anda tahu jawabannya, minimal, Anda telah melakukan muthala’ah kitab dan nushush. Oleh karena itu, silakan dituliskan di sini jawabannya. Saya harap saya bisa benar-benar beristifadah dari Anda. Tapi kalau memang Anda benar-benar gak tahu, ndak apa-apa Anda jawab gak tahu. Gak maksa. Hanya saja, saya nanti menjadi tahu dasar penulisan berbagai statement Anda di atas.
NB : Saya berharap Anda merespon pertanyaan saya - apapun jawaban Anda - sebelum Anda melanjutkan untuk berkomentar lain di kolom ini.
Syukron atas jawabannya, saya rasa cukup abul jauzaa tidak perlu ditambah lagi, bukan saya tidak mau menjawab tapi saya tidak menginginkan jika nanti malah menimbulkan perkataan dan sikap yang kurang berkenan bagi diri saya. Saya mohon cukup.
afwan ..
Ya, akhirnya saya 'tahu'. Itu adalah jawaban klasik Anda kalau ditanya (yaitu : 'bukannya saya tidak mau menjawab, tapi...bla...bla...bla...). Anda bukan sekali ini saja mengatakan itu - kalau ganti saya tanya. Tapi ndak apa-apa. Saya ndak maksa. Bahkan saya telah menduga Anda akan mengatakannya.
Mohon maaf juga jika ada kata yang gak berkenan.
baik lah sebagai tambahan terakhir saya terpaksa menuliskan ini karena antum telah menyangkakan sesuatu yang tidak baik terhadap diri saya.
Bukan itu alasannya saya tidak mau menjawab karena antum ditempat lain mengungkit-ngungkit perkara-perkara yang tidak ada relevansinya dengan permasalahan ilmiah. Tentang karakter pribadi dan apa yang ada di masa lalu tentang histori. Antum menyerang sisi pribadi. Dan antum menggunakan sikap dan perkataan yang kurang berkenan, ejekan dan cemoohan. Mungkin saya begitu dulu tapi apa cukup pantas antum meniru kesalahan orang lain?
Jika antum merasa terganggu dengan tulisan saya yang telah lalu maka jangan antum tampilkan apa lagi antum jawab. Karena itu toh keinginan antum sendiri.
Dengar saudaraku
Manusia dapat berubah baik sikap, etika dan motivasi dalam melakukan sesuatu. Seiring dengan waktu Kami semakin dewasa, tua dan semakin sadar diri kok.
Niat saya diskusi secara baik-baik dan berupaya ilmiah walau dengan segala keterbatasan yang ada, seperti yang antum bisa lihat sendiri saya dhoif memang.
Tapi jika arah diskusi sudah tidak baik dan menyerang kepada pribadi saya lebih baik tidak. Karena akan berpotensi melanggar kehormatan dan persaudaraan sesama muslim. Ini bertentangan dengan semangat persaudaraan ajaran islam itu sendiri.
Jika diskusi yang ada berjalan dengan etis, baik dan tidak emosional. Dan tutur kata yang saling menjaga perasaan dan kehormatan masing-masing, saya rasa diskusi itu memang layak tapi jika tidak demikian. Itu hanya akan menimbulkan permusuhan dan keributan yang tidak ada habisnya.
demi Alloh Saya bukan tidak memiliki jawaban tapi kita perbaiki saja dulu sikap kita baru lanjutkan diskusi. karena dengan itu diskusi akan berjalan dengan baik dan enak. Dengan syarat seperti itu baru saya setuju.
Tolong lah hargai diri saya dan perasaan saya kali ini saja. Jangan lagi anda cemooh dan ejek diri saya. jangan anda bawa perkara-perkara yang tidak ada kaitannya dengan pembahasan.
Jika anda janji.... saya mau jawab, kita buka lembaran baru saudaraku. Jangan antum ungkit lagi sesuatu yang saya sesalkan atas diri saya sendiri.
@Anonim,.... kok jadi 'melow' begitu Anda ini. Seakan-akan, Anda ini telah terdhalimi oleh saya dengan sedhalim-dhalimnya. Saya kira Blog ini bukanlah ajang curhat, keluhan, dan yang semisalnya. Tidak ingatkah Anda bahwa Anda sudah mengatakan hal yang semisal dengan di atas pada saya. Anda tidak perlu menekankan bahwa Anda telah berubah. Anda pun tidak perlu memberikan pengumuman bahwa Anda telah menjadi orang baik. Berubah atau tidak, itu yang tahu pasti hanya Allah dan Anda. Adapun saya, saya cuma tahu dari segala omongan Anda di blog ini, di chat, di imel, dan media yang lainnya. Saya cuma berharap bahwa omongan Anda itu benar.
Tentang menyerang dari sisi 'pribadi', memangnya saya ngomong apa kepada Anda ?. Apakah yang Anda maksud adalah perkataan saya bahwa Anda ini seorang yang mudltharib dan isti'jal ?. Kalau yang ini, ya memang benar kok. Tapi ingat, saya tetap konsisten hanya seputar bahasan saja. Anda ini mudltharib yang keidlthiraban yang jelas. Semula Anda mengatakan Anda memegang pendapat mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat. Anda pun mengkratak-kritik yang sebenarnya esensinya hanya dari buku Syaikh Ibnu 'Utsaimiin rahimahullah. Kemudian setelah itu Anda bilang ke saya bahwa Anda sudah rujuk dan berpindah pada pendapat yang tidak mengkafirkan. Setelah itu, pindah lagi ke pendapat yang mengkafirkan. Boleh-boleh saja sikap seperti itu, gak ada larangan. Hanya saja, bagi seorang thaalibul-'ilmi, ini sebagai satu qarinah saja bahwa Anda ini goncang. Tentang isti'jal, ya ini sama.... karena sedikitnya pengkajian dan muthala'ah, mudah menyimpulkan, sehingga gampang berpindah-pindah pendapat. Saran saya, kalau memang belum menguasai betul khilaf ulama dan fuqahaa serta pendalilan masing-masing, jangan buru-buru bicara. Baca dulu baik-baik semua referensi.
Nah,... sekarang bandingkan dengan perkataan Anda sendiri. Tu yang paling atas dengan nama Anonim mulai tanggal 27 Juli 2010 08:22, 4 Agustus 2010 10:50, hingga terakhir Anda mengirimkan imel ke saya sebagaimana komentar Anda di atas tertanggal 19 Agustus 2010 15:11. Belum lagi komentar Anda di artikel lain di Blog ini yang menjurus bahasa-bahasa semisal. Bahkan, yang terakhir pun, yang katanya Anda sudah berubah, Anda pun masih berkata :
"Afwan, bukan ana ingin merendahkan siapa saja yang hanya belajar dari buku/kitab, akan tetapi ketika seseorang itu belajar pada salah seorang ulama secara langsung (mulazammah), maka secara tidak langsung akhlak ulama itu" [selesai].
Ini komentar Anda tertanggal 16 Maret 2012 06:43. Baru sebulan yang lalu. Sebenarnya ini adalah daur ulang komentar-komentar Anda sebelumnya, misalnya :
"Ana tanya apakah Antum pernah mengkhatamkan matan kitab Aqidah, Mustholahah hadits atau Ushul fiqh, Ushul tafsir, atau balaghoh, ma'aniy, arudh, yang kesemua itu alat-alat dasar... dengan bimbingan Ulama secara talaqi? Duduk dimajelisnya?
Kemudian ia menguji dan mengatakan pada kita "ya kamu telah telah selesai menguasai matan kitab ini dan itu...artinya kemampuan kita memang sudah di uji dan di akui oleh ahli ilmu." [selesai]
Ini komentar Anda tanggal 18 Mei 2010 11:55.
Sudah dua tahun lebih, intinya sama. Padahal kalau menilik konteks perkataan Anda kepada saya, komentar Anda itu actualliy not relevant !!. Saya kadang sampai berpikir, rasa hasad apa si ya yang tersimpan pada tubuh Anda kepada saya. Apa si salah saya. Apa karena saya nulis Blog ?. Apa karena ada orang yang memanggil saya ustadz ?. Apa karena Blog saya dibaca orang ?.
Saya sebenarnya ndak masalah Anda ngomong apapun pada saya - selagi masih dalam batas kewajaran peradaban manusia dan agama. Saya tidak merasa sakit kepala dengan semua omongan Anda. Hanya saja, Anda pun ndak perlu harus minta senantiasa dipuji dan disanjung-sanjung; dan ketika ada yang mengkritik balik Anda dengan bahasa semisal Anda, Anda lantas merasa didhalimi. Sekeras apapun kritik saya pada seseorang, saya biasanya hanya mengikuti alur bahasa lawan bicara saya. Atau dengan kata lain, saya menggunakan bahasa serupa dengan lawan bicara saya. Dan saya tetap punya batasan, bahwa bahasa saya tetap harus kontekstual sesuai dengan bahasan saja. Bukan seperti bahasa Anda sampai mengkritik nanyain software, e-book, tidak pernah ke luar negeri belajar ke ulama.....
Jujur saya sangat berterima kasih dengan tulisan ustadz yang telah menulis dengan timbangan ilmiyah dari as-sunnah, tapi mengapa ustadz tidak menambahkan dalil dari alqur'an antara lain yang artinya: "Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa berbuat syirik dan mengampuni yang selain dari itu bagi siapa yang dikehendakinya" (An-Nisa: 48). Pendapat saya dengan saudara yang tidak ada namanya dalam dialog/tanya jawab bahwa beliau menginginkan kebaikan Insya Allah dan alangkah baiknya sekiranya ustadz mengatakan perkataan yang lebih baik padanya serta menghindari prasangka yang tidak perlu, misalnya : "Atau memang Anda menghindari membuka penjelasan kitab-kitab ulama ya ?. Karena jika membuka penjelasan para ulama, akan melemahkan logika Anda. Begitu ?.". Secara umum penjelasan ustadz sangatlah bagus dan bermanfaat karena belum ada ustadz lain sepanjang pengetahuan saya yang membahas secara detail dibanding ustadz abul jauzaa.
Ustaz mohon penjelasannya, kalau orang yang jarang shalat lalu ia beribadah lainnya seperti puasa, zakat, sedekah, dll apakah amalannya diterima Allah ? Terima kasih ustaz
Posting Komentar