Sekali Lagi,.... Faathimah vs Abu Bakr (?)



Permasalahan konflik Abu Bakr dan Faathimah radliyallaahu ‘anhumaa menjadi salah satu isu terpenting dari kalangan Syi’ah Raafidlah untuk menjajakan dagangan ‘aqidah. Sebenarnya, di blog ini telah menyinggung permasalahan tersebut pada artikel berjudul : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam Tidak MewariskanTanah Fadak kepada Faathimah. Namun kali ini, tema itu akan diulang dengan penekanan dan pembahasan berbeda, walau benang merah keduanya sama. Hadits yang akan dibicarakan adalah :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ صَالِحٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَخْبَرَتْهُ أَنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَام ابْنَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلَتْ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَقْسِمَ لَهَا مِيرَاثَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ فَقَالَ لَهَا أَبُو بَكْرٍ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَجَرَتْ أَبَا بَكْرٍ فَلَمْ تَزَلْ مُهَاجِرَتَهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ قَالَتْ وَكَانَتْ فَاطِمَةُ تَسْأَلُ أَبَا بَكْرٍ نَصِيبَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ خَيْبَرَ وَفَدَكٍ وَصَدَقَتَهُ بِالْمَدِينَةِ فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ عَلَيْهَا ذَلِكَ وَقَالَ لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْمَلُ بِهِ إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ فَإِنِّي أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيغَ فَأَمَّا صَدَقَتُهُ بِالْمَدِينَةِ فَدَفَعَهَا عُمَرُ إِلَى عَلِيٍّ وَعَبَّاسٍ وَأَمَّا خَيْبَرُ وَفَدَكٌ فَأَمْسَكَهَا عُمَرُ وَقَالَ هُمَا صَدَقَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتَا لِحُقُوقِهِ الَّتِي تَعْرُوهُ وَنَوَائِبِهِ وَأَمْرُهُمَا إِلَى مَنْ وَلِيَ الْأَمْرَ قَالَ فَهُمَا عَلَى ذَلِكَ إِلَى الْيَوْمِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah : Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Sa’d, dari Shaalih, dari Ibnu Syihaab, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Urwah bin Az-Zubair : Bahwasannya ‘Aaisyah ummul-mukminiin radliyallaahu ‘anhaa telah mengkhabarkannya : Faathimah ‘alaihis-salaam putri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah meminta kepada Abu Bakr Ash-Shiddiq setelah wafatnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam agar membagi untuknya bagian harta warisan yang ditinggalkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari harta fa'i yang Allah karuniakan kepada beliau. Abu Bakr berkata kepadanya : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :‘Kami tidak mewariskan dan apa yang kami tinggalkan semuanya sebagai shadaqah’. Faathimah bintu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun marah dan kemudian meng-hajr Abu Bakr. Ia terus dalam keadaan seperti itu hingga wafat. Dan ia hidup selama enam bulan sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. 'Aisyah radliyallaahu ‘anhaa berkata : "Fathimah pernah meminta Abu Bakr bagian dari harta yang ditinggalkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berupa tanah di Khaibar dan di Fadak (nama tempat, dekat Madinah) dan shadaqah beliau di Madinah namun Abu Bakr mengabaikannya dan berkata : "Aku tidak akan meninggalkan sedikitpun sesuatu yang pernah dikerjakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melainkan akan aku kerjakan. Sungguh aku takut menjadi sesat jika meninggalkan apa yang diperintahkan beliau. Adapun shadaqah beliau di Madinah telah diberikan oleh 'Umar kepada 'Ali dan 'Abbas, sementara tanah di Khaibar dan Fadak telah dipertahankan oleh 'Umar dan mengatakannya bahwa keduanya adalah shadaqah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang hak-haknya akan diberikan kepada yang mengurus dan mendiaminya sedangkan urusannya berada di bawah keputusan pemimpin". Perawi berkata : "Dan keadaannya tetap seperti itu hingga hari ini" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3092-3093].
Di sini akan dibahas seputar lafadh yang dicetak tebal (bold) dalam riwayat di atas. Lafadh tersebut dibawakan semuanya berasal dari Ibnu Syihaab Az-Zuhriy, dari ‘Urwah bin Az-Zubair, dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa; yang terdiri dari beberapa jalan, yaitu :
1.     Riwayat Syu’aib bin Abi Hamzah, dari Az-Zuhriy.
Syu’aib bin Abi Hamzah Diinaar Al-Qurasyiy, Abu Bisyr Al-Himshiy; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid, dan menurut Ibnu Ma’iin : ‘Termasuk orang yang paling tsabt dalam hadits Az-Zuhriy’. Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 162 H atau setelahnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 437 no. 2813].
Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan[1] 11/152-154 no. 4823 (dari ‘Utsmaan bin Sa’iid), Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa[2] 6/300 no. 12733 dan dalam Ad-Dalaail[3] 7/279 (dari Abul-Yamaan), dan Ath-Thabaraaniy[4] dalam Asy-Syaamiyyiin 4/198-199 no. 3097 (dari Abul-Yamaan)  – dengan menyebut lafadh kemarahan Faathimah :
قَالَتْ عَائِشَةُ: فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لا نُورَثُ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ "، إِنَّمَا كَانَ يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ مِنْ هَذَا الْمَالِ يَعْنِي مَالَ اللَّهِ لَيْسَ لَهُمْ أَنْ يَزِيدُوا عَلَى الْمَأْكَلِ، وَإِنِّي وَاللَّهِ لا أُغَيِّرُ صَدَقَاتِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهَا، فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ مِنْهَا شَيْئًا، فَوَجَدَتْ فَاطِمَةَ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ، فَهَجَرَتْهُ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى مَاتَتْ، وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ......
...... ‘Aaisyah berkata : Lalu Abu Bakr berkata : “Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : ‘Kami tidak diwarisi dan semua yang kami tinggalkan adalah shadaqah’. Dan hanyalah keluarga Muhammad makan dari harta ini – yaitu harta Allah yang tidak ada tambahan bagi mereka selain dari yang dimakan. Dan sesungguhnya aku, demi Allah, tidak akan mengubah shadaqah-shadaqah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari keadaan semua yang ada di jaman Nabi shallallaahu ‘alahi wa sallam. Dan sungguh aku memperlakukan shadaqah tersebut seperti yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam padanya”. Maka Abu Bakr enggan memberikan harta peninggalan tersebut sedikitpun pada Faathimah. Faathimah pun marah kepada Abu Bakr tentang hal itu, lalu ia pun meng-hajr-nya dan tidak mengajaknya bicara hingga wafat. Dan Faathimah hidup setelah wafatnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam selama enam bulan....” [lafadh milik Ath-Thabaraaniy].
Sanad riwayat ini shahih.
Abul-Yamaan namanya adalah : Al-Hakam bin Naafi’ Al-Bahraaniy Al-Himshiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 221 H/222 H dalam usia 83 tahun. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 264 no. 1472]
‘Utsmaan bin Sa’iid bin Katsiir bin Diinaar Al-Qurasyiy, Abu ‘Amru Al-Himshiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 209 H. Dipakai oleh Abu Daawud, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 663 no. 4504].
Al-Bukhaariy dalam Al-Ausath 1/114 no. 93 membawakan riwayat yang menyebutkan lafadh masa hidup Faathimah setelah wafatnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam selama enam bulan bukan bagian dari lafadh perkataan ‘Aaisyah :
حَدَّثَنَا محمد قال: حَدَّثَنَا أبو اليمان قال: أخبرنا شعيب، عن الزهري قال: أخبرني عروة بْن الزبير، عن عائشة....فذكر الحديث، وقال: وعاشت فاطمة بعد النبي صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ ستة أشهر ودفنها علي.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-Yamaan, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’aib, dari Az-Zuhriy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Urwah bin Az-Zubair, dari ‘Aaisyah,... lalu ia menyebutkan hadits. Dan perawi (laki-laki) berkata : “Dan Faathimah hidup sepeninggal Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam selama enam bulan, dan kemudian wafat, dikuburkan oleh ‘Aliy” [selesai].
Dari sini dapat diketahui bahwa lafadh wa ‘aasyat Faathimah ba’da An-Nabiy... dst. dari jalur Syu’aib bin Abi Hamzah dari Az-Zuhriy, merupakan idraaj (sisipan) dari perawi sebelum ‘Aaisyah.
2.     Riwayat Shaalih bin Kaisaan, dari Az-Zuhriy.
Shaalih bin Kaisaan Al-Madaniy Ad-Dausiy, Abu Muhammad/Al-Haarits; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi faqiih. Termasuk thabaqah ke-4, wafat setelah tahun 130 H atau setelah tahun 140 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 447 no. 2900].
Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy[5] no. 3092-3093, Ibnu Sa’d[6] dalam Ath-Thabaqaat 8/256-257, dan Al-Baihaqiy[7] dalam Al-Kubraa 6/300-301 no. 12734; semuanya dari jalan Ibraahiim bin Sa’d, dari Shaalih, dari Az-Zuhriy – dengan menyebutkan lafadh kemarahan Faathimah :
أَنَّ عَائِشَةَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَخْبَرَتْهُ أَنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَام ابْنَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سَأَلَتْ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَقْسِمَ لَهَا مِيرَاثَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ، فَقَالَ لَهَا أَبُو بَكْرٍ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَهَجَرَتْ أَبَا بَكْرٍ، فَلَمْ تَزَلْ مُهَاجِرَتَهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ،.......
“.....Bahwasannya ‘Aaisyah Ummul-Mukminiin radliyallaahu ‘anhaa telah mengkhabarkan kepadanya (‘Urwah) bahwa Faathimah ‘alaihas-salaam puteri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah meminta kepada Abu Bakr setelah wafatnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk membagi untuknya harta warisan yang ditinggalkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari harta fai’. Maka Abu Bakr berkata kepadanya : “Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : ‘Kami tidak diwarisi dan semua yang kami tinggalkan adalah shadaqah”. Faathimah bintu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun marah dan kemudian meng-hajr Abu Bakr. Ia terus dalam keadaan seperti itu hingga wafat. Dan ia hidup selama enam bulan sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.....” [lafadh milik Al-Bukhaariy].
Ibraahiim bin Sa’d bin Ibraahiim bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Auf Al-Qurasyiy Az-Zuhriy, Abu Ishaaq Al-Madaniy; seorang yang tsiqah lagi hujjah. Termasuk thabaqah ke-8, lahir tahun 108 H, dan wafat tahun 182 H/183 H/184 H/185 H). Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 108 no. 179].
Diriwayatkan juga oleh Muslim[8] no. 1758 (54), Ahmad[9] dalam Al-Musnad 1/6 no. 25 (dari Ibraahiim bin Sa’d), dan Abu ‘Awaanah[10] dalam Al-Mustakhraj 4/250 no. 6677; semuanya dari jalan Ibraahiim bin Sa’d, dari Shaalih, dari Az-Zuhriy – yang menyebutkan lafadh masa hidup Faathimah setelah wafatnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam selama enam bulan bukan bagian dari lafadh ‘Aaisyah :
أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ: أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سَأَلَتْ أَبَا بَكْرٍ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَقْسِمَ لَهَا مِيرَاثَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ، فَقَالَ لَهَا أَبُو بَكْرٍ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌقَالَ: وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ،......
Bahwasannya ‘Aaisyah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhabarkan kepadanya (‘Urwah) : Bahwa Faathimah bintu Rasulillah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah meminta kepada Abu Bakr setelah wafatnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk membagi untuknya harta warisan yang ditinggalkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari harta fai’. Maka Abu Bakr berkata kepadanya : “Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : ‘Kami tidak diwarisi dan semua yang kami tinggalkan adalah shadaqah”. Perawi (laki-laki) berkata : “Dan ia (Faathimah) hidup selama enam bulan sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.....” [lafadh milik Muslim].
Dari sini dapat diketahui bahwa lafadh wa ‘aasyat Faathimah ba’da An-Nabiy... dst. dari jalur Shaalih bin Kaisaan dari Az-Zuhriy, merupakan idraaj (sisipan) dari perawi sebelum ‘Aaisyah.
3.     Riwayat ‘Uqail bin Khaalid, dari Az-Zuhriy.
‘Uqail bin Khaalid bin ‘Uqail Al-Ailiy, Abu Khaalid Al-Umawiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-6, wafat tahun 144 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 687 no. 4699].
Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy[11] no. 4240-4241, Ahmad[12] 1/9-10 no. 55, Ath-Thahawiy[13] dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar no. 143, dan Ibnu Hibbaan[14] 14/573-574 no. 6607; semuanya dari Al-Laits bin Sa’d – dengan menyebutkan lafadh kemarahan Faathimah :
عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَام بِنْتَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَتْ إِلَى أَبِي بَكْرٍ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ بِالْمَدِينَةِ، وَفَدَكٍ وَمَا بَقِيَ مِنْ خُمُسِ خَيْبَرَ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْمَالِ، وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أُغَيِّرُ شَيْئًا مِنْ صَدَقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا الَّتِي كَانَ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَلَأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ مِنْهَا شَيْئًا، فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ فَهَجَرَتْهُ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ، وَعَاشَتْ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ........
Dari ‘Aaisyah : Bahwasannya Faathimah ‘alaihas-salaam bintu Rasulillah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus utusan kepada Abu Bakr untuk meminta kepadanya bagian harta warisan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari harta fai’ di Madinah, Fadak, dan sisa harta khumus Khaibar. Maka Abu Bakr berkata : “Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : ‘Kami tidak diwarisi dan semua yang kami tinggalkan adalah shadaqah’. Hanyalah keluarga Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam makan dari harta ini. Dan sesungguhnya aku – demi Allah – tidak akan mengubah sedikitpun shadaqah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari keadaan yang ada di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan sungguh aku akan memperlakukan shadaqah tersebut sesuai dengan apa yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam padanya”. Maka Abu Bakr pun enggan memberikan harta peninggalan tersebut sedikitpun kepada Faathimah. Faathimah pun marah kepada Abu Bakr dan meng-hajr-nya. Ia tidak berbicara kepada Abu Bakr hingga wafat. Dan ia hidup selama enam bulan setelah wafatnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.....” [lafadh milik Al-Bukhaariy].
Diriwayatkan juga oleh Muslim[15] no. 1759 (52) : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Raafi’ : Telah mengkhabarkan kepada kami Hujain : Telah menceritakan kepada kami Laits, dari ‘Uqail, dari Ibnu Syihaab – yang menyebutkan lafadh Faathimah yang meng-hajr Abu Bakr radliyallaahu ‘anhumaa hingga wafat bukan bagian dari lafadh ‘Aaisyah :
......فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ "، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْمَالِ، وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أُغَيِّرُ شَيْئًا مِنْ صَدَقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا، الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ شَيْئًا، فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ، قَالَ: فَهَجَرَتْهُ فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ......
Maka Abu Bakr berkata : “Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : ‘Kami tidak diwarisi dan semua yang kami tinggalkan adalah shadaqah’. Hanyalah keluarga Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam makan dari harta ini. Dan sesungguhnya aku – demi Allah – tidak akan mengubah sedikitpun shadaqah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari keadaan yang ada di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan sungguh aku akan memperlakukan shadaqah tersebut sesuai dengan apa yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam padanya”. Maka Abu Bakr pun enggan memberikan harta peninggalan tersebut sedikitpun kepada Faathimah. Faathimah pun marah kepada Abu Bakr karenanya. Perawi (laki-laki) berkata : “Ia meng-hajr Abu Bakr dan tidak berbicara kepadanya hingga wafat. Dan ia hidup selama enam bulan setelah wafatnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.....” [selesai].
Hujain bin Al-Mutsannaa Al-Yamaamiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 205 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 226 no. 1158].
Muhammad bin Raafi’ bin Abi Zaid Saabuur Al-Qusyairiy, Abu ‘Abdillah An-Naisaabuuriy Az-Zaahid; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid. Termasuk thabaqah ke-11, dan wafat tahun 245 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 844 no. 5913].
Dari sini dapat diketahui bahwa lafadh hajr Faathimah terhadap Abu Bakr hingga wafat dari jalur ‘Uqail bin Khaalid dari Az-Zuhriy, merupakan idraaj (sisipan) dari perawi sebelum ‘Aaisyah.
4.     Riwayat Ma’mar bin Raasyid, dari Az-Zuhriy.
Ma’mar bin Raasyid Al-Azdiy, Abu ‘Urwah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi faadlil. Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 154 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 961 no. 6857].
Ada beberapa jalan, yaitu dari :
a.      Hisyaam bin Yuusuf.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy[16] no. 6725-6726 dari jalan ‘Abdullah bin Muhammad : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam : Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar, dari Az-Zuhriy – yang menyebutkan lafadh Faathimah yang meng-hajr Abu Bakr radliyallaahu ‘anhumaa hingga wafat bukan bagian dari lafadh ‘Aaisyah :
.....فَقَالَ لَهُمَا أَبُو بَكْرٍ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ مِنْ هَذَا الْمَالِ، قَالَ أَبُو بَكْرٍ: وَاللَّهِ لَا أَدَعُ أَمْرًا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُهُ فِيهِ إِلَّا صَنَعْتُهُ، قَالَ: فَهَجَرَتْهُ فَاطِمَةُ فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى مَاتَتْ "
..... Maka Abu Bakr berkata kepada keduanya : “Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Kami tidak diwarisi dan semua yang kami tinggalkan adalah shadaqah’. Dan hanyalah keluarga Muhammad makan dari harta ini”. Perawi (laki-laki) berkata : “Lalu Faathimah meng­hajr Abu Bakr dan tidak berbicara dengannya hingga wafat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6725].
‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdullah bin Ja’far Al-Ju’fiy, Abu Ja’far Al-Bukhaariy – terkenal dengan nama Al-Musnadiy; seorang yang tsiqah lagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 229 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dan At-Tirmidziy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 542 no. 3610].
Hisyaam bin Yuusuf Ash-Shan’aaniy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Abnaawiy Al-Qaadliy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 197 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. no. 1023 no. 7359].
b.      ‘Abdurrazzaaq bin Hammaam Ash-Shan’aaniy.
Abdurrazzaaq bin Hammaam bin Naafi’ Al-Humairiy Al-Yamaaniy, Abu Bakr Ash-Shan’aaniy; seorang tsiqah, haafidh, penulis terkenal, namun kemudian mengalami kebutaan sehingga berubah hapalannya di akhir usianya. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 126, dan wafat tahun 211 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 607 no. 4092].
Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq[17] dalam Al-Mushannaf 5/472-474 no. 9774, dan dari jalannya Muslim[18] no. 1759 (53) (dari Ishaaq bin Ibraahiim, Muhammad bin Raafi’, dan ‘Abd bin Humaid), Ath-Thabariy[19] dalam At-Taariikh no. 935 (dari Abu Shaalih Adl-Dliraariy), Abu ‘Awaanah[20] dalam Al-Mustakhraj no. 6679 (dari Adz-Dzuhliy, Muhammad bin ‘Aliy Ash-Shan’aniy, dan Ad-Dabariy), dan Al-Baihaqiy[21] dalam Al-Kubraa 6/300 no. 12732 (dari Ahmad bin Manshuur) – yang menyebutkan lafadh Faathimah marah dan meng-hajr Abu Bakr radliyallaahu ‘anhumaa hingga wafat bukan bagian dari lafadh ‘Aaisyah :
......فَقَالَ لَهُمَا أَبُو بَكْرٍ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لا نُورَثُ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ هَذَا الْمَالِ، وَإِنِّي وَاللَّهِ لا أَدَعُ أَمْرًا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُهُ، إِلا صَنَعْتُهُ، قَالَ: فَهَجَرَتْهُ فَاطِمَةُ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى مَاتَتْ........
..... Maka Abu Bakr berkata kepada keduanya : “Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Kami tidak diwarisi dan semua yang kami tinggalkan adalah shadaqah’. Dan hanyalah keluarga Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam makan dari harta ini. Dan sesungguhnya, demi Allah, aku tidak akan meninggalkan perkara yang aku lihat melakukannya, kecuali aku akan melakukannya juga”.  Perawi (laki-laki) berkata : “Lalu Faathimah meng-­hajr Abu Bakr dan tidak berbicara dengannya hingga wafat....” [lafadh milik ‘Abdurrazzaaq].
Dan dalam lafadh Al-Baihaqiy disebutkan :
قَالَ: فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا وَهَجَرَتْهُ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى مَاتَتْ......
Perawi (laki-laki) berkata : Faathimah radliyallaahu ‘anhaa pun marah dan meng-hajr Abu Bakr, serta tidak berbicara kepadanya hingga wafat....”.
Ishaaq bin Ibraahiim bin Makhlad bin Ibraahiim bin Mathar Al-Handhaliy, Abu Muhammad/Ya’quub – terkenal dengan nama Ibnu Rahawaih Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi mujtahid. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 166 H, dan wafat tahun 238 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 126 no. 334].
Muhammad bin Raafi’, telah disebutkan keterangannya di atas.
‘Abd bin Humaid bin Nashr Al-Kassiy – terkenal dengan nama Al-Kasysyiy, Abu Muhammad; seorang yang tsiqah lagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-11, dan wafat tahun 249 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Muslim, dan At-Tirmidziy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 634 no. 4294].
Muhammad bin Ismaa’iil bin Abi Dliraar, Abu Shaalih Ar-Raaziy; seorang yang shaduuq. Termasuk thabaqah ke-11. Dipakai oleh Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 826 no. 5771].
Muhammad bin ‘Aliy bin Sufyaan; seorang yang majhuul al-haal [Taariikh Al-Islaam, 6/615].
Ishaaq bin Ibraahiim Ad-Dabariy; seorang yang shaduuq, hanya saja beberapa ulama mengkritik riwayatnya yang berasal dari ‘Abdurrazzaaq [Lisaanul-Miizaan, 2/36-38 no. 995].
Muhammad bin Yahyaa bin ‘Abdillah bin Khaalid bin Faaris bin Dzuaib Adz-Dzuhliy, Abu ‘Abdillah An-Naisaabuuriy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi jaliil. Termasuk thabaqah ke-11, lahir tahun 172 H, dan wafat tahun 258 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 907 no. 6427].
Ahmad bin Manshuur bin Sayyaar bin Al-Mubaarak Al-Baghdaadiy Ar-Ramaadiy, Abu Bakr; seorang yang tsiqah lagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-11, lahir tahun 182, dan wafat tahun 265. Dipakai oleh Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 100 no. 114].
Ketujuh orang tersebut di atas dalam periwayatan dari ‘Abdurrazzaaq yang menyebutkan lafadh ‘qaala : fahjarathu Faathimah’, diselesihi oleh Abu Bakr bin Zanjawaih yang menyebutkan lafadh qaalat : fahajarathu Faathimah’, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Mawaraziy[22] dalam Musnad Abi Bakr no. 38 - dengan menyebut lafadh kemarahan Faathimah (dari ‘Aaisyah).
Muhammad bin ‘Abdil-Malik bin Zanjawaih Al-Baghdaadiy, Abu Bakr Al-Ghazzaal; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-11, dan wafat tahun 258 H. Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 873 no. 6137].
Riwayatnya dengan menggunakan lafadh qaalat adalah syaadz karena menyelisihi jama’ah yang meriwayatkan dari ‘Abdurrazzaaq, yang di antara mereka ada yang lebih tsiqah dari Ibnu Zanjawaih. Wallaahu a’lam.
Kesimpulan : Yang mahfuudh dari jalan ‘Abdurrazzaaq dari Ma’mar adalah yang menyebutkan dengan lafadh qaala.
c.      Muhammad bin Tsaur.
Diriwayatkan oleh Ibnu Syabbah[23] dalam Taariikh Al-Madiinah 1/122-123 : Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Idriis, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Tsaur, dari Ma’mar, dari Az-Zuhriy - dengan menyebut lafadh kemarahan Faathimah (dari Az-Zuhriy) :
......فقال لَهُمَا أَبُو بَكْرٍ، رضي الله عنه: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يقول: " لا نُورَثُ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ مِنْ هَذَا الْمَالِ، وَإِنِّي وَاللَّهِ لا أُغَيِّرُ أَمْرًا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُهُ إِلا صَنَعْتُهُ. قال: فَهَجَرَتْهُ فَاطِمَةُ، رضي الله عنها، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ فِي ذَلِكَ الْمَالِ حَتَّى مَاتَتْ "
..... Maka Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu berkata kepada keduanya : “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Kami tidak diwarisi dan semua yang kami tinggalkan adalah shadaqah’. Dan hanyalah keluarga Muhammad makan dari harta ini. Dan sesungguhnya, demi Allah, aku tidak akan mengubah perkara yang aku lihat melakukannya, kecuali aku akan melakukannya juga”.  Perawi (laki-laki) berkata : “Lalu Faathimah radliyallaahu ‘anhaa meng­-hajr Abu Bakr dan tidak berbicara dengannya tentang hal itu hingga wafat....”.
Sanad riwayat ini sangat lemah dikarenakan Ishaaq bin Idriis.
Ishaaq bin Idriis  Al-Iswaariy Al-Bashriy, Abu Ya’quub. Tentangnya, Abu Zur’ah berkata : “Waahin”. Ibnul-Madiiniy meninggalkannya. Al-Bukhaariy berkata : “Manusia meninggalkannya”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Munkarul-hadiits”. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Pendusta, memalsukan hadits”. Abu Haatim berkata : “Dla’iiful-hadiits”.  Dalam riwayat lain, ia berkata : “Tidak boleh ditulis haditsnya”. Ibnu Hibbaan berkata : Ia telah mencuri hadits” [Lisaanul-Miizaan, 2/41 no. 998].
Adapun Muhammad bin Tsaur Ash-Shan’aaniy, Abu ‘Abdillah Al-‘Aabid; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 190 H. Dipakai oleh Abu Daawud, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 831 no. 5812].
d.      Muhammad bin ‘Umar Al-Waaqidiy.
Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d[24] dalam Ath-Thabaqaat 2/406-407 : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Umar : Telah menceritakan kepadaku Ma’mar, dari Az-Zuhriy – dengan menyebutkan lafadh kemarahan Faathimah bagian dari keseluruhan lafadh ‘Aaisyah.
Sanad riwayat ini sangat lemah karena Muhammad bin ‘Umar.
Muhammad bin ‘Umar bin Waaqid Al-Waaqidiy Al-Aslamiy, Abu ‘Abdillah Al-Madaniy Al-Qaadliy; seorang yang matruk. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 130 H, dan wafat tahun 207 di Baghdaad. Dipakai oleh Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 882 no. 6215].
Kesimpulan dari jalan Ma’mar dari Az-Zuhriy ini adalah : lafadh kemarahan dan hajr (pendiaman) Faathimah terhadap Abu Bakr hingga wafat merupakan idraaj (sisipan) dari perawi sebelum ‘Aaisyah.
5.     Riwayat Al-Waliid bin Muhammad dari Az-Zuhriy.
Diriwayatkan oleh Ibnu Syabbah[25] dalam Taariikh Al-Madiinah no. 548 : Telah menceritakan kepada kami Suwaid bin Sa’iid dan Al-Hasan bin ‘Utsmaan, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid bin Muhammad, dari Az-Zuhriy -  dengan menyebutkan lafadh kemarahan Faathimah bagian dari keseluruhan lafadh ‘Aaisyah.
Sanad riwayat ini sangat lemah karena Al-Waliid bin Muhammad.
Al-Waliid bin Muhammad Al-Mauqiriy, Abu Bisyr Al-Balqaawiy; seorang yang matruuk. Termasuk thabaqah ke-8, dan wafat tahun 182 H. Dipakai oleh At-Tirmidziy dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1041 no. 7503].
Jika kita coba sederhanakan jalan periwayatan hadits Az-Zuhriy, dari ‘Urwah, dari ‘Aaisyah yang menceritakan tentang kisah marahnya Faathimah, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1.     Riwayat Syu’aib bin Abi Hamzah, dari Az-Zuhriy.
Sanadnya shahih.
Faathimah marah saat mendengar penjelasan Abu Bakr dan meng-hajr-nya hingga wafat, namun lafadh bahwa ia (Faathimah) hidup selama enam bulan setelah wafatnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah lemah, merupakan idraaj dari perkataan perawi sebelum ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhum.
2.     Riwayat Shaalih bin Kaisaan, dari Az-Zuhriy.
Sanadnya shahih.
Faathimah marah saat mendengar penjelasan Abu Bakr dan meng-hajr-nya hingga wafat, namun lafadh bahwa ia (Faathimah) hidup selama enam bulan setelah wafatnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah lemah, merupakan idraaj dari perkataan perawi sebelum ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhum.
3.     Riwayat ‘Uqail bin Khaalid, dari Az-Zuhriy.
Sanadnya shahih.
Faathimah marah saat mendengar penjelasan Abu Bakr, namun lafadh bahwa ia meng-hajr dan tidak mengajak bicara hingga Abu Bakr hingga wafat enam bulan pasca Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat adalah lemah, merupakan idraaj dari perawi sebelum ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhum.
4.     Riwayat Ma’mar dari Az-Zuhriy.
Sanadnya shahih.
Lafadh Faathimah marah saat mendengar penjelasan Abu Bakr, lalu meng-hajr dan tidak mengajak bicara Abu Bakr hingga wafat (enam bulan pasca Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat) adalah lemah, merupakan idraaj dari perawi sebelum ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhum.
5.     Riwayat Al-Waliid bin Muhammad dari Az-Zuhriy.
Sanadnya sangat lemah, tidak perlu dibahas lebih lanjut.
Walhasil, dengan penggabungan/penjamakan semua riwayat menghasilkan kesimpulan bahwa  lafadh Faathimah marah dan meng-hajr Abu Bakr hingga wafat dari jalur Az-Zuhriy di atas adalah lemah, dengan sebab idraaj dari Az-Zuhriy.
Yang menguatkan hal itu adalah dalam riwayat Al-Baihaqiy disebutkan :
قَالَ مَعْمَرٌ: قُلْتُ لِلزُّهْرِيِّ: كَمْ مَكَثَتْ فَاطِمَةُ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: سِتَّةَ أَشْهُرٍ، فقَالَ رَجُلٌ لِلزُّهْرِيِّ: فَلَمْ يُبَايِعْهُ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَتَّى مَاتَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا؟، قَالَ: وَلا أَحَدٌ مِنْ بَنِي هَاشِمٍ
Ma’mar berkata : Aku bertanya kepada Az-Zuhriy : “Berapa lama Faathimah hidup sepeninggal Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Az-Zuhriy berkata : “Enam bulan”. Seorang laki-laki berkata kepada Az-Zuhriy : “Apakah ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu tidak berbaiat kepadanya (Abu Bakr) hingga Faathimah radliyallaahu ‘anhaa wafat ?”. Az-Zuhriy berkata : “Tidak seorang pun dari Baani Haasyim yang berbaiat...”.
Kemudian Al-Baihaqiy rahimahullah mengomentarinya :
وَقَوْلُ الزُّهْرِيِّ فِي قُعُودِ عَلِيٍّ، عَنْ بَيْعَةِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا مُنْقَطِعٌ
“Dan perkataan Az-Zuhriy tentang penundaan baiat ‘Aliy terhadap Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu hingga wafatnya Faathimah radliyallaahu ‘anhaa adalah munqathi’ (terputus, yang merupakan perkataan dari Az-Zuhriy)” [Al-Kubraa, 6/300].
Ini menunjukkan bahwa perkataan Az-Zuhriy bercampur dalam hadits yang ia bawakan. Jika Al-Baihaqiy rahimahullah menghukumi lafadh tersebut munqathi’, maka begitu juga dengan lafadh yang semisal tentang marahnya Faathimah dan pemboikotannya terhadap Abu Bakr hingga wafat dihukumi pula munqathi’ karena berasal dari perkataan Az-Zuhriy. Idraaj Az-Zuhriy tersebut selengkapnya adalah :
فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَجَرَتْ أَبَا بَكْرٍ فَلَمْ تَزَلْ مُهَاجِرَتَهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ
“Faathimah bintu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun marah lalu meng-hajr Abu Bakr. Ia terus meng-hajr-nya hingga wafat. Faathimah hidup selama enam bulan setelah wafatnya Rasululullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [selesai].
Para ulama telah memberikan penjelasan perihal idraaj Az-Zuhriy rahimahullah dalam beberapa hadits yang ia bawakan.
Ibnu Rajab rahimahullah berkata :
فإن الزهري كان كثيرا ما يروي الحديث، ثم يدرج فيه أشياء بعضها مراسيل، وبعضها من رأيه وكلامه
“Sesungguhnya Az-Zuhriy banyak meriwayatkan hadits, kemudian ia menyisipkan padanya (perkataannya), sebagiannya riwayat mursal, dan sebagiannya merupakan pendapatnya dan perkataannya” [Fathul-Baariy, 8/12].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
.....لما عرف من عادته أنه كان يدخل كثيرا من التفسير في أثناء الحديث كما بينته في مقدمة كتابي في المدرج
“Dimana telah diketahui termasuk dari kebiasaannya (Az-Zuhriy) memasukkan penafsirannya di tengah-tengah hadits, sebagaimana telah aku jelaskan dalam muqaddimah kitabku dalam bahasan mudraj” [Fathul-Baariy, 12/139].
Wallaahu a’lam.
Ada riwayat lain :
حَدَّثَنَا بِذَلِكَ عَلِيُّ بْنُ عِيسَى، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَطَاءٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ فَاطِمَةَ جَاءَتْ أَبَا بَكْرٍ، وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، تَسْأَلُ مِيرَاثَهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَالَا: سَمِعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " إِنِّي لَا أُورَثُ "، قَالَتْ: وَاللَّهِ لَا أُكَلِّمُكُمَا أَبَدًا، فَمَاتَتْ وَلَا تُكَلِّمُهُمَا، قَالَ عَلِيُّ بْنُ عِيسَى: مَعْنَى لَا أُكَلِّمُكُمَا تَعْنِي: فِي هَذَا الْمِيرَاثِ أَبَدًا أَنْتُمَا صَادِقَانِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Iisaa, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Wahhaab bin ‘Athaa’ : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Amru, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah : “Bahwasannya Faathimah pernah mendatangi Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa untuk meminta harta warisan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berdua berkata : ‘Kami pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Kami tidak diwarisi’. Faathimah berkata : ‘Demi Allah, aku tidak akan berbicara kepada kalian berdua selamanya’. Ia pun wafat dan tidak pernah berbicara pada mereka berdua”. ‘Aliy bin ‘Iisaa berkata : “Makna perkataan laa ukallimukumaa’ (aku tidak akan berbicara kepada kalian berdua) adalah : (tidak akan berbicara) dalam permasalahan warisan ini selamanya, dan kalian berdua benar” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1609].
Dhahir sanad riwayat ini hasan.
‘Aliy bin ‘Iisaa bin Yaziid Al-Baghdaadiy Al-Karaajikiy; seorang yang shaduuq, hasanul-hadits. Termasuk thabaqah ke-11, dan wafat tahun 247 H. Dipakai oleh At-Tirmidziy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 702 no. 4814 dan Tahriirut-Taqriib 3/51 no. 4780].
‘Abdul-Wahhaab bin ‘Athaa’ Al-Khaffaaf, Abu Nashr Al-‘Ijliy; seorang yang shaduuq, namun kadang keliru. Termasuk thabaqah ke-9, wafat tahun 204 H atau 209 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Khalqu Af’aalil-‘Ibaad, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 633 no. 4290].
Muhammad bin ‘Amru bin ‘Alqamah bin Waqqaash Al-Laitsiy Abu ‘Abdillah/Abul-Hasan Al-Madaniy; seorang yang shaduuq, namun mempunyai beberapa keraguan (w. 144/145 H). Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 884 no. 6228]. Basyar ‘Awwaad dan Al-Arna’uth : shaduuq [Tahriirut-Taqriib, 3/299 no. 6188].
Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Auf Al-Qurasyiy Az-Zuhriy; seorang yang tsiqah lagi banyak haditsnya. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 94 H dalam usia 72 tahun. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1155 no. 8203].
Akan, riwayat tersebut ma’lul, dengan alasan :
a.     Diriwayatkan juga oleh Ahmad[26] 1/13 no. 79 & 2/353 (dari dirinya sendiri), Al-Marwaziy[27] dalam Musnad Abi Bakr no. 54 (dari Abu Khaitsamah), Al-Bazzaar[28] dalam Al-Bahr no. 26 (dari Ibraahiim bin Ziyaad), Abu Bakr An-Nashiibiy[29] dalam Al-Fawaaid no. 9 (dari Al-Haarits bin Abi Usaamah), dan Al-Baihaqiy[30] dalam Al-Kubraa 6/302 no. 12740 (dari ‘Abbaas Ad-Duuriy); semuanya dari ‘Abdul-Wahhaab bin ‘Athaa’ tanpa lafadh pemboikotan Faathimah untuk tidak berbicara pada Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhum hingga meningga dunia.
b.     Diriwayatkan juga oleh Ahmad[31] 1/10 no. 60 (dari ‘Affaan) dan Al-Baihaqiy[32] dalam Al-Kubraa 6/302 no. 12742 (dari ‘Abdul-Waahid bin Ghiyaats) secara mursal dari Abu Salamah tanpa menyebutkan Abu Hurairah, yang kemudian disambung[33] dalam riwayat At-Tirmidziy[34] dalam As-Sunan no. 1608 & dalam Asy-Syamaail no. 401 (dari Abul-Waliid), Ibnul-A’rabiy[35] dalam Mu’jam-nya no. 1303 (dari Abul-Waliid), Ath-Thuusiy[36] dalam Al-Mukhtashar no. 1356 (dari ‘Utsmaan bin Sa’iid), Hammaad bin Ishaaq[37] dalam Tirkatun-Nabiy no. 53 (dari Abul-Waliid), dan Al-Baihaqiy[38] dalam Al-Kubraa 6/302 no. 12741 (dari Abul-Waliid); semuanya dari jalan Hammaad bin Salamah, dari Muhammad bin ‘Amru, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu tanpa lafadh pemboikotan Faathimah untuk tidak berbicara pada Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhum hingga wafat. Berikut lafadhnya :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: جَاءَتْ فَاطِمَةُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ، فَقَالَتْ: مَنْ يَرِثُكَ؟ قَالَ: أَهْلِي وَوَلَدِي قَالَتْ: فَمَا لِي لَا أَرِثُ أَبِي؟ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " لَا نُورَثُ، وَلَكِنِّي أَعُولُ مَنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُولُهُ، وَأُنْفِقُ عَلَى مَنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُنْفِقُ عَلَيْهِ "
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Faathimah datang kepada Abu Hurairah dan berkata : “Siapakah yang mewarisimu ?”. Abu Bakr menjawab : “Keluargaku dan anakku”. Faathimah berkata : “Lantas mengapa aku tidak mewarisi ayahku ?”. Abu Bakr berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Kami tidak diwarisi’. Akan tetapi aku memenuhi kebutuhan orang yang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam penuhi kebutuhannya, dan aku memberikan nafkah orang yang diberikan nafkah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [lafadh milik At-Tirmidziy, dan ia menghukumi : ‘hasan shahih ghariib’].
Hammaad bin Salamah lebih tsiqah daripada ‘Abdul-Wahhaab bin ‘Athaa’. Hammaad bin Salamah bin Diinaar Al-Bashriy, Abu Salamah; seorang yang tsiqah, lagi ‘aabid, orang yang paling tsabt dalam periwayatan hadits Tsaabit (Al-Bunaaniy). Berubah hapalannya di akhir usianya. Termasuk thabaqah ke-8, wafat tahun 167 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara muallaq, Muslim, Abu Daawud, Ar-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 268-269 no. 1507]. Di antara jalur periwayatan darinya adalah melalui ‘Affaan bin Muslim yang merupakan salah seorang yang paling tsabt periwayatannya dari Hammaad [Syarh ‘Ilal At-Tirmidziy, 2/707].
Oleh karena itu, tambahan lafadh ‘Aliy bin ‘Iisaa tentang kemarahan Faathimah mengandung keraguan (wahm). ‘Aliy bin ‘Iisaa sendiri bukan perawi tsiqaat, namun hanyalah berpredikat shaduuq, hasan haditsnya, dan tergolongan thabaqah ke-11.
Seandainya kita menganggap Faathimah memang marah kepada Abu Bakr radliyallaahu ‘anhumaa, maka :
1.     Kemarahan itu hanyalah sementara dan bersifat manusiawi karena kecewa atas permintaannya ditolak Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu. Namun kemudian ia menerima penjelasan Abu Bakr radliyallaahu ‘anhumaa sebagai bentuk taslim-nya atas sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana ditunjukkan oleh riwayat :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ، وَسَمِعْتُهُ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ، عَنِ الْوَلِيدِ بْنِ جُمَيْعٍ، عَنْ أَبِي الطُّفَيْلِ، قَالَ: لَمَّا قُبِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَتْ فَاطِمَةُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ: أَنْتَ وَرِثْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمْ أَهْلُهُ؟ قَالَ: فَقَالَ: لَا، بَلْ أَهْلُهُ، قَالَتْ: فَأَيْنَ سَهْمُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا أَطْعَمَ نَبِيًّا طُعْمَةً، ثُمَّ قَبَضَهُ جَعَلَهُ لِلَّذِي يَقُومُ مِنْ بَعْدِهِ "، فَرَأَيْتُ أَنْ أَرُدَّهُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ، قَالَتْ: فَأَنْتَ، وَمَا سَمِعْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْلَمُ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah : Dan aku mendengarnya dari ‘Abdullah bin Abi Syaibah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail, dari Al-Waliid bin Jumai’, dari Abu Thufail, ia berkata : Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat, Faathimah mengutus utusan kepada Abu Bakr untuk menanyakan : “Engkau mewarisi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ataukah yang mewarisi itu keluarganya ?”. Abu Bakr berkata : “Tidak, bahkan yang mewarisi itu keluarganya”. Faathimah berkata : “Lalu, manakah bagian harta Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Abu Bakr berkata : “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla apabila memberikan makan kepada seorang Nabi satu makanan kemudian ia wafat, maka Allah jadikan itu bagi orang yang menggantikan beliau setelahnya (baca : khalifah, untuk kepentingan kaum muslimin secara umum)’. Maka aku berpandangan untuk mengembalikannya kepada kaum muslimin”. Faathimah berkata : “Engkau dan apa yang engkau dengar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lebih mengetahui” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 1/14; sanadnya hasan].
Itulah sikap Sayyidah Faathimah bintu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam terhadap sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang jauh berbeda dengan orang yang menanamkan kecintaan palsu kepadanya (yang malah berusaha mendustakan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam).
Yang lebih penting dari semua itu, kemarahan siapapun tidaklah boleh didahulukan dari sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena beliau lah yang paling tahu tentang agama yang dibawanya. Allah ta’ala berfirman :
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ ۗ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan Kitab-Kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur-an, agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” [QS. An-Nahl: 44]
وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ إِلا لِتُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِي اخْتَلَفُوا فِيهِ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur'an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman” [QS. An-Nahl : 64].
مَّن يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ وَمَن تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
Barangsiapa mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara bagi mereka” [QS. An-Nisaa': 80]
Catatan Penting :
Sebagian orang Raafidlah yang berusaha menolak hadits Abu Bakr (sebagaimana memang dikenal dari tabiat mereka) dan menganggapnya aneh. Pada saat pertama Abu Bakr ditanya tentang masalah siapakah yang mewarisi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka ia jawab : ‘keluarganya’. Namun setelah ditanya bagian harta Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang diminta Faathimah, Abu Bakr malah menjawabnya dengan hadits bahwa harta beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak diwarisi. Orang Raafidlah mengatakan itu untuk mengesankan bahwa ada unsur kesengajaan dari Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu agar Faathimah tidak mendapatkan bagian yang seharusnya menjadi haknya. Atau minimal, ada ajakan untuk meragukan keshahihan riwayat yang dibawakan Abu Bakr.
Kita katakan : Riwayat itu shahih sehingga tidak perlu mencari-cari jalan untuk meragukan dan melemahkannya, sehingga yang diperlukan di sini adalah konstruksi pemahamannya. Orang Raafidlah memang terbiasa menjalankan logika sakit untuk membangun dan membela keyakinannya. Mengapa ketika ia mengkritik Abu Bakr ia tidak mengkritik Faathimah ? (o iya lupa, haram hukumnya mengkritik Faathimah, karena ia harus benar apapun keadaannya, dan lawannya harus salah apapun keadaannya). Kritikannya terhadap Abu Bakr secara tidak langsung merendahkan IQ Faathimah yang tidak bisa menangkap unsur manipulasi hadits yang dilakukan Abu Bakr, yang kemudian baru ditangkap oleh orang Raafidlah itu ratusan tahun setelah wafatnya. Sungguh menjijikkan ! Bodoh sekali Faathimah itu menurut logika orang Raafidlah itu. Namun jauh sekali dari sangkaan orang Raafidlah itu. Jawaban pertama yang dikatakan Abu Bakr itu terkait hukum umum bahwa jika ada seorang meninggal, maka hartanya diwarisi oleh anak dan keluarganya. Itulah yang nampak pada dialog dalam riwayat Abu Hurairah. Adapun jawaban kedua diberikan setelah Abu Bakr benar-benar paham akan maksud Faathimah radliyallaahu ‘anhaa yang akan meminta bagian harta warisan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari harta fai’ di Fadak dan Khaibar.
2.     Sikap meng-hajr dan tidak berbicara kepada Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu itu bukan berhenti bicara total, akan tetapi berhenti membicarakan permasalahan warisan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dijelaskan oleh ‘Aliy bin ‘Iisaa dalam lafadh At-Tirmidziy no. 1609 di atas. Itu pulalah yang ditunjukkan oleh riwayat Az-Zuhriy :
قَالَ: فَهَجَرَتْهُ فَاطِمَةُ فَلَمْ تُكَلِّمُهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى مَاتَتْ
Perawi (laki-laki) berkata : "Maka Faathimah meng-hajr Abu Bakr, lalu ia tidak berbicara kepada Abu Bakr DALAM MASALAH ITU hingga ia wafat".
Catatan : Salah satu dari makna al-hajr adalah at-tark (meninggalkan), sehingga maknanya adalah : Faathimah meninggalkan Abu Bakr untuk tidak membicarakan masalah warisan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hingga ia wafat. Wallaahu a’lam.
Dan yang lebih menguatkan lagi bahwa ‘Aliy, Faathimah, dan keluarganya tidak bermusuhan dengan Abu Bakr radliyallaahu ‘anhum adalah sebagaimana dalam riwayat :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ، حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ سَعِيدٍ، عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ، أَخْبَرَنِي عُقْبَةُ بْنُ الْحَارِثِ، قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ مِنْ صَلَاةِ الْعَصْرِ بَعْدَ وَفَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِلَيَالٍ، وَعَلِيٌّ عَلَيْهِ السَّلَام يَمْشِي إِلَى جَنْبِهِ، فَمَرَّ بِحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ يَلْعَبُ مَعَ غِلْمَانٍ، فَاحْتَمَلَهُ عَلَى رَقَبَتِهِ، وَهُوَ يَقُولُ: وَبِأَبِي شَبَهُ النَّبِيِّ لَيْسَ شَبِيهًا بِعَلِيِّ. قَالَ: وَعَلِيٌّ يَضْحَكُ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah bin Az-Zubair : Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Sa’iid, dari Ibnu Abi Mulaikah : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Uqbah bin Al-Haarits, ia berkata : “Aku pernah keluar bersama Abu Bakr Ash-Shiddiiq selepas shalat ‘Ashar beberapa hari setelah wafatnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan ‘Aliy ‘alaihis-salaam berjalan di sampingnya. Lalu ia melewati Al-Hasan bin ‘Aliy yang sedang bermain dengan anak-anak. Lalu Abu Bakr menggendongnya di atas pundaknya dan berkata : “Ayahku sebagai tebusannya, ia mirip dengan Nabi, namun tidak mirip dengan ‘Aliy”. Mendengarnya, ‘Aliy pun tertawa [Diriwayatkan oleh Ahmad, 1/8; shahih].
Inilah persaudaraan yang terjalin di kalangan shahabat radliyallaahu ‘anhum.
Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu Tidak Berdusta
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan sifat ash-shidq (jujur) pada dirinya yang berlawanan dengan sifat dusta. Dan ia digelari dengan ash-shiddiiq yang berarti orang yang sangat jujur.
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ قَتَادَةَ، أَنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدَّثَهُمْ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَعِدَ أُحُدًا وَأَبُو بَكْرٍ، وَعُمَرُ، وَعُثْمَانُ فَرَجَفَ بِهِمْ، فَقَالَ: " اثْبُتْ أُحُدُ فَإِنَّمَا عَلَيْكَ نَبِيٌّ وَصِدِّيقٌ وَشَهِيدَانِ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyaar : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa, dari Sa’iid, dari Qataadah : Bahwasannya Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu pernah menceritakan kepada mereka : Bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mendaki Uhud bersama Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan. Tiba-tiba Uhud bergetar. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tenanglah Uhud, karena di atas hanyalah ada seorang Nabi, seorang shiddiiq, dan dua orang syahiid” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3675].
حَدَّثنا سُفْيَانُ، قَالَ: حَدَّثنا دَاوُدُ بْنُ أَبِي هِنْدَ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ مَسْرُوقٍ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّهَا قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ! يَوْمَ تُبَدَّلُ الأَرْضُ غَيْرَ الأَرْضِ فَأَيْنَ النَّاسُ يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ: " عَلَى الصِّرَاطِ يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ "
Telah menceritakan kepada kami Sufyaan (bin ‘Uyainah), ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Daawud bin Abi Hind, dari Asy-Sya’biy, dari Masruuq, dari ‘Aaisyah, ia berkata : “Wahai Rasulullah, tentang ayat : ‘(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit’ (QS. Ibraahiim : 48). Dimanakah manusia ketika itu ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Di atas shiraath wahai anak perempuan Ash-Shiddiiq (Abu Bakr)” [Diriwayatkan oleh Al-Humaidiy no. 276; shahih].
‘Aliy bin Abi Thaalib sendiri jika datang khabar yang disampaikan Abu Bakr, maka ia membenarkannya tanpa memintanya untuk bersumpah.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ الْمُغِيرَةِ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ رَبِيعَةَ، عَنْ  أَسْمَاءَ  بْنِ  الْحَكَمِ الْفَزَارِيِّ، قَال: سَمِعْتُ عَلِيًّا، يَقُولُ: إِنِّي كُنْتُ رَجُلًا إِذَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ حَدِيثًا نَفَعَنِي اللَّهُ مِنْهُ بِمَا شَاءَ أَنْ يَنْفَعَنِي بِهِ، وَإِذَا حَدَّثَنِي رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ اسْتَحْلَفْتُهُ، فَإِذَا حَلَفَ لِي صَدَّقْتُهُ، وَإِنَّهُ حَدَّثَنِي أَبُو بَكْرٍ وَصَدَقَ أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " مَا مِنْ رَجُلٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا ثُمَّ يَقُومُ فَيَتَطَهَّرُ ثُمَّ يُصَلِّي ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلَّا غَفَرَ اللَّهُ لَهُ، ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ "
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah, dari ‘Utsmaan bin Al-Mughiirah, dari ‘Aliy bin Rabii’ah, dari Asmaa’ bin Al-Hakam Al-Fazaariy, ia berkata : Aku mendengar ‘Aliy berkata : “Sesungguhnya aku adalah seorang laki-laki yang apabila mendengar satu hadits dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka Allah memberikan kepadaku manfaatnya darinya sesuai dengan kehendaknya. Dan apabila ada seorang laki-laki dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menceritakan hadits kepadaku, aku minta kepadanya untuk bersumpah (bahwa yang ia sampaikan itu benar dari beliau). Jika ia bersumpah kepadaku, maka aku membenarkannya. Dan sesungguhnya telah menceritakan kepadaku Abu Bakr dan benarlah (apa yang dikatakan) Abu Bakr, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Tidaklah ada seorang laki-laki yang melakukan satu perbuatan dosa, kemudian ia berdiri untuk berwudlu dan shalat, lalu meminta ampun kepada Allah, kecuali Allah akan mengampuninya’. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat : ‘Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui’ (QS. Aali ‘Imraan : 135)” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 406].
Sanadnya hasan, yang insya Allah pembahasannya akan disampaikan pada artikel mendatang.
Kembali pada hadits Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu di atas. Ia tidak menyendiri dalam periwayatan, tapi juga dibenarkan oleh para shahabat yang lain radliyallaahu ‘anhum.
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَنْصُورٍ الْمَكِّيُّ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ مَالِكِ بْنِ أَوْسِ بْنِ الْحَدَثَانِ، قَالَ: قَالَ عُمَرُ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ، وَسَعْدٍ، وَعُثْمَانَ وَطَلْحَةَ، وَالزُّبَيْرِ: أَنْشُدُكُمْ بِاللَّهِ الَّذِي قَامَتْ لَهُ السَّمَوَاتُ وَالأَرْضُ، سَمِعْتُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " إِنَّا مَعْشَرَ الأَنْبِيَاءِ لا نُورَثُ، مَا تَرَكْنَا فَهُوَ صَدَقَةٌ "؟، قَالُوا: اللَّهُمَّ نَعَمْ
Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Manshuur Al-Makkiy, dari Sufyaan, dari ‘Amru bin Diinaar, dari Az-Zuhriy, dari Maalik bin Aus bin Al-Hadatsaan, ia berkata : ‘Umar pernah berkata kepada Sa’d (bin Abi Waqqaash), ‘Utsmaan (bin ‘Affaan), Thalhah (bin ‘Ubaidillah), dan Az-Zubair (bin ‘Awwaam) : “Aku akan bertanya kepada kalian dengan bersumpah dengan menyebut nama Allah yang menguasai langit dan bumi, apakah kalian pernah mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘sesungguhnya kami para nabi tidaklah diwarisi (hartanya), dan semua yang kami tinggalkan adalah shadaqah’ ?”. Mereka berkata : “Ya Allah, benar (kami pernah mendengarnya)” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 6725; shahih].
أَخْبَرَنَا بِشْرُ بْنُ عُمَرَ الزَّهْرَانِيُّ، نا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّ أَزْوَاجَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ حِينَ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَرَدْنَ أَنْ يَبْعَثْنَ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ يَسْأَلْنَهُ مِيرَاثَهُنَّ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ عَائِشَةُ لَهُنَّ: أَلا تَتَّقِينَ اللَّهَ؟ أَلَيْسَ قَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ: " لا نُورَثُ، مَا تَرَكْنَاهُ صَدَقَةً، فَرَضِينَ بِقَوْلِهَا وَتَرَكْنَ ذَلِكَ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Bisyr bin ‘Umar Az-Zahraaniy : Telah mengkhabarkan kepada kami Maalik bin Anad, dari Az-Zuhriy, dari ‘Urwah bin Az-Zubair, dari ‘Aaisyah : Bahwasannya istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada waktu wafatnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus ‘Utsmaan bin ‘Affaan kepada Abu Bakr untuk meminta kepadanya bagian warisan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ‘Aaisyah berkata kepada mereka : “Tidakkah kalian bertaqwa kepada Allah ?. Bukankah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : ‘Kami tidak diwarisi, dan semua yang kami tinggalkan adalah shadaqah’ ?”. Maka mereka pun ridla dengan perkataan ‘Aaisyah dan meninggalkan tuntutan atas warisan tersebut [Diriwayatkan oleh Ishaaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya no. 868; shahih].
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَقْتَسِمُ وَرَثَتِي دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا مَا تَرَكْتُ بَعْدَ نَفَقَةِ نِسَائِي وَمَئُونَةِ عَامِلِي فَهُوَ صَدَقَةٌ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yuusuf : Telah mengkhabarkan kepada kami Maalik, dari Abuz-Zinaad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah radliyalaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Warisanku tidaklah dibagi-bagi baik berupa dinar maupun dirham. Apa yang aku tinggalkan selain berupa nafkah buat istri-istriku dan para pekerjaku, semuanya adalah sebagai shadaqah" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2776].
حَدَّثَنَا أَبُو كَامِلٍ، وَالنَّضْرُ بْنُ طَاهِرٍ، قَالا: أَخْبَرَنَا الْفُضَيْلُ بْنُ سُلَيْمَانَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا أَبُو مَالِكٍ، عَنْ رِبْعِيٍّ، عَنْ حُذَيْفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لا نُوَرَّثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Kaamil dan An-Nadlr bin Thaahir, mereka berdua berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Fudlail bin Sulaimaan, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Maalik, dari Rib’iy, dari Hudzaifah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Kami tidak diwarisi, dan semua yang kami tinggalkan adalah shadaqah” [Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam Al-Bahr 7/262-263 no. 2843].
Sanadnya lemah karena Al-Fudlail bin Sulaimaan, namun ia dikuatkan oleh hadits sebelumnya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam Tidak Meninggalkan Harta untuk Diwariskan Ketika Meninggal
Sub-bab ini adalah menguatkan sub-bab sebelumnya, yaitu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak meninggalkan harta kekayaan untuk diwariskan kepada ahli warisnya. Tidak kepada istr-istrinya (termasuk ‘Aaisyah), tidak pula kepada anak-anaknya (termasuk Faathimah).
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ بَهْدَلَةَ، عَنْ زِرِّ بْنِ حُبَيْشٍ، أَنَّ رَجُلا سَأَلَ عَائِشَةَ عَنْ مِيرَاثِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: لا، وَاللَّهِ مَا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِينَارًا وَلا دِرْهَمًا وَلا شَاةً وَلا بَعِيرًا وَلا عَبْدًا وَلا أَمَةً "
Telah menceritakan kepada kami Syaibaan, dari ‘Aashim bin Bahdalah, dari Zirr bin Hubaisy : Bahwasannya ada seorang laki-laki bertanya kepada ‘Aaisyah tentang harta warisan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka ‘Aaisyah menjawab : “Tidak ada. Demi Allah, tidaklah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan dinar, dirham, onta, kambing, budak laki-laki, dan budak wanita” [Diriwayatkan oleh Ath-Thayaalisiy no. 1670].
Sanadnya hasan. Ziir mempunyai mutaba’ah dari Masruuq – sehingga menjadikan riwayat ini shahih.
Apa yang dikatakan ‘Aaisyah yang notabene sebagai istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dipersaksikan oleh sejumlah shahabat radliyallaahu ‘anhum. Di antaranya sebagaimana terdapat dalam riwayat :
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَبَّاسٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ، قَالَ: مَا تَرَكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا سِلَاحَهُ، وَبَغْلَةً بَيْضَاءَ، وَأَرْضًا بِخَيْبَرَ جَعَلَهَا صَدَقَةً "
Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin ‘Abbaas : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan, dari Sufyaan, dari Abu Ishaaq, dari ‘Amru bin Al-Haarits, ia berkata : “Tidaklah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan sesuatu kecuali senjata, bighal beliau yang berwarna putih, dan sebidang tanah di Khaibar yang beliau jadikan sebagai shadaqah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2912].
أَخْبَرَنَا عَفَّانُ بْنُ مُسْلِمٍ، قَالَ: أَخْبَرَنَا ثَابِتٌ أَبُو زَيْدٍ، قَالَ: أَخْبَرَنَا هِلالُ بْنُ خَبَّابٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: " مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ وَمَا تَرَكَ دِينَارًا، وَلا دِرْهَمًا، وَلا عَبْدًا، وَلا أَمَةً، وَلا وَلِيدَةً، وَتَرَكَ دِرْعَهُ رَهْنًا عِنْدَ يَهُوَدِيٍّ بِثَلاثِينَ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ "
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Affaan bin Muslim, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Tsaabit Abu Zaid, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Hilaal bin Khabbaab, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggal tanpa meninggalkan dinar, dirham, budak laki-laki, dan budak wanita. Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan baju besinya tergadai pada seorang Yahudi dengan tigapuluh shaa’ gandum” [Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat, 2/407].
Sanadnya lemah karena ikhtilaath Hilaal bin Khabbaab dan tidak diketahui apakah Tsaabit mendengar riwayatnya sebelum atau setelah ikhtilath-nya. Tsaabit mempunyai mutaba’ah dari ‘Abbaad bin ‘Awwaam [Tahdziibul-Aatsaar no. 12, Taariikh Al-Madiinah no. 576, Akhlaaqun-Nabiy li-Abisy-Syaikh 1/221, dan  Hilyatul-Auliyaa’, no. 4990]. Hilaal mempunyai mutaba’ah dari Hushain bin ‘Abdirrahmaan [Al-Mu’jamul-Kabiir 11/268-269 dan Hilyatul-Auliyaa’ no. 11901].
Lantas, bagaimana dengan beberapa riwayat yang menyatakan kain atau baju Nabi dan sejumlah barang beliau ada di tangan sebagian istri-istri beliau ?.
Bahkan lebih besar dari sekedar baju, ‘Aaisyah dan istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang lain masih menempati rumah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam !
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
لَا يَقْتَسِمُ وَرَثَتِي دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا مَا تَرَكْتُ بَعْدَ نَفَقَةِ نِسَائِي وَمَئُونَةِ عَامِلِي فَهُوَ صَدَقَةٌ
Warisanku tidaklah dibagi-bagi baik berupa dinar maupun dirham. Apa yang aku tinggalkan selain berupa nafkah buat istri-istriku dan para pekerjaku, semuanya adalah sebagai shadaqah" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2776].
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مَرْزُوقٍ، أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ، عَنْ أَبِي الْبَخْتَرِيِّ، قَالَ: سَمِعْت حَدِيثًا مِن رَجُلٍ فَأَعْجَبَنِي، فَقُلْتُ: اكْتُبْهُ لِي فَأَتَى بِهِ مَكْتُوبًا مُذَبَّرًا، دَخَلَ الْعَبَّاسُ، وَعَلِيٌّ عَلَى عُمَرَ، وَعِنْدَهُ طَلْحَةُ وَالزُّبَيْرُ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ، وَسَعْدٌ، وَهُمَا يَخْتَصِمَانِ فَقَالَ عُمَرُ: لِطَلْحَةَ، وَ الزُّبَيْرِ، وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ، وَسَعْدٍ: أَلَمْ تَعْلَمُوا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " كُلُّ مَالِ النَّبِيِّ صَدَقَةٌ إِلَّا مَا أَطْعَمَهُ أَهْلَهُ وَكَسَاهُمْ إِنَّا لَا نُورَثُ؟ " قَالُوا: بَلَى قَالَ: فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُنْفِقُ مِنْ مَالِهِ عَلَى أَهْلِهِ وَيَتَصَدَّقُ بِفَضْلِهِ ثُمَّ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَلِيَهَا أَبُو بَكْرٍ سَنَتَيْنِ فَكَانَ يَصْنَعُ الَّذِي كَانَ يَصْنَعُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Marzuuq : Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’bah, dari ‘Amru bin Murrah, dari Abul-Bakhtariy, ia berkata : Aku pernah mendengar sebuah hadits dari seorang laki-laki, lalu hadits tersebut menarik bagiku. Kemudian aku katakan : “Tuliskanlah untukku (hadits itu)”. Lalu ia datang dengan membawanya dalam keadaan tertulis dan mudah dibaca : Al-‘Abbaas dan ‘Aliy datang menemui ‘Umar dan di sisinya terdapat Thalhah, Az-Zubair, Abdurrahmaan, dan Sa'd; dimana keduanya (Al-‘Abbaas dan ‘Aliy) sedang berselisih. Lalu ‘Umar berkata kepada Thalhah, Az-Zubair, ‘Abdurrahmaan, dan Sa'd : “Tidakkah kalian mengetahui bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda : ‘Seluruh harta Nabi adalah shadaqah, selain makanan yang dimakan keluargannya dan pakaian yang diberikan kepada mereka. Sesungguhnya kami tidak diwarisi’ ?”. Mereka berkata : “Ya, (kami pernah mendengarnya)”. ‘Umar berkata : “Dahulu Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam memberi nafkah keluarganya dari hartanya dan bershadaqah dengan kelebihannya. Kemudian Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam wafat, dan kemudian Abu Bakr menjabat khalifah selama dua tahun, dan ia melakukan apa dilakukan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2975].
Sanadnya adalah lemah, karena ada perawi mubham yang menyampaikan hadits kepada Abul-Bakhtariy. Akan tetapi ia dikuatkan oleh hadits Abu Hurairah sebelumnya dan hadits panjang dari ‘Umar bin Al-Khaththaab yang akan disebutkan di bawah.
Pakaian dan tempat tinggal adalah peninggalan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang diberikan kepada istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Adalah sangat tidak masuk akal jika kemudian setelah beliau wafat, istri-istri beliau diusir dari rumah dan pakaian atau kain yang dapat mereka pergunakan untuk menutup diri (aurat) diambil oleh Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu. Adapun nafkah makan dan kebutuhan lainnya yang sifatnya rutin dari istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak ada lagi yang menanggung, sehingga Khalifah pengganti beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam lah yang menanggungnya, yang diambilkan dari peninggalan harta fai’ Nabi (khumus), yang di antaranya adalah tanah Khaibar dan Fadak.
Perhatikan riwayat panjang berikut :
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي مَالِكُ بْنُ أَوْسِ بْنِ الْحَدَثَانِ النَّصْرِيُّ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ دَعَاهُ إِذْ جَاءَهُ حَاجِبُهُ يَرْفَا فَقَالَ هَلْ لَكَ فِي عُثْمَانَ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ وَالزُّبَيْرِ وَسَعْدٍ يَسْتَأْذِنُونَ فَقَالَ نَعَمْ فَأَدْخِلْهُمْ فَلَبِثَ قَلِيلًا ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ هَلْ لَكَ فِي عَبَّاسٍ وَعَلِيٍّ يَسْتَأْذِنَانِ قَالَ نَعَمْ فَلَمَّا دَخَلَا قَالَ عَبَّاسٌ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ اقْضِ بَيْنِي وَبَيْنَ هَذَا وَهُمَا يَخْتَصِمَانِ فِي الَّذِي أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ بَنِي النَّضِيرِ فَاسْتَبَّ عَلِيٌّ وَعَبَّاسٌ فَقَالَ الرَّهْطُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ اقْضِ بَيْنَهُمَا وَأَرِحْ أَحَدَهُمَا مِنْ الْآخَرِ فَقَالَ عُمَرُ اتَّئِدُوا أَنْشُدُكُمْ بِاللَّهِ الَّذِي بِإِذْنِهِ تَقُومُ السَّمَاءُ وَالْأَرْضُ هَلْ تَعْلَمُونَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ يُرِيدُ بِذَلِكَ نَفْسَهُ قَالُوا قَدْ قَالَ ذَلِكَ فَأَقْبَلَ عُمَرُ عَلَى عَبَّاسٍ وَعَلِيٍّ فَقَالَ أَنْشُدُكُمَا بِاللَّهِ هَلْ تَعْلَمَانِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ قَالَ ذَلِكَ قَالَا نَعَمْ قَالَ فَإِنِّي أُحَدِّثُكُمْ عَنْ هَذَا الْأَمْرِ إِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ كَانَ خَصَّ رَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْفَيْءِ بِشَيْءٍ لَمْ يُعْطِهِ أَحَدًا غَيْرَهُ فَقَالَ جَلَّ ذِكْرُهُ { وَمَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْهُمْ فَمَا أَوْجَفْتُمْ عَلَيْهِ مِنْ خَيْلٍ وَلَا رِكَابٍ إِلَى قَوْلِهِ قَدِيرٌ } فَكَانَتْ هَذِهِ خَالِصَةً لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ وَاللَّهِ مَا احْتَازَهَا دُونَكُمْ وَلَا اسْتَأْثَرَهَا عَلَيْكُمْ لَقَدْ أَعْطَاكُمُوهَا وَقَسَمَهَا فِيكُمْ حَتَّى بَقِيَ هَذَا الْمَالُ مِنْهَا فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُنْفِقُ عَلَى أَهْلِهِ نَفَقَةَ سَنَتِهِمْ مِنْ هَذَا الْمَالِ ثُمَّ يَأْخُذُ مَا بَقِيَ فَيَجْعَلُهُ مَجْعَلَ مَالِ اللَّهِ فَعَمِلَ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَيَاتَهُ ثُمَّ تُوُفِّيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ فَأَنَا وَلِيُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَبَضَهُ أَبُو بَكْرٍ فَعَمِلَ فِيهِ بِمَا عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنْتُمْ حِينَئِذٍ فَأَقْبَلَ عَلَى عَلِيٍّ وَعَبَّاسٍ وَقَالَ تَذْكُرَانِ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ فِيهِ كَمَا تَقُولَانِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّهُ فِيهِ لَصَادِقٌ بَارٌّ رَاشِدٌ تَابِعٌ لِلْحَقِّ ثُمَّ تَوَفَّى اللَّهُ أَبَا بَكْرٍ فَقُلْتُ أَنَا وَلِيُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ فَقَبَضْتُهُ سَنَتَيْنِ مِنْ إِمَارَتِي أَعْمَلُ فِيهِ بِمَا عَمِلَ فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ وَاللَّهُ يَعْلَمُ أَنِّي فِيهِ صَادِقٌ بَارٌّ رَاشِدٌ تَابِعٌ لِلْحَقِّ ثُمَّ جِئْتُمَانِي كِلَاكُمَا وَكَلِمَتُكُمَا وَاحِدَةٌ وَأَمْرُكُمَا جَمِيعٌ فَجِئْتَنِي يَعْنِي عَبَّاسًا فَقُلْتُ لَكُمَا إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ فَلَمَّا بَدَا لِي أَنْ أَدْفَعَهُ إِلَيْكُمَا قُلْتُ إِنْ شِئْتُمَا دَفَعْتُهُ إِلَيْكُمَا عَلَى أَنَّ عَلَيْكُمَا عَهْدَ اللَّهِ وَمِيثَاقَهُ لَتَعْمَلَانِ فِيهِ بِمَا عَمِلَ فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ وَمَا عَمِلْتُ فِيهِ مُنْذُ وَلِيتُ وَإِلَّا فَلَا تُكَلِّمَانِي فَقُلْتُمَا ادْفَعْهُ إِلَيْنَا بِذَلِكَ فَدَفَعْتُهُ إِلَيْكُمَا أَفَتَلْتَمِسَانِ مِنِّي قَضَاءً غَيْرَ ذَلِكَ فَوَاللَّهِ الَّذِي بِإِذْنِهِ تَقُومُ السَّمَاءُ وَالْأَرْضُ لَا أَقْضِي فِيهِ بِقَضَاءٍ غَيْرِ ذَلِكَ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ فَإِنْ عَجَزْتُمَا عَنْهُ فَادْفَعَا إِلَيَّ فَأَنَا أَكْفِيكُمَاهُ قَالَ فَحَدَّثْتُ هَذَا الْحَدِيثَ عُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْرِ فَقَالَ صَدَقَ مَالِكُ بْنُ أَوْسٍ أَنَا سَمِعْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَقُولُ أَرْسَلَ أَزْوَاجُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عُثْمَانَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ يَسْأَلْنَهُ ثُمُنَهُنَّ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكُنْتُ أَنَا أَرُدُّهُنَّ فَقُلْتُ لَهُنَّ أَلَا تَتَّقِينَ اللَّهَ أَلَمْ تَعْلَمْنَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ يُرِيدُ بِذَلِكَ نَفْسَهُ إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْمَالِ فَانْتَهَى أَزْوَاجُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى مَا أَخْبَرَتْهُنَّ قَالَ فَكَانَتْ هَذِهِ الصَّدَقَةُ بِيَدِ عَلِيٍّ مَنَعَهَا عَلِيٌّ عَبَّاسًا فَغَلَبَهُ عَلَيْهَا ثُمَّ كَانَ بِيَدِ حَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ ثُمَّ بِيَدِ حُسَيْنِ بْنِ عَلِيٍّ ثُمَّ بِيَدِ عَلِيِّ بْنِ حُسَيْنٍ وَحَسَنِ بْنِ حَسَنٍ كِلَاهُمَا كَانَا يَتَدَاوَلَانِهَا ثُمَّ بِيَدِ زَيْدِ بْنِ حَسَنٍ وَهِيَ صَدَقَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقًّا
Telah menceritakan kepada kami Abul-Yaman : Telah mengkhabarkan kepada kami Syu'aib dari Az-Zuhriy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Malik bin Aus bin Al-Hadatsaan An-Nashriy : Bahwasannya ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu pernah memanggilnya, Setelah itu penjaga pintunya, Yarfa, datang melapor : "Apakah engkau mengijinkan ‘Utsmaan, ‘Abdurrahman, Az-Zubair, dan Sa'd untuk masuk ?". Umar menjawab : "Ya." Kemudian penjaga pintu menyuruh mereka masuk. Tidak lama kemudian penjaga pintu datang lagi dan berkata : “Apakah engkau mengijinkan ‘Abbaas dan ‘Aliy untuk masuk?". ‘Umar menjawab : "Ya". Ketika keduanya telah masuk, ‘Abbaas berkata : "Wahai Amirul-Mukminiin, putuskanlah antara kami dengan orang ini". Ketika itu mereka tengah berselisih masalah harta yang Allah karuniakan kepada Rasul-Nya shallallaahu 'alaihi wa sallam, yakni berupa harta milik Bani Nadliir sehingga keduanya saling mencela. Sebagian kelompok berkata : "Wahai Amirul-Mukminin, buatlah keputusan untuk keduanya, dan legakanlah salah seorang di antara keduanya". 'Umar pun berkata : "Tenanglah kalian! Dan aku minta kepada kalian, demi Allah yang dengan ijin-Nya langit dan bumi tegak, apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : ‘Kami tidak mewariskan dan apa yang kami tinggalkan semuanya sebagai shadaqah’ ?. Mereka (‘Utsmaan, ‘Abdurrahman, Az-Zubair, dan Sa'd) menjawab : "Ya, beliau telah bersabda demikian". Maka 'Umar kembali menghadap dan berbicara kepada 'Aliy dan 'Abbaas : "Aku minta kepada kalian berdua, demi Allah, apakah kalian berdua mengetahui bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam telah bersabda seperti itu ?". Keduanya (‘Aliy dan ‘Abbaas) menjawab : "Ya, beliau telah bersabda seperti itu". ‘Umar kemudian melanjutkan : "Untuk itu aku akan menyampaikan kepada kalian tentang masalah ini. Sesungguhnya Allah telah mengkhususkan Rasul-Nya shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam masalah fa'i ini sebagai sesuatu yang tidak Dia berikan kepada siapapun selain beliau". - Lalu ‘Umar membaca firman Allah : 'Dan apa saja yang dikaruniakan Allah berupa fa'i (rampasan perang) kepada Rasul-Nya dari (harta benda) mereka… - hingga firmanNya - dan Allah Maha berkuasa atas segala sesuatu' (QS. Al-Hasyr : 6) - . “Ayat ini merupakan pengkhususan untuk Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Demi Allah, tidaklah beliau mengumpulkannya dengan tidak memperhatikan kalian dan juga tidak untuk lebih mementingkan diri kalian. Sungguh, beliau telah memberikannya kepada kalian dan menyebarkannya di tengah-tengah kalian (kaum Muslimin) hingga sekarang masih ada yang tersisa dari harta tersebut. Dan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah memberi nafkah belanja kepada keluarga beliau sebagai nafkah tahunan mereka dari harta fa'i ini, lalu sisanya beliau ambil dan dijadikannya sebagai harta Allah. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menerapkan semua ini samasa hidup beliau. Kemudian Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam wafat. Lalu Abu Bakr berkata : 'Akulah wali Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam'. Maka Abu Bakr pun mewenangi harta itu, kemudian ia mengelolanya seperti apa yang dilaksanakan oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam. Saat itu kalian juga ada". Kemudian ‘Umar menghadap ke arah ‘Aliy dan ‘Abbaas. ‘Umar melanjutkan : "Kalian berdua juga ingat bahwa dalam mengelola harta itu sebagaimana yang kalian berdua katakan - sungguh Allah juga Maha Mengetahui - bahwa ia (Abu Bakr) adalah orang yang jujur, bijak, lurus dan pengikut kebenaran. Kemudian Allah mewafatkan Abu Bakr. Lalu aku berkata : 'Aku adalah pengganti Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dan Abu Bakr',  dan aku berwenang untuk mengelola harta tersebut hingga dua tahun dari kepemimpinanku. Aku mengelolanya sebagaimana yang dikelola Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam dan Abu Bakr. Dan Allah juga mengetahui bila aku adalah orang yang jujur, bijak, lurus, dan pengikut kebenaran. Lalu kenapa kalian datang kepadaku dan berbicara kepadaku padahal ucapan kalian satu dan maksud urusan kalian juga satu. Engkau, wahai 'Abbaas ! engkau datang kepadaku lalu aku katakan kepada kalian berdua : 'Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : ‘Kami tidak mewariskan dan apa yang kami tinggalkan semuanya sebagai shadaqah’. Setelah jelas bagiku bahwa aku harus memberikannya kepada kalian berdua, maka aku akan katakan : Jika memang kalian menghendakinya, aku akan berikan kepada kalian berdua. Namun kalian berdua harus ingat akan janji Allah dan ketentuan-Nya, yaitu kalian harus mengelola sebagaimana yang pernah dikelola Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakr lakukan, dan juga apa yang telah aku lakukan sejak aku memegang kekuasaan ini. Jika tidak, maka kalian jangan mengatakan sesuatu kepadaku. Jika kalian berdua mengatakan : ‘Berikanlah kepada kami’, maka dengan ketentuan seperti itu, aku akan berikan kepada kalian berdua. Apakah kalian berdua hendak merubah ketentuan selain dari itu ?. Demi Allah, yang dengan ijin-Nya langit dan bumi bisa tegak, aku tidak akan memutuskan dengan keputusan selain itu sampai tiba hari Kiamat. Seandainya kalian berdua tidak sanggup atasnya, maka serahkanlah kepadaku karena sungguh aku akan mencukupkan kalian berdua dengannya (harta itu)".
Perawi berkata : "Lalu aku sampaikan hadits ini kepada 'Urwah bin Az Zubair. Ia berkata : ‘Malik bin Aus benar. Aku juga pernah mendengar 'Aisyah radliyallaahu ‘anhaa, isteri Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, berkata : ‘Para isteri Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah mengutus ‘Utsmaan menemui Abu Bakr untuk meminta seperdelapan dari harta yang telah Allah karuniakan kepada Rasul-Nya shallallaahu 'alaihi wa sallam. Lalu aku (‘Aaisyah) menolak mereka. Aku katakan kepada mereka : "Apakah kalian tidak takut kepada Allah ? Apakah kalian tidak mengetahui bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda : ‘Kami tidak mewariskan dan apa yang kami tinggalkan semuanya sebagai shadaqah’ - yang beliau maksud dengan (kami) adalah diri beliau sendiri -. Sesungguhnya keluarga Muhammad makan dari harta ini". Maka para isteri Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam berhenti pada apa yang telah disampaikan oleh Aisyah kepada mereka". Urwah berkata : "Maka harta shadaqah ini ada di tangan Aliy, sementara Aliy mencegah Abbaas dari harta tersebut, dan dapat mengalahkannya. Kemudian beralih ditangan Al-Hasan bin ‘Aliy, kemudian berpindah ke tangan Al-Husain bin ‘Aliy, kemudian berpindah ke tangan ‘Aliy bin Al-Husain, kemudian Al-Hasan bin Al-Hasan. Keduanya saling bergantian. Kemudian berpindah ke tangan Zaid bin Hasan. Dan sesungguhnya itu merupakan shadaqah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4033-4034].
Dalam riwayat ini ada beberapa faedah yang terkait dengan bahasan, di antaranya :
1.     ‘Aliy bin Abi Thaalib mengakui eksistensi hadits yang disampaikan Abu Bakr radliyallaahu ‘anhumaa, bahwasannya harta bagian khumus beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak diwariskan kepada keluarga dan anak-anaknya. Tidak sekedar mengakui eksistensinya, namun juga membenarkannya.
2.     Abu Bakr memperlakukan harta tersebut sesuai dengan yang dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Begitu juga dengan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa.
3.     Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menafkahi keluarganya dengan harta fai’ tersebut.
4.     Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa menanggung nafkah keluarga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan harta fai’ tersebut.
5.     ‘Umar radliyallaahu ‘anhu memberikan akhirnya kewenangan kepada Al-‘Abbaas dan ‘Aliy dengan syarat ia memperlakukannya sebagaimana yang diperlakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu terhadapnya; yaitu : memberikan nafkah kepada keluarga Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan menggunakannya untuk kepentingan kaum muslimin. Hal yang sama ketika harta itu berpindah ke tangan 'Aliy radliyallaahu 'anhu.
Ahlul-Bait Sepakat dengan Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu
Sebagian kesepakatan ‘Aliy dan Faathimah radliyallaahu ‘anhumaa telah disebutkan di atas. Berikut adalah tambahannya :
Ahlul-Bait sepakat bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat dalam keadaan tidak meninggalkan harta untuk diwariskan kepada ahli warisnya.
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ مِسْعَرٍ، عَنْ عَدِيِّ بْنِ ثَابِتٍ، قَالَ: سَمِعْتُ  عَلِيَّ  بْنَ  الْحُسَيْنِ ، يَقُولُ: " مَا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِينَارًا وَلا دِرْهَمًا، وَلا عَبْدًا، وَلا أَمَةً "
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Mis’ar, dari ‘Adiy bin Tsaabit, ia berkata : Aku mendengar ‘Aliy bin Al-Husain berkata : “Tidaklah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan dinar, dirham, budak laki-laki, dan budak wanita (ketika wafat)” [Diriwayatkan oleh Hanaad dalam Az-Zuhd no. 734].
Sanad riwayat ini shahih (hingga ‘Aliy bin Al-Husain rahimahullah), semua perawinya tsiqaat.
Keterangan perawinya adalah sebagai berikut :
a.     Wakii’ bin Al-Jarraah bin Maliih Ar-Ruaasiy, Abu Sufyaan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi ‘aabid. Termasuk thabaqah ke-9, wafat tahun 196/197 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1037 no. 7464].
b.     Mis’ar bin Kidaam bin Dhahiir bin ‘Ubaidah bin Al-Haarits bin Hilaal bin ‘Aamir bin Sha’sha’ah Al-Hilaaliy Al-‘Aamiriy, Abu Salamah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-7, dan wafat tahun 153 H/155 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 936 no. 6649].
c.      ‘Adiy bin Tsaabit Al-Anshaariy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, dituduh melakukan tasyayyu’. Termasuk thabaqah ke-4, dan wafat tahun 116 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 671 no. 4571].
d.     ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy Abul-Husain/Abul-Hasan/Abu Muhammad Al-Madaniy, dikenal dengan nama : Zainul-‘Aabidiin; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 93 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 693 no. 4749].
Seandainya khumus dari harta fai’ itu memang termasuk harta warisan yang ditinggalkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tentu akan ia tidak akan lupa menyebutnya.
Bahkan Ahlul-Bait sepakat dengan cara pengaturan khumus harta fai’ yang dilakukan Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa.[39]
وَحَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ، قَالَ: سَأَلْتُ أَبَا جَعْفَرٍ مُحَمَّدَ بْنَ عَلِيٍّ، فَقُلْتُ: عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ حَيْثُ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ النَّاسِ مَا وَلِيَ، كَيْفَ صَنَعَ فِي سَهْمِ ذِي الْقُرْبَى؟ قَالَ: " سَلَكَ بِهِ سَبِيلَ أَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ "، قُلْتُ: وَكَيْفَ وَأَنْتُمْ تَقُولُونَ مَا تَقُولُونَ؟ فَقَالَ: " مَا كَانَ أَهْلُهُ يَصْدُرُونَ إِلا عَنْ رَأْيِهِ "، قُلْتُ: فَمَا مَنَعَهُ؟ قَالَ: " كَرِهَ وَاللَّهِ أَنْ يُدْعَى عَلَيْهِ خِلافَ أَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Al-Mubaarak, dari Muhammad bin Ishaaq, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abu Ja’far Muhammad bin ‘Aliy. Aku berkata : “‘Aliy ketika mengurus urusan orang-orang (saat memimpin di negeri ‘Iraaq), bagaimanakah yang ia lakukan dalam bagian kerabat dekat (pada harta khumus) ?”. Ia (Abu Ja’far) menjawab : “Ia mengikuti cara Abu Bakr dan ‘Umar”. Aku berkata : “Bagaimana bisa engkau mengatakan apa yang engkau katakan tadi ?”. Ia berkata : “Sesungguhnya – demi Allah, tidaklah keluarganya menyandarkan sesuatu kecuali pada pendapatnya (‘Aliy)”. Aku berkata : “Lantas, apakah yang menghalanginya ?”. Ia menjawab : “Demi Allah, ia tidak suka disebut telah menyelisihi Abu Bakr dan ‘Umar” [Diriwayatkan oleh Al-Qaasim bin Sallaam dalam Al-Amwaal no. 848].
Sanad riwayat ini hasan. Berikut keterangan para perawinya :
a.     ‘Abdullah bin Al-Mubaarak bin Waadlih Al-Handhaliy At-Tamiimiy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah, tsabat, faqiih, lagi ‘aalim. Termasuk thabaqah ke-8, lahir tahun 118 H, dan wafat tahun 181 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 540 no. 3595].
b.     Muhammad bin Ishaaq bin Yasaar Al-Madaniy, Abu Bakr/Abu ‘Abdilah Al-Qurasyiy; seorang yang shaduuq, namun sering melakukan tadliis. Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat tahun 150 H atau setelahnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 825 no. 5762].
c.      Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy Al-Madaniy, Abu Ja’far Al-Baaqir; seorang yang tsiqah lagi mempunyai keutamaan. Termasuk thabaqah ke-4, dan wafat tahun 114 H/115 H/116 H/117 H/118 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 879 no. 6191].
KESIMPULAN
Tidak ada permusuhan antara Abu Bakr, ‘Umar, ‘Aliy, ataupun Faathimah radliyallaahu ‘anhum. Mereka semua bersaudara dalam naungan Islam. Seandainya ada perselisihan, maka itu ada perselisihan yang biasa terjadi di kalangan manusia, sehingga tidak perlu dibesar-besarkan. Allah ta’ala memerintahkan kita untuk mendoakan kebaikan kepada mereka semua, karena dengan perantaraan mereka lah Islam sampai kepada kita.
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang" [QS. Al-Hasyr : 10].
Syi’ah telah berupaya dengan sangat keras menciptakan beberapa sandiwara permusuhan antara keluarga ‘Aliy bin Abi Thaalib dengan para shahabat radliyallaahu ‘anhum, karena agama mereka – dari akar sejarahnya – memang lahir dari sandiwara permusuhan dan kebencian ini. Mereka tidak ridla – sebagaimana kita ridla – jika ‘Aliy bin Abi Thaalib dan keluarganya mempunyai hubungan baik dengan para shahabat. Seandainya memang terjadi perselisihan yang terjadi di antara mereka, maka perselisihan itu akan dikemas menjadi ‘seolah-olah’ besar sebagaimana perselisihan antara kaum muslimin dengan Yahudi dan Nashrani.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – wonokarto, wonogiri, 21072012].


[1]      Riwayatnya adalah :
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ الْفَضْلِ الْكَلاعِيُّ بِحِمْصَ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عُثْمَانَ بْنِ سَعِيدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ شُعَيْبِ بْنِ أَبِي حَمْزَةَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: حَدَّثَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ، أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهُ، أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَتْ إِلَى أَبِي بَكْرٍ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ، وَفَاطِمَةُ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهَا حِينَئِذٍ تَطْلُبُ صَدَقَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّتِي بِالْمَدِينَةِ وَفَدَكَ وَمَا بَقِيَ مِنْ خُمْسِ خَيْبَرَ، قَالَتْ عَائِشَةُ: فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لا نُوَرَّثُ مَا تَرَكْنَاهُ صَدَقَةٌ، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ مِنْ هَذَا الْمَالِ، لَيْسَ لَهُمْ أَنْ يَزِيدُوا عَلَى الْمَأْكَلِ "، وَإِنِّي وَاللَّهِ لا أُغَيِّرُ شَيْئًا مِنْ صَدَقَاتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ فِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ مِنْهَا شَيْئًا، فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ مِنْ ذَلِكَ، فَهَجَرَتْهُ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى حَتَّى تُوُفِّيَتْ، وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ......
[2]      Riwayatnya adalah :
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، أَخْبَرَنِي أَبُو النَّضْرِ مُحَمَّدُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْفَقِيهُ، ثنا عُثْمَانُ بْنُ سَعِيدٍ الدَّارِمِيُّ، قَالَ: قُلْتُ لأَبِي الْيَمَانِ: أَخْبَرَكَ شُعَيْبُ بْنُ أَبِي حَمْزَةَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: حَدَّثَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ، أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَخْبَرَتْهُ، أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَتْ إِلَى أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَفَاطِمَةُ حِينَئِذٍ تَطْلُبُ صَدَقَةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ الَّتِي بِالْمَدِينَةِ وَفَدَكٍ وَمَا بَقِيَ مِنْ خُمُسِ خَيْبَرَ، قالتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: فقَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لا نُورَثُ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ مِنْ هَذَا الْمَالِ، يَعْنِي: مَالَ اللَّهِ، لَيْسَ لَهُمْ أَنْ يَزِيدُوا عَلَى الْمَأْكَلِ "، وَإِنِّي وَاللَّهِ لا أُغَيِّرُ صَدَقَاتِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَلأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فِيهَا فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ مِنْهَا شَيْئًا، فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا مِنْ ذَلِكَ،......
[3]      Riwayatnya adalah :
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، قَالَ: أَخْبَرَنَا أَبُو النَّضْرِ مُحَمَّدُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْفَقِيهُ، قَالَ: حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ سَعِيدٍ الدَّارِمِيُّ، قَالَ: قُلْتُ لأَبِي الْيَمَانِ: أَخْبَرَكَ شُعَيْبُ بْنُ أَبِي حَمْزَةَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: حَدَّثَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ، أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهُ، أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَتْ إِلَى أَبِي بَكْرٍ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ، وَفَاطِمَةُ حِينَئِذٍ تَطْلُبُ صَدَقَةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ الَّتِي بِالْمَدِينَةِ وَفَدَكَ، وَمَا بَقِيَ مِنْ خُمُسِ خَيْبَرَ، قَالَتْ عَائِشَةُ: فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لا نُورَثُ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ " إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ مِنْ هَذَا الْمَالِ ! يَعْنِي مَالَ اللَّهِ لَيْسَ لَهُمْ أَنْ يَزِيدُوا عَلَى الْمَأْكَلِ، وَإِنِّي وَاللَّهِ لا أُغَيِّرُ صَدَقَاتِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَلأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فِيهَا، فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ مِنْهَا شَيْئًا، فَوَجَدْتُ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ مِنْ ذَلِكَ،.......
[4]      Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا أَبُو زُرْعَةَ، ثَنَا أَبُو الْيَمَانِ، قَالَ: أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، حَدَّثَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ، أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهُ، أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَتْ إِلَى أَبِي بَكْرٍ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ، وَفَاطِمَةُ حِينَئِذٍ تَطْلُبُ صَدَقَةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّتِي بِالْمَدِينَةِ وَمَا بَقِيَ مِنْ خُمُسِ خَيْبَرَ، قَالَتْ عَائِشَةُ: فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لا نُورَثُ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ "، إِنَّمَا كَانَ يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ مِنْ هَذَا الْمَالِ يَعْنِي مَالَ اللَّهِ لَيْسَ لَهُمْ أَنْ يَزِيدُوا عَلَى الْمَأْكَلِ، وَإِنِّي وَاللَّهِ لا أُغَيِّرُ صَدَقَاتِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهَا، فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ مِنْهَا شَيْئًا، فَوَجَدَتْ فَاطِمَةَ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ، فَهَجَرَتْهُ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى مَاتَتْ، وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ......
[5]      Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ صَالِحٍ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ، أَنَّ عَائِشَةَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَخْبَرَتْهُ أَنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَام ابْنَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ: " سَأَلَتْ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَقْسِمَ لَهَا مِيرَاثَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ، فَقَالَ: لَهَا أَبُو بَكْرٍ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَهَجَرَتْ أَبَا بَكْرٍ، فَلَمْ تَزَلْ مُهَاجِرَتَهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ،.......
[6]      Riwayatnya adalah :
أَخْبَرَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ الزُّهْرِيُّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ، أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ، أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ سَأَلَتْ أَبَا بَكْرٍ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ أَنْ يَقْسِمَ لَهَا مِيرَاثَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ، مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ، فَقَالَ لَهَا أَبُو بَكْرٍ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لا نُوَّرَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌفَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ، وَعَاشَتْ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ
[7]      Riwayatnya adalah :
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، أنا أَبُو سَهْلٍ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ الْقَطَّانُ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ السُّلَمِيُّ، ثنا عَبْدُ الْعَزِيزِ الأُوَيْسِيُّ، حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ صَالِحٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ، أَنَّ عَائِشَةَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَخْبَرَتْهُ، أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سَأَلَتْ أَبَا بَكْرٍ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَقْسِمَ لَهَا مِيرَاثَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ، فقَالَ لَهَا أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لا نُورَثُ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ " فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، فَهَجَرَتْ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَلَمْ تَزَلْ مُهَاجِرَةً لَهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ، وَعَاشَتْ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ.....
[8]      Riwayatnya adalah :
وحَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ، حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا أَبِي. ح وحَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، وَالْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْحُلْوَانِيُّ، قَالَا: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ وَهُوَ ابْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ صَالِحٍ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ: " أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ: أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سَأَلَتْ أَبَا بَكْرٍ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَقْسِمَ لَهَا مِيرَاثَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ، فَقَالَ لَهَا أَبُو بَكْرٍ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌقَالَ: وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ،......
[9]      Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ صَالِحٍ، قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ، أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سَأَلَتْ أَبَا بَكْرٍ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَقْسِمَ لَهَا مِيرَاثَهَا، مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ، فَقَالَ لَهَا أَبُو بَكْرٍ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لَا نُورَثُ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌفَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ، عَلَيْهَا السَّلَام، فَهَجَرَتْ أَبَا بَكْرٍ، فَلَمْ تَزَلْ مُهَاجِرَتَهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ، قَالَ: وَعَاشَتْ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ....
[10]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ الْوَاسِطِيُّ، وَأَبُو دَاوُدَ الْحَرَّانِيُّ، قَالا: ثنا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ، قثنا أَبِي، عَنْ صَالِحٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ. ح وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ، وَأَبُو إِسْمَاعِيلَ التِّرْمِذِيُّ، قَالا: ثنا عَبْدُ الْعَزِيزِ الأُوَيْسِيُّ، قثنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ صَالِحٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ، عَنْ عَائِشَةَ، زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ: أَنَّ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سَأَلَتَ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَقْسِمَ لَهَا مِيرَاثَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ، فَقَالَ لَهَا أَبُو بَكْرٍ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لا نُوَرَّثُ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌقَالَ: وَعَاشَتْ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ،......
[11]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ عُقَيْلٍ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَام بِنْتَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَتْ إِلَى أَبِي بَكْرٍ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ بِالْمَدِينَةِ، وَفَدَكٍ وَمَا بَقِيَ مِنْ خُمُسِ خَيْبَرَ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْمَالِ "، وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أُغَيِّرُ شَيْئًا مِنْ صَدَقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا الَّتِي كَانَ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَلَأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ مِنْهَا شَيْئًا، فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ فَهَجَرَتْهُ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ، وَعَاشَتْ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ........
[12]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا لَيْثٌ، حَدَّثَنِي عُقَيْلٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ: أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَتْ إِلَى أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ، تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ بِالْمَدِينَةِ، وَفَدَكَ، وَمَا بَقِيَ مِنْ خُمُسِ خَيْبَرَ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لَا نُورَثُ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ فِي هَذَا الْمَالِ "، وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أُغَيِّرُ شَيْئًا مِنْ صَدَقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَلَأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ مِنْهَا شَيْئًا، فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ،......
[13]     Riwayatnya adalah :
فَوَجَدْنَا أَحْمَدَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ وَهْبٍ، قَدْ حَدَّثَنَا قَالَ: حَدَّثَنَا عَمِّي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ، وَحَدَّثَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ أَبِي دَاوُدَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ صَالِحٍ، ثُمَّ اجْتَمَعَا فَقَالَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا: حَدَّثَنِي اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ عُقَيْلٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ، أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ عَلَيْهِ السَّلامُ أَرْسَلَتَ إلَى أَبِي بَكْرٍ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ وَفَدَكَ وَمَا بَقِيَ مِنْ خُمُسِ خَيْبَرَ، فَقَالَ لَهَا أَبُو بَكْرٍ: إنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لا نُوْرَثُ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ " إنَّمَا كَانَ يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ فِي هَذَا الْمَالِ، وَإِنِّي وَاللَّهِ لا أُغَيِّرُ شَيْئًا مِنْ صَدَقَةِ رَسُولِ اللَّهِ عَلَيْهِ السَّلامُ عَنْ حَالِهَا الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهَا فِي حَيَاةِ رَسُولِ اللَّهِ عَلَيْهِ السَّلامُ، وَلأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إلَى فَاطِمَةَ مِنْهَا شَيْئًا، فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ، فَهَجَرَتْهُ فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ، وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ عَلَيْهِ السَّلامُ سِتَّةَ أَشْهُرٍ.......
[14]     Riwayatnya adalah :
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ قُتَيْبَةَ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ مَوْهِبٍ، حَدَّثَنِي اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ عَقِيلِ بْنِ خَالِدٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَتْ إِلَى أَبِي بَكْرٍ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ بِالْمَدِينَةِ، وَفَدَكَ، وَمَا بَقِيَ مِنْ خُمُسِ خَيْبَرَ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِنَّا لا نُورَثُ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْمَالِ "، وَإِنِّي وَاللَّهِ لا أُغَيِّرُ شَيْئًا مِنْ صَدَقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ مِنْهَا شَيْئًا، فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ، وَهَجَرَتْهُ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ بِسِتَّةِ أَشْهُرٍ.....
[15]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ، أَخْبَرَنَا حُجَيْنٌ، حَدَّثَنَا لَيْثٌ، عَنْ عُقَيْلٍ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَتْ إِلَى أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ بِالْمَدِينَةِ، وَفَدَكٍ وَمَا بَقِيَ مِنْ خُمْسِ خَيْبَرَ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ "، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْمَالِ، وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أُغَيِّرُ شَيْئًا مِنْ صَدَقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا، الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ شَيْئًا، فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ، قَالَ: فَهَجَرَتْهُ فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ......
[16]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنْ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ فَاطِمَةَ، وَالْعَبَّاسَ عَلَيْهِمَا السَّلَام أَتَيَا أَبَا بَكْرٍ يَلْتَمِسَانِ مِيرَاثَهُمَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُمَا حِينَئِذٍ يَطْلُبَانِ أَرْضَيْهِمَا مِنْ فَدَكَ، وَسَهْمَهُمَا مِنْ خَيْبَرَ، فَقَالَ لَهُمَا أَبُو بَكْرٍ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ مِنْ هَذَا الْمَالِ، قَالَ أَبُو بَكْرٍ: وَاللَّهِ لَا أَدَعُ أَمْرًا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُهُ فِيهِ إِلَّا صَنَعْتُهُ، قَالَ: فَهَجَرَتْهُ فَاطِمَةُ فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى مَاتَتْ "
[17]     Riwayatnya adalah :
عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، " أَنَّ فَاطِمَةَ، وَالْعَبَّاسَ، أَتَيَا أَبَا بَكْرٍ يَلْتَمِسَانِ مِيرَاثَهُمَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُمَا حِينَئِذٍ يَطْلُبَانِ أَرْضَهُ مِنْ فَدَكَ، وَسَهْمَهُ مِنْ خَيْبَرٍ فَقَالَ لَهُمَا أَبُو بَكْرٍ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لا نُورَثُ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ هَذَا الْمَالِ، وَإِنِّي وَاللَّهِ لا أَدَعُ أَمْرًا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُهُ، إِلا صَنَعْتُهُ، قَالَ: فَهَجَرَتْهُ فَاطِمَةُ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى مَاتَتْ........
[18]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، وَمُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ، وَعَبْدُ بْنُ حميد، قَالَ ابْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا وقَالَ الْآخَرَانِ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنْ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ " أَنَّ فَاطِمَةَ، وَالْعَبَّاسَ أَتَيَا أَبَا بَكْرٍ يَلْتَمِسَانِ مِيرَاثَهُمَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَهُمَا حِينَئِذٍ يَطْلُبَانِ أَرْضَهُ مِنْ فَدَكٍ وَسَهْمَهُ مِنْ خَيْبَرَ، فَقَالَ لَهُمَا أَبُو بَكْرٍ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَسَاقَ الْحَدِيثَ بِمِثْلِ مَعْنَى حَدِيثِ عُقَيْلٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ غَيْرَ أَنَّهُ قَالَ: ثُمَّ قَامَ عَلِيٌّ فَعَظَّمَ مِنْ حَقِّ أَبِي بَكْرٍ، وَذَكَرَ فَضِيلَتَهُ وَسَابِقَتَهُ ثُمَّ مَضَى إِلَى أَبِي بَكْرٍ، فَبَايَعَهُ فَأَقْبَلَ النَّاسُ إِلَى عَلِيٍّ، فَقَالُوا: أَصَبْتَ وَأَحْسَنْتَ، فَكَانَ النَّاسُ قَرِيبًا إِلَى عَلِيٍّ حِينَ قَارَبَ الْأَمْرَ الْمَعْرُوفَ
[19]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا أَبُو صَالِحٍ الضِّرَارِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ بْنُ هَمَّامٍ، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ فَاطِمَةَ وَالْعَبَّاسَ أَتَيَا أَبَا بَكْرٍ يَطْلُبَانِ مِيرَاثَهُمَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُمَا حِينَئِذٍ يَطْلُبَانِ أَرْضَهُ مِنْ فَدَكٍ، وَسَهْمَهُ مِنْ خَيْبَرَ، فَقَالَ لَهُمَا أَبُو بَكْرٍ: أَمَا إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " لا نُوَرَّثُ، مَا تَرَكْنَا فَهُوَ صَدَقَةٌ " إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ فِي هَذَا الْمَالِ "، وَإِنِّي وَاللَّهِ لا أَدَعُ أَمْرًا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُهُ إِلا صَنَعْتُهُ. قَالَ: فَهَجَرَتْهُ فَاطِمَةُ فَلَمْ تُكَلِّمْهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى مَاتَتْ.......
[20]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، قثنا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ الصَّنْعَانِيُّ، قَالَ: أنبأ عَبْدُ الرَّزَّاقِ، قَالَ: أنبأ مَعْمَرٌ. ح وَحَدَّثَنَا الدَّبَرِيُّ، عَنْ عَبْدِ الرَّزَّاقِ، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنَّ فَاطِمَةَ وَالْعَبَّاسَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَتَيَا أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَلْتَمِسَانِ مِيرَاثَهُمَا، مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُمَا حِينَئِذٍ يَطْلُبَانِ أَرْضَهُ مِنْ فَدَكَ، وَسَهْمَهُ مِنْ خَيْبَرَ، فَقَالَ لَهُمَا أَبُو بَكْرٍ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " لا نُوَرَّثُ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ هَذَا الْمَالِ "، وَإِنِّي وَاللَّهِ لا أَدَعُ أَمْرًا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُهُ فِيهِ إِلا صَنَعْتُهُ، قَالَ: فَهَجَرَتْهُ فَاطِمَةُ فَلَمْ تُكَلِّمُهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى مَاتَتْ........
[21]     Riwayatnya adalah :
أَخْبَرَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَحْيَى بْنِ عَبْدِ الْجَبَّارِ بِبَغْدَادَ، أنا إِسْمَاعِيلُ بْنُ مُحَمَّدٍ الصَّفَّارُ، ثنا أَحْمَدُ بْنُ مَنْصُورٍ، ثنا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أنا مَعْمَرٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنَّ فَاطِمَةَ، وَالْعَبَّاسَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَتَيَا أَبَا بَكْرٍ يَلْتَمِسَانِ مِيرَاثَهُمَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُمَا حِينَئِذٍ يَطْلُبَانِ أَرْضَهُ مِنْ فَدَكٍ، وَسَهْمَهُ مِنْ خَيْبَرَ، فقَالَ لَهُمَا أَبُو بَكْرٍ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " لا نُورَثُ، مَا تَرَكْنَاهُ صَدَقَةٌ، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ مِنْ هَذَا الْمَالِ "، وَاللَّهِ إِنِّي لا أَدَعُ أَمْرًا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُهُ بَعْدُ إِلا صَنَعْتُهُ، قَالَ: فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا وَهَجَرَتْهُ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى مَاتَتْ......
[22]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ زَنْجَوَيْهِ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، قَالَ: أَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ فَاطِمَةَ، وَالْعَبَّاسَ، أَتَيَا أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَلْتَمِسَانِ مِيرَاثَهُمَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُمَا حِينَئِذٍ يَطْلُبَانِ أَرْضَهُ مِنْ فَدَكٍ وَسَهْمَهُ مِنْ خَيْبَرَ، فَقَالَ لَهُمَا أَبُو بَكْرٍ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " لا نُورَثُ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْمَالِ "، وَإِنِّي وَاللَّهِ لا ادْعُ أَمْرًا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُهُ فِيهِ إِلا صَنَعْتُهُ، قَالَتْ: فَهَجَرَتْهُ فَاطِمَةُ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى مَاتَتْ،......
[23]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِدْرِيسَ، قال: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ ثَوْرٍ، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، رضي الله عنها، أَنَّ فَاطِمَةَ، وَالْعَبَّاسَ، رضي الله عنهما، أَتَيَا أَبَا بَكْرٍ، رضي الله عنه، يَلْتَمِسَانِ مِيرَاثَهُمَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُمَا حِينَئِذٍ يَطْلُبَانِ أَرْضَهُ مِنْ فَدَكٍ، وَسَهْمَهُ مِنْ خَيْبَرَ، فقال لَهُمَا أَبُو بَكْرٍ، رضي الله عنه: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يقول: " لا نُورَثُ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ مِنْ هَذَا الْمَالِ "، وَإِنِّي وَاللَّهِ لا أُغَيِّرُ أَمْرًا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُهُ إِلا صَنَعْتُهُ. قال: فَهَجَرَتْهُ فَاطِمَةُ، رضي الله عنها، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ فِي ذَلِكَ الْمَالِ حَتَّى مَاتَتْ "
[24]     Riwayatnya adalah :
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُمَرَ، حَدَّثَنِي مَعْمَرٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: إِنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ أَرْسَلَتْ إِلَى أَبِي بَكْرٍ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ، وَفَاطِمَةُ حِينَئِذٍ تَطْلُبُ صَدَقَةَ النَّبِيِّ الَّتِي بِالْمَدِينَةِ وَفَدَكَ وَمَا بَقِيَ مِنْ خُمْسِ خَيْبَرَ، فَقَالُ أَبُو بَكْرٍ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: " لا نُورَثُ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ "، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ فِي هَذَا الْمَالِ، وَإِنِّي وَاللَّهِ لا أُغَيِّرُ شَيْئًا مِنْ صَدَقَاتِ رَسُولِ اللَّهِ عَنْ حَالِهَا الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ فِيهَا رَسُولُ اللَّهِ، فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ مِنْهَا شَيْئًا، فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَيْهَا السَّلامُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فَهَجَرَتْهُ فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ، وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ سِتَّةَ أَشْهُرٍ......
[25]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ، وَالْحَسَنُ بْنُ عُثْمَانَ، قالا: حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، رضي الله عنها، أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَتْ إِلَى أَبِي بَكْرٍ، رضي الله عنه، تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ، وَفَاطِمَةُ حِينَئِذٍ تَطْلُبُ صَدَقَةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّتِي بِالْمَدِينَةِ وَفَدَكٍ وَمَا بَقِيَ مِنْ خُمُسِ خَيْبَرَ. فقال أَبُو بَكْرٍ، رضي الله عنه: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: " لا نُورَثُ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ مِنْ هَذَا الْمَالِ "، وَإِنِّي لا أُغَيِّرُ شَيْئًا مِنْ صَدَقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ، رضي الله عنه، أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ، رضي الله عنها، مِنْهَا شَيْئًا، فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ، رضي الله عنه، فِي ذَلِكَ، فَهَجَرَتْهُ فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ، وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ......
[26]     Riwayatnya adalah :
1/13 :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَطَاءٍ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا جَاءَتْ أَبَا بَكْرٍ، وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، تطلب ميراثها من رسول اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَا: إِنَّا سَمِعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " إِنِّي لَا أُورَثُ "
2/353 :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الْخَفَّافُ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ فَاطِمَةَ جَاءَتْ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ تطلب ميراثها من رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَا لَهَا: إنا سَمِعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " إِنِّي لَا أُوَرَّثُ "
[27]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا أَبُو خَيْثَمَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَطَاءٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: " لَمَّا قُبِضَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَتْ فَاطِمَةُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا تَطْلُبُ مِيرَاثَهَا مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ، وَعُمَرُ: إِنَّا سَمِعْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنِّي لا أُوَرِّثُ "
[28]     Riwayatnya adalah :
وَحَدَّثَنَاهُ إِبْرَاهِيمُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ: نا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَطَاءٍ، قَالَ: نا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ أَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَيْهِمَا نَحْوَهُ.
[29]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا الْحَارِثُ، ثنا عَبْدُ الْوَهَّابِ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ فَاطِمَةَ جَاءَتْ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ تَطْلُبُ مِيرَاثَهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالا: إِنَّا سَمِعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " لا نُوَرَّثُ "
[30]     Riwayatnya adalah :
أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ الأَصْبَهَانِيُّ، أنا أَبُو سَعِيدِ بْنُ الأَعْرَابِيِّ، ثنا عَبَّاسُ بْنُ مُحَمَّدٍ الدُّورِيُّ، ثنا عَبْدُ الْوَهَّابِ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: جَاءَتْ فَاطِمَةُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ تَطْلُبُ مِيرَاثَهَا، فَقالا: سَمِعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " لا نُورَثُ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ "
[31]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، أَنَّ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ لِأَبِي بَكْرٍ: مَنْ يَرِثُكَ إِذَا مِتَّ؟ قَالَ: وَلَدِي، وَأَهْلِي، قَالَتْ: فَمَا لَنَا لَا نَرِثُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " إِنَّ النَّبِيَّ لَا يُورَثُ "، وَلَكِنِّي أَعُولُ مَنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُولُ، وَأُنْفِقُ عَلَى مَنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُنْفِقُ
Sanad riwayat ini mursal (tanpa menyebut Abu Hurairah), namun disambung oleh riwayat sebelum dan setelahnya.
[32]     Riwayatnya adalah :
وَأَخْبَرَنَا أَبُو الْحَسَنِ الْمُقْرِئُ، أنا الْحَسَنُ، ثنا يُوسُفُ، ثنا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ غِيَاثٍ، ثنا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، أَنَّ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، فَذَكَرَ الْحَدِيثَ بِنَحْوِهِ، وَلَمْ يَذْكُرْ أَبَا هُرَيْرَةَ
[33]     Riwayat mursal itu disambungkan oleh riwayat maushul karena terdapat qarinah yang menunjukkan itu. Abu Salamah merupakan salah satu ashhaab Abu Hurairah yang paling banyak atau paling tsabt periwayatannya darinya – setelah Ibnul-Musayyib – sebagaimana dikatakan oleh Ibnul-Madiiniy. Dan riwayat maushul dari Hammaad bin Salamah dikuatkan oleh ‘Abdul-Wahhaab bin ‘Athaa’ sebagaimana disebutkan sebelumnya.
[34]     Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: جَاءَتْ فَاطِمَةُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ، فَقَالَتْ: مَنْ يَرِثُكَ؟ قَالَ: أَهْلِي وَوَلَدِي قَالَتْ: فَمَا لِي لَا أَرِثُ أَبِي؟ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " لَا نُورَثُ، وَلَكِنِّي أَعُولُ مَنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُولُهُ، وَأُنْفِقُ عَلَى مَنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُنْفِقُ عَلَيْهِ "
[35]     Riwayatnya adalah :
نا جَعْفَرٌ الطَّيَالِسِيُّ، نا أَبُو الْوَلِيدِ، نا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لا نُورَثُ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةً
[36]     Riwayatnya adalah :
وَرَوَى حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: جَاءَتْ فَاطِمَةُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ، فَقَالَتْ: مَنْ يَرِثُكَ؟ فَقَالَ: أَهْلِي وَوَلَدِي. قَالَتْ: فَمَا لِي لا أَرِثُ أَبِي. فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " لا نُورَثُ ". وَلَكِنِّي أَعُولُ مَنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُولُهُ، وَأُنْفِقُ عَلَى مَنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُنْفِقُ عَلَيْهِ. نا بِذَلِكَ عُثْمَانُ بْنُ سَعِيدٍ الدَّارِمِيُّ، قَالَ: نا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، قَالَ: نا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ فَاطِمَةَ. الْحَدِيثَ بِطُولِهِ. وَفِي الْبَابِ: عَنْ عُمَرَ، وَطَلْحَةَ، وَالزُّبَيْرِ، وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، وَسَعْدٍ، وَعَائِشَةَ، وَأَبِي هُرَيْرَةَ. وَحَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ " غَرِيبٌ " مِنْ هَذَا الْوَجْهِ. إِنَّمَا أَسْنَدَهُ حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ. وَقَدْ رُوِيَ هَذَا الْحَدِيثُ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ. يُقَالُ: حَدِيثُ مَالِكٍ حَدِيثٌ " حَسَنٌ صَحِيحٌ غَرِيبٌ ".
[37]     Riwayatnya adalah :
ثنا هِشَامٌ أَبُو الْوَلِيدِ، قَالَ: ثنا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: جَاءَتْ فَاطِمَةُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ عَلَيْهِمَا السَّلامُ، فَقَالَتْ: مَنْ يَرِثُكَ؟ فَقَالَ: وَلَدِي وَأَهْلِي، قَالَتْ: فَلا يَرِثُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ابْنَتُهُ؟ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " إِنَّا لا نُورَثُ، مَا تَرَكْنَا فَهُوَ صَدَقَةٌ "، فَمَنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُولُهُ فَأَنَا أَعُولُهُ، وَمَنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُنْفِقُ عَلَيْهِ فَأَنَا أُنْفِقُ عَلَيْهِ
[38]     Riwayatnya adalah :
وَأَخْبَرَنَا أَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ الْمُقْرِئُ، أنا الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ، ثنا يُوسُفُ بْنُ يَعْقُوبَ الْقَاضِي، ثنا أَبُو الْوَلِيدِ الطَّيَالِسِيُّ، ثنا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا جَاءَتْ إِلَى أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَقالتْ: مَنْ يَرِثُكَ؟ قَالَ: أَهْلِي وَوَلَدِي، قالتْ: فَمَا لِي لا أَرِثُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " إِنَّا لا نُورَثُ "، وَلَكِنِّي أَعُولُ مَنْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُولُهُ، وَأُنْفِقُ عَلَى مَنْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُنْفِقُ عَلَيْهِ
[39]     Di sisi lain, salaf berselisih pendapat sepeninggal beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang bagian Nabi dan kerabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam khumus, sebagaimana riwayat :
حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ، قَالَ: سَأَلْتُ الْحَسَنَ بْنَ مُحَمَّدٍ، عَنْ قَوْلِهِ: "وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى، فَقَالَ: هَذَا مِفْتَاحُ كَلامٍ، لِلَّهِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةُ ، ثُمَّ اخْتَلَفَ النَّاسُ فِي هَذَيْنِ السَّهْمَيْنِ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ قَائِلُونَ: سَهْمُ الْقَرَابَةِ: لِقَرَابَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ: قَائِلُونَ: لِقَرَابَةِ الْخَلِيفَةِ، وَقَالَ قَائِلُونَ: سَهْمُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ لِلْخَلِيفَةِ مِنْ بَعْدِهِ، قَالَ: فَأَجْمَعَ رَأْيُهُمْ عَلَى أَنْ يَجْعَلُوا هَذَيْنِ السَّهْمَيْنِ فِي الْخَيْلِ وَالْعُدَّةِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، قَالَ: فَكَانَا عَلَى ذَلِكَ خِلافَةَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ
Telah menceritakan kepadaku ‘Abdurrahman bin Mahdiy, dari Sufyaan, dari Qais bin Muslim, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Al-Hasan bin Muhammad tentang firman-Nya : ‘Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul’ (QS. Al-Anfaal : 41), maka ia menjawab : “Ini merupakan kunci perkataan, kepunyaan Allah lah dunia dan akhirat. Kemudian orang-orang berselisih pendapat setelah wafatnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang dua bagian ini. Beberapa orang berkata : ‘Bagian kekerabatan adalah untuk kerabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam’. Sebagian lain mengatakan : ‘Untuk kerabat khaliifah”. Dan beberapa orang mengatakan : ‘Bagian Nabi adalah untuk khalifah setelah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam’”. Al-Hasan melanjutkan : “Namun pendapat mereka bersatu untuk menjadikan dua bagian ini bagi kuda dan perlengkapan jihad di jalan Allah. Kedua hal itu berlaku di jaman kekhilafahan Abu Bakr dan ‘Umar” [Diriwayatkan oleh Al-Qaasil bin Sallaam dalam Al-Amwaal no. 847; sanadnya shahih].

Comments

K A B mengatakan...

Dari tulisan di atas:
" Orang Raafidlah memang terbiasa menjalankan logika sakit untuk membangun dan membela keyakinannya "



baru tahu ada cabang ilmu logika seperti ini, :) , setahu saya logika itu ada logika fuzzy, logika proporsional, dll. Telat saya mempelajarinya.

Anonim mengatakan...

orang syiah mana kuat baca yang begini, yang mereka paham hanya mut'ah dan taqiyah.

Anonim mengatakan...

logika sakit :D Tepat sekali penggambarannya.. jazakallahu khairan ilmunya

Anonim mengatakan...

Salam ustaz

Sangat bagus sekali jawapannya

Harap ustaz boleh bukukan tulisan ini sekaligus menutup mulut busuk rafidah.

Ijinkan saya tambah sedikit

1. Pandangan idraj juga adalah pandangan al-Luknawi

al-Luknawi di dalam syarahnya kepada Shahih al-Bukhari berkata:

"Ini adalah anggapan dari perawi hadith sahaja. Beliau membuat kesimpulan begini kerana melihat Fatimah tidak memberikan sebarang reaksi dan komen kepada Abu Bakar, apabila Abu Bakar menyatakan para Nabi tidak mewarisi sebarang harta. Fathimah sebenarnya menyesali sikap yang keluar dari dirinya sendiri. Beliau tidak berkata apa-apa kepada Abu Bakar kerana menyesali sikapnya sendiri, atau dengan lain perkataan, beliau memarahi dirinya sendiri kerana telah bertemu dengan khalifah untuk sesuatu harta dunia sedangkan kehidupan Abu Bakar sendiri telah diredhai oleh Allah.

Beliau pula adalah seorang yang suka melakukan kebajikan, bertanggungjawab dan tidak pernah menzalimi seseorang.

[Dikemukakan oleh Ibrahim Ali Sya’wat di dalam bukunya Kesalahan-Kesalahan Fakta-Fakta Sejarah Yang Perlu Dibetulkan (edisi terjemahan oleh Basri bin Ibrahim; Jahabersa, Johor Bahru, 2003), buku 2, ms. 25].

2. Kemarahan kepada Abu bakar juga membawa kepada kemarahan Rasulullah s.a.w

http://islamic-forum.net/index.php?showtopic=17405

3. Ali r.a telah memba'iah Abu Bakar setelah 6 bulan menurut hujah rafidi. Jadi kalo diikut standard rafidi, jelas Ali r.a telah berbai'ah dengan orang yang membawa marah kepada Fatimah r.a

Marah ini pula permanen kerana berlaku setelah Fatimah r.a telah wafat, maka jika Fatimah r.a masih hidup, uda tentu dia akan marah dengan tindakan Ali r.a itu..

Jadi apakah Ali r.a juga telah dimurkai disini???

Nanti rafidi bilang, bai'ah Ali r.a kerana terpaksa sama seperti kasus Harun a.s

Ini alasan basa basi.

Dalam teks yang dihujahkan rafidi,

Ali r.a berba'aih bukan kerana terpaksa tapi kerana takut dengan keredhaan manusia

"Ketika Fathimah masih hidup ‘Ali masih disegani oleh orang ramai kerana kedudukan Fathimah. Namun apabila Fathimah wafat, ‘Ali melihat ramai orang mula mengingkarinya. Oleh itu ‘Ali mencari jalan untuk berdamai dengan Abu Bakar dan membai‘ahnya"

Sahih: Ringkasan hadis daripada A’isyah radhiallahu 'anha yang dikeluarkan oleh al-Bukhari di dalam Shahihnya – hadis no: 4241 (Kitab al-Maghazi, Bab ekspedisi Khaibar) dan Muslim di dalam Shahihnya – hadis no: 1758 & 1759.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ada bantahan dari orang Raafidlah atas tulisan di atas. Tapi saya pribadi sangat menikmati tulisannya. Bagi yang mengerti, tentu akan paham kekeliruan mendasar dalam analisanya. Bagaimana bisa ia menafikkan peringatan dari para ulama terhadap Az-Zuhriy bahwa ia sering menyisipkan lafadh dalam hadits yang ia bawakan ?. Bahkan setelah ada bukti nyata dan terang adanya idraaj tersebut ?.

Ringkasnya, kalau kita mengamalkan analisa kacau orang Rafidlah itu, niscaya gak bakal ada namanya hadits mudraj.

Tapi ada satu riwayat menarik yang dikemukakan orang Raafidlah tersebut yang akan sedikit saya singgung di sini, yaitu :

حدثنا محمد بن عوف حدثنا عثمان بن سعيد حدثنا شعيب بن أبي حمزة عن الزهري عن عروة عن عائشة قالت عاشت فاطمة بنت رسول الله ص بعد رسول الله ص ستة اشهر

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Auf yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Utsman bin Sa’iid yang berkata telah menceritakan Syu’aib bin Abi Hamzah dari Az Zuhriy dari Urwah dari Aisyah yang berkata “Fathimah binti Rasulullah hidup setelah wafat Rasulullah selama enam bulan” [Adz Dzuriyat Ath Thaahirah Ad Duulabiy hal 110].

أخبرناه أبو الحسين بن الفضل القطان أخبرنا عبد الله بن جعفر حدثنا يعقوب بن سفيان حدثنا أبو اليمان قال أخبرناشعيب قال وأخبرنا الحجاج بن أبي منيع حدثنا جدي جميعا عن الزهري قال حدثنا عروة أن عائشة أخبرته قالت عاشت فاطمة بنت رسول الله بعد وفاة رسول الله ستة أشهر

Telah mengabarkan kepada kami Abu Husain bin Fadhl Al Qaththaan yang berkata telah mengabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Ya’quub bin Sufyaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Abul Yamaan yang berkata telah mengabarkan kepada kami Syu’aib, [Yaqub berkata] dan mengabarkan kepada kami Hajjaaj bin Abi Manii’ yang berkata telah menceritakan kakekku, semuanya dari Az Zuhriy yang berkata telah menceritakan kepada kami Urwah bahwa Aisyah mengabarkan kepadanya berkata “Fathimah binti Rasulullah hidup setelah wafatnya Rasulullah selama enam bulan” [Ad Dalaa’il Baihaqiy 6/366].

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ ، ثنا أَبُو زُرْعَةَ الدِّمَشْقِيُّ ، ثنا أَبُو الْيَمَانِ ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبُ بْنُ أَبِي حَمْزَةَ ، عَنِ الزُّهْرِيِّ ، عَنْ عُرْوَةَ ، عَنْ عَائِشَةَ ، قَالَتْ : ” تُوُفِّيَتْ فَاطِمَةُ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِسِتَّةِ أَشْهُرٍ ، وَدَفَنَهَا عَلِيٌّ لَيْلا

Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Ahmad yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Zur’ah Ad Dimasyiq yang berkata telah menceritakan kepada kami Abul Yamaan yang berkata telah mengabarkan kepada kami Syu’aib bin Abi Hamzah dari Az Zuhriy dari Urwah dari Aisyah yang berkata “Fathimah wafat enam bulan setelah wafat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Ali menguburkannya pada waktu malam” [Hilyatul Auliya 2/42]

Sanad ketiga riwayat di atas adalah shahih. Tapi itu mesti dipahami bahwa lafadh yang dibawakan dalam tiga riwayat tersebut merupakan ikhtishar (ringkasan) riwayat panjang yang ada dalam artikel di atas. Atau dengan kata lain, lafadh hadits 'Aaisyah selengkapnya adalah sebagaimana yang ada dalam artikel.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Dan itulah yang disebutkan Al-Bukhaariy :

حَدَّثَنَا محمد قال: حَدَّثَنَا أبو اليمان قال: أخبرنا شعيب، عن الزهري قال: أخبرني عروة بْن الزبير، عن عائشة....فذكر الحديث، وقال: وعاشت فاطمة بعد النبي صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ ستة أشهر ودفنها علي.

Telah menceritakan kepada kami Muhammad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-Yamaan, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’aib, dari Az-Zuhriy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Urwah bin Az-Zubair, dari ‘Aaisyah,... lalu ia menyebutkan hadits. Dan perawi (laki-laki) berkata : “Dan Faathimah hidup sepeninggal Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam selama enam bulan, dan kemudian wafat, dikuburkan oleh ‘Aliy” [Al-Ausath 1/114 no. 93 ].

Perkataan : wa dzakaral-hadiits, maksudnya hadits tentang tuntutan Faathimah radliyallaahu 'anhaa atas warisan. Di situ Al-Bukhaariy meringkasnya. Dan kemudian menisbatkan perkataan wa 'aasyat Faathimah... dst. kepada perkataan Az-Zuhriy. Inilah idrajnya yang sangat jelas.

Begitu pula riwayat :

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ مَنْصُورٍ الرَّمَادِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ بْنُ هَمَّامٍ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، قَالَ: قُلْتُ لِلزُّهْرِيِّ: " كَمْ مَكَثَتْ فَاطِمَةُ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " سِتَّةُ أَشْهُرٍ "

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Ahmad bin Manshuur Ar-Ramaadiy : telah menceritakan kepada kami 'Abdurrazzaaq bin Hammaam : Telah mengkhabarkan kepada kami Ma'mar : Aku pernah bertanya kepada Az-Zuhriy : "Berapa lama Faathimah hidup sepeninggal Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam ?". Ia berkata : "Enam bulan" [Diriwayatkan oleh Ad-Duulabiy dalam Adz-Dzuriyyah no. 205].

Riwayat ini merupakan bagian atau ringkasan dari keseluruhan riwayat yang dibawakan Ma'mar dari Az-Zuhriy sebagaimana dibawakan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 6/300 no. 12732 (catatan kaki no. 21).

Ini adalah bukti bahwa sebenarnya pemilik perkataan tersebut adalah Az-Zuhriy. Tentu saja ini jika kita mau memahami hadits secara keseluruhan. Dan itulah yang dikuatkan dalam riwayat lain sebagaimana telah disebutkan dalam artikel di atas.

Yang menarik lagi adalah riwayat dari jalur ahlul-bait :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَنْصُورٍ الْجَوَّازُ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ، قَالَ: " لَبِثَتْ فَاطِمَةُ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ ثَلاثَةَ أَشْهُرٍ "

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Manshuur Al-Jawwaaz : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan bin 'Uyainah, dari 'Amru bin Diinaar, dari Muhammad bin 'Aliy, ia berkata : "Faathimah hidup sepeninggal Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam selama tiga bulan" [Diriwayatkan oleh Ad-Duulabiy dalam Adz-Dzuriyyah no. 204].

Riwayat ini shahih. Muhammad bin 'Aliy di situ adalah Muhammad bin 'Aliy bin Al-Husain bin Abi Thaalib yang terkenal dengan nama Abu Ja'far Al-Baaqir. Ia mengatakan 3 bulan.

Akankah orang Raafidlah itu mengatakan bahwa imamnya telah melakukan manipulasi sejarah ?. Kita tunggu......

Anonim mengatakan...

Bila Syiah sengaja memakai hadits ini untuk mendukung aqidah mereka,sesungguhnya merekalah yang bodoh. Karena sama saja mereka ingin mengatakan Fatimah gila harta padahal Rasulullah sudah memerintahkannya untuk dishadaqahkan. Kasihan Syiah mau mencintai Ahlul Bait tapi menghinanya sendiri

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Alhamdulillah, antum dan juga saya masih memiliki akal yang sangat waras untuk membela kehormatan Faathimah 'alaihas-salaam dari celaan terselubung kaum Raafidlah.

Pun SEANDAINYA BENAR bahwa Abu Bakr radliyallaahu 'anhu mendhaliminya dalam masalah harta warisan - dan Abu Bakr sangat jauh dari gila harta - apakah mungkin Faathimah ngambek dan mogok bicara dengan Abu Bakr hingga meninggal ?.

Padahal Abu Bakr telah mengatakan bahwa harta itu ia pergunakan untuk kepentingan nafkah ahlul-bait dan kaum muslimin pada umumnya (untuk jihad fii sabiilillah). Apakah Faathimah tidak mewarisi sifat ayahnya yang mengatakan :

لَوْ كَانَ لِي مِثْلُ أُحُدٍ ذَهَبًا، لَسَرَّنِي أَنْ لَا تَمُرَّ عَلَيَّ ثَلَاثُ لَيَالٍ وَعِنْدِي مِنْهُ شَيْءٌ، إِلَّا شَيْئًا أَرْصُدُهُ لِدَيْنٍ

"Sekiranya aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, maka aku tidak suka jika ia masih berada di sisiku selama tiga hari (dimana harta tersebut akan aku pergunakan fii sabiilillah), dan sekiranya aku memiliki sedikit saja dari itu, niscaya aku telah membayarkan untuk hutang" [shahih].

Anonim mengatakan...

sudah dikomentari balik oleh si rafidi ust. gmn tanggapan antm?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ndak ada tambahan berarti, karena sudah cukup dengan artikel di atas. Dan itu adalah jawabannya.

Tiga hadits yang dibawakan oleh Raafidliy di atas ikhtishar riwayat panjang yang disampaikan perawi dari hadits Az-Zuhriy. Dan sangat jelas dalam riwayat yang dibawakan di atas terdapat sisipan perkataan Az-Zuhriy. Pertanyaannya : Lantas siapakah yang mengatakan qaala itu ?. 'Aaisyah ?.

Pengertian adanya sisipan ini diamalkan ketika telah diketahui bahwa Az-Zuhriy adalah perawi yang sering menyisipkan lafadh perkataannya atau penafsirannya terhadap hadits yang ia bawakan. Tentu beda halnya dengan orang yang tidak disifati sering membawakan hadits mudraj. Di atas pun telah dibawakan qarinah-qarinahnya beberapa jalan. Selain itu, tambahan lafadh ini tidaklah dibawakan selain dari jalur Az-Zuhriy dari ‘Urwah, dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa.

Sangatlah aneh kemudian jika orang Raafidliy itu mengatakan kata qaala itu artinya si perawi laki-laki melanjutkan perkataan 'Aaisyah. Dalam banyak hadits lain pun disebutkan kalau memang perawi dibawahnya ingin menyebutkan kelanjutan perkataan perawi di atasnya yang wanita, pasti mengatakan qaalat atau qaala : qaalat Fulanah atau yang semisalnya. Aneh-aneh saja si Rafidliy ini ya.... he...he..he....

Dari dulu orang Raafidliy ini memang bermasalah dengan dirinya. Hanya mengingatkan bagi yang merasa amnesia tentang hadits :

حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، حَدَّثَنَا أَبُو صَالِحٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ مَا تَرَكَ غِنًى، وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ ". تَقُولُ الْمَرْأَةُ: إِمَّا أَنْ تُطْعِمَنِي وَإِمَّا أَنْ تُطَلِّقَنِي، وَيَقُولُ الْعَبْدُ: أَطْعِمْنِي وَاسْتَعْمِلْنِي، وَيَقُولُ الِابْنُ: أَطْعِمْنِي إِلَى مَنْ تَدَعُنِي، فَقَالُوا: يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، سَمِعْتَ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا، هَذَا مِنْ كِيسِ أَبِي هُرَيْرَةَ

Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Hafsh : Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami Al-A’masy : Telah menceritakan kepada kami Abu Shaalih, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sebaik-baik shadaqah adalah yang masih menyisakan kecukupan, dan tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Mulailah dengan orang-orang yang ada dalam tanggunganmu. Seorang wanita berkata : ‘Berilah aku makan, atau kalau tidak, ceraikanlah aku’. Seorang budak berkata : ‘Berilah aku makan dan pekerjakanlah aku’. Dan seorang anak berkata : ‘Berilah aku makan, kepada siapa engkau meninggalkanku”. Mereka bertanya : “Wahai Abu Hurairah, apakah engkau mendengar hal ini dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Ia menjawab : “Tidak, ini berasal dari pendapat Abu Hurairah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5355].

Kata orang Raafidliy itu, kalimat yang bercetak tebal menunjukkan kedustaan Abu Hurairah karena menisbatkan perkataan pribadinya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Padahal, telah ada bukti lain secara jelas bahwa telah terjadi idraaj perkataan Abu Hurairah oleh perawi di bawahnya dan terdapat peringkasan. Buktinya adalah dalam hadits :

أَخْبَرَنَا أَبُو عَمْرٍو مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الأَدِيبُ، أنا أَبُو بَكْرٍ الإِسْمَاعِيلِيُّ، أَخْبَرَنِي الْحَسَنُ هُوَ ابْنُ سُفْيَانَ، نا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، نا أَبُو مُعَاوِيَةَ.ح قَالَ: وَأَخْبَرَنِي الْحَسَنُ، نا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ، نا أَبُو أُسَامَةَ، قَالَ: نا الأَعْمَشُ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ أَفْضَلَ الصَّدَقَةِ مَا تَرَكَ غِنًى، وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ "، قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: تَقُولُ امْرَأَتُكَ أَطْعِمْنِي وَإِلا فَطَلِّقْنِي، وَيَقُولُ: خَادِمُكَ أَطْعِمْنِي وَإِلا فَبِعْنِي، وَيَقُولُ: وَلَدُكَ إِلَى مَنْ تَكِلُنِي؟ قَالُوا: يَا أَبَا هُرَيْرَةَ هَذَا شَيْءٌ تَقُولُهُ مِنْ رَأْيِكَ أَوْ مِنْ قَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لا، بَلْ هَذَا مِنْ كَيْسِي، أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ فِي الصَّحِيحِ، عَنْ عُمَرَ بْنِ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ الأَعْمَشِ

Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Amru Muhammad bin ‘Abdillah Al-Adiib : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr Al-Ismaa’iliy : Telah mengkhabarkan kepadaku Al-Hasan bin Sufyaan : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Mu’aawiyyah (ح). Dan telah mengkhabarkan kepadaku Al-Hasan : Telah mengkhabarkan kepada kami Nashr bin ‘Aliy : telah mengkhabarkan kepada kami Abu Usaamah, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-A’masy, dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya shadaqah yang paling utama adalah yang masih menyisakan kecukupan, dan tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Mulailah dengan orang-orang yang ada dalam tanggunganmu”. Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu berkata : “Istrimu berkata : ‘Berilah aku makan, atau kalau tidak, ceraikanlah aku’. Pembantumu berkata : ‘Berilah aku makan, atau jika tidak, bebaskanlah aku’. Anakmu berkata : ‘Kepada siapa engkau menyerahkanku ?”. Mereka bertanya : “Wahai Abu Hurairah, apakah ini sesuatu yang engkau katakan menurut pendapatmu, ataukah berasal dari sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Ia menjawab : “Tidak, bahkan ini berasal dari pendapatku semata” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy, 7/471].

Ini adalah penjelas adanya idraaj perkataan Abu Hurairah yang dilakukan oleh perawi di bawahnya, dimana dijelaskan bagian mana perkataan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan bagian mana perkataan Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu. Selengkapnya silakan baca :

http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/09/abu-hurairah-tidak-berdusta.html.

Mengapa orang Raafidlah itu gak mau buka sebelah matanya ?. Antum tentu tahu jawaban klise-nya : tabiat ngotot. Juga karena memang benci dengan Abu Hurairah, satu penyakit akut yang belum sembuh.

Membandingkan lafadh antar riwayat itu dapat mengetahui, mana lafadh asli hadits, mana pula lafadh yang terdapat tambahan perawi.

Jika lafadh qaala yang menjadi sisipan dalam sebuah lafadh hadits tidak dijadikan i'tibar dalam penilaian hadits mudraj, lantas apa ?. Kalau memang dirinya menyangka bahwa jika kita melakukan penelitian lafadh-lafadh seperti di atas akan mengkonsekuensikan banyaknya hadits mudraj, ya sangat dipersilakan dirinya untuk membuktikan angan-angannya itu.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Kebalikannya dengan kasus di atas adalah hadits yang menyatakan baiat 'Aliy kepada Abu Bakr :

حَدَّثَنَا أبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ إِمْلاءً، وَأَبُو مُحَمَّدِ بْنُ أَبِي حَامِدٍ الْمُقْرِيُّ قِرَاءَةً عَلَيْهِ، قَالا: ثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، ثَنَا جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ شَاكِرٍ، ثَنَا عَفَّانُ بْنُ مُسْلِمٍ، ثَنَا وُهَيْبٌ، ثَنَا دَاوُدُ بْنُ أَبِي هِنْدٍ، ثَنَا أَبُو نَضْرَةَ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: " لَمَّا تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ خُطَبَاءُ الأَنْصَارِ، فَجَعَلَ الرَّجُلُ مِنْهُمْ، يَقُولُ: يَا مَعْشَرَ الْمُهَاجِرِينَ، إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا اسْتَعْمَلَ رَجُلا مِنْكُمْ قَرَنَ مَعَهُ رَجُلا مِنَّا، فَنَرَى أَنْ يَلِيَ هَذَا الأَمْرَ رَجُلانِ، أَحَدُهُمَا مِنْكُمْ وَالآخَرُ مِنَّا، قَالَ: فَتَتَابَعَتْ خُطَبَاءُ الأَنْصَارِ عَلَى ذَلِكَ، فَقَامَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ، وَإِنَّ الإِمَامَ يَكُونُ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ، وَنَحْنُ أَنْصَارُهُ كَمَا كُنَّا أَنْصَارَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَقَالَ: جَزَاكُمُ اللَّهُ خَيْرًا يَا مَعْشَرَ الأَنْصَارِ، وَثَبَّتَ قَائِلَكُمْ، ثُمَّ قَالَ: أَمَا لَوْ فَعَلْتُمْ غَيْرَ ذَلِكَ لَمَا صَالَحْنَاكُمْ، ثُمَّ أَخَذَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ بِيَدِ أَبِي بَكْرٍ، فَقَالَ: هَذَا صَاحِبُكُمْ فَبَايَعُوهُ، ثُمَّ انْطَلَقُوا، فَلَمَّا قَعَدَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ نَظَرَ فِي وُجُوهِ الْقَوْمِ فَلَمْ يَرَ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَسَأَلَ عَنْهُ، فَقَامَ نَاسٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَأَتَوْا بِهِ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ابْنَ عَمِّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخَتَنَهُ، أَرَدْتَ أَنْ تَشُقَّ عَصَا الْمُسْلِمِينَ؟ فَقَالَ: لا تَثْرِيبَ يَا خَلِيفَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ لَمْ يَرَ الزُّبَيْرَ بْنَ الْعَوَّامِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَسَأَلَ عَنْهُ، حَتَّى جَاءُوا بِهِ، فَقَالَ: ابْنَ عَمَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحَوَارِيَّهُ، أَرَدْتَ أَنْ تَشُقَّ عَصَا الْمُسْلِمِينَ؟ فَقَالَ مِثْلَ قَوْلِهِ: لا تَثْرِيبَ يَا خَلِيفَةَ رَسُولِ اللَّهِ، فَبَايَعَاهُ "

Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh dan Abu Muhammad ‘Abdurrahmaan bin Abi Haamid Al-Muqri’ dengan qira’aat kepadanya, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin Ya’quub : Telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Muhammad bin Syaakir : telah menceritakan kepada kami ‘Affaan bin Muslim : Telah menceritakan kepada kami Wuhaib : Telah menceritakan kepada kami Daawud bin Abi Hind : Telah menceritakan kepada kami Abu Nadlrah, dari Abu Sa’iid Al-Khudriy : “…..(al-atsar).....".

Silakan baca di http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/07/aliy-bin-abi-thaalib-berbaiat-kepada.html.

Sanad riwayat ini shahih. Telah dishahihkan oleh Muslim dan Ibnu Khuzaimah dari kalangan mutaqaddimiin, dimana dalam riwayat ini menyambungkan kemursalan riwayat Abu Nadlrah. Ini namanya ziyaadatuts-tsiqaat yang diterima yang merupakan madzhab jumhur ulama ahli hadits dan ushul.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Tapi bagaimana ulah orang Raafidliy itu untuk membatalkan riwayat shahih ini. Maka ia mengarang-ngarang dengan menyisipkan sendiri perawi Abu Nadlrah ketika memberikan analisa terjemahan dari riwayat Al-Haakim dan Al-Baihaqiy di atas :

.............

berkata “ini sahabat kalian maka baiatlah ia” kemudian mereka pergi.

[Abu Nadhrah berkata] Ketika Abu Bakar berdiri di atas mimbar, ia melihat kepada orang-orang kemudian ia tidak melihat Ali, ia bertanya tentangnya maka ia menyuruh orang-orang dari kalangan Anshar memanggilnya, Abu Bakar berkata “wahai sepupu Rasulullah dan menantunya apakah engkau ingin memecah belah kaum muslimin?”. Ali berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]” maka ia membaiatnya. Kemudian Abu Bakar tidak melihat Zubair, ia menanyakan tentangnya dan memanggilnya kemudian berkata “wahai anak bibi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan penolongnya [hawariy] “apakah engkau ingin memecah belah kaum muslimin?”. Zubair berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah” maka ia membaiatnya...",
[selesai].

Asli, kata-kata yang saya cetak tebal itu adalah hasil rekayasanya. Dalam teks asli gak ada lafadh qaala Abu Nadlrah atau yang semisal. Ini hanyalah usahanya - yang sia-sia - untuk mengesankan bahwa riwayat itu terputus. Padahal tidak, karena itu merupakan lafadh Abu Sa'iid Al-Khudriy yang menyambung kemursalan riwayat Abu Nadlrah.

Jelas to bagaimana ulah orang satu ini ?.

Yang gak ada qarinah idraaj dibikin-bikin ada idraj, sedangkan yang ada qarinah idraj diingkari. Basi..... basi.....

Kemudian tentang riwayat Abu Ja'far yang katanya - secara tersirat - lebih shahih, karena mencocoki riwayat Az-Zuhriy. Ini ya aneh dong... Karena telah masyhur di kalangan ulama adanya perbedaan pendapat tentang masa wafatnya Faathimah ini sebagaimana dinukil oleh Al-Haakim :

وَقَدِ اخْتُلِفَ فِي وَقْتِ وَفَاتِهَا، فَرُوِيَ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ أَنَّهُ قَالَ: " تُوُفِّيَتْ فَاطِمَةُ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ بِثَلاثَةِ أَشْهُرٍ "، وَأَمَّا عَائِشَةُ فَإِنَّهَا قَالَتْ فِيمَا رُوِيَ عَنْهَا أَنَّهَا تُوُفِّيَتْ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ بِسِتَّةِ أَشْهُرٍ "، وَأَمَّا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْحَارِثِ فَإِنَّهُ قَالَ فِيمَا رَوَى يَزِيدُ بْنُ أَبِي زِيَادٍ عَنْهُ، قَالَ: " تُوُفِّيَتْ فَاطِمَةُ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ بِثَمَانِيَةِ أَشْهُرٍ "

“Terdapat perselisihan tentang waktu wafatnya (Faathimah). Diriwayatkan dari Abu Ja’far Muhammad bin ‘Aliy, bahwa ia berkata : ‘Faathimah wafat tiga bulan sepeninggal Nabi shallallaahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam”. ‘Aaisyah berkata dalam apa yang diriwayatkan darinya, bahwa Faathimah wafat enam bulan sepeninggal Nabi shallallaahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam. Adapun ‘Abdullah bin Al-Haarits, maka ia berkata dalam apa yang diriwayatkan darinya : ‘Faathimah wafat delapan bulan sepeninggal Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Al-Mustadrak, 3/162].

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Muhammad bin Manshuur Al-Jawwaaz dalam riwayat Ad-Duulabiy itu mempunyai mutaba’ah dari ‘Abdurrazzaaq.

Dan mungkin - sekali lagi dia amnesia - dengan teori ngaco nya tentang sanad 'aliy dan sanad nazil. Menilik teorinya tersebut, sanad Ad-Duulabiy jelas lebih pendek daripada sanadnya Ibnu 'Asaakir. Tapi mengapa ia benarkan sanadnya Ibnu 'Asaakir ?. Pertama, karena gak mau kalah. Kedua, karena lupa. Ketiga, karena mencocoki seleranya.

Tapi secara inshaf saya katakan, Ibnu 'Uyainah dalam membawakan riwayat telah idlthiraab, karena ia membawakan sanad dari 'Amru bin Dinar dari dua jalan sekaligus. Pertama dari Abu Ja'far, dan kedua dari Az-Zuhriy. Satu riwayat (misal : Ad-Dulabiy) pertama dikatakan bahwa Abu Ja'far mengatakan 3 bulan dan Az-Zuhriy 6 bukan. Sedangkan dalam lain riwayat dikatakan bahwa Abu Ja'far berkata 6 bulan dan Az-Zuhriy 3. Ini idlthiraabnya. Siapakah sebenarnya pemilik 3 bulan dan 6 bulan ini ?.

Kalau mau dinilai lebih luas, masyhur pendapat Az-Zuhriy bahwa Faathimah itu wafat 6 bulan pasca Nabi. Jadi kalau mau dipaksakan tarjih, maka pemilik 6 bulan itu adalah Az-Zuhriy karena masyhur dari jalan lain selain jalan Sufyan dari ‘Amru bin Diinar.. Wallaahu a'lam.

Ini adalah riwayat selingan saja agar meredakan kemarahan orang Rafidlah itu.... Saya ucapkan, selamat berbuka puasa !!

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

O iya, ada yang kelewat tentang ulasan menarik Raafidliy itu. Ini katanya :

"Ada petunjuk lain bahwa hadis Abu Bakar keliru yaitu pada lafaz “apa yang kami tinggalkan adalah sedekah”. Diriwayatkan dalam kabar shahih bahwa pakaian-pakaian milik Nabi masih disimpan oleh istri Beliau dan tidak disedekahkan kepada kaum muslimin.

حدثنا شيبان بن فروخ حدثنا سليمان بن المغيرة حدثنا حميد عن أبي بردة قال دخلت على عائشة فأخرجت إلينا إزارا غليظا مما يصنع باليمن وكساء من التي يسمونها الملبدة قال فأقسمت بالله إن رسول الله صلى الله عليه و سلم قبض في هذين الثوبين

Telah menceritakan kepada kami Syaiban bin Farrukh yang berkata telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Mughiirah yang berkata telah menceritakan kepada kami Humaid dari Abi Burdah yang berkata “aku masuk menemui Aisyah dan ia mengeluarkan kepada kami kain kasar buatan Yaman dan baju yang terbuat dari bahan kasar [Abu Burdah] berkata kemudian ia [Aisyah] bersumpah dengan nama Allah bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat dengan memakai kedua pakaian ini [Shahih Muslim 3/1649 no 2080].

Nashibi berpanjang-panjang berhujjah membuat pembelaan atau bantahan tetapi pembelaannya gak nyambung. Intinya ia mau mengatakan kalau pakaian adalah nafkah bagi istri maka itu dikecualikan. Tentu saja ini konyol bin naif, jika anda ingin menafkahi istri anda maka anda akan memberikan kepadanya pakaian khusus buat istri anda bukan pakaian yang sering anda pakai. Intinya bagaimana mungkin pakaian Nabi menjadi nafkah buat istri Nabi. Apa anda memberikan nafkah pakaian istri anda dengan memberikan pakaian yang anda pakai kepada istri anda?. Tolong kalau mau membantah yang cerdas sedikit lah, jangan berpanjang-panjang supaya kelihatan keren padahal gak nyambung
[selesai].

Cerebrofot di apotik masih terjangkau untuk dibeli untuk memberikan nutrisi kepada otak. Di pikirannya, mungkin pakaian orang Arab jaman dulu itu seperti kita kali ya... He..he..he... Masak si, 'Aaisyah diberi celana dan T-Shirt Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Begitu kali. Jaka sembung makan kedondong. Gak nyambung dong.

Pakaian orang Arab jaman dulu itu kebanyakan adalah kain. Hadits yang dibawakan oleh orang Raafidliy itu pun sebenarnya telah menunjukkan. Namun berhubung pikirannya tidak sampai, mungkin belum paham. Jangan jadikan puasa sebagai penghalang untuk berpikir sehat. Makanya, dulu Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah shalat hanya dengan memakai satu kain dengan cara menyelimutkan pada badannya :

إِنْ كَانَ الثَّوْبُ وَاسِعاً فَالْتَحِفْ بِهِ وَإِنْ كَانَ ضَيِّقاً فَأتَّزِرْ بِهِ

“Jika kainnya longgar/lebar maka gunakanlah seperti selimut. Namun jika kainnya sempit maka gunakanlah sebagai sarung”.

Apa gak mungkin kain yang seperti itu dijadikan sebagai pemberian nafkah kepada istri untuk dipakainya ?. Halo,..halo...

Banyak hadits-hadits yang menunjukkan demikian. Banyak shahabat memberikan kain yang semula ia pakai kepada istrinya.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ada lagi yang terbaru dari Raafidliy itu dengan mencontohkan hadits :

"Kami akan membawakan salah satu contoh penulisan atau peringkasan hadis Aisyah yang mengandung lafaz [qaala].

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الرزاق أنا بن جريج قال أخبرت عن بن شهاب عن عروة عن عائشة أنها قالت وهي تذكر شأن خيبر كان النبي صلى الله عليه و سلم يبعث بن رواحة إلى اليهود فيخرص عليهم النخل حين يطيب قبل أن يؤكل منه ثم يخيرون يهود أيأخذونه بذلك الخرص أم يدفعونه إليهم بذلك وإنما كان أمر النبي صلى الله عليه و سلم بالخرص لكي يحصى الزكاة قبل أن تؤكل الثمرة وتفرق

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazaaq yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij yang berkata telah diberik kabar dari Ibnu Syihaab dari Urwah dari Aisyah bahwasanya ia berkata dan ia bercerita tentang kisah Khaibar “Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengutus Ibnu Rawaahah kepada orang-orang yahudi untuk menaksir kurma ketika telah layak panen sebelum dimakan kemudian orang-orang yahudi itu diberi pilihan, apakah mereka mengambil bagiannya dengan takaran yang ditetapkan atau membayar kepada mereka atas bagiannya. Sesungguhnya hanyalah perintah Nabi untuk menaksir kurma agar dapat dihitung pengeluaran zakatnya sebelum dimakan buahnya dan dibagi-bagikan [Musnad Ahmad 6/163 no 25344]

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا محمد بن بكر أنا بن جريج عن بن شهاب أنه بلغه عنه عن عروة عن عائشة أنها قالت وهي تذكر شأن خيبر فذكر الحديث إلا أنه قال حين يطيب أول التمر وقال قبل أن تؤكل الثمار

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakr yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij dari Ibnu Syihaab bahwasanya telah sampai kepadanya dari Urwah dari Aisyah bahwa ia berkata dan ia bercerita tentang kejadian khaibar, kemudian menyebutkan hadisnya, hanya saja ia berkata “ketika awal panen kurma” dan berkata “sebelum dimakan buahnya” [Musnad Ahmad 6/163 no 2545]
[selesai].

Kemudian dikomentari :

Jadi apa makna [qaala] dalam riwayat Ahmad sebelumnya?. Lafaz qaala disana bermakna perawi berkata dalam hadisnya yaitu perkataan Aisyah “ketika awal panen kurma”. Begitu pula dengan riwayat Bukhari dalam Tarikh As Shaghiir sebelumnya, lafaz qaala disana bermakna perawi berkata daam hadisnya yaitu perkataan Aisyah “Fathimah hidup setelah wafat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] selama enam bulan kemudian wafat dikuburkan oleh Aliy”. Kami telah membawakan bukti-bukti berupa riwayat dimana lafaz tersebut diawali dengan kata [qaalat] yang berarti Aisyah berkata [selesai].

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Bo abo,.... ini Raafidliy ngerti hadits gak ya. Jelas saja itu perkataan 'Aaisyah bung, karena di situ disebutkan dengan lafadh :

illaa annahu qaala

"Hanya saja ia (perawi laki-laki) berkata"
.

Maknanya : Hanya saja Muhammad bin Bakr berkata (dalam lafadh perkataan 'Aaisyah).

Semua orang tentu paham bahwa kalimat ini diucapkan oleh perawi untuk menjelaskan perbedaan lafadh antara satu sanad dengan sanad lainnya. Bisa perbedaan ini dalam awal-awal sanad, atau ujung sanad. Tergantung konteks dan bentuk sanad yang disampaikan.

Dalam hal ini, perbedaan antara lafadh 'Abdurrazzaaq dan Muhammad bin Bakr yang dibawakan oleh Imam Ahmad. Dalam lafadh Muhammad bin Bakr (dimana dlamir qaala itu kembali pada dirinya), 'Aaisyah berkata : “ketika awal panen kurma” dan berkata “sebelum dimakan buahnya. Gimana jelas Mas Bro ?.

Coba cari hadits yang menggunakan lafadh dalam sanadnya : illa annahu qaala yang bukan dalam rangka perbandingan !!

Contoh seperti ini sangat banyak. Ini salah satu contohnya :

وحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى الْعَنَزِيُّ، حَدَّثَنَا الضَّحَّاكُ يَعْنِي أَبَا عَاصِمٍ، عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ، أَخْبَرَنِي أَبُو الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ، فَذَكَرَ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ، قَالَ الشَّيْطَانُ: لَا مَبِيتَ لَكُمْ وَلَا عَشَاءَ، وَإِذَا دَخَلَ، فَلَمْ يَذْكُرِ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ، قَالَ الشَّيْطَانُ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ، وَإِذَا لَمْ يَذْكُرِ اللَّهَ عِنْدَ طَعَامِهِ، قَالَ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ وَالْعَشَاءَ ".

وحَدَّثَنِيهِ إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ، أَخْبَرَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ، حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ، أَخْبَرَنِي أَبُو الزُّبَيْرِ، أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ، يَقُولُ: إِنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ بِمِثْلِ حَدِيثِ أَبِي عَاصِمٍ إِلَّا أَنَّهُ، قَالَ: وَإِنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ عِنْدَ طَعَامِهِ وَإِنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ عِنْدَ دُخُولِهِ

[Shahih Muslim].

Saya terjemahkan di hadits yang kedua saja :

Dan telah menceritakan kepadaku Ishaaq bin Manshuur : Telah mengkhabarkan kepada kami Rauh bin ‘Ubaadah : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij : Telah mengkhabarkan kepadaku Abuz-Zubair, bahwasannya ia mendengar Jaabir bin ‘Abdillah berkata : Bahwasannya ia mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda semisal hadits Abu ‘Aashim, hanya saja ia berkata : “Dan apabila tidak menyebut nama Allah ketika makannya, dan jika tidak menyebut nama Allah ketika masuknya” [selesai].

Benar ini adalah sabda Nabi. Tapi penggunaan illaa annahu qaala itu untuk menisbatkan pada jalur riwayat Abu ‘Aashim dan Rauh bin ‘Ubaadah, dimana dalam jalur Rauh bin ‘Ubaadah itu lafadh sabda Nabi tersebut adalah seperti di atas. Ini sama seperti sebelumnya.

Dalam sanad, penisbatan qaala nya tadi juga sangat tergantung dari kalimat yang dikatakan oleh perawi hadits. Tapi intinya, illa annahu qaala atau semisalnya itu untuk memperbandingkan lafadh yang ada dalam dua sanad yang berbeda.

Ya tentu beda kalau langsung qaala (bukan illaa annahu qaala) dalam satu hadits secara langsung tanpa ada perbandingan seperti di atas.

حَدَّثَنَا محمد قال: حَدَّثَنَا أبو اليمان قال: أخبرنا شعيب، عن الزهري قال: أخبرني عروة بْن الزبير، عن عائشة....فذكر الحديث، وقال: وعاشت فاطمة بعد النبي صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ ستة أشهر ودفنها علي.

Telah menceritakan kepada kami Muhammad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-Yamaan, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’aib, dari Az-Zuhriy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Urwah bin Az-Zubair, dari ‘Aaisyah,... lalu ia menyebutkan hadits. Dan perawi (laki-laki) berkata : “Dan Faathimah hidup sepeninggal Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam selama enam bulan, dan kemudian wafat, dikuburkan oleh ‘Aliy” [selesai].

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Asli, beda banget ! (bagi yang paham tentu saja). Ini hadits satu paket. Bukan perbandingan seperti di atas.

Dan untuk kasus yang seperti ini (langsung dalam kalimat satu hadits utuh), pada asalnya satu perkataan itu dihukumi pada dhahir dlamir yang ada pada hadits itu. Kalau qaalat ya itu muannats. Kalau qaala, ya itu mudzakkar. Atau kalau semua perawinya laki-laki, maka jika ada sisipan perkataan perawi akan disebutkan siapa yang mengatakannya. Misalnya :

Haddatsanaa Tono, haddatsanaa Roni, haddatsanaa Anton, annahu qaala :...... Qaala Tono : .....

Nah, ini riwayat yang benar yang dapat membedakan perkataan satu dengan yang lainnya. Jika tidak ada kalimat qaala Tono, maka titik-titik tadi adalah kalimat yang dikatakan oleh Anton.

Intinya, tulisan orang Raafidlah itu tidak nyambung. Ia tidak paham konteks bahasa sanadnya.

NB : Kalau orang Raafidliy itu ngotot bahwa yang dikatakannya itu benar, ya monggo saja. Tidak ngefek. Kita nikmati saja....

K A B mengatakan...

Inilah bedanya ulama hadits jaman dulu sama "ulama hadits"(tanda kutip) jaman sekarang yg bernama SP. Dikiranya Nabi memberi nafkah Tshirt atau celana pantalon pada Aisyah ra. Hehehe.

Padahal kain ya ustadz?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Orang Raafidlah itu ternyata memang berusaha keras untuk membenarkan penalaran kelirunya. Kemudian ia membawakan riwayat :

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الملك بن عمرو وقال ثنا بن أبي ذئب عن الزهري عن عروة عن عائشة أن النبي صلى الله عليه و سلم أعتم بصلاة العشاء ذات ليلة فقال عمر يا رسول الله نام النساء والصبيان فخرج النبي صلى الله عليه و سلم فقال ما من الناس من أحد ينتظر هذه الصلاة غيركم قال وذاك قبل أن يفشو الإسلام في الناس

Telah mengabarkan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah mengabarkan kepada kami ayahku yang berkata telah mengabarkan kepada kami ‘Abdul Malik bin ‘Amru dan berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Dzi’b dari Az Zuhriy dari Urwah dari Aisyah bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah mengakhirkan shalat isyaa’ sampai larut malam maka Umar berkata “wahai Rasulullah wanita dan anak-anak telah tidur” maka Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] keluar dan berkata “tidak ada manusia yang menunggu shalat ini selain kalian”. [qaala] dan itu terjadi sebelum islam menyebar luas dikalangan manusia [Musnad Ahmad 6/215 no 25849, Syaikh Al Arnauth berkata ”sanadnya shahih dengan syarat Bukhari Muslim”].


Kemudian ia komentari :

Perhatikan lafaz “wadzaaka qabla an yafsuwal islaam fii naas” [dan itu terjadi sebelum islam menyebar luas di kalangan manusia]. Lafaz ini diawali dengan kata [qaala] yang jika diartikan adalah perawi laki-laki berkata. Tetapi lafaz ini sebenarnya adalah perkataan Aisyah bukan perkataan perawi laki-laki sebagaimana nampak dalam riwayat berikut

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهُ قَالَتْ أَعْتَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً بِالْعِشَاءِ وَذَلِكَ قَبْلَ أَنْ يَفْشُوَ الْإِسْلَامُ فَلَمْ يَخْرُجْ حَتَّى قَالَ عُمَرُ نَامَ النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ فَخَرَجَ فَقَالَ لِأَهْلِ الْمَسْجِدِ مَا يَنْتَظِرُهَا أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ غَيْرَكُمْ

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair yang berkata telah menceritakan kepada kami Laits dari Uqail dari Ibnu Syihaab dari Urwah bahwa Aisyah mengabarkan kepadanya dan berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengakhirkan shalat isya’ sampai larut malam dan itu terjadi sebelum islam menyebar luas, Beliau tidak keluar sampai Umar berkata “wanita dan anak-anak sudah tidur”. Maka Beliau keluar dan berkata kepada orang-orang di masjid “tidak ada seorangpun dari penduduk bumi yang menunggu shalat ini selain kalian” [Shahih Bukhari 1/118 no 566]
[selesai].

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Kita katakan :

Justru riwayat Ibnu Abi Dzi'b yang pertama di atas menjadi hujjah bahwa lafadh wa dzaalika qabla an yasyfuwal-Islaam merupakan idraaj perawi sebelum 'Aaisyah - yang besar kemungkinannya adalah Az-Zuhriy. Ini kasusnya seperti dalam riwayat dalam artikel di atas. Atau pendek kata, orang Raafidlah itu tidak membuktikan apa-apa selain memperjelas kesalahan dirinya saja.

Bukti lain bahwa lafadh Az-Zuhriy tercampur (mudraj) dalam hadits tersebut adalah :

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَت: أَعْتَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْعِشَاءِ حَتَّى نَادَاهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَدْ نَامَ النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ، فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: " إِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ يُصَلِّي هَذِهِ الصَّلَاةَ غَيْرَكُمْ "، وَلَمْ يَكُنْ أَحَدٌ يُصَلِّي يَوْمَئِذٍ غَيْرَ أَهْلِ الْمَدِينَةِ

Telah menceritakan kepada kami 'Abdul-A'laa, dari Ma'mar, dari Az-Zuhriy, dari 'Urwah, dari 'Aaisyah, ia berkata : "Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah mengakhirkan shalat 'isya hingga Umar bin Al Khaththab berseru : "Para wanita dan anak-anak telah tidur! " maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun keluar seraya bersabda : "Sesungguhnya tidak ada seorangpun dari penduduk bumi selain kalian yang mengerjakan shalat ini, dan pada saat itu tidak ada seorangpun yang mengerjakannya kecuali penduduk Madinah" [Diriwayatkan oleh Ahmad; shahih].

Namun dalam riwayat 'Abdurrazzaaq disebutkan :

أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَالِمٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: أَعْتَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْعِشَاءِ ذَاتَ لَيْلَةٍ، فَنَادَاهُ عُمَرُ، فَقَالَ: نَامَ النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ فَخَرَجَ إِلَيْهِمْ، فَقَالَ: " مَا يَنْتَظِرُ هَذِهِ الصَّلاةَ أَحَدٌ غَيْرُكُمْ مِنْ أَهْلِ الأَرْضِ "، قَالَ الزُّهْرِيُّ: " وَلَمْ يَكُنْ يُصَلِّي يَوْمَئِذٍ إِلا مَنْ بِالْمَدِينَةِ "

".......Az-Zuhriy berkata : dan pada saat itu tidak ada seorangpun yang mengerjakannya kecuali penduduk Madinah" [Al-Mushannaf no. 2116].

Jelas sekali penunjukkannya bahwa lafadh wa lam yakun yushalli...dst. dari jalur Az-Zuhriy ini merupakan idraaj dari Az-Zuhriy.

Sama seperti sebelumnya, bahwa lafadh wa dzaalika qabla an yasyfuwal-Islaam dari contoh yang dibawakan orang Raafidlah itu adalah idraaj.

Satu contoh saja yang dapat saya komentari, karena akan terlalu panjang jika mengomentari secara keseluruhan.

wallaahu a'lam.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Komentar di atas dibantah lagi sama rekan Raafidlah itu......

Lucu sekali pemaksaan logika yang menafikkan dlamir yang tertera jelas dalam kalimat. Geleng-geleng dibuatnya. Apalagi yang ia tampilkan sebagai bukti itu tidak lebih hanya kasus yang semisal riwayat di atas ‘Aaisyah dalam artikel di atas.

Tentang contoh idraaj yang nampak dalam riwayat Ibnu 'Umar, tentu saja itu sama sekali tidak menjadi masalah. Memang menjadi masalah bagi orang Raafidlah itu, karena dengan memperhatikan jalan riwayat Ibnu 'Umar, akan menjadi jelas siapakah pemilik lafadh wa lam yakun yushalli illa bil-Madiinah, yaitu Az-Zuhriy. Menegaskan ini tentu sangat merugikan dirinya. Padahal, itu selaras dengan sebagian jalan riwayat 'Aaisyah radliyallaahu 'anhaa yang menggunakan lafadh qaala yang menunjukkan dlamir mustatir mudzakar. Kedua jalan itu sama-sama berporos pada Az-Zuhriy. Kalau misalnya dalam riwayat 'Aaisyah yang dibawakan Al-Bukhaariy disebutkan :

qaala : wa laa yushallii yaumaidzin illaa bil-Madiinah;

kemudian saya tambahkan keterangan Az-Zuhriy menjadi :

qaala Az-Zuhriy : wa laa yushallii yaumaidzin illaa bil-Madiinah

apakah menjadi salah maknanya ?. Bukankah itu sesuai dengan tata bahasa Arab ?. Bukankah itu berkesesuaian dengan lafadh dan makna dalam jalan Ibnu 'Umar yang saya bawakan di atas ?. Atau,... mungkin pikiran orang Raafidlah yang memang rada-rada kocak itu menandaskan bahwa lafadh Al-Bukhaariy itu seharusnya menjadi : qaala 'Aaisyah : wa laa yushallii yaumaidzin illaa bil-Madiinah.

Silakan belajar nahwu kembali......

Dan sebagai tambahan informasi, Az-Zuhriy sendiri dalam riwayat Ibnu 'Umar yang dibawakan oleh An-Nasaa'iy menggabungkan perkataannya itu dengan lafadh perkataan Ibnu 'Umar :

أَخْبَرَنَا نُوحُ بْنُ حَبِيبٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، قَالَ: حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَالِمٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: أَعْتَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ، فَنَادَاهُ عُمَرُ، فَقَالَ: نَامَ النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ، فَخَرَجَ إِلَيْهِمْ، فَقَالَ: " مَا يَنْتَظِرُ هَذِهِ الصَّلاةَ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الأَرْضِ غَيْرُكُمْ "، وَلَمْ يَكُنْ يُصَلَّى يَوْمَئِذٍ إِلا بِالْمَد

Ya kalau keterangan ini tidak dianggap sebagai idraaj, saya persilakan orang Raafidlah itu mencontohkan hadits mudraj menurut pemahaman yang dimilikinya.

Dan,.... sangat saya persilakan rekan-rekan merunut jalan pikiran orang Raafidlah itu.....

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Tentang perkataan Muhibbuddiin Ath-Thabariy, ya monggo saja dibawakan. Namun sekali lagi, yang menjadi hujjah adalah riwayat itu sendiri. Orang Raafidlah yang biasanya sangat kritis pada lafadh-lafadh yang merugikan keyakinannya itu tiba-tiba melempem jika dihadapkan pada hal yang berseberangan. Seperti misal riwayat Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin yang ia bawakan ini :

فَلا يُصَلِّي بِنَا يَوْمَئِذٍ إِلا بِالْمَدِينَةِ

"Maka, tidak ada yang shalat bersama kami pada saat itu, kecuali di Madiinah".

Maka lafadh falaa yushallii binaa menyelisihi shighah lafadh para perawi yang meriwayatkan dari Az-Zuhriy. Makna yang ditimbulkannya pun akan berlainan, yaitu dalam hal subjeknya. Misal :

1. Shaalih bin Kaisaan membawakan dengan lafadh : wa laa yushalli yaumaidzin illaa bil-Madiinah.

2. Ma'mar membawakan dengan lafadh : wa lam yakun ahadun yaumaidzin yushalli ghaira ahlil-Madiinah.

3. Syu'aib bin Abi Hamzah membawakan dengan lafadh : wa laa yushalli yaumaidzin illa bil-Madiinah.

Apalagi ditambah fakta bahwa Ma'mar dan Syu'aib adalah dua orang yang paling tsabt periwayatannya dari Az-Zuhriy. Oleh karena itu tambahan "binaa" (bersama kami) adalah kekeliruan dalam membawakan lafadh riwayat. Yang menguatkan hal itu adalah lafadh yang dibawakan An-Nasaa'iy yang sama-sama berasal dari jalur Ibnu Himyar - Ibnu 'Ulayyah - Az-Zuhriy - 'Urwah - 'Aaisyah :

وَلَمْ يَكُنْ يُصَلِّي يَوْمَئِذٍ إِلَّا بِالْمَدِينَةِ

Lafadh Ibnu Himyaar dari Ibnu 'Ulayyah ini relatif sama dengan riwayat Syu'aib, Ma'mar, dan Shaalih bin Kaisaan.

Ini menunjukkan akurasi periwayatan Ibnu Himyar yang dibawakan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin di atas adalah kurang.

Itu saja. Dan sekali lagi, saya tidak akan berbanyak-banyak kalimat dengan mengomentari seluruh kalimat yang dikeluarkan orang Raafidlah. Hemat energi pasca Ramadlaan.

Silakan berapologi, dan itu saya nikmati.....


NB : Tentu saja, kajian riwayat di atas mempertimbangkan penjelasan para ulama bahwa Az-Zuhriy – bersamaan dengan ketsiqahannya – adalah perawi yang sering melakukan idraaj pada riwayat. Qariinah yang menunjukkan adanya idraaj pada riwayat Az-Zuhriy akan lebih diwaspadai daripada riwayat selain dirinya. Sama halnya riwayat ‘an’anah dari seorang mudallis – meskipun tsiqah – akan lebih diwaspadai daripada perawi yang notabene bukan mudallis.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Waduh-waduh,... ada lagi yang sedang melawak.

Ibnu Hajar berkata :

كذا في رواية عبد الرزاق وزاد " ولكن حدثني سعيد بن المسيب وعروة وعلقمة وعبيد الله كلهم عن عائشة قال : الذي تولى كبره عبد الله بن أبي

Katanya, Ibnu Hajar ini sekocak dirinya. Jauh sekali atuh bung... Perhatikan dulu konteks kalimatnya. Ibnu Hajar ini sedang menjelaskan perbedaan riwayat yang dibawakan 'Abdurrazzaaq.

Tentang perkataan Adz-Dzahabiy yang dinukil dari http://www.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?bk_no=60&ID=2&idfrom=1&idto=316&bookid=60&startno=86, maka terdapat kekeliruan dalam penulisan di web tersebut. Karena dalam teks kitab Siyaru A'laamin-Nubalaa (1/388 - Muassasah Ar-Risaalah, Cet. 9/1413 H) tertulis :

ابن إسحاق: عن محمد بن جعفر بن الزبير، عن عباد بن عبد الله بن الزبير، عن عائشة قالت : تهجد رسول الله، صلى الله عليه وسلم، في بيتي، فسمع صوت عباد بن بشر، فقال: " يا عائشة ! هذا صوت عباد بن بشر " قلت: نعم

Jelas di situ tertulis : 'an 'aaisyah qaalat.

Tentang perkataan Ibnu Taimiyyah pun juga sama, yaitu :

وأخرجه مسلم عن عائشة قال : دخل رجلان على النبي

"Diriwayatkan oleh Muslim dari 'Aaisyah, ia (Muslim) berkata (qaala) : "Dua orang laki-laki masuk menemui Nabi.....".

Tentu saja ini dipahami bahwa maksud qaala itu dinisbatkan pada Muslim yang menukil perkataan 'Aaisyah, karena di awal Ibnu Taimiyyah sudah mengatakan : akhrajahu Muslim 'an 'Aaisyah, qaala..... Semua orang yang membaca ini insya Allah tidak akan salah paham karena maksud perkataan itu jelas.

Lain kali bung Rafidlah, sebaiknya Anda lebih cermat. Yang dibicarakan adalah kontent riwayat secara lengkap beserta sanadnya dengan pemahaman dlamir yang ada dalam setiap lafadh.

Dan coba dipikir-pikir,... lantas apa faedah bahasa sanad yang dibawakan perawi dengan membedakan antara penisbatan dlamir laki-laki dan perempuan, yaitu qaala dan qaalat jika Anda mengatakan maknanya sama saja ?.

حَدَّثَنَا عَفَّانُ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ قَالَ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ قَالَتْ قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ رَاغِبَةٌ وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ قُرَيْشٍ وَمُدَّتِهِمْ الَّتِي كَانَتْ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي قَدِمَتْ عَلَيَّ وَهِيَ رَاغِبَةٌ وَهِيَ مُشْرِكَةٌ أَفَأَصِلُهَا قَالَ صِلِيهَا قَالَ وَأَظُنُّهَا ظِئْرَهَا

Pada hadits tersebut dibedakan perkataan Asmaa' dan perawi di bawahnya. Perkataan Asmaa' dimulai dengan qaalat, sedangkan perkataan perawi di akhir riwayat yang mengatakan wa adhunnuhaa dhi'rihaa adalah perkataan perawi sebelum Asmaa'. Ia bukan perkataan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Atau perhatikan hadits panjang tentang kisah wafatnya Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam berikut dimana di dalamnya membedakan dlamir masing-masing kalimat tentang siapa yang sedang berkata.

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَاتَ وَأَبُو بَكْرٍ بِالسُّنْحِ قَالَ إِسْمَاعِيلُ يَعْنِي بِالْعَالِيَةِ فَقَامَ عُمَرُ يَقُولُ وَاللَّهِ مَا مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ وَقَالَ عُمَرُ وَاللَّهِ مَا كَانَ يَقَعُ فِي نَفْسِي إِلَّا ذَاكَ وَلَيَبْعَثَنَّهُ اللَّهُ فَلَيَقْطَعَنَّ أَيْدِيَ رِجَالٍ وَأَرْجُلَهُمْ فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ فَكَشَفَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَبَّلَهُ قَالَ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي طِبْتَ حَيًّا وَمَيِّتًا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُذِيقُكَ اللَّهُ الْمَوْتَتَيْنِ أَبَدًا ثُمَّ خَرَجَ فَقَالَ أَيُّهَا الْحَالِفُ عَلَى رِسْلِكَ فَلَمَّا تَكَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ جَلَسَ عُمَرُ فَحَمِدَ اللَّهَ أَبُو بَكْرٍ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَقَالَ أَلَا مَنْ كَانَ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ وَقَالَ { إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ } وَقَالَ { وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ } قَالَ فَنَشَجَ النَّاسُ يَبْكُونَ قَالَ وَاجْتَمَعَتْ الْأَنْصَارُ إِلَى سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ فِي سَقِيفَةِ بَنِي سَاعِدَةَ فَقَالُوا مِنَّا أَمِيرٌ وَمِنْكُمْ أَمِيرٌ فَذَهَبَ إِلَيْهِمْ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فَذَهَبَ عُمَرُ يَتَكَلَّمُ فَأَسْكَتَهُ أَبُو بَكْرٍ وَكَانَ عُمَرُ يَقُولُ وَاللَّهِ مَا أَرَدْتُ بِذَلِكَ إِلَّا أَنِّي قَدْ هَيَّأْتُ كَلَامًا قَدْ أَعْجَبَنِي خَشِيتُ أَنْ لَا يَبْلُغَهُ أَبُو بَكْرٍ ثُمَّ تَكَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ فَتَكَلَّمَ أَبْلَغَ النَّاسِ فَقَالَ فِي كَلَامِهِ نَحْنُ الْأُمَرَاءُ وَأَنْتُمْ الْوُزَرَاءُ فَقَالَ حُبَابُ بْنُ الْمُنْذِرِ لَا وَاللَّهِ لَا نَفْعَلُ مِنَّا أَمِيرٌ وَمِنْكُمْ أَمِيرٌ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ لَا وَلَكِنَّا الْأُمَرَاءُ وَأَنْتُمْ الْوُزَرَاءُ هُمْ أَوْسَطُ الْعَرَبِ دَارًا وَأَعْرَبُهُمْ أَحْسَابًا فَبَايِعُوا عُمَرَ أَوْ أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ فَقَالَ عُمَرُ بَلْ نُبَايِعُكَ أَنْتَ فَأَنْتَ سَيِّدُنَا وَخَيْرُنَا وَأَحَبُّنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ عُمَرُ بِيَدِهِ فَبَايَعَهُ وَبَايَعَهُ النَّاسُ فَقَالَ قَائِلٌ قَتَلْتُمْ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ فَقَالَ عُمَرُ قَتَلَهُ اللَّهُ وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَالِمٍ عَنْ الزُّبَيْدِيِّ قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْقَاسِمِ أَخْبَرَنِي الْقَاسِمُ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ شَخَصَ بَصَرُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ فِي الرَّفِيقِ الْأَعْلَى ثَلَاثًا وَقَصَّ الْحَدِيثَ قَالَتْ فَمَا كَانَتْ مِنْ خُطْبَتِهِمَا مِنْ خُطْبَةٍ إِلَّا نَفَعَ اللَّهُ بِهَا لَقَدْ خَوَّفَ عُمَرُ النَّاسَ وَإِنَّ فِيهِمْ لَنِفَاقًا فَرَدَّهُمْ اللَّهُ بِذَلِكَ ثُمَّ لَقَدْ بَصَّرَ أَبُو بَكْرٍ النَّاسَ الْهُدَى وَعَرَّفَهُمْ الْحَقَّ الَّذِي عَلَيْهِمْ وَخَرَجُوا بِهِ يَتْلُونَ { وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ إِلَى الشَّاكِرِينَ }

Yang seperti ini jumlahnya berjibun dalam hadits.

Hukum asal setiap kalimat dinisbatkan pada setiap dlamir yang dikandungnya, kembali ke siapa. Kalau orang Raafidlah itu menafikkan kaedah bahasa seperti ini, ya mending ke laut aja deh.. Cape deh....

Kalaupun misal ada beberapa kalimat yang tidak menunjukkan kaedah bahasa seperti itu, maka itu bisa dilihat dari konteks kalimat sebagaimana telah dituliskan dalam beberapa komentar di atas. Intinya sebenarnya mudah kok, gak sulit.

Dan ingat sekali lagi perkataan para ulama tentang Az-Zuhriy ini bahwa ia adalah orang yang sering melakukan idraaj.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Lagi pusing ya bung Raafidlah ?. Susah memahami menurut kaedah bahasa 'Arab ya ?.

قَالَ: لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ "، قَالَ: وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ

('Aaisyah berkata :)....Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Kami tidak diwarisi dan semua yang kami tinggalkan adalah shadaqah?”. Perawi (laki-laki) berkata : “Dan ia (Faathimah) hidup selama enam bulan sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.....” [selesai].

Bagaimana kalau saya perjelas :

Perawi laki-laki (Az-Zuhriy) berkata : “Dan ia (Faathimah) hidup selama enam bulan sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.....” [selesai].

Sama saja bung.....

Sama sekali ini bukan dalam konteks perkataan Ibnu Hajar atau Ibnu Taimiyyah sebagaimana yang Anda sangka. Hadits ini tetap dalam koridor rangkaian hadits yang utuh sanad beserta matannya. Mungkin saja kalau misalnya Muslim dalam Shahihnya mengatakan (seperti yang dikatakan Ibnu Taimiyyah) :

وأخرجه الزهري عن عائشة قال : عَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ

"Dan diriwayatkan oleh Az-Zuhriy dari 'Aaisyah, ia (Az-Zuhriy) berkata : "Dan ia (Faathimah) hidup selama enam bulan sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam....." [selesai]

mungkin bisa saya benarkan fallacy Anda. Tapi maaf bung, shighah hadits bukan seperti itu. Hadits yang dibawakan itu menjelaskan pemilik masing-masing perkataan.

Dan tentang perkataan Ibnu Hajar, maka yang ia katakan itu sedang membandingkan perbedaan periwayatan, khususnya yang dibawakan oleh 'Abdurrazzaaq. Ini kasusnya semisal dengan kalimat illaa annahu qaala sebagaimana Anda telah bingung sebelumnya dengan menyangkanya itu berkesesuaian dengan fallacy Anda. Coba baca selengkapnya analisis Ibnu Hajar :

وذكر المصنف بعد سياقه قصة الإفك أحاديث تتعلق بها: الأول قوله: "حدثنا عبد الله بن محمد" هو الجعفي. قوله: "أملى علي هشام بن يوسف" هو الصنعاني. قوله: "من حفظه" فيه إشارة إلى أن الإملاء قد يقع من الكتاب. قوله: "قال لي الوليد بن عبد الملك" أي ابن مروان، في رواية عبد الرزاق عن معمر" كنت عند الوليد بن عبد الملك" أخرجه الإسماعيلي. قوله: "أبلغك أن عليا كان فيمن قذف عائشة" في رواية عبد الرزاق" فقال الذي تولى كبره منهم علي، قلت: لا" كذا في رواية عبد الرزاق وزاد: "ولكن حدثني سعيد بن المسيب وعروة وعلقمة وعبيد الله كليهم عن عائشة قال: الذي تولى كبره عبد الله بن أبي قال فما كان جزمه

Coba dipikir-pikir kembali.... Anda memang jago dalam soal mencari-cari alasan. Top deh pokoknya...

Dalam contoh hadits shalat 'isyak yang dibawakan orang Raafidlah itu, yang bersangkutan mengakui bahwa lafadh wa lam yakun yushallii yaumaidzin illaa bil-Madiinah dari jalur Ibnu 'Umar merupakan idraaj dari Az-Zuhriy - dengan melihat kenyataan bahwa Az-Zuhriy pun mencampurkan lafadhnya itu dengan lafadh Ibnu 'Umar. Pengakuan orang Raafidlah itu didasari karena dalam sebagian riwayat jelads disebutkan dengan lafadh qaala Az-Zuhriy : wa lam yakun....dst.. Tapi anehnya ketika ia melihat sebagian riwayat 'Aaisyah yang menyebutkan dengan lafadh qaala : wa laa yushallii yaumaidzin illaa bil-Madiinah bukan sebagai qarinah idraaj Az-Zuhriy. Pertanyaannya : "Lantas apa bedanya qaala Az-Zuhriy dengan qaala saja (tanpa menyebutkan Az-Zuhriy) ?". Bagi yang mengerti bahasa 'Arab, tentu keanehan orang Raafidlah itu kentara sekali. Atau mungkin yang bersangkutan tidak paham bahasa 'Arab sehingga tidak memahami dlamir mustatir yang terkandung pada kata qaala ?.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Bagi rekan-rekan untuk mempermudah memahami qarinah adanya idraaj dalam hadits dalam artikel di atas, berikut ringkasannya :

1. Lafadh keterangan bahwa Faathimah marah dan mogok bicara dengan Abu Bakr hanya diriwayatkan dari jalan Az-Zuhriy, dari 'Urwah, dari 'Aaisyah radliyallaahu 'anhaa. Itupun hanya sebagian jalan Az-Zuhriy saja yang menyebutkannya. Maalik bin Anas (dan ia adalah perawi yang paling tsabt periwayatannya dari Az-Zuhriy dan termasuk thabaqah pertama dari kalangan ashhaab Az-Zuhriy - dimana jika ada perselisihan riwayat Az-Zuhriy, maka riwayat Maalik sebagai hujjah, karena mereka sama-sama penduduk Madiinah), Usamah bin Zaid, 'Abdurrahmaan bin Khaalid, Ishaaq bin Raasyid, 'Ubaidullah bin 'Umar, Ibnu Juraij, dan Yuunus bin Yaziid meriwayatkan dari Az-Zuhriy tidak memuat lafadh tersebut.

Syaahid riwayat 'Aaisyah yang tidak memuat kemarahan Faathimah dan pemboikotannya itu adalah riwayat Abu Hurairah.

2. Dalam sebagian jalan riwayat Az-Zuhriy, lafadh bahwa Faathimah marah dan mogok bicara kepada Abu Bakr hingga meninggal dunia dinisbatkan pada perkataan 'Aaisyah bersama dengan seluruh rangkaian lafadh yang dibawakan Az-Zuhriy. Namun dalam sebagian jalan Az-Zuhriy yang lain, lafadh tersebut dinisbatkan pada perawi laki-laki sebelum 'Aaisyah.

Adapun jalan riwayat Syu'aib bin Abi Hamzah dari Az-Zuhriy, dari 'Urwah, dari 'Aiisyah yang menyebutkan dengan lafadh ringkas (dalam riwayat Ad-Duulabiy dan Al-Baihaqiy) :

عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: " عَاشَتْ فَاطِمَةُ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ

Maka lafadh ini merupakan ringkasan lafadh dari jalan Syu'aib bin Abi Hamzah dari Az-Zuhriy sebagaimana dibawakan dalam artikel di atas. Oleh karenanya, lafadh yang ringkas ini harus dibawa pada riwayat yang lengkap sebagaimana hal itu dimaklumi dalam ilmu riwayat dan kaedah istidlaal.

3. Az-Zuhriy terkenal di kalangan ulama sebagai perawi yang sering melakukan idraaj dalam hadits.

Terus terang saya terheran-heran kalau ada yang mengatakan qarinah-qarinah di atas tidak menunjukkan idraaj Az-Zuhriy. Namun keheranan saya menjadi hilang setelah tahu yang menafikkannya adalah orang Raafidlah tersebut. Sudah tabiat nenek moyangnya yang memang membenci dan menebarkan permusuhan kepada para shahabat radliyallaahu 'anhum.

Akhirnya, the case is closed.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

ADA SANGGAHAN LAGI :

====================


Sekali lagi bung Raafidlah,... saya berikan dua jempol untuk apologi Anda...he...he...he.... Kerja keras Anda dengan maktabah Syamilah untuk mencari sesuatu yang sedikit patut dihargai, meski nilai output-nya nol besar.

Saya di atas tidak pernah menafikkan bahwa lafadh qaala yang diucapkan oleh perawi bisa jadi diucapkan melalui pemahamannya atas riwayat yang ia terima secara marfuu'. Dan inilah secara global yang Anda tuju dalam banyak omongan Anda. Tapi, sebenarnya Anda itu berpijak pada kaedah dasar apa ?. Coba terangkan kepada saya. Jawabnya : Gak ada, karena Anda hanya mencari-cari celah atau mungkin istitsnaa’ dari kaedah yang ma’ruf dalam ilmu riwayat dan ilmu bahasa. Apapun bentuk kalimatnya, kata qaala itu mengandung dlamir mustatir mudzakkar. Atau ringkasnya, si empu perkataan itu adalah laki-laki. Hanya saja kemudian bagaimana pemahamannya, maka itu tergantung konteks kalimat. Kalau Anda mau ngaku ngerti tentang nahwu sederhana itu, kenapa nggak berpijak pada dasar itu dulu ?. Di atas sudah saya sebut dua contoh hadits yang terkandung pemisahan kata qaala dan qaalat, pemisahan kalimat yang diucapkan perawi di ujung sanad dengan perawi yang di tengah sanad. Bukankah itu kaedah dasarnya ?. Kalau seandainya ada kalimat di tengah matan hadits yang dinukil oleh perawi di tengah sanad, maka itu juga dibedakan. Banyak contoh hadits yang menegaskan pemisahannya. Misalnya :

حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ هِشَامٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي أَبِي، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: لا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ، قَالَ: قَالَتْ: أُنْزِلَتْ فِي قَوْلِهِ: لَا وَاللَّهِ، بَلَى وَاللَّهِ "

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsnannaa : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa, dari Hisyaam, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ayahku, dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa tentang ayat ’Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah)’ (QS. Al-Maaidah : 89); Perawi berkata (qaala) : ‘Aaisyah berkata (qaalat) : “Diturunkan tentang perkataannya : ‘Tidak demi Allah, atau Benar, demi Allah” [Shahih Al-Bukhaariy no. 6663].

Qaala yang pertama itu dimaksudkan pada perkataan ‘Urwah, sedangkan qaalat yang ada setelahnya dimaksudkan pada perkataan ‘Aaisyah. Contoh seperti ini sangat banyak dalam hadits yang tidak akan membuat mata Anda merah karena mengotak-atik Maktabah Syamilah mencari sesuatu yang jarang atau beberapa istitsnaa’.

Kemudian,... yang jadi titik permasalahannya di sini (dan itu ada dalam core tulisan di atas) adalah Az-Zuhriy yang disebut ulama banyak melakukan idraaj. Bukankah ini yang saya singgung sedari awal. Pura-pura buta aksara ya..... Ibnu Hajar banyak sekali membahas idraaj Az-Zuhriy dalam Fathul-Baariy. Mengetahui lafadh idraaj itu bisa ditilik dari dhahir dlamir yang terkandung lafadh hadits, dan bisa juga melalui perbandingan dengan jalur riwayat-riwayat lain. Contoh :

عَنْ الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يُرَغِّبُ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَأْمُرَهُمْ فِيهِ بِعَزِيمَةٍ، فَيَقُولُ: " مَنْ قَامَ رَمَضَانَ، إِيمَانًا، وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ "، فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَالأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ

....Dari Az-Zuhriy, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, ia berkata : Adalah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam memberikan motivasi untuk mengerjakan (shalat pada malam) Ramadlaan dengan tidak mewajibkannya. Beliau bersabda : "Barangsiapa yang mengerjakan shalat pada bulan Ramadlaan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu". Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat, sementara perkara itu tetap seperti itu..... [HR. Muslim].

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Untuk kalimat yang bercetak tebal di atas, maka para ulama menjelaskan ia bukan perkataan Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, tapi idraaj dari perkataan Az-Zuhriy. Buktinya ada dalam lain riwayat :

وَيَقُولُ: " مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ "، قَالَ: فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَالْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ

......Dan beliau bersabda : “ Barangsiapa yang mengerjakan shalat pada bulan Ramadlaan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. Perawi laki-laki berkata : Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat, sementara perkara itu tetap seperti itu..... [HR. An-Nasaa’iy].

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: " مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ "، قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَالْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ

.......Ibnu Syihaab berkata : “Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat, sementara perkara itu tetap seperti itu..... [HR. Al-Bukhaariy].

Yang mengatakan lafadh tersebut merupakan idraj dari Az-Zuhriy antara lain Al-Khathiib (Al-Fashl, 1/319), Ibnu Hajar (fathul-Baariy, 4/254), dan As-Suyuuthiy (At-Tashiil, hal. 54-55). Apakah Anda kemudian akan tergopoh-gopoh mengatakan bahwa dalam riwayat Muslim jelas bahwa yang mengatakan kalimat itu adalah Abu Hurairah. Atau mungkin Anda akan berkata : “Benar itu merupakan perkataan Az-Zuhriy, tapi maksudnya ia menukil perkataan dari Abu Hurairah. Sehingga kalau dituliskan maknanya dalam riwayat itu adalah :

Perawi (laki-laki) berkata melanjutkan [perkataan Abu Hurairah] : “Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat, sementara perkara itu tetap seperti itu …..” [selesai].

Atau :

Az-Zuhriy berkata melanjutkan [perkataan Abu Hurairah] : “Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat, sementara perkara itu tetap seperti itu …..” [selesai].

Ini saya tulis berdasarkan referensi apologi orang Raafidlah itu ketika mereka-reka sanggahannya . Diterima menurut perasaan rekan Raafidliy, namun tidak menurut para ulama hadits kita.

Dan seandainya saja saya ubah Abu Hurairah menjadi ‘Aaisyah, maka esensinya sama seperti hadits yang sedang dibicarakan di atas :

Az-Zuhriy berkata melanjutkan [perkataan ‘Aaisyah] : “Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat, sementara perkara itu tetap seperti itu …..” [selesai].

Ditulis nama Az-Zuhriy ataupun tidak – seandainya Abu Hurairah saya ganti dengan ‘Aaisyah – maka itu tidak mengubah metodologi pemahaman para ulama dalam menghukumi idraaj Az-Zuhriy. Seandainya perkataan itu milik Az-Zuhriy, maka ditulis qaala Az-Zuhriy atau hanya qaala saja (tanpa Az-Zuhriy), ya maknanya podho wae..... Mengatakan makna keduanya menjadi beda hanyalah alasan yang mengada-ada saja.......

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Contoh lain :

قَالَ: أَخْبَرَنِي ابْنُ شِهَابٍ، أَنَّ عُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْرِ أَخْبَرَهُ، أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ: " كَانَ أَوَّلَ مَا بُدِئَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرُّؤْيَا الصَّادِقَةُ فِي النَّوْمِ، فَكَانَ لَا يَرَى رُؤْيَا إِلَّا جَاءَتْ مِثْلَ فَلَقِ الصُّبْحِ، ثُمَّ حُبِّبَ إِلَيْهِ الْخَلَاءُ، فَكَانَ يَلْحَقُ بِغَارِ حِرَاءٍ، فَيَتَحَنَّثُ فِيهِ، قَالَ: وَالتَّحَنُّثُ التَّعَبُّدُ اللَّيَالِيَ

......Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Syihaab, bahwasannya ‘Urwah bin Az-Zubair telah mengkhabarkan kepadanya, bahwasannya ‘Aaisyah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata (qaalat) : “Peristiwa awal turunnya wahyu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah diawali dengan Ar Ru`yah Ash Shadiqah (mimpi yang benar) di dalam tidur. Tidaklah beliau bermimpi, kecuali yang beliau lihat adalah sesuatu yang menyerupai belahan cahaya subuh. Dan di dalam dirinya dimasukkan perasaan untuk selalu ingin menyendiri. Maka beliau pun memutuskan untuk bertahannuts di dalam gua Hira’”. Perawi laki-laki berkata (qaala) : “Tahannuts adalah ta’abbud (beribadah) pada malam hari.......dst.” [HR. Al-Bukhaariy].

Dalam riwayat Abu ‘Awaanah dalam Al-Mustakhraj dan Ishaaq dalam Al-Musnad, lafadh ta’abbud di atas digabungkan dengan lafadh perkataan ‘Aaisyah :

عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: " أَوَّلُ مَا بُدِئَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ مِنَ الْوَحْيِ الرُّؤْيَا الصَّادِقَةُ، فَكَانَ لا يَكَادُ يَرَى رُؤْيَا إِلا جَاءَتْ مِثْلَ فَلَقِ الصُّبْحِ، وَحُبِّبَ إِلَيْهِ الْخَلاءُ فَكَانَ يَأْتِي حِرَاءَ فَيَتَحَنَّثُ فِيهِ، وَالتَّحَنُّثُ: هُوَ التَّعَبُّدُ فِي اللَّيَالِيَ ذَوَاتِ الْعَدَدِ وَيَتَزَوَّدُ لِذَلِكَ

Ini kasus sama seperti hadits dalam artikel.

Tapi apa komentar ulama ?. Ibnu Hajar (Fathul-Baariy, 1/23) menjelaskan bahwa lafadh huwa at-ta’abbud merupakan mudraj perkataan Az-Zuhriy, yaitu penafsirannya terhadap makna at-tahannuts. Ibnu Hajar berkata :

قوله: "وهو التعبد" هذا مدرج في الخبر، وهو من تفسير الزهري

“Dan perkataannya : wahuwa at-ta’abbud; ini merupakan mudraj dalam khabar, dan ia berasal dari penafsiran Az-Zuhriy...” [selesai].

Gimana bung Raafidliy ?.

Contoh lain yang bukan dari idraaj Az-Zuhriy :

إِذَا مَسَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ أَوْ أُنْثَيَيْهِ أَوْ رُفْغَيْهِ فَلْيَتَوَضَّأْ

Hadits dengan lafadh ini diriwayatkan dari jalur 'Abdul-Hamiid bin Ja'far, dari Hisyaam bin 'Urwah, dari 'Urwah, dari Busrah bintu Shafwaan secara marfuu'. Dhahir sanadnya shahih.

Namun dalam jalur lain disebutkan :

عَنْ بُسْرَةَ بِنْتِ صَفْوَانَ، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “ إِذَا مَسَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ “. وَقَالَ عُرْوَةُ: “ إِذَا مَسَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ، أَوْ رَفْغَيْهِ، أَوْ أُنْثَيَيْهِ فَلْيَتَوَضَّأْ “

Di situ disebutkan bahwa yang mengatakan : au rafghaihi au untsayaihi adalah ‘Urwah. Dan Ad-Daaruquthniy dan juga para ulama yang lain menyebutkan bahwa kalimat itu adalah mudraj, bukan dari perkataan Busrah ataupun Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada bedanya misalnya disebutkan qaala ‘Urwah ataupun hanya qaala saja (tanpa ditulis ‘Urwah) untuk memberikan keterangan bahwa lafadh tersebut mudraj.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Tentang perkataan Anda tentang hadits shalat ‘Isyaa’ :

Sebenarnya kalau diperhatikan dengan baik nampak bahwa lafaz qaala dalam hadis Aisyah tentang shalat isya’ itu bukan bermakna idraaj. Dalam riwayat Shalih disebutkan dengan lafaz :

قَالَ وَلَا يُصَلَّى يَوْمَئِذٍ إِلَّا بِالْمَدِينَةِ وَكَانُوا يُصَلُّونَ فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَغِيبَ الشَّفَقُ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ الْأَوَّلِ

Jika qaala ini bermakna idraaj maka semua lafaz tersebut adalah perkataan Az Zuhriy tetapi faktanya tidak. Dalam riwayat Syu’aib [HR Thahawiy] tertulis

قَالَتْ وَكَانُوا يُصَلُّونَ الْعَتَمَةَ , فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَغِيبَ غَسَقُ اللَّيْلِ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ

Dan dalam riwayat Thabraniy tertulis

فَلا يُصَلِّي بِنَا يَوْمَئِذٍ إِلا بِالْمَدِينَةِ ، كَانُوا يُصَلُّونَ صَلاةَ الْعَتَمَةِ فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَغِيبَ الشَّفَقُ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ

Kedua riwayat ini menunjukkan dengan pasti bahwa lafaz qaala dalam riwayat Shalih bermakna perawi berkata melanjutkan perkataan Aisyah.
[selesai].

Itu omong kosong saja karena tidak paham mengenai idraaj. Anda memang tidak punya metode jelas dalam menentukan idraaj dalam matan. Saya tidak akan mengulang apa yang telah saya tulis di atas. Hanya saja saya akan tambahi, bahwa lafadh itu merupakan idraaj dari Az-Zuhriy bukan merupakan karangan saya. Ibnu Rajab dalam Fathul-Baariy (4/84 & 87) yang mengatakan bahwa lafadh dari jalur 'Aaisyah itu mudraj dari perkataan Az-Zuhriy. Adapun omong kosong Anda yang membawakan riwayat Ibnu Himyar yang dibawakan Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin sebagai hujjah, itu dilatarbelakangi karena kemalasan Anda menengok kenyataan bahwa riwayat Ibnu Himyar yang dibawakan An-Nasaa’iy adalah berkesesuaian dengan lafadh jama’ah. Justru versi lafadh An-Nasaa’iy itulah yang lebih tepat. Dan perlu dicatat, perbedaan lafadh ini ada pada thabaqah Ibnu Himyar (thabaqah ke-9 – shighaaru atbaa’ut-taabi’iin) dimana Ibnu Himyar hanya berstatus shaduuq. Lafadh Ibnu Himyar yang dibawakan oleh Ath-Thabaraaniy menegaskan bahwa perawi (yaitu ‘Aaisyah) ikut andil shalat bersama penduduk Madiinah di masjid – padahal diketahui bahwa umumnya istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat di rumah mereka. Adapun lafadh jama’ah, maka ia hanya menceritakan fenomena yang ia lihat atau ia dengar.

Lafadh qaala itu apapun keadaannya mesti diartikan bahwa perawi laki-laki yang berkata. Ini kaedah asal. Makanya itu bung, pijaklah dulu kaedah asal, jangan langsung sibuk mencari pengecualian. Mata Anda sakit kalau mencari sesuatu yang jarang. Kaedah dalam cabang ilmu apapun, maka pasti atau hampir bisa dipastikan akan menerima pengecualian.

Katanya (tepatnya : bualannya) orang Raafidliy itu :

Ibnu Hajar yang mensharh kitab Shahih Bukhari juga tidak pernah menyatakan bahwa lafaz qaala dalam riwayat Aisyah soal Fathimah hidup enam bulan sebagai idraaj karena Ia paham bahasa Arab dan sudah akrab dengan hadis-hadis Aisyah berlafaz qaala, beda banget dengan nashibi yang sok berbicara atas nama ilmu tapi hanya menyebarkan syubhat dan mengumbar kejahilan [selesai].

Namanya bualan ya tetap saja bualan. Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

وأشار البيهقي إلى أن في قوله: "وعاشت إلخ" إدراجا، وذلك أنه وقع عند مسلم من طريق أخرى عن الزهري فذكر الحديث وقال في آخره: "قلت للزهري: كم عاشت فاطمة بعده: قال: ستة أشهر" وعزا هذه الرواية لمسلم، ولم يقع عند مسلم هكذا بل فيه كما عند البخاري موصولا. والله أعلم.

“Dan Al-Baihaqiy mengisyaratkan bahwa dalam perkataannya : “Dan Faathimah hidup....dst. (wa ‘aasyat....) MERUPAKAN IDRAAJ........” [Fathul-Baariy, 7/494].

Kurang gedhe tulisan di atas ?. Ini adalah pendapat Ibnu Hajar yang mengambil faedah dari perkataan Al-Baihaqiy. Dan alasan Al-Baihaqiy pun telah saya sitir dalam tulisan di atas. Kacian oh kacian......

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Tentang riwayat Al-Bukhaariy dalam Al-Ausath, gak ada masalah, karena gak ada yang berbeda atas apa yang saya pahami sepekan yang lalu hingga hari ini mengenai idraaj Az-Zuhriy tersebut. Qariinah idraaj dalam riwayat Syu’aib itu dikuatkan oleh riwayat dari kalangan ashhaab Az-Zuhriy yang lain yang saya sebutkan di atas. Dan intinya bung Raafidlah, qarinah idraaj Az-Zuhriy itu secara ringkas ada 3 (saya ulang) :

1. Lafadh keterangan bahwa Faathimah marah dan mogok bicara dengan Abu Bakr hanya diriwayatkan dari jalan Az-Zuhriy, dari 'Urwah, dari 'Aaisyah radliyallaahu 'anhaa. Itupun hanya sebagian jalan Az-Zuhriy saja yang menyebutkannya. Maalik bin Anas (dan ia adalah perawi yang paling tsabt periwayatannya dari Az-Zuhriy dan termasuk thabaqah pertama dari kalangan ashhaab Az-Zuhriy - dimana jika ada perselisihan riwayat Az-Zuhriy, maka riwayat Maalik sebagai hujjah, karena mereka sama-sama penduduk Madiinah), Usamah bin Zaid, 'Abdurrahmaan bin Khaalid, Ishaaq bin Raasyid, 'Ubaidullah bin 'Umar, Ibnu Juraij, dan Yuunus bin Yaziid meriwayatkan dari Az-Zuhriy tidak memuat lafadh tersebut.

Syaahid riwayat 'Aaisyah yang tidak memuat kemarahan Faathimah dan pemboikotannya itu adalah riwayat Abu Hurairah.

2. Dalam sebagian jalan riwayat Az-Zuhriy, lafadh bahwa Faathimah marah dan mogok bicara kepada Abu Bakr hingga meninggal dunia dinisbatkan pada perkataan 'Aaisyah bersama dengan seluruh rangkaian lafadh yang dibawakan Az-Zuhriy. Namun dalam sebagian jalan Az-Zuhriy yang lain, lafadh tersebut dinisbatkan pada perawi laki-laki sebelum 'Aaisyah.

Adapun jalan riwayat Syu'aib bin Abi Hamzah dari Az-Zuhriy, dari 'Urwah, dari 'Aiisyah yang menyebutkan dengan lafadh ringkas (dalam riwayat Ad-Duulabiy dan Al-Baihaqiy) :

عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: " عَاشَتْ فَاطِمَةُ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ

Maka lafadh ini merupakan ringkasan lafadh dari jalan Syu'aib bin Abi Hamzah dari Az-Zuhriy sebagaimana dibawakan dalam artikel di atas. Oleh karenanya, lafadh yang ringkas ini harus dibawa pada riwayat yang lengkap sebagaimana hal itu dimaklumi dalam ilmu riwayat dan kaedah istidlaal.

3. Az-Zuhriy terkenal di kalangan ulama sebagai perawi yang sering melakukan idraaj dalam hadits.

Ini adalah komentar saya yang terakhir..... capek deh ngurus celoteh paham ngeyelisme yang dianut oleh orang Raafidlah itu.....

Anonim mengatakan...

Hehehehe, jangan2 orang Rafidhah itu nanti akan membikin qaidah nahwu baru bahwa yg namanya qaala, qultu, qulnaa, qaalat, qul, yaquulu, dsb itu bebas2 saja mo dinisbatkan kepada siapapun.
Hancur deh bahasa Arab kalo gini caranya.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Orang Raafidliy itu mengatakan :

"Yang kami maksudkan adalah apakah Ibnu Hajar yang mensharh kitab Shahih Bukhari menjadikan lafaz “qala” dalam hadis Aisyah [seperti riwayat Bukhari yang dijadikan hujjah nashibi itu] sebagai bukti idraaj. Jawabannnya tidak, lbnu Hajar sendiri berkata

بل فيه كما عند البخاري موصولا

Yang kami herankan adalah bagian mana dari pernyataan Ibnu Hajar yang menyatakan kalau ia sependapat dengan Baihaqiy. Perkara Ibnu Hajar mengutip pernyataan ulama lain ya sah sah saja dan tidak mesti itu mencerminkan perkataan Ibnu Hajar"
[selesai].

He...he..he... Anda ternyata tidak paham konteks pembicaraan Ibnu Hajar rahimahullah. Kasihan. Coba sambungkan bacaan Anda dengan perkataan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa dong. Di situ Al-Baihaqiy sama sekali tidak mengatakan bahwa wa 'aasyat Faathimah....dst. itu idraaj atau munqathi'. Ini perkataan Al-Baihaqiy :

ورواه مسلم عن إسحاق بن راهويه وغيره عن عبد الرزاق . وقول الزهري في قعود علي عن بيعة أبي بكر - رضي الله عنه - حتى توفيت فاطمة - رضي الله عنها - منقطع ، وحديث أبي سعيد - رضي الله عنه - في مبايعته إياه حين بويع بيعة العامة بعد السقيفة أصح ، ولعل الزهري أراد قعوده عنها بعد البيعة ، ثم نهوضه إليها ثانيا ، وقيامه بواجباتها ، والله أعلم .

Jadi yang dikatakan Al-baihaqiy sebagai riwayat munqathi' adalah penundaan bai'at 'Aliy. Di artikel di atas pun telah saya sebut :

وَقَوْلُ الزُّهْرِيِّ فِي قُعُودِ عَلِيٍّ، عَنْ بَيْعَةِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا مُنْقَطِعٌ

“Dan perkataan Az-Zuhriy tentang penundaan baiat ‘Aliy terhadap Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu hingga wafatnya Faathimah radliyallaahu ‘anhaa adalah munqathi’ (terputus, yang merupakan perkataan dari Az-Zuhriy)” [Al-Kubraa, 6/300].

Namun Ibnu Hajar memahami bahwa riwayat yang dibawakan oleh Al-Baihaqiy itu mengkonsekuensikan adanya idraaj dalam lafadh wa 'aasyat Faathimah. Makanya di atas saya sebut sebagai pemahaman Ibnu Hajar atas riwayat yang dibawakan Al-Baihaqiy.

Adapun perkataan Ibnu Hajar :

بل فيه كما عند البخاري موصولا

"Akan tetapi lafadh itu masuk padanya (hadits 'AAisyah) sebagaimana dalam riwayat Al-Bukhaariy secara maushul".

ini terkait dengan perkataan Ibnu Hajar sebelum kalimat itu, yaitu :

وعزا هذه الرواية لمسلم , ولم يقع عند مسلم هكذا

"Dan Al-Baihaqiy menyandarkan riwayat ini pada Muslim, namun tidak ada pada riwayat Muslim yang seperti itu".

Nah, setelah itu, baru Ibnu Hajar mengatakan : bal fiihi kamaa 'indal-Bukhaariy maushulan.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Jadi, kalimat tersebut merupakan ta'qib atas perkataan Al-Baihaqiy yang menyandarkannya pada Muslim - menurut Ibnu Hajar.

Dan ini pun Anda harus melihat riwayat yang dibawakan Al-Baihaqiy. Al-Baihaqiy membawakan riwayat itu sebagai berikut :

( أخبرنا ) أبو محمد عبد الله بن يحيى بن عبد الجبار ببغداد ، أنا إسماعيل بن محمد الصفار ، ثنا أحمد بن منصور ، ثنا عبد الرزاق ، أنا معمر ، عن الزهري ، عن عروة ، عن عائشة - رضي الله عنها - أن فاطمة والعباس - رضي الله عنهما - أتيا أبا بكر يلتمسان ميراثهما من رسول الله - صلى الله عليه وسلم - وهما حينئذ يطلبان أرضه من فدك وسهمه من خيبر ، فقال لهما أبو بكر : سمعت رسول الله - صلى الله عليه وسلم - يقول : لا نورث ، ما تركناه صدقة ، إنما يأكل آل محمد في هذا المال ، والله إني لا أدع أمرا رأيت رسول الله - صلى الله عليه وسلم - يصنعه بعد إلا صنعته ، قال : فغضبت فاطمة - رضي الله عنها - وهجرته فلم تكلمه حتى ماتت ، فدفنها علي - رضي الله عنه - ليلا ، ولم يؤذن بها أبا بكر - رضي الله عنه - قالت عائشة - رضي الله عنها - : فكان لعلي - رضي الله عنه - من الناس وجه حياة فاطمة - رضي الله عنها - فلما توفيت فاطمة - رضي الله عنها - انصرف وجوه الناس عنه عند ذلك ، قال معمر : قلت للزهري : كم مكثت فاطمة بعد النبي - صلى الله عليه وسلم ؟ قال : ستة أشهر ، فقال رجل للزهري : فلم يبايعه علي - رضي الله عنه - حتى ماتت فاطمة - رضي الله عنها - قال : ولا أحد من بني هاشم

Informasi bahwa Faathimah hidup enam bulan dan 'Aliy menunda baiatnya - dalam riwayat di atas - tidak ada dalam lafadh perkataan 'Aaisyah, tapi itu ada dalam pertanyaan Ma'mar kepada Az-Zuhriy. Makanya Ibnu Hajar membantahnya bahwa penisbatan kepada Muslim itu tidak benar, dan bahkan lafadh itu dibawakan Al-Bukhaariy secara maushul. Riwayat dalam Shahih Al-Bukhaariy yang dimaksudkan Ibnu Hajar adalah riwayat Az-Zuhriy yang berasal dari 'Uqail (Shahih Al-Bukhaariy no. 4240-4241 - karena Ibnu Hajar sedang mensyarah hadits ini). Di atas telah saya sebut keterangannya riwayat Al-Bukhaariy ini.

Jadi gitu bung jalan ceritanya.....

Makanya kalau Anda nanya :

"Baihaqiy sendiri dalam Ad Dala’il termasuk orang yang meriwayatkan dengan lafaz qaalat dan ia menyatakan bahwa lafaz itu shahih dari Aisyah. Mengapa Baihaqiy yang anda klaim sebagai menyatakan idraaj ternyata ketika meringkas hadis tersebut tetap menyatakan itu perkataan Aisyah?. Silakan dijawab bung nashibidan tidak perlu ngeyel berbasa basi"

merupakan pertanda Anda tidak paham dengan apa yang Anda baca.

Selamat !!

NB : Kalau Anda merasa memahami dan mengakui bahwa beberapa contoh hadits yang saya bawakan di atas merupakan hadits mudraj, maka saya persilakan Anda membuat benang merah pengenalan hadits mudraj. Separagraf dua paragraf boleh, sehingga saya bisa tahu metode Anda dalam menentukan idraaj dalam matan.

orang awam mengatakan...

Rafidhah memang hebat ...
sampek jungkir balik "mempelajari" hadits-hadits milik ahl as-Sunnah (Sunniy), tetapi dengan kaidah yang dibuat-buat sendiri, tidak melalui jalan yang di tempuh oleh 'aimmah hadits, terlalu pede dengan "kecerdasannya"..

seandainya otak dan energi mereka dicurahkan untuk mengkritisi riwayat-riwayat mereka sendiri yang amburadul, tentu akan lebih bermanfaat bagi banyak orang ..

Wallohul Musta'an

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Perkataan orang Raafidlah itu :

"Kemarin ana ngibul dan sekarang tetap konsisten ngibul. Kalau anda katakan bahwa riwayat tersebut adalah ringkasan ya silakan itu hujjah yang terlalu lemah untuk ditanggapi. Justru bukti kuat bahwa itu perkataan Aisyah anda nafikan seenaknya dengan alasan itu ringkasan dan harus dipalingkan pada riwayat idraaj" [selesai].

Pertunjukkan 'bingung' kita hampir usai. Riwayat Syu'aib bin Abi Hamzah dari Az-Zuhriy yang lengkap kan begini :


أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ الْفَضْلِ الْكَلاعِيُّ بِحِمْصَ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عُثْمَانَ بْنِ سَعِيدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ شُعَيْبِ بْنِ أَبِي حَمْزَةَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: حَدَّثَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ، أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهُ، أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَتْ إِلَى أَبِي بَكْرٍ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ، وَفَاطِمَةُ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهَا حِينَئِذٍ تَطْلُبُ صَدَقَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّتِي بِالْمَدِينَةِ وَفَدَكَ وَمَا بَقِيَ مِنْ خُمْسِ خَيْبَرَ، قَالَتْ عَائِشَةُ: فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لا نُوَرَّثُ مَا تَرَكْنَاهُ صَدَقَةٌ، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ مِنْ هَذَا الْمَالِ، لَيْسَ لَهُمْ أَنْ يَزِيدُوا عَلَى الْمَأْكَلِ "، وَإِنِّي وَاللَّهِ لا أُغَيِّرُ شَيْئًا مِنْ صَدَقَاتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ فِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ مِنْهَا شَيْئًا، فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ مِنْ ذَلِكَ، فَهَجَرَتْهُ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى حَتَّى تُوُفِّيَتْ، وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ

[diambil dari Shahih Ibni Hibbaan - lihat catatan kaki no. 1].

Sama halnya dengan riwayat Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 6/300 no. 12733 dan dalam Ad-Dalaail 7/279, serta Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin 4/198-199 no. 3097. Maka riwayat ringkas yang dibawakan Ad-Duulabiy dalam Adz-Dzuriyyah, Al-Baihaqiy dalam Ad-Dalaail, dan Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah yang menyebutkan lafadh qaalat 'Aaisyah; mesti dibawa kepada lafadh yang lengkap. Jadi lafadh qaalat ada awal riwayat mulai kedatangan Faathimah kepada Abu Bakr radliyallaahu 'anhumaa.

Kemudian datang riwayat Al-Bukhaariy dalam Al-Ausath 1/114 no. 93 yang membawakan riwayat ringkas lain :

حَدَّثَنَا محمد قال: حَدَّثَنَا أبو اليمان قال: أخبرنا شعيب، عن الزهري قال: أخبرني عروة بْن الزبير، عن عائشة....فذكر الحديث، وقال: وعاشت فاطمة بعد النبي صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ ستة أشهر ودفنها علي.

Telah menceritakan kepada kami Muhammad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-Yamaan, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’aib, dari Az-Zuhriy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Urwah bin Az-Zubair, dari ‘Aaisyah,... lalu ia menyebutkan hadits. Dan perawi (laki-laki) berkata : “Dan Faathimah hidup sepeninggal Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam selama enam bulan, dan kemudian wafat, dikuburkan oleh ‘Aliy” [selesai].

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Sama saja dengan riwayat sebelumnya, bahwa riwayat ini pun mesti dibawa kepada riwayat lengkapnya. Namun riwayat ini memberikan faedah tambahan bahwa lafadh wa 'aasyat Faathimah...dst. diucapkan oleh perawi laki-laki sebelum 'Aaisyah radliyallaahu 'anhaa. Oleh karena itu jika kita jamak dengan riwayat sebelumnya, maka riwayat 'Aaisyah itu berbunyi (terjemahannya saja) :

"....Az-Zuhriy, dari 'Urwah, dari 'Aaisyah, bahwasannya ia berkata (qaalat) : Faathimah bintu Rasulillah shallallaahu 'alaihi wa sallam mengutus utusan kepada Abu Bakr.......dst..... (Perawi laki-laki) berkata (qaala) : "Dan Faathimah hidup setelah wafatnya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam selama enam bulan.....dst." [selesai].

Ini dhahir riwayat yang ada. Tentu saja lafadh qaala ini musykil dibawa semenjak awal riwayat sebegaimana lafadh qaalat pada tiga riwayat ringkas sebelumnya (Ad-Duulabiy, Al-Baihaqiy, dan Abu Nu'aim).

Al-Bukhaariy secara jelas meringkasnya - dan ia menjelaskan peringkasannya tersebut - dan kemudian menisbatkan perkataan wa 'aasyat Faathimah pada perawi laki-laki sebelum 'Aaisyah.

Lafadh qaala : wa 'aasyat Faathimah dari jalan Abul-Yamaan, dari Syu'aib, dari Az-Zuhriy ini sama dengan sebagian jalan lafadh riwayat lain (dari Shaalih bin Kaisaan dan 'Uqail bin Khaalid) yang mentafshil pemilik lafadh wa 'aasyat Faathimah pada perawi sebelum 'Aaisyah. No problemo. Apalagi dalam riwayat Ma'mar yang dibawakan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 6/300 di atas secara jelas menyebutkan bahwa perkataan bahwa Faathimah hidup selama enam bulan pasca wafatnya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam merupakan perkataan Az-Zuhriy. Dan ingat, perkataan Az-Zuhriy ini dibawakan bersamaan dengan riwayat panjang 'Aaisyah radliyallaahu 'anhaa. Riwayat Al-Baihaqiy dibawakan secara ringkas oleh Ad-Duulabiy dalam Adz-Dzuriyyah :

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ مَنْصُورٍ الرَّمَادِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ بْنُ هَمَّامٍ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، قَالَ: قُلْتُ لِلزُّهْرِيِّ: " كَمْ مَكَثَتْ فَاطِمَةُ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " سِتَّةُ أَشْهُرٍ "


Dikuatkan dengan riwayat ringkas yang lain yang dibawakan Ad-Duulabiy :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَنْصُورٍ الْجَوَّازُ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ، قَالَ: " لَبِثَتْ فَاطِمَةُ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاثَةَ أَشْهُرٍ " وَقَالَ ابْنُ شِهَابٍ: " سِتَّةَ أَشْهُرٍ "

...... Az-Zuhriy berkata : "Enam bulan".

Jalan sanad riwayat 'Amru bin Diinar dari Az-Zuhriy (yang merupakan aqraan-nya) adalah shahih.

Seandainya orang Raafidlah itu sepakat bahwa lafadh :

فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَالأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ

"Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat, sementara perkara itu tetap seperti itu"

dalam hadits keutamaan shalat tarawih di bulan Ramadlaan merupakan idraaj dari Az-Zuhriy (dimana dalam beberapa jalan riwayat 'Aaisyah dan Abu Hurairah, lafadh tersebut digabung dengan lafadh induk); lantas mengapa ia tidak sepakat dengan lafadh wa 'aasyat Faathimah merupakan idraaj dari Az-Zuhriy, padahal kasusnya secara garis besar sama ?. Apa kaedah yang membedakannya ?.

Kalau jawabannya kembali pada riwayat ringkas Ad-Duulabiy, Al-Baihaqiy, dan Abu Nu'aim, ya sudah deh, tepok jidat saja.... Dan ingat bung sekali lagi, Az-Zuhriy merupakan perawi yang sering melakukan idraaj dalam hadits.

Jadi apanya yang mesti dibingungkan bung Raafidlah ?. Kalau mau bingung, jangan ngajak-ngajak orang ya ?. Dan kalau mau ngibul, juga jangan ngajak-ngajak orang ya... Malu..........

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Orang Raafidlah itu memang TIDAK MENYADARI kalau dia itu tidak tahu dan tidak memahami apa yang dikatakannya. Kasihan oh kasihan. Ia berusaha sekuat tenaga dan sibuk kes aana kemari mengoperasikan Syamilah mencari-cari bukti dalam kitab hadits untuk membenarkan kesalahpahamannya. Tapi anehnya - ya itu memang biasa dilakukannya - , ia tidak mau melakukan pembandingan beberapa hadits yang dihukumi para ulama sebagai hadits mudraj dan mengambil benang merah pemahamannya. Maklum lah,... karena kalau ia melakukan yang ini, usahanya akan mentah.

.....

Di atas telah saya katakan bahwa lafadh qaala itu hakekatnya bermakna bahwa yang mengatakannya adalah perawi laki-laki. Kaedah nahwunya demikian, dan memang secara asal harus dikembalikan pada hal ini. Hanya saja kemudian dalam hal pemahamannya, ia bisa lain, dilihat dari konteks hadits itu sendiri. Dan tentu saja, itu dilihat dengan membandingkan riwayat-riwayat yang lainnya. Harus ada qarinah kuat yang menunjukkan bahwa lafadh qaala yang ditujukan pada perawi laki-laki dalam riwayat itu bukan miliknya, namun milik perawi wanita yang ada di atasnya. Atau dengan kata lain : Ia menyampaikan atau melanjutkan perkataan perawi wanita yang ada di atasnya. Tentu saja di atas tidak mungkin akan saya buat penjelasan lengkap dalam kitab-kitab mushthalah beserta beberapa contoh kasus qarinah yang dimaksud. Tapi di sini akan saya sebutkan satu pembahasan hadits saja yang disebutkan oleh orang Raafidlah itu, yaitu hadits pertama :

HADITS 'AAISYAH TENTANG MANDI.

Dalam satu riwayat disebutkan :

قال فكانت تغتسل عند كل صلاة

[qaala] “maka Ummu Habibab mandi setiap kali mau shalat” [Musnad Ahmad 6/141 no 25138, Syaikh Al Arnauth berkata “sanadnya shahih dengan syarat Bukhari Muslim].

Namun dalam riwayat lain disebutkan :

قالت فكانت تغتسل عند كل صلاة

Aisyah berkata “maka Ummu Habibab mandi setiap kali mau shalat” [Thabaqat Ibnu Sa’ad 8/242].

قَالَتْ عَائِشَةُ فَكَانَتْ تَغْتَسِلُ لِكُلِّ صَلَاةٍ ثُمَّ تُصَلِّي

Aisyah berkata “maka ia mandi setiap akan shalat kemudian shalat”…[Sunan Darimi no 771 dengan sanad shahih].

Kemudian dengan bangganya orang Raafidlah itu menunjukkan kedangkalan pemahamannya :

"Maka lafaz qaala pada riwayat Ahmad sebenarnya bermakna perawi laki-laki berkata melanjutkan hadis [perkataan] Aisyah. Inilah yang benar dan bukan seperti anggapan yang terjadi jika kita menuruti kekacauan akal nashibi" [selesa].

Sekali lagi : kasihan oh kasihan.......

Sebagian besar hadits yang memuat lafadh di atas diriwayatkan melalui jalur Az-Zuhriy, dari 'Urwah, dari 'Aaisyah. Di antara kalangan ashhaab Az-Zuhriy yang meriwayatkan dari Az-Zuhriy dengan membawakan lafadh tersebut antara lain :

1. Ibnu Abi Dzi'b (menyandarkannya langsung pada 'Aaisyah pada lafadh induk dari awal riwayat. Namun dalam lain riwayat, ia menyyandarkannya pada perawi sebelum 'Aaisyah dengan lafadh qaala - sebagaimana disebutkan orang Raafidliy itu).

2. Al-Laits bin Sa'd (menyandarkannya langsung pada 'Aaisyah pada lafadh induk dari awal riwayat).

3. 'Amru bin Al-Haarits (menyandarkannya pada 'Aaisyah dengan menggunakan kata qaalat seperti di atas).

4. Ibraahiim bin Sa'd (menyandarkannya pada 'Aaisyah dengan menggunakan kata qaalat seperti di atas).

5. Sufyaan bin 'Uyainah (menyandarkannya pada 'Aaisyah dengan menggunakan kata qaalat atau taquulu seperti di atas. Di jalan riwayat yang lain, Sufyaan menyandarkannya langsung pada 'Aaisyah pada lafadh induk dari awal riwayat).

6. Al-Auzaa'iy (menyandarkannya pada perkataan 'Aaisyah dengan menggunakan kata qaalat seperti di atas. Dan disebagian riwayat, Al-Auzaa'iy ini menyandarkannya pada 'Aaisyah dengan menggunakan kata qaalat seperti di atas).

7. An-Nu'man bin Mundzir (menyandarkannya pada 'Aaisyah dengan menggunakan kata qaalat seperti di atas).

8. Hafsh bin Ghailaan (menyandarkannya pada 'Aaisyah dengan menggunakan kata qaalat seperti di atas).

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

9. Ibraahiim bin Sa'd Az-Zuhriy (menyandarkannya langsung pada 'Aaisyah pada lafadh induk dari awal riwayat. Dalam jalan riwayat lain, Ibraahiim menyandarkannya pada 'Aaisyah dengan menggunakan kata qaalat seperti di atas).

10. Dan yang lainnya....

Diriwayatkan dari jalan yang lain :

حَدَّثَنِي مُوسَى بْنُ قُرَيْشٍ التَّمِيمِيُّ، حَدَّثَنَا إِسْحَاق بْنُ بَكْرِ بْنِ مُضَرَ، حَدَّثَنِي أَبِي، حَدَّثَنِي جَعْفَرُ بْنُ رَبِيعَةَ، عَنْ عِرَاكِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا قَالَتْ: " إِنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ بِنْتَ جَحْشٍ، التِي كَانَتْ تَحْتَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، شَكَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ الدَّمَ، فَقَالَ لَهَا: امْكُثِي قَدْرَ مَا كَانَتْ تَحْبِسُكِ حَيْضَتُكِ، ثُمَّ اغْتَسِلِي، فَكَانَتْ تَغْتَسِلُ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ "

Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Quraisy At-Tamiimiy : Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Bakr bin Mudlar : Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami Ja'far bin Rabii'ah, dari 'Iraak bin Maalik, dari 'Urwah bin Az-Zubair, dari 'Aaisyah istri Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, ia berkata (qaalat) : "........dan ia (Ummu Habiibah) mandi setiap hendak akan melaksanakan shalat...." [HR. Muslim].

Di sini lafadh khabar bahwa Ummu Habiibah mandi setiap mau shalat itu masuk dalam lafadh perkataan 'Aaisyah. 'Iraak bin Maalik menjadi mutaba'ah riwayat Az-Zuhriy.

'Urwah bin Az-Zubair mempunyai mutaba'ah dari 'Amrah :

أَخْبَرَنَا الرَّبِيعُ بْنُ سُلَيْمَانَ بْنِ دَاوُدَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، قال: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ بَكْرٍ، قال: حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ يَزِيدَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَمْرَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ بِنْتَ جَحْشٍ الَّتِي كَانَتْ تَحْتَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَأَنَّهَا اسْتُحِيضَتْ لَا تَطْهُرْ، فَذُكِرَ شَأْنُهَا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّهَا لَيْسَتْ بِالْحَيْضَةِ، وَلَكِنَّهَا رَكْضَةٌ مِنَ الرَّحِمِ، فَلْتَنْظُرْ قَدْرَ قَرْئِهَا الَّتِي كَانَتْ تَحِيضُ لَهَا فَلْتَتْرُكِ الصَّلَاةَ، ثُمَّ تَنْظُرْ مَا بَعْدَ ذَلِكَ فَلْتَغْتَسِلْ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ "

Telah mengkhabarkan kepada kami Ar-Rabii' bin Sulaimaan bin Daawud bin Ibraahiim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Bakr, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Yaziid bin 'Abdillah, dari Abu Bakr bin Muhammad, dari 'Amrah, dari 'Aaisyah : Bahwasannya Ummu Habiibah bintu Jahsy......... Lalu Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya : "Ia bukanlah darah haidl tetapi hentakan dari rahim. Jadi mandilah dan kerjakanlah shalat. Lalu lihat kebiasaan masa haid, kemudian tinggalkan shalat, dan lihat apa yang terjadi setelah itu. Kemudian mandilah pada setiap akan mengerjakan shalat" [Diriwayatkan oleh An-Nasaa'iy no. 209; dishahihkan oleh Al-Albaaniy].

Dalam jalan yang lain dari 'Amrah disebutkan dengan lafadh :

قَالَتْ عَائِشَةُ: وَكَانَتْ أُمُّ حَبِيبَةَ تَغْتَسِلُ لِكُلِّ صَلَاةٍ، وَتُصَلِّي، وَكَانَتْ تَجْلِسُ فِي الْمِرْكَنِ فَتَعْلُو حُمْرَةُ الدَّمِ الْمَاءَ، ثُمَّ تُصَلِّي

"'Aaisyah berkata : "Ummu Habiibah mandi untuk setiap shalat, lalu kemudian mengerjakan shalat....".

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

[Catatan 1 : Para ulama berbeda pendapat dalam masalah penghukuman perintah Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam untuk mandi setiap hendak shalat sebagaimana dalam riwayat di atas, karena ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa itu hanya merupakan perbuatan Ummu Habiibah saja, bukan bagian dari perintah Nabi. Selain itu, dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa Nabi hanya memrintahkan satu kali mandi dan berwudlu untuk setiap kali mau shalat. Akan tetapi yang menjadi fokus di sini, bahasan ikhtilaaf itu tidak penting karena dhahir mandi untuk setiap hendak ternisbat pada perkataan 'Aaisyah atau Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, bukan pada perawi sebelum 'Aaisyah].

[Catatan 2 : Para ulama juga berbeda pendapat tentang wanita yang diberikan fatwa oleh Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam tersebut. Tapi ini tidak penting dibahas di sini].

Dan seterusnya....

Saya tidak akan membawakan semua jalan periwayatan hadits 'Aaisyah di atas.

Dengan melihat jalan riwayat di atas, tidak lah mungkin dipahami lafadh bahwa ia (Ummu Habiibah) mandi setiap akan melaksanakan shalat itu merupakan perkataan maqthuu' dari perawi laki-laki sebelum 'Aaisyah karena kebanyakan ashhaab Az-Zuhriy mentafshil di tengah lafadh dengan menyandarkan pemilik perkataan itu pada 'Aaisyah dengan qaalat atau qaalat 'Aaisyah. Yang lebih jelas lagi adanya jalan lain selain Az-Zuhriy dan 'Urwah bin Az-Zubair yang menyandarkan perkataan itu pada 'Aaisyah.

Oleh karena itu, ta'wil sebagian jalan yang menyebutkan dengan lafadh qaala : fakaanat taghtasilu 'inda kulli ash-shalaah adalah :

"Perawi laki-laki berkata (ia melanjutkan perkataan 'Aaisyah) : 'Ia (Ummu Habiibah) mandi setiap akan melaksanakan shalat" [selesai].

Yang seperti ini jelas. Ndak ada yang mengingkarinya.

Namun bandingkan dalam kasus hadits yang sama tentang tambahan lafadh :

ثُمَّ تَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلَاةٍ حَتَّى يَجِيءَ ذَلِكَ الْوَقْتُ

"Kemudian berwudlulah untuk setiap shalat ketika datang waktu shalat tersebut".

dan bagaimana para ulama memandang dhahir satu sanad.

Al-Baihaqiy rahimahullah berkata :

أَخْبَرَنَاهُ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، أَنْبَأَ أَبُو بَكْرِ بْنُ إِسْحَاقَ الْفَقِيهُ، ثنا إِسْمَاعِيلُ بْنُ قُتَيْبَةُ، ثنا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، ثنا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: جَاءَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي حُبَيْشٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي امْرَأَةٌ أُسْتَحَاضُ فَلا أَطْهُرُ أَفَأَدَعُ الصَّلاةَ؟ فَقَالَ: " لا إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِالْحَيْضِ، فَإِذَا أَقْبَلَتْ حَيْضَتُكِ فَدَعِي الصَّلاةَ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ، فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ ثُمَّ صَلِّي "، قَالَ: قَالَ أَبِي: ثُمَّ تَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلاةٍ حَتَّى يَجِيءَ ذَلِكَ الْوَقْتُ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِي الصَّحِيحِ، عَنْ يَحْيَى بْنِ يَحْيَى، دُونَ قَوْلِ عُرْوَةَ وَقَوْلُ عُرْوَةَ فِيهِ صَحِيحٌ، وَرُوِيَ ذَلِكَ فِي حَدِيثِ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ

"[sanad].... 'Aisyah berkata : Faathimah binti Abu Hubaisy datang kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam lalu berkata : “Aku adalah wanita yang sedang mengalami istihadlah, dan aku belum suci. Apakah aku harus meninggalkan shalat?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Tidak, itu hanyalah urat/pembuluh darah (yang luka), bukan haid. Jika masa haidmu datang maka tinggalkanlah shalat. Jika telah usai maka bersihkanlah darah dari badanmu lalu shalatlah”. Perawi berkata : Telah berkata ayahku : “Berwudlu’lah tiap-tiap sholat ketika telah masuk waktunya”.

(Al-Baihaqiy berkata :) Diriwayatkan oleh Muslim dalam Ash-Shahiih dari Yahyaa bin Yahyaa, tanpa perkataan 'Urwah. Dan perkataan 'Urwaah dalam hadits tersebut adalah benar. Dan telah diriwayatkan hal itu dalam hadits Habiib bin Abi Tsaabit, dari 'Urwah, dari 'Aaisyah [selesai - As-Sunan Al-Kubraa].

Hadits di atas (dengan tambahan lafadh) dibawakan Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya no. 228.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Sangat jelas bahwa Al-Baihaqiy memahami dhahir sanad yang ia bawakan bahwa lafadh tsumma tawadldlaii..dst. itu adalah perkataan 'Urwah dan tidak menyandarkannya pada Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Kemudian, simak perkataan Ibnul-Jauziy dalam At-Tahqiiq :

قَالُوا: قَالَ اللَّالَكَائِيُّ: قَوْلُهُ: " فَتَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلَاةٍ "، مِنْ قَوْلِ عُرْوَةَ، وَهَكَذَا أُخْرِجَ فِي الصَّحِيحَيْنِ. قَالَ هِشَامٌ: قَالَ أَبِي: " ثُمَّ تَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلَاةٍ حَتَّى يَجِيءَ ذَلِكَ الْوَقْتُ ". قُلْنَا: قَدْ ذَكَرَهُ التِّرْمِذِيُّ كَمَا رَوَيْنَاهُ، وَحَكَمَ بِصِحَّتِهِ، ثُمَّ لَا يُمْكِنُ أَنْ يَقُولَ هَذَا عُرْوَةُ مِنْ قِبَلِ نَفْسِهِ، إِذْ لَوْ قَالَهُ هُوَ لَكَانَ لَفْظُهُ: " ثُمَّ تَتَوَضَّأُ لِكُلِّ صَلَاةٍ "، فَلَمَّا قَالَ: " تَوَضَّئِي " شَاكَلَ مَا قَبْلَهُ

"Mereka berkata : Telah berkata Al-Laalikaa'iy : perkataannya : fatawadldla' likulli ash-shalaah merupakan perkataan 'Urwah. Dan begitulah yang diriwayatkan dalam Ash-Shahiihain : Telah berkata Hisyaam : Telah berkata ayahku : tsumma tawadldlaii likulli ash-shalaah hattaa yajiia dzalikal-waqt. Kami (Ibnul-Jauziy) katakan : At-Tirmidziy telah menyebutkan hadits sebagaimana hadits yang kami riwayatkan, dan ia menshahihkannya. kemudian tidaklah mungkin perkataan itu diucapkan oleh 'Urwah dari dirinya. Seandainya saja ia lah mengatakannya, niscaya ia akan berkata : tatawadldla-a likulli shalah (ia berwudlu untuk setiap shalat). Namun ketika ia ('Urwah) berkata : tawadldlaii (berwudlulah); maka perkataan itu menyamai perkataan sebelumnya (maksudnya : menyamai perkataan Nabi, atau perkataannya itu didasarkan oleh perkataan Nabi) [selesai].

Lihatlah bagaimana Ibnul-Jauziy membaca lafadh sanad sebagaimana dhahirnya. Hanya saja ia kemudian memalingkan bahwa perkataan 'Urwah itu didasarkan oleh hadits yang ia riwayatkan.

Oleh karena itu, lafadh hadits dalam penilaian mudraj tidaknya satu hadits menjadi pertimbangan.

[mungkin orang Raafidlah itu akan teringat dengan hadits riwayat Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin di atas (hadits shalat 'Isya'). Sekali lagi, lafadh hadits Ibnu Himyar itu dibawakan secara makna dan kurang akurat - telah dibahas di atas).

Perhatikan pula kemudian perkataan Ibnu Rajab :

والصواب : أن هَذا مِن قول عروة ، كذلك خرجه البخاري في (( كِتابِ : الوضوء )) عَن محمد بنِ سلام ، عَن أبي معاوية ، عَن هشام فذكر الحديث ، وقال في آخره : قالَ : وقال أبي : (( ثُمَّ توضئي لكل صلاة حتى يجيء ذَلِكَ الوقت )) .

وكذلك رواه يعقوب الدورقي ، عَن أبي معاوية ، وفي حديثه : (( فإذا أدبرت فاغسلي الدم ، ثُمَّ اغتسلي )) . قالَ هشام : قالَ أبي : (( ثُمَّ توضئي لكل صلاة حتى يجيء ذَلِكَ الوقت )) .

وخرجه إسحاق بن راهويه ، عن أبي معاوية ، وقال في حديثه : قالَ هشام : قالَ أبي : (( وتوضئي لكل صلاة حتَّى يجيء ذَلِكَ الوقت )) .

وكذلك روى الحديث عيسى بنِ يونس ، عَن هشام ، -وقال في آخر الحديث : وقال هشام : (( تتوضأ لكل صلاة )) .

وذكر الدارقطني في (( العلل )) : أن لفظة : (( توضئي لكل صلاة )) رواها
-أيضاً - عَن هشام : أبو حنيفة وأبو حمزة السكري ومحمد بنِ عجلان ويحيى بن سليم .

قلت : وكذلك رواه أبو عوانة ، عَن هشام ، ولفظ حديثه : (( المستحاضة تدع الصلاة أيام أقرائها ، وتغتسل غسلاً واحداً ، وتتوضأ لكل صلاة )) .

قلت : والصواب : أن لفظة (( الوضوء )) مدرجة في الحديث مِن قول عروة .

وكذلك روى مالك ، عَن هشام ، عَن أبيه ، أنه قالَ : (( ليسَ على المستحاضة إلا أن تغتسل غسلاً واحداً ، ثُمَّ تتوضأ بعد ذَلِكَ لكل صلاة )) .

Satu hal yang penting di sini bahwa Ibnu Rajab memahami adanya penyandaran lafadh sebagaimana dhahirnya, dan kemudian menisbatkan lafadh mudraj kepada pemiliknya (yaitu 'Urwah). Qarinahnya karena dlamirnya menunjukkan pada perawi sebelum 'Aaisyah. Dan kemudian dikuatkan bahwa Maalik mempunyai riwayat maqthu' dari 'Urwah yang senada dengan itu.

=====

Jauh sekali dong bung Raafidlah dengan angan-angan Anda.....

Piss

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Mumpung ada sedikit waktu : Saya tambahkan pembahasan hadits kedua :

HADITS PINANGAN TERHADAP ANAK GADIS

Orang Raafidlah itu mengatakan :


أخبرنا إسحاق بن منصور قال حدثنا يحيى بن سعيد عن بن جريج قال سمعت بن أبي مليكة يحدث عن ذكوان أبي عمرو عن عائشة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال استأمروا النساء في أبضاعهن قيل فإن البكر تستحي وتسكت قال هو إذنها

Telah mengabarkan kepada kami Ishaaq bin Manshuur yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id dari Ibnu Juraij yang berkata aku mendengar Ibnu Abi Mulaikah menceritakan hadis dari Dzakwaan Abi ‘Amru dari Aisyah dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang berkata “mintalah pendapat kaum wanita berkenaan dengan kehormatannya”. Dikatakan bahwa anak gadis malu sehingga diam, Beliau bersabda “itu adalah izinnya” [Sunan Nasa’i Al Kubra 3/281 no 5376]

Perhatikan lafaz “qiila fainnal bikra tastahiiy fataskutu”, diriwayatkan dalam Musnad Ahmad bahwa lafaz itu diawali dengan lafaz qaala

ثنا يحيى عن بن جريج قال سمعت بن أبي مليكة يحدث عن ذكوان أبي عمرو عن عائشة عن النبي صلى الله عليه و سلم قال أستأمروا النساء في أبضاعهن قال قيل فإن البكر تستحي فتسكت قال فهو إذنها

Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Ibnu Juraij yang berkata aku mendengar Ibnu Abi Mulaikah menceritakan hadis dari dzakwaan Abi’ Amru dari Aisyah dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang berkata “mintalah pendapat kaum wanita berkenaan dengan kehormatannya”. [qaala] Dikatakan bahwa anak gadis malu sehingga diam, Beliau bersabda “itu adalah izinnya” [Musnad Ahmad 6/203 no 25713]
Tentu dengan logika ala nashibi maka lafaz qaala qiila fainnal bikra… dan seterusnya adalah idraj [sisipan] dari perawi laki-laki sebelum Aisyah. Kenyataannya tidak seperti itu, dalam riwayat lain lafaz itu disebutkan dengan lafaz qaalat

نا عَلِيُّ بْنُ إِشْكَابَ نا مُعَاذُ بْنُ مُعَاذٍ نا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ ذَكْوَانَ أَبِي عَمْرٍو مَوْلَى عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ عَلَيْهِ الصَّلاةُ وَالسَّلامُ ” اسْتَأْمِرُوا النِّسَاءَ فِي أَبْضَاعِهِنَّ ” . قَالَتْ قِيلَ فَإِنَّ الْبِكْرَ تَسْتَحْيِ أَنْ تَكَلَّمَ قَالَ : ” سُكُوتُهَا إِذْنُهَا

Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Isykaab yang berkata telah menceritakan kepada kami Mu’adz bin Mu’adz yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij dari Ibnu Abi Mulaikah dari Dzakwaan Abi ‘Amru mawla Aisyah [radiallahu ‘anha] yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “mintalah pendapat kaum wanita berkenaan dengan kehormatannya”. Aisyah berkata dikatakan bahwa anak gadis malu untuk berbicara, Beliau bersabda “diamnya adalah izinnya” [Ziyadaah Ala Kitab Al Muzanniy no 409, Ibnu Ziyaad An Naisabury]
[selesai kutipan].

Bo abo.... sudah susah-susah nyari contoh, hasilnya kosong.

Bung,.... Anda pernah buka buku mushthalah nggak ?. Salah satu qarinah idraaj - dan itu telah saya sebutkan dalam komentar sebelumnya - adalah shighah periwayatan. Bisa dalam bentuk dlamirnya, atau bisa dalam lafadh periwayatan itu sendiri. Dalam banyak buku mushthalah (bahkan untuk pemula) sering dicontohkan tentang hadits mudraj matan adalah hadits Abu Hurairah secara marfuu' :

أَسْبِغُوا الْوُضُوءَ وَيْلٌ لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ

"Sempurnakanlah wudlu kalian, celakalah tumit-tumit (yang tidak terkena air wudhu, akan terkena) api neraka".

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Perkataan sempurnakanlah wudlu kalian itu mudraj dari perkataan Abu Hurairah, karena dalam banyak riwayat darinya, ia (Abu Hurairah berkata :

أَسْبِغُوا الْوُضُوءَ، فَإِنَّ أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ

"Sempurnakanlah wudlu. Sesungguhnya Abul-Qaasim shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda : 'celakalah tumit-tumit (yang tidak terkena air wudhu, akan terkena) api neraka".

Nah,... sama bung Raafidliy dalam contoh hadits yang Anda berikan.

Hadits 'Aaisyah tentang pinangan terhadap gadis itu dalam beberapa lafadh riwayat jelas disebutkan :

عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّهَا قَالَتْ: " يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ الْبِكْرَ تَسْتَحِي، قَالَ: رِضَاهَا صَمْتُهَا "

Dari 'Aaisyah, bahwasannya ia pernah berkata : "Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak gadis itu pemalu". Beliau berkata : "Keridlaannya itu adalah dengan diamnya".

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: قُلْتُ: " يَا رَسُولَ اللَّهِ، يُسْتَأْمَرُ النِّسَاءُ فِي أَبْضَاعِهِنَّ؟، قَالَ: نَعَمْ، قُلْتُ: فَإِنَّ الْبِكْرَ تُسْتَأْمَرُ، فَتَسْتَحْيِي، فَتَسْكُتُ، قَالَ: سُكَاتُهَا إِذْنُهَا "

Dari 'Aaisyah radliyallaahu 'anhaa, ia berkata : Aku berkata : "Wahai Rasulullah, apakah wanita itu dimintai izin pada kemaluan mereka?". Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam menjawab : "Ya". Aku berkata : "Sesungguhnya anak gadis itu merasa malu sehingga ia pun diam (jika dimintai persetujuannya)". Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Diamnya itu adalah tanpa persetujuannya".

dan yang lainnya, termasuk yang dibawakan oleh orang Raafidliy di atas.

Oleh karena itu, kalimat :

قال قيل فإن البكر تستحي فتسكت قال فهو إذنها

Tetap disandarkan pada dhahirnya, yaitu perkataan perawi laki-laki. Hanya saja kemudian dipahami bahwa ia membawakan perkataan 'Aaisyah - sebagaimana pemahaman orang Raafidliy itu. Tentu saja qarinah-qarinah di atas adalah kuat untuk memalingkan dari makna asalnya.

To the point aja kemudian,.... apakah dalam hadits 'Aaisyah tentang permintaan Faathimah harta warisamm pada Abu Bakr itu cukup mengandung qarinah sebagaimana hadits-hadits di atas ?.

[riwayat ringkas dari Ad-Duulabiy, Al-Baihaqiy, dan Abu Nu'aim ? Baseee].

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Sebagai tambahan faedah. Para ulama telah menjelaskan tentang beberapa jalan mengetahui adanya idraaj dalam matan :

1. Berdasarkan kemustahilan penyandaran perkataan itu pada Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam

Contoh hadits Abu Hurairah radliyalaahu 'anhu, Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لِلْعَبْدِ الْمَمْلُوكِ الصَّالِحِ أَجْرَانِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْحَجُّ وَبِرُّ أُمِّي، لَأَحْبَبْتُ أَنْ أَمُوتَ وَأَنَا مَمْلُوكٌ

"Bagi hamba sahaya yang shaalih, baginya dua pahala. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya bukan karena (keutamaan) jihad fii sabiilillah, haji dan berbuat baik kepada ibuku, tentu aku lebih meyukai mati sedangkan aku sebagai seorang budak" HR. Al-Bukhaariy].

Kalimat yang bercetak tebal mustahil disandarkan kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, karena tidak mungkin beliau hidup sebagai seorang budak, atau menjadi budak. Selain itu, ibu beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam telah meninggal semenjak beliau kecil, yang beliau dapat berbuat baik kepadanya. Lafadh tersebut merupakan mudraj dari perkataan Abu Hurairah radliyallaahu 'anhu.

[NB : Apalagi dalam riwayat lain disebutkan bahwa Abu Hurairah berkata : "Demi Dzat yang Abu Hurairah di tangan-Nya, jika bukan karena (keutamaan) jihad fii sabiilillah, haji dan berbuat baik kepada ibuku, tentu aku lebih meyukai mati sedangkan aku sebagai seorang budak"].

2. Terdapat tashriih dalam riwayat bahwa itu merupakan perkataan shahabat atau perkataan di bawahnya.

3. Dari penjelasan ulama hadits mu’tabar yang menguasai riwayat.

Contoh no. 2 bisa ditinjau dari shighah lafadh hadits atau dlamir yang ada dalam hadits. Contoh hadits mudraj Dalam bentuk shighah lafadh hadits ada dalam dua riwayat Abu Hurairah yang telah disebutkan di atas. Adapun contoh hadits mudraj yang berkaitan dengan dlamir yang dipakai dalam hadits adalah hadits ‘Aaisyah dalam permulaan turunnya wahyu, ia (‘Aaisyah) berkata (qaalat) :

وَكَانَ يَخْلُو بِغَارِ حِرَاءٍ، فَيَتَحَنَّثُ فِيهِ وَهُوَ التَّعَبُّدُ اللَّيَالِيَ ذَوَاتِ الْعَدَدِ قَبْلَ أَنْ يَنْزِعَ إِلَى أَهْلِهِ

“.....Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyendiri di gua Hiraa’ dan ber-tahannuts di dalamnya - dan tahannuts itu adalah ta’abbud (beribadah) – selama beberapa malam, sebelum kembali pulang menuju keluarganya....” [HR. Al-Bukhaariy dan Muslim].

Diriwayat lain disebutkan, ‘Aaisyah berkata (qaalat) :

فَكَانَ يَلْحَقُ بِغَارِ حِرَاءٍ، فَيَتَحَنَّثُ فِيهِ، قَالَ: وَالتَّحَنُّثُ التَّعَبُّدُ اللَّيَالِيَ ذَوَاتِ الْعَدَدِ قَبْلَ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى أَهْلِهِ

“.....Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berada di gua Hiraa’ dan ber-tahannuts di dalamnya - Perawi laki-laki berkata (qaala) : dan tahannuts itu adalah ta’abbud (beribadah) – selama beberapa malam, sebelum kembali pulang menuju keluarganya....” [HR. Al-Bukhaariy].

Para ulama menghukumi kalimat wat-tahannuts at-ta’abbud sebagai mudraj dari perkataan Az-Zuhriy.

Contoh lain adalah hadits tentang keutamaan shalat malam di bulan Ramadlaan yang telah disebutkan di atas.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Contoh lain adalah hadits Busrah bintu Shafwan, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :

إِذَا مَسَّ أَحَدُكُمْ فَرْجَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ، وَالْمَرْأَةُ مِثْلُ ذَلِكَ

“Apabilasalah seorang di antara kalian menyentuh farjinya, hendaklah ia berwudlu. Dan begitu juga dengan wanita” [Shahih Ibnu Hibbaan no. 1117, Al-Baihaqiy 1/132]..

Dalam riwayat Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin dan yang lainnya disebutkan dengan dengan lafadh :

وَسَأَلْتُ الزُّهْرِيَّ عَنِ الرَّجُلِ، يَمَسُّ ذَكَرَهُ وَالْمَرْأَةُ تَمَسُّ فَرْجَهَا؟ فَقَالَ حَدَّثَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ، أَنَّهُ سَمِعَ مَرْوَانَ بْنَ الْحَكَمِ يَقُولُ: أَخْبَرَتْنِي بُسْرَةُ بِنْتُ صَفْوَانَ الأَسَدِيَّةُ، أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِالْوُضُوءِ مِنْ مَسِّ الذَّكَرِ، وَالْمَرْأَةُ مِثْلُ ذَلِكَ "

“....Dan aku (Ibnu Namr) pernah bertanya kepada Az-Zuhriy tentang seorang laki-laki yang menyentuh kemaluannya, maka ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Urwah bin Az-Zubair, bahwasannya ia mendengar Marwaan bin Al-Hakam berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Busrah bintu Shafwaan Al-Asadiyyah, bahwasannya ia pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan berwudlu bagi orang yang menyentuh dzakarnya, dan wanita pun demikian”.

Ada riwayat lain yang dibawakan Al-Baihaqiy :

عَنْ بُسْرَةَ بِنْتِ صَفْوَانَ، أَن رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِذَا أَفْضَى أَحَدُكُمْ بِيَدِهِ إِلَى فَرْجِهِ فَلْيَتَوَضَّأْ "، قَالَ: وَالْمَرْأَةُ كَذَلِكَ،

Dari Busrah bintu Shafwaan : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila salah seorang di antara kalian menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudlu”. Perawi laki-laki berkata : “Dan wanita pun juga demikian”.

Kemudian Al-Baihaqiy berkata :

ظَاهَرُ هَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ قَوْلَهُ: قَالَ: وَالْمَرْأَةُ مِثْلُ ذَلِكَ، مِنْ قَوْلِ الزُّهْرِيِّ، وَمِمَّا يَدُلُّ عَلَيْهِ أَنَّ سَائِرَ الرُّوَاةِ رَوَوْهُ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، دُونَ هَذِهِ الزِّيَادَةِ

“Yang dhaahir, riwayat ini menunjukkan bahwa perkataannya : dan wanita pun juga demikian merupakan perkataan Az-Zuhriy. Dan yang termasuk hal yang menunjukkannya adalah bahwa seluruh perawi yang meriwayatkan hadits dari Az-Zuhriy tanpa membawakan ziyadah lafadh tersebut” [selesai].

Lihatlah cara pandang Al-Baihaqiy. Pertama Al-Baihaqiy menghukumi tambahan lafadh dalam dhahir riwayat yang ia bawakan menunjukkan bahwa ia bukan perkataan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ataupun perkataan Busrah bintu Shafwaan. Tidak lain dikarenakan lafadh yang ia bawakan menggunakan shighah setelah perkataan Nabi qaala : wal-mar-atu mitslu dzaalika. Kedua, ia lalu menguatkan hal itu dengan qarinah jalan periwayatan lain dari kalangan ashhaab Az-Zuhriy yang tidak membawakan tambahan lafadh tersebut. Al-Baihaqiy tidak mena’wilkan dengan : Perawi laki-laki berkata (melanjutkan perkataan Nabi/Busrah), karena tidak ada qarinah yang cukup kuat untuk memalingkan pada makna itu.

Contoh lain hadits Ibnu ‘Abbaas tentang puasa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada hari Fathu Makkah :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ يَوْمَ الْفَتْحِ، فَصَامَ حَتَّى إِذَا كَانَ بِالْكَدِيدِ أَفْطَرَ "،، وَإِنَّمَا يُؤْخَذُ بِالآخِرِ، مِنْ فِعْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar (dari Madiinah) pada hari penaklukan Makkah (Fathu Makkah). Lalu beliau berpuasa hingga tiba di daerah Kadiid, dan beliau pun berbuka. Dan sesungguhnya yang dijadikan ketentuan hanyalah diambil dari yang paling akhir dari perbuatan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam” [selesai].

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Namun kemudian banyak ulama mutaqaddimiin menta’lil lafadh yang bercetak tebal bukan sebagai bagian perkataan Ibnu ‘Abbaas.

Ibnu ‘Uyainah berkata :

لا أَدْرِي هَذَا مِنْ قَوْلِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَوْ مِنْ قَوْلِ عُبَيْدِ اللَّهِ أَوْ مِنْ قَوْلِ الزُّهْرِيِّ

“Aku tidak tahu lafadh tersebut termasuk perkataan Ibnu ‘Abbaas, perkataan ‘Ubaidullah, atau perkataan Az-Zuhriy”.


Ibnul-Jaarud berkata :

قَوْلُهُ: وَإِنَّمَا يُؤْخَذُ بِالآخِرِ هُوَ مِنْ قَوْلِ الزُّهْرِيِّ بَيَّنَ ذَلِكَ مَعْمَرٌ، حَدَّثَنَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، قَالَ: ثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ: أَنَا مَعْمَرٌ

“Perkataannya : Dan sesungguhnya hanyalah yang dijadikan ketentuan adalah yang terakhir adalah merupakan perkataan Az-Zuhriy. Ma’mar telah menjelaskan hal tersebut. Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahyaa, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar” [Al-Muntaqaa no. 398].

Itu dikarenakan sebagian jalan riwayat disebutkan :

قَالَ الزُّهْرِيُّ: وَإِنَّمَا يُؤْخَذُ مِنْ أَمْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْآخِرُ فَالْآخِرُ

....Az-Zuhriy berkata : Dan sesungguhnya yang dijadikan ketentuandalam perkara Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalan yang terakhir, dan yang terakhir tidaklah demikian (yaitu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berbuka ketika safar)”.

Ibnu Hajar menguatkan bahwa lafadh tersebut merupakan mudraj perkataan Az-Zuhriy.

Contoh lain tentang hadits li’an :

قَالَ: فَتَلَاعَنَا وَأَنَا شَاهِدٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفَارَقَهَا، فَكَانَتْ سُنَّةً أَنْ يُفَرَّقَ بَيْنَ الْمُتَلَاعِنَيْنِ

(Sahl bin Sa’d) berkata : Maka mereka berdua saling melaknat, dan aku menyaksikan di sisi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang kemudian beliau menceraikan wanita itu dari suaminya. Dan termasuk sunnah adalah menceraikan dua orang suami istri yang saling melaknat”.

Ibnu Hajar menyatakan bahwa kalimat yang bercetak tebal merupakan mudraj perkataan Az-Zuhriy, sebab dalam riwayat lain disebutkan :

قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ: قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: فَكَانَتِ السُّنَّةُ بَعْدَهُمَا أَنْ يُفَرَّقَ بَيْنَ الْمُتَلَاعِنَيْنِ

Berkata Ibnu Juraij : Telah berkata Ibnu Syihaab : “Dan termasuk sunnah setelah kejadian tersebut untuk menceraikan dua orang suami istri yang saling melaknat”.

Contoh lain masih sangat banyak sebagaimana dijelaskan oleh para ulama tentang hadits-hadits mudraj.

[silakan baca : Tahriiru ‘Uluumil-Hadiits oleh Al-Judai’, Al-Jawaahirus-Sulaimaaniyyah Ayarh Al-Mandhuumah Al-Baiquniyyah karya Abul-Hasan Al-Ma’ribiy, Taisiru ‘Uluumil-Hadiits karya ‘Amru ‘Abdul-Mun’im, Mabaahits fii ‘Uluumil-Hadiits karya Al-Qaththaaniy, dan yang lainnya].

Anonim mengatakan...

Assalamu'alaikum

to : admin

komentar antum @ 27 Agustus 2012 17:38

[quote]
Dari 'Aaisyah radliyallaahu 'anhaa, ia berkata : Aku berkata : "Wahai Rasulullah, apakah wanita itu dimintai izin pada kemaluan mereka?". Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam menjawab : "Ya". Aku berkata : "Sesungguhnya anak gadis itu merasa malu sehingga ia pun diam (jika dimintai persetujuannya)". Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Diamnya itu adalah tanpa persetujuannya".

...
sepertinya antum salah ketik, kata yang di bold (tanpa) seharusnya "tanda"

سُكَاتُهَا إِذْنُهَا

Barakallahu fiik

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ketika mengomentari riwayat Busrah bintu Shafwaan tentang menyentuh kemalauan, dengan terbata-bata orang Raafidlah itu mengatakan :

Bukan semata-mata karena ada lafaz qaala tetapi karena memang zhahir keseluruhan riwayat menunjukkan bahwa itu jawaban Az Zuhriy kepada si penanya. Disini didapat faedah bahwa jawaban Az Zuhriy atas si penanya itu berdasarkan hadis Busrah yang ia riwayatkan. Lafaz hadis Busrah adalah lafaz umum yang menyatakan siapa saja yang menyentuh kemaluannya maka ia hendaknya berwudhu’ dan dipahami oleh Az Zuhriy bahwa ini berlaku untuk laki-laki dan perempuan [selesai].

He..he..he... memang susah koneknya dengan orang ambivalen. Kerepotan ya menambal kekeliruan sendiri ? Bung, saya terjemahkan ya, barangkali Anda kesusahan untuk memahami :

أَخْبَرَنَاهُ أَبُو سَعِيدِ بْنُ أَبِي عَمْرٍو ، أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ الشَّيْبَانِيُّ ، نا حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ ، ثنا أَبُو مُوسَى الأَنْصَارِيُّ ، ثنا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ نَمِرٍ ، قَالَ : سَأَلْتُ الزُّهْرِيَّ عَنْ مَسِّ الْمَرْأَةِ فَرْجَهَا : أَتَتَوَضَّأُ ؟ فَقَالَ أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي بَكْرٍ ، عَنْ عُرْوَةَ ، عَنْ مَرْوَانَ بْنِ الْحَكَمِ ، عَنْ بُسْرَةَ بِنْتِ صَفْوَانَ ، أَن ّرَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : ” إِذَا أَفْضَى أَحَدُكُمْ بِيَدِهِ إِلَى فَرْجِهِ فَلْيَتَوَضَّأْ ” , قَالَ : وَالْمَرْأَةُ كَذَلِكَ ,

Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Sa'iid bin 'Amru : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu 'Abdillah Muhammad bin Ya'quub Asy-Syaibaaniy : Telah mengkhabarkan kepada kami Husain bin Muhammad : Telah menceritakan kepada kami Abu Muusaa Al-Anshaariy : Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid bin Muslim, dari 'Abdurrahmaan bin Namr, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Az-Zuhriy tentang seorang wanita menyentuh kemaluannya, apakah ia mesti mengulangi wudlunya ?. Maka ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami 'Abdullah bin Abi Bakr, dari 'Urwah, dari Marwan bin Al-Hakam, dari Busrah bintu Shafwaan : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda : "Apabila salah seorang di antara kalian menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudlu”. Perawi laki-laki berkata : “Dan wanita pun juga demikian” [selesai].

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ini kasusnya sama dengan di atas, dan juga kasus yang Anda permasalahkan. Bahasa sanadnya sama. Kan yang jadi perhatian, kata qaala itu merujuk ke siapa ?. Bukankah - menurut jalannya logika Anda - itu mungkin ternisbat kepada perkataan Busrah ataupun Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam ?. Bukankah menurut logika Anda hadits di atas itu dapat ditafsirkan :

"Perawi laki-laki berkata (melanjutkan perkataan Busrah) : Dan wanita pun juga demikian".

Jika perawi laki-laki di atas adalah Az-Zuhriy, bukankah menurut angan-angan Anda sebelumnya hadits tersebut boleh ditafsirkan dengan di atas dibawakan dengan lafadh Busrah ? - alias : Az-Zuhriy melanjutkan lafadh perkataan Busrah. Bukan satu hal yang mustahil ada seseorang yang bertanya kepada satu permasalahan kemudian dijawab dengan riwayat. Atau menurut logika yang Anda perlakukan pada diri Anda yang sedikit maksa-maksain, bukankah lafadh qaala wal-mar-atu kadzalik itu kemungkinan merupakan kelanjutan dari perkataan Nabi shallallaaahu 'alaihi wa sallam sebelumnya. Bukankah sebelumnya Anda sangat defensif ketika ada lafadh qaalat di tengah riwayat dalam hadits 'Aaisyah tentang masalah tuntutan Faathimah itu mengatakan bahwa itu merupakan kelanjutan dari perkataan 'Aaisyah sebelumnya ?.

Lantas apa bedanya ini dengan itu ? Dasar pemilah-milahan antara satu pemilik lafadh dengan yang lainnya itu apa ?. Lupa ya ?. Coba terangkan pada saya barang separagraf atau dua paragraf. Asli, saya pingin tahu jhalan pemahaman Anda. Tapi kalau dasarnya adalah : Saya memahaminya berdasarkan kemauan saya, ya sudah, saya angkat tangan bung...

Kalau saya sih sederhana saja dan konsisten, bahwa lafadh qaala itu pada asalnya (secara dhahir) memang tidak ternisbat pada perkataan Busrah. Itu saja. Sehingga,.... perkataan wal-mar-atu kadzaalik itu merupakan perkataan Az-Zuhriy yang terpisah dari hadits Busrah, dan itu terkait dengan jawaban yang ia berikan kepada Ibnu Namr. Di bagian akhir ini sebenarnya Anda dan saya sama, tapi beda dalam proses menuju pemahaman ke situ. Anda tidak konsisten dalam memahami dhahir bahasa sanad.

Anonim mengatakan...

Untung mulai belajar bahasa Arab tahun lalu, kalau tidak, mungkin saya juga termasuk org2 yg kena tipuan rafidah