tag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post7631839435215205977..comments2024-03-13T05:57:39.976+07:00Comments on Abul-Jauzaa Blog - !! كن سلفياً على الجادة: Meninggalkan ShalatUnknownnoreply@blogger.comBlogger67125tag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-10783417341116671592018-06-05T17:30:22.820+07:002018-06-05T17:30:22.820+07:00Ustaz mohon penjelasannya, kalau orang yang jarang...Ustaz mohon penjelasannya, kalau orang yang jarang shalat lalu ia beribadah lainnya seperti puasa, zakat, sedekah, dll apakah amalannya diterima Allah ? Terima kasih ustazAnonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-54360448881587687312014-10-18T07:03:11.342+07:002014-10-18T07:03:11.342+07:00Jujur saya sangat berterima kasih dengan tulisan u...Jujur saya sangat berterima kasih dengan tulisan ustadz yang telah menulis dengan timbangan ilmiyah dari as-sunnah, tapi mengapa ustadz tidak menambahkan dalil dari alqur'an antara lain yang artinya: "Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa berbuat syirik dan mengampuni yang selain dari itu bagi siapa yang dikehendakinya" (An-Nisa: 48). Pendapat saya dengan saudara yang tidak ada namanya dalam dialog/tanya jawab bahwa beliau menginginkan kebaikan Insya Allah dan alangkah baiknya sekiranya ustadz mengatakan perkataan yang lebih baik padanya serta menghindari prasangka yang tidak perlu, misalnya : "Atau memang Anda menghindari membuka penjelasan kitab-kitab ulama ya ?. Karena jika membuka penjelasan para ulama, akan melemahkan logika Anda. Begitu ?.". Secara umum penjelasan ustadz sangatlah bagus dan bermanfaat karena belum ada ustadz lain sepanjang pengetahuan saya yang membahas secara detail dibanding ustadz abul jauzaa.tatarudinhttps://www.blogger.com/profile/00302846584836765975noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-87910633248842812912012-04-16T14:40:08.837+07:002012-04-16T14:40:08.837+07:00Saya sebenarnya ndak masalah Anda ngomong apapun p...Saya sebenarnya ndak masalah Anda ngomong apapun pada saya - selagi masih dalam batas kewajaran peradaban manusia dan agama. Saya tidak merasa sakit kepala dengan semua omongan Anda. Hanya saja, Anda pun ndak perlu harus minta senantiasa dipuji dan disanjung-sanjung; dan ketika ada yang mengkritik balik Anda dengan bahasa semisal Anda, Anda lantas merasa didhalimi. Sekeras apapun kritik saya pada seseorang, saya biasanya hanya mengikuti alur bahasa lawan bicara saya. Atau dengan kata lain, saya menggunakan bahasa serupa dengan lawan bicara saya. Dan saya tetap punya batasan, bahwa bahasa saya tetap harus kontekstual sesuai dengan bahasan saja. Bukan seperti bahasa Anda sampai mengkritik nanyain software, e-book, tidak pernah ke luar negeri belajar ke ulama.....Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-79420670825077263802012-04-16T14:39:57.707+07:002012-04-16T14:39:57.707+07:00@Anonim,.... kok jadi 'melow' begitu Anda ...@Anonim,.... kok jadi 'melow' begitu Anda ini. Seakan-akan, Anda ini telah terdhalimi oleh saya dengan sedhalim-dhalimnya. Saya kira Blog ini bukanlah ajang curhat, keluhan, dan yang semisalnya. Tidak ingatkah Anda bahwa Anda sudah mengatakan hal yang semisal dengan di atas pada saya. Anda tidak perlu menekankan bahwa Anda telah berubah. Anda pun tidak perlu memberikan pengumuman bahwa Anda telah menjadi orang baik. Berubah atau tidak, itu yang tahu pasti hanya Allah dan Anda. Adapun saya, saya cuma tahu dari segala omongan Anda di blog ini, di chat, di imel, dan media yang lainnya. Saya cuma berharap bahwa omongan Anda itu benar.<br /><br />Tentang menyerang dari sisi 'pribadi', memangnya saya ngomong apa kepada Anda ?. Apakah yang Anda maksud adalah perkataan saya bahwa Anda ini seorang yang mudltharib dan isti'jal ?. Kalau yang ini, ya memang benar kok. Tapi ingat, saya tetap konsisten hanya seputar bahasan saja. Anda ini mudltharib yang keidlthiraban yang jelas. Semula Anda mengatakan Anda memegang pendapat mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat. Anda pun mengkratak-kritik yang sebenarnya esensinya hanya dari buku Syaikh Ibnu 'Utsaimiin rahimahullah. Kemudian setelah itu Anda bilang ke saya bahwa Anda sudah rujuk dan berpindah pada pendapat yang tidak mengkafirkan. Setelah itu, pindah lagi ke pendapat yang mengkafirkan. Boleh-boleh saja sikap seperti itu, gak ada larangan. Hanya saja, bagi seorang thaalibul-'ilmi, ini sebagai satu qarinah saja bahwa Anda ini goncang. Tentang isti'jal, ya ini sama.... karena sedikitnya pengkajian dan muthala'ah, mudah menyimpulkan, sehingga gampang berpindah-pindah pendapat. Saran saya, kalau memang belum menguasai betul khilaf ulama dan fuqahaa serta pendalilan masing-masing, jangan buru-buru bicara. Baca dulu baik-baik semua referensi. <br /><br />Nah,... sekarang bandingkan dengan perkataan Anda sendiri. Tu yang paling atas dengan nama Anonim mulai tanggal 27 Juli 2010 08:22, 4 Agustus 2010 10:50, hingga terakhir Anda mengirimkan imel ke saya sebagaimana komentar Anda di atas tertanggal 19 Agustus 2010 15:11. Belum lagi komentar Anda di artikel lain di Blog ini yang menjurus bahasa-bahasa semisal. Bahkan, yang terakhir pun, yang katanya Anda sudah berubah, Anda pun masih berkata :<br /><br /><i>"Afwan, bukan ana ingin merendahkan siapa saja yang <b>hanya belajar dari buku/kitab</b>, akan tetapi ketika seseorang itu belajar pada salah seorang ulama secara langsung (mulazammah), maka secara tidak langsung akhlak ulama itu"</i> [selesai].<br /><br />Ini komentar Anda tertanggal 16 Maret 2012 06:43. Baru sebulan yang lalu. Sebenarnya ini adalah daur ulang komentar-komentar Anda sebelumnya, misalnya :<br /><br /><i>"Ana tanya apakah Antum pernah mengkhatamkan matan kitab Aqidah, Mustholahah hadits atau Ushul fiqh, Ushul tafsir, atau balaghoh, ma'aniy, arudh, yang kesemua itu alat-alat dasar... dengan bimbingan Ulama secara talaqi? Duduk dimajelisnya?<br /><br />Kemudian ia menguji dan mengatakan pada kita "ya kamu telah telah selesai menguasai matan kitab ini dan itu...artinya kemampuan kita memang sudah di uji dan di akui oleh ahli ilmu."</i> [selesai]<br /><br />Ini komentar Anda tanggal 18 Mei 2010 11:55.<br /><br />Sudah dua tahun lebih, intinya sama. Padahal kalau menilik konteks perkataan Anda kepada saya, komentar Anda itu actualliy not relevant !!. Saya kadang sampai berpikir, rasa hasad apa si ya yang tersimpan pada tubuh Anda kepada saya. Apa si salah saya. Apa karena saya nulis Blog ?. Apa karena ada orang yang memanggil saya ustadz ?. Apa karena Blog saya dibaca orang ?.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-6224837220847461092012-04-15T15:12:12.222+07:002012-04-15T15:12:12.222+07:00baik lah sebagai tambahan terakhir saya terpaksa m...baik lah sebagai tambahan terakhir saya terpaksa menuliskan ini karena antum telah menyangkakan sesuatu yang tidak baik terhadap diri saya.<br /><br />Bukan itu alasannya saya tidak mau menjawab karena antum ditempat lain mengungkit-ngungkit perkara-perkara yang tidak ada relevansinya dengan permasalahan ilmiah. Tentang karakter pribadi dan apa yang ada di masa lalu tentang histori. Antum menyerang sisi pribadi. Dan antum menggunakan sikap dan perkataan yang kurang berkenan, ejekan dan cemoohan. Mungkin saya begitu dulu tapi apa cukup pantas antum meniru kesalahan orang lain?<br /><br />Jika antum merasa terganggu dengan tulisan saya yang telah lalu maka jangan antum tampilkan apa lagi antum jawab. Karena itu toh keinginan antum sendiri.<br /><br />Dengar saudaraku <br />Manusia dapat berubah baik sikap, etika dan motivasi dalam melakukan sesuatu. Seiring dengan waktu Kami semakin dewasa, tua dan semakin sadar diri kok.<br /><br />Niat saya diskusi secara baik-baik dan berupaya ilmiah walau dengan segala keterbatasan yang ada, seperti yang antum bisa lihat sendiri saya dhoif memang. <br /><br />Tapi jika arah diskusi sudah tidak baik dan menyerang kepada pribadi saya lebih baik tidak. Karena akan berpotensi melanggar kehormatan dan persaudaraan sesama muslim. Ini bertentangan dengan semangat persaudaraan ajaran islam itu sendiri. <br /><br />Jika diskusi yang ada berjalan dengan etis, baik dan tidak emosional. Dan tutur kata yang saling menjaga perasaan dan kehormatan masing-masing, saya rasa diskusi itu memang layak tapi jika tidak demikian. Itu hanya akan menimbulkan permusuhan dan keributan yang tidak ada habisnya. <br /><br />demi Alloh Saya bukan tidak memiliki jawaban tapi kita perbaiki saja dulu sikap kita baru lanjutkan diskusi. karena dengan itu diskusi akan berjalan dengan baik dan enak. Dengan syarat seperti itu baru saya setuju. <br /><br />Tolong lah hargai diri saya dan perasaan saya kali ini saja. Jangan lagi anda cemooh dan ejek diri saya. jangan anda bawa perkara-perkara yang tidak ada kaitannya dengan pembahasan. <br /><br />Jika anda janji.... saya mau jawab, kita buka lembaran baru saudaraku. Jangan antum ungkit lagi sesuatu yang saya sesalkan atas diri saya sendiri.Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-90261834741366806812012-04-15T08:55:48.277+07:002012-04-15T08:55:48.277+07:00Ya, akhirnya saya 'tahu'. Itu adalah jawab...Ya, akhirnya saya 'tahu'. Itu adalah jawaban klasik Anda kalau ditanya (yaitu : '<i>bukannya saya tidak mau menjawab, tapi...bla...bla...bla...</i>). Anda bukan sekali ini saja mengatakan itu - kalau ganti saya tanya. Tapi ndak apa-apa. Saya ndak maksa. Bahkan saya telah menduga Anda akan mengatakannya.<br /><br />Mohon maaf juga jika ada kata yang gak berkenan.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-10895945420381709392012-04-15T07:26:31.378+07:002012-04-15T07:26:31.378+07:00Syukron atas jawabannya, saya rasa cukup abul jauz...Syukron atas jawabannya, saya rasa cukup abul jauzaa tidak perlu ditambah lagi, bukan saya tidak mau menjawab tapi saya tidak menginginkan jika nanti malah menimbulkan perkataan dan sikap yang kurang berkenan bagi diri saya. Saya mohon cukup. <br /><br />afwan ..Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-24998952396301253342012-04-15T00:33:35.127+07:002012-04-15T00:33:35.127+07:00Syaikh Al-Ghunaimaan hafidhahullah berkata ketika ...Syaikh Al-Ghunaimaan hafidhahullah berkata ketika menjelaskan hadits bithaqah :<br /><br />وهذا يكون لأفراد، ويجوز ألا يكون لرجل واحد، فيكون له نظراء على هذا المنوال، ولكن قد صحت الأحاديث الكثيرة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أن كثيراً ممن يقول لا إله إلا الله يدخل النار ويبقى فيها وقتاً طويلاً وهو في النار تأكله، ومنهم من يكون حمماً يحترق فيها، ومنهم من يبقى أثر السجود لا تأكله النار، وكل أهل الإسلام واتباع الرسل يقولون هذه الكلمة، وكثير منهم يدخلون النار مع قولهم هذه الكلمة، وخروجهم من النار يتفاوت تفاوتاً عظيماً، ومنهم من تأخذه النار إلى كعبيه فقط، ومنهم من تأخذه النار إلى ركبتيه، ومنهم من تأخذه النار إلى حقويه، ومنهم من تأخذه النار إلى ثدييه، ومنهم من تأخذه إلى رأسه وترقوته، ومنهم من يكون في النار في غمرات النار مغموراً فيها، وكله على تفاوت الأعمال، وكلهم يقولون: (لا إله إلا الله)؛ لأن الذي لا يقولوها لا يكون مسلماً أصلاً.<br /><br />[Syarh Kitaabut-Tauhiid].<br /><br />Itu saja perkataan ulama yang saya nukil. Silakan nilai sendiri apakah manthuq atau mafhum. Dan silakan Anda tuliskan hasil penilaian Anda pada kolom komentar di bawah. <br /><br />Dan sampai saat ini yang saya baca dari penjelasan ulama, tidak ada di antara mereka yang memperinci mengapa orang itu tidak punya amal kebaikan lain, apakah ia malas dan meremehkan amal,.... saya belum menemukan penjelasan itu. Itu jika Anda minta keterangan secara tekstual. Penjelasan mereka yang saya baca sebatas dhahir nash dan kemutlakannya, yaitu : Orang itu tidak punya amal kebaikan lain selain ketauhidan. Kurang lebih sama dengan penjelasan jumhur ulama tentang hadits syafa’at. Namun berbagai penjelasan mereka - termasuk manthuq hadits - kita dapat <b>mudah</b> memahami dari hadits bithaqah maupun hadits syafa'at bahwa orang tersebut adalah orang yang bergelimang dalam kemaksiatan, sehingga ia tidak menjalankan kewajiban yang diperintahkan dan melakukan berbagai dosa selain kesyirikan. Setuju atau tidak dengan ini, itu urusan Anda.<br /><br />Nah,.... sekarang, kalau boleh saya gantian tanya :<br /><br />1. Menurut Anda, orang yang ada dalam hadits bithaqah punya gak kebaikan selain tauhid ?. Kalau Anda menganggap ada, apakah amalan itu ?. Dimana penunjukan nash nya secara sharih kalau orang itu mempunyai amalan kebaikan selain tauhid yang ditimbang di miizaan ?.<br /><br />2. Seandainya Anda menganggap orang itu tidak punya kebaikan sedikit pun selain tauhid dalam bithaqah, kira-kira apa yang menyebabkannya masuk ke dalam surga ?. Seandainya Anda menganggap orang itu adalah orang yang punya udzur sehingga tidak dapat beramal, dimanakah saya bisa menemukan dalil sharih yang menunjukkan bahwa orang yang ada dalam hadits bithaqah itu termasuk orang yang punya udzur ?. <br /><br />Saya harap jawaban Anda bukan ‘tidak tahu’, sebab pertanyaan saya itu hanya berangkat dari berbagai statement Anda di atas. Dan berbagai statement Anda di atas menunjukkan bahwa Anda tahu jawabannya, minimal, Anda telah melakukan muthala’ah kitab dan nushush. Oleh karena itu, silakan dituliskan di sini jawabannya. Saya harap saya bisa benar-benar beristifadah dari Anda. Tapi kalau memang Anda benar-benar gak tahu, ndak apa-apa Anda jawab gak tahu. Gak maksa. Hanya saja, saya nanti menjadi tahu dasar penulisan berbagai statement Anda di atas. <br /><br />NB : Saya berharap Anda merespon pertanyaan saya - apapun jawaban Anda - sebelum Anda melanjutkan untuk berkomentar lain di kolom ini.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-70660279579848820312012-04-15T00:24:57.628+07:002012-04-15T00:24:57.628+07:00Tapi gak apa-apa, itung-itung bikin saya buka-buka...Tapi gak apa-apa, itung-itung bikin saya buka-buka kitab lagi. Dari beberapa penjelasan ulama yang saya baca - terutama tentang syarh kutub at-tauhiid - , banyak di antara mereka membawakan hadits itu dalam keutamaan tauhiid. Seberapapun besar dosa yang dipunya, maka akan hapus dengan ketauhidan yang berkualitas dalam hati. Salah satunya adalah penjelasan Syaikh Shaalih Alusy-Syaikh berikut :<br /><br />أنه لو تصور أن ذنوب العبد بلغت ثقل السماوات السبع وثقل ما فيها من العباد والملائكة وثقل الأرض لكانت (لا إله إلا الله) مائلة بذلك الثقل من الذنوب، وهذا هو الذي دل عليه حديث البطاقة حيث جُعِل على أحد العصاة سجلات عظيمة، فقيل له: "هل لك من عمل؟ فقال: لا، فقيل له: بلى، ثم أخرجت له بطاقة فيها (لا إله إلا الله، فوضعت في الكفة الأخرى، فطاشت سجلات الذنوب، وثقلت البطاقة". وهذا الفضل العظيم لكلمة التوحيد، إنما هو لمن قويت في قلبه، ذلك أنها في قلب بعض العباد تكون قوية، لأنه مخلص فيها مصدق، لا ريب عنده فيما دلت عليه، معتقد ما فيها، محب لما دلت عليه، فيقوي أثرها ونورها في القلب، فإذا كانت كذلك، فإنها تحرق ما يقابلها من الذنوب، وأما من لم يكن من أهل تمام الإخلاص فيها، فإنه لا تطيش له سجلات الذنوب، فيكون هذا الحديث وحديث البطاقة يدلاّن على أن (لا إله إلا الله) لا يقابلها ذنب، ولا يقابلها خطيئة، لكن هذا في حق من كملها وحققها، بحيث لم يخالط قلبه –في معناها- ريب، ولا تردد، ومعناها مشتمل على الربوبية بالتضمن، وعلى الأسماء والصفات باللزوم، وعلى الإلهية بالمطابقة، فيكون من ينتفع بهذه الكلمة على وجه الكمال –ولو بلغت ذنوبه ما بلغتْ، وكانت سجلاته كثقل السماوات والأرضين السبع- وهو الذي كمَّل ما دلت عليه من التوحيد. وهذا معنى هذا الحديث، وحديث البطاقة<br /><br />[At-Tamhiid li-Syarh Kitaabit-Tauhiid, hal. 28-29].<br /><br />Namun menilik maksud pertanyaan Anda di atas, maka yang saya tangkap itu pertanyaan Anda itu terutama sekali berkaitan dengan kalimat : إِنَّ لَكَ عِنْدَنَا حَسَنَةً وَاحِدَةً (sesungguhnya engkau di sisi Kami mempunyai <b>satu kebaikan</b>). Al-Mubarakfuriy menjelaskan :<br /><br />أَيْ وَاحِدَةً عَظِيمَةً مَقْبُولَةً<br /><br />"Yaitu satu kebaikan yang besar yang diterima (di sisi Allah) - yaitu ketauhidan".<br /><br />Al-Mubaarakfuriy mengambil dhahir hadits, yaitu hanya satu kebaikan tauhid saja yang ada pada orang tersebut. Gak ada tambahan lain.<br /><br />Syaikh 'Ubaid Al-Jaabiriy hafidhahullah berkata ketika menjelaskan hadits bithaqah :<br /><br />أولا: أن الرجل لقي الله فاسقا وليس له من الحسنات سوى التوحيد, ويزيده وضوحا قوله : بلى إن لك عندنا حسنة, ولم يقل حسنات .<br />وثانيا: أنه لو كان له حسنات لذكرت. فبان بهذا التقرير أنه لم يدخل الجنة إلا بتحقيق التوحيد, لأن جميع ما في تلك السجلات كله من السيئات.<br />الوجه الثاني: ما قرره أئمة أهل السنة أن من لقي الله بكل ذنب خلا الشرك والكفر كان تحت المشيئة إن شاء الله غفر له وإن شاء عذبه, وإن عذبه لم يخلده في النار. مستدلين على ذلك بالكتاب والسنة :<br />فمن الكتاب قوله تعالى ( إن الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر مادون ذلك لمن يشاء).<br />ومن السنة المتواترة في هذا الباب ما أخرجه البخاري عن ابن مسعود رضي الله عنه: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم كلمة وقلت أخرى:"من مات وهو يدعو من دون الله ندا دخل النار» وقلت أنا: من مات وهو لا يدعو لله ندا دخل الجنة<br /><br />[Tahdziirul-Muhibb war-Rafiiq - yang dipublikasikan di situs sahab].<br /><br />Kalau Anda perhatikan, Syaikh 'Ubaid memahami hadits bithaqah sesuai dengan dhahirnya, yaitu orang tersebut tidak mempunyai kebaikan sedikit pun selain <b>satu kebaikan</b> yaitu ketauhidan – dan ia selamat dengannya. Dan di kemudian beliau membuat penyimpulan ringkas :<br /><br />والحاصل: من دلالة النصوص وآثار الأئمة من أهل السنة أن أهل السنة قسمان:<br />أحدهما: من لقي الله على التوحيد الخالص والسلامة من المعاصي فهذا هو المؤمن كامل الإيمان.<br />والثاني: من لقي الله على التوحيد الخالص مصرا على كبيرة, فهذا هو المؤمن الفاسق الذي هو تحت المشيئةAbu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-34932138622704655432012-04-15T00:19:20.157+07:002012-04-15T00:19:20.157+07:00Namun ada pendapat lain dari itu sebagaimana dinuk...Namun ada pendapat lain dari itu sebagaimana dinukil Al-Kalaabadziy. Al-Kalaabadziy ketika menjelaskan hadits barangsiapa yang akhir perkataannnya adalah Laa ilaha illallaah, wajabat lahul-jannah, ia berkata :<br /><br />وَيَجُوزُ أَنْ يُحْمَلَ هَذَا عَلَى الشَّهَادَةِ الَّتِي هِيَ الإِيمَانُ، وَيَكُونُ ذَلِكَ فِي كُلِّ مُؤْمِنٍ، وَكُلُّ مُؤْمِنٍ يَرْجَحُ حَسَنَاتُهُ، وَيُوزَنُ إِيمَانُهُ، كَمَا يُوزَنُ سَائِرُ حَسَنَاتِهِ، وَإِيمَانُهُ يَرْجَحُ بِحَسَنَاتِهِ كَمَا جَاءَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ، وَيَدْخُلُ النَّارَ بَعْدَ ذَلِكَ فَيُطَهِّرُهُ مِنْ ذُنُوبِهِ، فَيُدْخِلُهُ الْجَنَّةَ بَعْدَ ذَلِكَ، وَهَذَا مَذْهَبُ قَوْمٍ يَقُولُونَ: كُلُّ مُؤْمِنٍ يُعْطَى كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ، وَكُلُّ مُؤْمِنٍ يَثْقُلُ مِيزَانُهُ، وَيَتَأَوَّلُونَ قَوْلَهُ تَعَالَى فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ، أَيِ النَّاجُونَ مِنَ الْخُلُودِ<br /><br />[Bahrul-Fawaaid, 1/349].<br /><br />Intinya, ia menjelaskan bahwa ada sebagian ulama mengatakan bahwa ayat <i>barang siapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung</i>, maksudnya adalah selamat dari kekekalan neraka. Dosa-dosa yang ia perbuat semasa di dunia tetap akan dibersihkan di neraka, namun akhirnya ia dimasukkan ke dalam surga.<br /><br />Tentang tarjih kedua pendapat tadi, maka wallaahu a’lam. Perlu pendalaman lebih lanjut dari dalil dan hujjah yang dibawakan oleh masing-masing. Tapi setidaknya dengan apa yang saya tuliskan di atas Anda dapat mengetahui minimal ada dua pendapat dalam hal ini.<br /><br /><i>4. Apakah orang yang ringan timbangan amalnya itu di masukkan ke neraka secara otomatis atau ia masih bisa diampuni?</i>.<br /><br />Jawab : Ini terkait dari dua pendapat yang saya nukil sebelumnya. Menurut pendapat pertama, maka jika ia statusnya masih seorang muslim, maka ia berada di neraka hanya sementara saja, yang kemudian akan masuk ke dalam surga. Menurut pendapat kedua - sebagaimana dinukil Al-Kalaabadziy - setiap mukmin itu pada dasarnya lebih berat timbangan kebaikannya karena keberadaan tauhidnya. Namun ia tetap akan diadzab di neraka untuk membersihkan dosa-dosanya.<br /><br />Namun itu semua diperkecualikan, jika Allah menghendaki mengampuni dosa-dosanya, maka Ia tidak akan mengadzabnya. Dari sini kita dapat mengetahui bahwa kedua pendapat itu mempunyai benang merah yang sama.<br /><br /><i>5. Apakah ulama memahami hadits bitoqoh sebagai orang yang hanya memiliki amalan tauhid karena ia malas dan meremehkan amal? Bagaimana penjelasan mereka sesungguhnya? Apakah ini adalah maqthuq dari qoul ulama atau mafhum?</i>.<br /><br />Jawab : Pelajari lagi kata 'mafhum' ya.... walau sebenarnya saya paham maksud Anda.<br /><br />Tapi sebelumnya saya perlu saya katakan kepada Anda bahwa termasuk metode Ahlus-Sunnah adalah mengambil dhahir hukum yang terambil langsung dalam hadits. Ini adalah kaedah asal yang diterangkan oleh para ulama kita di beberapa kitabnya. Masalahnya adalah, sebagaimana hadits syafa'at, sikap Anda adalah selalu menolak dhahir hadits atau paling tidak membuat alasan-alasan untuk menolak dhahir hadits. Iya atau iya ?. Jujur saja deh... Itu perkataan Anda tentang hadits syafa'at masih tertulis dalam komentar ini. Lha wong saya membawakan perkataan ulama saja masih dicari-cari celahnya. Jadi masalah sebenarnya bukan saya membawakan perkataan ulama atau tidak. Benarkan ?. Iya atau iya ?.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-70769297808352413052012-04-15T00:15:58.267+07:002012-04-15T00:15:58.267+07:00Gimana tentang hadits syafa'at ?. Sudah mbaca ...Gimana tentang hadits syafa'at ?. Sudah mbaca dan memahami apa yang saya kutip dari perkataan ulama di atas ataukah belum ?. <b>Jika sudah</b>, lain kali Anda tidak usah melogika yang aneh-aneh yang seakan-akan saya lah yang berkata akan selamatnya orang yang tidak beramal kebaikan sedikit pun kecuali tauhid. Kalau mau membantah, bantahlah perkataan ulama di atas <b>berdasarkan perkataan ulama juga</b>. Ini baru enak dibaca. OK ?.<br /><br />Kemudian pindah dengan hadits bithaqah. Pertanyaan Anda (dan saya menjawab sebatas yang saya tahu dan tekstual pertanyaan Anda) :<br /><br /><i>1. Tapi apakah timbangan <b>amal setiap muslim</b> sama dengan orang yang ada dalam hadits bitoqoh?</i><br /><br />Jawab : Tidak. Tapi jawaban ini terkait dengan nomor 2 di bawah.<br /><br /><i>2. Jika tidak maka apa sebab yang membedakan?</i>.<br /><br />Jawab : Tentang amal - jika yang Anda maksud adalah amal jawaarih - , maka dalam hadits bithaqah yang saya sebutkan di atas, orang itu tidak mempunyai kebaikan yang dapat memperberat timbangannya kecuali tauhid. Jadi dari sini pertanyaan Anda sudah tidak kontekstual melihat teks hadits yang saya bawakan. Kecuali, yang Anda maksud adalah hadits lain. Namun jika yang dimaksud adalah apa yang membedakan antara kita dengan orang yang ada dalam hadits bithaqah tersebut, maka jawabannya adalah kualitas ketauhidannya dalam hati. Saya ambilkan satu penjelasan saja dari perkataan ulama. Syaikh As-Sa'diy rahimahullah berkata :<br /><br />وفي حديث البطاقة التي فيها لا إله إلا الله التي وزنت تسعة وتسعين سجلا من الذنوب، كل سجل يبلغ مد البصر، وذلك لكمال إخلاص قائلها، وكم ممن يقولها لا تبلغ هذا المبلغ؛ لأنه لم يكن في قلبه من التوحيد والإخلاص الكامل مثل ولا قريب مما قام بقلب هذا العبد<br /><br />[Al-Qaulus-Sadiid, hal. 25, tahqiq : Al-Murtadlaa Zain Ahmad, Cet. 3].<br /><br />Jadi, yang membedakan antara dia dan selain dia adalah kualitas tauhidnya. <br /><br /><i>3. Apakah orang yang timbangan amal kebaikannya lebih berat dari amal keburukannya itu masih diazab? Atau ia langsung di masukkan kedalam surga?</i>.<br /><br />Jawab : Setahu saya ada dua pendapat dalam hal ini. Salah satunya adalah apa yang ditunjukkan dalam riwayat Ibnu Mas'uud radliyallaahu 'anhu yang berkata : <br /><br />فَمَنْ كَانَتْ حَسَنَاتُهُ أَكْثَرَ مِنْ سَيِّئَاتِهِ بِوَاحِدَةٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ كَانَتْ سَيِّئَاتُهُ أَكْثَرَ مِنْ حَسَنَاتِهِ بِوَاحِدَةٍ دَخَلَ النَّار<br /><br />"Barangsiapa yang kebaikan-kebaikannya lebih banyak dari kejelekan-kejelekannya dengan satu kebaikan saja, maka ia masuk surga. Namun jika kejelekan-kejelekannya lebih banyak dari kebaikan-kebaikannya dengan satu kejelekan saja, maka ia masuk neraka".<br /><br />Kemudian ia membaca ayat <i>faman tsaqulat mawaaziinuhu fa-ulaaaika humul-muflihuun</i> (QS. Al-A'raaf : 8) [Ma'aalimut-Tanziil lil-Baghawiy, 2/104].<br /><br />Hal yang semisal juga ternukil dari Ibnu 'Abbaas. Dhahirnya, pendapat keduanya adalah jika kebaikan lebih banyak dari keburukan, maka masuk surga tanpa masuk neraka. Wallaahu a'lam.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-32735521496971744722012-04-14T18:44:10.731+07:002012-04-14T18:44:10.731+07:00Menarik nampaknya ini jadi masuk ke ranah aqidah. ...Menarik nampaknya ini jadi masuk ke ranah aqidah. Ya ga ada masalah yang jelas saya tidak akan membantah jika sudah di kait-kaitkan dengan aqidah. Tapi saya akan menyimak dan bertanya tentang hal yang saya mungkin tidak difahami.<br /><br />Tentang aqidah ahlussunah bahwa pelaku dosa besar ada di dalam masyiah Alloh itu sudah mafhum insyaalloh.<br /><br />Lantas pertanyaan saya tentang mizan. <br /><br />Setiap muslim pastilah memiliki kalimat tauhid dalam dirinya, karena jika tidak tentu ia tergolong orang kafir. Tapi apakah timbangan amal setiap muslim sama dengan orang yang ada dalam hadits bitoqoh? Jika tidak maka apa sebab yang membedakan?<br /><br />Apakah orang yang timbangan amal kebaikannya lebih berat dari amal keburukannya itu masih diazab? Atau ia langsung di masukkan kedalam surga? Apakah orang yang ringan timbangan amalnya itu di masukkan keneraka secara otomatis atau ia masih bisa diampuni?<br /><br />Apakah ulama memahami hadits bitoqoh sebagai orang yang hanya memiliki amalan tauhid karena ia malas dan meremehkan amal? Bagaimana penjelasan mereka sesungguhnya? Apakah ini adalah maqthuq dari qoul ulama atau mafhum?<br /><br />Ini hal-hal yang masih saya tidak fahami seputar hadits bitoqoh…syukronAnonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-28797849695244898492012-04-14T16:54:49.700+07:002012-04-14T16:54:49.700+07:00Ibnu Katsiir rahimahullah :
أن الاستثناء عائد على...<b>Ibnu Katsiir rahimahullah :</b><br /><br />أن الاستثناء عائد على العصاة من أهل التوحيد ممن يخرجهم الله من النار بشفاعة الشافعين من الملائكة والنبيين والمؤمنين حتى يشفعون في أصحاب الكبائر ثم تأتي رحمة أرحم الراحمين فتخرج من النار من لم يعمل خيرا قط وقال يوما من الدهر لا إله إلا الله كما وردت بذلك الأخبار الصحيحة المستفيضة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم بمضمون ذلك من حديث أنس وجابر وأبي سعيد وأبي هريرة وغيرهم من الصحابة ولا يبقى بعد ذلك في النار إلا من وجب عليه الخلود فيها ولا محيد له عنها وهذا الذي عليه كثير من العلماء قديما وحديثا في تفسير هذه الآية الكريمة <br /><br />[Tafsiir Ibni Katsiir, saat menafsirkan surat Huud ayat 106-107].<br /><br /><b>Abu 'Abdillah Muhammad Al-Humaidiy rahimahullah :</b><br /><br />وهَذا يبيّن أنّ الّذين توحّدَ اللهُ عزّ وجلّ بإخراجِهم مِن النّارِ فِيمَن قالَ : لاَ إلهَ إلاّ اللهُ ولم يعَمَل خَيراً قَط ؛ إنّما هُوَ مَن قالهَا مرّةً واحِدةً فَقَطَ مُصدّقاً وماتَ علَى ذَلِكَ ، لأنّ قولَ : لاَ إلهَ إلاّ اللهُ حسنةٌ ، فإذا كرّرهَا حصَلَت لَه حسنةٌ أُخرَى ، فهُو أزيَدُ ممّن لَم يقُلها إلاّ مرّةً واحِدةً<br /><br />............<br /><br />ومِنهُم مَن فضلَت لَه معصيةٌ علَى كلّ مَا معَه مِن الخَيرِ ، ومَن لَم يعَمَل خَيراً قَط ، وهاتانِ الطّبقتانِ هُما المجازَيتانِ بالنّارِ ، إحْداهُما : عَلى ما فضَلَ لها مِن المعاصِي علَى مَا كانَ لهَا مِن خَيرٍ ، وهِيَ الخارِجةُ مِن النّارِ بالشّفاعَةِ .<br />والثّانيةُ : علَى ما عمِلَت مِن الشّر ، وهِي الخارِجَةُ مِن النّارِ بِرَحمَةِ اللهِ تَعالَى ، لا بِالشّفاعَةِ ، وهِيَ آخِرُ مَن يخرُجُ مِن النّارِ<br /><br />[Maraatibul-Jazaa' Yaumal-Qiyaamah lil-Humaidiy, dalam Majmuu'ah yang berjudul Adz-Dzakhiirah min Mushannafaat Ash-Shaghiirah, hal. 199-212].<br /><br /><b>Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah :</b><br /><br />والمراد بقوله (لم يعملوا خيرا قط) من أعمال الجوارح وإن كان أصل التوحيد معهم، ولهذا جاء في حديث الذي أمر أهله أن يحرقوه بعد موته بالنار إنه لم يعمل خيرا قط غير التوحيد <br /><br />[At-Takhwiif minan-Naar, hal. 285].<br /><br />وهذا يدل على أن الذين يخرجهم اللهم برحمته من غير شفاعة مخلوق هم أهل كلمة التوحيد الذين لم يعملوا معها خيرا قط بجوارحهم والله أعلم<br /><br />[idem, hal. 286].<br /><br /><b>Ibnul-Waziir Ash-Shan'aaniy :</b><br /><br />وقد دل حديث الشفاعة أن الخارجين من النار بالشفاعة ثلاث طوائف، وأن الله يخرج بعدهم من النار برحمته لا بالشفاعة طائفة رابعة لم يعمل خيرا قط ولا في قلوبهم خير قط؛ ممن قال لا إله إلا الله، يسميهم أهل الجنة : عتقاء الله من النار<br /><br />[Al-'Awaashim wal-Qawaashim, hal. 102].<br /><br /><b>Ash-Shan'aaniy rahimahullah :</b><br /><br />وهذا الحديث فيه الإخبار بأن الملائكة قالت : ( لم نذر فيها خيرا ) أي : أحدا فيه خير والمراد ما علموه بإعلام الله . ويجوز أن يقال: لم يعلمهم بكل من في قلبه خير وأنه بقي من أخرجهم بقبضته ويدل له أن لفظ الحديث ( أنه أخرج بالقبضة من لم يعملوا خيرا قط ) فنفى العمل ولم ينف الاعتقاد وفي حديث الشفاعة تصريح بإخراج قوم لم يعملوا خيرا قط ويفيد مفهومه أن في قلوبهم خيرا . ثم سياق الحديث يدل على أنه أريد بهم أهل التوحيد لأنه تعالى ذكر الشفاعة للملائكة والأنبياء والمؤمنين ومعلوم أن هؤلاء يشفعون بعصاة أهل التوحيد<br /><br />[Raf'ul-Astaar li-Ibthaali Adillatil-Qaailiin bi-Fanaa-in-Naar, hal. 132].<br /><br /><b>Syaikh 'Abdullah Al-Ghunaimaan hafidhahullah :</b><br /><br />قولُه : بغيرِ عَمَل عمِلُوه ، ولا خيرٍ قدّمُوه ، يعنِي أنّهم لم يعمَلُوا صالحِاً في الدّنيا وإنّما معَهُم أصلُ الإيمانِ الّذِي هُوَ شهادةُ أن لاَ إلهَ إلاّ اللهُ ، والإيمانُ برَسُولِهم ، قالَ الكرمَاني : ليسَ معَهم إلاّ مجرّدُ الإيمانِ دونَ أمرٍ زائدٍ علَيه مِن الأعمالِ والخيراتِ ، وعُلِم مِنه أنّ شفاعةَ الملائكةِ والنّبيّينَ والمُؤمِنينَ فيمَن كانَ لَه طاعةٌ غيرُ الإيمانِ الّذِي لايطّلِعُ علَيهِ إلاّ الله<br /><br />[Syarh Kitaabit-Tauhiid, 2/132]<br /><br />وقولُه : «لم يعَمَل خَيراً قَط» ، الظّاهِرُ أنّ المقصُودَ عَمَلُ الجَوارِحِ وأنّ عندَه أصلُ الإيمانِ في قَلبِه ، فهُو مؤمِنٌ باللهِ وبالجزاءِِ والحِسابِ ، وَهَذَا واضِحٌ من قولِه : فعلتُ ذَلِكَ مِن خَشيتِك <br /><br />[idem, 2/391-392].<br /><br />======<br /><br />Para ulama di atas menetapkan tentang 'aqidah Ahlus-Sunnah tentang golongan orang yang akan dikeluarkan dari neraka yang tidak pernah mengerjakan amal kebaikan sedikit pun kecuali ketahuidan<br /><br />Nah,.... <b>setelah membaca dan tahu maknanya</b>, silakan komentari semau Anda.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-66232671934012379952012-04-14T16:52:38.864+07:002012-04-14T16:52:38.864+07:00Akan saya tuliskan berikut beberapa perkataan ulam...Akan saya tuliskan berikut beberapa <b>perkataan ulama Ahlus-Sunnah</b> tentang seputar golongan orang yang tidak pernah beramal kebaikan sedikitpun (dalam hadits syafa'at) - biar komentarnya lebih terarah :<br /><br /><b>Ibnu Hazm Al-Andalusiy rahimahullah :</b><br /><br />وإنّما لم يكفُرْ مَن تركَ العمَلَ، وكفر من ترك القول، لأن الرسول صلى الله عليه وسلم حكم بالكفر على من أبى من القول، وإن كان عالما بصحة الإيمان بقلبه، وحكم بالخروج من الناّر لمن علم بقلبه وقال بلسانه؛ وإِنْ لمَ يعملْ خيرا قط<br /><br />[Ad-Durrah, hal. 337-338].<br /><br /><b>Ibnu 'Abdil-Barr rahimahullah :</b><br /><br />روي من حديث أبي رافع عن أبي هريرة في هذا الحديث أنه قال: (قال رجل لم يعمل خيرا قط إلا التوحيد) وهذه اللفظة إن صحت رفعت الإشكال في إيمان هذا الرجل وإن لم تصح من جهة النقل فهي صحيحة من جهة المعنى . <br /><br />والأصول كلها تعضدها والنظر يوجبها؛ لأنه محال غير جائز أن يغفر للذين يموتون وهم كفار؛ لأن الله عز وجل قد أخبر أنه لا يغفر أن يشرك به لمن مات كافرا، وهذا ما لا مدفع له ولا خلاف فيه بين أهل القبلة .<br /><br />وفي هذا الأصل ما يدلك على أن قوله في هذا الحديث: (لم يعمل حسنة قط) أو (لم يعمل خيرا قط )لم يعنِ به إلا ما عدا التوحيد من الحسنات والخير، وهذا شائع في لسان العرب جائز في لغتها أن يؤتى بلفظ الكل والمراد البعض <br /><br />[At-Tamhiid, 6/344-345].<br /><br /><b>Al-Qurthubiy rahimahullah :</b><br /><br />ثمّ هُوَ سُبحانَه بعدَ ذلِكَ يقبِضُ قَبضةً فَيُخرِجُ قوماًلمَ يعمَلُوا خَيراً قَط ، يُرِيدُ إلاّ التّوحيدَ المجرّدَ عَن الأعمَالِ<br /><br />[At-Tadzkirah, hal. 347].<br /><br /><b>Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :</b><br /><br />ليسَ في الحديثِ نفيُ إيمانِهم ، وإنّما فيهِ نفيُ عمَلِهم الخيرَ ، وفِي الحديثِ الآخرَ « يخرجُ مِنهَا مَن كانَ في قلبِه مثقالُ ذرّةٍ مِن إيمانٍ » وَقَد يحصُلُ فيِ قلبِ العبدِ مثقالُ ذرةٍ مِن إيمانٍ وإن كانَ لَم يعَمَل خَيراً ، ونفيُ العَمَل أيضاً لا يقتضِي نفيَ القَولِ ، بَل يُقالُ فيِمَن شهِدَ أن لاَ إلهَ إلاّ اللهُ وأنّ مُحمّداً رَسُولُ اللهِ ، ومَاتَ ولَم يعَمَل بجوارِحِه قَط ، إنّه لَم يعَمَل خَيراً ، فإنّ العَمَل قَد لاَ يدخُلُ فيهِ القَولَ ، لقولِه : (الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ) [فاطر:10]وإذَا لمْ يدخلْ فيِ النّفيِ إيمانُ القَلب واللِّسَان لم يكُن في ذَلِكَ مَا يناقِضُ القرآنَ<br /><br />[Itsbaat Ahaadiitsish-Shifaat,masih manuskrip, yang merupakan tulisan muridnya yang bernama Ibnu Muhibb Ash-Shaamit rahimahullah]<br /><br />ومِنهُم مَن فضلَت لَه معصيةٌ علَى كلّ مَا معَه مِن الخَيرِ ، ومَن لَم يعَمَل خَيراً قَط ، وهاتانِ الطّبقتانِ هُما المجازَيتانِ بالنّارِ ، إحْداهُما : عَلى ما فضَلَ لها مِن المعاصِي علَى مَا كانَ لهَا مِن خَيرٍ ، وهِيَ الخارِجةُ مِن النّارِ بالشّفاعَةِ .<br />والثّانيةُ : علَى ما عمِلَت مِن الشّر ، وهِي الخارِجَةُ مِن النّارِ بِرَحمَةِ اللهِ تَعالَى ، لا بِالشّفاعَةِ ، وهِيَ آخِرُ مَن يخرُجُ مِن النّارِ<br /><br />[Jaami'ur-Rasaail - Al-Majmu'atul-Khaamisah, hal. 203].<br /><br /><b>Ibnul-Qayyin rahimahullah :</b><br /><br />أنه قد ثبت في الصحيحين من حديث أبي سعيد الخدري في حديث الشفاعة فيقول عز وجل شفعت الملائكة وشفع النبي صلى الله عليه وسلمون وشفع المؤمنون ولم يبق إلا أرحم الراحمين فيقبض قبضة من النار فيخرج منها قوما لم يعملوا خيرا قط قد عادوا حمما فيلقيها في نهر في أفواه الجنة يقال له نهر الحياة فيخرجون كما تخرج الحبة في حمل السيل فيقول الله الجنة هؤلاء عتقاء الله الذين أدخلهم الله الجنة بغير عمل عملوه ولا خير قدموه فهؤلاء أحرقتهم النار جميعهم فلم يبق في بدن أحدهم موضع لم تمسه النار بحيث صاروا حمما وهو الفحم المحترق بالنار وظاهر السياق أنه لم يكن في قلوبهم مثقال ذرة من خير فان لفظ الحديث هكذا فيقول ارجعوا فمن وجدتم في قلبه مثقال ذرة من خير فأخرجوه فيخرجون خلقا كثيرا ثم يقولون ربنا لم نذر فيها خيرا فيقول الله عز وجل شفعت الملائكة وشفع النبي صلى الله عليه وسلمون وشفع المؤمنون ولم يبق إلا ارحم الراحمين فيقبض الله قبضة من نار فيخرج منها قوما لم يعملوا خيرا قط <br /><br />[Haadil-Arwaah, hal. 380-381].<br /><br /><b>Ibnu Hajar rahimahullah :</b><br /><br />وَقَد استنبطَ ابنُ أبيِ جمرةَ مِن هَذَا أنّ مَن كانَ مسلِماً ولكِنّهُُ كانَ لا يُصلّي لا يخرُجُ إذْ لاَ علامَةَ لَه ، لكِن يُحمَل عَلى أنّه يخرُجُ فيِ القبضةِ ، لِعُمومِ قولِه : «لَم يعمَلُوا خَيراً قَط» .. وهَل المرادُ بمَن يسلَمُ مِن الإحراقِ مَن كانَ يسجُدُ ، أوْ أعمُّ مِن أَن يكونَ بِالفعلِ أوِ القوّةِ ؟ الثّانِي أظهرُ ، ليَدخُلَ فيهِ مَن أسلمَ مثلاً وأخلَصَ فبغَتهُ الموتُ قبلَ أن يسجُدَ <br /><br />[Fathul-Baariy, 11/455].Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-25456481421969818902012-04-14T15:10:20.520+07:002012-04-14T15:10:20.520+07:00Kemudian tentang hadits bithaaqah........ Hadits b...Kemudian tentang hadits bithaaqah........ Hadits bithaqah adalah lain dari hadits syafa'at - walau keduanya berbicara tentang keutamaan tauhid. Hadits bithaqah menceritakan kejadian seseorang pada waktu penimbangan amal. Orang tersebut tidak mempunyai kebaikan sedikit pun kecuali tauhid, yang kemudian ketika ditimbang, maka ia lebih berat daripada amal kejelekannya yang menggunung. Allah ta'ala berfirman :<br /><br />وَالْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ * وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ بِمَا كَانُوا بِآيَاتِنَا يَظْلِمُونَ<br /><br />"Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka barang siapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami" [QS. Al-A'raaf : 8-9].<br /><br />Hadits bithaqah tidaklah bertentangan dengan ayat ini. Karena dalam hadits bithaqah telah disebutkan bahwa timbangan ketauhidannya lebih berat daripada segala amal buruk yang dilakukannya di dunia. Ia termasuk orang yang beruntung.<br /><br />Apakah orang tersebut langsung dimasukkan ke dalam surga tanpa melalui fase neraka terlebih dahulu ?. Wallaahu a'lam, dalam hadits tidak disebutkan. Beberapa ulama menjelaskan bahwa dosanya dihapuskan dan dimasukkan ke dalam surga. Salah satu yang menjelaskan demikian adalah Dr. Ibraahiim Ar-Ruhailiy rahimahullah. Apa yang beliau sebutkan memang konsekuensi logis dari dhahir nash.<br /><br />Namun, apakah ia dimasukkan dulu ke dalam neraka atau langsung dimasukkan ke dalam surga, itu bukan pokok pembahasannya. <b>Yang jelas, statusnya bukan orang kafir</b>. Jika kafir, maka tidak ada amal kebaikan yang diakui di akhirat yang dapat memperberat timbangan, karena Allah berfirman :<br /><br />وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا<br /><br />"Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan" [QS. Al-Furqaan : 23].<br /><br />Seandainya orang tersebut langsung masuk surga tanpa fase neraka - sebagaimana dikatakan sebagian ulama, apakah mungkin ?. Lantas bagaimana dengan dosa-dosa yang menggunung itu ?. Jawabnya adalah mungkin, jika Allah berkehendak. Allah akan mengampuni dan menghapus semua dosanya. Namun ingat,..... nash tetap mengatakan :<br /><br />إِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ، وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ <br /><br />"Apabila Allah berkehendak, Ia akan mengampuninya. Dan Apabila berkehendak, ia akan mengadzabnya".<br /><br />Inilah yang berlaku bagi muslim secara umum. Oleh karena itu, seandainya orang dalam hadits bithaqah itu langsung masuk surga dan diampuni segala dosa-dosanya karena ketauhidannya; maka itu tidak berlaku bagi setiap orang. Sama halnya hadits Bani Israaiil di atas. Meyakini pasti masuk surga tanpa fase neraka karena keberadaan ashulul-iman, ini 'aqidah Murji'ah. <br /><br />'Aqiidah Ahlus-Sunnah menyatakan bahwa semua pelaku kemaksiatan dari kalangan muslimin yang padanya ada ashlul-iman dalam hati, tetap <b>diancam</b> (bukan dipastikan) dengan neraka. Jadi, tidak ada yang musykil tentang hadits bithaqah seandainya kita benar-benar memahami pokok-pokok 'aqidah Ahlus-Sunnah.<br /><br />Tentang hadits syafa'at,... maka ini lain. Hadits ini menceritakan tentang orang yang terakhir kali keluar dari neraka dan kemudian masuk surga dengan rahmat-Nya. Orang itu diceritakan tidak mempunyai amal kebaikan selain tauhid. Anda tidak perlu berberat-berat diri tentang gambaran orang tersebut sebagaimana komentar Anda yang telah lewat dan berkali-kali di Blog ini. Ini jelas, <b>jika Anda membuka penjelasan para ulama</b>.<br /><br />Anyway, hadits bithaqah dan hadits syafa'at menetapkan adanya orang yang selamat dari kekekalan nereka dengan sebab semata-mata ketauhidan dalam dirinya. Dua hadits ini tetap mempunyai konsekuensi hukum sebagaimana dhahirnya - <b>meskipun Anda tidak suka dan berusaha mereka-reka jawaban yang Anda buat agar kontradiktif dengan nash lain</b>.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-28260578811451942642012-04-14T15:09:10.466+07:002012-04-14T15:09:10.466+07:00Saya tambahi penjelasan tentang hadits bithaaqah :...Saya tambahi penjelasan tentang hadits bithaaqah :<br /><br />Kata Anda :<br /><br /><i>"Tentang hadits bitoqoh ya kalau dibawa hukumnya secara mutlak itu artinya setiap kaum muslimin yang ia masih dalam keislaman pasti timbangannya lebih berat dari kejelekannya. <br /><br />فَأَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ<br /><br />Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan (Al-Qoriah 6- 7) <br /><br />Konsekuensi jika hadits bitoqoh dibawa kepada ibroh secara umum maka setiap kaum muslimin yang ia bersyahadat dan tidak batal syahadatya maka ia berat timbangan amalnya. Dan tidak ada dari kaum muslimin yang masuk neraka terlebih dahulu…<br />Jelas kebanyakan kaum muslimin memiliki kebaikan yang tidak hanya terbatas pada syahadat dan kalimat tauhid yakni lebih baik timbangannya dari orang yang ada dalam hadits bitoqoh"</i> [selesai].<br /><br />Saya memandang perkataan Anda itu terburu-buru (dalam mengambil kesimpulan). Mungkin itu dilatarbelakangi keinginan kuat untuk menguatkan pendapat yang Anda pegang dan melemahkan pendapat yang berseberangan. Akhirnya, 'ngaco'. Maaf.<br /><br />Termasuk bagian 'aqidah Ahlus-Sunnah yang perlu dipahami terhadap seseorang yang meninggal masih dalam keadaan muslim (statusnya) Islam; tentang segala kesalahannya, ada dua kemungkinan. Pertama, kesalahannya mungkin diampuni oleh Allah. Kedua, kesalahannya kemungkinan tidak diampuni oleh Allah ta'ala dan Ia akan mengadzabnya di neraka. Namun, adzab Allah terhadap orang tersebut tidaklah kekal, karena pada akhirnya akan dimasukkan ke dalam surga. Itu semua dilakukan oleh dengan hikmah-Nya tanpa perlu berberat-berat diri menanyakan : Bagaimana ?. <br /><br />Setelah itu, perhatikan hadits berikut :<br /><br />كَانَ رَجُلَانِ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ مُتَآخِيَيْنِ، فَكَانَ أَحَدُهُمَا يُذْنِبُ وَالْآخَرُ مُجْتَهِدٌ فِي الْعِبَادَةِ، فَكَانَ لَا يَزَالُ الْمُجْتَهِدُ يَرَى الْآخَرَ عَلَى الذَّنْبِ، فَيَقُولُ: أَقْصِرْ، فَوَجَدَهُ يَوْمًا عَلَى ذَنْبٍ، فَقَالَ لَهُ: أَقْصِرْ، فَقَالَ: خَلِّنِي وَرَبِّي أَبُعِثْتَ عَلَيَّ رَقِيبًا، فَقَالَ: وَاللَّهِ لَا يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ أَوْ لَا يُدْخِلُكَ اللَّهُ الْجَنَّةَ فَقَبَضَ أَرْوَاحَهُمَا، فَاجْتَمَعَا عِنْدَ رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَقَالَ لِهَذَا الْمُجْتَهِدِ: أَكُنْتَ بِي عَالِمًا أَوْ كُنْتَ عَلَى مَا فِي يَدِي قَادِرًا، وَقَالَ لِلْمُذْنِبِ: اذْهَبْ فَادْخُلِ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِي، وَقَالَ لِلْآخَرِ: اذْهَبُوا بِهِ إِلَى النَّارِ<br /><br />"Ada dua orang laki-laki dari kalangan Bani Israaiil yang saling bersaudara. Yang satu rajin ibadah dan lainnya berbuat dosa. Lelaki yang rajin beribadah selalu berkata kepada saudaranya : "Berhentilah dari perbuatan dosamu!” Suatu hari ia melihat saudaranya berbuat dosa dan ia berkata lagi : Berhentilah dari perbuatan dosamu!”. Saudaranya menjawab : “Biarkan antara aku dan Tuhanku. Apakah kamu diutus untuk mengawasiku?”. Ia lalu berkata : “Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu” atau “Dia tidak akan memasukanmu ke surga”. Kemudian Allah mengutus malaikat kepada keduanya untuk mengambil ruh keduanya hingga berkumpul di sisi-Nya. <b>Allah berkata kepada orang yang berdosa itu : "Masuklah kamu ke surga dengan rahmat-Ku”</b>. Lalu Allah bertanya kepada lelaki yang rajin beribadah : “Apakah kamu mampu menghalangi antara hamba-Ku dan rahmat-Ku?”. Dia menjawab : “Tidak, wahai Tuhanku.” Allah berfirman untuk yang rajin beribadah (kepada para malaikat): “Bawalah dia masuk ke dalam neraka”. Abu Hurairah radliyallaahu 'anhu berkata : “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh ia berkata dengan satu kalimat yang membinasakan dunia dan akhiratnya" [Diriwayatkan oleh Abu Daawud, dan dinyatakan valid oleh Al-Albaaniy].<br /><br />Perhatikan kalimat yang saya bold saja. Allah telah memasukkannya ke dalam surga dengan rahmat-Nya semata, dan mengampuni segala dosa-dosanya hingga tidak diadzab di neraka. Dan tidak mungkin orang tersebut masuk surga dengan rahmat-Nya dan diampuni segala dosanya jika tidak ada landasan ketauhidan - yang dengannya ia mendapat 'keistimewaan' ini.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-51636996772451912012-04-14T11:43:54.072+07:002012-04-14T11:43:54.072+07:00He..he..he... saya merasa aneh dengan orang yang s...He..he..he... saya merasa aneh dengan orang yang selalu mengatasnamakan 'ushul'. <br /><br />Salaf itu kalau dimutlakkan ya shahabat, tabi'iin, dan atbaa'ut-taabi'iin. Sekarang, karena sudah terbukti salaf dalam definisi ini tidak dapat menolong hujjah Anda, kemudian Anda batasi dengan 'shahabat'.<br /><br />Makna at-tark ini tidak terlepas dari istinbath nushush yang ada. Nah,... seandainya at-tark itu maknanya adalah at-tark murni (yaitu meninggalkan secara fi'liy) dan kafir yang dimaksud dalam nash adalah kafir akbar - sehingga menghasilkan hukum kafirnya orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja; ternyata sebagian shahabat tidak memahami seperti itu. Sebagian shahabat tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat sebagaimana bahasannya pada artikel : <a href="http://abul-jauzaa.blogspot.com/2012/04/validitas-ijma-salaf-tentang-kekafiran.html" rel="nofollow">Validitas Ijma’ Salaf tentang Kekafiran Orang yang Meninggalkan Shalat Karena Malas dan Meremehkan</a>. Secara akal sehat, maka hanya ada dua kemungkinan. Pertama, at-tark di situ yang dimaksud bukan sekedar tark fi'liy; atau Kedua, kufur yang dimaksud bukan kufur akbar. Dari sini sudah jelas salahnya klaim Anda yang memastikan bahwa tidak ada shahabat yang menafsirkan at-tark dalam nash dengan al-juhud. Apalagi Ats-Tsauriy - dan ia termasuk generasi salaf - sudah terang bahwa kekafiran akibat meninggalkan shalat adalah jika disertai dengan penolakan. Maka ini sejalan dengan pengertian al-juhuud (pengingkaran). Anyway, klaim Anda di atas tidak benar dalam beberapa sisi.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-62486274764898576562012-04-14T09:09:51.297+07:002012-04-14T09:09:51.297+07:00Maksud saya salaf disini adalah para sahabat. Dan ...Maksud saya salaf disini adalah para sahabat. Dan hukum meninggalkan sholat ma'ruf bagi mereka. Tidak ada generasi pertama yang memahami dengan tark dengan juhud. Tidak ada...semua memahami sebagaimana pensifatan hadits. Justru pemahaman dengan juhud adalah pemahaman yang muncul setelahnya. Yang tidak datang dari nash itu sendiri. Dan itu sudah ditolak baik secara ushul. logika yang sehat dan lain2. Sudah dibahas oleh para ulama...ibnu taimiyahAnonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-6877609982376312002012-04-14T08:52:31.950+07:002012-04-14T08:52:31.950+07:00@Anonim,.... gak ada tambahan esensial dari saya, ...@Anonim,.... gak ada tambahan esensial dari saya, karena Anda hanya mengulang apa yang telah dijawab saja. Dan saya kira, ulangan Anda itu telah saya jawab di atas. Lagi pula, maaf, jawaban Anda tentang hadits syafa'at dan bithaqah terkesan 'ngarang'. Maaf. Bahkan Ibnu Taimiyyah yang berpendapat tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat saja taslim dengan hadits syafa'at. Apalagi dengan ulama yang berpendapat tidak kafirnya. Beda dengan Anda yang membuat-buat alasan yang gak kena dari sisi ushul fiqh dan logika sehat lain dalam pendalilan. Saya rasa, Anda perlu membuka lagi kitab ilmu ushul fiqh Anda. Dan saran saya, bacalah penjelasan ulama. Atau memang Anda menghindari membuka penjelasan kitab-kitab ulama ya ?. Karena jika membuka penjelasan para ulama, akan melemahkan logika Anda. Begitu ?.<br /><br />Tentang bahasan at-tark dan juhud; maka yang saya tekankan di sini adalah mungkin dari segi bahasa dan pendalilan. Kedua, ada salaf dalam pemahaman ini. Sekaligus ini sebagai tolok ukur perkataan Anda yang mengatakan 'aneh' dan tidak ada salafnya. Jalan ini diambil oleh para ulama untuk menggabungkan semua dalil yang ada.<br /><br />==========<br /><br />Abu Hasan, benar.... Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimiin rahimahullah berpendapat demikian. Tapi mensyaratkan meninggalkan secara keseluruhan baru dikatakan kafir - sepengetahuan saya - bukan merupakan pendapat para ulama mutaqaddimiin. Wallaahu a'lam.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-40043305459026908562012-04-14T08:21:29.460+07:002012-04-14T08:21:29.460+07:00Abu Hasan says,
Assalamu'alaykum ustadz
Saya ...Abu Hasan says,<br />Assalamu'alaykum ustadz<br /><br />Saya pernah mendengar debat (formal, bukan jidal) dari dua orang da'i mengenai hal ini dahulu.. ketika itu salah seorang dai mengatakan bahwa posisi yg diambil syaikh utsaimin adalah bahwa dalam hadis2 semacam ini :<br />"العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة ، فمن تركها فقد كفر<br />“Perjanjian antara kita dan mereka adalah sholat barang siapa meninggalkannya maka ia telah kafir”.<br />bahwa dalam hadis diatas menggunakan الصلاة bukan cuma صلاة ini menunjukkan bahwa yang dimaksudkan adalah sholat secara keseluruhan.. <br />Apakah yg dikatakan dai tersebut benar ?<br />saya cuman orang awam.. kok kayanya hal ini ga pernah disinggung di atas jd saya tanyakan.. jazakallahu khairan<br />Barakallahu fikkAnonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-56820032267893229372012-04-14T07:53:52.281+07:002012-04-14T07:53:52.281+07:00Tentang tarikh dengan juhud kayanya agak maksain…a...Tentang tarikh dengan juhud kayanya agak maksain…afwan ga begitu jelas. <br />Jauh lah ga bisa begitu bisa diterima lah dalam kasus hukum sholat. Konteks perkataannya aja dah beda<br /><br />Tentang kufur tidak berhukum dengan hukum Alloh ya itu kan hukumnya ada zholim atau fasik dll dan sudah ada tafsir ibnu abas dan tidak ada sahabat yang mengingkari hal tersebut. Tapi sholat kan beda sahabat baik ibnu abbas dan kibar sahabat memahami sebagaimana zhohirnya yakni kufur akbar. Tidak ada sahabat memahami dengan kufr itu dengan juhud kewajibannya, itu sih pendapat orang setelah mereka.<br /><br />Tentang hadits bitoqoh ya kalau dibawa hukumnya secara mutlak itu artinya setiap kaum muslimin yang ia masih dalam keislaman pasti timbangannya lebih berat dari kejelekannya. <br /><br />فَأَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ<br /><br />Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan (Al-Qoriah 6- 7) <br /><br />Konsekuensi jika hadits bitoqoh dibawa kepada ibroh secara umum maka setiap kaum muslimin yang ia bersyahadat dan tidak batal syahadatya maka ia berat timbangan amalnya. Dan tidak ada dari kaum muslimin yang masuk neraka terlebih dahulu…<br />Jelas kebanyakan kaum muslimin memiliki kebaikan yang tidak hanya terbatas pada syahadat dan kalimat tauhid yakni lebih baik timbangannya dari orang yang ada dalam hadits bitoqoh.<br /><br />Jika kita menggunakan metode antum yakni mengambil zhohir hadits secara bulat maka kita hanya perlu amalan tauhid walau tanpa amal untuk selamat dari neraka. Karena tauhid pasti berat timbangan amalnya. Dan orang yang berat timbangan amalnya ada dalam kehidupan yang memuaskan. Yakni surga.<br /><br />Jika orang yang ada dalam hadits memiliki tauhid yang sempurna maka mengapa ia tidak beramal? Sementara ia tau bahwa tauhid melazimkan amal? Dan orang yang sempurna tauhidnya tentu ia tau hak robnya untuk disembah dan di ibadahi secara zhohir ?<br />Jadi perlu adanya perenungan kembali dalam penggunaan hadits bitoqoh untuk kasus hukum. Karena toh hadits nya tetang berita hal-hal yang ghoib yang sulit di jelaskan secara sempurna dengan akal. Untuk keutamaan tauhid dan beratnya timbangan tauhid oke ya itu memang dalil yang rojih tapi untuk hukum maka perlu di kaji lagi.Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-40262514771475310682012-04-14T07:50:52.506+07:002012-04-14T07:50:52.506+07:00Jika orang yang meninggalkan sholat itu dari sisi ...Jika orang yang meninggalkan sholat itu dari sisi mahzab yang mengkafirkan adalah murtad tentu tidak masuk dalam hadits safa’at. Saya rasa itu jelas. Jadi istisna yang ada dalam nash tidak berlaku disini. Karena pengecualiannya bukan dari sisi jenis amal yakni sholat tapi dari subjeknya sendiri. Bahwa setelah tegaknya hukum syariat sholat dan hukum meninggalkannya maka pada waktu itu orang yang telah dihukumi riddah karena meninggalkan sholat tidak masuk dalam keumuman hadits syafaat.<br /><br />Dan udah jelas bahwa nabi menjadikan sholat sebagai pembeda dan pembatas bagi Iman dan kafir. <br /><br /><br />أنا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى ، عَنْ سُفْيَانَ ، عَنِ الأَعْمَشِ ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ ، عَنْ جَابِرٍ ، عَنِ النَّبِيِّ قَالَ : " بَيْنَ الإِيمَانِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاةِ "<br /><br />Dari ubaidullah bin Musa, dari sofyan dan al-a’mas dari abi sofyan dari jabir dari nabi shalallahu alaihi wa salam. “Antara iman dan karir adalah meninggalkan sholat”<br /><br />Shorih insyaAlloh. <br /><br />Yang saya maksud mafhum adalah bahwa pendapat yang mengatakan bahwa orang yang tidak beramal kebaikan sedikitpun adalah orang yang malas dan meremehkan sholat setelah tegak syariat islam yang telah tegak didalamnya hukum sholat dan sebagainya. Ini adalah mafhum bukan manthuq. Dan benar manthuq adalah ia hanya mengerjakan tauhid dan bukan selainnya. Tapi tidak ada nash yang menunjukkan ia hidup setelah tegaknya syariat islam dan khususnya syariat sholat. TIDAK ADA itu mafhum bukan manthuq. Tapi tetang nash yang khusus tentang kufur meninggalkan sholat adalah Manthuq. Jelas kan. Dan kaidahnya<br /><br /><br />المنطوق مقدم على المفهوم<br />Nash yang manthuq didahulukan dari nash yang mafhum.<br /><br />Karenanya sebagian ulama tidak memahami nash tentang orang yang tidak beramal kebaikan sedikitpun sebagai orang yang hidup setelah tegaknya syariat. Karena setelah tegaknya syariat hukum meninggalkan sholat sudah shorih dan di jelaskan secara khusus.Anonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-13255118689315497262012-04-14T06:57:35.819+07:002012-04-14T06:57:35.819+07:00Perkataan Yuusuf ‘sesungguhnya aku telah meninggal...Perkataan Yuusuf ‘sesungguhnya aku telah meninggalkan’ (إِنِّي تَرَكْتُ), tidaklah mungkin dipahami hanya sekedar ‘meninggalkan’ saja, namun diserrtai dengan pengingkaran terhadap agama kekufuran dan segala sesuatu yang menafikkan tauhid. Begitu juga dengan firman Allah ta’ala lainnya :<br /><br />قَالُوا يَا شُعَيْبُ أَصَلاتُكَ تَأْمُرُكَ أَنْ نَتْرُكَ مَا يَعْبُدُ آبَاؤُنَا أَوْ أَنْ نَفْعَلَ فِي أَمْوَالِنَا مَا نَشَاءُ إِنَّكَ لأنْتَ الْحَلِيمُ الرَّشِيدُ<br /><br />“Mereka berkata: "Hai Syuaib, apakah agamamu yang menyuruh kamu agar kami <b>meninggalkan</b> apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal" [QS. Huud : 87].<br /><br />Maksud ‘meninggalkan’ dalam ayat ini bukan sekedar meninggalkan perbuatan saja, namun juga disertai pengingkaran terhadap peribadahan selain Allah ta’ala.<br /><br />Dan yang lainnya.<br /><br />Terakhir,.... apakah alif lam ma'rifah itu dalam nash selalu harus ditafsirkan kufur akbar dan tidak mungkin ditafsirkan kufur ashghar ?. Perhatikan firman Allah ta'ala :<br /><br />وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ<br /><br />"Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir" [QS. Al-Maaidah : 44].<br /><br />Apakah lafadh 'al-kaafiruun' dalam ayat di atas adalah orang-orang yang berbuat kufur akbar ?. Bukankah kata itu memakai alif lam ma'rifah ?. Coba baca tafsir kalangan salaf tentang hal ini. Adapun contoh-contoh lain masih ada beberapa....<br /><br />Wallaahu a'lam bish-shawwaab.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-5010169664247276612012-04-14T06:50:54.002+07:002012-04-14T06:50:54.002+07:004. Hadits Nashr bin ‘Aashim tentang orang yang ma...4. Hadits Nashr bin ‘Aashim tentang orang yang masuk Islam.<br /><br />حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ نَصْرِ بْنِ عَاصِمٍ، عَنْ رَجُلٍ مِنْهُمْ، أَنَّهُ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْلَمَ عَلَى أَنَّهُ لَا يُصَلِّي إِلَّا صَلَاتَيْنِ، فَقَبِلَ ذَلِكَ مِنْهُ <br /><br />Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Qataadah, dari Nashr bin ‘Aashim, dari seorang laki-laki dari kalangan mereka : Bahwasannya ia mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan menyatakan keislamannya dengan syarat bahwa ia tidak shalat <b>melainkan dua shalat saja</b>. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menerima hal itu darinya [Diriwayatkan oleh Ahmad 5/25, dan darinya Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush-Shahaabah no. 7346; shahih].<br /><br />Sisi pendalilannya adalah bahwasannya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menerima keislaman orang tersebut meskipun ia mengemukakan persyaratan faasid, yaitu tidak shalat lima waktu. Seandainya meninggalkan shalat merupakan amalan yang mengkonsekuensikan kekafiran dengan dzat perbuatannya, niscaya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menerima Islamnya. Kondisi ini seperti kondisi Bani Tsaqiif ketika berbaiat kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mensyaratkan untuk tidak bershadaqah dan berjihad.<br /><br />حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَّاحِ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيل يَعْنِي ابْنَ عَبْدِ الْكَرِيمِ، حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ يَعْنِي ابْنَ عَقِيلِ بْنِ مُنَبِّهٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ وَهْبٍ، قَالَ: سَأَلْتُ جَابِرًا عَنْ شَأْنِ ثَقِيفٍ إِذْ بَايَعَتْ، قَالَ: اشْتَرَطَتْ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا صَدَقَةَ عَلَيْهَا وَلَا جِهَادَ، وَأَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ ذَلِكَ يَقُولُ: " سَيَتَصَدَّقُونَ وَيُجَاهِدُونَ إِذَا أَسْلَمُوا "<br /><br />Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Ash-Shabbaah : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin ‘Abdil-Kariim : Telah menceritakan kepadaku Ibraahiim bin ‘Aqiil bin Munabbih , dari ayahnya , dari Wahb , ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Jaabir tentang keadaan Bani Tsaqiif ketika ia berbaiat (kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam). Ia berkata : “Mereka mensyaratkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk dibebani kewajiban shadaqah dan jihad”. Dan ia (Jaabir) mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam setelah itu bersabda : “Mereka akan bershadaqah dan membayar zakat jika masuk Islam” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3025; shahih].<br /><br />Dan lain-lain.....<br /><br />Oleh karena itu, di kalangan ulama kita terdahulu ada yang menafsirkan at-tark dalam nash-nash kafirnya meninggalkan shalat adalah meninggalkan yang disertai pengingkaran atau penolakan. Perkataan tempo Anda tempo hari bahwasannya tidak ada salaf yang memahami seperti itu adalah keliru berat. Sufyaan Ats-Tsauriy dan rekan-rekannya memahami at-tark yang mengkafirkankan itu adalah yang disertai dengan penolakan sebagaimana disebutkan secara shahih oleh Al-Marwadziy dalam kitab Ta'dhiimu Qadrish-Shalaah. Juga Asy-Syaafi'iy dan sebagian salaf lain yang menafsirkankan dengan at-tark yang disertai pengingkaran sebagaimana disebutkan Al-Ismaa'iiliy dan Al-Khaththaabiy rahimahumallah. <br /><br />Ta'wil dari sebagian salaf seperti ini adalah untuk menjamak beberapa nash yang kelihatan bertentangan dengan yang lainnya. Apakah ta'wil at-tark dengan disertai pengingkaran itu keliru dan tidak mungkin dalam bahasa Arab ?. Perhatikan firman Allah ta'ala :<br /><br />إِنِّي تَرَكْتُ مِلَّةَ قَوْمٍ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَهُمْ بِالآخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ<br /><br />“Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedang mereka ingkar kepada hari kemudian” [QS. Yuusuf : 37].<br /><br />Yaitu : meninggalkan dengan pengingkaran terhadap kekufuran.Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8372105893582766617.post-18074537721762223452012-04-14T06:49:44.911+07:002012-04-14T06:49:44.911+07:00Jika yang dimaksudkan adalah meninggalkan shalat h...Jika yang dimaksudkan adalah meninggalkan shalat hingga keluar dari waktunya, maka banyak nash yang berseberangan dengan pendapat ini. Saya sebutkan di antaranya :<br /><br />1. Hadits syafa'at dan hadits bithaqah.<br /><br />Hadits ini shahih dan sharih penunjukkannya.<br /><br />2. Hadits sahm.<br /><br />عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " ثَلاثٌ أَحْلِفُ عَلَيْهِنَّ، لا يَجْعَلُ اللَّهُ مَنْ لَهُ سَهْمٌ فِي الإِسْلامِ كَمَنْ لا سَهْمَ لَهُ، وَسِهَامُ الإِسْلامِ ثَلاثَةٌ: الصَّوْمُ، وَالصَّلاةُ، وَالصَّدَقَةُ، لا يَتَوَلَّى اللَّهُ عَبْدًا فَيُوَلِّيَهُ غَيْرَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلا يُحِبُّ رَجُلٌ قَوْمًا إِلا جَاءَ مَعَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَالرَّابِعَةُ لَوْ حَلَفْتُ عَلَيْهَا لَمْ أَخَفْ أَنْ آثَمَ، لا يَسْتُرُ اللَّهُ عَلَى عَبْدِهِ فِي الدُّنْيَا إِلا سَتَرَ عَلَيْهِ فِي الآخِرَةِ "<br /><br />Dari ‘Aaisyah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Ada tiga hal yang aku bersumpah atasnya : (1) Allah tidak akan menjadikan orang yang mempunyai bagian (sahm) dalam Islam seperti orang yang tidak mempunyai bagian. Bagian-bagian dalam Islam ada tiga, yaitu : puasa, shalat, dan zakat; (2) Allah tidak akan membela seorang hamba (di dunia), lalu Ia menyerahkan kepada selain-Nya pada hari kiamat; dan (3) tidaklah seseorang mencintai satu kaum kecuali ia akan datang bersama mereka pada hari kiamat. Dan yang keempat, seandainya aku bersumpah atasnya, aku tidak khawatir berdosa : Tidaklah Allah menutupi aib hamba-Nya di dunia kecuali Allah juga akan menutupi aibnya di akhirat” [Diriwayatkan oleh Abu Ya'laa no. 4566; shahih].<br /><br />Sisi pendalilannya adalah bagian pertama sumpah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersumpah bahwa Allah tidak akan menjadikan orang yang masih mempunyai bagian dalam Islam sama seperti orang yang tidak mempunyai bagian. Seandainya meninggalkan shalat hukumnya kafir, niscaya kedudukan orang yang tidak mempunyai salah satu bagian dari Islam berupa shalat, niscaya sama dengan orang yang tidak mempunyai bagian sama sekali dari Islam.<br /><br />3. Hadits 'Ubaadah bin Ash-Shaamit radliyallaahu 'anhu.<br /><br />عَنْ عُبَادَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى عِبَادِهِ، مَنْ حَافَظَ عَلَيْهِنَّ وَلَمْ يُضَيِّعْهُنَّ اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ، كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ لا يُعَذَّبْهُ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ لَمْ يَكُنْ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ، إِنْ شَاءَ رَحِمَهُ، وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ "<br /><br />Dari ‘Ubaadah, ia berkata : “Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ada lima waktu shalat yang diwajibkan Allah ‘azza wa jalla atas hamba-hamba-Nya. Barangsiapa yang menjaganya dan tidak menyia-nyiakannya sedikitpun dengan meremehkan hak-haknya, maka ia mempunyai perjanjian di sisi Allah agar Ia tidak mengadzabnya. <b>Dan barangsiapa yang tidak mengerjakannya</b>, maka dia tidak memiliki janji dengan Allah. Apabila berkehendak, Allah akan mengadzabnya. <b>Apabila berkehendak Allah akan memberikan rahmat kepadanya, dan apabila berkehendak akan mengadzabnya</b>” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 5/130-131; shahih].<br /><br />Ath-Thahawiy rahimahullah berkata :<br /><br />فكان في حديث عبادة : إن لم يأت بهن، يعني : الصلاوات الخمس.<br /><br />“Dan dalam hadits ‘Ubaadah : ‘jika ia tidak mengerjakannya’, yaitu : (tidak mengerjakan) shalat lima waktu” [Syarh Musykilil-Aatsaar, 8/200].<br /><br />Silakan Anda ta'wil dengan berbagai ta'wil yang memungkinkan membawanya ke makna 'kafir'.....Abu Al-Jauzaa' :https://www.blogger.com/profile/01463031649165087443noreply@blogger.com